Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang

advertisement
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan
Karena Penyakit Hipertensi
Assyifa Anindya, Rekha Nova Iyos
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah
untuk metabolisme jaringan. Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pasien seorang pria, 57
tahun datang dengan keluhan perut dan tungkai yang semakin membesar sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
sesak nafas setelah beraktivitas, sering terbangun karena sesak. Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu
namun tidak rutin berobat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP) 5+7 cmH20,
ronki basah paru +/+, batas jantung membesar, murmur pansistolik, asiites dan edema ekstremitas. Pasien ini memenuhi
kriteria Framingham Heart Study terdapat 5 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Simpulan, masalah pada pasien ini adalah
gagal jantung kongestif karena penyakit hipertensi. Terapi yang diberikan meliputi terapi suportif dan medikamentosa.
Kata kunci: gagal jantung kongestif, hipertensi
A 57 Years Old Man with Congestive Heart Failure because Of Hypertension
Disease
Abstract
Heart failure is a pathophysiology condition which heart as a pump insufficient the blood needs for tissue metabolism.
Heart failure incidence increase from year to year. A man, 57 years old comes with edema stomach and legs since one
month ago. Patient also complain dyspneu after daily exercise, he often awakened because of dyspneu. Patient has history
of high blood pressure since 5 years ago, without routine treatment. On physical examination found increasing of Jugular
Venous Pressure (JVP) 5 + 7 cmH20, wet crackles lung + / +, heart enlarged, murmur pansystolic, acites and limb edema.
Patient meet the criteria of the Framingham Heart Study, there are 5 major criteria and 3 minor criteria. Conclusion,
problem in this patients is congestive heart failure because of hypertension disease. The management is supportive and
medical therapy.
Keywords : congestive heart failure, hypertension
Korespondensi : Assyifa Anindya, S.Ked, alamat Sutomo 24, HP 089639733576, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Gagal
jantung
adalah
keadaan
patofisiologik dimana jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah
untuk metabolisme jaringan.1 Angka kejadian
Congestive Heart Failure (CHF) semakin
meningkat dari tahun ke tahun, tercatat 1,5%
sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat
menderita CHF dan 700.000 diantaranya harus
dirawat di rumah sakit per tahun. Faktor risiko
terjadinya gagal jantung yang paling sering
adalah usia lanjut, 75% pasien yang dirawat
dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun.
Hipertensi adalah faktor risiko terpenting
kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari
kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, dan
penyakit katup jantung.2
Pasien sering kembali ke klinik atau
rumah sakit diakibatkan adanya kekambuhan
episode
gagal
jantung.
Kebanyakan
kekambuhan gagal jantung terjadi karena
pasien
tidak
memenuhi
terapi yang
dianjurkan, misalnya tidak melaksanakan terapi
pengobatan
dengan
tepat,
melanggar
pembatasan diet, tidak mematuhi tindak lanjut
medis, melakukan aktivitas fisik yang
berlebihan, dan tidak dapat mengenali gejala
kekambuhan.14,16,17 Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit
(RS) Kota Yogyakarta pada tahun 2009 terdapat
72 orang (4%) yang dirawat karena penyakit
gagal jantung kongestif, dan sekitar 80%
pasien yang dirawat karena gagal jantung
kongestif merupakan rawat inap ulang.15
Dengan data perkembangan seperti ini,
penyakit jantung kongestif akan menyebabkan
permasalahan yang signifikan bagi masyarakat
global dan bukan tidak mungkin dalam kurun
beberapa tahun kedepan angka statistik ini
akan bergerak naik jika para praktisi medis
khususnya tidak segera memperhatikan faktor
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|34
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
risiko utama yang menjadi awal mula penyakit
ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan
dari segala aspek baik secara biomedik maupun
biopsikososial. Untuk itu, kasus ini diangkat
sebagai salah satu bentuk tanggung jawab
sebagai praktisi medis agar dapat mengenal
penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar
mengaplikasikan teori pengobatan yang
rasional.
