representasi sosial tentang kota pada komunitas

advertisement
1
REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA
PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN
(Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama
Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta)
SELLY YUNELDA MEYRIZKI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
2
ABSTRACT
SELLY YUNELDA MEYRIZKI. SOCIAL REPRESENTATIONS ABOUT THE
CITY ON THE URBAN POOR COMMUNITIES. Case: Poor Community in
Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, South Jakarta,
DKI Jakarta Province (Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN)
Indonesia is a developing country which has focused on development.
However, the development and acceleration of economic growth that occurred in
Indonesia has not been evenly distributed in every province. This gives rise to a
phenomenon of population movement (migration) occurring in rural communities
who migrate to urban areas which eventually give rise to a phenomenon of urban
poverty. The purpose of this study was to identify the characteristics of poor
communities in urban areas and to identify social representations about the city
on poor communities in urban areas.
The study was held in RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama
Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, South Jakarta, DKI Jakarta Province. The
number of respondents is 40 local poor peoples who elected by incidental
sampling. Data collected through questionnaires and in-depth interviews with
respondents and informants. The characteristics of poor communities are
generally aged between under 25 to more than 54 years old, the majority of
respondents are women, and generally work in the informal sector. The level of
education of respondents are elementary school level (SD) or equivalent to high
school level (high school) or equivalent. The income that can be obtained by poor
communities were Rp. 100.000.00 up to Rp.1.500.000.00 per month. Overall poor
communities did rural-urban migration between 1970 until 2010. The reason was
to find a job, looking for experience, come to join her parents and husband, and
generally they spent a time in a location was between 1 to 30 years. The frequency
of returning home is zero to more than 4 times in the past year. Most of them do
not choose the location as the first residence in the city. There are 4 kinds of type
of social representations about the city and the poor. The dominant type of social
representations about city is type a place to earn money. Beside that, the
dominant type of social representations about the poor is underprivileged person.
Keywords: social representations, poor communities, poverty, urban areas
3
RINGKASAN
SELLY YUNELDA MEYRIZKI. REPRESENTASI SOSIAL TENTANG
KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN. Kasus: Sebuah
Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta (Di bawah bimbingan
NURMALA K. PANDJAITAN)
Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang memusatkan
perhatiannya pada pembangunan. Pembangunan dan percepatan pertumbuhan
ekonomi ini belum merata terjadi di setiap provinsi, melainkan hanya terjadi di
kota-kota besar. Hal ini menimbulkan suatu fenomena gerak penduduk (migrasi
desa-kota) yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya komunitas-komunitas
miskin di perkotaan. Terjadinya gerak penduduk dan timbulnya komunitas miskin
di perkotaan tersebut dipengaruhi pula oleh representasi sosial tentang kota pada
komunitas miskin di perkotaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik
komunitas miskin di wilayah perkotaan dan untuk mengidentifikasi representasi
sosial tentang kota pada komunitas miskin tersebut. Jumlah responden sebanyak
40 orang warga miskin setempat yang dipilih secara incidental sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara
mendalam untuk memperkaya pemahaman mengenai informasi yang diberikan
responden.
Anggota komunitas miskin di perkotaan berusia di bawah 25 tahun hingga
di atas 54 tahun, kebanyakan dari mereka berada pada rentang usia 35 hingga 44
tahun. Jenis-jenis pekerjaan yang mereka lakukan antara lain pedagang eceran
kaki lima, penyediaan makanan keliling, penyedia jasa perorangan, penyedia jasa
profesional dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Jenis pekerjaan yang paling banyak
dilakukan adalah penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, pedagang
nasi goreng dan sebagainya. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh kebanyakan
anggota komunitas miskin di perkotaan adalah setingkat SD atau yang sederajat.
Pendapatan yang diperoleh komunitas miskin berkisar antara Rp.
100.000,00 hingga Rp. 1.500.000,00 per bulannya, dengan mayoritas tingkat
pendapatan sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Secara
keseluruhan komunitas miskin melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970
4
hingga tahun 2010, namun mayoritas dari mereka melakukan migrasi desa-kota
antara tahun 2001 hingga tahun 2010. Alasan yang dimiliki oleh komunitas
miskin dalam melakukan migrasi desa kota antara lain: ingin mencari pekerjaan,
mencari pengalaman, ikut orangtua dan ikut suami. Alasan ingin mencari
pekerjaan merupakan alasan yang paling banyak dikatakan oleh anggota
komunitas miskin di perkotaan. Lama waktu tinggal kebanyakan anggota
komunitas miskin di lokasi adalah adalah kurang dari 8 tahun. Kebanyakan
anggota komunitas miskin tidak melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu
tahun terakhir dengan alasan tidak memiliki uang yang cukup untuk pulang ke
kampung halaman. Sebagian besar dari mereka tidak memilih lokasi penelitian
sebagai tempat tinggal pertama kali di kota.
Representasi sosial tentang kota yang ada pada komunitas miskin di
perkotaan terdiri atas empat macam tipe, yaitu: kota adalah tempat mencari uang
(Tipe I), kota adalah tempat hidup susah (tipe II), kota adalah tempat yang tidak
nyaman (tipe III) dan kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). Tipe I
merupakan tipe yang paling banyak dianut oleh komunitas miskin di perkotaan.
Pada tipe I ini, mayoritas respondennya berusia diatas 44 tahun, memiliki
informasi tentang kota yang rendah, keyakinan yang positif, pendapat yang positif
dan sikap yang normal namun cenderung positif. Pada tipe II, responden
pemilihnya kebanyakan tidak bekerja, memiliki informasi yang tinggi mengenai
kota, keyakinan yang negatif, pendapat yang positif dan sikap yang negatif
terhadap kota. Responden pada tipe III umumnya berjenis kelamin laki-laki,
bekerja sebagai penyedia jasa profesional, telah lama melakukan migrasi desakota dan telah lama pula bertempat tinggal di lokasi penelitian. Informasi yang
dimiliki oleh responden tergolong tinggi sehingga keyakinan yang dimilikinya
negatif, pendapat positif dan sikap yang netral namun cenderung negatif terhadap
kota. Responden pada tipe IV berkarakteristik sama dengan responden pada tipe
II, namun mayoritas dari mereka bekerja sebagai penyedia makanan keliling.
Pada representasi sosial tentang miskin, terdapat pula empat macam tipe,
yaitu: miskin adalah orang yang serba kekurangan (tipe I), miskin adalah orang
yang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas (tipe II), miskin adalah
orang yang memiliki sifat negatif (tipe III) dan miskin adalah orang yang tidak
5
berharga (tipe IV). Tipe I merupakan tipe yang paling banyak dianut oleh
komunitas miskin di perkotaan. Pemilihan tipe ini berkaitan dengan kehidupan
dari masyarakat miskin sendiri yang tergolong jauh dari berkecukupan.
Hanya karakteristik jenis kelamin, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota
dan lama tinggal di lokasi yang memiliki hubungan terhadap pembentukan
reprsentasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Hal ini terkait
dengan tingkat keterlibatan individu dalam kelompok dan tingkat komunikasi
sehari-hari yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya dalam
kelompok. Semakin lama individu tersebut bertempat tinggal di lokasi dan
semakin menjauhi tahun penelitian ini berlangsung, maka akan memungkinkan
terjadinya keterlibatan dan komunikasi antar anggota kelompok yang tinggi. Hal
ini berhubungan dengan tingkat perolehan informasi dan tingkat keyakinan yang
dimiliki oleh anggota komunitas miskin, yang akhirnya berhubungan dengan
terbentuknya representasi sosial tentang kota (tipe III). Status pekerjaan yang
menganggur menyebabkan tingkat keterlibatan individu dalam kelompok dan
tingkat komunikasi sehari-hari yang dilakukan oleh individu dengan individu
lainnya dalam kelompok tinggi sehingga berhubungan dengan aspek-aspek
representasi sosial dan representasi sosial tentang kota yang terbentuk (tipe II).
Laki-laki cenderung memiliki representasi sosial yang negatif terhadap kota (tipe
III).
Konteks situasional yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin
berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota. Kondisi
lingkungan yang kumuh membentuk representasi sosial yang cenderung negatif,
seperti kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III) atau kota adalah tempat
hidup susah (tipe II). Kondisi lingkungan yang menurut responden baik
membentuk representasi sosial yang cenderung positif, misalnya kota adalah
tempat hidup nyaman (tipe IV). Anggapan mengenai kondisi ekonomi yang
positif membentuk representasi sosial yang positif juga, yaitu kota adalah tempat
mencari uang (tipe I) dan keberadaan lembaga-lembaga sosial dan ketiadaan
sanksi bagi warga tidak resmi di lokasi penelitian menyebabkan terbentuknya
representasi sosial yang cenderung positif, misalnya kota adalah tempat hidup
nyaman (tipe IV).
6
REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA
PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN
(Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta)
SELLY YUNELDA MEYRIZKI
I34062335
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
7
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Selly Yunelda Meyrizki
NRP
: I34062335
Judul
: Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin
di Perkotaan (Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah
Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta)
dapat diterima sebagai bagian pengantar untuk memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA
NIP. 19591114 198811 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS
NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian :
8
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN
DI PERKOTAAN (KASUS: SEBUAH KOMUNITAS MISKIN DI WILAYAH
KELURAHAN
KEBAYORAN
LAMA
SELATAN,
KECAMATAN
KEBAYORAN LAMA, JAKARTA SELATAN, PROVINSI DKI JAKARTA)”
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI
INI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS
ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI
SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.
Bogor, Oktober 2010
SELLY YUNELDA MEYRIZKI
I34062335
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 9 Mei 1987. Penulis adalah
anak terakhir dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak H. Yoyon Toniwijaya
dan Ibu Hj. Mamah Salamah.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN 07 Pagi Jakarta
Selatan. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di
SLTP Negeri 164 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan
pada tahun 2006 di SMA Negeri 47 Jakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa
pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Ekologi Manusia, penulis aktif
dalam UKM Paduan Suara Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Agria Swara, dan
Himpunan Profesi HIMASIERA, divisi Broadcast. Penulis juga pernah menjadi
asisten dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi pada tahun 2008 hingga
tahun 2009 dan pernah bergabung dalam tim Rumah Pintar Solidaritas Istri
Kabinet Indonesia Bersatu di Cikeas, Bogor.
10
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Representasi Sosial Tentang
Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan (Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di
Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik komunitas
miskin di wilayah perkotaan dan untuk mengidentifikasi representasi sosial
tentang kota pada komunitas miskin tersebut. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA sebagai dosen pembimbing Studi
Pustaka dan Skripsi. Terima kasih atas waktu, bimbingan, koreksi,
pemikiran
serta
saran
yang
diberikan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Heru Purwandari, SP, MSi sebagai dosen penguji utama atas kesediaannya
untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini.
3. Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai dosen penguji wakil Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediaannya untuk
menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini.
4. Ayahanda, Ibunda dan kakak-kakak tercinta atas dukungan moral, materi,
perhatian, semangat dan motivasi yang begitu besar kepada penulis.
5. Ir. Dadi Kusnadi dan Wiwin Wiarsih SKp.MN. Om dan tante yang selalu
memberikan arahan dan dukungannya, baik dukungan moral maupun
materi kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB, penulis
mengucapkan terima kasih.
6. Rifki Ayerseptian, yang selalu memberikan dorongan, semangat,
perhatian, kasih sayang dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis.
7. Septiani Wesman, teman satu bimbingan. Terima kasih atas semangat
kerjasama, dan bantuan selama proses penyusunan skripsi ini.
11
8. Nadra, Kak Galuh, Kak Uday, Kak Rio, Kak Amay terima kasih atas
diskusi, saran, bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis
selama proses penyusunan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat ”The Chongors”, Ninit, Asri, Maya, Dara, Pretty, Fitri,
Ika, Oki, Fauzan. Terima kasih atas perhatian, semangat dan bantuannya
selama ini.
10. Mama Eti, Bapak Sunarto, Bapak Asmawi, BA., kak Nona dan seluruh
warga RT 004 RW 011. Terima kasih atas kesempatan dan bantuan yang
diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman dan sahabat-sahabat KPM 43, Rizman, Sita, Nadia, Prima,
Vani, Irena, Tia, Dea, Demul, Wulan, Angel, Rio, Andris serta temanteman tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk
kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.
12. Esti Budiarti dan Dyah Dewi Setiyowati. Terima kasih atas bantuan yang
diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.
13. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan
dan kerjasama kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
terkait.
Bogor, Oktober 2010
Selly Yunelda Meyrizki
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................
x
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar Belakang...................................................................................
1.2 Perumusan Masalah...........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................
1.4 Kegunaan Penelitian..........................................................................
1
1
4
4
4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS..............................................................
2.1 Tinjauan Pustaka................................................................................
2.1.1 Representasi Sosial...................................................................
2.1.1.1 Fungsi Representasi Sosial............................................
2.1.1.2 Struktur Representasi Sosial..........................................
2.1.1.3 Proses Terbentuknya Representasi Sosial......................
2.1.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Representasi Sosial........................................................
2.1.1.5 Metode Pengukuran Representasi Sosial.......................
2.1.2 Urbanisasi dan Komunitas Miskin di Perkotaan......................
2.1.2.1 Jenis Pekerjaan Komunitas Miskin di Perkotaan...........
2.1.2.2 Permasalahan Komunitas Miskin di Perkotaan.............
2.1.2.3 Ukuran Kemiskinan.......................................................
2.2 Kerangka Pemikiran...........................................................................
2.3 Hipotesis Penelitian...........................................................................
2.4 Definisi Operasional..........................................................................
5
5
5
6
7
8
9
10
11
14
16
18
20
22
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................
3.1 Metode Penelitian..............................................................................
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................
3.3 Teknik Pengumpulan Data.................................................................
3.4 Teknik Analisis Data..........................................................................
27
27
27
27
30
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI.......................................................
4.1 Letak dan Keadaan Fisik....................................................................
4.2 Keadaan Penduduk.............................................................................
4.3 Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan Penduduk.......................
4.4 Kelembagaan Sosial Masyarakat.......................................................
31
31
33
35
35
BAB V KARAKTERISTIK KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN.....
5.1 Karakteristik Individu dalam Komunitas Miskin di Perkotaan.........
5.1.1 Usia..........................................................................................
5.1.2 Jenis Kelamin...........................................................................
37
37
37
38
xi
5.1.3 Jenis Pekerjaan.........................................................................
5.1.4 Tingkat Pendidikan..................................................................
5.1.5 Tingkat Pendapatan..................................................................
5.1.6 Lama Tinggal di Lokasi...........................................................
5.1.7 Tahun Datang ke Kota.............................................................
5.1.8 Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota.....................................
5.1.9 Frekuensi Pulang Kampung.....................................................
5.1.10 Alasan Datang ke Kota...........................................................
5.2 Ikhtisar...............................................................................................
39
43
43
45
46
47
49
50
51
BAB VI KONTEKS SITUASIONAL MASYARAKAT................................
6.1 Kondisi Lingkungan...........................................................................
6.2 Kondisi Ekonomi...............................................................................
6.3 Kondisi Sosial....................................................................................
6.4 Ikhtisar...............................................................................................
53
53
55
57
60
BAB VII REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA
PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN..........................
7.1 Representasi Sosial Tentang Kota.....................................................
7.1.1 Tipe I: Kota adalah Tempat Mencari Uang..........................
7.1.2 Tipe II: Kota adalah Tempat Hidup Susah............................
7.1.3 Tipe III: Kota adalah Tempat yang Tidak Nyaman.................
7.1.4 Tipe IV: Kota adalah Tempat Hidup Nyaman.........................
7.2 Representasi Sosial Tentang Miskin..................................................
7.2.1 Tipe I: Miskin adalah Orang yang Serba Kekurangan...........
7.2.2 Tipe II: Miskin adalah Orang yang Tidak
Berpendidikan/Memiliki Keterampilan Terbatas....................
7.2.3 Tipe III: Miskin adalah Orang yang Memiliki Sifat Negatif...
7.2.4 Tipe IV: Miskin adalah Orang yang Tidak Berharga..............
7.3 Ikhtisar...............................................................................................
63
63
64
70
75
81
88
89
91
93
95
99
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 104
8.1 Kesimpulan........................................................................................ 104
8.2 Saran.................................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 107
LAMPIRAN....................................................................................................... 109
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Jumlah Penduduk RT 004 RW 011 Kelurahan Kebayoran Lama
Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi
DKI Jakarta, Menurut Golongan Usia...............................................
33
Tabel 2.
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Usia...................
37
Tabel 3.
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin..............................................................................................
38
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Pekerjaan............................................................................................
40
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja di
Kota....................................................................................................
42
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan..........................................................................................
43
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat
Pendapatan.........................................................................................
44
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Waktu Lama
Tinggal di Lokasi...............................................................................
45
Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tahun Pertama
Kali Datang ke Kota..........................................................................
46
Tabel 10. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Tinggal
Pertama Kali di Kota..........................................................................
47
Tabel 11. Lokasi Tempat Tinggal Pertama Responden di Kota........................
48
Tabel 12. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi
Pulang Kampung dalam Satu Tahun Terakhir...................................
49
Tabel 13. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Datang
ke Kota...............................................................................................
50
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi
Sosial Tentang Kota...........................................................................
64
Tabel 15. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe I ...................................................................................................
67
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
xiii
Tabel 16. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe II.................................................................................................
72
Tabel 17. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe III...............................................................................................
77
Tabel 18. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe IV...............................................................................................
82
Tabel 19. Perbandingan Tipe I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang
Kota Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden dan AspekAspek Pembentuk Representasi Sosial..............................................
87
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi
Sosial Tentang Miskin.......................................................................
88
Tabel 21. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe I..................................................................................................
90
Tabel 22. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe II.................................................................................................
92
Tabel 23. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe III...............................................................................................
95
Tabel 24. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe IV...............................................................................................
97
Tabel 25. Perbandingan Tipologi I, II, III dan IV Representasi Sosial
Tentang Miskin Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden...
98
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Analisis Representasi Sosial Tentang Kota pada
Komunitas Miskin di Perkotaan...................................................
22
Gambar 2. Contoh Penggunaan Skala Semantik Diferensial........................
28
Gambar 3. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe I...................................................................................
68
Gambar 4. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe I...................................................................................
68
Gambar 5. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I........
70
Gambar 6. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe II..................................................................................
73
Gambar 7. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe II..................................................................................
74
Gambar 8. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II.......
75
Gambar 9. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe III................................................................................
78
Gambar 10. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe III................................................................................
79
Gambar 11. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III.....
80
Gambar 12. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe IV................................................................................
84
Gambar 13. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe IV................................................................................
84
Gambar 14. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV....
86
Gambar 15. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Miskin Tipe I................................................................................
90
Gambar 16. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Miskin Tipe II..............................................................................
93
Gambar 17. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Miskin Tipe III.............................................................................
95
xv
Gambar 18. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Miskin Tipe IV.............................................................................
97
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Dokumentasi Penelitian...........................................................
110
Lampiran 2.
Hasil Asosiasi Kata Representasi Sosial Tentang Kota pada
Komunitas Miskin di Perkotaan..............................................
115
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang memusatkan
perhatiannya
pada
pembangunan,
namun
pembangunan
dan
percepatan
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia belum merata terjadi di setiap
provinsi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dominan terjadi di kota-kota
besar. Hal ini menimbulkan suatu fenomena gerak penduduk (migrasi) yang
terjadi pada masyarakat pedesaan yang berpindah ke perkotaan dengan berbagai
macam alasan, antara lain adalah untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik
(Todaro dan Stilkind, 1985).
Fenomena gerak penduduk (migrasi atau urbanisasi) biasanya tidak
diimbangi dengan kemampuan individu pelaku migrasi dalam memperoleh
pekerjaan yang layak dan tidak diimbangi pula dengan daya dukung lingkungan
perkotaan yang memadai. Hal ini mengakibatkan terjadinya suatu fenomena
kemiskinan kota yang cukup mengkhawatirkan meskipun jumlahnya dikabarkan
semakin menurun dari tahun ke tahun. BPS dan Depsos (2002) dalam Gunawan
dan Sugiyanto (2005) menyatakan bahwa persentase kemiskinan di Indonesia
mengalami penurunan pada tahun 2002, namun secara absolut jumlah mereka
masih tergolong tinggi, yaitu sebesar 43 persen atau sekitar 15,6 juta jiwa.1
Terjadinya gerak penduduk dan timbulnya komunitas miskin di perkotaan
tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor penarik dan pendorong yang
berasal dari kota atau desa saja, melainkan dipengaruhi pula oleh pemaknaan
tentang kota oleh masyarakat pelaku migrasi itu sendiri. Pemaknaan tentang kota
oleh komunitas pelaku migrasi di perkotaan itu dapat dikatakan sebagai
representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan.
Pengkajian terhadap representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin
di perkotaan terkait dengan teori representasi sosial. Abric (1976) dalam Adriana
(2009) menyebutkan bahwa representasi sosial sebagai suatu pandangan
fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau
1
http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/gunawan.pdf [diakses pada 16
April 2010, pukul 17.58]
2
arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan
sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap
realitas tersebut. Lebih lanjut, Abric (1976) dalam Adriana (2009) juga
menyebutkan bahwa representasi sosial dalam kerangka psikologi sosial
merupakan suatu mekanisme yang membentuk pola berpikir dan membicarakan
tentang objek maupun kejadian. Representasi sosial merupakan hasil dari interaksi
individu satu sama lain dan merupakan suatu proses dalam memahami dunianya.
Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan, khususnya wilayah Tanah Kusir II RT 004 RW 011 merupakan
salah satu wilayah padat penduduk di kawasan Jakarta Selatan. Penduduk di
wilayah ini berasal dari berbagai ras dan golongan sosial ekonomi. RT 004 RW
011 ini terdiri atas 628 jiwa penduduk yang terbagi dalam 197 Kepala Keluarga
(KK), dengan jumlah warga miskinnya sebanyak 43 Kepala Keluarga (KK).
Sebanyak 38 Kepala Keluarga dari 43 Kepala Keluarga yang tergolong warga
miskin tersebut adalah kaum migran yang berasal dari luar Provinsi DKI Jakarta.
Mereka hidup dalam sebuah komunitas yang tinggal pada sebuah tempat khusus
di wilayah RT 004, yang digolongkan dalam kelompok V atau biasa disebut
sebagai “orang kebon” oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena mereka bertempat
tinggal pada sebuah tanah lapang yang dahulu digunakan sebagai kebun sayuran
oleh penduduk asli di wilayah RT 004 tersebut. Keluarga yang tergolong miskin
tersebut berprofesi sebagai pekerja sektor informal seperti buruh, pembantu
rumahtangga, dan pedagang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hugo (1985) yang mengatakan bahwa
sebagian besar migran dari desa tidak mampu untuk memasuki pekerjaan di sektor
modern. Dua pertiga migran tetap yang memasuki sektor formal di kota berasal
dari keluarga petani di desa. Di kalangan migran sementara, kurang dari sepertiga
memasuki sektor formal dan banyak diantaranya adalah buruh tani yang
berpindah pekerjaan menjadi buruh harian. Hal senada dikatakan oleh Handayani
(2009) yang mengemukakan bahwa komunitas miskin di perkotaan mayoritas
bekerja pada sektor informal. Kemudian pendapat yang serupa juga disampaikan
oleh Sethuraman (1981) dalam Ramli (1992) yang mengatakan bahwa mereka
yang terlibat di sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia
3
kerja utama (prime age), berpendidikan rendah, upah yang diterima di bawah
upah minimun, modal usaha rendah, serta sektor ini memberikan kemungkinan
untuk mobilitas vertikal. Pendapat para ahli di atas, diperkuat oleh hasil penelitian
Jayanti (2007) yang mendapati bahwa di Kelurahan Lemahputro, Sidoardjo, Jawa
Timur, orang miskin bekerja di sektor-sektor informal seperti pedagang, kuli
panggul yang pekerjaannya tidak pasti, pedagang kecil-kecilan yang modalnya
sedikit maupun sebagai asisten rumahtangga (PRT) dengan penghasilan yang
berkisar antara Rp.300.000,00 hingga Rp. 550.000,00 per bulan.
Urbanisasi tetap terjadi setiap tahunnya meskipun para migran menghadapi
keadaan yang kurang menguntungkan seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagai
contoh, pada wilayah Jakarta Timur, data statistik menunjukkan bahwa lonjakan
arus urbanisasi rata-rata mencapai 200.000 hingga 250.000 jiwa per tahun.2 BPS
memproyeksikan tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 68 persen pada tahun
2025. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat
urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di
empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI
Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten.3 Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, perilaku masyarakat desa yang berpindah ke perkotaan tersebut dapat
dipengaruhi oleh representasi sosial tentang kota yang ada pada diri masyarakat
tersebut. Representasi sosial, sikap, dan nilai terbentuk dengan kuat melalui
sejarah yang telah lalu, keanggotaan dari suatu kelompok, referensi kelompok,
dan melalui konteks tidak bebas yang kita miliki yang diperoleh dari saat-saat
tertentu (Bergman, 1998).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka menarik untuk dikaji lebih dalam
mengenai karakteristik komunitas miskin di perkotaan dan bagaimana representasi
sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Pengkajian tentang
representasi sosial ini terkait dengan teori representasi sosial yang mengatakan
bahwa representasi sosial dapat merubah perilaku seseorang, atau dengan kata lain
representasi sosial dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
2
3
http://data.infid.org/l/l1.html# [diakses pada 17 April 2010, pukul 16.38]
http://demografi.bps.go.id/versi1/index.php?option=com_content&task=view&id=923 [ diakses
pada 17 April 2010, pukul 16.30]
4
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan dua permasalahan
yang dikaji secara lebih mendalam melalui penelitian ini. Kedua perumusan
masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik komunitas miskin di perkotaan?
2. Bagaimanakah representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di
perkotaan?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diutarakan,
maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik komunitas miskin di perkotaan.
2. Mengidentifikasi representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di
perkotaan.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memahami
fenomena pertumbuhan komunitas miskin di perkotaan, juga sebagai bahan
pertimbangan untuk membuat suatu kebijakan dalam mengatasi pertumbuhan
komunitas miskin di perkotaan.
2. Bagi kalangan akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai
representasi sosial, perilaku serta pola berpikir masyarakat.
5
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Representasi Sosial
Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003) menyatakan bahwa
representasi sosial adalah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek dengan
fungsi untuk membangun sebuah urutan yang memungkinkan individu untuk
menyesuaikan atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka
dan untuk menguasai lingkungannya. Bergman (1998) mengatakan bahwa
representasi sosial muncul dari interaksi antara nilai, ide, dan praktek pada saat
individu mencoba untuk mengerti lingkungan sosial dan fisik mereka.
Representasi sosial dapat dimengerti sebagai sistem yang memproduksi nilai, ideide, dan praktek.
Wagner and Kronberger dalam Jost and Ignatow (2001) menyatakan
bahwa representasi adalah kehidupan masyarakat yang dikonstruksikan, secara
budaya dinilai baik dalam perasaan sendiri dan bersifat fungsional dalam
kehidupan sosial sehari-hari, tanpa mengakui adanya variasi pada kesepakatan
dalam ketepatan yang mungkin memberikan tanda-tanda penting ke dalam fungsi
yang disajikan dalam representasi sosial. Jost and Ignatow (2001) mengatakan
bahwa aspek terbaik dari teori representasi sosial adalah teori tersebut berisikan
catatan yang berjalan terus berdasarkan pengalaman dari kehidupan sosial dan
budaya yang dinamis dari manusia dan menyebar menjadi kepercayaan atau
keyakinan atas alam realitas.
Putra et al. (2003) mendefinisikan representasi sosial sebagai cara berpikir
‘rasional’ yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan
logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok
yang sama melalui komunikasi sehari-hari. Jodelet (2006) menyatakan bahwa
istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu pada produk dan proses yang
menandai pemikiran praktis masyarakat awam pada umumnya (common sense)
6
yang kemudian dielaborasi secara sosial dengan gaya dan logika yang khas lalu
dianut oleh para anggota kelompok sosial dan budaya tertentu.4
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa konsep dari
representasi sosial adalah suatu interaksi antara nilai, ide dan praktek berdasarkan
pengalaman dan sejarah dari kehidupan sosial dan budaya yang dinamis dari
manusia yang disampaikan melalui komunikasi sehari-hari untuk menjelaskan
sebuah pemikiran umum (common sense).
2.1.1.1 Fungsi Representasi Sosial
Moscovici (1973) dalam Bergman (1998) mengatakan bahwa representasi
sosial memiliki dua fungsi ganda, antara lain:
1. Untuk membangun sebuah urutan yang memungkinkan individu untuk
menyesuaikan atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial
mereka dan untuk menguasai lingkungannya.
2. Memungkinkan komunikasi berada diantara anggota-anggota dari komunitas
dengan menyediakan mereka sebuah simbol untuk pertukaran sosial dan sebuah
simbol untuk menamai dan mengklasifikasikan berbagai aspek yang sudah jelas
dari dunia mereka dan sejarah diri mereka sendiri serta sejarah kelompok.
Bergman (1998) menyatakan bahwa teori representasi sosial terlihat pada
pemikiran subjektif seseorang yang menciptakan kenyataan dari realitas yang
tidak dikenalnya. Sebuah representasi sosial memiliki fungsi bagi orang-orang
sebagai alat untuk memberikan arti bagi istilah yang asing atau abstrak bagi
mereka. Hal yang berbeda dikatakan oleh Jost and Ignatow (2001) yang
mengemukakan lima fungsi dari representasi sosial, yaitu:
1. Group Coordination, yaitu representasi sosial menyajikan fungsi dari
koordinasi aktifitas kelompok dan memfasilitasi kerjasama antar individu
dalam kelompok.
2. Rational Argumentation. Jovchelovitch memberikan gagasannya bahwa
representasi sosial mungkin menyajikan sebuah fungsi penting dalam
4
http://www.faimau.com/2008/07/konferensi-internasional-ke-9-tentang.html [diakses pada 20
Maret 2010 pukul 18.00]
7
kehidupan masyarakat yang liberal. Fungsi ini dinamakan fungsi dari fasilitas
argumentasi rasional (Rational Argumentation).
3. Symbolic Coping, yaitu representasi sosial membuat sesuatu yang tidak dikenal
menjadi dikenal dengan melambangkan elemen yang baru atau asing tersebut
berdasarkan pengalamannya.
4. Environmental Compensation, yaitu representasi sosial muncul karena adanya
unsur memasukan konsep dan pengalaman yang hilang atau yang dianggap
tabu. Jost and Ignatow (2001) mengemukakan bahwa representasi sosial
mungkin juga menyajikan sebuah fungsi “kompensasi” disamping fungsi
“anchoring” yang telah banyak didiskusikan.
5. System Justification. Jost and Ignatow (2001) mengemukakan bahwa inti
penyebab sebuah kelompok menimbulkan representasi sosial dan percobaan
mempengaruhi orang lain untuk mengadopsi representasi sosial tersebut adalah
untuk mencapai tujuan sosial dan politik sebagai aspek yang sangat menarik
dan unik dari teori representasi sosial.
2.1.1.2 Struktur Representasi Sosial
Abric (1976) dalam Deaux and Philogene (2001) menyatakan bahwa
struktur representasi sosial terdiri dari central core dan peripheral core. Central
core ditentukan oleh obyek yang dimunculkan sendiri, oleh jenis hubungan antara
obyek tersebut dengan suatu kelompok, dan juga oleh nilai serta norma sosial
yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu dalam
kelompok tersebut. Fungsi utama dari central core adalah mengorganisasi fungsi
menyeluruh dari seluruh elemen
yang menghasilkan representasi atau
mengubahnya.
