ANCAMAN PADA SUMBER DAYA HAYATI LAUT

advertisement
III
ANCAMAN PADA
SUMBER DAYA HAYATI
LAUT
Tujuan pembelajaran:
Memahami berbagai jenis sumber
ancaman pada habitat dan
keanekaragaman sumber daya
hayati laut, terutama di wilayah
Coral Triangle – perubahan iklim,
polusi laut, pembangunan di
wilayah pesisir, konversi lahan,
penangkapan berlebih dan
penangkapan tidak ramah
lingkungan. Dari berbagai jenis
ancaman tersebut, kita bedakan
menjadi ancaman global dan
ancaman lokal. Juga perlu untuk
kita ketahui prioritas ancaman
yang penting dan strategis untuk
segera diatasi secara bersama oleh
berbagai pihak.
3.1 Pendahuluan
Pada pertengahan tahun 1800an, seorang naturalist berkebangsaan Inggris, Alfred Russel
Wallace, mengunjungi Ambon. Catatan temuan Wallace tentang keragaman hayati laut, sekarang
masih valid dan secara ilmiah disebut Wallace Line. Salah satu petikan tulisan Wallace, ialah sebagai
berikut: “ketika saya melihat ke dalam air laut, dasar perairan tersembunyi dan ditutupi sepenuhnya
oleh karang, spons, actinia dan produksi lainnya, dalam dimensi yang sangat indah, dalam berbagai
bentuk dan warna yang sangat brillian”. Pada saat itu, terumbu karang Indonesia dipercaya masih
dalam kondisi asli (pristine) dan dijadikan acuan dalam menentukan status kesehatan karang dewasa
ini. Persentase tutupan karang hidup ialah satu diantara berbagai indikator tingkat kesehatan
karang. Tingkat kesehatan karang dibedakan menjadi 4 (empat) kategori: excellence (sangat baik)
ialah tutupan karang hidup > 75%; good (baik) dengan tutupan karang hidup antara 50 – 75%;
moderate (sedang) antara 25 – 50%; dan poor (jelek), dengan tutupan karang hidup < 25%. Ketika
Russel Wallace berkunjung ke Ambon, terumbu karang dijadikan titik acuan (reference point),
dengan tutupan karang hidup > 75%. Setelah kunjungan Wallace, terumbu karang Indonesia diduga
mengalami degradasi secara bertahap. Meningkatnya penduduk, pembangunan dan permintaaan
pada sumber daya laut berdampak nyata pada terumbu karang. Pada tahun 2000, Prof. Rokhmin
Dahuri, seorang ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai pada kesimpulan bahwa luas
terumbu karang Indonesia, dengan status tutupan karang keras > 75% hanya tersisa 6% dari kondisi
100 tahun sebelumnya. Terumbu karang mengalami kerusakan dengan laju antara 0,5 – 1,0% per
tahun. Dengan luas total terumbu karang Indonesia 48.000 km2 , bisa dikatakan terumbu karang
mengalami kerusakan setara 24.000 ha per tahun.
31
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Gambar 3.1 Tutupan karang hidup yang tinggi, menunjukkan terumbu karang yang sehat (Foto:
diambil dari Wakatobi, oleh Purwanto)
Sumber daya hayati (habitat dan spesies) di laut mengalami ancaman serius oleh berbagai
aktifitas manusia di darat. Kegiatan tersebut bisa berdampak langsung atau secara tidak langsung
pada keanekaragaman hayati – ancaman langsung ialah jenis ancaman yang dampaknya langsung
kepada sumber daya laut, misalnya penangkapan ikan. Sedangkan ancaman tidak langsung ialah
kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan pengambilan sumber daya hayati di laut, namun
akhirnya berpengaruh pada penurunan sumber daya hayati. Sebagai contoh misalnya, penambangan
minyak di laut lepas, ketika kilang minyak mengalami kebocoran dan terjadi pencemaran minyak.
Berdasarkan cakupannya, ancaman pada sumber daya hayati laut bisa dibedakan menjadi:
ancaman yang bersifat lokal, dan ancaman global. Ancaman lokal ialah jenis ancaman dengan
sumber ancaman bersifat lokal, terjadi pada titik tertentu di laut. Pencemaran, konversi lahan atau
penangkapan ikan ialah termasuk jenis ancaman lokal. Ancaman global ialah tekanan pada sumber
daya hayati laut yang terjadi pada hampir semua wilayah di laut. Meningkatnya suhu permukaan air
laut ialah contoh dalam kategori ancaman global.
3.2 Perubahan iklim
Pertambahan penduduk dan pemenuhan kebutuhan manusia yang hampir tidak terbatas ialah
dua faktor yang menyebabkan perubahan ekologi di darat, dan akhirnya juga berdampak pada laut.
32
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Karena laut juga mempengaruhi daratan secara timbal balik, maka daratan menerima “double-blow
effect”, atau dampak ganda dari kegiatan yang dimulai dari darat. Pada akhirnya, manusia yang
tinggal di darat yang harus menerima atau menanggung kerugian ini secara bersama. Diantara kita
mungkin masih ingat dengan kata “freon”, yang banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga,
terutama sebagai pendingin (refrigerant), penyemprot (propellant) dan pelarut. Freon ialah merek
dagang untuk senyawa organik chlorofluorocarbon (CFC) yang mengandung carbon, chlorine dan
fluorine. Belakangan, bahan ini diketahui menyebabkan penipisan lapisan ozon pada atmosphere.
