Islam Digest (Page 5)

advertisement
hujjatul islam
REPUBLIKA ● AHAD, 28 NOVEMBER 2010
B9
MELAYUONLINE.COM
SULTAN MAULANA HASANUDDIN
Penguasa Muslim
di Banten
BERBAGAI KEMAJUAN
Oleh Nidia Zuraya,
Muhammad Fakhruddin
DIRAIH SELAMA
PEMERINTAHAN SULTAN
MAULANA HASANUDDIN.
MLANCONG.COM
MELAYUONLINE.COM
Makam Sultan Yusuf
anten dikenal sebagai salah satu wilayah
yang sangat kental dengan nuansa keislaman. Bahkan, salah satu tokoh utama dan
banyak menghasilkan karya klasik juga
berasal dari wilayah Banten. Yakni, Syekh
Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani. Karyakarya Syekh Nawawi al-Bantani telah menyebar hingga
berbagai negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam,
Singapura, India, dan Thailand.
Namun, sejarah perkembangan dan penyebaran Islam,
juga tak lepas dari pengaruh Kesultanan Banten. Berkat
peran serta mereka pula, Islam menjadi mayoritas di
Provinsi Banten.
Salah satu tokoh besar dan berperan penting dalam
penyebaran Islam di Banten adalah Sultan Maulana
Hasanuddin. Penguasa Muslim ini lahir pada 1479 di
Cirebon. Ia merupakan pendiri Kesultanan Banten sekaligus menjadi penguasa pertama di kerajaan Islam tersebut.
Ayahnya, Syarif Hidayatullah, adalah salah seorang dari
sembilan wali (Walisongo) penyebar Islam di tanah Jawa,
yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Hasanuddin merupakan anak kedua dari Syarif
Hidayatullah dengan Nyi Kaung Anten, putri penguasa
Kaung Anten, Banten, Prabu Surasowan. Ketika Prabu
Surasowan wafat, kekuasaannya diwariskan kepada
putranya, yakni Arya Surajaya. Pada masa pemerintahan
Arya Surajaya, Syarif Hidayatullah sudah kembali ke
Cirebon yang kemudian menjadi Sultan Cirebon.
Sedangkan Hasanuddin lebih memilih menjadi guru
agama Islam di Banten. Hasanuddin pun dikenal memiliki
banyak santri di beberapa wilayah Banten. Karena
ketokohannya kemudian masyarakat menyebutnya
Maulana Hasanuddin. Setelah menginjak dewasa,
Hasanuddin ditugaskan untuk menggantikan posisi sang
ayah untuk menyebarkan Islam di Banten menyusul
penunjukan Syarif Hidayatullah sebagai tumenggung di
Cirebon oleh penguasa Kesultanan Demak.
Dalam usaha penyebaran Islam di Banten, Maulana
Hasanuddin berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya.
Kadang-kadang ia berada di Gunung Pulosari, Gunung
Karang, atau Gunung Lor, bahkan sampai ke Pulau
Panaitan di Ujung Kulon. Kegiatan dakwahnya menyebabkan penduduk Banten Utara berangsur-angsur
memeluk agama Islam. Sebelum Banten berwujud sebagai
suatu kesultanan, wilayah ini termasuk bagian dari
Kerajaan Sunda (Padjadjaran). Agama resmi kerajaan
ketika itu adalah Hindu.
B
Oleh Muhammad Fakhruddin
elain sebagai tokoh agama di
Banten, Maulana Hasanuddin juga
dikenal sebagai seorang ahli politik
dan ekonomi. Hal ini disampaikan
Kepala Seksi Pendidikan dan Informasi
Kenadziran Masjid Agung Kesultanan
Maulana Hasanuddin Banten, M Al Hatta
Kurdie.
Menurut Al-Hatta Kurdie, saat
memimpin pasukan gabungan dari
Kesultanan Demak dan Cirebon menyebut
Kadipaten Banten Girang tahun 1525,
Maulana Hasanuddin berhasil mengalahkan Prabu Pucik Umun sebagai Adipati
Banten Girang, kala itu.
Satu hal yang unik dari kisah jatuhnya
Banten Girang ini, bahwa tidak terjadi
peperangan dahsyat apalagi banyak
korban jiwa. Hatta menjelaskan, dari babad
atau cerita rakyat dikisahkan cara Maulana
Hasanuddin menaklukkan Banten Girang,
yakni menerima ajakan Pucuk Umun untuk
mengadu ayam dengan ketentuan bila
ayam Pucuk Umun kalah, Sultan
Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di
daerah Banten.
Prakarsa dari Pucuk Umun langsung
diterima oleh Maulana Hasanuddin.