Kasus
Seorang pria usia 57 tahun datang
dengan keluhan utama perut dan tungkai yang
semakin membesar sejak 1 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Sebelum datang ke RS
Abdul Moeloek pasien pernah dirawat di RS
Kotabumi selama 1 minggu namun tidak ada
perubahan. Pasien juga mengeluhkan sesak
nafas yang memberat dibandingkan dengan 5
tahun yang lalu saat pertama kalinya pasien
mengeluhkan sesak. Sesak nafas muncul
setelah pasien berjalan ke kamar mandi,
disertai dada yang berdebar-debar. Malam hari
pasien sering tiba-tiba terbangun karena
merasa sesak. Sekarang ini pasien lebih sering
duduk dibandingkan berbaring, saat tidur
pasien juga lebih nyaman mengunakan bantal.
Tidak ada keluhan nyeri dada. Pasien juga
mengeluhkan batuk, batuk berdahak kental
warna putih, tidak ada darah. Saat batuk
pasien merasa sakit pada perutnya. Pasien
merasa perutnya semakin penuh, pasien mual
setiap mau makan, namun tidak disertai
dengan muntah. Sehingga sejak perutnya
membesar nafsu makannya menurun dan
berat badannya pun menurun. Pasien
mengatakan buang air kecilnya banyak setelah
minum obat, sehari 7x ke kamar mandi, jumlah
kencingnya banyak. Pasien memiliki riwayat
darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu. Pasien
tidak rutin berobat selama kurang lebih 5
tahun ini pasien hanya 3 kali berobat ke poli
jantung yaitu saat pasien merasa ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran compos mentis, tekanan darah
100/70 mmHg, nadi 60 kali/menit, teratur, isi
dan tegangan cukup, pernafasan 28 kali/menit,
suhu 36,5°C, berat badan 60 kg, tinggi badan
170 cm, status gizi normal. Status generalis
kulit tidak pucat, pemeriksaan mata tidak
didapatkan adanya konjungtiva anemis
maupun sklera ikterik, pada pemeriksaan leher
tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar
getah bening, terdapat peningkatan JVP 5+7
cmH20. Pemeriksaan thoraks paru didapatkan
inspeksi terlihat simetris kanan dan kiri dan
tidak ada retraksi, palpasi ekspansi simetris dan
taktil fremitus kanan kiri sama, perkusi sonor,
auskultasi suara nafas vesikuler, terdengar
ronki basah, tidak ada wheezing. Pemeriksaan
thoraks jantung didapatkan inspeksi terlihat
ictus cordis, palpasi teraba ictus cordis, perkusi
batas jantung kanan intercostal (ICS) IV garis
parasternal dekstra, batas jantung kiri ICS V
garis aksila anterior sinistra, auskultasi bunyi
jantung 1 dan 2 ireguler, terdengar murmur
pansistolik. Pemeriksaan abdomen didapatkan
inspeksi cembung, palpasi tidak ada nyeri
tekan, hepar dan splen sulit dinilai, perkusi
timpani-redup (acites), shifting dullnes (+),
auskultasi bising usus normal. Pada ekstremitas
bawah
didapatkan
adanya
edema.
Pemeriksaan laboratorium belum dilakukan.
Diagnosis pasien gagal jantung kogestif
New York Heart Association (NYHA) III ec
penyakit hipertensi. Terapi yang diberikan pada
pasien
meliputi
terapi
suportif
dan
medikamentosa. Terapi suportif yaitu tirah
baring/istirahat yang cukup, pembatasan
cairan 1 gelas/hari (800 cc), pembatasan garam
1 sdt/hari. Terapi medikamentosa yaitu infus
RL 10 tpm, furosemid 1 ampul/12 jam,
valsartan 1x80 mg, ambroxol syrup 3x1C.