Dampaknya ialah radiasi spektrum ultraviolet dari matahari yang diterima langsung oleh bumi, yang
sebelumnya ditahan (sebagian) pada lapisan ozon. Negara Eropa melarang total penggunaan CFC
sejak tahun 2000 – semua negara di dunia sudah harus menghentikan penggunaan bahan CFC paling
lambat tahun 2010. Cerita tentang CFC atau freon mungkin akan segera berakhir. Namun dampak
dari CFC masih akan kita terima sampai waktu yang relatif lama. CFC ialah senyawa yang stabil dan
bisa bertahan sampai 100 tahun lamanya. Andaikata benar bahwa produksi CFC sudah diakhiri, maka
dalam 100 tahun ke depan, CFC yang tersisa tetap bisa menyebabkan penipisan lapisan pada ozon.
Revolusi industri, dibarengi dengan pertambahan penduduk, memacu penggunaan sumbersumber energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam dan batubara. Pengembangan pemukiman dan
industri memaksa pembukaan lahan hutan yang selama ini berfungsi sebagai penyedia oksigen dan
penyerap karbon pada atmosphere bumi. Dampak yang paling nyata ialah meningkatnya kandungan
CO2 pada atmosphere bumi. Dampak turunan yang dihasilkan dari pembakaran energi fosil dan
pembukaan lahan hutan ialah pada peningkatan suhu atmosphere dan hujan asam – lebih ekstrem
lagi, dia menghasilkan dampak turunan lain berupa hujan, disertai dengan intensitas badai tinggi.
Sebaliknya, bisa terjadi kemarau berkepanjangan, hujan asam dan banjir di darat. Semua dampak
turunan tersebut terangkum dalam istilah yang sekarang terkenal dengan sebutan perubahan iklim,
climate change. Perubahan iklim terjadi karena aktifitas manusia di darat. Sumber ancaman bisa
terjadi secara lokal, namun dengan intensitas yang cukup besar, atau umumnya bersifat global.
Dampak yang ditimbulkan (perubahan iklim) bersifat global, terjadi pada hampir semua wilayah di
dunia, bahkan pada wilayah kutub sekalipun. Jenis ancaman ini disebut dengan istilah ancaman
global.
Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut sedang menjadi pembahasan hangat diatara
peneliti bidang kelautan. Sebagian ahli menyatakan bahwa lautlah yang menerima dampak pertama
dari perubahan iklim global. Ancaman yang ditimbulkan bisa terjadi dalam bentuk:
a. Perubahan susunan kimia air laut dalam bentuk asidifikasi air laut, sebagai akibat dari
hujan asam;
b. Meningkatnya suhu permukaan air laut sebagai akibat dari peningkatan suhu atmosphere;
c. Peningkatan permukaan air laut (sea level) karena pemuaian air pada suhu yang lebih tinggi
dan mencairnya lapisan es di kutub
3.2.1 Asidifikasi
Hujan asam, oleh para ahli, diduga akan menyebabkan perubahan susunan kimia dan
penurunan pH air laut. Dampak pertama yang ditimbulkan ialah perubahan sistem bikarbonat pada
air laut. Dampak turunannya ialah terganggunya pembentukan struktur eksoskeleton (rangka
penyangga) pada terumbu karang. Sistem bikarbonat pada air laut, pada dasarnya mengikuti
persamaan disosiasi sebagai berikut:
33
Ancaman pada sumber daya hayati laut
CO2 + H2 O ↔ H2 CO3 ; H2 CO3 ↔ H + + HCO3 -; HCO3 - ↔ H + + CO3 2Meningkatnya CO2 akan menurunkan konsentrasi ion carbonat pada air laut, reaksi bergeser
ke arah kanan. Hal ini akan mempengaruhi seluruh organisme yang hidupnya tergantung dari
kemampuan membentuk kerangka luar (eksoskeleton) dari karbonat. Coral polyp ialah diantara
organisme yang paling sensitif dan menerima dampak pertama dari hujan asam.
Pembentukan kerangka kapur (eksoskeleton) oleh coral polyp ditentukan oleh nilai kejenuhan
aragonite, Ω, yang merupakan fungsi dari konsentrasi CO2 pada air laut dan suhu permukaan air.
Peningkatan CO2 akan menurunkan kejenuhan aragonite, dan sebagai konsekuensinya, menurunkan
laju pembentukan kerangka kapur oleh coral polyp. Para ahli membuat dugaan bahwa kondisi CO2
dan suhu permukaan laut pada tahun 1850an, ialah kondisi optimal untuk mendukung pembentukan
kerangka kapur oleh binatang karang, termasuk di dalam dan di sekitar wilayah Coral Triangle. Sejak
pertengahan tahun 1850an, terjadi peningkatan kandungan CO2 dan suhu atmosphere, sebagai
dampak dari revolusi industri. Perkembangan industri terus berjalan sampai awal tahun 2010,
walaupun negara berkembang sudah mulai membatasi penggunaan bahan-bahan yang bisa
menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosphere. Saat ini, tingkat kejenuhan aragonite diduga
masih cukup (walaupun berada pada kondisi di bawah optimal) untuk mendukung pembentukan
kerangka kapur oleh coral polyp. Namun jika skenario pembangunan tetap berjalan pada laju
peningkatan CO2 seperti saat ini, dalam 50 tahun kedepan, para ahli meramalkan bahwa terumbu
karang akan mengalami erosi yang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kerangka kapur
oleh binatang karang. Peningkatan CO2 , melalui hujan asam akan melemahkan struktur carbonat
pada kerangka luar terumbu karang. Sebagai akibatnya, kerangka kapur akan mengalami erosi. Jika
kecepatan erosi alami lebih cepat dari laju pembentukan kerangka kapur oleh binatang karang, luas
dan kualitas (kekuatan struktur) terumbu karang akan menurun. Penurunan luas dan kekuatan
terumbu karang akan berdampak buruk bagi terumbu karang, terkait dengan fungsi alaminya
sebagai pelindung daratan dari serangan gelombang pasang.
Asidifikasi pada air laut juga diramalkan akan berpengaruh pada organisme yang hidupnya
tidak ditopang oleh kerangka kapur, seperti ikan dan organisme akuatik (perairan) lainnya.
