1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak sapi khususnya sapi

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya
penghasil daging yang mampu memenuhi kebutuhan akan gizi hewani dan
menjadi salah satu komoditas ekonomi yang menjajikan dan memiliki arti penting
dalam kehidupan masyarakat. Sapi potong dalam suatu peternakan bisa
menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai bahan makanan
berupa daging, di samping hasil lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang
(Sudarmono dan Sugeng, 2008).
Sapi merupakan hewan ternak yang dapat menopang kebutuhan konsumsi
daging. Hal ini karena sapi dapat diternakkan secara sederhana dan mudah,
disukai berbagai kalangan masyarakat, dan tubuhnya cukup besar bila
dibandingkan ternak yang lain. Bila dilihat dari kondisi penduduk Indonesia yaitu
sekitar 235 juta jiwa dan pertambahan penduduk Indonesia yang akan terus
bertambah dari tahun ke tahun, tentu kebutuhan protein hewani juga akan
bertambah. Dengan demikian, usaha ternak sapi potong sebagai salah satu
pemasok protein hewani merupakan upaya yang tepat dan memiliki prospek yang
sangat cerah. Usaha pembesaran sapi potong yang dilakukan secara intensif
maupun semiintensif dan dapat dilakukan dalam skala kecil seperti pada usaha
ternak sapi potong segmen ternak tradisional atau ternak rakyat (Yulianto dan
Saparinto, 2010).
Ada beberapa jenis sapi potong yang ada di Indonesia yaitu sapi tropis dan
sapi bangsa Eropa. Salah satu jenis sapi tropis yang banyak dijumpai di beberapa
1
2
daerah di Indonesia adalah sapi ongole. Saat ini sapi peranakan ongole yang
murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan dengan sapi
brahman sehingga sapi ini sering diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih
(keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging
dan sapi pekerja, kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi
lingkungan, memiliki tenaga yang kuat, tahan terhadap panas, serta pertumbuhan
relatif cepat walaupun adaptasi terhadap pakan kurang (Sujarwo, 2012; Yulianto
dan Saparinto, 2010).
Pola pengelolaan peternakan sapi di Indonesia sudah mengarah pada
sistem yang lebih modern. Pola yang banyak dipakai oleh peternak Indonesia
adalah usaha penggemukan sapi. Terdapat beberapa jenis pola pemeliharaan sapi
yaitu sistem ekstensif (digembalakan), intensif (dikandangkan) dan semiintensif
(kombinasi). Pada pola penggembalaan
(pasture fattening),
sapi
tidak
mendapatkan pakan tambahan dan dibiarkan mencari makan pada padang rumput
atau tempat yang memiliki hijauan. Pola kandang (dry lot fattening) pemberian
proporsi pakan hijauan lebih sedikit daripada konsentrat dengan dikandangkan
tanpa digembalakan. Serta pola kombinasi diantara keduanya, proporsi pakan
hijauan diperoleh dari penggembalaan di padang tanpa harus dikandangkan dan
diberikan juga pakan konsentrat. Pola kereman dilakukan dengan pemberian
pakan hijauan dan konsentrat bergantung pada musim (Setiadi et al., 2012).
Untuk menunjang usaha peternakan
agar berhasil dengan baik, tentu
membutuhkan pengelolaan atau manajemen yang baik pula. Upaya yang harus
dilakukan diantaranya memberikan tempat yang layak dan menjaga kesehatan
3
sapi. Berbagai jenis penyakit pada ternak mampu menimbulkan kerugian pada
peternak. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit misalnya merupakan
hambatan yang penting pada pengembangan peternakan. Cacing merupakan
parasit internal yang dapat menyerang sapi. Cacing dapat mengganggu
pertumbuhan sapi seperti menyebabkan kekurusan, anemia, diare serta gejala
lainnya. Beberapa cacing hidup di dalam abomasum dan usus. Ribuan cacing dari
berbagai spesies tinggal dalam perut sapi. Cacing-cacing biasanya lebih banyak
menyerang anak sapi dan sapi-sapi muda. Hal ini karena anak sapi dan sapi muda
sangat peka terhadap infeksi cacing. Sementara sapi-sapi dewasa umumnya lebih
tahan terhadap infeksi cacing (Yulianto dan Saparinto, 2010 ).
Daerah tropis dengan temperatur yang hangat serta tingkat kelembaban
tertentu merupakan tempat yang baik untuk berkembangnya penyakit-penyakit
parasit. Faktor lain seperti kekurangan pakan yang berpengaruh pada kurangnya
gizi dengan disertai infeksi parasit sedikit saja sudah berpengaruh buruk pada
ternak, menurunkan produksi dan bahkan mengancam jiwa ternak. Cacing
nematoda di dalam saluran pencernaan merupakan cacing yang paling banyak
terdapat dibandingkan dengan organ sehingga penting artinya secara ekonomis.
Parasit yang ada disetiap hewan merupakan campuran dari beberapa atau banyak
jenis nematoda. Infeksi yang terlihat di lapangan merupakan penjumlahan dari
pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh semua parasit. Infeksi alami diperoleh
hewan-hewan dengan cara menelan larva sedikit-sedikit selama satu periode
waktu yang panjang (Levine, 1994;Williamson dan Payne, 1993).
4
Penyakit sapi merupakan kendala bagi peternak, bahkan ancaman nyata
yang patut diperhatikan. Salah satunya nematoda gastrointestinal yang mampu
menimbukan gejala akut maupun kronis. Seperti penurunan berat badan, anemia,
diare bahkan menyebabkan kematian khususnya sapi muda. Dalam kesehatan
ternak upaya pencegahan infeksi penyakit akibat cacing harus ditangani sebelum
menimbulkan gejala yang lebih parah. Salah satu cara yang dilakukan untuk
mengetahui adanya telur cacing parasit terutama dalam gastrointestinal yaitu
dengan identifikasi telur cacing dalam feses. Cara ini termasuk mudah dan cepat
sebagai salah satu upaya diagnosa awal .
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat prevalensi telur strongil
dari nematoda gastrointestinal pada sapi peranakan ongole di daerah kecamatan
Gamping kabupaten Sleman.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor yang
dapat menyebabkan infeksi cacing nematoda gastrointestinal yang memiliki tipe
telur strongil. Sehingga meningkatkan kualitas kesehatan sapi potong seperti
peranakan ongole dan meningkatkan kesejahteraan peternak.
Download