Pembahasan
Pada anamnesis pasien ini didapatkan
paroxysmal nocturnal dyspneu, ortopneu,
dyspneu d’effort dan batuk berdahak. Pasien
memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol
sejak 5 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan ronki basah paru, JVP 5+7 cmH2O,
cardiomegali, refluks hepatojugular, edema
ekstremitas bawah. Pada pasien ini belum
dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Kriteria diagnosis gagal jantung menurut
Framingham Heart Study (1993) ada kriteria
mayor dan minor. Kriteria mayor terdiri dari
paroksismal nokturnal dispneu, ronki paru,
edema akut paru, kardiomegali, gallop, distensi
vena leher, refluks hepatojugular, peningkatan
tekanan vena jugularis. Kriteria minor terdiri
dari edema ekstremitas, batuk malam hari,
hepatomegali, dispnea d’effort, efusi pleura,
takikardi
(120x/menit),
kapasitas
vital
berkurang 1/3 dari normal. Diagnosis gagal
jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.5
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|35
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
Pada pasien ini didapatkan lima kriteria
mayor. Pertama terdapatnya paroksismal
nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua,
dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung,
didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas
jantung kanan terdapat pada ICS 4 linea
parasternalis dekstra, batas kiri pada linea
aksilaris anterior sinistra. Ketiga, dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan JVP
yaitu 5+7 cmH2O. Keempat dari auskultasi
lapang paru terdengar adanya ronki basah. Dan
terdapat refluks hepatojugular, saat menekan
bagian hepar terjadi peningkatan JVP.
Sedangkan untuk kriteria minor
didapatkan batuk malam hari. Kedua
terdapatnya dispnea d’effort yang didapatkan
dari hasil anamnesis pasien mengeluh sesak
saat berjalan ke kamar mandi (±20 m). Ketiga
dari pemeriksaan fisik didapatkan edema pada
ekstremitas bawah. Oleh karena itu pada
pasien ini dapat disimpulkan diagnosis
fungsionalnya adalah gagal jantung kongestif.
NYHA (2005) membagi gagal jantung
menjadi 4 kelas. Kelas I penderita dengan gagal
jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas
fisik dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan
rasa lelah dan sesak napas. Kelas II adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan merasa
lega jika beristirahat. Kelas III adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan kegiatan
fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah
memberi gejala lelah dan sesak napas. Kelas IV
tidak sanggup melakukan kegiatan apapun
tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada
walaupun saat beristirahat.5 Pasien ini merasa
sesak saat berjalan ke kamar mandi, pasien
mengaku tidak bisa melakukan kegiatan seharihari karena merasa sesak. Oleh karena itu
pasien ini termasuk NYHA III.
Gagal jantung kongestif merupakan
keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung, sehingga jantung tidak mampu
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada jika disertai dengan peninggian
volume diastolik secara abnormal. Gagal
jantung kongestif biasanya disertai dengan
kegagalan pada jantung kiri dan jantung
kanan.2
Gejala awal dari gagal jantung kongestif
adalah kelelahan. Lalu dispnea, atau perasaan
sulit bernapas. Dispnea saat beraktivitas
menunjukkan gejala awal dari gagal jantung
kiri. Ortopnea (dispnea saat berbaring)
terutama disebabkan oleh redistribusi aliran
darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah
ke arah sirkulasi sentral. Paroxysmal nocturnal
dispnea dipicu oleh timbulnya edema paru
intertisial. Batuk non produktif juga dapat
terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring. Timbulnya ronki yang
disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah
ciri khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya
terdengar di bagian bawah paru-paru karena
pengaruh gaya gravitasi. Hemoptisis dapat
disebabkan oleh perdarahan vena bronkial
yang terjadi akibat distensi vena. Gagal pada
sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan
tanda kongesti vena sistemik. Dapat diamati
peningkatan
tekanan
vena
jugularis.
