harmonisasi hukum pengelolaan sumber daya alam

advertisement
HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DI INDONESIA DAN PENGELOLAAN TANAH DI NEGARA
Arditya Wicaksono dan Romi Nugroho1
Abstract
Abstract: Land Management and natural resources in Indonesia is burdened regulation that is not synchronized and consistency.
Administration of it’s the management is burdened by immeasurable institute so that inefficient. This article is empirical law study
where many field facts that is each other impinges so that to the fore need to integrate institute.Furthermore, it takes understanding the regulation of natural resource management, agrarian reform and natural resource management as well as the codification
and unification of the rules of natural resources. explanation reference setting natural resources especially land, as comparisons in
other countries are expected to add the ability to decompose problem of natural resources which more accurate.
Keyword: land, natural resources, disharmony law
Abstrak
Abstrak: Pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia terkendala regulasi yang tidak sinkron dan konsisten. Administrasi
pengelolaannya terkendala lembaga yang beragam sehingga tidak efisien. Tulisan ini merupakan kajian hukum empiris dimana
banyak fakta lapangan yang saling berbenturan sehingga kedepan perlu integrasi lembaga. Lebih lanjut, dibutuhkan kesepahaman
dalam peraturan pengelolaan sumber daya alam, pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta kodifikasi dan unifikasi
peraturan sumber daya alam. Gambaran referensi pengaturan sumber daya alam khusunya pertanahan sebagaimana perbandingan di
negara lain diharapkan mampu menambah kekuatan untuk mengurai persoalan sumber daya alam yang lebih tepat.
Kata K
unci
Kunci
unci: Tanah, Sumber Daya Alam, Inkonsistensi Aturan
A. Pengantar
Tanah merupakan sumber daya alam (SDA)
yang penting bagi negara dan menguasai hajat
orang banyak karena berkaitan dengan
kemaslahatan umum (public utilities) dan
pelayanan umum (public services), sehingga harus
dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah,
sebab sumber daya alam tersebut harus dapat
dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan,
keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan
kesejahteraan umum yang adil dan merata (Faiz
2012). Oleh karena itu sudah sewajarnya pengelolaan tanah harus memberikan kemakmuran
1
Arditya Wicaksono, Peneliti di Pusat Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian ATR/BPN. Email:
[email protected]. Romi Nugroho, Peneliti
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian ATR/
BPN. Email: [email protected]
Diterima: 31 Agustus 2015
rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. Selain itu, tanah merupakan sumber
daya alam baik hayati maupun non hayati dan
merupakan unsur lingkungan yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pentingnya sumber daya alam secara
eksplisit telah disebutkan dalam pasal di atas. Pasal
ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber
daya alam khususnya berkaitan dengan tanah
dan seisinya harus ditujukan untuk kepentingan
rakyat banyak.Di dalam politik hukum
pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau
kekuasaan untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsurunsur agraria yang meliputi: bumi, air dan ruang
angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang
dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam
kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah
hukum agraria (Koeswahyono dkk. 2007).
Direview: 2 Oktober 2015
Disetujui: 20 Oktober 2015
124
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Amanat konstitusi di bidang pertanahan
produk hukum, duabelas diantaranya berupa
menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan
dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses
undang-undang yang dari semua itu tidak ada yang
taat asas keadilan sosial, antar undang-undang yang
mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” (Sila kelima Pancasila dalam
terkait dengan pertanahan tersebut saling overlap
dan tidak harmonis. Kondisi inilah yang disebut
Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33
dengan Jungle of Regulation (Joyowinoto 2010).
Berkaca pada pandangan tersebut hendaknya
ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini
mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk
sinergitas aturan mutlak diperlukan sebab
bagaimanapun pengelolaan negara pasti
dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran,
terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat
memerlukan sumber daya yang melimpah
dimana tanah merupakan salah satu potensi yang
vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang
susunan masyarakat dan perekonomiannya
dalam pengelolaan tanah di Indonesia seluas 190
juta hektar (BPN 2010) tidaklah mampu optimal
bercorak agraris. Tanah adalah kehidupan,
dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah
apabila kita masih terkotak-kotak dan tanpa
koordinasi. Sayang sampai sekarang produk
dan melalui kuatnya hak rakyat atas tanah, maka
kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri
hukum yang ada tidak memasukkan UUPA
sebagai pandangan untuk sinergi, justru investasi
kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin
besar serta martabat sosialnya akan meningkat.
negara yang ada sekarang membuat kita tidak bisa
bergerak sejalan dan padu serasi akibat undang-
Hak-hak dasarnya akan terpenuhi, rasa keadilan
rakyat sebagai warga negara akan tercukupi dan
undang sektoral yang bertentangan satu sama lain.
