Ke-2 Mengenai kejahatan yang diancam

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Kapita Selekta
Ilmu Sosial
Hukum Pidana
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Penyiaran
Tatap Muka
12
Kode MK
Disusun Oleh
A11436AA
Finy F. Basarah, SH, M.Si
Abstract
Kompetensi
Mengenai Hukum Pidana secara
umum dan yang berlaku di Indonesia
Mahasiswa memahami sistem hukum
Pidana terutama yang berlaku di
Indonesia
12.1 Pendahuluan

Pengertian Hukum Pidana:
1)
Menentukan perbuatan yang dilarang disertai dengan sanksi
2)
Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar dapat
dikenai sanksi pidana
3)

Menentukan cara bagaimana sanksi itu dapat dikenakan
Tujuan Hukum Pidana:
1)
Mengatur masyarakat agar hak dan kewajibannya terjamin.
2)
Melindungi kepentingan masyarakat.
3)
Melindungi masyarakat dari campur tangan penegak hukum yang menggunakan
hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan.

Hukum Pidana mempunyai sifat istimewa, yaitu pada saat pelaksanaan hukum pidana
justru terjadi perampasan hak terhadap seseorang yang telah melanggar hukum.
Dengan
demikian,
hukum
pidana
harus
dianggap
sebagai
ultimum
remidium,maksudnya penjatuhan pidana atau penerapan hukum pidana merupakan
jalan terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak
dapat menyelesaikan suatu permasalahan.

Hukum Pidana Material di Indonesia
1)
Sumber utama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)  berlaku di
Indonesia sejak tahun 1946 (setelah kemerdekaan RI) dengan UU Nomor 1
Tahun 1946. Merupakan warisan kolonial Belanda yang diberlakukan di
Indonesia sejak 1 Januari 1918.
2)
Sumber lain: UU yang dibuat oleh RI (Korupsi, Lalu Lintas, Narkotika,
Psikotropika, Terorisme, dll).
2014
1
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id


Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
1)
Buku I  Ketentuan-ketentuan Umum (Algemene Leerstrukken), pasal 1-103
2)
Buku II  Tindak Pidana Kejahatan (Misdrijven), pasal 104-488
3)
Buku III  Tindak Pidana Pelanggaran (Overstredingen), pasal 489-569.
Asas legalitas Hukum Pidana  Pasal 1 KUHP: Tiada suatu perbuatan yang boleh
dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang
terdahulu dari perbuatan itu Nullum delictum, nulla poena sine pravia lege punali
tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut
perbuatan yang bersangkutan, sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman
yang dapat dijatuhkan atas delik itu  ketentuan-ketentuan hukum pidana harus
tertulis dalam perundang-undangan hukum pidana positif.

Asas Temporis Delicti tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili
menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. Jika terjadi perubahan perundangundangan pidana setelah tindak pidana itu dilakukan maka dipakai adalah ketentuan
yang paling meringankan terdakwa.

Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana:
1)
Asas Teritorialitas (Teritorialiteits Beginsel) Pasal 2 dan 3 KUHP: Ketetuan
pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di
dalam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana.
2)
Asas Nasionalitas Aktif (Actief Nationaliteits Beginsel)

Pasal 5 ayat (1): Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia
berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan:
(1)
salah satu kejahatan yang dituangkan pada Bab I dan Bab II Buku II
dan paal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451  menyangkut
tentang keamanan negara, kedudukan kepala negara, penghasutan
untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer,
perkawinan melebihi jumah yang ditentukan, dan pembajakan.
2014
2
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(2)
Suatu peristiwa yang dipandang sebagai kejahatan menurut
ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang Indonesia dan
dapat dipidana menurut undang-undang negara tempat perbuatan itu
dilakukan.

Pasal 5 ayat (2): Penuntutan terhadap suatu peristiwa yang dimaksudkan
pada pasal 5 ayat (1) butir 2 itu dapat juga dilakukan apabila tersangka
baru menjadi warga negara Indonesia sesudah melakukan peristiwa itu.
3)
Asas Nasionalitas Pasif (Pasief Nationaliteits Beginsel)  merupakan asas
perlindungan, bertujuan untuk melindungi kepentingan terhadap tindakan, yaitu
tindakan yang dilakukan untuk menjatuhkan wibawa dan martabat Indonesia,
mengancam kepentingan nasional, yang dilakukan baik oleh warga negara
Indonesia maupun warga negara asing, baik di dalam wilayah Republik
Indonesia maupun di luar wilayah Republik Indonesia  melindungi kepentingan
nasional tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya.
4)
Asas
Universalitas
hubungan
(Universaliteits
antarnegara
tanpa
Beginsel)
melihat
melindungi
kewarganegaraan
kepentingan
pelakunya

memperhatikan kepentingan negara lain sebagai tempat dilakukan suatu tindak
pidana tertentu, yaitu tindak pidana seperti yang tercantum pada pasal 4 sub 4:
melakukan salah satu kejahatan yang ditentukan dalam pasl 438, 444 s/d 446
tentang pembajakan, dan yang ditentukan dalam pasl 447 tentang menyerahkan
suatu bahtera kepada kekuatan pembajak di laut.
12.2. Delik