Fungsi kedua adalah menentukan hubungan dan menyatukan elemenelemen dari representasi sosial satu sama lain. Central core dapat menjadi elemen
dari representasi yang sangat tahan terhadap perubahan karena dia juga yang
berfungsi menyatukan dan menstabilkan elemen-elemen di dalamnya. Ketika
terdapat suatu perubahan pada central core maka perubahan itu akan berdampak
pada perubahan representasi seseorang secara keseluruhan.
8
Elemen peripheral core dapat ditemui di sekitar central core, bersifat
konkret dan merupakan elemen yang paling bisa diakses secara langsung. Elemen
ini berfungsi untuk menjadikan konkret sesuatu, adaptasi, dan untuk bertahan.
Peripheral core merupakan hasil dari anchoring representasi ke dalam kenyataan.
Elemen inilah yang menyambungkan antara central core dan situasi konkret
dalam suatu konteks representasi. Adanya keterkaitan peripheral core sebagai
penghubung central core dan situasi konkret membuktikan bahwa elemen ini
lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central core. Abric (1976) dalam Deaux
and Philogene (2001) juga menyatakan bahwa representasi sosial terdiri atas
elemen informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Bagianbagian ini terorganisasi dan terstruktur sehingga kemudian menjadi sistem sosialkognitif seseorang.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa struktur
representasi sosial terdiri atas elemen central core, peripheral core, informasi,
keyakinan, pendapat, dan sikap. Keempat elemen terakhir yang terdiri atas elemen
informasi (information), keyakinan (belief), pendapat (opinion), dan sikap diteliti
secara lebih lanjut dalam penelitian ini.
2.1.1.3 Proses Terbentuknya Representasi Sosial
Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003) mengatakan bahwa
representasi sosial terjadi dalam dua proses, yaitu:
1. Anchoring, yaitu proses yang mengacu pada pengenalan atau pengaitan suatu
objek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses pertama ini, informasi baru
diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki
oleh individu.
2. Objectifications, yaitu proses yang mengacu pada penerjemahan ide yang
abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau
dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan objek-objek yang konkrit. Proses
ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kodekode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan efek dari komunikasi
dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut.
9
Representasi sosial mengalami transformasi dalam prosesnya menuju
perilaku masyarakat. Guimelli (1993) mendeskripsikan proses transformasi
tersebut menjadi urutan-urutan sebagai berikut:
Kondisi transformasi dari representasi sosial
1) Karakteristik kejadian dari keterlibatan tingkat tinggi dalam grup. Tingkatan
dari keterlibatan menjadi dasar dari segalanya.
2) Keadaan eksternal representasi yang berubah sehingga mengganggu grup,
sebagai akibat dari kondisi di atas (poin 1).
3) Tantangan terhadap nilai-nilai tradisional dalam grup yang bersifat tak dapat
dihindari.
Proses transformasi
1)
Jika ketiga kondisi tersebut menyatu, sebuah nilai akan tampak, yang
mengakibatkan grup beradaptasi dengan keadaan yang baru. Hal ini akan
memaksa subjek dan keinginan akan semakin sering dalam grup.
2)
Jika nilai baru tersebut tidak bertentangan dengan representasi yang
terdahulu, skema akan menjadi logis dan dapat digunakan dalam
representasi tersebut.
3)
Nilai tambah dari skema yang baru terbentuk meningkatkan peran penting
dari representasi yang ada.
4)
Skema yang menentukan terbentuk dalam bentuk yang berbeda dan dalam
kesatuan konsep yang menjadi inti pusat dari representasi dan memastikan
hubungan dari keseluruhan struktur.
2.1.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Representasi Sosial
Para ahli merumuskan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh
pada terbentuknya representasi sosial. Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003)
mengatakan bahwa tahap Objectifications dalam pembentukan representasi sosial
dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode
yang merupakan bagian dari proses kognitif dan efek dari komunikasi dalam
pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut. Abric (1976)
dalam Deaux and Philogene (2001) menyatakan bahwa central core dalam suatu
representasi sosial ditentukan oleh obyek yang dimunculkan sendiri, oleh jenis
10
hubungan antara obyek tersebut dengan suatu kelompok, dan juga oleh nilai dan
norma sosial yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada
saat itu dalam suatu kelompok tersebut.
Guimelli (1993) mengemukakan bahwa pada kondisi transformasi dari
representasi sosial, karakteristik kejadian dari keterlibatan tingkat tinggi dalam
grup menjadi dasar dari segalanya. Guimelli (1993) juga mengatakan bahwa
central core dari representasi dapat berubah sesuai keadaan namun tidak dapat
diputuskan dengan sejarah masa lalu dari kelompok (grup) yang bersangkutan.
Jost and Ignatow (2001) mengatakan bahwa aspek terbaik dari teori representasi
sosial adalah teori tersebut berisikan catatan yang berjalan terus berdasarkan
pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya yang dinamis dari manusia dan
menyebar menjadi kepercayaan atau keyakinan atas alam realitas. Lebih lanjut,
Jost and Ignatow (2001) dalam salah satu fungsi representasi sosial
mengemukakan bahwa representasi sosial muncul karena adanya unsur
memasukan konsep dan pengalaman yang hilang atau yang dianggap tabu. Putra
et al. (2003) menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok
merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan representasi sosial yang
dimiliki kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi representasi sosial antara lain berupa sejarah masa lalu kelompok
(pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya), tingkat keterlibatan individu
dalam kelompok, komunikasi sehari-hari dalam kelompok dan kerangka sosial
individu, misalnya norma dan nilai.
2.1.1.5 Metode Pengukuran Representasi Sosial
Dibutuhkan suatu metode pengukuran yang sesuai dengan objek penelitian
pada saat melakukan penelitian mengenai representasi sosial. Putra et al. (2003)
menggunakan metode asosiasi kata dalam bentuk kuesioner, dimana partisipan
diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benaknya ketika mereka
membaca kata pemimpin. Partisipan diminta untuk mengurutkan lima kata
tersebut berdasarkan kata yang paling merepresentasikan arti pemimpin sampai
kata yang dipandang paling tidak merepresentasikan arti pemimpin. Partisipan
11
juga diminta untuk menjelaskan arti dan maksud asosiasi kata yang telah mereka
tuliskan dalam kuesioner.
Pada tahap awal, dicari kata-kata apa saja yang muncul untuk memaknai
kata pemimpin untuk keperluan pengkodean. Pada tahap ini dicari seberapa
banyak kata yang digunakan partisipan pada masing-masing kelompok dan kota
untuk menggambarkan kata pemimpin untuk melihat perbedaan antar kelompok.
Selanjutnya, kata-kata yang serupa dan memiliki karakteristik yang sama
dikelompok-kelompokan sampai diperoleh beberapa kategori besar. Berdasarkan
definisi yang diberikan partisipan, kata-kata tersebut kemudian dikode ulang ke
dalam kategori besar tersebut untuk memperoleh klasifikasi yang lebih general.
Data diolah lebih lanjut untuk melihat frekuensi pada masing-masing kategori
besar.
2.1.2
Urbanisasi dan Komunitas Miskin di Perkotaan
Urbanisasi adalah perubahan daerah pedesaan ke arah sifat kehidupan
kota, pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota, perpindahan penduduk ke
kota yang terlihat pada berbagai bentuk mobilitas penduduk, serta kenaikan
proporsi penduduk yang tinggal di kota.5 Setiap tahunnya, beribu-ribu orang
pindah dari desa ke kota, dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik dan kehidupan yang lebih layak jika dibandingkan dengan kehidupan mereka
di desa. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya hasil penelitian dari Todaro
dan Stilkind (1985) yang menyatakan bahwa:
“orang-orang desa yang miskin ‘didorong’ untuk pindah ke kota
karena kemandekan atau berkurangnya kesempatan kerja di desa, dan
pada saat yang bersamaan ‘tertarik’ oleh harapan untuk mendapat
pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang tinggi.”
Urbanisasi tetap terjadi sekalipun pada kenyataannya kota-kota besar
sudah tidak mampu lagi menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, perumahan,
dan transportasi lebih dari yang minimal kepada penduduknya yang sangat padat
itu (Todaro dan Stilkind, 1985). Urbanisasi yang terjadi di berbagai negara,
khususnya di negara-negara berkembang erat kaitannya dengan pembangunan dan
5
http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=147 [diakses pada 6
September 2010, pukul 11.30]
12
industrialisasi yang terjadi di perkotaan. Todaro dan Stilkind (1985) mengatakan
bahwa “modernisasi” industri dan terlalu mengutamakan sektor modern di kota
mengakibatkan tidak dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk desa.
Urbanisasi yang terjadi menandakan bahwa terjadi keadaan yang teramat parah di
pedesaan daripada perkembangan ekonomi di kota.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, telah terjadi perbedaan
antara kehidupan di desa dengan kehidupan di kota, khususnya dalam bidang
ekonomi, pendidikan ataupun pelayanan sosial lainnya. Dengan kata lain, telah
terjadi fenomena kemiskinan di pedesaan. Todaro dan Stilkind (1985) mengatakan
bahwa kebijakan pemerintah di banyak negara, khususnya negara-negara
berkembang yang cenderung mengutamakan urban bias, yaitu memusatkan
fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan di kota-kota besar telah
menyebabkan terjadinya migrasi desa-kota. Migrasi desa-kota ini biasanya tidak
dibarengi oleh kemampuan dan keterampilan yang cukup dari para pelaku migrasi
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di kota, yang biasanya berada pada
pekerjaan sektor formal atau modern. Para pelaku migrasi hanya mampu
berkecimpung pada sektor–sektor informal yang berpenghasilan kecil dan tidak
menentu, seperti buruh bangunan, buruh cuci, dan lain sebagainya. Fenomena itu
diperparah dengan adanya kenyataan bahwa sebagian besar pelaku migrasi desakota adalah orang-orang yang berusia dua puluh tahunan, yaitu kelompok umur
yang paling aktif untuk membentuk rumahtangga baru (Todaro dan Stilkind,
1985). Hal ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya komunitas-komunitas
miskin di perkotaan yang hingga saat ini jumlahnya tidak dapat dikatakan sedikit.
Industrialisasi di perkotaan yang tidak dibarengi oleh pertumbuhan
kesempatan kerja yang sesuai dengan jumlah orang yang mencari pekerjaan
mengakibatkan timbulnya fenomena kemiskinan dan tentunya timbulnya
komunitas-komunitas miskin di perkotaan yang hingga saat ini belum bisa diatasi
keberadaannya. Kemiskinan terjadi bukan hanya karena aspek ekonomi saja, akan
tetapi berkaitan juga dengan aspek material, sosial, kultural, institusional dan
struktural. Piven dan Cloward (1993) dan Swanson (2001) dalam Suharto (2009)
menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi,
rendahnya penghasilan dan adanya kebutuhan sosial.
13
Handayani (2009) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa keluarga
yang tergolong dalam kelompok “miskin” adalah mereka yang memperoleh
bantuan dari pemerintah, misalnya Raskin, BLT atau Askes. Komunitas miskin di
perkotaan ini dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) keluarga yang
benar-benar miskin, (2) keluarga berkecukupan yang dianggap miskin, (3)
keluarga miskin yang dianggap berkecukupan. Ketiga kelompok tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Keluarga yang benar-benar miskin
Ciri-ciri dari keluarga yang benar-benar miskin antara lain tidak memiliki
aset ekonomi (aspek ekonomi), bekerja di sektor informal yang digolongkan
dalam kelas menengah ke bawah (aspek sosial), dan tidak memiliki posisi tawar
(aspek politik). Pada aspek ekonomi, hal ini diketahui melalui ketidakmampuan
mereka dalam memiliki tempat tinggal sendiri, ketidakmampuan memiliki tempat
tinggal yang layak huni, tidak memiliki tabungan karena pendapatan hari ini
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hari ini, dan membutuhkan bantuan
orang lain. Aspek ekonomi tersebut berkorelasi dengan aspek sosial, karena status
sosial diindikasikan dengan jenis pekerjaan dan penghasilan yang diterimanya.
Pekerjaan yang dimaksud antara lain adalah pekerjaan-pekerjaan marjinal seperti
buruh dan tukang. Posisi tawar yang rendah muncul karena buruh menjual tenaga
kerjanya dan kelas kapitalis membeli tenaga kerja. Selain itu, juga karena adanya
hubungan patron-klien.
2. Keluarga berkecukupan yang dianggap miskin
Penggolongan komunitas miskin yang kedua ini antara lain terkait dengan
keberadaan tempat tinggal dari keluarga tipe ini. Seringkali terjadi fenomena
keluarga yang mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh anggota
keluarganya namun dianggap miskin karena bertempat tinggal di wilayah yang
telah ditetapkan sebagai daerah tempat tinggal kelompok miskin oleh pemerintah
setempat. Tidak jarang terjadi fenomena bahwa keluarga-keluarga tipe ini
memanfaatkan label keluarga miskin yang mereka peroleh untuk mendapatkan
aliran bantuan dari pihak-pihak terkait.
14
3. Keluarga miskin yang dianggap berkecukupan.
Ciri-ciri dari keluarga golongan ini adalah mereka berpenghasilan tinggi
namun tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena memiliki
jumlah tanggungan yang besar sehingga penghasilan tersebut dibagi-bagi menjadi
bagian yang banyak dan akhirnya perolehan masing-masing anggota keluarga
menjadi sedikit. Proses pengambilan kebijakan di tingkat pemerintahan (RT atau
RW) memperburuk situasi kemiskinan kelompok keluarga itu. Pengukuran
nominal penghasilan dan jenis pekerjaan yang tetap seringkali membuat keluarga
golongan ketiga ini tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
2.1.2.1 Jenis Pekerjaan Komunitas Miskin di Perkotaan
Hugo (1985) mengatakan bahwa sebagian besar migran dari desa tidak
mampu untuk memasuki pekerjaan di sektor modern. Dua pertiga migran tetap
yang memasuki sektor formal di kota berasal dari keluarga petani di desa. Kurang
dari sepertiga kalangan migran sementara memasuki sektor formal dan banyak di
antaranya adalah buruh tani yang berpindah pekerjaan menjadi buruh harian.
Dikatakan pula, jenis pekerjaan yang diperoleh para migran ini terkait erat
dengan tingkat pendidikan yang mereka tempuh. Migran tetap umumnya
berpendidikan lebih tinggi dari migran sementara sehingga kesempatan bagi
mereka untuk memasuki pekerjaan di sektor formal lebih terbuka lebar. Pada
sektor formal, sebagian besar migran tetap bekerja dalam pekerjaan sektor upahan
yang terjamin. Sementara sebagian besar migran sementara bekerja sebagai buruh
harian atau dalam pekerjaan-pekerjaan sektor informal. Pekerjaan migran di
sektor informal mayoritas terlibat dalam distribusi komoditi berskala kecil,
diantaranya pada sektor produksi pertanian, makanan jadi, makanan hasil pabrik,
barang-barang pabrik bukan makanan dan sebagai pedagang tidak terampil, atau
membuka usaha sendiri yang memiliki jam kerja fleksibel, organisasi yang
bersifat kekeluargaan dan kontak dengan orang kebanyakan yang bersifat pribadi
dan langsung.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Jayanti (2007) mendapati bahwa di
Kelurahan Lemahputro, Sidoardjo, Jawa Timur, orang miskin bekerja di sektorsektor informal seperti pedagang, kuli panggul yang pekerjaannya tidak pasti,
15
pedagang kecil-kecilan yang modalnya sedikit maupun sebagai asisten
rumahtangga (PRT) dengan penghasilan yang berkisar antara Rp. 300.000,00
hingga Rp. 550.000,00 per bulan. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Hugo
(1985) dan Jayanti (2007), Handayani (2009) juga mengemukakan bahwa
komunitas miskin di perkotaan mayoritas bekerja pada sektor informal.
Selain menggantungkan dirinya pada pekerjaan-pekerjaan di sektor
informal, komunitas miskin di perkotaan juga menerapkan berbagai strategi
nafkah lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup
mereka. Musyarofah (2006) menyebutkan sembilan strategi nafkah yang
dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah
tersebut antara lain berupa:
1. Pola nafkah ganda, dimana dalam satu keluarga terdapat dua atau lebih
pekerjaan yang dilakukan, baik oleh satu orang dalam keluarga tersebut
ataupun yang terbagi pada seluruh anggota keluarga.
2. Pemanfaatan kelembagaan ekonomi, antara lain dengan memanfaatkan
kelembagaan arisan, sistem kredit dan bank keliling.
3. Pemanfaatan jaringan sosial. Jaringan sosial yang dimaksud dapat berupa
jejaring kemitraan bisnis atau berupa ikatan pertetanggaan dan ikatan
persaudaraan. Ikatan pertetanggaan dan persaudaraan ini dimaksudkan untuk
memberikan akses bagi rumahtangga miskin untuk mendapatkan bantuan
ketika membutuhkan sesuatu.
4. Basis perdagangan, antara lain dengan berjualan nasi uduk guna memperoleh
pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari
ataupun dengan membuka warung kecil untuk memperoleh pendapatan
tambahan yang akan digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
5. Mengganti jenis makanan. Strategi nafkah ini dilakukan ketika rumahtangga
miskin berada dalam kondisi sulit atau krisis. Strategi ini merupakan bagian
dari proses pengetatan atau penekanan pengeluaran saat rumahtangga miskin
ada dalam kondisi krisis, dimana dalam kondisi tersebut mereka mengganti
jenis makanan yang biasanya mereka konsumsi dengan jenis-jenis makanan
yang lebih sederhana.
16
6. Basis rumah kontrakan, yaitu dengan memanfaatkan modal finansial yang
mereka miliki untuk membangun rumah kontrakan.
7. Basis peluang kerja di sektor industri. Strategi nafkah ini terkait dengan
keberadaan sektor industri di lingkungan mereka yang menimbulkan strategi
nafkah berupa peluang kerja di sektor industri.
8. Berhutang. Strategi nafkah ini dilakukan ketika kondisi rumahtangga
komunitas miskin berada pada kondisi krisis. Pinjaman uang ataupun barang
diperoleh dari para tetangga setelah terbina hubungan baik yang menimbulkan
sikap saling percaya antar tetangga.
9. Mencairkan aset rumahtangga, yaitu dengan menjual aset rumahtangga
yang mereka miliki berupa penjualan barang-barang elektronik seperti televisi
dan lemari es. Strategi nafkah ini umumnya mereka lakukan ketika mereka
berada pada kondisi krisis.
2.1.2.2 Permasalahan Komunitas Miskin di Perkotaan
Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas miskin di
perkotaan antara lain timbul akibat rendahnya kualitas sumber daya yang mereka
miliki dan keterampilan yang kurang memadai dari mereka untuk mencari
pekerjaan dan bersosialisasi dengan masyarakat lainnya di kota. Berdasarkan hasil
penelitiannya, Jayanti (2007) merumuskan pemaknaan kemiskinan bagi
komunitas miskin di perkotaan
yang juga dapat dirumuskan sebagai
permasalahan-permasalahan
dihadapi
yang
oleh
mereka.
Permasalahan-
permasalahan tersebut meliputi:
(1) Rendahnya pendapatan. Hal ini terkait dengan jenis pekerjaan yang mereka
miliki,
yaitu mayoritas bekerja pada sektor informal
yang hanya
berpenghasilan antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 550.000,00 per bulan atau
kurang lebih sebesar sepuluh ribu rupiah per harinya.
(2) Pemenuhan kebutuhan pokok yang rendah. Banyak diantara anggota
komunitas miskin di perkotaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
pangannya dengan baik. Mayoritas dari mereka hanya mampu makan dua kali
dalam satu hari bahkan kadang-kadang para orangtua harus merelakan jatah
makan mereka bagi anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan sandang masih
17
mampu mereka lakukan, paling tidak dengan membeli pakaian satu tahun
sekali dengan menggunakan kredit, atau memperolehnya dari pemberian
saudara, tetangga
ataupun orang lain. Sedangkan untuk rumah (papan),
biasanya terbuat dari bambu (gedek) yang ruangan-ruangannya hanya dibatasi
oleh sekat dan memiliki lantai yang terbuat dari tanah.
(3) Akses dalam pendidikan, kesehatan, dan permodalan yang rendah. Hal
ini dapat dilihat melalui rendahnya kemampuan komunitas miskin dalam
menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMP,
rendahnya akses kesehatan karena mahalnya biaya berobat ke lembagalembaga kesehatan dan ketiadaan modal yang dimiliki.
(4) Partisipasi yang rendah dalam institusi sosial. Permasalahan ini timbul
karena orang miskin cenderung menutup diri terhadap warga lain dan
cenderung tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial yang
diselenggarakan di lingkungannya. Hal itu mereka lakukan karena sungkan
dan merasa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk melakukan sesuatu
dalam kegiatan sosial, misalnya untuk menyampaikan pendapat dalam rapat
RT. Selain itu, mereka cenderung takut harus mengeluarkan tambahan uang
jika ikut melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial yang ada.
Selaras dengan Jayanti (2007) yang mengatakan bahwa salah satu
permasalahan komunitas miskin di perkotaan adalah rendahnya partisipasi dalam
institusi sosial, Handayani (2009) juga mengemukakan permasalahan tersebut dan
menyebutnya dengan situasi tawar yang rendah dalam proses pengambilan
keputusan di arena publik.
Situasi tawar yang rendah ini terjadi pada golongan keluarga yang benarbenar miskin, yang diakibatkan oleh kurangnya waktu yang dimiliki oleh keluarga
yang benar-benar miskin untuk turut terlibat dalam pengambilan keputusan di
arena publik. Akibatnya, muncul dominasi dalam proses pengambilan keputusan
yang hanya menguntungkan kelompok elite karena kelompok tersebut mampu
menggunakan akses dan kekuasaan yang dimilikinya untuk terlibat di arena
publik.
18
2.1.2.3 Ukuran Kemiskinan
Syahyuti (2006) dalam Saripudin (2009) merumuskan ukuran-ukuran
kemiskinan dari beberapa sumber, satu di antaranya adalah ukuran kemiskinan
dari Sajogyo (1978), yang dirumuskan berdasarkan pendapatan per kapita per
tahun yang setara dengan nilai tukar beras. Ukuran kemiskinan Sajogyo (1978)
tersebut terdiri atas: (1) paling miskin, ≤ 180 Kg untuk desa, dan 270 Kg untuk
kota; (2) sangat miskin, ≤ 240 Kg untuk desa, dan 360 Kg untuk kota; (3) miskin,
≤ 320 Kg untuk desa dan 480 Kg untuk kota.
Marbun dan Suryahadi (2009) membedakan ukuran kemiskinan menjadi
dua, yaitu: (1) ukuran kemiskinan moneter yang menggunakan tingkat pendapatan
dan tingkat konsumsi sebagi tolok ukurnya dan (2) ukuran kemiskinan nonmoneter yang tidak hanya menetapkan tingkat pendapatan atau tingkat konsumsi
sebagai tolok ukurnya, melainkan terkait pula dengan beberapa hal lain yang
mengakibatkannya, seperti kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan
tingkat partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Marbun dan Suryahadi (2009) menyatakan bahwa di negara-negara
berkembang, saat ini indikator tingkat konsumsi lebih banyak digunakan daripada
tingkat pendapatan. Hal ini karena tingkat pendapatan masyarakat di negaranegara sedang berkembang umumnya masih cukup berfluktuasi. Misalnya yang
terjadi di desa, tingkat pendapatan sangat tergantung pada waktu panen yang
dapat berubah-ubah, dan dengan dominasi sektor informal di kota-kota, tingkat
pendapatan masyarakat kota pun tak menentu. Tingkat konsumsi dinilai cukup
mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan seseorang dan dapat dikatakan lebih
stabil dari tingkat pendapatan, mengingat konsumsi dikorelasikan dengan tingkat
pendapatan permanen.
Sejak tahun 1984 Indonesia telah mengadopsi pengukuran kemiskinan
konsumsi, yaitu dengan menetapkan garis kemiskinan sebagai biaya yang
diperlukan untuk memperoleh sekeranjang makanan dengan kandungan 2.100
kalori per kapita per hari, ditambah dengan biaya untuk memperoleh hal-hal di
luar bahan makanan yang dianggap penting seperti perumahan, pendidikan,
kesehatan, pakaian, serta barang dan jasa lainnya. Jika dirumuskan, maka
perhitungan kemiskinan konsumsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
19
GK=GKM+GKNM
Dengan keterangan: GK=Garis Kemiskinan, GKM=Garis Kemiskinan Makanan
dan GKMN=Garis Kemiskinan Non Makanan.
Untuk GKM, saat ini BPS menetapkan 52 jenis komoditas yang
disetarakan dengan 2.100 kalori per hari. Sedangkan untuk GKNM, ditetapkan 47
komoditas di pedesaan. Penentuan jumlah dari setiap jenis makanan dan barang
bukan makanan tersebut didasarkan pada konsumsi aktual sekelompok penduduk
yang disebut sebagai kelompok acuan (reference population). Kelompok acuan
ditentukan dengan cara mengambil sebanyak dua puluh persen penduduk yang
berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS), yaitu Garis Kemiskinan
periode sebelumnya yang di-inflate (digembungkan) dengan tingkat inflasi umum.
Menurut Marbun dan Suryahadi (2009), penetapan ukuran kemiskinan
konsumsi ini tidak terlepas dari lima catatan yang perlu diperhatikan sebagai
kelemahan ukuran kemiskinan tersebut di Indonesia. Kelima catatan tersebut
antara lain menyangkut:
(1) Pemilihan kelompok acuan yang perlu diperhatikan kembali karena
mempengaruhi tinggi-rendahnya GK yang dihasilkan.
(2) Pengukuran kemiskinan tingkat konsumsi yang menggunakan satu keranjang
makanan dan non-makanan yang sama untuk semua wilayah, atau keranjang
yang berbeda untuk setiap wilayah yang hingga saat ini masih menjadi dilema.
(3)Pengukuran
tingkat
kemiskinan
dengan
pendekatan
konsumsi
yang
mengasumsikan kebutuhan konsumsi yang sama bagi semua anggota keluarga
dinilai tidak relevan dengan kenyataan yang ada, dimana setiap orang
memiliki kebutuhan konsumsi yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh
gender dan usia.
(4) Pengukuran tingkat kemiskinan dengan pendekatan konsumsi mengasumsikan
bila pengaruh jumlah anggota rumahtangga terhadap kebutuhan konsumsi
rumahtangga bersifat linier. Pada kenyataannya, terdapat skala ekonomi
(economies of scale) di dalam rumahtangga tersebut.
(5) Pengukuran tingkat kemiskinan dengan pendekatan konsumsi mengasumsikan
bahwa setiap anggota dalam suatu rumahtangga memiliki akses yang sama
20
terhadap sumber daya yang ada dalam rumahtangga tersebut. Pada
kenyataannya, tidak setiap rumahtangga memberikan kesempatan yang sama
bagi setiap anggota rumahtangganya untuk mengakses sumber daya yang ada.
Dari beberapa pendapat mengenai ukuran kemiskinan tersebut, dapat
terlihat bahwa Marbun dan Suryahadi (2009), Syahyuti (2006), dan Sajogyo
(1978) cenderung menggunakan ukuran yang sama. Para ahli tersebut cenderung
menggunakan ukuran tingkat konsumsi dari komunitas miskin tersebut.
2.2
Kerangka Pemikiran
Disadari atau tidak, fenomena urbanisasi yang terjadi pada masyarakat
pedesaan adalah karena adanya pengaruh dari cerita tentang kota yang mereka
dapat secara tidak langsung melalui cerita masyarakat yang lebih dulu melakukan
migrasi desa-kota (urbanisasi) ataupun melalui media elektronik seperti televisi,
majalah ataupun surat kabar. Cerita sukses masyarakat desa yang telah lebih dulu
melakukan migrasi desa-kota dan cerita tentang gemerlapnya kota yang didapat
melalui media tersebut menyebabkan masyarakat desa lainnya berbondongbondong datang ke kota dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik.
Urbanisasi (migrasi desa-kota) yang terjadi secara terus menerus dan tanpa
didukung oleh keterampilan yang memadai dari para pelaku migrasi desa-kota itu
kemudian menyebabkan timbulnya komunitas-komunitas miskin di perkotaan.
Komunitas miskin di perkotaan ini timbul dengan karakteristik yang khas dari
individu-individu di dalam komunitas miskin tersebut yang diduga berhubungan
dengan representasi sosial tentang kota yang mereka miliki, dimana (i) usia
(diduga semakin muda usia individu, maka representasi sosial yang dimilikinya
cenderung positif), (ii) jenis kelamin (diduga laki-laki memiliki representasi sosial
tentang kota yang lebih positif dibandingkan dengan perempuan), (iii) tingkat
pendidikan (diduga semakin tinggi tingkat pendidikan individu, maka representasi
sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung negatif), (iv) jenis pekerjaan
(diduga pekerjaan informal akan menimbulkan representasi sosial yang negatif
terhadap kota), (v) tingkat pendapatan (diduga semakin tinggi tingkat pendapatan,
maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung positif), (vi)
21
lama tinggal di lokasi (diduga semakin lama individu tinggal di lokasi, maka
representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung negatif), (vii) tahun
datang ke kota (diduga semakin mendekati tahun penelitian berlangsung, maka
representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung positif), (viii) tempat
tinggal pertama kali di kota (diduga komunitas miskin yang tidak langsung tinggal
di lokasi penelitian memiliki representasi sosial yang negatif mengenai kota), (ix)
frekuensi pulang kampung (diduga semakin tinggi jumlah kegiatan pulang
kampung, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung
positif), (x) alasan datang ke kota (diduga semakin bersifat ekonomi alasan yang
dimiliki untuk datang ke kota, maka representasi sosial tentang kota yang
dimilikinya cenderung positif)
Selain karakteristik individu dalam komunitas miskin tersebut, diduga
konteks situasional juga berhubungan dengan representasi sosial tentang kota
pada komunitas miskin di perkotaan. Konteks situasional ini meliputi: (i) kondisi
lingkungan masyarakat, (ii) kondisi ekonomi masyarakat, dan (iii) kondisi sosial
masyarakat.
Representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan
sendiri adalah sejumlah pencitraan (image), opini, penilaian dan keyakinan umum
komunitas miskin di perkotaan terhadap kota. Representasi sosial tentang kota
terdiri atas representasi sosial tentang kota sendiri dan representasi sosial tentang
miskin. Pada representasi sosial tentang kota, yang diteliti adalah tipologi
representasi sosial tentang kota dan aspek-aspek representasi sosial tentang kota
yang terdiri atas elemen informasi (information), keyakinan (belief), pendapat
(opinion) dan sikap. Pada representasi sosial tentang miskin, hanya diteliti tipologi
representasi sosial tentang miskin saja yang di dalamnya juga terdapat dimensi
informasi tentang kota yang dimiliki oleh komunitas miskin di perkotaan. Secara
lebih ringkas, penjelasan ini akan disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran
pada Gambar 1.