Mulyanto (2010) dalam orasi pengukuhan
harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini
akan menjamin keberlanjutan sistem kemasya-
guru besarnya mengurai bahwa posisi tanah
sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan
rakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia
belum sepenuhnya dipahami khalayak, termasuk
para mahasiswa. Pemahaman yang diajarkan di
menggunakan konsep negara kesejahteraan
karena tujuan negara adalah untuk kesejahteraan
ilmu tanah selama ini hanya aspek teknis semata,
tapi kurang dari sisi pembahasan aspek-aspek
umum dan negara dipandang hanya merupakan
alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran
lainnya. Dimensi tanah itu bukan hanya f isik,
tetapi beragam dimensi kehidupan semuanya
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah
dalam negara kesejahteraan diberi tugas
berhubungan dengan tanah. Untuk itu
menurutnya perlu pemahaman ilmu tanah.
membangun kesejahteraan umum dalam berbagai
lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi
Lebih lanjut Mulyanto (2010) menyebutkan
peningkatan jumlah penduduk di bumi ini
pemberian kemerdekaan kepada administrasi
negara dalam perjalanannya. Tugas pemerintah
menyebabkan peningkatan tekanan pada tanah.
Kehidupan di permukaan bumi tidak saja
bukan hanya lagi sebagai penjaga malam
(nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri
membutuhkan pangan dan energi, tetapi juga
memerlukan tapak untuk bermukim serta
secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif
dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan
infrastruktur bagi kegiatannya. Peningkatan
jumlah penduduk menyebabkan kelangkaan
bagi semua orang dapat lebih terjamin.
Joyowinoto menyebutkan di BPN dan instansi
tanah (land scarcity) yang makin hari semakin
nyata oleh karena luas bumi ini relatif tetap.
pemerintah lainnya terkait pertanahan terdapat 538
Kondisi ini menyebabkan intensitas dan frekuensi
Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134
125
permasalahan yang berhubungan dengan tanah
Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan
makin meningkat seperti masalah kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan penguasaan dan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
melaporkan pelaksanaannya pada Sidang
penggunaan tanah, kerusakan lingkungan,
kelangkaan pangan dan energi, serta sengketa
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia”.
dan konflik pertanahan.
Mengingat hubungan antara tanah dengan
Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi
tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep
kehidupan adalah multi aspek maka pengembangan
Lembaga Pertanahan perlu diarahkan pada
“hak menguasai negara” dan “sebesar-besamya
kemakmuran rakyat”, yang dalam operasio-
pengembangan perspektif bersifat multi-dimensi
dan holistik sebagai matrik dasar sistem penyangga
nalisasinya diwujudkan dalam berbagai undangundang organik seperti UUPA, Undang-Undang
kehidupan. Pengembangan lembaga pertanahan
yang demikian sangat diperlukan untuk penataan
Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan dan
lain-lain (Maria Sumrdjono 2008). Ketidak-
kembali hubungan antara tanah dengan kehidupan,
terutama penataan penguasaan dan penggunaan
sinkronan antara berbagai undang-undang yang
mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam,
tanah untuk menguatkan Reforma Agraria dalam
upaya mewujudkan tanah untuk keadilan dan
walaupun sama-sama berpijak pada pasal di atas,
namun karena egoisme sektoral yang begitu
kesejahteraan rakyat. Bertitik tolak pada persoalan
di atas maka rumusan masalah pada tulisan ini
tinggi, masing-masing sektor merasa paling
berkompeten mengatur tentang sumber daya
adalah apakah Undang-Undang Pengelolaan
Sumber Daya Alam telah sesuai dengan prinsip-
alam. Walaupun disadari bahwa segenap unsur
sumber daya agraria/sumber daya alam meru-
prinsip negara hukum.
Penggunaan pendekatan kajian hukum
pakan satu ekosistem, tetapi kesadaran masingmasing sektor hanya mengatur fungsi tertentu
empiris akan memberikan gambaran pada halhal apa saja yang menjadi hambatan dan
dari pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya
alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan
ketidakharmonisan pengelolaan sumber daya
alam termasuk di dalamnya pengelolaan bidang
perundang-undangan di bidang sumber daya
agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten
pertanahan. Disamping itu pendekatan ini akan
memudahkan menganalisa antar peraturan yang
antara satu dan lainnya makin diperparah oleh
inkonsistensi antara peraturan dan implemen-
tidak selaras, dengan dibuktikan adanya
peraturan yang tumpang tindih. Poin penting
tasinya. Unif ikasi hukum yang diupayakan
melalui berbagai peraturan perundang-undangan
yang menjadi tujuan yaitu ditemukan titik temu
langkah penanganan yang bersifat solutif tanpa
ternyata tidak mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum yang masih berlaku di
harus mengedepankan ego sektoral.
masyarakat.
Pertanahan merupakan subsistem dari sumber
B. Harmonisasi Hukum Pengelolaan SDA
daya agraria dan sumber daya alam. Diantara
keduanya terdapat hubungan yang sangat erat,
1) Konflik Kewenangan
TAP
MPR
No.IX/MPR/2001
tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan:
“Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis
baik dalam kaitan hubungan subsistemnya
maupun dalam kaitan hubungannya dengan
manusia/masyarakat dan negara. Namun
demikian, di sisi lain peraturan perundangundangan di bidang sumber daya agraria dan
126
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
sumber daya alam termasuk pertanahan belum
c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku
terpadu bahkan dalam beberapa hal
bertentangan. Keadaan ini sering menimbulkan
surut;
d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas
konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (Murad 1991). TAP MPR
dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh
rakyat;
Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a,
menetapkan pengkajian ulang terhadap semua
e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya
hal-hal yang tidak mungkin;
peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam
f. Sesama peraturan tidak boleh terdapat
pertentangan satu sama lain;
termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat
sinkronisasi kebijakan antar sektor pembangunan
g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh
sering diubah-ubah,
dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas.
