BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Obat Menurut

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Obat
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam surat Keputusan Menteri
Kesehatan No.149/SK/Menseknes/IV/1978 diacu dalam Kartikawati (2004),
definisi tumbuhan obat adalah tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan
sebagai bahan baku obat (prokursor), atau tumbuhan yang diekstraksi dan ekstrak
tumbuhan tersebut digunakan sebagai obat.
Suhirman (1990) menyebutkan bahwa tumbuhan obat adalah tumbuhan
yang bagian tumbuhannya (akar, batang, daun, umbi, buah, biji dan getah)
mempunyai khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam
pembuatan obat modern atau tradisional.
Selanjutnya Zuhud et al. (1994) lebih rinci mengemukakan bahwa
tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui atau
dipercaya berkhasiat obat, dan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
1. Tumbuhan obat tradisional : spesies tumbuhan yang diketahui dan dipercaya
masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku
obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern : spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial : spesies tumbuhan yang diduga mengandung
senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan
secara ilmiah medis atau penggunaannya sebagai obat tradisional sulit
ditelusuri.
Tumbuhan obat terdiri dari beberapa macam habitus. Habitus berbagai
spesies tumbuhan (Tjitrosoepomo 1988 diacu dalam Damayanti 1999) adalah
sebagai berikut :
a) Pohon adalah tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki suatu batang yang
jelas dan bercabang jauh dari permukaan.
b) Perdu adalah tumbuhan berkayu yang tidak seberapa besar dan bercabang
dekat dengan permukaan.
c) Herba adalah tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan berair.
d) Liana adalah tumbuhan berkayu dengan batang menjulur/ memanjat pada
tumbuhan lain.
e) Tumbuhan memanjat adalah herba yang memanjat pada tumbuhan lain atau
benda lain.
f) Semak adalah tumbuhan tidak seberapa besar, batang berkayu, bercabangcabang dekat permukaan tanah atau di dalam tanah.
g) Rumput adalah tumbuhan dengan batang yang tidak keras, mempunyai ruasruas nyata dan seringkali berongga.
Menurut Sumarto (1989) habitus spesies tumbuhan bambu adalah tumbuhan
yang tergolong famili Gramineae (Poaceae) yang umumnya berumpun dan dapat
mencapai ketinggian 40 m dan tebalnya 30 cm.
2.2 Tumbuhan Obat Keluarga (TOGA)
Menurut Departemen Kesehatan RI (1990) TOGA adalah sebidang tanah
baik di halaman atau kebun yang dimanfaatkan untuk menumbuhkan tumbuhan
yang berkhasiat obat dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga akan obat.
Dalam kondisi tertentu TOGA dapat pula dibuat dengan memanfaatkan pot, atau
benda-benda lain yang dapat dan cocok untuk menumbuhkan tumbuhan yang
berkhasiat obat.
Pengadaan tumbuhan untuk TOGA tidak boleh membebani masyarakat dan
oleh sebab itu jenis-jenis tumbuhan obat yang ditanam di TOGA harus memenuhi
kriteria (persyaratan) sebagai berikut :
1. Tumbuhan tersebut sudah terdapat di daerah pemukiman yang bersangkutan
2. Tumbuhannya mudah dikembangbiakkan, tidak perlu cara penanaman khusus
dan tidak memerlukan cara pemeliharaan yang rumit.
3. Dapat dipergunakan untuk keperluan lain, misalnya untuk sumber makanan,
bumbu dapur, kayu bakar, bahan kerajinan tangan, dan sebagainya.
4. Dapat diolah menjadi simplisia dengan cara sederhana
5. Tumbuhannya sudah terancam kepunahan.
2.3 Pengembangan Tumbuhan Obat di Indonesia
Indonesia dengan mega biodiversity-nya memiliki ancaman kelestarian
tumbuhan obat, diantaranya diakibatkan oleh kurangnya kebijakan pemerintah dan
peraturan perundangan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan tumbuhan obat.