Asidifikasi, melalui hujan asam, diduga akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut asidosis.
Asidosis ialah meningkatnya, atau tepatnya, turunnya nilai pH pada plasma darah. Gejala asidosis
terjadi ketika pH plasma darah turun < 7,35 (namun tergantung dari spesies). Asidemia ialah gejala
yang ditimbulkan oleh peristiwa asidosis, ialah kondisi melemahnya sistem kekebalan tubuh
(imunitas) dan terganggunya proses metabolisme tubuh pada sebagian besar organisme akuatik.
Gejala lainnya ialah menurunnya kapasitas reproduksi, terutama ikan-ikan di laut. Jika ramalan para
ahli benar, kita akan berpeluang menerima resiko dari menurunnya potensi laut sebagai penyedia
protein hewani bagi manusia.
3.2.2 Suhu perm ukaan air laut
Suhu udara (atmosphere) mempengaruhi suhu permukaan air laut, biasa diukur dalam istilah
SST (Sea Surface Temperature). Meningkatnya suhu permukaan air laut, bersama radiasi sinar
matahari akan menyebabkan efek “Photo-Thermal Stress” pada binatang karang (coral polyp). Pada
kondisi stress, Coral Polyp akan melepas simbion zooxanthellae dari dalam tubuhnya – zooxanthellae
ialah simbion yang menyebabkan terumbu karang tampak berwarna, sesuai dengan jenis
zooxanthellae. Ketika alga zooxanthella dilepas, coral polyp menjadi transparan. Akibatnya, kita
34
Ancaman pada sumber daya hayati laut
melihat seolah-olah terumbu karang berwarna putih. Warna putih yang terlihat ialah warna dari
kerangka luar (eksoskeleton) dari karbonat. Peristiwa ini disebut dengan istilah bleaching.
Bleaching pada karang bisa digambarkan dalam beberapa mekanisme yang berbeda (Gambar
3.2). Peningkatan suhu dan sinar matahari menyebabkan binatang karang mengalami stress dan
berdampak pada kematian secara langsung, atau dalam periode yang relatif pendek. Ketika
mengalami kematian, zooxanthellae akan keluar dari dalam tubuh binatang karang. Akibatnya,
terumbu karang mengalami bleaching. Tidak beberapa lama setelah proses ini, permukaan karang
akan ditumbuhi lumut. Jika peristiwa bleaching diikuti dengan tumbuhnya lumut, dengan demikian,
artinya binatang karang (coral polyp) sudah mati. Pemulihan mungkin terjadi dalam waktu lama,
melalui dua kriteria dasar, ialah: terdapat cukup ikan herbivor pemakan lumut (seperti ikan kakatua
dari famili Scaridae, ikan kulit pasir dari famili Acanthuridae atau ikan beronang dari famili
Siganidae); dan ada terumbu karang sehat di sekitar lokasi bleaching (proses perpindahan larva
karang, planula, dari wilayah sekitarnya).
Mekanisme kedua ialah: stress photo-thermal menyebabkan coral bleaching, karena binatang
karang melepas zooxanthellae. Pada kondisi ini, binatang karang: bisa mati (indikatornya ialah
ditumbuhi lumut), atau bisa bertahan dan setelah beberapa lama, kembali normal. Setelah pulih,
binatang karang akan menyerap simbion zooxanthellae dan berwarna kembali, sesuai dengan jenis
zooxanthella yang tinggal di dalam tubuhnya. Terumbu karang yang mampu pulih kembali setelah
mengalami stres disebut mempunyai kemampuan resilience. Resilience ialah suatu kemampuan
untuk mengembangkan mekanisme pertahanan dari stressor luar, atau jika terkena stress, mampu
untuk beradaptasi dan pulih kembali, seperti semula. Sifat resiliensi ini ialah salah satu indikator kuat
pemilihan lokasi terumbu karang atau habitat lainnya untuk dilindungi.
Meningkatnya suhu permukaan air laut terjadi secara global pada semua wilayah permukaan
laut di dunia, sampai ke wilayah kutub. Peningkatan suhu permukaan air laut telah berdampak nyata
pada pencairan sebagian islet atau bongkahan es di kutub. Beberapa wilayah di dunia, mempunyai
mekanisme lokal yang secara tidak langsung berpengaruh dalam proses penetralan suhu permukaan
air laut. Contoh yang paling kuat ialah upwelling dan/atau percampuran antara air laut yang dingin
dan hangat, oleh pengaruh photo-thermal. Suhu permukaan air laut mengalami peningkatan secara
perlahan, namun tidak semua terumbu karang akan mengalami bleaching secara bersamaan.
Resiliensi, proses-proses lokal dan jenis spesies karang dominan akan mempengaruhi terjadinya
bleaching karena stress photo-thermal.
35
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Gambar 3.2
Dua mekanisme proses bleaching karang yang bisa menyebabkan kematian pada coral
polyp. Mekanisme pertama ialah coral polyp mengalami kematian setelah stress yang
ditandai dengan bleacing dan ditumbuhi lumut. Mekanisme kedua ialah stress yang
diikuti oleh bleaching dengan dua kemungkinan dampak lanjutan: mengalami
kematian atau bisa pulih kembali. Karang jenis ini disebut mempunyai sifat resilience.
Secara global, peningkatan suhu permukaan air laut telah menyebabkan terjadinya bleaching
pada beberapa terumbu karang di laut. Laporan UNEP (United Nations Environmental Program) dan
data Reef Base pada tahun 1998 membuktikan terjadinya peristiwa bleaching pada beberapa lokasi
di laut. Sepuluh tahun kemudian (tahun 2008), UNEP melaporkan lokasi kejadian bleaching karang
yang jauh lebih banyak dibandingkan tahun 1998. Hal ini hanya mempunyai arti bahwa perubahan
iklim, melalui peningkatan suhu permukaan air laut, sudah riil atau nyata terjadi di depan mata, dan
berpengaruh pada kehidupan ekosistem terumbu karang. Para ahli terus mencari indikator lapang
yang bisa dikaitkan dengan ramalan akan terjadinya bleaching pada suatu tempat. Mereka
menemukan indikator DHW, Degree Heating Week, untuk mengembangkan mekanisme peringatan
awal akan terjadinya bleaching. DHW ialah nilai besaran peningkatan suhu dalam satuan minggu.