Pemenuhan pemberian perlindungan hukum
h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakantindakan para pejabat hukum dan peraturan-
dalam suatu peraturan perundang-undangan
merupakan sasaran yang akan dicapai dengan
peraturan yang telah dibuat.
Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan
adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan
tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan
konflik kewenangan maupun konflik kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang
secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk
pelaksanaannya, dan peraturan yang ada
dapat diterapkan secara konsisten sehingga
keadaan ini berpengaruh terhadap kualitas
dilaksanakan secara konsekuen serta konsisten
sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang
jaminan kepastian hukum dan perlindungan
hukumnya. Di tengah-tengah era reformasi
beragam (Soerodjo 2003). Disamping itu
kepastian hukum akan tercapai apabila peraturan
terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka
mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu:
yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal
berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata
supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ketiga hal ini,
urutan peraturan perundang-undangan, dan
materi yang diatur secara substansial tidak
tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap
tumpang tindih atau bahkan bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya
elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya
penyelesaian masalah yang lebih menekankan
(dis-sinkronisasi secara vertikal), ataupun
bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar
pada power based baik melalui people-power,
pengerahan masa dan sebagainya dari pada
tingkatannya (dis-sinkronisasi secara horisontal).
Menurut Fuller (dalam Rahardjo 1980), ada 8
menggunakan rights-based yang menekankan
pada aspek legalitas yuridis. Hukum dibentuk
(delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh
hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakan
untuk kepentingan masyarakat. Eksistensi
hukum dimaksudkan untuk menciptakan
“delapan prinsip legalitas” yaitu:
a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih
keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat,
serta memberi jaminan kepastian hukum.
dahulu; bahwa tidak ada tempat bagi
keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau
Penegakan hukum menjadi bagian penting untuk
memberikan jaminan kepastian hukum. Menurut
tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer;
b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan
Soekanto (1993) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:
secara layak;
a. Hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini
Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134
akan dibatasi pada undang-undang saja;
127
serta selaras dan serasi dengan anggapan dan
b. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum;
pandangan masyarakat mengenai keadilan
(Goesnadhie 2006,108). Harmonisasi atau
c. Sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum;
keselarasan dalam hukum dimulai dari konsep
hukum sebagai sistem. Dalam hal ini, sistem
d. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan;
didef inisikan sebagai seperangkat unsur yang
menempati relasi yang ketat satu sama lain dan
e. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
relasi dengan lingkungannya, sehingga sebagai
sistem, hukum seperti bagian dalam satu undang-
pergaulan hidup.
Beranjak dari uraian di atas, terlihat bahwa
undang maupun keseluruhan peraturan
perundang-undangan merupakan satu kesatuan
dari faktor perangkat pemerintah terlihat
kurang tegas dalam mengurai benang kusut
yang berhubungan satu sama lain. Dalam rangka
menata sistem hukum nasional yang menyeluruh
pengelolaan sumber daya alam baik itu tanah,
hutan dan tambang sehingga semakin larut
dan terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi
hukum dengan maksud melakukan penataan
dan justru semakin membuat kekayaan alam
bukan menjadi sumber kesejahteraan
dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum
nasional dengan meletakkan pola pikir yang
masyarakat luas akan tetapi kekayaan milik
sebagian kecil orang untuk di eksploitasi.
melandasi penyusunan kerangka sistem hukum
nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber
2) Disharmoni Arah Kebijakan
pada UUD 1945. Dalam perspektif demikian,
harmonisasi hukum dimaksud koheren dengan
Pemerintah
Anekdot ganti pemerintahan ganti kebijakan
sebetulnya bukan masalah sebab eranya memang
terjadi seperti itu, yang kemudian muncul
kepermukaan adalah apabila negara ini dijalankan
dengan melanggar konstitusi dimana prinsipprinsip negara hukum, dan inkonsistensi dalam
menjalankan peraturan perundang-undangan
membuat persoalan SDA semakin terpuruk. Alam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara
mengenai aturan-aturan atau norma-norma
tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang
menjadi sumber norma-norma tersebut. Normanorma atau aturan-aturan tersebut berkembang
menjadi sistem hukum, meliputi hukum yang
tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Sistem
hukum nasional menganut asas nilai-nilai yang
bersumber pada pandangan hidup Bangsa Indonesia dan merasakannya sebagai sistem hukum
yang selaras dan serasi dengan perasaan keadilan
(sense of justice) dan cita hukum (rechtsidee),
sasaran program pembentukan peraturan
perundang-undangan, yaitu “terciptanya
harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan
kebutuhan pembangunan”. Peraturan sumber
daya alam khsusunya pada bidang pertanahan
saat ini masih ditemukan disharmoni dalam
kebijakannya, yaitu:
1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau
peraturan perundang-undangan yang terkait;
2. Perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan kebijakan instansi
pemerintah (petunjuk pelaksanaan, petunjuk
teknis dan lain lain);
3. Perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan yurisprudensi;
4. Perbedaan kebijakan instansi pemerintah pusat
dan pemerintah daerah;
5. Benturan antara wewenang instansi-instansi
pemerintah karena pembagian wewenang
yang tidak sistematis dan jelas.