Hepatomegali, nyeri tekan hati dapat terjadi
akibat peregangan kapsula hati. Gejala saluran
cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh,
atau mual dapat disebabkan kongesti hati dan
usus. Edema perifer terjadi akibat penimbunan
cairan dalam ruang interstisial. Gagal jantung
yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau
edema anasarka. Seiring dengan semakin
parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat
penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel
akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas
berlebihan sistem saraf simpatis sering terjadi
dan merupakan penyebab penting kematian
mendadak dalam situasi ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan
gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal, meningkatkan
beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas
miokardium.
Keadaan-keadaan
yang
meningkatkan beban awal (preload) meliputi
regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel.
Beban akhir (afterload) meningkat pada
keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium
dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati.3 Selain itu, terdapat faktorfaktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan
jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktorfaktor yang mengganggu pengisian ventrikel
(misal, stenosis katup atrioventrikularis),
perikarditis konstriktif dan tamponade jantung
mengakibatkan gagal jantung.3
Pada pasien ini sudah mengalami
Hypertensive Heart Disease sejak 5 tahun yang
lalu, dan tidak rutin meminum obat darah
tinggi, sehingga menyebabkan meningkatnya
beban
kerja
jantung
dan
akhirnya
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|36
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
Tekanan darah yang tinggi mengakibatkan
penurunan curah jantung, mengakibatkan
terjadinya rangsangan simpatis, aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron, hipertrofi
ventrikel.1,5-7
Meningkatnya
aktivitas
adrenergik
simpatis merangsang pengeluaran katekolamin
dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula
adrenal. Katekolamin ini akan menyebabkan
kontraksi lebih kuat otot jantung (efek
inotropik positif) dan peningkatan kecepatan
jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi
arteri perifer untuk menstabilkan tekanan
arteri dan redistribusi volume darah dengan
mengurangi aliran darah ke organ-organ yang
metabolismenya rendah misal kulit dan ginjal
untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan
otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran
balik vena ke sisi kanan jantung, untuk
selanjutnya menambah kekuatan kontraksi
sesuai dengan hukum Starling.1, 4, 6
Aktivasi
sistem
renin-angiotensinaldosteron menyebabkan retensi natrium dan
air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel.
Namun
apapun
mekanisme
pastinya,
penurunan curah jantung akan memulai
serangkaian peristiwa berikut, penurunan
aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus, pelepasan renin dari apparatus
jukstaglomerulus,
interaksi
renin
dan
angiotensinogen
dalam
darah
untuk
menghasilkan
angiotensin
I,
konversi
angotensin I menjadi angiotensin II,
rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar
adrenal, retensi natrium dan air pada tubulus
distal dan duktus kolektifus. Angiotensin II juga
menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah.1, 5-7
Gambar 1. Sistem Renin – Angiotensin - Aldosteron
Respon kompensatorik terakhir adalah
hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan
mengakibatkan
peningkatan
kekuatan
kontraksi
ventrikel.
Awalnya,
respon
kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan, namun akhirnya mekanisme
kompensatorik dapat menimbulkan gejala,
meningkatkan
kerja
jantung,
dan
memperburuk derajat gagal jantung. Retensi
cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan
kontraktilitas
menyebabkan
terbentuknya edema dan kongesti vena paru
dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga
meningkatkan
beban
akhir
dengan
memperbesar resistensi terhadap ejeksi
ventrikel; beban akhir juga meningkat karena
8
dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung
dan kebutuhan oksigen miokardium juga
meningkat. Hipertrofi miokardium dan
rangsangan simpatis lebih lanjut akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.
Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak
dapat dipenuhi akan terjadi iskemia
miokardium dan gangguan miokardium
lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling
berkaitan ini adalah meningkatnya beban
miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung.1, 4,6,7
Seharusnya dilakukan pemeriksaan
penunjang pada pasien seperti laboratotium
darah meliputi pemeriksaan darah lengkap,
kimia klinik seperti Serum Glutamat Piruvat
Transaminase (SGPT), Serum Glutamat
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|37
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
Oksaloasetat Transaminase (SGOT), ureum,
kreatinin, natrium, kalium, klorida, kolesterol
total, Low Density Lipoprotein (LDL), High
Density Lipoprotein (HDL). Pemeriksaan
elektrokardiogram
(EKG), dalam
kasus
kardiogenik, EKG dapat menunjukkan bukti
Miocardium Infark (MI) atau iskemia, namun
dalam kasus non kardiogenik, EKG biasanya
normal. Pemeriksaan radiologi, meliputi foto
thoraks,
computed
tomography
dan
ekokardiografi.
Fungsi utama pemeriksaan foto toraks
adalah mengetahui ukuran dan bentuk siluet
jantung, serta edema di dasar paru-paru.
Pemeriksaan radiologi memberikan informasi
berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi
aorta, dan kadang-kadang efusi pleura.
Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk
menentukan kinerja sistolik dan diastolik
ventrikel kiri, cardiac output (fraksi ejeksi), dan
tekanan arteri pulmonalis dan pengisian
ventrikel. Echocardiography juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi penyakit
katup penting secara klinis. Tingkat
kepercayaan di Echocardiography adalah
tinggi, dan tingkat temuan positif palsu dan
negatif palsu yang rendah.9
Gagal jantung akut yang berat
merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat
termasuk mengetahui penyebab, perbaikan
hemodinamik, menghilangan kongesti paru,
dan
perbaikan
oksigenasi
jaringan.
Menempatkan penderita dengan posisi duduk
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan
kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan
dilakukan di ruangan khusus. Base excess
menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah
menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa
yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki
asidosis,
pemberian
bikarbonat
hanya
13
diberikan pada kasus yang refrakter.
Terapi
farmakologik
terdiri
atas
Angiotensin Converting Enzim (ACE) inhibitor,
antagonis angiotensin II, diuretik, antagonis
aldosteron, β-blocker, vasodilator lain,
digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik,
dan anti-aritmia.14,15
Penatalaksanaan
gagal
jantung
berdasarkan klasifikasi NYHA adalah sebagai
berikut untuk gagal jantung NYHA I, berikan
ACE inhibitor/Angiotensin Reseptor Blocker
(ARB) jika intoleran ACE inhibitor lanjutkan
antagonis aldosteron, jika pasca MI tambahkan
β-blocker. Untuk gejala edema bisa dilakukan
pengurangan garam atau diuretik. Untuk gagal
jantung NYHA II ACE inhibitor sebagai terapi lini
pertama, ARB jika intoleran ACE inhibitor,
tambah β-blocker dan antagonis aldoteron jika
pasca MI. Untuk gejala edema diberikan
diuretik tergantung retensi cairan. Gagal
jantung NYHA III diberikan ACE inhibitor+ARB,
atau ARB saja jika intoleran ACE inhibitor,
tambah β-blocker dan antagonis aldoteron jika
pasca MI. Untuk gejala diberikan diuretik dan
digitalis. Gagal jantung NYHA IV diberikan ACE
inhibitor atau ARB, β-blocker, antagonis
aldosteron. Untuk gejala diberikan diuretik,
digitalis, inotropik.1
Pemberian loop diuretik intravena
seperti
furosemid
akan
menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala
walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik
juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh
prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi
nonsteroid, sehingga harus dihindari bila
memungkinkan.13
Pada pasien ini diberikan terapi Inj.
Furosemid 1 amp/12 jam (diuretik), valsartan
1x80mg (ARB), ambroxol syrup 3x1C
(mukolitik). Pasien ini terdapat edema di
ekstremitas bawahnya dan perutnya asites,
indikasi pemberian diuretik pada pasien gagal
jantung apabila ada gejala retensi air.