Tempat pertarungan adu ayam antara
Maulana Hasanuddin dan Pucuk Umun
pun telah disepakati oleh kedua belah
pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu
tempat yang dianggap netral. “Ternyata
S
Ahli Politik dan
Ekonomi
bangunan negara, antara lain, meliputi bidang keamanan,
perdagangan, dan yang terpenting penyebaran Islam.
Ia memperluas daerah kekuasaan Banten sampai
meliputi seluruh daerah Banten, Jayakarta, Karawang,
Lampung, dan Bengkulu. Ia juga telah memberikan andil
terbesarnya dalam meletakkan dasar Islam yang kuat di
Banten. Bahkan di masanya, Banten menjadi pusat
penyiaran agama Islam untuk wilayah Jawa Barat dan
Sumatra Selatan. Hal ini telah dibuktikan dengan
kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan
sarana pendidikan Islam seperti pesantren.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
pengetahuan keislaman, Sultan Maulana Hasanuddin
mengirim sejumlah mubalig ke berbagai daerah yang
dikuasainya. Bahkan, banyak orang dari luar daerah yang
sengaja datang untuk belajar agama Islam di Banten,
sehingga berdirilah beberapa perguruan Islam, seperti di
Kasunyatan. Di tempat ini, Maulana Hasanuddin juga
mendirikan bangunan Masjid Kasunyatan yang umurnya
lebih tua dari Masjid Agung Banten.
Sementara untuk menjaga keamanan kota dari
serangan musuh, baik dari darat maupun laut, Maulana
Hasanuddin membentengi seluruh kota dengan potonganpotongan kayu besar yang kemudian diganti dengan
tembok tebal dari batu karang. Setiap sudut dilengkapi
dengan meriam. Demikian juga di sekeliling istana dibuat
benteng yang dibuat dari tembok batas setebal tujuh
telapak tangan. Di samping itu, ia juga mengadakan kerja
sama dengan ayahnya membentuk pasukan pertahanan
kuat dan besar, sehingga ketika terjadi serangan Demak ke
Pasuruan, Banten mengirimkan tujuh ribu tentara kerajaan lengkap dengan persenjataannya. Kerja sama itu
diperluas ke bidang ekonomi dan politik.
Sultan Maulana Hasanuddin wafat pada 1570, dalam
usia 91 tahun. Setelah mangkat ia diberi gelar ‘Marhum
Sabakingking’. Jasadnya dimakamkan dekat Masjid Agung
Banten. ■ ed: syahruddin el-fikri
UMMATANWASATAN.NET
Masjid
Agung Banten
Upaya penyebaran agama Islam ke seluruh daerah
Banten mendapat hambatan dari raja Padjadjaran yang
mengeluarkan peraturan untuk membatasi masuknya
pedagang Islam ke Banten. Di samping itu, keputusan raja
Padjadjaran untuk menandatangani perjanjian persahabatan dengan Portugis, menyulut kemarahan penduduk
yang sudah memeluk agama Islam. Di bawah pimpinan
Maulana Hasanuddin, mereka melakukan pemberontakan
terhadap penguasa Padjadjaran.
Posisi Banten yang sangat strategis, karena letaknya di
pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas
Pulau Sumatra dan Jawa, menarik perhatian penguasa
Demak untuk menguasainya. Maka, pada awal abad ke-16
M, Kesultanan Demak mengutus Fatahillah, untuk
menyerbu wilayah ini, setelah sebelumnya singgah di
Cirebon untuk menemui Syarif Hidayatullah.
Dengan bantuan pasukan gabungan Demak-Cirebon,
Maulana Hasanuddin dapat menguasai seluruh Kadipaten
Banten. Penyerangan yang dilakukan terhadap wilayah
itu, dikarenakan adanya perjanjian antara Padjadjaran
dengan pihak Portugis. “Perjanjian tersebut bocor dan
sampai ke telinga Sultan Demak, apalagi waktu itu Demak
sedang sakit hati dengan Portugis karena Pati Unus atau
Pangeran Sebrang Lor kalah perang di Malaka,” kata
Kepala Seksi Pendidikan dan Informasi Kenadziran Masjid
Agung Kesultanan Maulana Hasanuddin Banten, M Al
Hatta Kurdie, kepada Republika, Kamis (25/11).
Atas keberhasilan ini, pada 1526 ia diangkat oleh
Sultan Demak sebagai bupati Kadipaten Banten.
Keberhasilannya memimpin daerah ini membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang sehingga Kadipaten
Banten diubah menjadi negara bagian Demak pada 1552
dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin
sebagai sultannya.
Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten
selama 18 tahun (1552-1570). Ia memindahkan pusat
pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten
Girang (Banten Hulu) ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara. Ia melengkapi pusat pemerintahan
yang baru ini dengan berbagai sarana dan prasarana,
seperti keraton, benteng, pasar, dan sarana
peribadatan berupa masjid. Ketika pada
1568 Kesultanan Demak runtuh
dan diganti Pajang, ia memproklamasikan Banten
menjadi negara merdeka,
lepas dari pengaruh
Demak.