128
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Merujuk uraian di atas, maka harmonisasi
lahan mereka dan akibatnya menimbulkan
Kebijakan Pengelolaan SDA perlu dilakukan agar
tidak terjadi tumpang tindih wewenang dan
konflik agraria yang juga semakin masif. Untuk
itu alangkah baiknya agar tidak terjadi benturan
perbedaan mekanisme penyelesaian. Sebagai
gambaran belum jelasnya pengelolaan sumber
di lapangan karena secara f isik terdapat perbedaan penggunaan dan pemanfaatan lahan perlu
daya alam adalah data yang diperoleh dari
Kementerian Kehutanan menunjuk luas kawasan
dilakukan sinkronisasi dan penetapan batasan
secara jelas. Penetapan ulang batas dan kewajiban
hutan adalah 136,94 juta hektar atau 69 persen
wilayah Indonesia. Sementara proses lanjutan
menjaga “kepemilikan” lahan hutan dengan lahan
penduduk akan mampu mengurai serta mengu-
setelah penunjukan (Penetapan Tata Guna Hutan
Kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan
rangi potensi konflik sumber daya alam.
Menurut data BPN hingga bulan September
secara serius oleh pemerintah dan sampai kini 121,
74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata
2013 kasus pertanahan telah mencapai 4.223 kasus,
sementara laporan akhir tahun Konsorsium
batas. Dengan demikian, dapat diambil benang
merahnya bahwa kawasan hutan yang ada selama
Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011
mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh In-
ini dan dipakai oleh pemerintah untuk mengusir
rakyat adalah ilegal dan tidak sesuai dengan
donesia. Terjadi peningkatan drastis jika
dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik).
ketentuan yang berlaku. Jika dicermati lebih lanjut
ada masalah besar di sana, sebab di dalam kawasan
Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang
meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan
hutan yang ditunjuk secara sepihak, terdapat
sekitar 19.000 desa yang penduduknya setiap hari
konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan
lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas
rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan
pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.
area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163
kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor
Luas Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga
kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh
perkebunan, 36 kaus di sektor kehutanan, dan 1
kasus pada wilayah tambak/pesisir.
262 unit perusahaan dengan izin hingga 100
tahun. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman
Banyak peraturan BPN tidak dapat berlaku di
kawasan hutan dan beberapa kementerian lain.
Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas
631.628 hektar. Sementara, luas Hak Pengusahaan
Beberapa faktor menyebabkan peraturan
pertanahan tidak bisa mengatur tanah secara op-
Hutan (HPH) di Indonesia 214,9 juta hektar dari
303 perusahaan HPH. Implikasinya yang dapat
timal dimana seyogyanya jika soal tanah seluruh
peraturan hukum yang berlaku mengacu pada
ditimbulkan lebih jauh adalah berupa meluasnya
konflik yang terjadi di kawasan hutan. Sementara
UUPA bukan mengesampingkannya sehingga
kepentingan masyarakat kurang diperhatikan.1
itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan
pasar global pada komuditas tertentu (dulu kopi,
gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit)
perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif
perkebunan ini terus dilanggengkan. Bahkan
belakangan semakin masif sejak beberapa dekade
terahir ketika komoditas sawit menjadi primadona
global. Ekstraksi intensif perkebunan ini
menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses
1
Terbitnya UU Nomor32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah semakin besar
ketentuan undang-undang tersebut di atas, antara pemerintah
pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing.
Khusus untuk wilayah hutan, jika akan dilakukan “kegiatan”
diharuskan memperoleh ijin pinjam pakai dari Menteri
Kehutanan. Kalimantan Tengah provinsi yang sebagian besar
wilayahnya adalah hutan, kementerian kehutanan menetapkan
provinsi ini masuk dalam kawasan kehutanan. Perbedaan dalam
penentuan suatu kawasan hutan, antara Pemerintah Pusat
menentukan Kalimantan Tengah masuk Kawasan Tata Guna
Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134
129
Sebagai contoh disharmoni hukum yang terjadi
alam yang terkandung di dalamnya. Komposisi/
di Provinsi Kalimantan Tengah dimana BPN
masih mengakui adanya alas hak yang dimiliki
struktur UUPA memuat 67 Pasal: 58 Pasal + 9 Pasal
ketentuan konversi terdiri dari:
masyarakat sebelum berlakunya UUPA dan tanah
ulayat, sementara itu Kementerian Kehutanan
a. Pasal-Pasal yang memuat dasar dan ketentuan
pokok: 10 Pasal.
membuat TGHK dan Pemerintah Provinsi
membuat peraturan daerah tentang tata ruang
b. Pasal-Pasal yang mengatur tentang tanah: 53
Pasal.
yang membuat BPN tidak bisa melakukan
layanan kepada masyarakat dan kondisi ini
c. Pasal-Pasal yang mengatur di luar a dan b: 4
Pasal
berdampak pada tidak berlakunya hukum tanah
nasional di Provinsi Kalimantan Tengah.