22
Urbanisasi (migrasi
desa-kota)
Komunitas miskin di perkotaan
Karakteristik individu:
Usia
Jenis kelamin
Jenis pekerjaan
Tingkat pendidikan
Tingkat pendapatan
Lama tinggal di lokasi
Tahun datang ke kota
Tempat tinggal pertama
kali di kota
9. Frekuensi pulang kampung
10. Alasan datang ke kota
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Konteks Situasional
Masyarakat:
1. Kondisi lingkungan
2. Kondisi ekonomi
3. Kondisi sosial
Representasi Sosial Tentang
Kota pada Komunitas
Miskin di Perkotaan
Representasi sosial tentang kota:
1. Tipologi representasi sosial
tentang kota
2. Aspek-aspek representasi sosial
tentang kota
Representasi sosial tentang
miskin:
1. Tipologi representasi sosial
tentang miskin
Gambar 1. Kerangka Analisis Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas
Miskin di Perkotaan
Keterangan gambar:
= berhubungan
= bukan objek penelitian
= terbagi atas
2.3
Hipotesis Pengarah
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan dua buah hipotesis pengarah sebagai berikut:
1. Ada beberapa tipe representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di
perkotaan.
23
2. Ada hubungan antara karakteristik komunitas miskin dengan representasi sosial
tentang kota.
2.4
Definisi Operasional
a) Karakteristik individu, adalah ciri yang melekat pada masing-masing individu
dalam komunitas miskin. Variabel yang diteliti antara lain:
1. Usia, yang dibedakan dalam kategori:
1) < 25 tahun
(skor=1)
2) 25-34 tahun
(skor=2)
3) 35-44 tahun
(skor=3)
4) 45-54 tahun
(skor=4)
5) > 54 tahun
(skor=5)
2. Jenis kelamin, yang dibedakan dalam kategori:
1) laki-laki
(skor=1)
2) perempuan
(skor=2)
3. Jenis pekerjaan, adalah aktivitas yang dilakukan individu untuk
memperoleh pendapatan, yang dilihat dari jenis pekerjaan yang umumnya
dilakukan oleh responden saat ini. Kategorinya antara lain:
1) Pedagang eceran kaki lima
(skor=1)
2) Penyediaan makanan keliling
(skor=2)
3) Jasa perorangan
(skor=3)
4) Jasa profesional
(skor=4)
5) Lainnya
(skor=5)
4. Tingkat pendidikan, adalah pendidikan terakhir yang ditempuh oleh
individu komunitas miskin. Kategorinya adalah :
1) Tidak sekolah
(skor=1)
2) SD atau yang sederajat
(skor=2)
3) SLTP atau yang sederajat
(skor=3)
4) SLTA atau yang sederajat
(skor=4)
5. Tingkat pendapatan, adalah jumlah uang yang didapat responden dalam
satu bulan terakhir sebelum penelitian dilakukan. Kategori dalam variabel ini
adalah:
24
1) < Rp. 300.000
(skor=1)
2) Rp. 300.000-Rp. 600.000
(skor=2)
3) Rp. 600.001-Rp. 900.000
(skor=3)
4) Rp. 900.001- Rp. 1.200.000
(skor=4)
5) > Rp. 1.200.000
(skor=5)
6. Lama tinggal di lokasi, adalah lamanya responden tinggal di lokasi
penelitian yang dihitung sejak tahun kedatangan di lokasi hingga saat
penelitian dilakukan. Kategorinya ialah:
1) < 8
tahun
(skor=1)
2) 8-15 tahun
(skor=2)
3) 16-23 tahun
(skor=3)
4) > 23 tahun
(skor=4)
7. Tahun datang ke kota, adalah tahun pada saat pertama kali responden
datang ke kota. Kategori dalam variabel ini adalah:
1) 1970-1980
(skor=1)
2) 1981-1990
(skor=2)
3) 1991-2000
(skor=3)
4) 2001-2010
(skor=4)
8. Tempat tinggal pertama kali di kota, adalah lokasi yang dipilih responden
untuk tinggal ketika pertama kali datang ke kota, yang dibedakan menjadi:
1) Langsung tinggal di lokasi
(skor=1)
2) Tidak langsung tinggal di lokasi
(skor=2)
9. Frekuensi pulang kampung, adalah jumlah kejadian komunitas miskin
untuk pulang ke daerah asalnya dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian
dilakukan. Kategorinya adalah sebagai berikut:
1) Tidak pernah pulang kampung
(skor=1)
2) 1-2 kali
(skor=2)
3) 3-4 kali
(skor=3)
4) > 4 kali
(skor=4)
10. Alasan datang ke kota, adalah motivasi individu untuk datang ke kota
pertama kali. Kategorinya adalah:
1) Ingin mencari pekerjaan
(skor=1)
25
2) Mencari pengalaman
(skor=2)
3) Ikut orangtua
(skor=3)
4) Ikut suami
(skor=4)
b) Konteks situasional, adalah keadaan yang dihadapi oleh responden selama
bertempat tinggal di kota. Kategori konteks situasional terdiri atas:
1) Kondisi lingkungan, adalah kondisi yang melekat pada lingkungan
penelitian, yang diukur secara kualitatif.
2) Kondisi
ekonomi,
adalah
kondisi
yang
melekat
pada
kehidupan
perekonomian responden sehari-hari, yang diukur secara kualitataif
3) Kondisi sosial, adalah kondisi yang melekat pada kehidupan sosial
responden, yang meliputi norma yang berlaku dalam masyarakat dan sejarah
keberadaan kelompok. Kondisi sosial ini juga diukur secara kualitatif.
c) Representasi sosial tentang kota, adalah sejumlah image, opini, penilaian dan
keyakinan umum mengenai kota yang ada pada komunitas miskin di perkotaan.
Representasi sosial terdiri atas empat elemen yaitu informasi, keyakinan,
pendapat dan sikap yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Informasi adalah segala pengetahuan mengenai kota yang dimiliki oleh
komunitas miskin di perkotaan. Kategorinya adalah sebagai berikut:
1) Tingkat informasi rendah (skor=3-5)
2) Tingkat informasi tinggi (skor=6 )
2. Keyakinan adalah suatu hal yang dipercaya mengenai kota bagi komunitas
miskin di perkotaan. Kategori dalam aspek keyakinan ini adalah:
1) Keyakinan positif
(skor=7-10)
2) Keyakinan negatif
(skor=11-14)
3. Pendapat adalah suatu hasil pemikiran mengenai kota yang dikomunikasikan
kepada anggota komunitas lainnya.
4. Sikap adalah kecenderungan respon suka atau tidak suka pada kota.
Kategorinya adalah:
1) Negatif (skor=25-35)
2) Netral
(skor=36-40)
3) Positif (skor=41-48)
26
d) Representasi sosial tentang miskin, adalah sejumlah image, opini, penilaian
dan keyakinan umum mengenai MISKIN yang ada pada komunitas miskin di
perkotaan, yang diukur dengan menggunakan teknik asosiasi kata dan diolah
dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2003 untuk mengetahui jumlah
responden dalam setiap tipe representasi sosial tentang kota yang telah
terbentuk.
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survei, yaitu penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel
dengan menanyakannya melalui angket atau interview supaya nantinya
menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen, 1990 dalam
Wahyuni dan Muljono, 2007). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif.
3.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Tanah Kusir II, RT 004 RW 011, Kelurahan
Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi
DKI Jakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki karakteristik yang sesuai untuk
penelitian ini, yaitu memiliki jumlah masyarakat miskin sebanyak 43 Kepala
Keluarga, yang 38 diantaranya hidup berkelompok dalam satu wilayah dan
membentuk komunitas. Mayoritas dari mereka adalah kaum pendatang yang
bekerja di sektor informal.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010. Pengolahan dan
analisis data dilakukan pada bulan Juni-September 2010.
3.3
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara mendalam yang
dilakukan dengan responden dan informan. Data sekunder diperoleh melalui
penelusuran literatur dan data-data yang terkait dengan penelitian ini.
Populasi dari penelitian ini adalah komunitas miskin yang terdapat di
wilayah Tanah Kusir II RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dengan sampel yang digunakan
adalah anggota komunitas miskin yang berada di RT 004 RW 011 Kelurahan
28
Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi
DKI Jakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 orang.
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik incidental sampling dengan
pertimbangan bahwa tidak adanya data kependudukan yang lengkap dan memadai
mengenai komunitas tersebut di kantor pemerintahan setempat. Pemilihan
responden ini dilakukan dengan membagi lokasi penelitian menjadi empat daerah,
yaitu daerah I, daerah II, daerah III, dan daerah IV dengan titik pusat sebuah
rumah warga yang berada tepat di tengah-tengah lokasi tersebut. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kuesioner, digunakan untuk mengumpulkan data mengenai karakteristik
responden. Jenis pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner ini adalah
pertanyaan terbuka, tertutup, dan semi terbuka. Terdapat juga teknik asosiasi
kata dan metode semantik diferensial di dalam kuesioner ini.
a) Teknik Asosiasi Kata, digunakan untuk mengetahui representasi sosial
tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Melalui teknik ini,
responden diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak
mereka ketika mendengar kata KOTA dan MISKIN. Kata-kata yang
terkumpul kemudian dimasukkan dalam kelompok kata yang lebih umum
(tipe representasi sosial) untuk kemudian membentuk tipologi.
b) Metode Semantik Diferensial, digunakan untuk mengetahui representasi
sosial pada aspek sikap terhadap kota. Iskandar (2000) seperti dikutip oleh
Riduwan dan Akdon (2006) menyatakan bahwa skala semantik diferensial
berisi serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub) yang memiliki 3 dimensi
dasar sikap seseorang terhadap obyek, yaitu: potensi (kekuatan/atraksi fisik
suatu obyek), evaluasi (hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan
dari suatu obyek) dan aktifitas (tingkatan gerakan suatu objek). Pada metode
ini, responden diminta untuk menjawab atau memberikan penilaian terhadap
kota yang memiliki rentangan skor 1-5 dengan cara memberi tanda (x) pada
angka yang sesuai, seperti yang disajikan pada Gambar 2 berikut:
5
4
3
2
1
Bersih
Kotor
x
Gambar 2. Contoh Penggunaan Skala Semantik Diferensial
29
Kategori dalam semantik diferensial yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Bersih-Kotor
2) Rapih-Kumuh
3) Aman-Penuh resiko
4) Biaya murah-Biaya mahal
5) Tenang-Berisik
6) Pendapatan besar-Pendapatan kecil
7) Lahan luas-Lahan sempit
8) Pilihan pekerjaan banyak-Pilihan pekerjaan sedikit
9) Kebersamaan-Individual
10) Santai-Sibuk
11) Ramai-Sepi
12) Teratur-Berantakan
13) Bebas-Banyak aturan
Jawaban dari setiap responden tersebut kemudian ditotal dan dikelompokan
dalam rentang kelas sikap:
1. Negatif
(skor=25-35)
2. Netral
(skor=36-40)
3. Positif
(skor=41-48)
2. Wawancara Mendalam, digunakan untuk mengumpulkan data mengenai
konteks situasional yang ada pada komunitas miskin di perkotaan dan untuk
memperkaya pemahaman atas informasi yang diberikan oleh responden melalui
kuesioner. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang dinilai
dapat mewakili keseluruhan responden dan juga dilakukan terhadap informan,
yaitu ketua RT dan sekretaris RT setempat. Peneliti dibantu oleh panduan
pertanyaan seputar konteks situasional yang ada pada komunitas miskin di
perkotaan dalam melakukan proses wawancara mendalam.
3. Studi Literatur, digunakan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan
untuk melengkapi temuan dari teknik survei dan wawancara. Data yang ingin
diperoleh melalui teknik ini adalah data mengenai gambaran umum lokasi
penelitian, data kependudukan, dan literatur lainnya yang terkait dengan
penelitian ini.
30
3.4
Teknik Analisis Data
Tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis data primer, yaitu untuk
mendapatkan deskripsi tentang karakteristik individu dari komunitas miskin dan
untuk memperoleh tipologi komunitas miskin berdasarkan kesamaan representasi
sosial dan karakteristik individu yang dimilikinya. Data representasi sosial tentang
kota dan representasi sosial tentang tentang miskin yang diperoleh melalui teknik
asosiasi kata terlebih dahulu diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel
2003 sebelum disajikan dalam bentuk tabel. Pengolahan data mengenai elemen
informasi (information), keyakinan (belief), dan sikap dibantu oleh penggunaan
SPSS 16.0 for Windows untuk menentukan rentang kelas dan jumlah responden
dalam tiap-tiap kategori.
Data mengenai konteks situasional dan aspek representasi sosial berupa
elemen pendapat (opinion) dianalisis secara kualitatif. Data yang diperoleh
melalui asosiasi kata diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Kata-kata yang yang muncul dikategorikan dalam beberapa kata yang dianggap
mewakili kata tersebut. Kategori kata ini untuk selanjutnya disebut sebagai tipe
representasi sosial.
b. Masing-masing kategori (tipe) diberi kode untuk membedakannya.
c. Kata-kata yang muncul dimasukkan ke dalam kategori (tipe) yang sesuai.
d. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah responden per tipe representasi
sosial. Frekuensi jumlah responden tertinggi pada sebuah tipe merupakan acuan
untuk menjadikan tipe tersebut sebagai tipe dominan atau tipe yang paling
banyak dianut oleh komunitas miskin, baik tipe dari representasi sosial tentang
kota atau tipe dari representasi sosial tentang miskin. Selanjutnya dilakukan
pengkategorian karakteristik responden berdasarkan tipe dari representasi sosial
tentang kota dan representasi sosial tentang miskin yang dipilihnya.
31
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1
Letak dan Keadaan Fisik
Kelurahan Kebayoran Lama Selatan merupakan salah satu kelurahan yang
berada di Kecamatan Kebayoran Lama yang berbatasan dengan Kelurahan
Kebayoran Lama Utara di sebelah utara, Kelurahan Pondok Pinang di sebelah
selatan, Kelurahan Cipulir di sebelah barat, dan Kelurahan Kramat Pela di sebelah
timur. Kelurahan Kebayoran Lama Selatan terbagi atas 12 Rukun Warga (RW)
dan 132 Rukun Tetangga (RT). Salah satu Rukun Warga (RW) yang memiliki
jumlah Rukun Tetangga (RT) terbanyak adalah Rukun Warga (RW) 011, dimana
terdapat sejumlah 12 Rukun Tetangga (RT) di dalamnya.
Wilayah Tanah Kusir II RT 004 merupakan bagian dari wilayah Rukun
Warga (RW) 011 yang terbesar. Luas wilayah ini adalah 12.000 m² dengan jumlah
penduduk sebanyak 628 jiwa. Sebanyak 150 jiwa penduduk diantaranya
merupakan penduduk ilegal yang tidak memiliki kartu identitas yang tercatat di
kantor pemerintahan setempat. Penduduk yang tergolong ilegal ini umumnya
tinggal dalam satu kelompok di wilayah yang memiliki luas 3.920 m² yang oleh
masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan “kebon” atau sektor V dalam
pembagian wilayah RT setempat (Lampiran 1).
Jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas ini membuat
pengurus RT setempat membuat sebuah kebijakan yang dapat mempermudah
mereka dalam melakukan pengawasan terhadap warganya. Kebijakan tersebut
adalah dengan membagi wilayah RT ini menjadi lima sektor, yang antar sektornya
dipisahkan oleh batas-batas tertentu seperti gang, jalan ataupun lapangan.
Gambaran umum per sektornya disajikan pada Lampiran 1.
Akses jalan menuju ke wilayah ini dapat dikatakan mudah karena wilayah
Rukun Tetangga ini terletak tidak jauh dari jalan raya Arteri Pondok Indah yang
diketahui merupakan salah satu jalan utama di wilayah Jakarta Selatan dan dilalui
oleh banyak kendaraan umum. Sebagian besar jalan masuk ke wilayah ini telah
dilapisi oleh aspal, namun banyak diantaranya yang dalam kondisi rusak dan
32
masih belum diperbaiki hingga saat ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Bapak As sebagai berikut:
“Jalan di sini banyak yang rusak. Pihak RT sudah mengirim
proposal untuk perbaikan jalan ke Kelurahan, tapi sampai sekarang
belum ada tanggapan dari pihak Kelurahan.”
Fasilitas jalan yang lebih parah kondisinya ditemukan pada jalan menuju
pemukiman komunitas miskin di wilayah ini, dimana jalan yang tersedia masih
berupa tanah merah yang becek jika cuaca sedang hujan. Penerangan menuju
lokasi tersebut juga dapat dikatakan kurang. Hal ini berbeda dengan fasilitas jalan
dan penerangan yang ada di sektor I, II, III, dan IV.
Fasilitas umum lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah pasar, dimana
terdapat sebuah pasar bentukan warga setempat yang buka setiap hari mulai pukul
06.00 hingga pukul 12.00. Para penjual di pasar ini mayoritas adalah warga RT
004 sendiri, yaitu mereka yang termasuk dalam komunitas miskin di wilayah ini
dan terdapat pula penjual yang berasal dari wilayah lain. Para pembeli adalah
warga RT 004 dan warga dari Rukun Tetangga lainnya yang terdapat di sekitar
RT 004 RW 011 ini.
Fasilitas olahraga dan bermain anak yang terdapat di wilayah RT ini
adalah sebuah lapangan bulutangkis dan sebuah lapangan bola voli (Lampiran 1).
Kondisi dari kedua fasilitas bermain anak tersebut dapat dikatakan baik dan
terawat. Anak-anak maupun orang dewasa dapat menggunakan kedua fasilitas
tersebut secara cuma-cuma.
Pada umumnya komunitas miskin yang berada di sektor V hanya
menggunakan lapangan voli sebagai tempat mereka untuk berkumpul dan sebagai
tempat bermain bagi anak-anak mereka. Hal ini mereka lakukan karena lokasi
lapangan voli yang letaknya lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.
Keadaan cuaca di wilayah ini tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya
di kotamadya Jakarta Selatan, yaitu beriklim tropis dengan temperatur udara
sekitar 27,5 derajat Celcius dan kelembaban udara rata-rata 80 persen. Curah
hujan mencapai ketinggian 2.394,6 mm/tahun rata-rata sekitar 199,5 mm per hari,
yang terjadi selama 210 hari dalam setahun.6
6
http://www.bpndki.org [diakses pada tanggal 16 Juli 2010, pukul 08.30]
33
4.2
Keadaan Penduduk
Data monografi RT 004 RW 011 mencatat jumlah penduduk RT ini adalah
sebanyak 628 jiwa, yang terdiri atas 340 jiwa penduduk laki-laki (54,14 persen)
dan 288 jiwa penduduk perempuan (45,86 prsen). Jumlah tersebut terbagi dalam
197 Kepala Keluarga dan 213 pintu. Jumlah anggota per keluarga antara lain
terdiri atas tiga hingga lima orang. Jumlah warga asli (Betawi) di dalam Rukun
Tetangga ini tercatat hanya tinggal 15 keluarga. Menurut Bapak As yang menjabat
sebagai ketua RT setempat, dalam kurun waktu 4 tahun belakangan ini setiap
tahunnya berdatangan migran baru yang berjumlah 5 hingga 50 orang ke wilayah
ini. Jumlah tersebut dinilai cukup mengkhawatirkan sehingga pada tahun 2010 ini
diberlakukan larangan untuk membawa teman atau keluarga tambahan bagi para
warga setempat.
Jumlah penduduk terbesar di wilayah ini terdapat pada golongan usia 31
tahun hingga 40 tahun, dan jumlah penduduk terkecil ada pada golongan usia
lebih dari 75 tahun. Tabel 1 menggambarkan jumlah penduduk berdasarkan
golongan usia mereka, tanpa membedakan jenis kelaminnya.
Tabel 1. Jumlah Penduduk RT 004 RW 011 Kelurahan Kebayoran Lama
Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI
Jakarta Menurut Golongan Usia
Golongan umur
Jumlah (jiwa)
Jumlah (%)
0 - 10 tahun
56
9,0
11 – 20 tahun
59
9,4
21 - 30 tahun
129
20,5
31 - 40 tahun
211
33,6
41 - 50 tahun
101
16,1
51 - 60 tahun
52
8,3
61-70 tahun
16
2,5
4
0,6
628
100,0
> 70
Total
tahun
Sumber: Data Monografi RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, tahun 2009.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Rukun Tetangga ini
terbagi dalam lima sektor berbeda untuk mempermudah administrasi dan
34
pengawasan pengurus RT setempat terhadap warganya. Pada setiap sektornya
ditunjuk salah seorang warga sebagai ketua, yang disebut dengan ketua Dasa
Wisma. Tugas dari ketua tersebut adalah memantau seluruh aktivitas warga, juga
melakukan penarikan uang kas setiap bulannya. Uang kas yang telah terkumpul
kemudian diserahkan kepada ketua RT setempat untuk digunakan sebagai biaya
penyelenggaraan acara-acara RT dan sebagai dana bantuan ketika ada warga
setempat yang sedang mengalami suatu musibah.
Banyaknya jumlah penduduk dan terbaginya wilayah RT ini ke dalam lima
sektor mengakibatkan hubungan warga antara satu sektor dengan sektor yang
lainnya tidak terlalu dekat. Pada umumnya mereka bergaul dengan warga yang
berdekatan saja, meskipun dengan warga lainnya masih terbilang saling
mengenal. Misalnya yang terjadi pada komunitas miskin di sektor V. Pada
umumnya mereka hanya bergaul dengan sesama warga dari sektor yang sama.
Demikian halnya dengan warga di sektor lainnya, misalnya warga dari sektor I
yang umumnya bergaul dengan warga dari sektor II, atau warga dari sektor III
yang pada umumnya bergaul dengan warga dari sektor IV. Hal tersebut diakui
oleh Ibu Sal (55 tahun), namun ia beralasan bahwa hal tersebut terjadi karena
faktor keberadaan lokasi yang berdekatan saja. Ibu Sal (55 tahun) mengatakan
bahwa “saya dari sektor III. Memang sering bergaulnya dengan ibu-ibu dari sektor
IV, tapi itu karena tempatnya yang dekat saja.”
Banyaknya jumlah penduduk RT ini pernah menyebabkan terjadinya
konflik internal di dalam warga. Hal ini dapat terlihat melalui adanya dua buah
karang taruna yang membagi para pemuda menjadi dua kelompok. Hingga saat ini
kedua karang taruna tersebut masih belum dapat disatukan karena masih
terdapatnya perbedaan pendapat antar mereka mengenai kegiatan tarang taruna
dan warga yang berhak terlibat di dalamnya.
Mayoritas kondisi tempat tinggal dari para penduduk di wilayah Rukun
Tetangga ini dapat dikatakan telah permanen, meskipun masih terdapat beberapa
tempat tinggal yang belum permanen, dan bersifat sebagai tempat tinggal sewa
(kontrakan). Tempat tinggal-tempat tinggal yang tidak permanen tersebut
umumnya berada di lokasi penelitian dan dihuni oleh komunitas miskin yang ada
di wilayah ini. Gambaran dari tempat tinggal tersebut antara lain terbuat dari
35
triplek atau seng, beratapkan genting atau seng dan hanya terdiri atas satu hingga
tiga ruangan, dan tidak memiliki sarana MCK pribadi di setiap rumahnya.
Penggambaran tempat tinggal komunitas miskin ini disajikan dalam Lampiran 1.
4.3
Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan Penduduk
Menurut Bapak Sun yang saat ini menjabat sebagai sekretaris RT
setempat, umumnya penduduk di wilayah Rukun Tetangga ini berprofesi sebagai
pegawai swasta, seperti office boy, cleaning service, sales promotion girl/boy,
hingga pegawai pada sebuah bank. Banyak juga penduduk di wilayah ini yang
berprofesi sebagai pedagang, seperti pedagang kue putu, pedagang sayuran,
pedagang nasi goreng atau berdagang dengan membuka usaha warung kelontong.
Pada aspek tingkat pendidikan, dapat diketahui bahwa secara umum
tingkat pendidikan warga di wilayah Rukun Tetangga ini adalah setingkat SLTA
atau yang sederajat, lalu setingkat gelar Diploma 3, dan hanya terdapat beberapa
orang yang memiliki gelar setingkat strata 1 Perguruan Tinggi. Warga yang
memiliki gelar sebagai sarjana ini pada umumnya adalah warga yang bertempat
tinggal di sektor III, sedangkan yang setingkat SLTA atau yang sederajat
diketahui menyebar di seluruh sektor di wilayah ini.
Warga dari komunitas miskin yang ada di wilayah ini pada umumnya
memiliki tingkat pendidikan setara SD atau yang sederajat hingga setingkat SLTA
atau yang sederajat. Data mengenai mata pencaharian dan tingkat pendidikan
penduduk di Rukun Tetangga ini tidak didapat secara lebih terperinci karena tidak
adanya data yang lengkap mengenai keduanya di kantor pemerintahan setempat.
4.4
Kelembagaan Sosial Masyarakat
Warga di wilayah ini memiliki beberapa aktivitas yang dilakukan untuk
menjaga kekeluargaan di antara mereka. Kelompok aktivitas warga di wilayah ini
antara lain berupa arisan dan pengajian bulanan untuk para ibu, karang taruna dan
kelompok musik Hard Rock untuk para remaja, serta koperasi warga untuk
seluruh warga setempat yang umumnya dihadiri oleh para pria yang tercatat
sebagai warga RT ini.
Kelompok-kelompok aktivitas warga tersebut secara rutin mengadakan
kegiatannya setiap bulan dan pada saat-saat tertentu bagi para anggota serta
36
pengurus karang taruna. Kelompok-kelompok tersebut berada di bawah
koordinasi pengurus RT setempat. Setiap tahunnya terjadi pergantian pengurus di
dalam tubuh kelompok-kelompok kelembagaan tersebut. Hal yang sama terjadi
pula pada struktur pemerintahan setempat, dimana setiap tahunnya diadakan rapat
warga dan pemilihan ketua RT serta pengurus RT yang baru. Pemilihan ketua dan
pengurus RT ini biasanya dilakukan secara musyawarah hingga terpilihnya ketua
RT yang baru.
Pada musyawarah tersebut, biasanya yang dicalonkan atau diajukan
pertama kali sebagai ketua RT yang baru adalah warga yang sudah bertempat
tinggal cukup lama di wilayah tersebut. Hal ini dilakukan sebagai sebuah bentuk
penghormatan kepada warga tersebut yang dinilai sudah mengerti dengan keadaan
masyarakat setempat. Jika warga yang diajukan tersebut bersedia, maka telah
terpilihlah seorang ketua RT baru, namun jika warga tersebut tidak bersedia, maka
dilakukan musyawarah lanjutan hingga terpilih seorang warga sebagai ketua RT.
Pada kegiatan rapat warga yang diselenggarakan oleh pengurus RT
setempat, pada umumnya warga dari komunitas miskin di wilayah ini ikut
menghadirinya, namun tidak demikian dengan kegiatan RT lainnya seperti arisan
atau pengajian bulanan untuk para ibu atau koperasi untuk para pria. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh salah seorang warga berikut:
“Di sini ada pengajian bulanan untuk ibu-ibu di pengajiannya Ibu
Masrifah. Orang kebon sih ada yang datang, tapi paling cuma
sedikit. Mereka jarang ikut.” (Ibu Sal, 55 tahun)
Sementara itu, meskipun terbilang jarang mengikuti kegiatan rutin warga
setempat, komunitas miskin ini tetap sering berkumpul karena mereka juga
mengadakan kegiatan serupa di wilayah lingkungan mereka, seperti pengajian
untuk kaum pria setempat yang rutin diadakan setiap Kamis malam setiap
minggunya. Hal ini diketahui lewat pengakuan Bapak As berikut ini:
“Di sini ada pengajian tiap malam Rabu untuk semua warga yang
mau ikut, juga ada tiap malam Jumat buat bapak-bapak di wilayah
ini saja.”
37
BAB V
KARAKTERISTIK KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN
5.1
Karakteristik Individu dalam Komunitas Miskin di Perkotaan
Karakteristik komunitas miskin di perkotaan dapat diidentifikasi melalui
karakteristik tiap individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Karakteristik
individu yang diteliti terdiri atas sepuluh elemen, yaitu usia, jenis kelamin, jenis
pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama tinggal di lokasi, tahun
datang ke kota, tempat tinggal pertama kali di kota, frekuensi pulang kampung
dan alasan datang ke kota.
5.1.1
Usia
Tabel 2 di bawah ini menggambarkan keberadaan responden berdasarkan
tingkat usia yang dimilikinya. Usia responden ini terbagi atas lima kelompok usia
seperti yang tercantum berikut ini.
Tabel 2. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Kelompok Usia
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
< 25 tahun
7
17,5
25-34 tahun
4
10,0
35-44 tahun
15
37,5
45-54 tahun
8
20,0
> 54 tahun
6
15,0
40
100,0
Total
Tabel 2 tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar responden berusia
antara 35 hingga 44 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok usia
produktif, dimana pada masa tersebut orang-orang cenderung memiliki fisik
masih sangat mendukung untuk bekerja keras dan mencari pengalamanpengalaman baru.
Sebagian besar responden tersebut melakukan migrasi desa-kota pada saat
berusia belasan hingga dua puluh tahunan meskipun saat ini berusia antara 35
hingga 44 tahun. Kenyataan tersebut sesuai dengan pernyataan dari Todaro dan
38
Stilkind (1985) yang mengatakan bahwa sebagian besar pelaku migrasi desa-kota
adalah orang-orang yang berusia dua puluh tahunan, yaitu kelompok umur yang
paling aktif untuk membentuk rumahtangga baru. Salah satu responden yang
melakukan migrasi desa-kota pada saat usianya 20 tahun adalah Ibu Yat (36
tahun). Ibu Yat (36 tahun) mengatakan bahwa “waktu pindah ke kota umur saya
20 tahun. Tujuannya untuk cari kerja dan waktu itu saya langsung jadi pembantu
disini.”
5.1.2
Jenis Kelamin
Tabel 3 berikut ini adalah tabel yang memuat data mengenai jumlah dan
karakteristik responden penelitian berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel
3, dapat dilihat bahwa perempuan mendominasi jumlah responden yang ada.
Tabel 3. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
Laki-Laki
15
37,5
Perempuan
25
62,5
Total
40
100,0
Mendominasinya jumlah responden perempuan ini antara lain disebabkan
oleh kurang beraninya kaum laki-laki dalam menjawab pertanyaan yang ada. Hal
ini antara lain karena sebagian kaum laki-laki menganggap dirinya tidak berhak
untuk mengisi kuesioner karena pada umumnya mereka tidak bekerja, seperti
yang diungkapkan oleh salah seorang warga di sana ketika ingin dimintai ijin
untuk mengisi kuesioner. Bapak NN mengatakan bahwa “mintanya sama ibu saja
ya, mba. Ibu yang tahu, kan ibu yang kerja. Saya mah ga bisa jawab.”
Hal lain yang menyebabkan terjadinya dominasi responden perempuan
terhadap responden laki-laki adalah karena pada sore hari sebagian kecil lainnya
dari kaum laki-laki ini sudah bersiap untuk bekerja sehingga mereka tidak
bersedia untuk mengisi kuesioner yang diberikan. Sebagian kecil dari laki-laki itu
adalah para pedagang nasi goreng yang umumnya bekerja pada sore hingga
malam hari dan beristirahat pada pagi hingga siang hari. Data mengenai jenis
pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 4 di dalam sub bab berikutnya.