Pemanenan bahan baku obat dari alam, kerusakan habitat dan konversi hutan,
kurangnya perhatian terhadap pengelolaan dan budidayanya, serta hilangnya
budaya dan pengetahuan tradisional. Meskipun demikian terdapat prospek
pengembangan tumbuhan obat Indonesia, yaitu dengan adanya permintaan bahan
baku tumbuhan obat yang terus meningkat, sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk, harga obat-obatan dari Barat yang semakin mahal, meningkatnya
jumlah industri farmasi dan obat tradisional, serta kecenderungan masyarakat
dunia untuk back to nature. Dengan ketersediaan sumber daya manusia, para
pakar dan lembaga-lembaga penelitian akan mengembangkan pemanfaatan
tumbuhan obat dan menemukan obat-obat baru (Zuhud & Siswoyo 2001)
Pemanfaatan tumbuhan obat telah berkembang menjadi sektor usaha yang
banyak diminati para inverstor, mulai dari skala industri rumah tangga, industri
kecil hingga skala industri desa. Kondisi ini menyebabkan permintaan tumbuhan
obat semakin meningkat dari tahun ke tahun, yang selanjutnya merangsang
pemanenan berlebihan di alam, sehingga mengancam kelestarian berbagai spesies
tumbuhan obat. Selain itu, pemanenan tumbuhan obat dari hábitat alaminya
(hutan, maupun daerah liar lainnya) belum sepenuhnya didasarkan atas daya
regenerasi alaminya (Zuhud et al. 1994)
Tiga unsur dasar dalam strategi konservasi sumberdaya alam hayati yaitu
perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan, dijadikan sebagai dasar dalam
tujuan pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika
Indonesia, yaitu untuk memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman
tumbuhan obat hutan tropika, melestarikan potensi keanekaragaman tumbuhan
obat hutan tropika, dan mempelajari keanekaragaman tumbuhan obat hutan
tropika. Kunci pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat dikelompokkan menjadi 4
aspek, yaitu aspek pelestarian, aspek pemanfaatan, aspek penelitian, dan aspek
kebijakan dan kelembagaan pengelolaan tumbuhan obat (Zuhud & Haryanto
1994).
Sebagai bahan acuan dalam upaya pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat
Indonesia, Strategi Konservasi Tumbuhan Obat Indonesia dapat dilaksanakan oleh
berbagai pihak di tingkat kabupaten dan kecamatan dengan program aksi sebagai
berikut (Zuhud & Siswoyo 2001) :
1. Tata guna lahan/ruang
2. Konservasi in-situ
3. Konservasi ek-situ
4. Budidaya
5. Peningkatan nilai tambah tumbuhan obat melalui pemanfaatan pada
pelayanan kesehatan formal
6. Menerapkan sistem sertifikasi/ekolabeling terhadap produk obat asli
Indonesia
7. Membangun pusat informasi agribisnis tumbuhan obat
8. Membangun partisipasi semua stakeholder, antara lain para pengusaha,
petani, pembuat kebijakan, dan pers.
9. Perlindungan dan kekayaan intelektual masyarakat
10. Kerjasama internasional
Pola
pengembangan
tumbuhan
dan
tumbuhan
obat
di
Indonesia
mempertimbangkan dan memadukan pengkajian dari berbagai aspek meliputi
tujuan
pengobatan,
pelayanan
kesehatn
masyarakat,
ekonomi,
sosial,
kelembagaan, teknologi, pelestarian, dan kondisi tumbuhan yang ada saat ini
sebagian besar belum dibudidayakan (Sudiarto et al. 1999)
2.4 Pelayanan Kesehatan
Masyarakat tetap membutuhkan pengobatan (obat) tradisional, sebagaimana
dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, terdapat folk sector dan popular sector
(kalangan tradisi), seperti tabib, dukun, penjual jamu gendong, akupuntur dan
sebagainya, yang menggunakan cara dan metode pengobatan di luar standarisasi
professional sector atau paradigma kedokteran. Siswanto (2000) menyatakan,
hendaknya terdapat kemitraan antara folk sector dan professional sector untuk
mencapai tujuan normatif sistem pelayanan kesehatan (lebih ekuiti, lebih efisien,
namun tetap mempertahankan kualitas). Selain itu, Puryono (1998) menambahkan
bahwa obat tradisional tetap diperlukan oleh masyarakat untuk pemeliharaan
kesehatan , pengobatan, dan pemulihan kesehatan.
Kalngie (1994) diacu dalam Suciati (2004) menyatakan bahwa kelompokkelompok masyarakat memiliki bentuk perawatan kesehatan yang berbeda-beda.
Perilaku kesehatan seseorang pun berbeda-beda dipengaruhi oleh pengetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya, berkenaan pula dengan
etiologi, terapi, dan jenis penyakit yang dideritanya. Kelompok masyarakat
lapisan atas dan menengah relatif sangat mengutamakan perawatan medis pada
institusi-institusi kesehatan modern. Sekalipun demikian kepercayaan dan praktek
medis tradisional sedikit banyak tetap dipertahankan. Tentunya bentuk perawatan
kesehatan tradisional di perkotaan berbeda dengan di pedesaan.
Departemen Kesehatan (1995) membagi pengobatan tradisional menjadi 4
kelompok yaitu :
1. Pengobatan tradisional yang menggunakan ramuan obat tradisional, seperti
shinse, tabib, battra ramuan, dan jamu gendong.
2. Pengobatan
tradisional
yang
menggunakan
keterampilan,
seperti
akupunturis, battra patah tulang, battra pijat urut, dan sebagainya.
3. Pengobatan tradisional berdasarkan agama dan kebatinan, seperti kyai.
4. Pengobatan tradisional bersifat magis, seperti paranormal, dukun anti
teluh, dan sebagainya.