DHW = 2, bisa diartikan sebagai meningkatnya suhu permukaan air laut setara 1°C, dari kondisi ratarata, selama periode dua minggu, atau peningkatan 2°C selama periode waktu satu minggu.
Seperti telah disebutkan, salah satu dampak dari perubahan iklim ialah meningkatnya suhu
udara atau atmosphere bumi. Dengan cara yang sama, suhu udara berpengaruh pada meningkatnya
suhu permukaan air laut. Terumbu karang ialah habitat di laut yang diduga paling sensitif
menghadapi photo-thermal stress. Mekanisme stress dari coral polyp bisa ditunjukkan dari keluarnya
zooxanthellae dari dalam tubuh coral polyp. Jika tidak bisa bertahan terhadap stress, coral polyp
akan mati dan permukaan terumbu karang segera ditumbuhi lumut. Jika karang bisa bertahan, dan
normal kembali, dia akan menyerap zooxanthellae dan bisa mengatasi stress (resilience). Pada
beberapa tempat di laut, terjadi upwelling dan/atau pengadukan masa air lokal, sehingga
peningkatan suhu permukaan air laut akan segera dinetralkan dan tidak mempengaruhi terumbu
karang. Beberapa lokasi terumbu karang di Indonesia dilaporkan mengalami bleaching karena
pengaruh dari peningkatan SST. Wilayah Bali Utara (Taman Nasional Bali Barat) dan Pulau Seribu
ialah dua tempat yang tercatat mengalami bleaching. Jadi, perubahan iklim pada dasarnya sudah
mulai mengancam kehidupan di laut, dan ini cukup berbahaya bagi laut sebagai sumber
penghidupan penduduk di darat.
36
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Terjadinya bleaching pada karang tidak selalu disebabkan oleh peningkatan suhu permukaan
air laut. Penyakit, predasi atau racun seperti potasium sianida juga bisa menyebabkan terumbu
karang terlihat mengalami bleaching. Crown-Of-Thorn (COT), starfish atau Mahkota Bintang Berduri
(MBB) dan siput, Drupella cornus (Röding, 1798), ialah dua predator karang yang umum diketahui.
Kedua jenis organisme ini memakan coral polyp dan menyebabkan terjadinya bleaching, sebelum
permukaan karang ditumbuhi oleh lumut. Namun, bleaching oleh predasi atau penyakit sangat
berbeda dengan mekanisme bleaching yang disebabkan oleh pengaruh SST. Bleaching karena
pengaruh predasi atau penyakit bersifat lokal, disebut juga spot bleaching. Sebaliknya, bersifat masal
(mass bleaching) dan terjadi atau mencakup wilayah yang lebih luas. Persamaannya ialah bahwa
keduanya akan merugikan bagi keberlanjutan sumber daya hayati laut, termasuk perikanan.
Selain terumbu karang, SST juga berpengaruh pada habitat lain di laut, terutama jenis habitat
yang menempati wilayah dekat pantai. Peningkatan suhu udara, diduga akan menurunkan
kemampuan pembentukan daun pada jenis tumbuhan bakau. Habitat padang lamun akan
mengalami peristiwa seagrass burning. Dampaknya, laju metabolisme dan pertumbuhan lamun akan
terhambat, dan mekanisme reproduksi menurun. Sebaliknya, pertumbuhan alga kompetitor
(pesaing) lamun akan meningkat dan merubah komposisi habitat, dari lamun menjadi habitat yang
didominasi oleh alga. Perubahan ini tentu saja akan berdampak pada struktur komunitas dan
populasi organisme penghuni lamun. Peningkatan SST diramalkan akan berdampak pada tumbuhan
rumput laut (seaweed). Sebagian masyarakat pantai menjadikan budidaya rumput laut sebagai
usaha tambahan untuk menghidupi keluarga. Walaupun bukan penghasilan utama, kerugian dari
tumbuhan rumput laut bisa berpengaruh pada penghasilan keluarga. Selain habitat, peningkatan
suhu permukaan air laut juga berpengaruh pada sumber hayati spesies. Dampak perubahan suhu
diduga akan berpengaruh pada ratio tukik pada penyu, turtle. Penyu selalu meletakkan telur pada
pasir di pinggir pantai. Peningkatan suhu inkubasi pada sarang, secara teoritis, akan meningkatkan
jumlah tukik betina, dibandingkan jantan. Pada kondisi dewasa, setiap satu ekor induk betina
membutuhkan beberapa induk jantan dalam proses kelengkapan siklus reproduksi (memperkaya
keragaman genetik). Perubahan iklim global bisa menimbulkan kondisi yang sebaliknya.
Ringkasnya, ancaman global pada dasarnya terjadi melalui pemanasan global suhu permukaan
air laut dan asidifikasi. Peningkatan suhu permukaan air laut akan memberikan dampak negatif pada
habitat dan spesies di laut – terumbu karang mengalami bleaching, pembentukan daun dan
kemampuan fotosistensis pada tanaman bakau menurun, seagrass burning pada habitat lamun,
kematian pada tumbuhan rumput laut dan perubahan ratio kelamin pada tukik (anak penyu).
Bleaching bisa menyebabkan kematian binatang karang dan dominasi lumut. Hal ini akan
mengurangi fungsi terumbu karang sebagai rumah bagi ikan sehingga produksi ikan karang
kemungkinan akan menurun. Kapasitas produksi petani rumput laut kemungkinan akan berkurang.
