hak hipotik dan tanggungan

advertisement
HAK HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN
RANGKUMAN CATATAN HUKUM PERDATA
Dibuat Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata
Semester II Tahun Akademik 2013-2014
Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Dosen
Ernu Widodo. S.H, M.Hum
Oleh
T. AgusArgaSetiaji
: 13220208
Mohamad Mafrukhi
: 13220211
Ali Nahrowi
: 13220214
Heri Sutrisno
: 13220212
MALANG
2014
A. TINJAUAN TERHADAP HIPOTIK
1.Jaminan Hipotik pada Umumnya
Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca
yaitu suatu jaminan utang dimana barang tanggungan tidak dipindahkan kedalam
tangan orang yang mengutangkan tetapi barang itu selalu dapat diminta/dituntut
meskipun barang itu sudah berada di tangan orang lain apabila orang yang
berutang tidak memenuhi kewajibannya. dalam bahasa Belanda terjemahannya
adalah onderzetting dalam bahasa Indonesia adalah pembebanan. Tetapi
hypotheca seperti yang dimaksud di atas tidak sama persis dengan hipotik yang
dikenal sekarang karena hipotik hanya untuk barang yang tidak bergerak saja
sedangkan hypotheca meliputi jaminan benda bergerak maupun benda-benda
tidak bergerak. Namun kesamaannya baik dalam bahasa hukum di Indonesia
maupun di Nederland istilah hypotheek ini telah diambil alih untuk menunjukan
salah satu bentuk jaminan hak atas tanah.
Hak jaminan dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitur yang
memberikan hak utama kepada seorang kreditur tertentu, yaitu pemegang hak
jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila debitur
cidera janji. Hak tanggungan hanya menggantikan hipotik sepanjang yang
menyangkut tanah saja. Hipotik atas kapal laut dan pesawat udara tetap berlaku.
Disamping hak-hak jaminan berupa hipotik atas kapal laut dan hipotik atas
pesawat udara, juga berlaku gadai dan fidusia sebagai hak jaminan.
2. Dasar Hukum Jaminan Hipotik
Terhadap hipotik, ketentuan hipotik yang diatur dalam Pasal 314 ayat 4
dan Pasal 315 a, b, c Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan lex
spesialis terhadap Kitab Perdata. Maka apabila Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang tidak mengaturnya secara khusus, semua ketentuan hipotik yang ada
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetap berlaku.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “hipotik adalah suatu hak
kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari
padanya bagi pelunasan suatu perikatan.”Dari rumusan tersebut dapat dikatakan
bahwa hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak yang timbul
karena perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang harus diperjanjikan terlebih
dahulu. Hipotik sebagai hak kebendaan hanya terbatas pada hak untuk mengambil
penggantian dari benda tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu
perikatan saja.
3. Proses Pembebanan Jaminan Hipotik
Keabsahan suatu pembebanan jaminan hak tanah seperti hipotik harus
memperhatikan syarat yang diatur dalam Pasal 1171 (1) KUHPerdata, memenuhi
syarat spesialitas yang diatur dalam Pasal 1174 KUHPerdata, memenuhi syarat
publisitas dan juga kecakapan dan kewenangan dari subyek hipotik itu sendiri,
menurut Purwahid Patrik dan Kashadi menyatakan bahwa perlu juga diperhatikan
kewenangan pemberi hak tanggungan dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang kewenangan suami dan istri untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama, masing-masing dapat
bertindak berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Serta larangan bagi orang
tua memindahtangankan atau menjaminkan barang-barang tetap milik anaknya
yang belum cukup umur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 309, 393, 1320
KUHPerdata jo Pasal 48 dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Juga apabila berkaitan dengan anak yang belum dewasa atau
di bawah umur maka harus diwakili oleh wali sah dari si anak hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata bahwa syarat sahnya perjanjian yaitu cakap
untuk melakukan perbuatan hukum.
Pembebanan hipotik harus dilakukan dengan akta otentik. Hipotik adalah
hak jaminan yang bersifat accessoir, sehingga untuk pemberian hak hipotik harus
diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang-piutang yang
dibuat antara kreditur dan debitur. Mengenai perjanjian pokok yang menimbulkan
hubungan hukum utang piutang menurut Sudargo Gautama dapat dilakukan
dengan cara akta di bawah tangan ataupun akta otentik.
berkaitan dengan keabsahan pembebanan hipotik sebagaimana telah
disyaratkan dalam Pasal 1171 (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Hipotik
hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik kecuali dalam hal-hal yang secara
tegas ditunjuk oleh undang-undang” Juga dalam Ayat (2)-nya yang berbunyi:
Begitu pula kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta
otentik. Sahnya Hipotik harus memenuhi syarat spesialitas sebagaimana diatur
dalam Pasal 1174 KUHPerdata yang menyatakan :“Akta dalam mana diletakkan
hipotik harus memuat suatu penyebutan khusus tentang benda yang dibebani,
begitu pula tentang sifat dan letaknya, penyebutan mana sedapat-dapatnya harus
didasarkan pada pengukuran-pengukuran resmi”.