Delik atau tindak pidana adalah perbuatan yang dapat dihukum, merupakan perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja
(dengan niat, ada kesalahan) oleh orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Dilihat dari aspek penuntutan, ada beberapa macam delik, yaitu:
1.
Delik Aduan, yaitu delik yang didasarkan pada pengaduan dari pihak korban
atau keluarganya. Delik aduan terdiri dari:
2014
3
a)
Delik Aduan Relatif  masih bisa ditarik kembali
b)
Delik Aduan Absolut  tidak bisa ditarik kembali.
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2.
Delik Biasa, yaitu tindak pidana yang akan dilakukan penuntutan tanpa adanya
pengaduan dari korban yang berkepentingan atau dirugikan.
12.3. Sistem Hukuman

Hukuman Pokok (Hoofd straffen):
1)
Hukuman mati

Tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat
memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan
terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum.

Dalam mempertahankan tertib hukum dengan mempidana mati seseorang
karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan  ada di tangan
pemerintah, dengan begitu, hukuman mati menurut pemerintah adalah
yang sesuai dengan rasa keadilannya.

2)
Dilakukan dengan cara ditembak sampai mati.
Hukuman penjara

Penjara adalah tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum
dalam menjalankan hukumannya sesuai dengan putusan Hakim. Tempat
terhukum terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari kamarkamar kecil yang satu sama lain tidak dapat berhubungan.

Hukuman penjara terdiri dari hukuman seumur hidup (sampai mati) dan
terbatas (minimal satu hari, maks 15 tahun). Hukuman yang lebih dari 15
tahun tapi kurang dari 20 tahun adalah akibat dari tindak pidana yang
diancam dengan hukuman mati, seumur hidup, atau ada hukuman plus
karena rangkaian kejahatan yang dilakukan.

Masa percobaan: a) dipidana penjara/kurungan maksimal 1 tahun, bukan
kurungan pengganti; b) tidak melakukan tindak pidana lagi sebelum masa
percobaan habis; c) mengganti segala kerugian.

Pelepasan bersyarat: a) telah menjalani 2/3 lama pidana, minimal 9 bulan;
b) syarat umum: tidak mengulangi tindak pidana dan perbuatan lain yang
2014
4
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tidak baik; c) jika terpidana melanggar syarat, pelepasan bersyarat dapat
dicabut
3)
Hukuman kurungan

Hampir sama dengan hukuman penjara, perbedaannya terletak pada sifat
hukuman yang ringan dan ancaman hukumannya yang juga ringan.

4)
Hukuman kurungan minimal satu hari, maks satu tahun empat bulan.
Hukuman denda  dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup
membayarnya. Pelaksanaan pembayaran ini akan mengaburkan hukumannya.
Jika tidak dibayar dapat diganti kurungan pengganti. Kurungan pengganti
minimal 1 hari maksimal 8 bulan.

Hukuman Tambahan (Bijkomende straffen) sebagai penambah hukuman pokok
apabila hakim menetapkannya, terdiri dari:

1)
Pencabutan beberapa hak tertentu
2)
Perampasan barang-barang tertentu
3)
Pengumuman putusan hakim
Alasan Penghapus Pidana:
1)
Alasan Pemaaf (sisi sobyektif)  pelakunya;

Tidak dapat dipertanggungjawabkan Pasal 44:
1.
Barang
siapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2.
Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama
sawu tahun sebagai waktu percobaan.
2014
5
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Daya paksa (overmacht) Pasal 48: Barang siapa melalukakan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan
jiwa yang hebat (noodweer exces)Pasal 49 ayat (2): Pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan
itu, tidak dipidana.

Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang  Pasal 51 ayat (1): Barang siapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang, tidak dipidana.
2)
Alasan Pembenar (sisi obyektif)  perbuatannya;

Menjalankan peraturan undang-undang  Pasal 50: Barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang,
tidak dipidana.

Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum,
yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer)  Pasal 49 ayat
(1): Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena
ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum,
terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana:
1)
Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan

Aturan umum delik aduan  Pasal 72-75

Pasal 72 ayat (1): Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya
dituntut atas pengaduan, belum genap enam belas tahun dan juga
belum cukup umur atau orang yang di bawah pengampuan karena
suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah
wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
2014
6
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Pasal 72 ayat (2): Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri,
maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau
pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas,
atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya,
atau seprang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak
ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis
menyimpang sampai derajat ketiga.

Pasal 73: Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang
yang ditentukan dalam pasal berikut, maka tanpa memperpanjang
tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya,
anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau
ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.

Pasal 74 ayat (1): Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu
enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya
kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu
sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.

Pasal 74 ayat (2): Jika yang terkena kejahatan menjadi berhak
mengadu pada saat tenggang tersebut dalam ayat (1) belum habis,
maka setelah saat itu, pengaduan hanya masih boleh diajukan,
selama sisa yang masih kurang pada tenggang tersebut.

Pasal 75: Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik
kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.