Hal yang sama juga bisa terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur habitat pada bakau dan
lamun. Asidifikasi akan melemahkan struktur kerangka kapur pada terumbu karang – bisa terjadi
erosi kerangka kapur lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kerangka yang sama oleh
binatang karang. Hal ini akan melemahkan fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai.
Asidifikasi, pada ikan dan organisme laut lainnya, bisa menyebabkan gejala asidemia, menurunnya
pH plasma darah. Pada kondisi seperti ini tingkat kekebalan ikan dan organisme laut lainnya akan
menurun, serta menurunnya kemampuan reproduksi. Dengan demikian, ancaman global akan
berdampak negatif pada kemampuan laut untuk menyediakan sumber daya bagi manusia serta
menurunnya fungsi laut dalam memberikan jasa ekosistem lainnya.
37
Ancaman pada sumber daya hayati laut
3.3 Ancam an lokal
Sumber daya hayati laut bisa terancam oleh aktifitas manusia di darat maupun di laut. Namun
dampak dari ancaman tersebut bersifat terlokalisir, pada wilayah yang sangat terbatas di laut – jenis
anmacan ini, seperti telah dijelaskan sebelumnya, disebut ancaman lokal (local threats). Pelabuhan,
port atau harbour, ialah tempat di pinggir pantai, secara umum kita kenal sebagai lokasi untuk
menambatkan perahu atau kapal, menurunkan atau menaikkan barang, atau komoditas perikanan
dan lainnya, sebelum berangkat ke tempat tujuan pelabuhan lain. Karakteristik yang paling spesifik
dari pelabuhan ialah banyak tumpahan minyak atau sejenisnya yang menutupi permukaan air di
pantai. Tutupan minyak akan mempengaruhi kehidupan organisme dan habitat di laut sekitarnya.
Namun tutupan minyak tersebut hanya terkonsentrasi dalam radius terbatas, di sekitar pelabuhan.
Pembangunan atau pengembangan pelabuhan dikatakan sebagai sumber ancaman lokal pada
organisme dan habitat (sumber daya hayati) laut. Ancaman lokal pada sumber daya hayati laut, pada
dasarnya, bisa dibedakan ke dalam kategori: pembangunan di wilayah pantai, konversi lahan pantai,
sedimentasi, polusi atau pencemaran, penangkapan destruktif dan penangkapan berlebih.
3.3.1 Pembangunan w ilayah pesisir
Hasil kajian ahli pesisir di Asia Tenggara menyatakan, 80% penduduk terkonsentrasi pada
wilayah antara 0 – 60 km dari laut. Pembangunan perumahan, fasilitas transportasi, pemanfaatan
sumber daya, pariwisata dan pembuangan sampah maupun limbah akan terkonsentrasi di wilayah
pesisir. Semua aktifitas tersebut di atas akan menekan dan mengancam sumber daya habitat dan
hayati laut. Kebanyakan dari kita pernah berkunjung ke pantai Sanur – lokasi pariwisata kedua di
Bali, setelah Kuta atau Legian. Sebelum tahun 1970an, masyarakat melakukan penambangan karang
untuk bahan bangunan. Bongkahan karang yang diambil dari laut dibakar di pinggir pantai.
Belakangan, Sanur menjadi lokasi wisata, termasuk penyelaman (terumbu karang). Secara perlahan,
masyarakat menurunkan dan akhirnya menghentikan kegiatan penambangan karang. Namun
dampaknya segera terlihat – pantai mengalami abrasi, daratan terkikis secara perlahan dan tamu
hotel merasa terganggu karena bangunan terus diserang ombak. Contoh kedua bisa dilihat di
wilayah Candi Dasa, berjarak sekitar 40 km dari Sanur, ke arah timur. Untuk mengurangi serangan
ombak, pemerintah membangun break-water atau pemecah gelombang. Tindakan ini sebenarnya
tidak diperlukan jika terumbu karang terpelihara dengan baik.
Penambangan karang sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia – Nusa Tenggara Timur,
Wakatobi dan sebagian wilayah Papua, masyarakat melakukan pengambilan terumbu karang untuk
tujuan yang beragam, baik secara subsisten maupun dilakukan untuk tujuan komersial. Walaupun
secara terbatas, pemerintah masih mengeluarkan ijin beberapa perusahaan untuk melakukan
pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah.
Namun pemerintah tidak selalu bisa melakukan pengawasan secara ketat. Akibatnya, sering terjadi
pelanggaran dalam aktifitas penambangan terumbu karang. Seorang Kepala Dinas di Kabupaten Alor
pernah dituntut di Pengadilan Negeri karena melarang usaha pengambilan karang di wilayahnya.
Putusan pengadilan, bahkan, memenangkan pengusaha yang mengambil karang.
38
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Gambar 3.3
Pemukiman di atas hamparan karang, sangat beresiko merusak lingkungan terumbu
karang (photo: Misool, Raja Ampat, oleh Andreas Muljadi)
3.3.2 Konversi Lahan
Saat ini, beberapa tempat di dunia, bisa dipelajari secara detail dengan tersedianya informasi
melalui citra satelite – Google Earth misalnya, menyajikan fasilitas sampai citra geo-eye, hanya
beberapa ratus meter dari permukaan daratan. Kalau kita perhatikan pesisir pantai wilayah utara
Pulau Jawa melalui Google Earth, bisa dibayangkan wilayah tersebut ditutupi oleh hutan bakau
(mangroves) yang sangat lebat. Alasan klasik, tuntutan pembangunan dan teknologi, memaksa
konversi hutan bakau menjadi tambak dan peruntukan lainnya. Konversi lahan bakau tidak saja
terjadi pada wilayah dengan populasi penduduk yang padat. Pemandangan dari pelabuhan udara
Bima, Sumbawa, menunjukkan sebagian besar dari hutan bakau sudah dirubah menjadi lahan
tambak dan kolam garam.