Selain memenuhi syarat spesialitas sahnya hipotik juga harus memenuhi
syarat publisitas (Pasal 1179 (2) KUHPerdata) yaitu suatu syarat yang
menghendaki agar hipotik yang bersagkutan didaftarkan pada Register Umum
yaitu dengan cara mendaftarkan akta hipotik tersebut pada register-register umum
yang disediakan untuk itu. Pemberian hak hipotik dengan segala akibat
hukumnya, termasuk kewajiban pemberi hipotik untuk “merelakan” agar benda
yang dijaminkan dengan hak hipotik tersebut disita, dijual, dan selanjutnya hasil
penjualan kebendaan yang dijaminkan dengan hak hipotik tersebut dipergunakan
untuk melunasi utang debitur yang dijamin, baru lahir dan mengikat pemilik
kebendaan yang akan dijaminkan dengan hak hipotik manakala telah
dilakukannya pendaftaran akta hipotik pada Register Umum di Kantor
Pendaftaran Tanah Yang bersangkutan (Seksi Pendaftaran Tanah Sub Direktorat
Agraria) untuk didaftarkan dalam Buku Tanah. Dengan selesainya proses
pemberian kredit dengan jaminan hipotik dapat disebut adanya empat dokumen
yaitu :
a. Dokumen perjanjian utang
b. Dokumen kuasa untuk memasang hipotik
c. Dokumen akta pemasangan hipotik
d. Sertipikat hipotik
4. Akibat Hukum Pendaftaran Hipotik
Sebagaimana diatur dan ditegaskan dalam Pasal 1162 dan Pasal 1163
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu hipotik merupakan hak kebendaan
yang melekat pada benda tidak bergerak yang dijadikan obyek jaminan hipotik di
tangan siapa pun benda tersebut berada untuk mengambil penggantian dari
padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Hak kebendaan tersebut tidak dapat
dibagi-bagi dan membebani keseluruhan benda obyek jaminan. Dapat
disimpulkan bahwa hak kebendaan, yaitu hipotik bersifat absolut, sehingga hak
kebendaan berupa jaminan hipotik dapat dipertahankan kepada siapa pun.Hal
tesebut juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 315 e Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang, yang berbunyi “kapal yang terdaftar dan akan dilelang sita di
luar wilayah Indonesia, tidak dibebaskan dari hipotik.”
Akibat hukum pembebanan hipotik pada suatu benda tidak bergerak
menyebabkan benda tersebut tetap mempunyai nilai sebagai obyek jaminan bagi
pelunasan hutang debitur kepada kreditur dengan tidak mempersoalkan siapa yang
sedang menguasai benda tersebut (droit de suite). Satu-satunya cara agar hak
kebendaan tersebut melekat pada obyek hipotik, maka harus dipenuhinya syarat
pendaftaran. Dengan pendaftaran hipotik, maka melekatkan hak kebendaan
berupa jaminan hipotik pada obyek hipotik.
Selama hipotik belum didaftarkan, kreditur tidak mempunyai hak
kebendaan atas obyek jaminan hipotik, karena sesuai dengan Pasal 1179 ayat 2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menegaskan bahwa “hipotik yang belum
didaftarkan tidak mempunyai kekuatan apapun dan terhadap para kreditur tidak
mempunyai ikatan hipotik.”
Dengan pendaftaran, maka lahirlah kekuatan mengikat perjanjian hipotik
dan sejak tanggal pendaftaran melekatlah kekuatan eksekutorial pada grosse akta
perjanjian hipotik. Akibat lain dari pendaftaran ialah penentuan urutan “ranking”
pemegang hipotik atas suatu benda objek hipotik. Pemegang hipotik yang lebih
dulu mendaftarkan mempunyai kedudukan yang didahulukan dalam pemenuhan
penagihan piutangnya dari pada pemegang hipotik yang mendaftar berikutnya
(droit de preference).
Hal tersebut diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, yang berbunyi :“tingkatan hipotik ditentukan pada hari pembukuan,
hipotik yang dibukukan pada hari yang sama, mempunyai tingkat yang sama
pula”. Tingkatan dari pihak-pihak pemegang jaminan hipotik ditentukan menurut
tanggal pembukuannya. Mereka yang membukukan pada hari yang sama,
bersama-sama mempunyai dan Pasal 1181 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, juga menegaskan bahwa: suatu hipotik yang bertanggal sama, tanpa
mempedulikan pada jam berapa pembukuan telah dilakukan, walaupun jam itu
dicatat oleh pegawai penyimpan hipotik.