Pemakaian intravena loop diuretik seperti
furosemid dengan efek cepat dan kuat lebih
disukai pada gagal jantung. Dapat diberikan
kombinasi dengan spironolakton, kombinasi
dengan dosis rendah lebih efektif dibandingkan
dosis tunggal sendiri.1 Jadi seharusnya pada
pasien ini diberikan furosemide 40 mg
1ampul/12 jam dan spironolakton 25mg 1x
sehari.
Pada pasien ini memiliki riwayat darah
tinggi, walaupun sekarang tekanan darah
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|38
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
normal tetap harus diberikan obat golongan
ACE inhibitor atau ARB. Karena obat ini
kerjanya
langsung
menghambat
Angiotensinogen Converting Enzime atau
menghambat Angiotensin II. Sehingga tidak
terjadi retensi cairan dan Na. Pada pasien ini
diberikan obat golongan ARB sebagai alternatif
dari golongan ACE inhibitor, pasien batuk
sehingga tidak bisa diberikan obat golongan
ACE inhibitor, oleh karena itu diberikan
valsartan 80mg 1x sehari. Tidak diberikan obat
β-blocker, karena pasien mempunyai nadi yang
agak lambat 60x/menit, sedangkan obat βblocker diindikasikan untuk pasien takikardi,
ada peningkatan kontraktilitas miokard. Tidak
diberikan obat digitalis karena tidak ada atrial
fibrilasi, pasien juga tidak mengeluhkan nyeri
dada.1 Ambroxol diberikan 3x1C karena pasien
mengeluhkan batuk berdahak, obat ini
golongan
mukolitik
yang
kerjanya
mengencerkan dahak.
Selain terapi farmakologis pasien juga
mendapatkan terapi nonfarmakologis, seperti :
1) diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g
pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal
jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal
jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung
ringan, 2) hentikan rokok dan alkohol, 3)
aktivitas fisik (latihan jasmani jalan 3-5
kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda
statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan
beban 70-80% denyut jantung maksimal pada
gagal jantung ringan dan sedang), 4) istirahat
baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.
Prognosis pada penderita gagal jantung
yang mendapat terapi dengan kelas NYHA III,
mortalitas 5 tahun 50-70%. Pada pasien ini
dengan yang sudah memiliki tekanan darah
tinggi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol,
sehingga mengakibatkan gagal jantung
kongestif membuat prognosis menjadi lebih
buruk, sehingga quo ad vitam dan quo ad
functionam adalah dubia ad malam.
Berdasarkan fungsi sosialnya pasien mengalami
keterbatasan dalam beraktivitas sehingga
prognosis quo ad sanationam adalah dubia ad
malam.
Simpulan
Pada pasien ini didapatkannya lima
kriteria mayor yaitu, paroxismal nocturnal
dispneu,
adanya
pembesaran
jantung,
peningkatan JVP yaitu 5+7 cmH2O, adanya
ronki basah paru, dan refluks hepatojugular,
saat
menekan
bagian
hepar
terjadi
peningkatan JVP. Sedangkan untuk kriteria
minor didapatkan batuk malam hari, dispnea
d’effort, edema pada ekstremitas bawah. Oleh
karena itu pada pasien ini kami simpulkan
diagnosis fungsionalnya adalah gagal jantung
kongestif. Pasien ini merasa sesak saat berjalan
ke kamar mandi, pasien mengaku tidak bisa
melakukan kegiatan sehari-hari karena merasa
sesak. Oleh karena itu pasien ini termasuk
NYHA III. Terapi yang diberikan pada pasien
meliputi terapi suportif dan medikamentosa.
Terapi suportif yaitu tirah baring/istirahat yang
cukup, pembatasan cairan 1 gelas/hari (800cc),
pembatasan garam 1 sdt/hari. Terapi
medikamentosa yaitu infus RL 10 tpm,
furosemid 1 ampul/12 jam, valsartan 1x80mg,
ambroxol syrup 3x1C.
Daftar Pustaka
1. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam:
Sudoyo WA, Editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. hlm.1503-14.
2. Hauser K, Longo B, Jameson F, editor.
Harrison’s principle of internal medicine.