Degradasi UUPA karena disejajarkan dengan
UU Sektoral. Penerbitan berbagai peraturan
Ruang lingkup pengaturan UUPA sejatinya
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
perundang-undangan sektoral didorong oleh
semangat pragmatis, yakni untuk mengako-
Hutan Kesepakatan (TGHK) sesuai Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982, Pemerintah
Provinsi Kalteng membuat Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1992 jo UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan tidak
semuawilayahProvinsiKalimantanTengahmerupakankawasan
hutan, tetapi ada yang peruntukan sebagai KPPL dan APL.
Tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu
wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan
kepastian hukum untuk penentuan suatu kawasan hutan, karena
TGHK tidak mempunyai payung hukum. RTRWP Kalimantan
Tengah dengan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP
pembentukannya didasarkan pada UU Nomor 26 Tahun
2007 tentang Tata Ruang. Ketetapan Pasal 14 ayat 2 UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa
pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata
ruang wilayah melalui proses, diantaranya penunjukkan
kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan
kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Berdasarkan
Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
jo. Pasal 18 ayat (2) PP Nomor44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan
hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh Menteri
dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian
antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan
Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan
sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan
kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jelas bahwa Perda
Nomor 8 Tahun 2003 dapat dijadikan acuan penentuan kawasan
hutan. Tumpang tindih dan ketidakharmonisan peraturan
perundang-undangan kawasan hutan mempersulit masyarakat
mengurus kepemilikan tanah.
modasi investasi dalam rangka mencapai
pertumbuhan ekonomi “pembangunanisme”.
Lebih jauh falsafah, tujuan dan prinsip-prinsip
dari UUPA tidak diakomodasi dalam UU Sektoral.
Pada saat penerbitan UUPA, masalah berkenaan
dengan sumberdaya agraria selain tanah belum
merupakan hal yang strategis, sehingga masalah
berkenaan dengan penanaman modal dan
konflik penguasaan serta pemanfaatan sumberdaya agraria belum diantisipasi (Sumardjono 2011,
1-13). Berikut penjabaran tentang disharmoni
atau inkonsistensi Antar UU Sektoral.
Tabel 1. Gambaran Disharmoni Antar UU
Sektoral
Orientasi
Eksploitasi atau konservasi
Kebepihakan
Pro-rakyat atau pro-kapital
Pengelolaan dan implementasinya
Sentralistik/desentralistik,
sikap terhadap pluralisme
hukum.
Implementasinya: sektoral,
koordinasi, orientasi
produksi
Gender, pengakuan
Masyarakat Hukum Adat
[MHA], penyelesaian
sengketa
Partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas
Perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM)
Pengaturan good governance
Hubungan orang dengan sumber
daya alam
Hak atau izin
Hubungan Negara dengan sumber
daya alam
Hak Menguasau Negara,
Hak Bangsa
Sumber: Maria SW. Sumardjono, Semiloka
“Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian
Hukum dan Berkeadilan”, 2012.
130
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Undang-Undang sektoral yang diterbitkan
tersebut akan menjadi modal penting bagi
pada awal tahun 1970-an cenderung tidak konsisten, bahkan saling bertentangan menyangkut
kelanjutannya. Adanya kesepahaman yang
tertuang dalam satu dokumen yang menjadi
isu/substansi tertentu. Maria S.W Sumardjono
(2012) juga menjelaskan bahwa dampak ketidak-
pegangan seluruh lembaga terkait dalam
merumuskan peraturan akan memudahkan
konsistenan peraturan sumber daya alam yang
bersifat sektoral adalah: 1. Kelangkaan dan ke-
mencapai tujuan khususnya dalam
pengelolaan sumber daya alam. Pada tingkatan
munduran kualitas dan kuantitas SDA; 2. Ketimpangan struktur penguasaan/pemilikan, perun-
yang lebih tinggi dapat pula dibentuk lembaga
yang mengkoordinir seluruh lembaga terkait
tukan, penggunaan, dan pemanfaatan SDA; 3.
Timbulnya berbagai konflik dan sengketa dalam
agar memiliki kemudahan dan meminimalkan
terjadinya “konflik” kewenangan.
penguasaan/pemilikan, dan pemanfaatan SDA
(antar sektor, antara sektor dengan Masyarakat
2. Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam
Hukum Adat, antara investor dengan Masyarakat
Hukum Adat, antar investor terkait hak/izin
Pembaruan yang dimaksud merupakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan,
pemanfaatan SDA).