39
5.1.3
Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh komunitas miskin di perkotaan
terbagi menjadi lima kelompok pekerjaan, yaitu pedagang eceran kaki lima,
penyediaan makanan keliling, jasa perorangan, jasa profesional dan pekerjaan
lainnya. Pengelompokan ini berdasar pada hasil yang didapatkan melalui
pengisian kuesioner dan berdasar pada Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik
No. 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. 7
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia menyebutkan bahwa
pedagang eceran kaki lima adalah golongan pedagang eceran dari berbagai jenis
produk baru atau bekas yang biasanya kiosnya dapat dipindah-pindah sepanjang
jalan umum (kaki lima) atau pada tempat pasar yang tetap.8 Penyediaan makanan
keliling merupakan kelompok usaha perdagangan eceran yang menjual dan
menyajikan makanan siap dikonsumsi, yang didahului dengan proses pembuatan
dan biasanya dijual dengan cara berkeliling.9
Jasa perorangan adalah kegiatan yang memanfaatkan jasa perorangan
dalam melayani rumahtangga, dan kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa
oleh rumahtangga yang digunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan.10 Jasa
profesional adalah berbagai kegiatan jasa yang umumnya dilakukan untuk klien
komersial. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan yang membutuhkan tingkat
keahlian profesional, ilmiah dan keahlian secara teknis yang lebih, tetapi tidak
termasuk yang terus menerus, bisnis rutin yang fungsi yang biasanya berjangka
pendek.11
Kelompok lainnya adalah jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan responden
saat ini, yang berada di luar pekerjaan yang telah disebutkan di atas. Lima
kelompok jenis pekerjaan responden tersebut beserta rincian setiap pekerjaan
yang dilakukan oleh setiap responden saat ini tercantum dalam Tabel 4.
7
http://www.bps.go.id/download_file/kbli_2009.pdf [ diakses pada 23 September 2010, pukul
17.00]
8
Ibid., hal 382.
9
Ibid., hal 439
10
Ibid., hal 640
11
Ibid., hal 513
40
Tabel 4. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
1. Pedagang sayuran
2
5,0
2. Usaha warung kelontong
1
2,5
3. Pedagang balon
1
2,5
Sub Total
4
10,0
1. Pedagang ayam matang
1
2,5
2. Pedagang bakso/mie ayam
2
5,0
3. Pedagang gorengan
1
2,5
4. Pedagang kue putu
3
7,5
5. Pedagang nasi goreng
4
10,0
6. Pedagang nasi rames
1
2,5
7. Pedagang pecel
1
2,5
13
32,5
1. Pembantu Rumah Tangga (PRT)
4
10,0
2. Buruh bangunan
2
5,0
Sub Total
6
15,0
1. Security
1
2,5
2. Sales Promotion Girl (SPG)
1
2,5
3. Penjahit
1
2,5
4. Montir
2
10,0
5. Cleaning service
2
10,0
6. Buruh pabrik
1
2,5
Sub Total
8
30,0
1. Pengamen
1
2,5
2. Menganggur
8
20,0
Sub Total
9
22,5
40
100,0
Pedagang eceran kaki lima
Penyediaan makanan keliling
Sub Total
Jasa perorangan
Jasa profesional
Lainnya
Total
41
Berdasarkan Tabel 4, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden, yaitu sebesar 60,0 persen umumnya bekerja pada pekerjaan sektor
informal dan terdapat pula 20,0 persen responden yang menganggur. Sebagian
besar responden yang menganggur ini adalah ibu rumahtangga yang melakukan
migrasi desa-kota dengan alasan untuk mengikuti suami. Sebagian lainnya tidak
bekerja dengan alasan bahwa diri mereka tidak memiliki keterampilan bekerja
sama sekali.
Pada umumnya komunitas miskin ini sering berpindah-pindah pekerjaan.
Hal tersebut mereka lakukan untuk memperoleh peluang pekerjaan dan
penghasilan yang lebih baik pada pekerjaan yang berbeda. Responden yang
awalnya bekerja di sektor informal biasanya akan terus bekerja di sektor informal,
meskipun jenis pekerjaannya berbeda, seperti yang dilakukan oleh Aln (16 tahun).
Pada awal perpindahannya ke kota, ia bekerja sebagai pemulung, lalu berganti
menjadi pedagang balon dan kemudian menjadi pedagang kue putu. Kebanyakan
anggota komunitas miskin ini berpindah hingga lima kali dalam bekerja, namun
terdapat pula responden yang melakukan perpindahan pekerjaan hingga delapan
kali, seperti responden berikut ini.
“Saya kerja di kota dari tahun 1986. Awalnya saya jualan koran,
terus jualan bakso, terus ganti jual mie ayam, terus usaha saya
kembangin jadi jualan bakso dan mie ayam, terus jual mie ayam lagi,
setelah itu ganti jadi jual nasi goreng. Tahun 2006 saya sempat
berhenti usaha karena mengalami kecelakaan. Baru tahun ini saya
mulai jualan lagi, jualan bakso dan mie ayam.” (Bpk. Rst, 56 tahun)
Demikian pula yang dilakukan oleh para responden yang pada awal
kepindahannya ke kota bekerja pada pekerjaan sektor formal, biasanya mereka
akan terus bekerja pada pekerjaan sektor formal seperti cleaning service, buruh
pabrik, Sales Promotion Girl (SPG), atau pekerjaan sektor formal lainnya. Hal ini
mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa jika mereka bekerja di
pekerjaan sektor formal, mereka akan mendapatkan penghasilan yang lebih pasti
setiap bulannya. Selain itu, hal yang membuat mereka yakin untuk bekerja di
sektor formal adalah karena tingkat pendidikan mereka yang umumnya lebih
tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan responden yang hanya
mampu bekerja di sektor informal. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
responden yang bekerja di sektor formal adalah setingkat SLTP atau yang
42
sederajat dan setingkat SLTA atau yang sederajat. Mengenai pekerjaan sektor
formal ini, Bapak Byr (40 tahun) mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut.
“Kerja di kantoran mah enak,mba. Setiap bulan gajinya pasti, ga
kayak orang jualan yang kadang dapat uang, kadang ga dapat sama
sekali. Tapi ya resikonya kalau kerja kantoran, kita mesti benarbenar kerjanya,mba. Kalau ga benar ya cepat kena PHKnya.”
Terdapatnya 60,0 persen responden yang bekerja di sektor informal ini
menunjukan bahwa sebagian besar anggota komunitas miskin tidak mampu untuk
memasuki pekerjaan sektor formal. Hal ini senada dengan pernyataan Hugo
(1985) yang menyatakan bahwa sebagian besar migran dari desa tidak mampu
untuk memasuki pekerjaan di sektor modern.
Seringnya komunitas miskin ini melakukan perpindahan kerja terkait pula
dengan lamanya masa kerja mereka di kota. Berdasarkan hasil yang diperoleh,
maka lamanya komunitas miskin ini bekerja di kota tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja di Kota
Lama bekerja (tahun)
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
< 12 tahun
20
50,0
12-24 tahun
13
32,5
> 24 tahun
7
17,5
40
100,0
Total
Berdasarkan Tabel 5 tersebut, maka dapat diketahui bahwa mayoritas
responden belum genap 12 tahun bekerja di kota. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa setiap tahunnya responden berpindah pekerjaan hingga beberapa kali. Hal
ini karena pada umumnya pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan sektor
informal yang berpenghasilan kecil dan tidak menentu. Responden yang
umumnya masih dalam kelompok usia produktif ini masih ingin mencari
pekerjaan yang lebih baik untuk memperbaiki kehidupan mereka, dengan cara
berpindah ke pekerjaan lainnya yang mereka anggap lebih menguntungkan dari
pekerjaan mereka sebelumnya.
Tidak mengherankan jika pekerjaan yang dilakukan oleh mayoritas
responden adalah pekerjaan sektor informal. Hal ini karena pekerjaan sektor
informal biasanya tidak memerlukan keterampilan kerja yang memadai dan tidak
43
harus berpendidikan tinggi. Data mengenai tingkat pendidikan responden dapat
dilihat pada Tabel 6.
5.1.4
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan tertinggi yang dimiliki oleh responden adalah
setingkat SLTA atau yang sederajat. Tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau
yang sederajat merupakan kelompok tingkat pendidikan yang paling banyak
dimiliki oleh responden, yaitu sebanyak 21 orang responden atau 52,5 persen dari
keseluruhan responden yang ada. Bahkan, dari keseluruhan responden tersebut
masih terdapat responden yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan (12,5
persen).
Beragam alasan muncul ketika responden ditanya mengenai tingkat
pendidikannya yang masih terbilang rendah. Pada umumnya mereka mengatakan
bahwa orangtua mereka tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan mereka.
Pendidikan mayoritas responden yang rendah ini sesuai dengan pernyataan
Sethuraman (1981) dalam Ramli (1992) yang menyatakan bahwa salah satu ciri
dari komunitas miskin yang bekerja pada sektor informal adalah berpendidikan
rendah. Karakteristik individu berdasarkan tingkat pendidikan yang dimilikinya
disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
5
12,5
21
52,5
SLTP atau yang sederajat
8
20,0
SLTA atau yang sederajat
6
15,0
40
100,0
SD atau yang sederajat
Total
5.1.5
Tingkat Pendapatan
Terkait dengan tingkat pendidikan mayoritas responden yang tergolong
rendah dan pekerjaan yang umumnya berada di sektor informal, maka tidak
mengherankan jika tingkat pendapatan yang diperoleh responden dari pekerjaan
44
yang mereka lakukan pun tergolong rendah. Tabel 7 berikut menggambarkan
keberadaan responden berdasarkan tingkat pendapatan yang dimilikinya.
Tabel 7. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Tingkat Pendapatan (Rp)
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
6
15,0
300 000-600 000
22
55,0
600 001-900 000
5
12,5
900 001-1 200 000
3
7,5
> 1 200 000
4
10,0
40
100,0
< 300 000
Total
Berdasarkan Tabel 7 tersebut, dapat terlihat bahwa mayoritas anggota
komunitas miskin di wilayah ini berpenghasilan antara Rp. 300.000,00 hingga Rp.
600.000,00 dalam satu bulan sebelum penelitian ini dilakukan. Nilai nominal
penghasilan responden satu bulan terakhir ini mencerminkan pula tingkat
penghasilan mereka setiap bulannya. Tingkat penghasilan ini tergolong sangat
rendah dan berada jauh di bawah Upah Minimum Propinsi yang berlaku di
wilayah setempat, yaitu sebesar Rp. 1.118.009,00 (Peraturan Gubernur Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, No. 167 Tahun 2009 Tentang Upah Minimum
Provinsi Tahun 2010).12 Kecilnya tingkat penghasilan yang diperoleh ini sesuai
dengan hasil penelitian Jayanti (2007) yang menemukan bahwa di Kelurahan
Lemahputro, Sidoardjo, Jawa Timur, orang miskin bekerja di sektor-sektor
informal seperti pedagang, kuli panggul yang pekerjaannya tidak pasti, pedagang
kecil-kecilan yang modalnya sedikit maupun sebagai asisten rumahtangga (PRT)
dengan penghasilan yang berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 550.000,00
per bulan.
Hanya terdapat 4 orang responden yang berpenghasilan di atas Rp.
1.200.000,00 pada satu bulan sebelum penelitian berlangsung. Responden yang
berada pada golongan responden berpenghasilan paling tinggi ini pada umumnya
12
http://go2.wordpress.com/?id=725X1342&site=allows.wordpress.com&url=http%3A%2F%2Fal
lows.files.wordpress.com%2F2009%2F12%2Fsk_ump_2010.pdf&sref=http%3A%2F%2Fallows.
wordpress.com%2F2009%2F12%2F08%2Fsk-upah-minimum-propinsi-dki-jakarta-2010%2F
[diakses pada 23 September 2010, pukul 08.05]
45
telah bertempat tinggal antara 1 hingga 28 tahun di lokasi penelitian dan telah
berganti profesi lebih dari dua kali selama mereka tinggal di kota. Penghasilan
yang tinggi ini tidak serta merta menandakan bahwa mereka adalah golongan
masyarakat mampu. Hal ini karena pekerjaan yang dilakukan adalah pedagang
yang pendapatannya tidak menentu setiap harinya dan penghasilan yang didapat
oleh responden ini digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga mereka yang
pada umumnya terdiri atas tiga hingga lima orang dalam satu keluarga.
5.1.6
Lama Tinggal di Lokasi
Tabel 8 merupakan tabel frekuensi yang menggambarkan jumlah
responden berdasarkan jangka waktu keberadaan mereka di lokasi penelitian.
Lama tinggal di lokasi ini terbagi dalam empat kelompok waktu yang berbeda.
Tabel 8. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Waktu Lama Tinggal
di Lokasi
Waktu Tinggal
<8
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
tahun
17
42,5
8-15 tahun
7
17,5
16-23 tahun
6
15,0
> 23 tahun
10
25,0
Total
40
100,0
Tabel 8 memperlihatkan bahwa 60,0 persen responden merupakan migran
baru yang tinggal di lokasi selama 1 hingga 15 tahun terakhir. Menurut Bapak As
selaku ketua RT setempat, selama 4 tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi
pertambahan penduduk hingga sebesar 8 persen per tahunnya atau hingga
sebanyak 50 orang migran yang datang karena mengikuti teman atau saudaranya
yang telah lebih dulu bertempat tinggal di wilayah ini.
Data tersebut mengindikasikan bahwa fenomena migrasi desa-kota masih
marak terjadi hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Todaro dan
Stilkind (1985) yang menyebutkan bahwa urbanisasi tetap terjadi sekalipun pada
kenyataannya kota-kota besar sudah tidak mampu lagi menyediakan pelayanan
sanitasi, kesehatan, perumahan dan transportasi lebih dari yang minimal kepada
penduduknya yang sangat padat itu.
46
5.1.7
Tahun Datang Ke Kota
Sebagian besar migran yang bertempat tinggal di wilayah ini masih berasal
dari dalam Pulau Jawa, yaitu berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Berdasarkan data yang telah terkumpul, dapat diketahui bahwa
sebanyak 13 orang responden atau sebesar 32,5 persen datang ke kota antara
tahun 2001 hingga tahun 2010. Hal ini sesuai dengan hasil sebelumnya yang
menyatakan bahwa sebagian besar responden di lokasi ini merupakan migran
yang baru bertempat tinggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun dan belum genap
12 tahun bekerja di kota.
Setiap periode tahunnya, jumlah migran yang datang ke lokasi ini relatif
tidak jauh berbeda. Migran yang datang antara tahun 1970 hingga tahun 1980
adalah mereka yang merupakan cikal bakal terjadinya komunitas miskin saat ini.
Menurut Bapak As selaku ketua RT setempat, membanjirnya jumlah migran di
lokasi ini adalah pada periode tahun 1990-an. Berikut merupakan petikan
wawancara dengan Bapak As mengenai hal tersebut:
“Pendatang yang paling banyak datang adalah pada tahun 1990-an.
Waktu itu per orang yang pulang kampung bisa bawa sampai 5
orang waktu pulang lagi ke sini. Mulai saat itu, di sini jadi ramai.”
Karakteristik responden berdasarkan tahun datang ke kota disajikan dalam
Tabel 9. Periode tahun kedatangan responden ke kota ini pada akhirnya
berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota pada setiap
responden.
Tabel 9. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tahun Pertama Kali
Datang ke Kota
Tahun Datang ke Kota
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
1970-1980
11
27,5
1981-1990
9
22,5
1991-2000
7
17,5
2001-2010
13
32,5
Total
40
100,0
47
5.1.8
Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota
Saat pertama kali datang ke kota, sebagian kecil anggota komunitas miskin
ini langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Hal ini mereka lakukan karena
mereka mendengar kabar dari teman atau saudara mereka mengenai keadaan
lokasi ini sebelum melakukan migrasi desa-kota. Berdasarkan kabar yang
didengarnya, mereka dapat menyimpulkan bahwa bertempat tinggal di wilayah ini
cukup nyaman untuk mereka dan dapat menguntungkan bagi mereka yang akan
berdagang sebab wilayah adalah wilayah berpenduduk padat. Migran yang
memutuskan untuk langsung bertempat tinggal di lokasi ini terdiri atas migran
baru dan migran lama, yaitu mereka yang melakukan migrasi desa-kota antara 2
hingga 24 tahun yang lalu.
Hal yang berbeda terjadi pada 72,5 persen responden lainnya. Mereka
tidak langsung memilih untuk bertempat tinggal di lokasi ketika pertama kali
melakukan migrasi desa-kota, melainkan tersebar di wilayah-wilayah lainnya,
seperti di kota Cirebon, Bekasi dan di seluruh penjuru provinsi DKI Jakarta.
Sebanyak 42,5 persen dari 72,5 persen responden ini merupakan migran yang
awalnya bertempat tinggal di wilayah yang tidak jauh dari lokasi penelitian.
Mengenai hal ini, Bapak As mengatakan bahwa:
“Sebagian warga di sini adalah mereka yang tadinya tinggal di
daerah sekitar sini juga, misalnya di Gandaria. Dulu ada
pembongkaran rumah-rumah dan mereka ga mampu untuk bangun
lagi. Karena dagangnya keliling dan sering mangkal di sini,
makanya mereka mutusin untuk pindah ke sini.” (Bapak As)
Tabel 10. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Tinggal
Pertama Kali di Kota
Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
Langsung bertempat tinggal di lokasi
11
27,5
Tidak langsung bertempat tinggal di
29
72,5
40
100,0
lokasi
Total
Saat pertama kali datang ke kota, umumya responden tinggal dengan
saudara atau teman mereka. Lokasi tempat tinggal pertama responden di kota
terdapat dalam Tabel 11.
48
Tabel 11. Lokasi Tempat Tinggal Pertama Responden di Kota
Nama Lokasi
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
Jakarta Selatan
1. Tanah Kusir II RT 004 RW 011
11
27,5
2. Tanah Kusir II RT 003 RW 011
2
5,0
3. Tanah Kusir II RT 009 RW 009
1
2,5
4. Tanah Kusir II RT 010 RW 009
1
2,5
5. Tanah Kusir II RT 011 RW 009
4
10,0
6. Tanah Kusir III
3
7,5
7. Kebayoran Lama
1
2,5
8. Kebayoran Baru
1
2,5
9.Gandaria Utara
1
2,5
10. Radio Dalam
3
7,5
11. Senayan
1
2,5
12 Tebet Timur
1
2,5
13. Cilandak
1
2,5
14. Pancoran
1
2,5
1
2,5
1
2,5
1. Cawang
1
2,5
2. Klender
1
2,5
1. Kemayoran
1
2,5
2. Lapangan Banteng
1
2,5
1. Bekasi
1
2,5
2. Kota Cirebon
1
2,5
40
100,0
Jakarta Barat
1. Cengkareng
Jakarta Utara
1. Tanjung Priuk
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Lainnya
Total
49
5.1.9
Frekuensi Pulang Kampung
Tabel 12 berikut menggambarkan kejadian pulang kampung yang
dilakukan oleh responden. Kejadian pulang kampung yang dilakukan ini terbagi
atas empat kelas yang dibentuk berdasarkan tingkat keseringan responden
melakukan pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian
dilangsungkan.
Tabel 12. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Pulang
Kampung dalam Satu Tahun Terakhir
Frekuensi Pulang Kampung dalam
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
Tidak pernah pulang kampung
16
40,0
1-2 kali
12
30,0
3-4 kali
9
22,5
> 4 kali
3
7,5
40
100,0
Satu Tahun Terakhir
Total
Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
(70,0 persen) memiliki frekuensi pulang kampung yang rendah. Sebanyak 40
persen diantaranya tidak melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu tahun
terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan. Mereka beralasan bahwa untuk
melakukan aktivitas pulang kampung ini tidak sedikit biaya yang harus mereka
keluarkan, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari di
kota saja mereka sering merasa kekurangan. Alasan lainnya adalah bahwa mereka
sudah tidak memiliki orangtua atau keluarga di desa, sehingga mereka
beranggapan bahwa aktivitas pulang kampung tidak harus mereka lakukan rutin
setiap tahunnya, bahkan pada waktu hari raya keagamaan berlangsung. Hal ini
seperti yang diungkapkan oleh Ibu Naf (54 tahun), yang mengatakan bahwa
“setahun kemarin ibu ga pulang kampung. Lebaran juga ga pulang, soalnya ga
punya uang.”
Terdapat sebagian kecil responden (7,5 persen) yang melakukan aktivitas
pulang kampung yang tinggi, yaitu lebih dari empat kali dalam satu tahun terakhir
ini. Mereka yang ada dalam kelompok ini pada umumnya adalah mereka yang
tinggal seorang diri di kota untuk bekerja, memiliki istri dan anak di daerah asal
50
mereka. Mereka beranggapan bahwa aktivitas pulang kampung merupakan suatu
kewajiban dan tanggungjawab mereka terhadap keluarga yang masih ada di desa,
sehingga pada umumnya mereka melakukan aktivitas ini setiap satu atau dua
bulan sekali. Bapak Dm (46 tahun) merupakan salah satu dari responden yang
frekuensi pulang kampungnya tergolong tinggi.
“Satu tahun terakhir ini saya pulang kampung sudah 10 kali, mba.
Setiap satu bulan atau dua bulan saya pulang kampung, soalnya istri
sama anak masih pada di sana, mba. Jadi kewajiban saya untuk
pulang kampung kan gede.”
5.1.10 Alasan Datang ke Kota
Berbagai macam hal dijadikan sebagai alasan oleh komunitas miskin
dalam
melakukan
migrasi
desa-kota.
Alasan-alasan
tersebut
kemudian
digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu ingin mencari pekerjaan, mencari
pengalaman, ikut orangtua, dan ikut suami. Frekuensi dari alasan-alasan tersebut
disajikan secara lebih terperinci dalam Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Datang ke
Kota
Alasan Datang ke Kota
Ingin mencari pekerjaan
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
29
72,5
Mencari pengalaman
2
5,0
Ikut orangtua
2
5,0
Ikut suami
7
17,5
40
100,0
Total
Tabel 13 tersebut memperlihatkan bahwa hingga saat ini masyarakat desa
masih menganggap kota sebagai tempat yang potensial untuk mencari nafkah.
Pada umumnya komunitas miskin ini berharap bahwa dengan bekerja atau
bertempat tinggal di kota, kehidupan mereka akan berubah menjadi lebih baik dari
kehidupan mereka ketika masih bekerja dan bertempat tinggal di desa. Hal ini
sesuai dengan pendapat Todaro dan Stilkind (1985) yang antara lain menyatakan
bahwa orang-orang desa melakukan migrasi desa-kota karena tertarik oleh
harapan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang tinggi.
Pandangan yang positif dari masyarakat desa ketika ingin melakukan
migrasi desa-kota ini antara lain disebabkan oleh gambaran positif tentang kota
51
yang mereka peroleh baik melalui media ataupun dengan melihat kehidupan
sehari-hari dari orang kota. Anggapan yang positif ini tidak selamanya bertahan
ketika seseorang telah benar-benar melakukan migrasi desa-kota. Banyak dari
mereka yang kecewa karena kehidupan yang mereka jalani di kota tidak seperti
yang mereka bayangkan sebelumnya.
“Banyak orang berpendapat bahwa kota itu tempat orang-orang
dengan mudah mencari kehidupan yang layak tetapi kenyataannya
sebaliknya, sangat sulit.” (Byr, 40 tahun)
5.2
Ikhtisar
Karakteristik anggota komunitas miskin di perkotaan antara lain berada
pada rentang usia di bawah 25 tahun hingga lebih dari 54 tahun, dengan sebagian
besar berada pada rentang usia 35 hingga 44 tahun dan nampaknya mayoritas dari
mereka berjenis kelamin perempuan. Mengenai variabel jenis kelamin, deperlukan
penelitian lebih lanjut mengingat metode penarikan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik incidental sampling, dimana tidak setiap individu
memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih.
Pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah pekerjaan di sektor
informal, yaitu dalam bidang
penyediaan makanan keliling. Masa lamanya
komunitas miskin bekerja di kota adalah 2 hingga 37 tahun dengan ragam jenis
pekerjaan yang pernah dilakukan adalah hingga 8 jenis pekerjaan. Tingkat
pendidikan anggota komunitas miskin di perkotaan adalah setingkat SD atau yang
sederajat hingga setingkat SLTA atau yang sederajat, namun dominan anggota
komunitas miskin berpendidikan setingkat SD atau yang sederajat.
Tingkat pendapatan yang diperoleh anggota komunitas miskin di
perkotaan berkisar antara Rp. 100.000,00 hingga Rp. 1.500.000,00 per bulannya,
namun kebanyakan anggota komunitas miskin memperoleh pendapatan yang
terbilang rendah, yaitu berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per
bulan. Secara keseluruhan komunitas miskin melakukan migrasi desa-kota antara
tahun 1970 hingga tahun 2010, namun kebanyakan dari mereka melakukan
migrasi desa-kota pada rentang waktu 2001 hingga 2010. Lama waktu tinggal
komunitas miskin di lokasi adalah antara 1 hingga 30 tahun, dengan mayoritas
waktu adalah kurang dari 8 tahun
52
Sebagian besar responden memilih lokasi di luar lokasi penelitian yang
umumnya berada tidak jauh dari lokasi penelitian sebagai tempat tinggal pertama
mereka di kota. Kebanyakan anggota komunitas miskin ini tidak pernah
melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum
penelitian ini dilakukan (40,0 persen).
Alasan yang dimiliki oleh komunitas miskin dalam melakukan migrasi
desa kota antara lain ingin mencari pekerjaan, mencari pengalaman, ikut orangtua
dan ikut suami. Alasan ingin mencari pekerjaan merupakan alasan yang paling
banyak dikatakan oleh komunitas miskin di perkotaan (72,5 persen).
53
BAB VI
KONTEKS SITUASIONAL MASYARAKAT
6.1
Kondisi Lingkungan
Selama bertempat tinggal di lokasi, komunitas miskin ini tinggal di daerah
padat penduduk dan tergolong kumuh. Rumah yang mereka tempati adalah rumah
kontrakan yang terdiri atas satu hingga tiga ruangan, terbuat dari seng atau triplek
yang pada umumnya tidak dilengkapi dengan sarana MCK. Rumah-rumah
tersebut hanya memiliki peralatan standar dan sederhana seperti televisi berukuran
14 inci yang digunakan sebagai sarana hiburan di waktu senggang responden dan
rice cooker yang digunakan untuk menanak nasi. Bahkan beberapa rumah yang
hanya terdiri atas satu ruangan dan terbuat dari seng umumnya tidak memiliki
peralatan elektronik seperti televisi di dalam rumah mereka.
Lokasi dimana rumah-rumah seng yang hanya terdiri atas satu ruangan ini
berada, umumnya lebih kumuh daripada lokasi dimana rumah yang terdiri atas
dua hingga tiga ruangan dan terbuat dari triplek berada. Jalan yang tersedia di
lokasi ini masih terbuat dari tanah merah, sementara di lokasi lainnya telah
dilapisi oleh semen meskipun keadaannya rusak. Lokasi tempat tinggal yang
terbuat dari seng dan hanya terdiri atas satu ruangan disebut dengan daerah II,
sementara lokasi dimana rumah dengan dua atau tiga ruangan berada disebut
dengan daerah IV. Rumah-rumah di lokasi ini, baik lokasi I, II, III, atau IV
umumnya hanya dilengkapi oleh listrik yang berdaya kecil yang hanya mampu
menyuplai beberapa peralatan elektronik saja. Penggunaan listrik ini pun harus
dibagi dengan rumah-rumah lainnya di sekitarnya. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh seorang responden berikut ini:
“Listrik mah harus bagi-bagi,mba. Harus gantian. Kalau ada yang
masak nasi pakai rice cooker aja, pasti konslet. Jadi harus pinterpinter pakai listriknya.” (Ibu Sun, 38 tahun)
Akses jalan menuju lokasi ini dapat dikatakan masih buruk. Jalan masuk
masih berupa tanah merah yang becek ketika cuaca sedang hujan dan hanya
terdapat sebagian kecil jalan umum di lokasi ini yang sudah dilapisi oleh semen,
namun keadaannya pun terbilang buruk (Lampiran 1).
54
Sanitasi yang terdapat di lokasi ini pun terbilang buruk. Kondisi MCK
yang tersedia antara lain terbuat dari seng atau triplek yang ditutupi oleh karung
beras sebagai pintunya dan terdiri atas wc jongkok yang terbuat dari semen, tanpa
disediakan bak penampungan air. Jika komunitas miskin ini ingin menggunakan
fasilitas MCK tersebut, maka komunitas miskin harus membawa air dalam ember
yang berasal dari dua buah sumur yang tersedia ke lokasi MCK setempat. Dua
buah sumur yang tersedia itu juga digunakan oleh warga setempat untuk mencuci
dan menjadi sumber air minum mereka. Berdasarkan kondisi yang ada tersebut,
maka tidak mengherankan jika lokasi MCK terlihat jorok dan mengeluarkan bau
yang tidak sedap (Lampiran 1).
Tempat pembuangan sampah yang digunakan oleh warga dari komunitas
miskin ini adalah tempat pembuangan sampah umum yang disediakan oleh
pengurus RT setempat. Lokasi tempat pembuangan sampah ini terletak tidak jauh
dari lokasi tempat tinggal mereka.
Anggota komunitas miskin di wilayah ini biasanya tinggal secara
berkelompok dengan anggota komunitas miskin lainnya yang berasal dari daerah
yang sama atau berkumpul dengan mereka yang memiliki profesi yang sama.
Sebagai contoh, pada daerah II, mayoritas warga di sana adalah para pedagang
kue putu, pedagang sayur dan pedagang nasi goreng yang berasal dari daerah
Tegal, Jawa Tengah. Hal ini mereka lakukan agar merasa memiliki saudara di
kota dan menurut mereka tinggal berkelompok seperti itu memudahkan mereka
untuk meminta bantuan jika sedang mengalami kesulitan di kota. Kenyataan yang
ada ini sesuai dengan pendapat Handlin (1959) dalam Ramli (1992) yang
mengatakan bahwa migran tertentu akan berhubungan dengan orang-orang yang
mempunyai kesamaan etnis dengannya dan akan menjadi sarana dalam
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru di perkotaan. Berikut pernyataan
dari salah seorang responden yang memilih untuk tinggal bersama warga lainnya
yang berasal dari daerah yang sama.
“Tinggal di kota (Jakarta) sama orang-orang satu kampung enak,
jadi ngerasa punya saudara, ada yang bantu kalau lagi ada
masalah.” (Rmn, 22 tahun)
Karena pekerjaan mereka yang mayoritas berada pada sektor informal,
maka waktu bekerja mereka pun berbeda dengan masyarakat lainnya yang bekerja
55
pada sektor formal. Pada umumnya warga di lokasi ini bekerja mulai dari pukul
02.00 dini hari hingga pukul 12.00 siang. Mereka ini adalah kaum perempuan
yang berprofesi sebagai penjual makanan keliling dan penjual sayur. Kaum lakilaki yang kebanyakan berprofesi sebagai penjual makanan seperti nasi goreng
memulai aktivitasnya pada pukul 16.00 hingga pukul 00.00. Situasi ini membuat
komunitas miskin beristirahat pada siang hari dan pada sore hari mereka
berkumpul dengan warga lainnya untuk sekedar berbincang-bincang atau bersiap
memulai aktivitas bagi kaum laki-laki.
Kondisi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing anggota komunitas
miskin tersebut berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota
yang berbeda pada diri masing-masing anggota komunitas miskin. Sebagai
contoh, lokasi tempat tinggal anggota komunitas miskin di daerah II yang lebih
kumuh dari daerah lainnya telah membentuk representasi sosial yang cenderung
negatif pada anggota komunitas miskin di daerah tersebut, seperti kota adalah
tempat yang tidak nyaman (tipe III) atau kota adalah tempat hidup susah (tipe II).
Begitupun sebaliknya, kondisi lingkungan yang menurut responden baik juga
membentuk representasi sosial yang cenderung positif pada diri masing-masing
anggota komunitas miskin tersebut.