Berbagai kemajuan
Selama masa pemerintahannya, Banten
mengalami kemajuan
dalam berbagai sektor.
Hal ini tidak terlepas
dari upaya-upaya yang
dilakukan Sultan
Maulana Hasanuddin
dalam melakukan pem-
ayam Pucuk Umun kalah dan ia melepaskan daulatnya atas Banten, kemudian
bermukim di Ujung Kulon,” tutur Hatta.
Pendekatan pertarungan seperti ini
untuk menghindari kontak langsung
antara dua tokoh agama, sehingga pertarungan cukup diwakilkan oleh ayam jago
milik Pucuk Umun dan Maulana
Hasanuddin.
Hatta menambahkan, pendekatan tersebut dapat dipandang sebagai jalan tengah
menuju penyelesaian damai terhadap
konflik berkepanjangan antara dua pihak
yang berbeda kepentingan. Sebab, Pucuk
Umun berkepentingan mempertahankan
eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di
bawah naungan Negeri Padjadjaran.
Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah
Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Berkat penaklukan Banten Girang yang
berlangsung mulus itu, Maulana
Hasanuddin mendapatkan simpati dari
masyarakat dan para ajar (pemuka Hindu)
di Banten. Maulana Hasanuddin
menawarkan pilihan kepada 800 orang
ajar untuk masuk Islam atau tetap
memeluk Hindu tapi menjadi tawanan
perang dan harus membayar upeti.
Sebagian besar dari mereka menerima
ajakan Maulana Hasanuddin untuk masuk
Islam. Namun, terdapat 40 orang ajar yang
menerima ajakan Maulana Hasanuddin
tapi hatinya ingkar. “Mereka ini kemudian
melarikan diri yang sekarang kita kenal
sebagai Suku Badui. Sikap Maulana
Hasanuddin membiarkan mereka tetap
hidup merupakan fondasi dasar pluralisme
di Banten,” terang Hatta.
Sejarawan dari Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin,
Mufti Ali, mengatakan, sumber-sumber
sejarah lainnya menyebutkan penaklukan
Benten Girang oleh Maulana Hasanuddin
dapat dipahami secara rasional karena
keahliannya dalam strategi perang. “Secara
strategi perang, Padjadjaran memang
kalah oleh Demak dan Cirebon, sehingga
Syarif Hidayatullah berani menempatkan
anaknya, Maulana Hasanuddin, di Banten,”
kata Mufti. Setelah penaklukan tersebut, pada
1526 lahirlah Kadipaten Banten yang
bercorak Islam di bawah naungan Demak
dan Cirebon. Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai adipatinya. Pada tahun
yang sama, Maulana Hasanuddin menikah
dengan Nyi Ratu Ayu Kirana, putri
mahkota Sultan Trenggana (Demak III).
Saat itu usia Hasanuddin masih 26 tahun.
Mufti Ali mengatakan, Maulana
Hasanuddin kemudian membangun city
state (negara kota) berupa kota pelabuhan
di sebelah utara Banten (sekarang dikenal
dengan Banten lama). Maulana
Hasanuddin memilih memindahkan ibu
kota Banten dari Banten Girang ke
Surosowan yang jaraknya sekitar 15 kilometer karena kejeliannya untuk mengembangkan perdagangan dan membuka jalur
perdagangan dengan negara lain.
Dilihat dari sudut ekonomi dan politik,
pemindahan pusat pemerintahan ini
dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat
melalui Selat Sunda dan Selat Malaka.
Situasi ini berkaitan pula dengan situasi
dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada
masa itu, Malaka telah jatuh di bawah
kekuasaan Portugis, sehingga pedagangpedagang yang enggan berhubungan
dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat
itulah semakin ramai kapal-kapal dagang
mengunjungi Banten.
“Banyak kemajuan yang dicapai ketika
Banten dipimpin oleh Sultan Maulana
Hasanuddin. Baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial budaya, maupun lainnya,”
ujar Mufti.
Sebagai sultan pertama, Maulana
Hasanuddin membangun insfrastruktur
perkotaan Islam modern, antara lain,
membangun Keraton Surosowan sebagai
pusat pemerintahan, membangun Masjid
Agung Banten sebagai pusat peribadatan,
membangun alun-alun sebagai pusat
informasi dan berkomunikasi dengan
rakyatnya. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah membangun Pelabuhan
Karangantu sebagai pelabuhan internasional yang mengantarkan Banten sebagai
kesultanan dengan pelabuhan terkuat di
nusantara. “Artinya, bagi penyebaran Islam
itu sendiri, dengan kekuatan maritimnya relatif membawa hikmah,” kata Mufti.
■ ed: syahruddin el-fikri
Download