Aturan khusus delik aduan:

Pasal 284 ayat (1): Diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan:
ke-1. a. Seorang pria telah kawin yang melakukan zina, padahal
diketahui, bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.
b. Seorang wanita telah kawin yang melakukan zina.
Ke-2 a. Seorang pria yang turut serta melaukukan perbuatan itu,
padahal diketahui, bahwa yang turut bersalah telah kawin.
2014
7
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
b. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan
pertbuatan itu padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut
bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Pasal 284 ayat (2): Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas
pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka
berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan
itu juga;

Pasal 284 ayat (3): Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72,
73, dan 75.

Pasal 284 ayat (4): Pengaduan dapat ditarik kembali selama
pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal 284 ayat (5): Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW,
pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan
karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan pisah
meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 332 ayat (1): Diancam dengan pidana penjara:
Ke-1. Paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang
wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang
tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan
maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita
itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Ke-2. Paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi
seorang wanita dengan tipu-muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya
terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan,

Pasal 332 ayat (2): Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan.

Pasal 332 ayat (3): Pengaduan dilakukan:
a.
Jika wanita ketika dibawa pergi belum cukup umur, oleh dia
sendiri, atau orang lain yang harus memberi izin bila ia kawin.
2014
8
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
b.
Jika wanita ketika dibawa pergi sedah cukup umur, oleh dia
sendiri atau oleh suaminya.

Pasal 332 ayat (4): Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan
wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkawinannya berlaku
aturan-aturan BW, maka tidak dapat dijatuhkan pidana sebelum
perkawinannya dinyatakan batal.
2)
Dituntut untuk kedua kalinya Ne bis in idem

Pasal 76 ayat (1): Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin
diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh
hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang
menjadi tetap.
Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan Swapraja
dan Adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan
tersebut.

Pasal 76 ayat (2): Jika putusan yang menjadi tetap berasal dari hakim lain,
maka terhadap orang itu dan karena perbuatan pidana itu pula, tidak boleh
diadakan peuntutan dalam hal:
Ke-1 Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau pelepasan dari
tuntutan hukum;
Ke-2 Putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah dijalani seluruhnya
atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah
hapus karena daluwarsa.
3)
Matinya terdakwa  Pasal 77: Kewenangan menuntut pidana hapus jika
terdakwa meninggal dunia.
4)
Daluwarsa:

Pasal 78 ayat (1): Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
Ke-1 Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan, sesudah satu tahun.
Ke-2 Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau
pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.
2014
9
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ke-3 Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
tiga tahun, sesudah dua belas tahun.
Ke-4 Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

Pasal 78 ayat (2): Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan
umurnya belum delapan belas tahun masing-masing tenggang daluwarsa
di atas dikurangi menjadi sepertiga.
5)
Ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran
yang hanya diancam dengan denda saja:

Pasal 82 ayat (1): Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam
dengan denda saja, menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar
maksimum
denda dan
biaya-biaya
yang
telah
dikeluarkan kalau
penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejaabat yang ditunjuk untuk itu oleh
aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang telah ditetapkan olehnya.

Pasal 82 ayat (2): Jika di samping denda ditentukan perampasan, maka
barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula, atau harganya
harus dibayar menurut taksiran pejabat tersebut dalam ayat (1).

Pasal 82 ayat (3): Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan,
pemberatan itu tetap berlaku, sekalipun kewenangan menuntut pidana
terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah hapus berdasarkan
ayat (1) dan ayat (2) pasal ini.

Pasal 82 ayat (4): Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi
orang yang belum cukup umur yang pada saat melakukan perbuatan
belum berumur enam belas tahun.
6)

Abolisi atau amnesti
Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana:
1)
Matinya terdakwa Pasal 83: Kewenangan menjalankan pidana hapus jika
terpidana meninggal dunia.
2014
2)
Daluwarsa (Pasal 84-85)
10
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Pasal 84 ayat (1): Kewenangan menjalankan pidana hapus karena
daluwarsa.

Pasal 84 ayat (2): Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran
lamanya dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana
percetakan lainnya lima tahun, dan mengenai kejatahan-kejahatan
daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.

Pasal 84 ayat (3): Bagaimanapun juga tenggang daluwarsa tidak boleh
kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.

Pasal 84 ayat (4): Wewenang menjalankan pidana mati tidak mungkin
daluwarsa.

Pasal 85 ayat (1): Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya
setelah putusan hakim dapat dijalankan.

Pasal 85 ayat (2): Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani
pidana, maka pada esok harinya setelah melarikan diri, mulai berlaku
tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka
pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa
baru.

Pasal 85 ayat (3): Tenggang daluwarsa tertunda selama penjalanan
pidana ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga
selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan
kemerdekaan itu berhubungan dengan pemidanaan lain.
3)
Grasi
Daftar Pustaka
Djamali. R. Abdoel. 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi 2, Cetakan 16 Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Dwiyatmi, Sri Harini. 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan Pertama. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2014
11
Kapita Selekta Ilmu Sosial
Finy F. Basarah. SH., M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download