6.2
Kondisi Ekonomi
Sektor informal pada masa kini merupakan manifestasi dari situasi
pertumbuhan kesempatan kerja di berbagai kota di dunia, khususnya di negaranegara sedang berkembang (Ramli, 1992). Kondisi kota yang padat penduduk
adalah sebuah nilai tambah bagi warga pendatang di lokasi, yang tergolong
sebagai komunitas miskin ini dalam menjadikan kota sebagai lahan usaha bagi
mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menjadikan hal tersebut sebagai alasan
untuk tetap bertahan hidup di kota meskipun keadaan yang mereka hadapi di kota
tidak selalu baik.
Mayoritas anggota komunitas miskin di perkotaan ini berpendapat bahwa
kondisi peluang kerja di kota saat ini baik karena memberikan banyak tawaran
pekerjaan dan peluang usaha bagi mereka. Menurut mereka, pekerjaan apapun
56
dapat dilakukan asalkan tidak ada rasa malas di dalam diri mereka masingmasing. Berikut pernyataan dari salah satu responden mengenai hal ini:
“Kota itu ramai, jadi kalau untuk cari uang sebenarnya gampang,
asal kitanya jangan malas. Asal kerja, hidup di kota bisa enak.
Kuncinya cuma satu, jangan malas.” (Dur, 46 tahun)
Peluang kerja dan usaha yang ditawarkan oleh kota tersebut tentunya tidak
disia-siakan oleh komunitas miskin di lokasi ini. Mereka memanfaatkan peluang
yang ada guna mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka yang
umumnya terdiri atas satu hingga tujuh orang dalam satu keluarga, yaitu terdiri
atas orangtua, anak, menantu dan cucu.
Salah satu peluang yang dimanfatkan oleh komunitas miskin ini adalah
berjualan sayur atau makanan jadi di sebuah tanah lapang yang tidak terpakai
(Lampiran 1). Peluang usaha ini terbuka lebar bagi mereka karena wilayah Tanah
Kusir II ini berada jauh dari fasilitas pasar yang umumnya disediakan oleh
pemerintah.
Pasar yang terbentuk ini buka setiap hari mulai pukul 06.00 hingga pukul
12.00. mayoritas penjual di sini adalah warga RT 004 RW 011 sendiri, namun ada
pula penjual yang berasal dari RT atau wilayah lainnya, seperti Bogor. Komoditas
yang dijual di pasar ini cukup beragam. Mulai dari sayuran mentah, unggas
potong, hingga ke peralatan rumahtangga dan pakaian. Adanya aktivitas ini
menyebabkan warga dari komunitas miskin memiliki pendapatan yang bisa
digunakan untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari meskipun nilai
pendapatan tersebut tidaklah besar, yaitu hanya berkisar antara Rp. 300.000,00
hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Penghasilan mereka ini berada jauh dari
upah minimun provinsi (UMP) DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp. 1.118.009,00 per
bulan.
Keadaan yang demikian tersebut semakin menunjukkan bahwa komunitas
di lokasi ini merupakan komunitas miskin. Pernyataan Bapak Sun berikut ini
makin memperkuat fakta yang ada:
“Warga miskin di RT 004 RW 011 ini terkumpul di wilayah V itu.
Ada sebanyak 38 Kepala Keluarga di sana. Keseluruhan warga di
lokasi itu adalah warga miskin.”
57
Sama halnya dengan kondisi lingkungan, kondisi ekonomi yang dihadapi
oleh anggota komunitas miskin di kota ini juga berhubungan dengan terbentuknya
representasi sosial tentang kota yang berbeda pada setiap anggota komunitas
miskin. Mayoritas dari anggota komunitas miskin ini menganggap bahwa kondisi
ekonomi yang dihadapinya di kota adalah positif, yaitu dengan terbukanya
peluang kerja atau usaha bagi mereka dan terdapatnya jumlah penduduk kota
yang besar yang dapat menguntungkan mereka dalam berdagang. Anggapan
kondisi ekonomi yang positif ini ada meskipun nilai pendapatan yang mereka
peroleh dari pekerjaan yang mereka lakukan berada jauh di bawah Upah Minimun
Provinsi (UMP) DKI Jakarta. Anggapan mengenai kondisi ekonomi yang positif
ini membentuk representasi sosial yang positif juga, yaitu kota adalah tempat
mencari uang (tipe I).
6.3
Kondisi Sosial
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa warga dari
komunitas miskin di lokasi, maka dapat diketahui bahwa secara umum tidak
terdapat peraturan khusus yang mengikat komunitas ini satu sama lain. Peraturan
yang berlaku di dalam lokasi ini adalah peraturan Rukun Tetangga (RT) secara
umum, dimana setiap bulannya seluruh warga termasuk warga dari komunitas
miskin ini wajib membayar iuran sebesar Rp. 2.000,00 sebagai uang kas yang
digunakan untuk acara-acara RT dan untuk warga yang sedang mengalami
musibah. Selain iuran wajib tersebut, kaum ibu di RT ini juga mengadakan sebuah
arisan RT, dimana setiap bulannya peserta arisan membayarkan uang sebesar Rp.
20.000,00 pada pengurus arisan yang bersangkutan. Pada kegiatan arisan ini,
mayoritas anggota komunitas miskin di lokasi ini tidak berpartisipasi di dalamnya.
Hal tersebut karena bagi mereka mengeluarkan uang sebesar itu adalah hal yang
sangat memberatkan. Mengenai hal ini, Ibu Naf (54 tahun) memberikan
pengakuannya bahwa “ada arisan di RT sini, tapi ibu ga ikut karena bayarnya
berat, ibu ga punya uang.”
Meskipun tdak aktif di dalam kelembagaan yang ada di tingkat RT,
komunitas miskin ini tetap berorganisasi dengan sesama warga di dalam
komunitas yang sama. Hal ini terlihat melalui adanya sebuah kelompok pengajian
58
di lingkungan tersebut. Kelompok pengajian ini diadakan khusus untuk laki-laki
dalam komunitas miskin di lokasi tersebut. Pengajian ini rutin diadakan setiap
kamis malam di lokasi tersebut. Menurut salah seorang warga, pengajian tersebut
diadakan secara berkelanjutan setiap minggunya dan warga setempat, khususnya
para lelaki pun aktif dalam pengajian tersebut. Bagi para pemuda setempat,
disediakan kelompok musik Hard Rock, yaitu kelompok musik rabana yang
dibentuk oleh warga setempat dan anggotanya mayoritas para pemuda dari dalam
komunitas miskin itu.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa ketika
mengalami suatu masalah khususnya dalam masalah keuangan, sebagian dari
anggota komunitas miskin di lokasi ini jarang meminta bantuan dari tetanggatetangga mereka. Hal ini karena mereka menyadari bahwa tetangga sekitarnya
juga memiliki masalah yang sama, yaitu kesulitan ekonomi. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut:
“Selama 40 tahun bapak di sini, bapak belum pernah pinjam uang
sama tetangga karena bapak tahu kesulitan orang-orang di sini
sama, jadi ga enak mau mintanya. Kalau ada kesulitan, bapak
langsung aja minta tolongnya ke anak-anak bapak.” (Bapak Shd, 70
tahun)
Hal yang berbeda disampaikan oleh seorang responden lainnya.
Pernyataan
yang disampaikannya
bertolak
belakang dengan
apa
yang
disampaikan oleh Bapak Shd (70 tahun). Pernyataan tersebut adalah sebagai
berikut:
“Buat saya sih dapat bantuan dari tetangga itu gampang. Bantuan
apa aja, termasuk bantuan pinjaman uang. Itu sih tergantung
kelakuan kita ke tetangga juga, mba. Kalau kitanya baik sama
tetangga, tetangga juga pasti baik sama kita.” (Ibu Yat, 36 tahun)
Dua pernyataan responden di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pandangan dan cara berinteraksi di antara anggota komunitas miskin. Komunitas
miskin itu terbagi dalam dua kelompok pandangan dalam mengatasi persoalan
yang dihadapinya selama tinggal di kota.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap pengurus RT setempat,
maka diketahui bahwa tidak ada perlakuan khusus yang diberikan oleh pengurus
RT setempat kepada komunitas ini. Setiap ada kegiatan atau rapat warga pihak
59
pengurus RT mengundang mereka, dan menurut Bapak Sun yang saat ini
menjabat sebagai sekretaris RT setempat, mereka dinilai cukup aktif dalam
menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh pengurus RT setempat. Akan tetapi,
karena status keberadaan mereka yang tidak resmi secara administratif, maka
dalam hal-hal tertentu pihak RT tidak memberikan pelayanan kepada mereka,
misalnya dalam kasus pembuatan surat pengantar untuk pinjaman uang ke bank.
Selebihnya, tidak ada sanksi yang dijatuhkan oleh pengurus RT setempat bagi
mereka yang tidak memiliki kartu identitas yang tercatat di lungkungan tersebut.
Menurut Bapak Sun, pada awalnya lokasi penelitian ini hanya dihuni oleh
dua keluarga yang merupakan warga Betawi asli di sana. Kedua keluarga tersebut
adalah keluarga Bapak As dan keluarga Ibu Sy. Sebagai warga asli di daerah
tersebut, Bapak As dan Ibu Sy memiiliki lahan cukup luas, dan seiring dengan
mulai bermunculannya warga pendatang pada tahun 1980, kedua warga asli
tersebut kemudian membangun rumah-rumah kontrakan di sana.
Migran yang terhitung menjadi warga pendatang pertama di lokasi ini
antara lain adalah Bapak Shd, Bapak Kr, Bapak Kjn, dan Bapak Rst. Setelah itu,
mulailah bermunculan migran-migran lainnya di lokasi ini. Mereka yang datang
umumnya adalah kerabat atau teman dari migran yang telah lebih dulu tinggal di
lokasi ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak As (ketua RT) berikut ini:
“Bulan Juni tahun 1980 itu ada beberapa orang yang datang. Setelah
itu, setiap tahunnya pasti ada tambahan orang di sini. Mereka itu
biasanya teman atau saudara dari orang yang sudah duluan tinggal
di sini dan ada juga warga pindahan dari tempat lain yang biasanya
dagang di sini.”
Saat ini, jumlah anggota dari komunitas miskin di wilayah tersebut adalah
sebanyak 38 Kepala Keluarga. Warga dari komunitas miskin ini berjumlah 150
jiwa dengan rincian 90 jiwa laki-laki dan 60 jiwa perempuan. Mayoritas dari
mereka adalah warga yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang sayur dan makanan bagi
perempuan dan pedagang kue putu serta pedagang nasi goreng bagi laki-laki.
Menurut Bapak Sun, sejak kedatangannya hingga saat ini, mayoritas dari
anggota komunitas miskin di wilayah tersebut berstatus tidak resmi secara
administratif. Sebagian besar dari mereka, yaitu sebanyak 28 dari 38 Kepala
60
Keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
tercatat di kantor pemerintahan setempat. Selama ini, mereka hanya melapor
kepada ketua Rukun Tetangga setempat untuk meminta izin tinggal sementara di
lokasi tersebut. Lebih lanjut Bapak Sun mengutarakan bahwa selama ini pengurus
Rukun Tetangga (RT) setempat telah berulangkali melakukan himbauan kepada
komunitas miskin tersebut agar segera menertibkan administrasi mereka untuk
bertempat tinggal di lokasi, yaitu dengan membuat Kartu Keluarga dan Kartu
Tanda Penduduk yang tercatat di kantor pemerintahan setempat, namun himbauan
tersebut tidak dihiraukan oleh mereka, dan hingga saat ini hanya 10 Kepala
Keluarga yang tercatat secara resmi di kantor pemerintahan setempat.
Masih menurut Bapak Sun, tidak dihiraukannya himbauan pengurus
Rukun Tetangga (RT) tersebut adalah karena komunitas miskin yang berada di
lokasi itu beralasan bahwa mereka hanya bertempat tinggal secara sementara di
lokasi, dan karena keluarga mereka masih bertempat tinggal di daerah asalnya
masing-masing.
Keberadaan lembaga-lembaga masyarakat di lokasi penelitian ini serta
keadaan sosial lainnya yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin di lokasi ini
berhubungan dengan representasi sosial yang dimiliki oleh setiap individu dalam
komunitas miskin tersebut. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dan ketiadaan
sanksi bagi warga tidak resmi di lokasi ini menyebabkan terbentuknya
representasi sosial yang cenderung positif bagi para anggota komunitas miskin
yang ada, seperti kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). Selanjutnya,
lembaga-lembaga yang ada tersebut juga berperan dalam penyebarluasan
representasi sosial yang ada di komunitas itu. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari Putra et al. (2003) yang menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar
anggota kelompok merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan
representasi sosial yang dimiliki kelompok.
6.4
Ikhtisar
Konteks situasional yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin di
perkotaan antara lain mereka hidup dalam kesederhanaan, yaitu tinggal di daerah
padat penduduk dan tergolong kumuh. Komunitas miskin hidup dengan
61
mengontrak sebuah rumah semi permanen yang hanya terdiri atas satu hingga tiga
ruangan kecil yang terbuat dari triplek atau seng, tidak memiliki sarana MCK
pribadi dan tidak memiliki fasilitas yang memadai di dalam rumah tersebut.
Rumah yang sangat sederhana tersebut umumnya dihuni oleh satu hingga tujuh
orang yang masih tergolong dalam satu keluarga.
Akses jalan menuju lokasi ini tergolong buruk karena masih terbuat dari
tanah merah. Begitupun dengan akses jalan umum di lokasi yang hanya terbuat
dari semen dan saat ini banyak mengalami kerusakan. Sama halnya dengan
fasilitas jalan yang buruk, fasilitas MCK di lokasi ini pun terbilang sangat buruk.
Sarana MCK yang tersedia hanya berjumlah enam buah dengan dua buah sumur
yang harus digunakan secara bergantian oleh 150 orang warga. Sarana MCK ini
tidak dilengkapi dengan bak penampungan air dan saluran pembuangan yang
baik, sehingga tidak mengherankan jika MCK tersebut terlihat kotor dan
mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Dengan alasan melakukan migrasi desa-kota adalah ingin mencari
pekerjaan, maka bagi komunitas miskin ini peluang kerja di kota saat ini adalah
baik karena banyak menawarkan pekerjaan dan peluang usaha bagi mereka. Bagi
mereka penghasilan akan datang asalkan mereka tidak bermalas-malasan.
Kehidupan sosial komunitas miskin ini antara lain terlihat melalui
kelembagaan-kelembagaan sosial yang ada, yang memungkinkan terjadinya
komunikasi antar mereka. Salah satunya berupa pengajian mingguan. Terdapat
pula perkumpulan arisan di wilayah Rukun Tetangga bagi kaum perempuan, yang
mempersilahkan warga dari komunitas miskin untuk ikut berpartisipasi di
dalamnya. Karena keterbatasan ekonomi, umumnya anggota komunitas miskin ini
memutuskan untuk tidak ikut dalam arisan tersebut. Terdapat pula perkumpulan
musik rabana Hard Rock yang umumnya diikuti oleh pemuda dari komunitas ini.
Ketika menghadapi masalah, khususnya masalah ekonomi selama
bertempat tinggal di kota, komunitas miskin ini cenderung terbagi menjadi dua
golongan kecenderungan sikap. Golongan pertama memilih untuk tidak meminta
bantuan kepada para tetangganya. Hal ini adalah karena mereka menyadari bahwa
keadaan perekonomian dari tetangga mereka sama atau bahkan tidak lebih baik
dari keadaan mereka. Golongan kedua memilih untuk meminta bantuan kepada
62
tetangganya ketika mereka mengalami masalah di kota. Mereka meyakini bahwa
jika mereka berlaku baik kepada para tetangga, para tetangga itu tidak akan
sungkan untuk membantu mereka, termasuk masalah ekonomi.
Sejak kemunculannya hingga saat ini, keberadaan komunitas miskin ini
tidak resmi secara administrasi. Hal tersebut karena pada umumnya komunitas
miskin ini tidak memiliki kartu identitas, baik Kartu Keluarga (KK) ataupun Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang tercatat di lingkungan setempat. Hal ini terjadi
karena mereka meyakini bahwa mereka tidak akan selamanya bertempat tinggal di
lokasi tersebut.
Terkait dengan hal itu, pengurus Rukun Tetangga setempat hanya
memberlakukan aturan wajib lapor dan tidak menjatuhkan sanksi tertentu kepada
mereka yang terhitung sebagai warga tidak resmi itu. Pengurus RT setempat
memberlakukan peraturan yang sama kepada warga tidak resmi tersebut, namun
tidak melayani pembuatan surat menyurat bagi mereka, khususnya surat
keterangan yang berkaitan dengan pihak Bank.
Konteks situasional yang terdiri atas kondisi lingkungan, kondisi ekonomi
dan kondisi sosial berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang
kota pada komunitas miskin di perkotaan. Kondisi lingkungan yang kumuh telah
membentuk representasi sosial yang cenderung negatif, seperti kota adalah tempat
yang tidak nyaman (tipe III) atau kota adalah tempat hidup susah (tipe II).
Kondisi lingkungan yang menurut responden baik membentuk representasi sosial
yang cenderung positif pada diri masing-masing anggota komunitas miskin
tersebut, misalnya kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV).
Anggapan mengenai kondisi ekonomi yang positif juga membentuk
representasi sosial yang positif juga, yaitu kota adalah tempat mencari uang (tipe
I). Keberadaan lembaga-lembaga sosial dan ketiadaan sanksi bagi warga tidak
resmi di lokasi penelitian menyebabkan terbentuknya representasi sosial yang
cenderung positif bagi para anggota komunitas miskin yang ada, misalnya kota
adalah tempat hidup nyaman (tipe IV).
63
BAB VII
REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS
MISKIN DI PERKOTAAN
Representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan
terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) representasi sosial tentang kota, dan (2)
representasi sosial tentang miskin. Representasi sosial tentang kota terdiri atas
tipologi representasi sosial tentang kota dan aspek-aspek representasi sosial
tentang kota yang terdiri atas elemen informasi (information), keyakinan (belief),
pendapat (opinion) dan sikap yang responden miliki tentang kota dan kehidupan
kota.
7.1
Representasi Sosial Tentang Kota
Pengumpulan data pada representasi sosial tentang kota ini adalah dengan
menggunakan teknik asosiasi kata melalui kuesioner. Pada teknik asosiasi kata ini,
setiap responden dapat mengeluarkan kata-kata yang termasuk dalam satu atau
beberapa tipe representasi sosial tentang kota.
Berdasarkan jawaban asosiasi kata dari responden, maka diketahui bahwa
terdapat tipologi representasi sosial tentang kota yang terdiri atas empat macam
tipe. Keempat tipe tersebut antara lain menyebutkan bahwa kota adalah: (1)
tempat mencari uang, (2) tempat hidup susah, (3) tempat yang tidak nyaman, dan
(4) tempat hidup nyaman.
Penetapan tipe representasi sosial tentang kota yang dominan adalah
dengan cara melihat jumlah responden yang ada pada setiap tipe representasi
sosial tentang kota. Tipe dengan jumlah responden terbanyak merupakan tipe
dominan dari representasi sosial tentang kota yang dianut oleh komunitas miskin
di perkotaan. Berikut merupakan hasil tiap tipe representasi sosial tentang kota,
yang disajikan dalam Tabel 14.
64
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi
Sosial Tentang Kota
Tipe representasi sosial tentang
Jumlah responden
Jumlah responden
kota
pemilih (orang)
pemilih (%)
Kota adalah tempat mencari uang
33
82,5
Kota adalah tempat hidup susah
19
47,5
Kota adalah tempat yang tidak
20
50,0
31
77,5
nyaman
Kota adalah tempat hidup nyaman
Berdasarkan Tabel 14, maka dapat terlihat bahwa tipe dominan dari
representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan adalah tipe I:
kota adalah tempat mencari uang (82,5 persen). Tipe I ini terdiri atas kelompok
pendapat ada uang di kota, ada pekerjaan di kota dan tidak mendapat peluang
kerja di desa.
Selanjutnya, setelah tipe I (kota adalah tempat mencari uang), tipe IV
(kota adalah tempat hidup nyaman) juga merupakan tipe representasi sosial
tentang kota yang banyak dipilih oleh responden, yaitu sebesar 77,5 persen.
Pemilihan kedua tipe ini menunjukan bahwa para migran yang umumnya berasal
dari daerah pedesaan memiliki pandangan yang masih sangat positif terhadap
kota. Penjelasan tiap tipe dan karakteristik responden yang memilih tiap tipe
representasi sosial tentang kota akan dibahas secara lebih terperinci berikut ini.
7.1.1
Tipe I: Kota adalah Tempat Mencari Uang
Terpilihnya tipe I sebagai tipe dominan dari representasi sosial tentang
kota menunjukkan bahwa hingga saat ini migran yang umumnya berasal dari desa
masih memiliki anggapan yang positif terhadap kota. Mereka meyakini bahwa
masih terdapat banyak peluang kerja di kota dan pekerjaan apapun yang dilakukan
di kota dapat menghasilkan uang bagi mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh salah seorang responden sebagai berikut:
“Di kota kita bisa mengadu nasib kita. Karena di kota banyak
penduduk, usaha kita jadinya bisa lancar. Gampang dapat
uangnya.” (Dm, 46 tahun)
65
Terdapat pula faktor pendorong yang menyebabkan mereka melakukan
migrasi desa-kota. Faktor pendorong tersebut adalah ketiadaan peluang kerja bagi
mereka di desa. Banyak dari mereka yang umumnya berusia muda tidak tertarik
lagi dan tidak memiliki keterampilan dalam bertani. Hal ini membuat mereka
melakukan migrasi desa-kota dengan harapan bisa mendapatkan peluang kerja di
kota dan bisa mendapatkan pekerjaan lain selain bertani yang tidak mereka
kuasai. Anggapan positif terhadap peluang kerja di kota dan pernyataan bahwa
tidak adanya peluang kerja di desa bagi komunitas miskin ini selaras dengan hasil
penelitian dari Todaro dan Stilkind (1985) yang menyatakan bahwa:
“orang-orang desa yang miskin ‘didorong’ untuk pindah ke kota
karena kemandekan atau berkurangnya kesempatan kerja di desa, dan
pada saat yang bersamaan ‘tertarik’ oleh harapan untuk mendapat
pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang tinggi.”
Karakteristik responden pemilih tipe I ini antara lain mayoritas responden
berusia di atas 44 tahun (39,3 persen). Responden pada tipe ini umumnya berjenis
kelamin perempuan dan bekerja pada sektor informal, yaitu dalam hal penyediaan
makanan keliling seperti pedagang nasi goreng, pedagang kue putu, pedagang
pecel dan lain sebagainya. Jumlah pekerjaan yang pernah mereka lakukan adalah
sebanyak satu hingga lima jenis pekerjaan yang berbeda, dengan lama masa kerja
adalah umumnya kurang dari 12 tahun. Kegiatan berpindah-pindah pekerjaan ini
mengindikasikan bahwa responden pada tipe ini benar-benar datang ke kota untuk
mencari uang. Hal ini sesuai dengan tipe yang mereka pilih, yaitu tipe kota adalah
tempat mencari uang. Ibu Rus (48 tahun) merupakan salah seorang responden
yang datang ke kota untuk mencari uang. Hal ini terungkap melalui
pengakuannya sebagai berikut:
“Kota itu tempat yang cocok untuk memperbaiki hidup. Karena di
kota pekerjaannya banyak, pengalamannya banyak. Di kota kota
hidup kita bisa maju.”
Mayoritas responden pada tipe I ini berpendidikan setingkat SD atau yang
sederajat, namun pada tipe ini terdapat pula 12,1 persen responden yang tidak
pernah mengenyam bangku pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa
responden pada tipe I ini memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah.
66
Tingkat pendapatan yang diperoleh responden per bulannya berkisar
antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Pada umumnya mereka adalah
migran yang baru bertempat tinggal selama 1 hingga 15 tahun di lokasi penelitian
(63,6 persen). Hal ini dapat terlihat melalui mayoritas responden yang melakukan
migrasi desa-kota antara tahun 2001 hingga 2010. Sebanyak 51,5 persen
responden melakukan migrasi desa-kota dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Sebanyak 72,7 persen responden tidak langsung bertempat tinggal di
lokasi penelitian saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Mereka tersebar
di lokasi-lokasi yang umumnya tidak berada jauh dari lokasi penelitian, seperti di
wilayah Tanah Kusir II RT 003 RW 011, Tanah Kusir III dan lain sebagainya.
Aktivitas pulang kampung yang dilakukan oleh mayoritas responden pada
tipe ini tergolong rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali
dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan (66,7 persen).
Mengenai aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir ini, Ibu Sur (36
tahun) memberikan pernyataannnya bahwa “setahun kemarin ga pulang kampung
karena ga punya uang. Jualan di sini juga penghasilannya cuma cukup untuk
makan saja.”
Mencari pekerjaan atau mencari nafkah merupakan alasan utama mereka
dalam melakukan migrasi desa-kota. Hal ini sesuai dengan pemilihan tipe
representasi sosial tentang kota yang cenderung positif, yaitu kota adalah tempat
mencari uang. Alasan ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Yat (36 tahun), yang
menyatakan bahwa
“Alasan ke kota untuk cari kerja dan mengadu nasib, karena di
kampung tidak ada pekerjaan, di kampung saya tidak punya
penghasilan.”
Berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan, maka dapat dilihat bahwa
mayoritas pemilih tipe I (kota adalah tempat mencari uang) ini adalah responden
yang akan memasuki usia non produktif, yaitu berada di atas usia 44 tahun.
Karakteristik responden pada tipe ini ditampilkan dalam Tabel 15.
67
Tabel 15. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I
Karakteristik Responden Tipe I (n=33 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
> 44 tahun
23
39,3
Jenis kelamin
Perempuan
21
63,6
Jenis pekerjaan
Penyediaan makanan keliling
11
33,3
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
19
57,6
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
19
57,6
Tahun datang ke kota
1991-2010
17
51,5
Lama tinggal di lokasi
≤ 15 tahun
21
63,6
Tempat tinggal pertama kali di
Tidak langsung tinggal di lokasi
24
72,7
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
22
66,7
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
23
69,7
kota
Elemen Informasi (information)
Tingkat informasi yang dimiliki oleh mayoritas responden pada tipe I ini
tergolong rendah (57,6 persen). Masih terdapat responden yang menganggap
bahwa keadaan lingkungan tempat tinggal di kota luas, peluang kerja di kota lebih
kecil daripada di desa, tingkat pengangguran di kota sedang karena menurut
mereka telah banyak masyarakat kota yang bekerja, dan mereka menganggap
bahwa tidak harus memiliki keterampilan kerja jika ingin bekerja di kota atau
kadang-kadang saja butuh keterampilan kerja yang cukup. Hal terakhir ini
menurut mereka karena pekerjaan yang mereka cari hanyalah pekerjaan sektor
informal seperti buruh kasar yang tidak selalu atau bahkan sama sekali tidak
memerlukan keterampilan kerja.
Selain itu, meskipun mereka mengetahui bahwa memiliki kartu identitas
yang tercatat di lingkungan RT setempat adalah penting, namun masih banyak
dari mereka (45,4 persen) yang belum memiliki kesadaran untuk membuatnya.
Sama seperti migran sementara pada umumnya, alasan berpindah-pindah tempat
tinggal merupakan alasan utama yang menyebabkan mereka tidak memiliki
kesadaran untuk membuat Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk yang
tercatat di lingkungan RT setempat. Tingkat perolehan informasi tentang kota
yang rendah ini dapat terlihat pada Gambar 3.
68
Informasi
57,6
60
42,4
50
40
30
Jum lah (orang)
19
14
20
Jum lah (%)
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 3. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe I
Elemen Keyakinan (belief)
Mengenai aspek keyakinan (belief), mayoritas individu dari komunitas
miskin pada tipe pertama ini memiliki keyakinan yang positif terhadap bertempat
tinggal dan bekerja di kota. Keyakinan yang cenderung positif ini terkait dengan
tingkat perolehan informasi tentang kota yang rendah. Mayoritas dari mereka
meyakini bahwa kondisi kota saat ini adalah aman untuk dijadikan tempat tinggal
ataupun tempat mencari nafkah. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa jika
mengalami kesulitan di kota, maka pertolongan dari orang lain, terutama para
tetangga mudah untuk didapat dan untuk mendapatkan hiburan di kota juga
mudah untuk didapatkan.
Demikian halnya dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan di kota.
Mayoritas anggota komunitas miskin pada tipe ini meyakini bahwa untuk
mendapatkan kedua fasilitas tersebut di kota adalah mudah, baik dilihat dari segi
kuantitas tempat ataupun dari segi pelayanan yang diberikan. Mengenai fasilitas
pendidikan ini, Bapak Sur (51 tahun) mengemukakan pendapatnya bahwa “cari
sekolahan di kota gampang, karena tempatnya banyak.” Tingkat keyakinan
responden yang positif ini dapat dilihat pada Gambar 4.
60,6
70
60
50
39,4
40
30
Jum lah (orang)
Jum lah (%)
20
13
20
10
0
Pos itif
Negatif
Gambar 4. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe I
69
Elemen Pendapat (opinion)
Selaras dengan tingkat keyakinannya yang positif terhadap kota, pendapat
responden pada tipe ini mengenai kota juga dapat dikatakan positif. Mayoritas
responden dalam tipe ini berpendapat bahwa siapa saja berhak menjadi penduduk
kota, baik mereka yang kaya ataupun yang termasuk sebagai warga miskin. Selain
itu, mereka berpendapat bahwa kesempatan kerja di kota berlaku sama untuk
semua orang yang ingin bekerja, orang yang berhasil bekerja di kota adalah
seseorang yang mampu bekerja keras, pengalaman meningkat ketika seseorang
tinggal dan bekerja di kota, pengaruh dari bekerja dan bertempat tinggal di kota
adalah baik bagi masa depan mereka serta bantuan dari pemerintah diperuntukan
bagi masyarakat yang membutuhkan saja.
Terdapat sedikit pendapat yang berbeda di antara mayoritas pendapat
mengenai keberhasilan seseorang yang bekerja di kota. Sebanyak 12,12 persen
responden menjawab terdapat hal lain yang menentukan keberhasilan seseorang
dalam bekerja di kota, di luar pilihan jawaban yang diajukan. Pendapat-pendapat
lainnya tersebut antara lain seperti yang diungkapkan oleh Ibu Roh (38 tahun),
yang mengatakan bahwa “orang yang berhasil kerja di kota itu yang sekolahnya
tinggi dong. Soalnya buat kerja di kota kan butuh ijazah sekolah.” Terdapat juga
pendapat dari Rn (20 tahun) yang mengatakan bahwa “orang yang berhasil kerja
di kota itu yang mau mencoba ketika gagal, soalnya kerja di kota itu kan ga
gampang.”
Elemen Sikap
Secara umum komunitas miskin pada tipe I ini memiliki sikap yang netral
terhadap kota, baik dalam dimensi evaluasi, potensi ataupun dimensi aktivitas.
Hal ini terlihat melalui hasil yang diperoleh, dimana terdapat sebanyak 14 orang
responden yang memiliki sikap netral terhadap kota.