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria, dilaksanakan dalam rangka
3) Alternatif Solusi Ketidakharmonisan
Pengelolaan Hukum Pengelolaan
tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum serta keadilan dan kemakmuran
Sumber Daya Alam
Atas ketidakhamonisan pengelolaan sumber
daya alam dan dalam pelaksanaannya sering
menimbulkan benturan antar lembaga, maka
diperlukan solusi untuk mengurai sehingga
menjadi satu kesatuan yang selaras. Alternatif
solusi atas kondisi yang dialami tersebut, antara
lain berupa:
1. Kesepahaman dalam peraturan pengelolaan
sumber daya alam
Dalam penyusunan rancangan undangundang sudah barang tentu diperlukan kajian
yang mendalam tanpa mendiskreditkan dan
mengurangi f ilosof i tujuan yang sudah
menjadi bagian luhur untuk kemakmuran
masyarakat, bangsa dan negara. Hal-hal yang
bersifat sektoral dan menganggap suatu
kewenangan (bidang) dari lembaga tertentu
adalah yang paling benar sebaiknya ditinggal
kemudian digantikan dengan semangat
membangun satu kesatuan agar tidak saling
tumpang tindih. Meskipun untuk memulainya cukup berat, namun dengan semangat
bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan
pengelolaan sumber daya alam adalah segala
yang terkandung di daratan, laut dan angkasa
dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan
dan ramah lingkungan (TAP. MPR No. X/
MPR/2001). Kedual hal tersebut sebenarnya
memiliki landasan filosf is yang sama, artinya
didasarkan atas pedoman dan tujuan dalam
mengelola sumber daya. Agraria (UUPA) yang
memilki makna lebih luas, mampu menjadi
sumber rujukan dan patokan untuk
penerbitan peraturan turunan yang tidak
saling berbenturan bukan justru sebaliknya.
Hal ini sejalan dalam TAP MPR tersebut yang
mengamanatkan pelaksanaan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Disamping itu juga dengan mencabut,
mengubah dan/atau mengganti seluruh
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan.
3. Kodif ikasi dan unifikasi
Perlunya kodif ikasi serta unif ikasi hasil
harmonisasi atas peraturan-peraturan agraria
Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134
dan sumber daya alam yang sudah ada
maupun hasil penggantian peraturan yang
tumpang tindih. Apabila hasil unifikasi sudah
terkunci maka akan memudahkan dan
menselaraskan kegiatan dari masing-masing
lembaga. Jikapun dalam perjalanannya
kedepan
terdapat
dinamika
yang
mengakibatkan perubahan, seyogyanya
mengacu pada hasil unif ikasi tersebut.
4) Belajar Pengelolaan di Negara Lain
a) Pengelolaan di Republik Rakyat Cina
China mereformasi hukum-hukum agraria
khususnya tanah tergabung dalam sumber daya
alam dengan memberikan perubahan substantif
pelajaran yang mungkin berguna bagi negara lain
untuk mencoba menanggapi melalui cara yang
konstruktif terhadap tantangan yang ditimbulkan
oleh perubahan kondisi ekonomi dan sosial serta
kelangkaan tanah. Pendekatan yang dipilih oleh
China didasarkan pada pola bertahap dan agak
pragmatis dalam pendekatannya, bersama dengan
pelaksanaan desentralisasi di tingkat lokal.
Penekanan pada eksperimentasi dan
percontohan yang kemudian dapat dimodifikasi
dan ditingkatkan atau dibuang tergantung pada
hasil yang dicapai. Pemberian tanggung jawab
kepada pemerintah daerah dengan cara ini telah
memberikan gambaran tidak hanya menggunakan f leksibilitas yang diperlukan untuk
mengatasi kebutuhan spesifik lokasi tetapi juga
memberikan dasar untuk bergerak maju dengan
penerapan yang jauh lebih cepat daripada
mencoba mengembangkan sebuah “ideal” hukum
yang tidak sinkron dengan realitas tanah. China
pernah mencoba untuk mendesentralisasikan
administrasi tanah tanpa mekanisme yang
memadai akuntabilitas dan kontrol dapat
meningkatkan daya diskresioner elit lokal, bukan
penguatan hak atas tanah.
To be responsible for the planning, administration, protection and rational utilization of such natural resources
131
as land , mineral and marine resources in the People’s
Republic of China. Major functions and responsibilities
assigned to the Ministry of Land and Resources. To
compile and implement the national comprehensive planning for land and re-sources, overall plan for land use
and other specific plans; to participate in the examination and verification of urban overall plans submitted to
the State Council to organize the survey and evaluation of mineral and marine resources (Ministry of Land
and Resources PRC, 2007);
Bukti dari China, seperti dalam kasus
pembatasan secara bertahap kekuatan-kekuatan
pemerintah lokal untuk sewenang-wenang
mengambil tanah, menggambarkan bahwa
desentralisasi tidak sama dengan tidak adanya
aturan pusat yang dikenakan, bahkan itu
merupakan sebaliknya. Bukti menunjukkan
bahwa memiliki aturan yang jelas, tegas dan
menegakkannya sangat diperlukan (Ministry of
Land and Resources PRC, 2007).
b) Pengelolaan Tanah di Amerika Serikat
Kewenangan agraria khsusnya pertanahan di
Amerika Serikat berada pada sebuah lembaga
bernama The Bureau of Land Management (BLM). Lembaga ini merupakan bagian dari
Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat yang
mengelola tanah publik Amerika, dengan total
nilai sekitar 253 juta hektar (1.020.000 km2), atau
seperdelapan dari luas daratan Amerika Serikat.
BLM juga mengelola 700 juta hektar (2.800.000
km2) mineral bawah permukaan yang mendasari
pemerintah federal, negara bagian, dan tanah
pribadi. Sebagian besar tanah publik yang terletak
di bagian barat negara bagian, termasuk Alaska
dengan sekitar 10.000 karyawan tetap dan hampir
2.000 karyawan musiman, ini berhasil menjadi
lebih dari 21.000 hektar (85 km2) per karyawan.