Hutan bakau berfungsi untuk menjebak bahan organik, mejadi perangkap bahan pencemar
dan menahan bahan-bahan partikulat sebelum sampai di pantai. Hutan bakau juga berfungsi sebagai
penyangga untuk mencegah intrusi air laut ke arah daratan. Secara fisik, hutan bakau bisa menahan
pantai dari serangan gelombang, tsunami, dan angin topan. Secara ekologis, hutan bakau
merupakan asuhan (nursery ground) bagi ikan kecil, tempat mencari makan ikan-ikan dari laut dan
sebagai lokasi pemijahan. Hampir semua hutan bakau pada wilayah pasang surut menghasilkan
kepiting soka atau kepiting bakau, Scylla serrata (Forskål, 1775). Konversi lahan sering
mengorbankan hutan bakau yang ada di pinggir pantai. Jika alih fungsi hutan bakau dilakukan secara
berlebihan, bakau akan kehilangan berbagai fungsi seperti tersebut di atas. Ancaman terhadap
bakau, dengan kata lain, bisa berdampak negatif pada perikanan tangkap, misalnya.
39
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Gambar 3.4
Konserversi lahan bakau yang berubah menjadi tambak udang dan/atau
garam. Pada saat yang sama kita juga akan kehilangan potensi perikanan
tangkap (photo: Bima, Sumbawa Besar, oleh Peter Mous, TNC)
3.3.3 Sedimentasi
Hasil studi resiko kerusakan terumbu karang di Asia Tenggara mendapatkan bahwa lebih dari
80% lahan di Pulau Jawa dan Bali sudah dibuka untuk berbagai kepentingan yang berbeda.
Pembukaan lahan di Pulau Sumatera dan Sulawesi mencapai 61 – 80%. Hanya sebagian wilayah
Kalimantan Timur dan Papua yang masih cukup baik, dengan pembukaan lahan antara 0 – 20%.
Pembukaan lahan membuat tanah permukaan labil dan terbawa bersama air permukaan pada saat
hujan. Seluruh bahan tersebut hanyut dan sampai di wilayah muara sungai. Dengan semakin
berkurangnya lahan bakau, air sungai bersama partikel lumpur akan mengendap pada wilayah
littoral dan paparan benua. Sedimentasi ini menjadi ancaman bagi lingkungan terumbu karang.
Sedimentasi menutupi coral polyp dengan partikel lumpur. Kekeruhan oleh partikel lumpur juga
menghambat radiasi sinar matahari sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh
zooxanthellae, simbion dari coral polyp.
Habitat terumbu karang yang baik hampir tidak pernah ditemukan dekat dengan muara sungai
besar. Hal ini disebabkan karena sungai di Indonesia selalu membawa partikel lumpur dan bahan
pencemar lainnya yang membuat habitat terumbu karang sulit berkembang. Sebaliknya, terumbu
karang bisa tumbuh baik pada lokasi pulau-pulau kecil yang relatif tidak memiliki sungai besar.
Komodo, Teluk Maumere, Wakatobi dan Raja Ampat ialah beberapa wilayah di Indonesia dengan
populasi terumbu karang yang masih relatif baik dan tidak terpengaruh oleh partikel lumpur dari
sungai. Hasil studi yang dilakukan oleh Tomascik mendapatkan kedalaman optimal terumbu karang
di Kepulauan Seribu mencapai 8 – 12 m dari permukaan. Kondisi terumbu karang sehat ini terjadi
40
Ancaman pada sumber daya hayati laut
pada tahun 1931 dimana Sungai Ciliwung belum menghasilkan partikel lumpur dan bahan pencemar
lainnya dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Setelah pasca kemerdekaan dan Jakarta menjadi pusat
kota dan ibu kota negara, populasi terumbu karang tidak mencapai kedalaman 12 m. Hasil studi yang
dilakukan pada tahun 1986 mendapatkan bahwa kedalaman optimal terumbu karang di Pulau Seribu
hanya mencapai 4 m dari permukaan. Bahkan, studi yang dilakukan pada tahun 1993, kedalaman
optimal populasi terumbu karang lebih dangkal dari 4 m. Sedimentasi oleh partikel lumpur dan
bahan pencemar lainnya terakumulasi di wilayah Teluk Jakarta, yang dibawa oleh aliran Kali
Ciliwung. Partikel lumpur terbawa oleh arus ke arah Pulau Seribu. Kekeruhan akibat sedimentasi
tersebut membuat terumbu karang tidak bisa tumbuh dengan optimal.
Perubahan tata guna lahan di darat bersama sistem pertanian yang tidak berkelanjutan,
keduanya menyebabkan pencemaran pada badan dan tangkapan air. Pencemaran tersebut bisa
bersifat poin-source yang mudah dilacak maupun non-point-source yang tidak mudah dilacak. Tipe
pencemaran ini biasanya membawa nutrien secara berlebihan dan menyebabkan eutrofikasi di
wilayah muara sungai dan pantai. Eutrofikasi berdampak pada pertumbuhan lumut dan alga lain
secara berlebihan dan mendominasi permukaan perairan. Alga atau lumut menutupi permukaan
coral polyp dan menyebabkan stress atau kematian. Dominasi alga juga mengurangi infiltrasi sinar
matahari yang seharusnya optimal untuk pertumbuhan polyp dan pembentukan kerangka kapur.