Akibat penting dari pendaftaran hipotik ialah terpenuhinya asas publisitas,
yaitu agar hipotik dapat diketahui oleh umum dan asas spesialitas, yaitu asas yang
menghendaki bahwa hipotik hanya dapat dibebankan atas benda yang ditunjuk
secara khusus, yaitu benda-benda tidak bergerak, yang diikat sebagai jaminan
B. TINJAUAN TERHADAP HAK TANGGUNGAN
1. Pengertian hak tanggungan
Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat
yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai
dengan ketetapan MPRS No. II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya
unifikasi hukum tersebut.
Sebelum berlakunya UUPA, dalam hukum kita dikenal lembaga-lembaga
hak jaminan atas tanah yaitu : jika yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti
Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah
Hipotik, sedangkan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband.
Dengandemikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband
atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan Stb
1908 No. 542 jo Stb 1937 No. 190 yaitu misalnya mengenai hak-hak dan
kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas-asas
Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan
Credietverband. Sebelum berlakunya UUPA, dalam hukum kita dikenal lembagalembaga hak jaminan atas tanah yaitu: jika yang dijadikan jaminan tanah hak
barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya
adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband.
Dengan berlakunya UUPA (UU No.5 Tahun 1960) maka dalam rangka
mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru
yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan
Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
sebagai obyek yang dapat dibebaninya Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan
Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak
tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah Undang-Undang RI
Nomor 4 Tahun 1996 telah diundangkan pada tanggal 9 April 1996 yang berlaku
sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang
yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas
pinjaman yang diterima. Dalam penjelasan umum UU No. 4 tahun 1996 butir 6
dinyatakan bahwa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang ini pada
dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada Hak atas tanah. Namun
pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman
dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang
dijadikan jaminan tersebut.
Dari uraian di atas Hak Tanggungan sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Hak Tanggungan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan pengaturan
tentang Hak Tanggungan atas benda-benda tetap lain selain dari pada tanah.
Apabila membahas pengertian Hak Tanggungan, maka banyak pendapat yang
dikemukakan, diantaranya pengertian Hak Tanggungan menurut St. Remy
Syahdeni menyatakan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan
definisi yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan.
Sedangkan menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak
Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
Kreditur tertentu terhadap Kreditur yang lain.
Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan
adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur yang lain.
2. Sifat hak tanggungan
Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas dari hak tanggungan.Adapun sifat
dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:
a. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki
kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de
preference) dinyatakan dalam pengertian hak tanggungan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996,
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnya”,
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4
menyatakan:
“Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan
berhak menjual melalui pelelengan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan
tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara
menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.
b. Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi Hak
tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan :
“Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi ,kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dan juga di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996, menentukan: “Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas
tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara
angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang
merupakan bagian dari objek hak tanggungan,yang akan dibebaskan dari hak
tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani
sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.
c. Hak tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut
benda-benda yang berkaitan dengan tanah Hak tanggungan dapat dibebankan
selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagimana yang dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, Hak Tanggungan dapat saja dibebankan bukan saja pada hak atas tanah
yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.
d. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir Hak Tanggungan menurut
sifat accessoir dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa, “Hak Tanggungan menurut sifatnya
merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan
pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan
keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”.
Lebih lanjut hak tanggungan mempunyai sifat accessoir dinyatakan dalam Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa :
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang tersebut”.Kemudian
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
menentukan:
“hak tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan hak
tanggungan.” Perjanjian pembebanan
hak tanggungan bukan merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena ada perjanjian lain
yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian hak tanggungan
adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin.
Dengan kata lain, perjanjian pembebanan hak tanggungan adalah pejanjian
accessoir.
e. Hak tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang
Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal
3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 , menentukan: “Hak
Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan
hukum atau untuk satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan
hukum”.
f. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam
tangan siapapun objek tersebut berada Hak tanggungan mengikuti objeknya dalam
tangan siapapun objek hak tanggungan itu berada berdasarkan Pasal 7 Undangundang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan: “Hak tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Dengan demikian hak
tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek hak tanggungan itu berada pada
pihak lain.
g. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan Hak
tanggungan dapat beralih dan dialihkan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Jika piutang yang dijamin dengan hak tanggungan beralih karena cessie,
subrogasi ,pewarisan ,atau sebab-sebab lain, hak tanggungan tersebut ikut beralih
karena hukum kepada kreditur yang baru.”
Hak tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang
dijaminkan itu dapat
beralih dan dialihkan. Ketentuan bahwa hak tanggungan dapat beralih dan
dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak milik atas
piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut atau hak tanggungan
beralih karena beralihnya perikatan pokok.
h. Hak tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah
Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan dibawah kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”.
Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang
hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak
tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila
akan melakukan eksekusi atas hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang.