Anggaran badan tersebut adalah US $ 960.000.000
untuk tahun 2010 ($ 3,79 per hektar permukaan,
$ 9,38 per hektar).
Misi BLM adalah untuk mempertahankan
kualitas, keragaman dan produktivitas tanah
132
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
publik sehingga dapat digunakan dan dinikmati
minyak di Tanah Federal ( Bereu Of Land Man-
generasi sekarang dan yang akan datang.BLM
menjalankan aturan perundangan pertanahan
agement US Department of The Interior 2015).
Amerika Serikat yang termaktub dalam The Federal Land Policy and Management (FLPMA), yang
c) Pengelolaan Pertanahan di Malaysia
merupakan hukum federal mengatur cara dimana tanah publik yang dikelola oleh BLM. Hukum
tersebut disahkan pada tahun 1976.
Kongres mengakui adanya nilai dari tanah
publik dan menyatakan bahwa tanah ini akan tetap
dalam kepemilikan umum. National Forest Service,
National Park Service, BLM, yang kemudian
membatasi penggunaan. FLPMA membahas topik
seperti perencanaan penggunaan lahan,
pembebasan lahan, biaya dan pembayaran,
administrasi tanah federal, manajemen
keterjangkauan, dan hak pakai di atas tanah federal. FLPMA memiliki tujuan tertentu dan jangka
waktu dimana untuk mencapai tujuan tersebut
dengan memberikan kewenangan yang lebih dan
menghilangkan ketidakpastian seputar peran BLM
dalam penunjukan lokasi lahan dan manajemen.
FLPMA yang berkaitan khusus dengan hutan
berada di bawah manajemen yang telah ditunjuk.
Di sini, BLM juga diberikan kekuasaan untuk
menunjuk hutan dan diberikan 15 tahun untuk
melakukannya. BLM bekerja dengan melakukan
studi, mengelompokkan daerah sebagai daerah
hutan studi”. Daerah ini bukan area hutan resmi
tetapi maksud dan tujuan diperlakukan seperti itu
agar sampai adopsi formal sebagai hutan oleh
Kongres. Sekitar 8,8 juta hektar lahan BLM saat ini
termasuk dalam Sistem Pelestarian Hutan Nasional
sebagai hasil dari review lahan yang diamanatkan
oleh FLPMA. Mereka yang diperintahkan untuk
melaksanakan kebijakan dari FLPMA adalah
karyawan pemerintah yang terlatih menggunakan
pedoman secara tegas dalam setiap tindakannya.
Selanjutnya yang digunakan FLPMA untuk
mengatasi masalah-masalah pertanahan sebagai
kebutuhan orang-orang Amerika Serikat, telah
diperluas mencakup sumber daya alam seperti
Ditinjau dari sisi administrasi keagrariaan
khususnya tanah di Negara Malaysia dapat
dibedakan kedalam dua sistem kewilayahan yang
membedakannya, yaitu adminitrasi tanah wilayah
barat (Semenanjung Malaysia) dan dan
administrasi tanah wilayah timur (Sabah dan
Sarawak). Wilayah barat pengaturan pertanahan
dikenal dengan Kanun Tanah Negara (KTN) yang
merupakan undang-undang tertinggi di wilayah
tersebut. Undang-Undang KTN dikenal juga
dengan UU No. 56 Tahun 1965 yang dalam
perjalanannya sudah mengalami amandemen
untuk penyempurnaan. Di bagian timur (Sabah
dan Sarawak) aturan pertanahan menggunakan
dua pedoman yang berbeda, khusus untuk wilayah
Sabah menggunakan Land Ordinance 1962 dan
wilayah Sarawak menggunakan Land Code 1958.
Penataan dan pengaturan dalam administrasi
pertanahan di Negara Malaysia cukup kompleks
karena tidak dalam satu kelembagaan khusus
tetapi terdapat pada tiga kementerian, antara lain
Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan
(Ministry of Natural Resources and Environment),
Kementrian Perumahan dan Pemerintahan
Daerah (Ministry of Housing and Local Government), dan Kementrian Keuangan (Ministry of
Finance). Ketiga kementerian tersebut secara
tegas dan spesif ik memiliki tugas terkait
administrasi pertanahan yang cukup detail serta
tidak saling tumpang tindih sehingga
pelaksanaan pengadministrasian tanah dapat
tertata. Sebagai contoh kewenangan terkait
kepemilikan tanah (Land Ownership) dipegang
oleh Kementerian Sumber Daya Alam dan
Lingkungan, kewenangan dalam penggunaan
tanah (Land Use) dipegang oleh Kementrian
Perumahan dan Pemerintahan Daerah dan
kewenangan dalam hal nilai tanah (Land Value)
Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134
133
dipegang oleh Kementrian Keuangan. Berikut
Berdasarkan acuan pengelolaan tanah di
tabel kewenangan administrasi pertanahan oleh
tiga kementerian di Malaysia:
negara maju dan berkembang pesat sebagaimana
uraian di atas dapat diambil sebuah benang merah
Tabel 2. Kewenangan Tugas Administrasi
Pertanahan di Malaysia
Malaysia Government
Ministry of Natural Resources and
Environment
Department of Director General of Land and
Mines (JKPTG)
State and District Land and Mines Office (PTG
Several activities:
on land registration, land disposal,
consent, land revenue, land enforcement, land
alienation, land development and land
acquisition.