Sikap responden yang netral tersebut akan terlihat lebih jelas pada Gambar
5. Pengungkapan sikap yang netral diutarakan oleh responden di bawah ini:
“Hidup bertetangga di kota biasa saja. Tidak terlalu kebersamaan
tapi tidak sendiri-sendiri juga. Sedikit banyak masih ada yang peduli
sama tetangga kalau ada yang lagi susah.” (Aln, 16 tahun)
70
50
42,4
40
30,3
27,3
30
20
Jumlah (orang)
14
10
9
Jumlah (%)
10
0
Negatif
Netral
Positif
Gambar 5. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I
Sikap netral yang ditunjukan oleh responden tersebut cenderung mengarah
kepada pembentukan sikap yang positif terhadap kota, dimana terdapat 30,3
persen responden pada tipe ini yang menyatakan sikap positifnya terhadap kota,
seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut:
“Saya suka hidup di kota. Dapat uangnya besar, pekerjaannya
banyak karena orangnya ramai. Ngeliat kota juga enak, soalnya
bersih, rapih, kayak di tempat yang banyak kantor-kantor itu loh. Di
sana kan rapi, indah.” (Ibu Cah, 48 tahun)
7.1.2
Tipe II: Kota adalah Tempat Hidup Susah
Tipe II ini tergolong pada tipe representasi sosial tentang kota yang
cenderung negatif. Responden pada tipe ini umumnya menganggap bahwa untuk
dapat bertahan hidup di kota diperlukan usaha-usaha yang tidak bisa dikatakan
mudah, seperti harus membayar kontrakan tepat waktu jika tidak ingin diusir,
harus banting tulang dalam bekerja dan lain sebagainya. Ungkapan tentang
susahnya usaha yang dilakukan untuk tetap bertahan hidup di kota tersebut
diutarakan oleh seorang responden berikut ini:
“Tinggal di kota itu berarti hidup tidak tenang karena harus kerja
terus. Uang ga ada artinya di kota. Kebutuhan hidup mahal, jadi
uang cepat sekali habisnya.” (Ibu Yy, 23 tahun)
Mayoritas responden pada tipe II ini berusia antara 35 hingga 44 tahun
saat penelitian ini dilangsungkan. Responden pada tipe ini umumnya adalah
mereka yang berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan yang
umumnya hanya setingkat SD atau yang sederajat. Pada umumnya mereka adalah
ibu rumahtangga yang tidak bekerja namun menerima uang dari suami, anak atau
cucu mereka yang selanjutnya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Meskipun saat ini mayoritas responden tersebut tidak bekerja,
71
namun kebanyakan dari mereka pernah bekerja, paling tidak pada satu jenis
pekerjaan di kota, dengan lama waktu bekerja adalah kurang dari 12 tahun. Saat
ini, pendapatan yang mereka peroleh dari suami, anak ataupun cucu mereka
adalah Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya.
Sama halnya dengan responden pemilih tipe I, responden pemilih tipe II
ini juga umumnya merupakan responden yang baru bertempat tinggal di lokasi
antara 1 hingga 15 tahun terakhir ini. Periode tahun kedatangan sebagian besar
responden ke kota yaitu antara tahun 1991 hingga tahun 2010.
Sebagian besar responden pada tipe ini (68,4 persen) adalah responden
yang tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Sama halnya dengan
responden tipe I, responden pada tipe ini umumnya melakukan aktivitas pulang
kampung yang tergolong rendah dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian
dilangsungkan, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali. Ibu Syf (40
tahun) mengungkapkan bahwa “setahun kemaren ga pulang kampung. Soalnya
anak sama suami kan ada di sini. Lagian ga ada biaya juga buat pulang
kampungnya.”
Meskipun memilih tipe yang cenderung negatif tentang kota, responden
pemilih tipe ini tetap memiliki anggapan yang positif terhadap kota ketika
pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Hal ini terlihat lewat alasan mereka
untuk melakukan migrasi desa-kota, yaitu karena ingin mencari pekerjaan (78,9
persen).
“Waktu pindah ke kota tujuannya untuk cari kerja, untuk merubah
nasib kalau kerjaannya sudah sukses. Dulu mah belum tahu kalau
tenyata di kota itu susah cari kerjaan.” (Ibu Ic, 66 tahun)
Adanya alasan tersebut menunjukkan bahwa representasi sosial yang
telah terbentuk sebelum individu melakukan migrasi desa-kota dapat berubah
ketika individu telah melakukan migrasi desa-kota dan berinteraksi, serta
berkomunikasi dengan individu lain yang menjadi anggota komunitas mereka.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Putra et al. (2003) yang menyebutkan bahwa
komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok merupakan alat yang digunakan
untuk mendistribusikan representasi sosial yang dimiliki kelompok. Karakteristik
responden pada tipe II yang telah diutarakan di atas, diuraikan secara lebih
terperinci dalam Tabel 16.
72
Tabel 16. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II
Karakteristik Responden Tipe II (n=19 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
35-44 tahun
7
36,8
Jenis kelamin
Perempuan
12
63,1
Jenis pekerjaan
Lainnya: pengangguran,
8
42,1
11
57,9
9
47,4
pengamen
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
Tahun datang ke kota
1991-2010
11
57,9
Lama tinggal di lokasi
≤ 15 tahun
13
68,4
Tempat tinggal pertama kali di
Tidak langsung tinggal di lokasi
13
68,4
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
14
73,7
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
15
78,9
kota
Elemen Informasi (information)
Sebagian besar responden pada tipe II ini, yaitu sebesar 57,9 persen
memiliki tingkat informasi tentang kota yang tinggi. Kebanyakan dari mereka
mengetahui bahwa keadaan lingkungan tempat tinggal di kota saat ini sudah
sempit. Hal ini mengakibatkan sulitnya mendirikan tempat tinggal yang layak di
kota. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa peluang kerja di kota lebih besar
daripada di desa dan menganggap penting dan mengetahui pentingnya memiliki
kartu identitas berupa KTP atau Kartu Keluarga (KK) yang tercatat di lingkungan
RT setempat selama bertempat tinggal di kota.
Seperti halnya responden pada tipe I, kebanyakan responden pada tipe II
ini juga menganggap bahwa seseorang harus memiliki keterampilan kerja yang
memadai jika ingin bekerja di kota, dan kebanyakan responden mengetahui bahwa
tingkat pengangguran di kota saat ini tinggi. Hal ini seperti yang diutarakan oleh
responden berikut ini:
“Di kota itu sebenarnya susah cari nafkah karena saingannya
banyak, pengangguran tinggi. Makanya kita harus punya
keterampilan kerja biar bisa cari nafkah.” (Ibu Roh, 38 tahun)
Tingkat informasi mayoritas responden yang tinggi ini antara lain terkait
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh mayoritas responden. Meskipun
kebanyakan responden pada tipe II ini merupakan migran baru, namun terkait
73
dengan status pekerjaan sebagian besar responden yang menganggur, maka
tingkat keterlibatan dan komunikasi antar anggota kelompok pun dapat terjalin
dengan baik, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran representasi sosial
dan informasi yang baik pula pada sesama anggota kelompok. Keterlibatan dan
komunikasi yang tinggi ini terjadi karena terdapatnya banyak waktu luang dari
para responden pada tipe ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Putra et al. (2003)
yang menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok
merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan representasi sosial yang
dimiliki kelompok. Tingkat informasi responden pada tipe II tersaji dalam bentuk
grafik pada Gambar 6.
57,9
60
42,1
50
40
Jum l ah (o ran g)
30
Jum l ah (%)
20
8
11
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 6. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe II
Elemen Keyakinan (belief)
Tingkat keyakinan mayoritas responden pemilih tipe ini cenderung negatif
(Gambar 7). Tingkat keyakinan yang negatif ini khususnya terdapat pada
keyakinan mengenai kemudahan untuk mendapatkan tempat tinggal di kota.
Mayoritas dari responden ini meyakini bahwa untuk mendapatkan tempat
tinggal di kota adalah sulit jika responden tidak memiliki uang yang cukup
banyak. Hal ini karena mereka harus mengontrak rumah milik orang lain sebagai
tempat tinggal mereka. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ibu Roh (38 tahun)
yang mengatakan bahwa “untuk dapat tempat tinggal mudah kalau ada uang.
Kalau ga punya uang ya susah.” Ibu Sul (44 tahun) juga mengungkapkan
pendapat mengenai kesulitan memperoleh tempat tinggal di kota sebagai berikut:
“Dapat tempat tinggal di kota ya susah, mba. Lahannya sudah
sempit, kontrakan sekarang juga mahal-mahal. Kalau ga punya uang
ya susah.”
74
52,6
60
47,4
50
40
Jumlah (orang)
30
Jumlah (%)
20
9
10
10
0
Positif
Negatif
Gambar 7. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe II
Elemen Pendapat (opinion)
Sama halnya dengan responden pada tipe lainnya, responden pada tipe ini
cenderung memiliki jawaban yang positif atas pertanyaan-pertanyaan mengenai
pendapat mereka seputar kota dan kehidupan kota. Mereka berpendapat bahwa
siapa saja berhak untuk menjadi penduduk kota, kesempatan kerja di kota berlaku
sama bagi semua orang yang ingin bekerja, orang bisa berhasil dalam bekerja di
kota bila ia seorang pekerja keras dan pengalaman meningkat ketika orang tinggal
dan bekerja di kota. Mengenai hal ini, Ibu War (56 tahun) berkata bahwa “tinggal
di kota berarti pengalaman meningkat, karena sering dengar berita, jadi informasi
lebih cepat sampai.”
Sebanyak 78,9 persen responden mengatakan bahwa pengaruh dari tinggal
dan bekerja di kota adalah baik bagi masa depan mereka dan keluarga mereka.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Naf (54 tahun), yang mengatakan
bahwa “tinggal dan kerja di kota pengaruhnya baik, karena banyak saudara, cari
uang jadinya gampang.”
Sebanyak 68,4 persen responden berpendapat bahwa jaminan atau bantuan
dari pemerintah berlaku sama bagi semua orang yang membutuhkan, baik di desa
ataupun di kota. Hanya 10,0 persen responden yang berpendapat bahwa bantuan
dari pemerintah lebih diutamakan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota,
karena lebih dekat dengan pusat informasi.
75
Elemen Sikap
Berbeda dengan ketiga tipe representasi sosial tentang kota lainnya,
responden dalam tipe ini memiliki sikap yang negatif terhadap kota (52,6 persen).
Mereka cenderung tidak menyukai kota dan menganggap kota tidak lebih baik
daripada desa (Gambar 8).
Sikap tidak suka itu antara lain terlihat pada aspek keamanan kota, biaya
hidup di kota, tingkat ketenangan tinggal di kota, jam kerja di kota, dan peraturan
di kota. Salah seorang responden mengungkapkan ketidaksukaannnya terhadap
kota sebagai berikut:
“Hidup di kota itu penuh resiko. Kadang-kadang dicopet, ditipu,
macam-macam. Terus kalau di kota banyak aturannya. Harus punya
KTP, harus lapor RT 2x24 jam, bertamu ke rumah orang saja harus
lapor.” (Ibu Sar, 42 tahun)
Meskipun mereka cenderung tidak menyukai kondisi kota, namun mereka
tetap memilih untuk bertahan tinggal di kota. Berbagai alasan diutarakan
mengenai keputusan mereka untuk tetap bertempat tinggal dan bekerja di kota.
Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Bapak Shd (70 tahun) berikut ini:
“Alasan saya tetap bertahan hidup di kota itu karena sudah terlanjur
tinggal lama di kota. Kalau pulang ke kampung akan susah juga,
karena kehidupan di kampung lebih susah.”
60
52,6
50
40
31,6
Jum lah (orang)
30
Jum lah (%)
15,8
20
10
10
6
3
0
Negatif
Netral
Pos itif
Gambar 8. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II
7.1.3
Tipe III: Kota adalah Tempat yang Tidak Nyaman
Berbeda dengan dua tipe sebelumnya, responden pada tipe ini umumnya
adalah laki-laki dan terbagi atas dua golongan usia, yaitu di bawah 35 tahun dan
di atas 44 tahun. Jenis pekerjaan yang umumnya dilakukan responden adalah
pekerjaan sektor formal, yaitu jasa profesional seperti security dan montir. Jumlah
76
pekerjaan yang pernah dilakukan oleh responden berkisar antara satu hingga
delapan buah pekerjaan dengan lama bekerja di kota yaitu kurang dari 12 tahun.
Tingkat pendidikan mayoritas responden pada tipe III ini sama seperti dua
tipe sebelumnya, yaitu setingkat SD atau yang sederajat. Pada tipe III ini, terdapat
pula 25,0 persen responden yang berpendidikan setingkat SLTA atau yang
sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh responden berkisar antara Rp.
300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya.
Kebanyakan responden pada tipe ini telah bertempat tinggal selama lebih
dari 23 tahun di lokasi penelitian meskipun tidak langsung bertempat tinggal di
lokasi tersebut ketika pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Mayoritas dari
mereka melakukan migrasi desa-kota pada periode tahun 1970 hingga 1980.
Aktivitas pulang kampung yang dilakukan oleh responden pada tipe ini
tergolong rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu
tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan. Sama dengan responden pada
dua tipe sebelumnya, mayoritas responden pada tipe III ini juga beralasan ingin
mencari pekerjaan ketika pertama kali melakukan migrasi desa-kota.
Seiring dengan lamanya mereka tinggal di kota, pendapat mereka
mengenai kondisi peluang kerja di kota mengalami perubahan. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Shd (70 tahun), yang mengungkapkan bahwa
“peluang kerja sekarang itu sulit. Dulu kerjaan yang nyari orang, sekarang orang
yang nyari-nyari kerjaan.”
Perubahan representasi sosial yang terjadi pada responden tersebut sesuai
dengan pernyataan Jost and Ignatow (2001) yang mengatakan bahwa aspek
terbaik dari teori representasi sosial adalah teori tersebut berisikan catatan yang
berjalan terus berdasarkan pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya yang
dinamis dari manusia dan menyebar menjadi kepercayaan atau keyakinan atas
alam realitas. Berdasarkan data yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui
bahwa semakin lama individu dalam komunitas miskin ini berada di kota, maka
mereka semakin menyadari bahwa kota adalah tempat yang tidak nyaman. Tabel
17 berisikan karakteristik responden pada tipe III ini.
77
Tabel 17. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III
Karakteristik Responden Tipe III (n=20 orang)
Usia
n (orang)
n (%)
< 35 tahun
7
35,0
> 44 tahun
7
35,0
11
55,0
Jenis kelamin
Laki-laki
Jenis pekerjaan
Jasa profesional
7
35,0
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
9
45,0
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
11
55,0
Tahun datang ke kota
1970-1980
7
35,0
Lama tinggal di lokasi
> 23 tahun
8
40,0
Tempat tinggal pertama kali di
Tidak langsung tinggal di lokasi
16
80,0
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
14
70,0
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
18
90,0
kota
Elemen Informasi (information)
Tingkat informasi yang dimiliki oleh sebagian besar responden pada tipe
ini cenderung tinggi. Mayoritas dari responden ini (55,0 persen) menjawab secara
benar semua pertanyaan mengenai informasi tentang kota yang diajukan. Para
responden umumnya mengetahui bahwa saat ini kedaan lingkungan yang dapat
dijadikan sebagai tempat tinggal di kota telah sempit, peluang kerja di kota lebih
besar daripada di desa, dan jika ingin bertempat tinggal di kota maka responden
harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan juga Kartu Keluarga yang
tercatat di lingkungan RT setempat. Dengan demikian, mereka mengetahui bahwa
memiliki kedua kartu identitas tersebut adalah penting. Ibu (Ic, 66 tahun)
mengemukakan pendapatnya bahwa “punya Kartu Keluarga (KK) dan KTP itu
penting untuk kemudahan kita selama tinggal di kota.”
Selain itu, mayoritas responden pemilih tipe III ini juga mengetahui bahwa
jika ingin bekerja di kota, seseorang harus memiliki keterampilan kerja yang
cukup. Hal ini karena persaingan kerja di kota ketat dan angka pengangguran di
kota saat ini yang tinggi. Tingkat informasi yang dimiliki responden pada tipe III
ini terkait dengan tingkat keterlibatan dalam kelompok dan tingkat komunikasi
sehari-hari dengan anggota kelompok lainnya, dimana responden pada tipe ini
merupakan migran yang telah lama melakukan migrasi desa-kota dan telah lama
78
bertempat tinggal di lokasi penelitian. Hal ini menyebabkan mereka sering
berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota komunitas lainnya sehingga
mereka lebih mengetahui informasi mengenai kota dan telah terpengaruh oleh
representasi sosial yang dimiliki kelompoknya. Tingkat informasi yang dimiliki
responden pada tipe ini terdapat dalam Gambar 9.
55
60
45
50
40
Jumlah (orang)
30
Jumlah (%)
20
9
11
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 9. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe III
Elemen Keyakinan (belief)
Tingkat keyakinan mayoritas responden pada tipe III ini cenderung negatif
terhadap kota (65,0 persen). Tingkat keyakinan yang negatif ini terkait dengan
tingginya tingkat informasi yang dimiliki oleh mayoritas responden pada tipe ini.
Mereka meyakini bahwa untuk mencari tempat tinggal dan pekerjaan di kota
adalah sesuatu yang sulit. Mereka juga meyakini bahwa kondisi keamanan di kota
saat ini terbilang sudah tidak aman lagi. Ibu Sul (44 tahun) menguraikan
keyakinannya dengan mengatakan bahwa “kota sekarang sudah tidak aman.
Banyak kriminalitas, kita harus ekstra waspada.”
Hal yang sama juga terjadi pada keyakinan responden mengenai
kemudahan untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain ketika responden
mengalami kesulitan di kota, dimana sebagian besar responden meyakini bahwa
untuk mendapatkan hal tersebut adalah sesuatu yang sulit di kota. Hal ini karena
faktor gaya hidup masyarakat kota yang saat ini cenderung individual dan juga
karena faktor keterbatasan ekonomi yang dialami oleh masyarakat yang ada di
sekitar tempat tinggal responden. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu Ic (66 tahun)
dengan mengatakan bahwa “kalau lagi punya kesulitan, dapat bantuan dari
tetangganya susah, karena tetangga juga keadaannya terbatas, sama kayak ibu.”
79
Hal yang berbeda terdapat pada keyakinan responden dalam mendapatkan
fasilitas hiburan di kota. Pada umumnya responden meyakini bahwa untuk
mendapatkan fasilitas hiburan di kota adalah hal yang mudah. Mengenai hal ini,
Ibu Rus (48 tahun) mengatakan bahwa “dapat hiburan di kota mudah, karena
banyak tukang ngamen, lumayan untuk hiburan.”
Fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan diyakini sebagai sesuatu yang
sulit untuk didapat oleh responden pada tipe ini. Ibu Sul (44 tahun) berkata bahwa
“untuk berobat di kota susah. Harus punya uang atau paling ga harus punya
gakin.”
Ibu Sar (42 tahun) mengemukakan pendapatnya menganai fasilitas
pendidikan yang disediakan kota dengan mengatakan bahwa “untuk nyekolahin
anak di kota susah. Harus ada uang baru bisa sekolah. Soalnya biayanya mahal.”
Tingkat keyakinan responden terhadap kota yang cenderung negatif
tersebut tersaji dalam Gambar 10. Grafik dalam gambar tersebut memperlihatkan
kecenderungan keyakinan responden yang negatif secara lebih jelas.
65
70
60
50
35
40
Jum lah (orang)
Jum lah (%)
30
20
13
7
10
0
Pos itif
Negatif
Gambar 10. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota
Tipe III
Elemen Pendapat (opinion)
Pendapat tentang kota yang dimiliki oleh responden pada tipe ini
cenderung sama dengan responden pada tipe lainnya. Mereka berpendapat bahwa
siapapun berhak menjadi penduduk kota, baik orang kaya, orang miskin, orang
berpendidikan tinggi ataupun orang yang berpendidikan rendah. Tidak ada
larangan bagi siapapun untuk menjadi penduduk kota. Responden pada tipe ini
juga berpendapat bahwa kesempatan kerja di kota berlaku sama bagi siapa saja
yang ingin bekerja dan kerja keras dapat menentukan keberhasilan seseorang
dalam bekerja di kota.
80
Responden pada tipe III berpendapat bahwa bekerja dan bertempat tinggal
di kota telah meningkatkan pengalaman mereka dan pengaruh dari tinggal dan
bekerja di kota adalah baik bagi masa depan mereka dan keluarga mereka, namun
ada pula sebagian kecil responden yang berpendapat negatif akan dampak dari
tinggal dan bekerja di kota ini, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rus (48 tahun).
Ia mengatakan bahwa “tinggal di kota itu pengaruhnya negatif buat anak-anak,
karena banyak hal negatif di kota, misalnya soal pergaulan.”
Terakhir, responden pada tipe ini juga berpendapat bahwa bantuan dari
pemerintah hanya diperuntukan bagi masyarakat yang membutuhkan saja. Orang
yang membutuhkan itu baik yang berada di kota maupun yang berada di desa.
Elemen Sikap
Sikap responden pemilih tipe III ini adalah netral yang cenderung ke arah
pembentukan sikap negatif terhadap kota. Sebagian dari mereka cenderung
menganggap kota tidak jauh lebih baik atau jauh lebih buruk daripada desa.
Menurut sebagian responden tersebut, baik kota maupun desa memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing. Sebagian lainnya memunculkan sikap yang
cenderung negatif terhadap kota (Gambar 11). Kecenderungan sikap responden
yang negatif ini misalnya seperti yang diutarakan oleh responden berikut ini:
“Kota itu kotor,kumuh, rumah-rumahnya berantakan, penduduknya
ga disiplin, banyak aturannya. Peraturan banyak yang dibuat tapi
banyak juga yang dilanggar.” (Sup, 42 tahun)
50
50
45
40
35
35
30
Jum lah (orang)
25
Jum lah (%)
20
15
15
10
10
7
3
5
0
Negatif
Netral
Pos itif
Gambar 11. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III
81
7.1.4 Tipe IV: Kota adalah Tempat Hidup Nyaman
Tipe representasi sosial tentang kota yang terakhir ini pada umumnya
terkait dengan fasilitas penunjang kehidupan yang disediakan oleh kota yang tidak
dimiliki oleh desa asal responden, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan yang
lebih baik serta lebih lengkap di kota. Selain itu, pandangan positif ini tekait pula
dengan gaya hidup penduduk kota dan pergaulan di kota, seperti yang
diungkapkan oleh responden berikut ini:
“Di kota banyak fasilitas tersedia, semua serba ada. Segala sesuatu
jadinya mudah. Mau ke mana-mana gampang. Indah juga karena
banyak mall, banyak gedung.” (Ibu Sum, 30 tahun)
Terdapat juga pendapat lainnya, seperti yang diutarakan oleh responden berikut
ini:
“Di kota hidupnya enak, mba. Soalnya kerjanya ga terlalu cape.
Kerjanya kan dagang, jadi bebas nentuin waktunya.” (Kar, 18
tahun)
Responden pada tipe IV ini pada umumnya berusia antara 35 hingga 44
tahun dan umumnya berjenis kelamin perempuan. Jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh sebagian besar responden pada tipe ini adalah dalam bidang penyediaan
makanan keliling. Ini berarti mayoritas responden bekerja pada pekerjaan sektor
informal. Jumlah pekerjaan yang pernah dilakukan oleh mayoritas responden
pada tipe ini hanyalah satu jenis pekerjaan, dengan lama bekerja di kota yaitu
kurang dari 12 tahun.
Sama halnya dengan responden pada tiga tipe sebelumnya, responden
pada tipe ini umumnya adalah mereka yang berpendidikan setingkat SD atau yang
sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh responden per bulannya yaitu
berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00.
Komunitas miskin pada tipe ini umumnya datang ke kota pada periode
tahun 1991 hingga 2010 dan telah bertempat tinggal di lokasi antara 1 hingga 15
tahun. Pada saat pertama kali pindah ke kota mereka tidak langsung bertempat
tinggal di lokasi penelitian. Pada umumnya untuk pertama kali mereka tinggal di
lokasi lain yang berada tidak jauh dari lokasi penelitian untuk beberapa tahun lalu
berpindah ke lokasi penelitian hingga saat penelitian dilangsungkan. Lokasi yang
menjadi tempat tinggal pertama kali responden antara lain berada di Tanah Kusir
82
III, Kebayoran Baru dan Radio Dalam yang juga masih berada di kawasan Jakarta
Selatan.
Alasan mereka datang ke kota pada umumnya adalah karena ingin
mencari pekerjaan. Kebanyakan responden pada tipe ini melakukan aktivitas
pulang kampung yang tergolong rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung
hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilakukan. Sama
halnya dengan responden pada tipe lainnya, responden pada tipe ini juga mengaku
tidak memiliki modal yang cukup untuk melakukan aktivitas pulang kampung.
Rina (20 tahun) mengatakan bahwa “setahun kemarin ga pulang, soalnya keluarga
kan ada di Jakarta dan ga punya uang juga buat pulang kampung.” Karakteristik
responden pada tipe IV ini tersaji dalam Tabel 18.
Tabel 18. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV
Karakteristik Responden Tipe IV (n=31 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
35-44 tahun
12
38,7
Jenis kelamin
Perempuan
20
64,5
Jenis pekerjaan
Penyediaan makanan keliling
9
29,0
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
16
51,6
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
17
54,8
Tahun datang ke kota
1991-2010
17
54,8
Lama tinggal di lokasi
≤ 15 tahun
20
64,5
Tempat tinggal pertama kali di
Tidak langsung tinggal di lokasi
20
64,5
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
23
74,2
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
21
67,7
kota
Elemen Informasi (information)
Tingkat informasi tentang kota yang dimiliki oleh responden pada tipe IV
ini tergolong rendah. Sebagian dari mereka menganggap bahwa tingkat
pengangguran di kota sedang-sedang saja, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu
sedikit pula. Mereka beranggapan bahwa di kota masih banyak tersedia lapangan
kerja dan pada umumnya penduduk kota bekerja meskipun hanya bekerja sebagai
buruh serabutan yang tidak pasti waktu kerjanya. Pendapat seperti ini
disampaikan oleh seorang responden sebagai berikut:
83
“Tingkat pengangguran di kota sedang-sedang saja. Karena
kebanyakan orang pada kerja. Cuma orang yang malas saja yang
ga kerja.” (Ibu Sri, 37 tahun)
Selain itu, pada umumnya responden pemilih tipe ini menganggap bahwa
memiliki Kartu Keluarga (KK) dan KTP yang tercatat di lingkungan RT setempat
adalah penting, namun sebagian dari mereka belum memiliki kesadaran untuk
membuatnya. Mereka beralasan bahwa mereka tidak akan selamanya tinggal di
kota, jadi menurut mereka memiliki Kartu Keluarga di desa saja sudah cukup.
Tingkat perolehan informasi yang rendah juga dapat dilihat melalui pengetahuan
mereka tentang pentingnya memiliki keterampilan kerja yang memadai untuk
dapat bertahan hidup di kota. Sebagian dari mereka menganggap bahwa tidak
harus memiliki keterampilan kerja untuk dapat bekerja dan bertahan hidup di
kota. Ibu Wr (40 tahun) mengatakan bahwa “ga harus punya keterampilan kerja
untuk bisa kerja di kota. Yang penting rajin aja.” Ibu Yat (36 tahun)
mengungkapkan informasi yang dimilikinya sebagai berikut:
“Kerja di kota ya ga harus punya keterampilan,mba. Tergantung
kerjaannya aja. Kalau kerjanya cuma jadi pembantu kan ga mesti
punya keterampilan.”
Tingkat perolehan informasi yang rendah ini terkait dengan lama tinggal
di lokasi, tahun responden datang ke kota dan pekerjaan yang dilakukan oleh
responden, dimana diketahui bahwa responden pada tipe ini merupakan migran
baru yang baru bertempat tinggal di lokasi penelitian antara 1 hingga 15 tahun,
belum genap 20 tahun melakukan migrasi desa-kota dan berprofrsi sebagai
penyedia makanan keliling yang tidak bisa setiap saat menghabiskan waktunya
bersama dengan anggota komunitas miskin lainnya. Hal ini mengakibatkan
tingkat keterlibatan dalam kelompok dan komunikasi yang dilakukan dengan
anggota kelompok lainnya rendah dan selanjutnya menyebabkan tingkat
pengetahuan mereka tentang kota yang juga rendah. Gambar 12 menyajikan
grafik yang menggambarkan tingkat informasi yang dimiliki oleh responden pada
tipe IV ini. Grafik pada Gambar 12 memperlihatkan secara jelas bahwa pada
umumnya responden pada tipe IV ini memiliki tingkat informasi yang rendah
mengenai kota.
84
80
71
70
60
50
Jum lah (orang)
40
30
29
Jum lah (%)
22
20
9
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 12. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe IV
Elemen Keyakinan (belief)
Mengenai tingkat keyakinan responden terhadap tinggal dan bekerja di
kota, mayoritas responden pada tipe ini berkeyakinan positif terhadap kedua hal
tersebut. Meskipun mereka meyakini bahwa untuk mendapatkan pekerjaan dan
tempat tinggal di kota adalah sulit, namun mereka berkeyakinan positif terhadap
kondisi keamanan di kota, kemudahan mendapatkan pertolongan dari orang lain
di kota, kemudahan mendapatkan hiburan, fasilitas kesehatan, dan kemudahan
untuk mendapatkan fasilitas pendidikan di kota. Keyakinan-keyakinan positif
tersebut diungkapkan oleh Ibu Sum (45 tahun) dengan mengatakan bahwa
“tinggal di kota sih aman-aman aja. Itu tergantung dari perbuatan kita. Kalau
kitanya baik ya kita aman.”
Mengenai kemudahan dalam mendapatkan fasilitas hiburan, Ibu Sri (37
tahun) mengungkapkan bahwa “untuk dapatin hiburan di kota mudah karena
banyak orang hajatan.” Tingkat keyakinan responden yang cenderung positif ini
terkait dengan tingkat perolehan informasi dari mayoritas responden yang rendah.
Tingkat keyakinan responden pada tipe ini tersaji dalam Gambar 13.
64,5
70
60
50
35,5
40
30
Jum lah (orang)
Jum lah (%)
20
20
11
10
0
Pos itif
Negatif
Gambar 13. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang
Kota Tipe IV
85
Elemen Pendapat (opinion)
Selaras dengan keyakinannya yang cenderung positif, pendapat dari
responden pemilih tipe ini juga cenderung positif, dimana mereka berpendapat
bahwa siapa saja berhak menjadi penduduk kota dan kesempatan kerja di kota
berlaku sama bagi semua orang yang ingin bekerja. Selain itu, mayoritas
responden (54,8 persen) berpendapat bahwa seseorang akan berhasil kerja di kota
bila orang tersebut bekerja keras.
Mengenai arti dari bekerja dan bertempat tinggal di kota, sebagian besar
responden dalam tipe IV ini (80,6 persen) berpendapat bahwa pengalaman akan
meningkat seiring dengan waktu yang dihabiskan untuk tinggal dan bekerja di
kota. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh seorang responden berikut ini:
“Di kota pengalaman meningkat. Banyak pengalaman kerja yang
bisa didapat karena pekerjaan yang bisa dilakukan di kota ada
banyak” (Tor, 24 tahun)
Selanjutnya, sebanyak 90,3 persen responden mengatakan bahwa
pengaruh dari tinggal dan bekerja di kota yang mereka lakukan itu membawa
pengaruh yang baik bagi masa depan dirinya dan keluarganya. Seperti yang
diungkapkan oleh Kar (18 tahun) yang mengatakan bahwa “kerja dan tinggal di
kota pengaruhnya baik untuk masa depan, karena di kota fasilitasnya lebih
lengkap.”