Edisi ke-17. USA: McGraw-Hill; 2005.
3. Sugeng, Barita S, Irawan J, editor. Buku
ajar kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2004.
4. Madeline M. O’Donnell. Carleton PF.
Disfungsi mekanis jantung dan bantuan
sirkulasi. Dalam: Wilson, Sylvia A, Price,
Lorraine M, editor. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC; 2006. hlm 630-9.
5. Oemar, Hamed, editor. Buku ajar
kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
6. Kumar, Cotran, Robbins, editor. Buku ajar
patologi. Jakarta: EGC; 2007.
7. Greenberg, Barry H, editor. Congestive
heart failure. USA: Lipincott Williams &
Wilkins; 2007.
8. Goroll, Allan H, editor. Primary medicine,
office evaluation and management of the
adult patient. USA: Lipincott Williams &
Wilkins;
2009.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|39
Assyifa|Seorang Pria 57 Tahun dengan Gagal Jantung Kongestif yang Disebabkan Karena Penyakit Hipertensi
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Davis, Russell C, editor. ABC of heart
failure. Australia: Blackwell publishing;
2006.
Lee TH. Practice guidelines for heart
failure management. Dalam: Dec GW,
editor. Heart failure a comprehensive
guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005. hlm. 449-65.
Gillespie ND. The diagnosis and
management of chronic heart failure in
the older patient. Br Med Bulletin. 2005;
76(1): 49-62.
Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the
adult. Dalam: Dec GW, editor. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis
and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005. hlm. 137-56.
Grady KL, Dracus K, Kennedy G. A
statement for healthcare professionals
from the cardiovascular nursing councils
of the American heart association
circulation. 2000.
Smeltzer, Bare, editor. Buku ajar
keperawatan medikal bedah brunner dan
suddart. Jakarta: EGC; 2002.
Arjunaidi A. Faktor resiko pasien rawat
inap berulang pada gagal jantung
kongestif. Yogyakarta: Bag. Ilmu Penyakit
Dalam FK-UGM/RSUP Dr. Sardjito; 1998.
Rich W, Beckham V, Wittenberg C. A
multidisciplinary intervention to prevent
the readmission of elderly patients with
congestive heart failure. N England J.
Med. 2001; 333(18):1190-5.
Paul S. Impact of nurse managed heart
failure clinic. Am J Critical Care. 2000;
9(2):140-6.
18. Harmilah. Hubungan ketaatan berobat
klien gagal jantung kongestif dengan
rawat inap ulang di rsup dr. sardjito
yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta: FIK UGM;
2001.
19. Majid A. Analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian rawat inap
ulang pasien gagal jantung kongestif di
rumah sakit Yogyakarta [Tesis]. Depok: FIK
UI; 2010.
20. Zile M, Colucci W. Treatment and
prognosis of diastolic heart failure. J
Mayo. 2010; 45(2):74-8.
21. Philbin, DiSalvo. Prediction of hospital
readmission
for
heart
failure:
development of a simple risk score based
on administrative data. J. Elsevierhealth.
2004. 114(1):55-9.
22. Mariyono H, Santoso A. Gagal jantung.
Ejournal Fakultas Kedokteran Unud. 2008.
32(1):65-9.
23. Niven N. Psikologi kesehatan: pengantar
untuk perawat dan profesional kesehatan
lain. Jakarta: EGC; 2002.
24. Grossman S, Brown D. Congestive heart
failure and pulmonary edema. J. Europe
Pubmed Central. 2009; 13 (1):71-75.
25. Hsich. Perbedaan kelamin pengaruhi
penyakit gagal jantung [internet]. 2009.
[diakses tanggal 10 Mei 2015]. Tersedia
dari: http://www.majalah-farmacia.com/
26. Kaplan HI, Sadock BJ, editor. Synopsis of
psychiatry. Jakarta: Binarupa Aksara;
1997.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016|40
Download