Involve on several legalisation such as National
Land Code (Act 56 of 1965), State Land Rules,
Strata Titles Act 1985 ( Act318), Federal Land
Commissioner Act 1957 (Act 349) and Land
Acquisition (Compensation)
Ministry of Housing and Local Government
Department of Federal Town and Country
Planning (JPBD)
activities:
Involve on strengthen the physical, social, and
economic development system in urban and
rural areas especially to upgrade the standard
Organise, regulate and coordinate land
development, usage and conservation .
implement planning methodologies,
policies, plans and guidelines .
Involve on several legalisation such as Town
and Country Planning Act 1976 (Act 172),
Ministry of Finance
Department of Valuation and Property Services
Several activities:
Provide accurate, comprehensive and timely
information regarding the demand and supply
of property for government agencies, property
developers and all parties involved in the
property industry.
Provide comprehensive, quality and up -to-date
property data especially property demand and
supply data from various parties.
Produce timely and relevant products to meet
the requirements of the property industry.
Portray the actual situation pertaining to the
demand and supply of property.
Develop and maintain a national property
stock warehouse.
Advice the government on property
development.
Sumber: Halim Hamzah et al.,Spatial Data Infrastructure for Malaysia Land Administration, 2010
pengelolaan tanah sebaiknya:
1. Kelembagaan yang ada hendaknya universal
tidak parsial sektoral sebab urgensi dari sebidang
tanah dapat melahirkan kekayaan negara
misalkan hutan, tambang, pengelolaan ruang;
2. Di negara maju pengelolaan tanah dilakukan
oleh lembaga yang memiliki kekuatan hukum
dalam sebuah undang-undang yang meletakkan
semua sumber daya alam dan potensinya
menjadi sebuah satu kesatuan yang holistik;
3. Penguatan peraturan kewenangan lembaga
pertanahan dengan menegaskan tugas dan
fungsinya sehingga tidak saling berbenturan
maupun tumpang tindih terhadap lembaga
lain yang dapat mengakibatkan lemahnya
fungsi lembaga tersebut.
D. Kesimpulan
Untuk mengelola sumber daya alam di Indonesia yang peraturannya mengalami jungle of law pemerintah dapat mengambil langkah sebagai berikut:
1. Pemerintah beserta pemerhati sumber daya
alam mengkaji kembali undang-undang
sektoral yang berbenturan dan tidak sesuai
dengan falsafah NKRI didahului dengan
mengkaji konflik norma yang ada;
2. Diperlukan kesepahaman dalam peraturan
pengelolaan sumber daya alam, pembaruan
agraria serta kodif ikasi dan unif ikasi segala
peraturan yang bertautan;
3. Perlu pengkajian kembali struktur kelembagaan pengelola SDA jika perlu unif ikasi
hendaknya kita belajar ke negara lain dalam
mengelola bukan lagi sektoral tetapi sudah
dalam lembaga yang terintegrasi.
4. Pengelolaan pertanahan memiliki kekuatan
yang mampu menempatkan pada satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan esensi
sumber daya alam itu sendiri.
134
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Daftar Pustaka
Soerodjo, I 2003, Kepastian Hukum Hak Atas
Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya
Joyowinoto 2010, Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat, forum Dewan Guru
Besar Universitas Indonesia, Jakarta.
Koeswahyono, Imam, M dan Soimin 2007,
Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Ref ika Aditama.
Sumardjono MSW 2008, Tanah dalam Perspektif
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku
Kompas, Jakarta.
Murad, R 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum
Atas Tanah, Alumni, Bandung
Rahardjo, S 1980, Hukum dan Masyarakat,
Angkasa, Bandung,
Soekanto, S 1993, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit
RajaGraf indo Persada, Jakarta.
Mulyanto, B 2010, Pengembangan Ilmu Tanah
Untuk Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan
Kesejahteraan Rakyat’ Orasi Guru Besar IPB
Sumardjono, MSW, Penyempurnaan UU Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, presentasi untuk
RDPU dengan KOMISI II DPR RI Jakarta, 12
Oktober 2011, hal 1-13
Sumardjono, MSW, Menuju Kawasan Hutan yang
Berkepastian Hukum dan Berkeadilan,
presentasi Semiloka Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta 13 Desember 2012.
Faiz PM, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan
MK, dilihat pada 22 September 2012, http://
www.jurnalhukum.blogspot.com.
Badan Pertanahan Nasional, Rencana Strategis
Badan Pertanahan Nasional 2010-2014
Siregar, Papande, H, dan Putri, HI 2010, Comparative Public Administration (Administrasi
Keagrariaan (Pertanahan) Antara Negara
Indonesia dan Negara Malaysia), Universitas Indonesia, Jakarta.
US Department of The Interior Bureu of Land
Management, dilihat pada 12 Oktober 2012,
http://www.blm.gov/wo/st/en.html
Ministry of Land and Resources of People’s Republic of China, Land Administration Law of
the People’s Republic of China, dilihat pada
12 Oktober 2012, http://www.mlr.gov.cn/
mlrenglish/laws/200710/
t20071011_656321.htm
Download