Mengenai jaminan hidup atau bantuan dari pemerintah, 58,1 persen
responden pemilih tipe IV ini berpendapat bahwa bantuan dari pemerintah hanya
berlaku bagi masyarakat yang tergolong miskin saja di manapun mereka
bertempat tinggal. Sebagian kecil dari mereka (12,9 persen) berpendapat bahwa
bantuan dari pemerintah lebih diutamakan bagi masyarakat yang tinggal di desa
karena keberadaan masyarakat miskin pada umumnya berada di desa.
Elemen Sikap
Sama halnya dengan tipe I (kota adalah tempat mencari uang), responden
pada tipe IV ini juga cenderung memiliki sikap netral yang cenderung mengarah
kepada sikap positif terhadap kota (Gambar 14). Kecenderungan sikap positif ini
seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sur (36 tahun) sebagai berikut:
86
“ Saya suka kota. Kota itu bersih, rapih, aman, lahan untuk usaha
luas, terus kota juga ramai, banyak hiburan, banyak tempat wisata.
Kota itu tempat kesenangan.”
45
41,9
40
35,5
35
30
22,6
25
Jum lah (orang)
20
Jum lah (%)
13
15
10
11
7
5
0
Negatif
Netral
Pos itif
Gambar 14. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV
Keempat tipe representasi sosial tentang kota sudah dijelaskan secara
terperinci pada setiap sub bab di atas. Terdapat beberapa karakteristik responden
yang umumnya sama antara satu tipe dengan tipe lainnya. Di samping itu,
terdapat pula beberapa karakteristik responden yang berbeda diantara keempat
tipe tersebut.
Perbedaan yang mencolok antara lain terlihat pada tipe III, yaitu kota
adalah tempat yang tidak nyaman. Karakteristik responden pada tipe III ini sedikit
berbeda berbeda dengan karakteristik responden pada tipe lainnya, salah satunya
terletak pada jenis kelamin responden. Responden pada tipe III ini pada umumnya
adalah laki-laki. Pada tipe lainnya, responden pemilihnya cenderung berjenis
kelamin perempuan.
Hal yang berbeda lainnya yaitu terdapat pada variabel jenis pekerjaan,
tahun datang ke kota dan lama tinggal di lokasi pada responden di tipe III.
Responden pada tipe III ini umumnya bekerja pada pekerjaan sektor formal, yaitu
dalam hal penyediaan jasa profesional seperti cleaning service,montir, ataupun
buruh pabrik. Mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga
tahun 1980 dan telah tinggal di lokasi selama lebih dari 23 tahun. Ini berarti
responden pemilih tipe III merupakan responden lama yang menjadi cikal bakal
terbentuknya komunitas miskin di wilayah ini. Karakteristik responen dari
keempat tipe repesentasi sosial tentang kota dan data mengenai aspek-aspek
representasi sosial tentang kota terdapat pada Tabel 19.
87
Tabel 19. Perbandingan Tipe I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang Kota
Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden dan Aspek-Aspek
Pembentuk Representasi Sosial
Usia
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
Kota adalah
Kota adalah
Kota adalah
Kota adalah
Tempat Mencari
Tempat Hidup
Tempat yang
Tempat Hidup
Uang
Susah
Tidak Nyaman
Nyaman
> 44 tahun
35-44 tahun
< 35 tahun
35-44 tahun
> 44 tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Jenis pekerjaan
Penyediaan
Lainnya:
Jasa profesional
Penyediaan
makanan
pengangguran,
makanan
keliling
pengamen
keliling
Tingkat
SD atau yang
SD atau yang
SD atau yang
SD atau yang
pendidikan
sederajat
sederajat
sederajat
sederajat
Tingkat
Rp. 300 000,00-
Rp. 300 000,00-
Rp. 300 000,00-
Rp. 300 000,00-
pendapatan
Rp. 600 000,00
Rp. 600 000,00
Rp. 600 000,00
Rp. 600 000,00
1991-2010
1970-1980
1991-2010
≤ 15 tahun
≤ 15 tahun
> 23 tahun
≤ 15 tahun
Tempat tinggal
Tidak langsung
Tidak langsung
Tidak langsung
Tidak langsung
pertama kali di
tinggal di lokasi
tinggal di lokasi
tinggal di lokasi
tinggal di lokasi
Frekuensi
Rendah (0-2
Rendah (0-2
Rendah (0-
Rendah (0-2
pulang kampung
kali)
kali)
2kali)
kali)
Alasan datang ke Ingin mencari
Ingin mencari
Ingin mencari
Ingin mencari
kota
pekerjaan
pekerjaan
pekerjaan
pekerjaan
Informasi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Keyakinan
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Pendapat
Positif
Positif
Positif
Positif
Sikap
Netral
Negatif
Netral
Netral
cenderung
cenderung
cenderung
positif
negatif
positif
Tahun datang ke 1991-2010
kota
Lama tinggal di
lokasi
kota
88
7.2
Representasi Sosial Tentang Miskin
Sama halnya seperti pada representasi sosial tentang kota, pada
representasi sosial tentang miskin juga dilakukan pengumpulan kata melalui
teknik asosiasi kata. Pada teknik asosiasi kata ini, setiap responden dapat
mengeluarkan kata-kata yang termasuk dalam satu atau beberapa tipe representasi
sosial tentang miskin.
Berdasarkan jawaban asosiasi kata dari responden, dapat diketahui bahwa
tipologi representasi sosial tentang miskin terdiri atas empat buah tipe yaitu,Tipe
I: miskin adalah orang yang serba kekurangan, Tipe II: miskin adalah orang yang
tidak berpendidikan/keterampilan terbatas, Tipe III: miskin adalah orang yag
memiliki sifat negatif, dan Tipe IV: miskin adalah orang yang tidak berharga.
Berikut merupakan hasil pemilihan tiap tipe representasi sosial tentang miskin,
yang disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi
Sosial Tentang Miskin
Tipe representasi sosial
Jumlah responden
Jumlah responden
tentang miskin
pemilih tipe (orang)
pemilih tipe (%)
Miskin adalah orang yang serba
40
100,0
20
50,0
18
45,0
12
30,0
kekurangan
Miskin adalah orang yang tidak
berpendidikan/memiliki
keterampilan terbatas
Miskin adalah orang yang
memiliki sifat negatif
Miskin adalah orang yang tidak
berharga
Berdasarkan Tabel 20, maka dapat diketahui bahwa tipe dominan dari
representasi sosial tentang miskin adalah Tipe I (miskin adalah orang yang serba
kekurangan).
Tipe
tersebut
dipilih
oleh
keseluruhan
responden
untuk
menggambarkan kata miskin yang didengarnya. Keempat tipe yang ada tersebut
merupakan tipe yang cenderung negatif.
89
Pandangan komunitas miskin yang cenderung negatif terhadap kata miskin
ini mengindikasikan bahwa miskin merupakan suatu keadaan ketidakberuntungan
yang menyulitkan bagi komunitas miskin sendiri. Gambaran umum setiap tipe
representasi sosial tentang miskin tersebut dijelaskan berikut ini.
7.2.1
Tipe I: Miskin adalah Orang yang Serba Kekurangan
Pemilihan tipe ini berkaitan dengan kualitas hidup mereka yang selalu
mengalami kekurangan di berbagai aspek kehidupannya. Ibu Yy (23 tahun)
mengungkapkan bahwa “miskin itu hidupnya susah. Tidak bisa memenuhi
kebutuhan hidup karena gajinya kecil.”
Karakteristik responden pada tipe I ini antara lain berusia antara 35 hingga
44 tahun, mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan jenis pekerjaan yang
dilakukan adalah pekerjaan di sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan
makanan keliling. Lama responden bekerja di kota adalah antara 2 hingga 37
tahun dengan ragam jenis pekerjaan yang pernah dilakukan adalah mayoritas satu
jenis pekerjaan. Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah setingkat
SD atau yang sederajat.
Tingkat pendapatan yang diperoleh setiap bulannya terbilang rendah, yaitu
berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Mayoritas responden
melakukan migrasi desa-kota pada periode waktu 2001 hingga 2010. Lama waktu
tinggal komunitas miskin di lokasi adalah antara 1 hingga 15 tahun (60,0 persen).
Sebagian besar dari responden ini tidak langsung bertempat tinggal di
lokasi penelitian pada saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Mereka
tinggal di berbagai penjuru kota Jakarta dan ada pula yang bertempat tinggal di
kota-kota besar lainnya, seperti Cirebon dan Bekasi.
Mayoritas responden pada tipe ini memiliki frekuensi pulang kampung
yang rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun
terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan. Berbagai macam alasan diutarakan
mengenai hal tersebut. Alasan yang paling dominan adalah tidak memiliki uang
untuk modal pulang kampung. Selain itu, tidak memiliki keluarga lagi di desa
juga merupakan alasan kuat bagi responden untuk tidak melakukan aktivitas
pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan.
90
Alasan ingin mencari pekerjaan merupakan alasan yang paling banyak
dikatakan oleh responden pada tipe ini. Dengan kata lain, mayoritas responden
tersebut memiliki pandangan yang cenderung positif terhadap kota. Hal ini tidak
mengherankan karena tingkat informasi tentang kota yang mereka miliki pada
umumnya adalah rendah. Karakteristik responden pada I ini terdapat pada pada
Tabel 21.
Tabel 21. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe I
Karakteristik Responden Tipe I (n=40 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
35-44 tahun
15
37,5
Jenis kelamin
Perempuan
25
62,5
Jenis pekerjaan
Penyediaan makanan keliling
24
60,0
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
21
52,5
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
22
55,0
Tahun datang ke kota
2001-2010
13
32,5
Lama tinggal di lokasi
≤ 15 tahun
24
60,0
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
28
70,0
29
72,5
29
72,5
23
57,5
Tempat tinggal pertama kali Tidak
langsung
tinggal
di kota
lokasi
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
Tingkat informasi tentang Rendah
di
kota
Seperti yang telah disebutkan di atas, mayoritas responden pada tipe I ini
memiliki tingkat informasi yang rendah tentang kota. Tingkat informasi yang
rendah tersebut tersaji dalam Gambar 15.
57,5
60
50
42,5
40
30
Jumlah (orang)
23
17
Jumlah (%)
20
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 15. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe I
91
7.2.2
Tipe II: Miskin adalah Orang yang Tidak Berpendidikan/Memiliki
Keterampilan Terbatas
Tipe ini berkaitan dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh
masyarakat miskin, dimana pada umumnya mereka tidak berpendidikan atau
hanya berpendidikan rendah, sehingga keterampilan kerja mereka terbatas dan
hanya mampu bekerja pada sektor informal dengan tingkat penghasilan yang
rendah. Bapak Sup (42 tahun) mengemukakan bahwa “miskin itu banyak anak
putus sekolah, karena biaya sekolah sekarang sangat mahal.”
Karakteristik responden pemilih tipe ini antara lain mayoritas berusia di
atas 34 tahun, umumnya berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan
yang pernah ditempuh setingkat SD atau yang sederajat. Jenis pekerjaan yang
dilakukan responden adalah pekerjaan sektor informal dan formal, yaitu dalam
bidang penyediaan makanan keliling dan jasa profesional, dengan jumlah
pekerjan yang pernah dilakukan mayoritas adalah sebanyak satu hingga dua
pekerjaan.
Tingkat pendapatan mayoritas responden pada tipe I ini relatif rendah,
yaitu berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya.
Lamanya mereka bekerja di kota pada umumnya adalah kurang dari 12 tahun.
Pada umumnya responden pemilih tipe ini melakukan migrasi desa-kota
antara tahun 1970 hingga 1990 (60,0 persen). Lama tinggal responden di lokasi
penelitian pada umumnya lebih dari 8 tahun, namun mayoritas dari mereka tidak
langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Frekuensi pulang kampung yang
dilakukan mayoritas responden adalah rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung
hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan.
Alasan pertama kali mereka melakukan migrasi desa-kota adalah ingin mencari
pekerjaan, sebagaimana yang diuraikan oleh seorang responden berikut ini:
“Alasan ke kota waktu itu adalah untuk cari pekerjaan, cari nafkah.
Ke kota karena di desa lowongan kerja sedikit, kalau di kota kan
banyak, jadi cari kerjanya di kota supaya kebutuhan semua
keluarga terpenuhi.” (Ibu Sar, 42 tahun)
Tingkat informasi tentang kota yang dimiliki oleh responden pada tipe I
ini terbagi atas dua golongan, yaitu 50,0 persen tergolong tinggi dan 50,0 persen
lainnya tergolong rendah. Mereka yang memiliki tingkat informasi rendah pada
92
umumnya menganggap bahwa kondisi lingkungan tempat tinggal di kota saat ini
masih luas, tidak mengetahui bahwa untuk bekerja dan bertempat tinggal di kota
memerlukan kartu identitas yang tercatat di lingkungan RT setempat, misalnya
Kartu Keluarga (KK) dan KTP.
Selain itu, umumnya responden menganggap bahwa keterampilan kerja
yang memadai tidak diperlukan untuk bekerja di kota dan tidak mengetahui
bahwa tingkat pengangguran di kota saat ini tergolong tinggi. Responden yang
memiliki tingkat informasi tentang kota yang tinggi mengetahui bahwa kondisi
lingkungan tempat tinggal di kota saat ini sudah sempit, mengetahui pentingnya
memiliki Kartu Keluarga (KK) dan KTP yang tercatat di lingkungan RT setempat,
dan mengetahui bahwa untuk bekerja di kota seseorang harus memiliki
keterampilan kerja yang memadai karena persaingan kerja di kota ketat dan
tingkat pengangguran di kota yang cenderung tinggi. Karakteristik responden
pada tipe ini terdapat dalam Tabel 22. Tingkat informasi tentang kota yang
dimiliki responden pada tipe ini tersaji dalam Gambar 16.
Tabel 22. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe II
Karakteristik Responden Tipe II (n=20 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
> 34 tahun
14
70,0
Jenis kelamin
Perempuan
11
55,0
Jenis pekerjaan
Penyediaan makanan
6
30,0
6
30,0
keliling
Jasa profesional
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
10
50,0
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600
12
60,0
000,00
Tahun datang ke kota
1970-1990
12
60,0
Lama tinggal di lokasi
> 8 tahun
14
70,0
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
13
65,0
17
85,0
Tempat tinggal pertama kali di Tidak langsung tinggal di
kota
lokasi
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
15
75,0
Tingkat informasi tentang kota
Rendah
10
50,0
Tinggi
10
50,0
93
50
50
50
40
30
20
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
10
10
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 16. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe II
7.2.3
Tipe III: Miskin adalah Orang yang Memiliki Sifat Negatif
Tipe ini berkaitan dengan sifat-sifat negatif yang cenderung dimiliki oleh
masyarakat yang tergolong miskin, yang menyebabkan mereka terus terbelit
dalam permasalahan kemiskinan secara ekonomi dalam hidupnya. Sebanyak 72,2
persen responden merepresentasikan kata miskin dengan sifat pemalas. Uraian
pendapat tersebut seperti yang disampaikan oleh responden di bawah ini:
“Orang miskin itu malas kerja, ga ada kemauan untuk kerja, tapi
senangnya foya-foya. Malas itu memang sifat dasarnya, jadi susah
dirubah.” (Ibu Har, 35 tahun)
Selain malas, anggota komunitas miskin merepresentasikan kata miskin
pada sifat-sifat negatif lainnya, seperti pelaku kejahatan, orang yang selalu
pesimis, selalu putus asa dalam hidup, banyak pikiran, masa bodoh dan tidak ingat
akan keberadaan Tuhan karena sibuk mencari pekerjaan. Pendapat responden
pemilih tipe ini mengenai hal tersebut diuraikan sebagai berikut:
“Miskin itu kejahatan. Karena tidak mempunyai pekerjaan makanya
banyak orang miskin yang melakukan kejahatan supaya bisa
makan.” (Byr, 40 tahun)
Responden pada tipe III ini pada umumnya adalah mereka yang berusia
antara 35 hingga 44 tahun dan umumnya berjenis kelamin perempuan. Mayoritas
responden bekerja pada sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan
keliling dan pernah bekerja pada satu jenis pekerjaan saja selama tinggal di kota,
dengan waktu kerja kurang dari 12 tahun. Pekerjaan yang dilakukan oleh
mayoritas responden tersebut dilakukan antara lain karena mereka tidak memiliki
keterampilan kerja yang memadai dan tidak memiliki tingkat pendidikan yang
94
tinggi. Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh mayoritas responden adalah
setingkat SD atau yang sederajat.
Pendapatan yang diperoleh mayoritas responden melalui pekerjaan
tersebut berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya.
Mayoritas dari mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1991 hingga
tahun 2010 dengan lama tinggal di lokasi pada umumnya antara 1 hingga 15 tahun
terakhir.
Pada umumnya responden pada tipe III ini tidak langsung bertempat
tinggal di lokasi penelitian, melainkan tinggal di lokasi lainnya pada saat pertama
kali mereka melakukan migrasi desa-kota. Kemudian, frekuensi pulang kampung
yang mereka lakukan dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini
dilangsungkan adalah antara tidak pernah pulang kampung hingga dua kali.
Alasan yang menjadikan mereka berpindah ke kota adalah ingin mencari
pekerjaan. Mereka menganggap bahwa peluang kerja di kota sangat besar dan
terbuka bagi mereka, sehingga mereka berharap bahwa peluang kerja tersebut
dapat membawa mereka ke kehidupan yang lebih sejahtera di masa yang akan
datang (Tabel 23).
Informasi yang mayoritas responden miliki tentang kota dan kehidupan
kota mayoritas tergolong rendah (72,2 persen). Mayoritas dari mereka tidak
mengetahui bagaimana keadaan dan kehidupan di kota sebenarnya. Umumnya
mereka hanya mengetahui hal-hal yang positif saja dari kehidupan kota, seperti
kota adalah sumber uang, sumber gaya hidup dan lain sebagainya. Responden
juga menganggap bahwa hidup di kota sama mudahnya atau lebih mudah
dibandingkan dengan di desa dan kehidupan mereka di kota akan lebih baik
daripada kehidupan mereka di desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu
Har (35 tahun) berikut ini:
“Kota itu tempat cari nafkah karena pekerjaan banyak, di kampung
mata pencaharian sedikit. Di kota apa-apa serba ada, fasilitasnya
lengkap, pendidikan anak gampang karena sekolahan banyak.”
95
Tabel 23. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe III
Karakteristik Responden Tipe III (n=18 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
35-44 tahun
7
38,8
Jenis kelamin
Perempuan
10
55,5
Jenis pekerjaan
Penyediaan makanan keliling
6
33,3
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
8
44,4
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
10
55,5
Tahun datang ke kota
1991-2010
9
50,0
Lama tinggal di lokasi
≤ 15 tahun
11
61,1
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
11
61,1
13
72,2
14
77,8
13
72,2
Tempat tinggal pertama kali Tidak langsung tinggal di lokasi
di kota
Alasan datang ke kota
Tingkat
informasi
Ingin mencari pekerjaan
tentang Rendah
kota
Data mengenai tingkat informasi tentang kota yang responden miliki
terdapat pada Gambar 17. Grafik pada Gambar 17 tersebut maka menggambarkan
dengan jelas bahwa tingkat informasi yang dimiliki responden pada tipe III ini
adalah rendah.
72,2
80
70
60
50
40
30
20
27,8
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
13
5
10
0
Rendah
Tinggi
Gambar 17. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe III
7.2.4
Tipe IV: Miskin adalah Orang yang Tidak Berharga
Tipe IV ini menunjukan bahwa komunitas miskin di perkotaan
merepresentasikan miskin sebagai orang yang tidak berharga, tidak berguna dan
tidak memiliki kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat, seperti tertindas,
96
terlantar, pantas dikasihani, gelandangan, pengemis dan lain sebagainya. Hal ini
diungkapkan oleh seorang responden berikut:
“Orang miskin itu gelandangan. Banyak anak-anak yang mengemis
dan mengamen di jalanan dan di komplek-komplek untuk dapetin
uang.” (Rn, 20 tahun)
Berbeda dengan karakteristik responden pemilih ketiga tipe sebelumnya,
responden pemilih tipe ini umumnya adalah laki-laki, berusia di bawah 25 tahun,
berpendidikan setingkat SD atau yang sederajat, bekerja pada sektor informal dan
sektor formal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling seperti pedagang
bakso, kue putu dan lain sebagainya, juga sebagai penyedia jasa profesional
seperti buruh pabrik dan montir. Jumlah pekerjaan yang pernah mereka lakukan
pada umumnya adalah dua jenis pekerjaan selama tinggal di kota, dengan lama
kerja kurang dari 12 tahun.
Pendapatan per bulan yang mereka peroleh melalui pekerjaan yang
dilakukannya berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Responden
pada tipe IV ini pada umumnya melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1991
hingga 2010. Sebanyak 75,0 persen responden pemilih tipe ini tidak langsung
bertempat tinggal di lokasi penelitian ketika pertama kali mereka datang ke kota,
melainkan bertempat tinggal pada lokasi yang umumnya tidak terletak jauh dari
lokasi tempat tinggal mereka saat ini, seperti di Gandaria Utara dan di Tanah
Kusir III.
Mayoritas dari responden pemilih ini merupakan orang yang baru
bertempat tinggal di lokasi penelitian selama 1 hingga 15 tahun terakhir ini.
Frekuensi pulang kampung yang mereka lakukan terbilang rendah, yaitu antara
nol hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilakukan.
Alasan utama yang mendorong mereka melakukan migrasi desa-kota adalah ingin
mencari pekerjaan dan mayoritas responden memiliki tingkat informasi yang
tinggi mengenai kota dan kehidupan kota. Pada umumnya mereka mengetahui
bahwa kehidupan di kota tidak selalu sebaik seperti apa yang mereka kira ketika
masih di desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh responden berikut ini:
“Cari uang di kota memang gampang, tapi menghabiskannya juga
gampang. Uang itu ga ada artinya kalau di kota.” (Ibu Yy, 23
tahun)
97
Karakteristik responden pemilih tipe IV disajikan dalam Tabel 24. Tingkat
informasi yang dimiliki responden tergambar pada Gambar 18.
Tabel 24. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe IV
Karakteristik Responden Tipe IV (n=12 orang)
n (orang)
n (%)
Usia
< 25 tahun
5
41,7
Jenis kelamin
Laki-laki
7
58,3
Jenis pekerjaan
Penyedia makanan keliling
4
33,3
Jasa profesional
4
33,3
Tingkat pendidikan
SD atau yang sederajat
6
50,0
Tingkat pendapatan
Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00
7
58,3
Tahun datang ke kota
1991-2010
7
58,3
Lama tinggal di lokasi
≤ 15 tahun
8
66,7
Frekuensi pulang kampung
Rendah (0-2 kali)
8
66,7
9
75,0
10
83,3
7
58,3
Tempat tinggal pertama Tidak langsung tinggal di lokasi
kali di kota
Alasan datang ke kota
Ingin mencari pekerjaan
Tingkat informasi tentang Tinggi
kota
58,3
60
41,7
50
40
Jumlah (orang)
30
Jumlah (%)
20
5
10
7
0
Rendah
Tinggi
Gambar 18. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin
Tipe IV
Berdasarkan data yang tersaji di atas, dapat dilihat bahwa keempat tipe
representasi sosial tentang miskin memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaanperbedaan pada karakteristik respondennya. Oleh karena itu, keempat tipe tersebut
98
dapat diperbandingkan untuk diambil intisari daripadanya. Perbandingan keempat
tipe representasi sosial tentang miskin terdapat pada Tabel 25.
Tabel 25. Perbandingan Tipe I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang Miskin
Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Tipe IV
Usia
35-44 tahun
> 34 tahun
35-44 tahun
< 25 tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Perempuan
Perempuan
Laki-laki
Jenis
Penyediaan
Penyediaan
Penyediaan
Penyediaan
pekerjaan
makanan keliling
makanan keliling
makanan keliling
makanan
keliling
Jasa profesional
Jasa profesional
Tingkat
SD atau yang
SD atau yang
SD atau yang
SD atau yang
pendidikan
sederajat
sederajat
sederajat
sederajat
Tingkat
Rp. 300 000,00-
Rp. 300 000,00-
Rp. 300 000,00-
Rp. 300 000,00-
pendapatan
Rp. 600 000,00
Rp. 600 000,00
Rp. 600 000,00
Rp. 600 000,00
Tahun datang
2001-2010
1970-1990
1991-2010
1991-2010
≤ 15 tahun
> 8 tahun
≤ 15 tahun
≤ 15 tahun
Rendah (0-2 kali)
Rendah (0-2 kali)
Rendah (0-2 kali)
Rendah (0-2
ke kota
Lama tinggal
di lokasi
Frekuensi
kali)
pulang
kampung
Tempat tinggal Tidak langsung
Tidak langsung
Tidak langsung
Tidak langsung
pertama kali di tinggal di lokasi
tinggal di lokasi
tinggal di lokasi
tinggal di lokasi
Alasan datang Ingin mencari
Ingin mencari
Ingin mencari
Ingin mencari
ke kota
pekerjaan
pekerjaan
pekerjaan
pekerjaan
Tingkat
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
kota
Informasi
Tinggi
99
7.3
Ikhtisar
Representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan
terdiri atas empat macam tipe, antara lain kota adalah tempat mencari uang (I),
kota adalah tempat hidup susah (II), kota adalah tempat yang tidak nyaman (III)
dan kota adalah tempat hidup nyaman (IV). Tipe dominan dari representasi sosial
tentang kota ini adalah tipe kota adalah tempat mencari uang (I) yang diantaranya
terdiri atas pendapat ada uang di kota, ada pekerjaan di kota dan tidak mendapat
peluang kerja di desa. Masing-masing tipe memiliki responden dengan
karakteristik dominan yang berbeda.
Pada tipe pertama, yaitu tipe kota adalah tempat mencari uang, mayoritas
responden pada tipe ini adalah responden yang berusia di atas 44 tahun, berjenis
kelamin perempuan, umumnya bekerja pada sektor informal dalam bidang
penyediaan makanan keliling dan memiliki tingkat pendidikan yang hanya
setingkat SD atau yang sederajat.
Tingkat pendapatan yang diperoleh responden pada tipe ini berkisar antara
Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Pada umumnya mereka
melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1991 hingga tahun 2010 dengan alasan
ingin mencari pekerjaan dan tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian.
Masa lama tinggal di lokasi yang umumnya kurang antara 1 hingga 15 tahun dan
selama satu tahun terakhir sebelum penelitian ini berlangsung, mayoritas
responden melakukan aktivitas pulang kampung yang tergolong rendah, yaitu
antara tidak pernah pulang kampung hingga dua kali.
Pada tipe II yang tergolong pada tipe negatif, yaitu tipe kota adalah tempat
hidup susah, mayoritas responden pemilihnya adalah mereka yang berusia 35
hingga 44 tahun, berjenis kelamin perempuan, tingkat pendidikannya adalah
setingkat SD atau yang sederajat, dan umumnya tidak bekerja namun masih
menerima uang dari suami, anak atau cucu sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp.
600.000,00 per bulannya. Pada umumnya mereka datang ke kota antara tahun
1991 hingga 2010 dengan alasan utama untuk mencari pekerjaan. Sama seperti
responden pada tipe I, mayoritas responden pada tipe II ini juga tidak langsung
bertempat tinggal di lokasi penelitian pada saat pertama kali melakukan migrasi
desa-kota dan telah bertempat tingggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun terakhir.
100
Mayoritas responden melakukan aktivitas pulang kampung yang tergolong rendah
dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini berlangsung (tidak pernah pulang
kampung hingga dua kali).
Sedikit berbeda dengan dua tipe sebelumnya, pada tipe III (kota adalah
tempat yang tidak nyaman), mayoritas respondennya adalah laki-laki yang berusia
di bawah 35 tahun dan di atas 44 tahun. Jenis pekerjaan yang umumnya mereka
lakukan adalah pekerjaan di sektor formal seperti montir, cleaning service dan
lain sebagainya. Tingkat pendidikan responden pada tipe ini juga tergolong
rendah, yaitu mayoritas hanya setingkat SD atau yang sederajat, namun terdapat
pula 25,0 persen responden yang berpendidikan setara SLTA atau yang sederajat.
Setiap bulannya mereka pendapatan yang mereka peroleh berkisar antara Rp.
300.000,00 hingga Rp. 600.000,00.
Perbedaan dengan responden pada dua tipe sebelumnya juga terdapat
dalam variabel tahun datang ke kota dan masa lama tinggal di lokasi, dimana pada
umumnya responden dalam tipe III ini melakukan migrasi desa-kota antara tahun
1970 hingga tahun 1980 dan telah bertempat tinggal di lokasi selama lebih dari 23
tahun, meskipun pada masa awal kepindahannya ke kota mereka tidak langsung
bertempat tinggal di lokasi penelitian. Mayoritas dari mereka menjadikan alasan
mencari pekerjaan sebagai alasan utama dalam berpindah ke kota dan frekuensi
pulang kampung yang mereka lakukan dalam satu tahun terakhir ini adalah tidak
pernah pulang kampung hingga dua kali.
Pada tipe IV (kota adalah tempat hidup nyaman), karakteristik mayoritas
responden pemilihnya kurang lebih sama dengan karakteristik responden pemilih
tipe II, hanya hal yang membedakannya adalah pada jenis pekerjaan yang
umumnya dilakukan, dimana mayoritas responden pada tipe ini bekerja pada
sektor informal dalam bidang penyediaan makanan keliling.
Pada representasi sosial tentang miskin, terdapat pula empat macam tipe di
dalamnya, antara lain tipe miskin adalah orang yang serba kekurangan (I), tipe
miskin adalah orang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas (II), tipe
miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif (III), dan tipe miskin adalah
orang yang tidak berharga (IV). Tipe miskin adalah orang yang serba kekurangan
101
menjadi tipe dominan dari representasi sosial tentang miskin pada komunitas
miskin di perkotaan.
Pemilihan tipe I ini terkait dengan kehidupan dari masyarakat miskin
sendiri yang tergolong jauh dari berkecukupan. Karakteristik mayoritas pemilih
tipe ini antara lain berusia antara 35 hingga 44 tahun, berjenis kelamin perempuan
dengan tingkat pendidikan hanya setingkat SD atau yang sederajat. Jenis
pekerjaan responden pada umumnya adalah pada sektor informal, yaitu dalam
bidang penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, pedagang ayam
matang, pedagang pecel dan lain sebagainya. Dengan pekerjaan yang dilakukan
tersebut, mayoritas responden memiliki tingkat pendapatan per bulan sebesar Rp.
300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Pada umumnya mereka melakukan migrasi
desa-kota antara tahun 2001 hingga tahun 2010, dan telah bertempat tinggal di
lokasi antara 1 hingga 15 tahun.
Pada saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota, pada umumnya
mereka tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Frekuensi pulang
kampung dari responden pemilih tipe ini cenderung rendah, yaitu tidak pernah
pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun sebelum penelitian ini
dilangsungkan. Mayoritas responden pemilih tipe ini melakukan migrasi desakota adalah karena ingin mencari pekerjaan, dan tingkat informasi yang mereka
miliki tentang kota mayoritas adalah rendah.