Sumatera, Utara Jawa dan Kalimantan ialah tiga pulau besar di Indonesia yang juga mempunyai
muara sungai besar. Meningkatnya pembukaan lahan, perubahan tata guna lahan serta sistem
pertanian yang tidak berkelanjutan terus meningkatkan sedimentasi dan nutrien ke wilayah pesisir
pantai. Terumbu karang pada muara sungai dari tiga pulau ini relatif sudah terdegradasi
dibandingkan dengan di wilayah timur Indonesia. Contoh nyata yang bisa dilihat ialah pada Taman
Nasional Kepulauan Seribu, yang berada sangat dekat dengan muara sungai Ciliwung. Berbeda
dengan Teluk Bintuni di wilayah Papua, dengan pembukaan lahan dan sistem pertanian yang relatif
masih konvensiaonal. Laporan beberapa pegiat konservasi kelautan dan pemerintah menunjukkan
kondisi terumbu karang di sekitarnya masih relatif baik.
41
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Gambar 3.5
Sedimentasi di laut dan beresiko mengancam terumbu karang, sebagai akibat dari
pembukaan lahan hutan di darat (Foto oleh Peter J. Mous)
3.3.4 Pencem aran Minyak
Beberapa kegiatan manusia yang berbasis di laut dan menyebabkan degradasi sumber daya
laut, antara lain ialah termasuk: pelabuhan, tumpahan minyak di laut, bangkai kapal yang
ditinggalkan pemilik, pembuangan sampah dari atas kapal, pelemparan jangkar tambak (anchor),
pembuangan air ballast dan aktifitas pengeboran minyak (di pantai atau lepas pantai). Wilayah
sekitar pelabuhan umumnya didominasi oleh tiga kategori pencemaran: pembuangan minyak dari
limbah pembakaran, pembuangan air ballast dan sampah. Intensitas pencemaran minyak bisa
terlihat pada permukaan air laut karena berat jenis minyak yang lebih rendah. Komposisi kimia
hidro-karbon minyak lebih banyak berdampak negatif pada organisme permukaan (pelagis). Lapisan
permukaan minyak bisa membentuk micro-film yang berdampak pada serapan energi matahari yang
seharusnya bisa diterima oleh zooxanthella pada coral-polyp. Pembuangan air ballast umumnya
mengandung bahan organik dan organisme infasive yang akhirnya menjadi kompetitor keragaman
hayati lokal. Beberapa jenis kapal harus berlabuh dan melemparkan jangkar di luar pelabuhan.
Secara fisik, dia bisa merubah struktur dasar perairan di sekitar pelabuhan.
Pada dasarnya, pencemaran di laut bersifat lokal di sekitar sumber pencemaran. Beberapa
jenis pencemar, terutama yang tidak bisa diencerkan oleh air laut, terbawa oleh arus laut dan
menyebabkan dampak negatif pada area yang lebih luas. Kejadian-kejadian seperti tumpahan
minyak di Selat Malaka yang terjadi karena karamnya Kapal Showa Maru, pada tahun 1975. Showa
Maru menumpahkan sekitar 1 juta ton minyak di wilayah perairan Selat Malaka. Tumpahan minyak
42
Ancaman pada sumber daya hayati laut
ini terus meluas, mencemari wilayah perairan laut yang dilewati bersama arus. Beberapa lokasi di
Indonesia yang rawan dari pencemaran minyak ialah Selat Malaka, Selat Makasar, Cilacap,
Lhokseumawe, Pulau Natuna dan Tanjung Emas (Semarang). Kebocoran bahan radioaktif yang baru
saja terjadi di Jepang, diduga meluas sampai di wilayah perairan Amerika Serikat. Beberapa jenis ikan
komersial yang ditangkap oleh nelayan sudah terkena radiasi dan mengkhawatirkan konsumen.
3.3.5 Penangkapan Berlebih
Penangkapan berlebih (over-exploitation), didefinisikan sebagai pengambilan sumber daya
hayati laut (ikan) pada laju yang melebihi kemampuan sumber daya untuk melakukan pemulihan
secara alami. Indikasi awal penangkapan berlebih ialah berkurangnya stok populasi, dan akhirnya,
hasil tangkapan nelayan. Indikasi lainnya ialah pada semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap
oleh nelayan. Penangkapan berlebih, jelas akan merugikan nelayan dan masyarakat karena potensi
sumber daya yang bisa dimanfaatkan akan semakin menurun. Hal ini akan berdampak pada kerugian
ekonomi masyarakat lokal, bahkan bisa terjadi dalam bentuk hilangnya salah satu sumber
penghidupan masyarakat pesisir dari penangkapan ikan. Ketika sumber daya mulai berkurang, kita
bisa melihat frekuensi konflik diantara nelayan pengguna sumber daya yang semakin intens. Konflik
nelayan di Selat Madura (Jawa Timur) atau di Selat Malaka (Sumatera) ialah dua contoh yang masih
kita bisa lihat sampai saat ini.
Sumber daya hayati laut tinggal pada habitat atau ekosistem dan membentuk simbion, satu
sama lain saling terkait, membentuk kesimbangan ekosistem. Penangkapan berlebih dari salah satu
sumber daya hayati menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem secara biologis – Ikan
napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835) dan siput terompet, Charonia tritonis (Linnaeus, 1758)
ialah dua jenis spesies yang dipercaya sudah mengalami penangkapan berlebih. Ikan napoleon
diburu karena nilai ekonomisnya yang sangat tinggi pada perdagangan ikan karang hidup di
Hongkong. Kedua jenis spesies ini diduga merupakan pemangsa telur Crown-Of-Thorn. Sedangkan
Crown-of-Thorn ialah jenis organisme (Echinodermata) yang menjadi predator coral polyp.
Penangkapan berlebih pada ikan napoleon dan siput terompet (triton) akan menyebabkan
meledaknya populasi COT secara mendadak. Penangkapan berlebih pada kondisi ini lebih disebut
sebagai ecological over-fishing yang tentu saja berdampak buruk pada ekosistem terumbu karang.
Ikan napoleon dan siput terompet (triton) sering disebut sebagai keystone species, yang merupakan
indikator kesehatan karang.