Pemegang hak tanggungan dapat langsung mengajukan permohonan kepada
kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan objek hak tanggungan yang
bersangkutan.
3. Objek hak tanggungan
Objek hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undangundang Nomor 4 Tahun 1996, adalah hak atas tanah yang dapat dibebani dengan
hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan yang
dapat menjadi objek hak tanggungan adalah Hak Pakai Atas Tanah Negara.
Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996,
terdapat dua unsur mutlak dari Hak Atas Tanah yang dapat dijadikan objek Hak
Tanggungan adalah :
a. “Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar
umum,dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan
diutamakan (preferen) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan
terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan
tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya,
sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan sehingga
apabila diperlukan harus dapat segera direalisasi untuk membayar hutang yang
dijamin pelunasannya”. Salim HS mengemukakan bahwa, hak atas tanah yang
dapat dijadikan jaminan hutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang.
b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas;
c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera
janji benda yang dijaminkan hutang akan dijual dimuka umum; dan
d. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.
Objek Hak tanggungan menurut Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 adalah Hak Milik. Menurut Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 Hak Milik adalah hak turun-temurun,terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah,dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 yang menentukan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.
Mengenai pengertian terkuat dan terpenuh sebagaimana dikemukakan oleh
Budi Harsono, bahwa maksud pernyataan itu adalah untuk menunjukan bahwa
diantara hak-hak atas tanah Hak Milik Yang “ter” (dalam arti “paling”) kuat dan
“terpenuh”, yaitu mengenai tidak adanya batas waktu penguasaan tanahnya dan
luas lingkup penggunaannya, yang meliputi baik untuk diusahakan atau digunakan
sebagai tempat membangun sesuatu.
Lebih lanjut kata-kata terkuat dan terpenuh dinyatakan oleh AP.
Parlindungan, bahwa maksudnya untuk membedakan Hak Milik dengan Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan hak-hak lainnya, untuk
menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dimiliki orang, Hak Milik
yang paling kuat dan penuh.
Hak Guna Usaha merupakan objek hak tanggungan sebagaimana diatur
dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, menentukan Hak Guna
Usaha dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.
Selanjutnya Hak Guna Usaha sebagimana Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29,
guna perusahaan pertanian,perikanan atau peternakan.
Hak Pakai Atas Negara sebagai objek hak tanggungan menurut Pasal 4
ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:”Hak Pakai Atas
Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan dapat juga dibebani hak
tanggungan”. AP.Perlindungaan mengemukakan bahwa pengertian Hak Pakai
sebagai objek hak tanggungan adalah:
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau tanah memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang
memberi kewenangan atau kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 41 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960.Hak Pakai menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berkedudukan sebagi objek hak
tanggungan adalah mengingat bahwa hak pakai diatas tanah Negara merupakan
hak atas tanah yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankanseperti hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan dengan demikian memenuhi asas
publisitas sehingga tanah yang berstatus hak pakai itupun dapat menjadi objek hak
tanggungan”
4. Ciri-ciri hak tanggungan
Ciri Hak Tanggungan adalah:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek
itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Biarpun objek Hak Tanggungan
sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak
Tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika
debitur cedera janji;
c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
dan
d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur
dalam pelaksanaan eksekusi.
Ciri-ciri di atas selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio
bahwa: ciri-ciri Hak Tanggungan bisa kita lihat dalam Pasal 1 sub 1 UndangUndang Hak Tanggungan, suatu Pasal yang hendak memberikan perumusan
tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:
a. hak jaminan
b. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan;
c. untuk pelunasan suatu hutang;
d. memberikan kedudukan yang diutamakan.
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka
ciri yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1
Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai
kedudukan yang diutamakan.
5. Proses pembebanan hak tanggungan
Proses pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15
Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 10 mengatur tata cara pemberian Hak
Tanggungan secara langsung, sedangkan Pasal 15 mengatur tentang pemberian
kuasa pembebanan hak tangungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada
penerima kuasa. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua
tahap kegiatan, yaitu:
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin ;
b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Perjanjian utang piutang sebagai tahap yang mendasari tahap pemberian
Hak Tanggungan dapat dibuat secara notariil atau dibawah tangan.
6. Hapusnya hak tanggungan
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan yang menentukan
bahwa:
a. Hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1) Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
2) Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan.
3) Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri.
4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan
Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan
tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu
hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain dengan sendirinya hak tanggungan
yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang hak tanggungan
dapat melepaskan hak tanggungannya dan hak atas tanah dapat hapus, yang
mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. Hak atas tanah dapat hapus antara lain
karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA
atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai yang dijadikan obyek hak tanggungan berakhir jangka
waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan
sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut. Hak tanggungan dimaksud tetap
melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya
dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak
tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak
tanggungan.
c. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan terjadi karena
permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut agar
hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
d. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dibebani hak tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.
(Materi diambil dari buku Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara)
Download