Tipe II, yaitu miskin adalah orang yang tidak berpendidikan/memiliki
keterampilan terbatas terkait dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh
masyarakat miskin, dimana pada umumnya mereka tidak berpendidikan atau
hanya berpendidikan rendah, sehingga keterampilan kerja mereka terbatas dan
hanya mampu bekerja pada sektor informal dengan tingkat pendapatan yang
rendah. Karakteristik responden pemilih tipe ini mayoritas sama dengan tipe-tipe
lainnya dalam representai sosial tentang miskin ini. Karakteristik yang sedikit
berbeda terletak pada usia, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota, dan lama tinggal
di lokasi, dimana mayoritas responden pada tipe ini berusia di atas 34 tahun. Jenis
pekerjaan yang dilakukan sebagian responden adalah di bidang jasa profesional
seperti penjahit dan buruh pabrik. Pada umumnya responden pada tipe II ini
102
melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga tahun 1990. Lama tinggal
responden di lokasi penelitian pada umumnya lebih dari 8 tahun
Pada tipe III (miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif)
karakteristik mayoritas respondennya sama dengan karakteristik responden pada
tipe I. Pada tipe IV (miskin adalah orang yang tidak berharga) karakteristik
responden pada variabel usia, jenis kelamin dan jenis pekerjaan tipe ini memiliki
sedikit berbeda dengan tie-tipe sebelumnya. Responden pada tipe ini umumnya
adalah laki-laki, berusia di bawah 25 tahun, umumnya bekerja pada sektor
informal dan sektor formal, yaitu penyediaan makanan keliling dan jasa
profesional dengan penghasilan sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00
per bulannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak seluruh
karakteristik individu dalam komunitas miskin di perkotaan berhubungan dengan
representasi sosial tentang kota yang dimiliki oleh anggota komunitas miskin
tersebut. Hanya karakteristik jenis kelamin, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota
dan lama tinggal di lokasi yang memiliki hubungan terhadap pembentukan
representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Pada
representasi sosial tentang miskin terlihat pula bahwa usia berhubungan dengan
representasi sosial tentang miskin yang terbentuk.
Pada representasi sosial tentang kota diketahui bahwa laki-laki cenderung
merepresentasikan kota sebagai tempat yang tidak nyaman (Tipe III) dan pekerja
di sektor formal, yaitu dalam bidang jasa profesional cenderung memilih tipe III
untuk merepresentasikan kota dan bagi mereka yang menganggur atau bekerja
sebagai pengamen jalanan, tipe II merupakan tipe yang mereka pilih untuk
merepresentasikan kata kota. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun mayoritas
responden pada tipe II ini tergolong migran baru, namun sejalan dengan pekerjaan
mereka yang mayoritas menganggur, mereka dapat berinteraksi dan menjalin
komunikasi yang lebih intensif dengan anggota komunitas miskin lainnya,
sehingga mereka lebih mengetahui sisi negatif dari kota.
Berdasarkan data yang disajikan, maka dapat terlihat juga bahwa lamanya
anggota komunitas miskin melakukan migrasi desa-kota dan lamanya anggota
komunitas miskin bertempat tinggal di kota berhubungan dengan tingkat
103
keterlibatan individu dalam kelompok dan tingkat komunikasi individu dengan
anggota kelompok lainnya. Hal ini kemudian berhubungan dengan pembentukan
representas sosial pada diri masing-masing individu dalam komunitas miskin.
Anggota komunitas miskin yang melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970
hingga tahun 1980 dan telah lebih dari 23 tahun tinggal di lokasi lebih menyadari
bahwa kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III). Mereka lebih mengetahui
sisi-sisi negatif dari kota, bukan hanya mengetahui sulitnya bertahan hidup di
kota.
Selanjutnya, dapat diketahui bahwa informasi, keyakinan, pendapat dan
sikap berpengaruh pada proses pembentukan representasi sosial pada individu
dalam komunitas miskin. Tingkat informasi yang rendah berhubungan dengan
keyakinan yang positif dan sikap yang cenderung positif pada diri setiap individu
dan akhirnya menimbulkan representasi sosial yang positif pada individu tersebut.
Demikian juga sebaliknya, tingkat informasi yang tinggi berhubngan dengan
keyakinan yang negatif dan sikap yang cenderung negatif terhadap kota. Elemen
pendapat juga berhubungan dengan proses pembentukan representasi sosial.
Elemen pendapat pada penelitian ini tersebar merata dan positif pada setiap tipe
representasi soisal tentang kota. Keseluruhan responden berpendapat bahwa
siapapun berhak tinggal dan bekerja di kota, termasuk mereka yang tergolong
dalam warga miskin. Pada representasi sosial tentang miskin, diketahui bahwa
semakin muda usia responden, maka representasi sosialnya semakin ke tipe
miskin adalah orang yang tidak berharga (tipe IV).
104
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
Anggota komunitas miskin memiliki usia yang beragam, yaitu berada di
bawah usia 25 tahun hingga di atas 54 tahun. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh
komunitas miskin antara lain pedagang eceran kaki lima, penyediaan makanan
keliling, jasa perorangan, jasa profesional dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan yang
paling banyak dilakukan adalah pekerjaan di sektor informal, yaitu dalam bidang
penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, pedagang nasi goreng,
pedagang kue putu, pedagang gorengan, pedagang nasi rames dan pedagang
pecel. Tingkat pendidikan mayoritas anggota komunitas miskin adalah setingkat
SD atau yang sederajat.
Pendapatan yang dapat diperoleh anggota komunitas miskin berkisar
antara Rp. 100.000,00 hingga Rp. 1.500.000,00 per bulannya, dengan mayoritas
tingkat pendapatan berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per
bulannya. Secara keseluruhan anggota komunitas miskin melakukan migrasi desakota antara tahun 1970 hingga tahun 2010, namun mayoritas dari mereka
melakukan migrasi desa-kota antara tahun 2001 hingga tahun 2010. Alasan
kebanyakan anggota komunitas miskin dalam melakukan migrasi desa-kota
adalah ingin mencari pekerjaan.
Kebanyakan anggota komunitas miskin bertempat tinggal di lokasi selama
kurang dari 8 tahun dan tidak melakukan aktivitas pulang kampung sama sekali
dalam satu tahun terakhir. Mereka beralasan tidak memiliki modal yang cukup
untuk pulang kampung atau sudah tidak memiliki keluarga lagi di kampung.
Sebagian besar anggota komunitas miskin tidak memilih lokasi penelitian sebagai
lokasi tempat tinggal pertama mereka di kota.
Representasi sosial tentang kota yang ada pada komunitas miskin di
perkotaan terdiri atas empat macam tipe, yaitu: tipe I (kota adalah tempat mencari
uang), tipe II (kota adalah tempat hidup susah), tipe III (kota adalah tempat yang
tidak nyaman) dan tipe IV (kota adalah tempat hidup nyaman). Tipe I merupakan
tipe dominan yang dianut oleh anggota komunitas miskin di perkotaan. Hal ini
105
mencerminkan bahwa hingga saat ini anggota komunitas miskin yang pada
dasarnya berasal dari wilayah pedesaan masih merepresentasikan kota sebagai
tempat yang penuh dengan hal positif yang dapat merubah kehidupan mereka ke
arah yang lebh baik. Para migran ini masih menggantungkan harapan untuk
memperoleh pekerjaan, pendapatan dan kehidupan yang lebih baik di kota. Hal
inilah yang menyebabkan arus migrasi desa-kota masih terus terjadi hingga saat
ini, meskipun pada kenyataannya kota sudah tidak mampu lagi memberikan
pelayanan yang layak kepada penduduknya.
Tipologi representasi sosial tentang miskin terdiri atas: miskin adalah
orang yang serba kekurangan (tipe I), miskin adalah orang yang tidak
berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas (tipe II), miskin adalah orang yang
memiliki sifat negatif (tipe III) dan miskin adalah orang yang tidak berharga (tipe
IV). Tipe I merupakan tipe dominan dari representasi sosial tentang miskin.
Pemilihan tipe ini mencerminkan kehidupan dari masyarakat miskin sendiri yang
tergolong jauh dari berkecukupan.
Karakteristik komunitas miskin di perkotaan yang berhubungan dengan
pembentukan representasi sosial tentang kota terdiri atas karakteristik jenis
kelamin, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota dan lama tinggal di lokasi. Hal ini
terkait dengan tingkat keterlibatan individu dalam kelompok, tingkat komunikasi
antar anggota kelompok dan pendistribusian representasi sosial yang dimiliki oleh
kelompok kepada individu yang bersangkutan. Semakin lama individu bertempat
tinggal di kota maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya negatif
(tipe III) dan semakin mendekati pengangguran maka negatif pula representasi
sosial tentang kota yang dimilikinya (tipe II). Laki-laki cenderung memiliki
representasi sosial tentang kota yang negatif (tipe III).
Aspek-aspek representasi sosial juga berhubungan dengan representasi
sosial tentang kota yang terbentuk. Tingkat perolehan informasi yang rendah
berhubungan dengan keyakinan yang positif dan kecenderungan sikap yang
positif pula dan berhubungan dengan representasi sosial yang positif. Demikian
sebaliknya, tingkat informasi yang tinggi berhubungan dengan keyakinan yang
negatif dan kecenderungan sikap yang negatif pula sehingga menimbulkan
106
representasi sosial yang negatif. Tingkat perolehan informasi yang rendah ini pada
akhirnya menyebabkan arus urbanisasi terjadi setiap tahunnya.
Elemen pendapat pada penelitian ini tersebar merata dan cenderung positif
pada setiap individu. Setiap individu dalam komunitas miskin berpendapat bahwa
tidak ada larangan bagi siapapun untuk tinggal dan bekerja di kota, termasuk bagi
mereka yang tergolong dalam warga miskin.
8.2
Saran
Setelah melakukan penelitian ini dalam jangka waktu beberapa bulan,
maka terdapat beberapa saran yang peneliti untuk melengkapi penelitian ini dan
memperbaiki situasi yang ditemukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut
antara lain:
1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai representasi sosial tentang kota
yang lebih mendalam dengan menggunakan metode lain seperti metode
central core dan peripheral core.
2. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat desa mengenai kondisi peluang
kerja dan tingkat pengangguran di kota yang sebenarnya, sehingga masyarakat
desa dapat mengerti bahwa keadaan di kota tidak selalu baik bagi mereka dan
fenomena migrasi desa-kota ini pada akhirnya dapat teratasi. Sosialisasi ini
dapat melalui media masa ataupun melalui perangkat desa setempat.
107
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, Galuh. 2009. Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan
(Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Jawa Barat). Program Studi
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Bergman, Manfred Max. 1998. Social Representations As The Mother Of All
Behavioral Pre-Dispotitions? The Relation Between Social Representations,
Attitudes, dan Values. Faculty of Social and Political Sciences. University of
Cambridge.
Deaux, Kay and Gina, Philogene. 2001. Representation of The Social: Bridging
Theoritical Traditions. Massachusetts: Blackwell Publisher.
Fraenkel, J.R. and N. E. Wallen. 1990. How to Design dan Evaluate Research in
Education. New York: McGraw-Hill.
Guimelli, Christian. 1993. Concerning The Structure of Social Representation.
Universite Paul Valery (Montpellier III). France.
Handayani, Ninik. 2009. Menyimak Kehidupan Keluarga “Miskin”. Jurnal
Analisis Sosial Vol 14 No.2 September 2009. Bandung: Yayasan Akatiga.
Hugo, Graeme J. 1985. Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa
Barat. Dalam buku Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di
Kota (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi). PT. Gramedia.
Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan Masyarakat Miskin Mengenai Kemiskinan dan
Keberhasilan Program Penanggulangan Kemiskinan. (Studi Kasus dua
Kelompok Penerima P2KP Tahap I di Kelurahan Lemahputro, Kecamatan
Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur). Program Studi Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Jost, John T. and Gabriel Ignatow. 2001. What We Do dan Don’t Know About The
Function of Social Representations. Dalam buku Representation of The
Social ( Bridging theoretical Traditions). Edited by : Kay Deaux dan Gina
Philogene. Massachusetts : Blackwell Publishers Inc.
Marbun, Deswanto dan Asep Suryahadi. 2009. Kriteria Kemiskinan Konsumsi:
Praktik di Indonesia dan Beberapa Catatan. Jurnal Analisis Sosial Vol 14
No.2 September 2009. Bandung: Yayasan Akatiga.
108
Musyarofah, Siti Anis. 2006. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Perkotaan
(Studi Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan
Cilincing, Jakarta Utara). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Putra, Idamsyah Eka, Citra Wardhani dan Resky Muwardhani. 2003. Representasi
Sosial Tentang Pemimpin Antara Dua Kelompok Usia dan Situasi Sosial
yang Berbeda di Jakarta dan Palembang. Fakultas Psikologi, Universitas
Indonesia.
Ramli, Rusli. 1992. Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co.
Riduwan, dan Akdon. 2006. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika untuk
Penelitian (Administrasi Pendidikan-Bisnis-Pemerintah-Sosial-KebijakanEkonomi-Hukum-Manajemen-Kesehatan). Ed. Bukhori Alma. Jakarta:
Alfabeta.
Saripudin. 2009. Pengangguran dan Kemiskinan di Pedesaan (Kasus Kepala
Rumahtangga Miskin di Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten
Bogor, Propinsi Jawa Barat). Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas
Model Jaminan Sosial Universal di bidang kesehatan. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
Jakarta Selatan: PT. Bina Rena Prawira.
Todaro, Michael P. dan Jerry Stilkind. 1985. Dilema Urbanisasi. Dalam Buku
Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota (Chris Manning
dan Tadjuddin Noer Effendi). PT. Gramedia.
Wahyuni, Ekawati S. dan Pudji Muljono. 2007. Bahan Kuliah Metode Penelitian
Sosial. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
109
LAMPIRAN
110
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian
Peta Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Sektor I
111
Gambaran Umum Sektor II
Gambaran Umum Sektor III
‘
Gambaran Umum Sektor IV
Fasilit
Fasilitas Olahraga dan Bermain Anak
112
Akses Jalan Menuju Lokasi Penelitian
Akses Jalan di Dalam Lokasi
Gambaran Umum Sektor V (Lokasi Penelitian)
Dua Buah Sumber Air di Lokasi
113
Fasilitas MCK Umum di Lokasi
114
Warga yang Sedang Berkumpul di sore Hari
Warga yang Sedang Berjualan
Usaha Bengkel Seorang Warga
Seorang Warga yang Sedang Bersiap
untuk Berjualan
115
Lampiran 2: Hasil Asosiasi Kata Representasi Sosial Tentang Kota pada
Komunitas Miskin di Perkotaan.
A. Representasi Sosial Tentang Kota
Kata
Tipe I: Kota adalah Tempat Mencari Uang
1 tempat mencari nafkah
2
3
banyak uang
tempat mencari uang
4
banyak orang jualan
5
6
peluang kerja besar
sumber rezeki
7
8
lebih sering punya uang jika tinggal di kota
tempat mencari kerja
9 di kampung sulit untuk mencari uang
10 mudah untuk mencari uang
11
12
13
14
15
mudah mendirikan usaha
perputaran uang cepat
tempat mencari rezeki
banyak pekerjaan
usaha lancar
16
17
18
19
20
tempat usaha
lahan mencari uang luas
lapangan pekerjaan luas
tempat mencari makan
penghasilan lancar
21
22
23
24
di desa mata pencaharian sedikit
mata pencaharian ada di kota
sumber uang
membantu orang tua
25
26
27
28
sulit cari kerja di desa
di desa tidak bisa usaha
membantu keluarga yang ada di desa
membantu suami
29
30
31
32
33
banyak perkantoran
tempat mencukupi kebutuhan keluarga
tidak ada rezeki di desa
Jakarta
tidak ada yang berhutang
34 pusat perekonomian
Alasan
Mencari nafkah lebih mudah karena peluang
kerja besar
Lebih sering punya uang jika tinggal di kota
Pekerjaan di kota lebih banyak
dibandingkan di kampung
Karena kota ramai penduduknya, usaha laku
setiap hari.
Karena kota itu luas
Karena sumber percetakan uang ada di
Jakarta.
Karena pekerjaan lancar
Di kota jenis pekerjaannya banyak, di
kampung hanya bertani.
Pekerjaan sedikit, usaha tidak laku
Jika di kampung jualan tidak laku, di kota
karena ramai jadi bisa laku terus; karena
lahan pekerjaan luas
Karena ramai dan tidak ada pungutan liar
Tidak ada yang berhutang
Karena di kota banyak pekerjaan
Karena banyak usaha yang didirikan di kota.
Yang penting rajin dan kerja keras; karena
banyak penduduknya; penghasilan lancar
biarpun sedikit
Karena kota ramai
Karena kota luas
Karena apa saja dapat menghasilkan
Kerja apa saja bisa menghasilkan uang
Tiap hari pasti dapat uang walaupun hanya
sedikit
Hanya di bidang pertanian
Lahan pekerjaan ada di kota
Karena percetakan uang ada di Jakarta
Dengan cara mengirimkan uang hasil
bekerja di kota
Pekerjaan di desa sedikit
Jualan tidak laku seperti jika tinggal di kota
Mencari uang untuk keluarga
Berbakti kepada suami dengan membantu
suami berjualan
Berarti banyak peluang kerja
Karena pekerjaan ada di kota
Karena lahan pekerjaan di desa sedikit
Bagi orang desa kota itu hanya Jakarta
Sistem hutang tidak berlaku di kota, ini
membuat penghasilan datang lebih lancar.
Karena Jakarta adalah ibukota negara
116
35 usaha di kampung kurang
kebutuhan
36 di kampung menganggur
37 mencari tambahan penghasilan
dapat
memenuhi
38 usaha di kampung tidak laku
39 tempat menambah pengalaman
40 tempat merubah nasib
41 tempat menambah wawasan
42 ingin cari kerja untuk mengisi waktu
43 ingin maju
44 mengadu nasib
45 di desa hanya bisa bertani
46 sukses dalam pekerjaan
Tipe II: Kota adalah Tempat Hidup Susah
47 pedih
48 susah payah dalam bekerja
49 susah mencari kerja
50 biaya hidup mahal
51 kerja keras
52 susah cari rumah
53 hidup keras
54 banting tulang
55 kurang tidur
56 hidup susah (harus punya usaha)
57 persaingan kerja ketat
58 penghasilan kecil
59 susah mencari uang
60 tidak ada yang gratis
61 biaya pendidikan mahal
62 kebutuhan hidup mahal
63 harus mengontrak rumah
64 hidup sengsara
65 harus punya uang
66 banyak aturan
67 kejam
68 disiplin
69 mandiri
Tipe III: Kota adalah Tempat yang Tidak Nyaman
Bila hanya bertani hasilnya kurang untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga
Tidak punya keterampilan dalam bertani
Usaha di kampung (bertani) kurang
mencukupi kebutuhan hidup.
Banyak orang yang berhutang
Karena segala jenis pekerjaan pernah
dilakukan
Karena banyak peluang kerja di kota
(Jakarta). Jika penghasilan lancar, maka
nasib juga akan berubah
Karena pengalaman kerja di kota banyak
Daripada menganggur
Kota (Jakarta) adalah tempat yang cocok
untuk memperbaiki hidup
Di kampung fasilitas yang tersedia kurang
sehingga untuk menjalankan usaha relatif
sulit.
Tidak ada jenis pekerjaan lain di desa
Karena penghasilan di kota besar
Harus benar-benar berjuang untuk hidup
Karena harus bekerja sendirian
Menyebabkan hidup susah
Semua harus pakai uang
Jika tidak bekerja keras, maka tidak bisa
makan.
Karena lahannya sempit
Kontarakan harus dibayar tepat waktu, jika
telat membayar maka langsung diusir
Agar hidup nyaman di kota
Siang-malam kerja
Jika tidak memiliki usaha, maka hidupnya
sengsara
Akibat banyaknya orang yang ingin mencari
kerja di kota
Karena pekerjaan serabutan
Harus memiliki keterampilan kerja yang
baik
Semua hal harus bayar
Setap tahun harus mengganti buku pelajaran
Semua harga barang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan di desa
Karena tidak mampu utnuk membangun
rumah sendiri
Penghasilan hanya cukup untuk makan
sehari-hari.
Syarat untuk bertahan hidup di kota
Banyak peraturan yang dibuat oleh
pemerintah di kota.
Sangat sulit untuk hidup layak di kota
Karena di kota waktu adalah uang
Karena hidup seorang diri di kota
117
70
71
72
73
bising
padat penduduk
panas
macet
74
75
76
77
kumuh
polusi
kurang penghijauan (gersang)
sumpek
78 lahan sempit
79 tidak nyaman untuk yang berusia lanjut
80 pemukiman tidak teratur
81 lalu lintas padat
82 rawan kejahatan
83 penduduk tidak disiplin
84 jorok/kotor
85 rawan banjir
86 banyak sampah
87 hanya untuk tempat tinggal sementara
Tipe IV: Kota adalah Tempat Hidup Nyaman
88 tempat tukar pikiran dan pengalaman
89 pergaulan luas
90
91
92
93
94
95
pergaulan di kota bagus
menambah teman
mencari pengalaman
di kota banyak orang
fasilitas hidup lengkap
nyaman
96 tenteram
97 pikiran selalu tenang
98 penduduk yang harmonis
99 suasana enak (adem)
100 bersih
101 tenang karena banyak orang
102 banyak bangunan sekolah
103 kehidupan yang modern
104 kehidupan yang mewah
Karena banyak kendaraan
Penduduk kota sudah melebihi batas
Kurang ada penghijauan di kota
Masyarakat kurang disiplin di jalan, terlalu
banyak mobil
Karena banyak perumahan padat
Banyak asap kendaraan bermotor
Pohon-pohon banyak yang ditebang
Karena penduduknya padat dan keadaan
lingkungan yang gersang
Karena terlalu padat penduduk
Karena kota bising dan banyak polusi
Orang sembarangan dalam membangun
rumah
Karena terlalu banyak kendaraan
Karena kondisi kota yang terlalu ramai
Banyak peraturan yang dibuat tapi banyak
pula yang dilanggar
Banyak orang buang sampah sembarangan
Banyak perumahan yang dibangun di lahan
hijau, penduduk kurang disiplin dalam
membuang sampah
Karena penduduk yang tidak disiplin
Jika sudah tua akan kembali lagi ke desa
karena desa lebih baik untuk orang yang
berusia lanjut
Karena di kota banyak orang dengan
beragam pengalaman yang dimilikinya
Karena penduduk kota terdiri atas beragam
suku
Bergaul di kota dapat menambah wawasan
Karena banyak orang di kota
Karena kota luas
Semua orang memilih untuk tinggal di kota
Segalanya serba tersedia
Karena fasilitas lengkap dan hubungan
dengan tetangga harmonis
Semua kebutuhan hidup tersedia di kota
Karena suasana yang nyaman
Penduduk kota saling menghormati
karena hubungan antar tetangga harmonis
Karena banyak kegiatan bersih-bersih
Banyak yang membantu walaupun tidak
punya saudara di kota
Memudahkan dalam menyekolahkan anak
Banyak tempat hiburan, gaya hidup
penduduk yang tinggi.
Terlihat dari banyaknya mobil mewah di
jalan.
105 udara kota sejuk
106 pekerjaan tidak terlalu melelahkan
Pekerjaan santai, waktu kerja fleksibel
(karena berdagang)
118
107 bagus
108 kualitas pendidikan lebih baik
109 bangunan-bangunan megah
110 gengsi meningkat
111 sarana transportasi mudah didapat
112 hidup praktis
113 lingkungan yang baik
114 hidup tenang
115 Banyak mobil mewah
116 Banyak orang kaya
117 hidup enak
118 aman untuk usaha
119 hidup senang
120 fasilitas kesehatan lebih baik dan lebih lengkap
121 fasilitas pendidikan lebih baik
122 cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri
123 tidak ketinggalan jaman
124 lebih diperhatikan oleh pemerintah
Karena ramai, bersih, nyaman
Kualitas pendidikan lebih baik dan akses ke
sekolah lebih dekat
Mencerminkan kehidupan kota yang maju
Karena gaya hidup di kota lebih bagus
daripada di desa
Mau ke mana saja mudah
Segala sesuatu mudah dan cepat
Para tetangga baik
Jika memiliki uang dan tinggal di
lingkungan yang baik, maka hidup jadi
tenang.
Karena banyak orang kaya
Banyak bos yang tinggal di kota
Asalkan bekerja, hidup menjadi enak
Tidak ada pungutan liar
Kalau sudah sukses di kota
Banyak terdapat rumah sakit, alat-alat
kesehatan lebih lengkap dan canggih.
Bangunan sekolah lebih bagus dibandingkan
dengan di desa
Penghasilan mencukupi untuk diri sendiri
Informasi mengenai gaya hidup lebih cepat
sampai
Karena lebih dekat dengan pusat
pemerintahan
B. Representasi Sosial Tentang Miskin
Kata
Tipe I: Miskin adalah Orang yang Serba Kekurangan
1 hidup susah
2 tidak punya uang
3 penghasilan kurang/kecil
4 harus bekerja keras
5 tidak punya biaya untuk sekolah
6
7
8
9
10
11
12
13
keadaan yang tidak memungkinkan
susah cari uang
sederhana (apa adanya)
sengsara dalam mencari uang
tidak mampu memenuhi kebutuhan
ekonomi sulit
uang yang dipunya hanya untuk makan
serba susah
14 butuh pertolongan
15 tidak punya apa-apa
16 keuangan susah
17 sering berhutang
18 makan seadanya
19 tidak punya modal usaha
Alasan
Karena tidak punya uang
Karena pekerjaan tidak tetap
Karena tidak ada pekerjaan
Untuk bertahan hidup
Karena orangtua juga miskin
Karena ekonomi lemah, terbelit masalah
keuangan yang sulit diatasi
Karena susah untuk mendapatkan pekerjaan
Tidak mampu hidupmewah
Karena tidak punya keterampilan
Karena tidak bekerja
Uangnya terbatas, tidak memiliki pekerjaan.
Karena penghasilan sangat kurang
Karena tidak punya uang
Karena tidak punya pekerjaan dan tidak
punya uang
Tidak mampu untuk membeli perabotan
rumahtangga.
Tingkat pendapatan yang pas-pasan
Karena tidak punya uang, tidak dapat
membeli kebutuhan hidup sehari-hari.
Tergantung uang yang ada
Kurang berani dalam mengeluarkan uang
untuk membuka usaha, jika punya uang
119
didahulukan untuk makan
karena tidak punya uang untuk makan
Karena tidak punya uang
Tidak mampu untuk membeli,akibatnya
22 tidak punya televisi
kurang mendapat hiburan
Karena keterampilan kerja tidak memadai
23 tidak punya pekerjaan
Hanya bekerja sebagi buruh kasar yang
24 pekerjaan tidak tetap
penghasilannya kecil
Karena susah mencari pekerjaan
25 orang susah
Karena keterampilan kerja kurang memadai
26 banting tulang untuk mencari uang
Malas untuk bekerja karena sering ditolak
27 tidak ada kemauan untuk bekerja
Karena keterampilan kerja kurang memadai
28 peluang kerja terbatas
Karena penghasilan kecil, anggota keluarga
29 selalu kekurangan uang
banyak
Karena tidak punya uang
30 sering stress
Karena tidak punya uang
31 tidak bisa hidup mewah
Uang hanya cukup untuk mengontrak rumah
32 tinggal di daerah kumuh
di sana
Karena uang kurang
33 hanya mampu makan 1 kali dalam sehari
Karena tidak punya uang untuk memperbaiki
34 tempat tinggal yang tidak layak huni
rumah
Karena tidak punya uang
35 tidak mampu membangun rumah
Karena pekerjaan yang tidak tetap
36 penghasilan tidak menentu
Habis untuk belanja keperluan berdagang
37 penghasilan tidak mencukupi
saja
Uang yang dimiliki selalu habis, tidak
38 tidak memiliki tabungan
bersisa
Karena pekerjaan tidak menentu
39 keuangan sangat kurang
Karena pekerjaan tidak tetap
40 penghasilan sangat sedikit
41 susah cari uang
Lelah mencari uang karena susah
42 hidup pas-pasan
Kalau tidak bekerja keras, berarti tidak dapat
makan.
43 tidak dapat membayar kontrakan rumah
Karena penghasilan kecil
44 tidak ada biaya untuk berobat
Karena obat-obatan mahal, biaya berobat
mahal, uang hanya cukup untuk makan
45 kurang memperhatikan kesehatan
Karena lebih penting untuk memikirkan cara
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya
46 nasibnya susah
Karena susah cari kerja di kota (Jakarta)
47 tidak mampu membeli sembako
Karena uang terbatas
Karena tidak punya uang untuk membeli
48 gizi buruk
makanan 4 sehat 5 sempurna
Tipe II: Miskin adalah Orang yang Tidak Berpendidikan/ Memiliki Keterampilan Terbatas
Putus sekolah karena kurangnya biaya
49 tidak berpendidikan
Karena keterampilan kerja kurang memadai
50 peluang kerja terbatas
Karena tidak ada biaya untuk sekolah
51 putus sekolah
Karena tidak memiliki keterampilan kerja
yang cukup
52 sulit cari pekerjaan
Karena pendidikan rendah
53 keterampilan kerja kurang
54 tidak berpendidikan
Karena tidak mampu untuk sekolah
55 kurang pengetahuan
Karena pendidikannya rendah
56 pikiran tertutup
Karena wawasan kurang
57 tidak bisa berpikir jernih dalam menghadapi masalah
Karena tidak berpendidikan
58 keterampilan kerja kurang
Karena pendidikan terbatas
59 pendidikan rendah
Terkait dengan sejarah orang Indonesia yang
dahulu susah untuk sekolah
20 susah makan
21 tidak mampu untuk berobat ketika sakit
120
60 tidak punya ijazah
Karena tidak sekolah
61 kurang pengetahuan
Karena pendidikan rendah
62 tidak berpendidikan
Karena tidak mengenyam bangku sekolah
63 kepandaian terbatas
Karena tidak berpendidikan
Tipe III: Miskin adalah Orang yang Memiliki Sifat Negatif
Malas untuk bekerja karena sering ditolak
64 tidak ada kemauan untuk bekerja
65 pemalas
Sifat dasar dari masyarakat miskin yang
mengakibatkan mereka tidak memiliki uang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
66 pesimis
Karena terlalu sering gagal dalam mencari
kerja dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya
67 sering marah-marah
Karena stress akibat tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup
68 lebih mengutamakan untuk foya-foya jika memiliki Hal ini terjadi karena masyarakat miskin
uang
jarang menikmati hidup enak, sehingga lupa
untuk lebih dahulu memenuhi kebutuhan
hidupnya
69 tidak ingat Tuhan
Karena sibuk mencari pekerjaan
70 mental kurang kuat
Terlalu takut untuk berusaha
71 pengangguran
Malas untuk mencari uang
72 putus asa dalam mencari pekerjaan
Sudah malas untuk mencari kerja akibat
sering gagalnya mencari pekerjaan
73 sering menegeluh
Karena tidak memiliki pekerjaan
74 mental kurang kuat untuk berjuang
Sering putus asa dalam mencari pekerjaan
Tipe IV: Miskin adalah Orang yang Tidak Berharga
Tidak mampu untuk membeli perabotan
75 tidak punya apa-apa
rumahtangga.
Tidak punya uang untuk mengontrak rumah
76 hidup sebagai gelandangan
77 orang kecil
Orang tidak mampu yang utuh pertolongan
78 terdiskriminasi
Selalu dianggap remeh oleh orang lain
79 gelandangan
Karena tidak punya tempat tinggal
80 pekerjaan buruh kasar
Hanya mampu untuk bekerja demikian
karena kurangnya keterampilan kerja
81 pantas untuk dikasihani
Karena tidak mampu
82 kaum papa
Warga miskin berasal dari kaum rendahan.
83 tidak memiliki wibawa
Selalu menganggap dirinya rendah dan
direndahkan oleh orang lain
84 tidak ada yang mengurus
Hidupnya terlantar, harus mampu hidup
mandiri
85 rumah di pinggir kali
Tidak mampu untuk hidup layak
Download