Beberapa tempat di laut menjadi lokasi perkawinan ikan, sering disingkat SPAGs (Spawning
Aggregation Sites). Gili Lawa Laut (Taman Nasional Komodo), Ayau (Raja Ampat), Gebe (Kofiau, Raja
Ampat) ialah tempat-tempat yang sudah disurvei sebagai lokasi potensial perkawinan ikan karang
(seperti ikan kerapu). Lokasi tersebut umumnya merupakan area yang sangat kecil, pada ujung
terumbu luar dan sering kali sudah diketahui oleh nelayan. Bahkan nelayan sudah sangat tahu saat,
tepatnya, waktu induk-induk berkumpul melakukan pemijahan. Induk-induk tersebut berasal dari
tempat berbeda, berkumpul (agregasi) dalam waktu yang singkat dan melakukan pemijahan. Setelah
menyelesaikan siklus pemijahan dia akan kembali ke tempat aslinya. Karena waktu dan lokasi
pemijahan sering diketahui oleh nelayan, bisa terjadi penangkapan berlebih pada induk yang akan
melakukan pemijahan. Jika sebagian besar calon induk yang akan memijah tersebut ditangkap
nelayan, pemijahan tidak terjadi dan tidak ada individu baru pada tahun berikutnya. Penangkapan
berlebih tipe ini sering disebut dengan istilah recruitment over-fishing.
43
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Penangkapan berlebih bisa terjadi dalam beberapa bentuk – growth over fishing, recruitment
over-fishing dan ecological over-fishing. Growth over-fishing terlihat dari gejala ukuran ikan hasil
tangkap yang semakin kecil. Ecological over-fishing menyebabkan perubahan susunan rakitan
spesies yang selanjutnya berdampak pada tidak seimbangnya struktur ekosistem. Recruitment overfishing dicirikan dari menghilangnya individu baru secara mendadak sebagai dampak dari
pengurasan induk potensial. Ketiga jenis penangkapan berlebih ini tentu saja merupakan ancaman
bagi sumber daya dan keragaman hayati laut.
3.3.6 Penangkapan Destruktif
Penangkapan destruktif ialah jenis kegiatan pengambilan ikan dengan cara atau metode yang
berdampak negatif pada populasi ikan dan habitat atau lingkungan tempat tinggal ikan.
Penangkapan destruktif disebut juga dengan istilah penangkapan tidak ramah lingkungan, Unfriendly
Fishing Methods. Peledak (bom ikan, dinamit) dan racun ikan (potasium sianida, tuba, akar bore,
deris) ialah dua jenis metode penangkapan di Indonesia yang sangat terkenal, tergolong dalam
metode destruktif. Trawl atau pukat hariamau juga termasuk dalam kategori alat destruktif bersama
penangkapan dengan menggunakan strum listrik, electro-fishing.
Dampak dari penangkapan destruktif dibedakan dalam dua kategori, ialah: tertangkapnya ikan
non-target dan menyebabkan hasil sampling (by-catch), dan kerusakan kolateral. Trawl dan electrofishing sering kali atau hampir selalu menghasilkan by-catch yang sering kali tidak bermanfaat secara
ekonomis dan terpaksa harus dibuang oleh nelayan. Kerusakan kolateral ialah dampak negatif, baik
kerusakan habitat atau ikan-ikan kecil yang tidak pernah bisa dihitung, sebagai akibat dari cara
operasi alat tangkap. Trawl dasar, bom ikan dan racun ikan sering kali menimbulkan dampak dalam
bentuk kerusakan kolateral ini. Bom ikan umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang
bergerombol di atas terumbu karang, seperti ikan ekor kuning, Caesio spp, atau ikan kuwe, Caranx
spp. Ledakan oleh bom akan menimbulkan kerusakan fisik pada terumbu karang, menjadi serpihan
kecil yang disebut rubble. Bom menyebabkan perubahan struktur dasar, dari substrat keras (fix)
menjadi substrat yang labil. Pada kondisi seperti ini, terumbu karang akan sulit tumbuh kembali
karena bayi karang (planula) selalu membutuhkan subsrat keras untuk menempel.
Trawl, disebut juga Pukat Harimau atau Pukat Hela, lebih banyak dioperasikan pada dasar
berpasir atau pasir berlumpur. Dalam operasi, jaring ini menggaruk dasar perairan. Akibatnya, terjadi
perubahan struktur dan kualitas habitat dasar yang sebelumnya sangat cocok untuk ikan. Ukuran
mata jaring cod-end pada Trawl dibuat berukuran sangat kecil. Hal ini dimaksudkan agar udang, yang
menjadi target utama penangkapan, tertinggal pada jaring cod-end. Namun, pada saat yang sama,
ikan-ikan lain yang tidak menjadi target penangkapan juga tertangkap. Sebagian besar ikan-ikan ini
tidak bernilai ekonomis untuk dibawa ke darat – nelayan harus membuang ikan-ikan tersebut ke
tengah laut, disebut dengan istilah discard. Untuk mendapatkan 1 kg udang, operasi jaring Trawl di
Australia Utara dilaporkan sampai membuang 20 kg ikan hasil samping atau by-catch.
Ringkasnya, penangkapan dengan alat tangkap atau metode yang tidak ramah lingkungan
mengancam keberlanjutan sumber daya dan keanekaragaman hayati laut. Ancaman tersebut terjadi
dalam bentuk tingginya hasil samping dan kerusakan kolateral yang ditimbulkan oleh operasi alat.
Harus diingat pula bahwa alat tangkap destruktif juga memberikan kontribusi nyata terjadinya
penangkapan berlebih. Jadi, alat tangkap destruktif disebut menyebabkan terjadinya double-blow
effect, penangkapan berlebih dan pada saat yang sama juga menyebabkan kerusakan habitat
potensial bagi ikan.
44
Ancaman pada sumber daya hayati laut
Download