Pengobatan tradisional yang semula dianggap sebagai pengobatan
alternatif, yaitu sebagai upaya mencari cara-cara pengobatan baru, tidak
bergantung pada obat-obatan keras atau perlakuan drastis seperti pembedahan,
saat sekarang ini diterima sebagai pelengkap dalam menangani masalah
kesehatan. Masyarakat juga menganggap bahwa pengobatan tradisional bersifat
holistik, sedangkan pengobatan modern hanya melihat penyakit saja.
2.5 Pengertian, Fungsi, Manfaat dan Peranan Pekarangan
Sebagian besar penduduk Indonesia (menurut perkiraan 80%) berada di
pedesaan. Pada daerah-daerah tersebut, hubungan antara manusia dan alam masih
cukup erat. Secara tidak disadari pembangunan sebuah rumah banyak yang
memenuhi syarat ideal. Hal ini disebabkan kebutuhan manusia akan lahan
pemukiman masih sedikit sementara persediaan lahan masih melimpah. Kristyono
(1992) diacu dalam Pari (2004) Arti pekarangan, untuk masyarakat desa tentunya
lain daripada masyarakat kota, pekarangan bagi masyarakat kota dimanfaatkan
untuk taman yang memberi keindahan dan kesegaran; sedangkan pekarangan bagi
masyarakat desa dimanfaatkan sebagai lumbung hidup atau warung hidup,
sehingga tidak jarang pekarangan dikenal pula dengan nama apotek hidup.
Pekarangan berisi banyak tumbuhan dari berbagai spesies dan multi struktur. Hal
ini menyatakan bahwa penggunaan lahannya memiliki banyak fungsi, seperti
agroforestri, konservasi sumberdaya genetik, konservasi tanah dan air, produksi
hasil, dan sosial budaya. Oleh karena itu pekarangan merupakan penggunaan
lahan yang optimal dan lestari dengan produktivitas tinggi di daerah tropika.
Menurut
Karyono (1985) diacu dalam Bahro (1991), fungsi lahan
pekarangan yang paling dirasakan manfaatnya adalah produksi, baik secara
subsisten maupun komersial. Kedua fungsi tersebut sukar dipisahkan karena
berfungsi subsisten tetapi pada saat lain akan berfungsi komersial. Fungsi
komersial ditunjukkan oleh produksi yang berlebih, atau sengaja dijual untuk
dapat membeli komoditi pangan yang lebih banyak walaupun kualitasnya lebih
rendah.
Menurut Basuki (1982), jenis-jenis tumbuhan pekarangan adalah sangat
beragam dan memberikan banyak manfaat bagi pemiliknya, jenis-jenis yang
dianggap penting yaitu :
1. Gadung (Dioscorea hispida Dennst) sebagai sumber karbohidrat.
2. Mengkudu (Morinda citrifolia L), kentangan (Coleus atropurpureus Bth),
jeruk nipis (Citrus aurantifolia Christm.), kencur (Kaempteria galanga L), keci
beling (Hemigraphis alternata), kumis kucing (Orthossiphon grandiflorus),
dan lain-lain sebagai sumber obat.
3. Angsana (Pterocarpus indicus) sebagai sumber energi.
4. Melati (Jasminum sambac), tanjung (Mimosops elengii) sebagai tumbuhan
hias/bunga.
5. Buah-buahan sebagai sumber vitamin.
Salah satu manfaat pekarangan pedesaan adalah sebagai “apotik hidup”
atau “apotik hijau”. Tumbuhan yang ditanam adalah tumbuhan obat yang
dimanfaatkan sebagai sarana pengobatan dan usaha menjaga kesehatan keluarga.
Usaha memberdayakan sistem pekarangan sebagai sumberdaya sudah lama
menjadi bagian integrasi dalam usaha tani terpadu masyarakat pedesaan (Wahab
1998).
2.6 Masyarakat Desa
Masyarakat
adalah
sekelompok
orang
yang
hidup
bersama
dan
menghasilkan kebudayaan. Struktur masyarakat terdiri dari beberapa unsur, yaitu
manusia yang hidup bersama, berkumpul dalam waktu yang cukup lama sehingga
terjadi sistem komunikasi dan timbul peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan kelompok tersebut sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan dan
satu sistem hidup bersama sehingga menimbulkan kebudayaan (Soekanto 1982).
Masyarakat biasanya digolongkan menjadi masyarakat desa dan masyarakat
kota. Masyarakat desa adalah kelompok khusus dari orang-orang yang tinggal
dalam wilayah tertentu, memiliki kebudayaan dan gaya hidup yang sama, sudah
sebagai suatu kesatuan dan dapat bertindak secara kolektif dalam usaha mereka
mencapai tujuan (Cohen 1983). Sistem kehidupan masyarakat desa biasanya
berkelompok, atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto 1982).
Menurut Kusumaatmadja (1995) kehidupan masyarakat tradisional adalah
kehidupan yang harmoni dengan alam sekitar, sedangkan masyarakat modern
dibentuk oleh jalan pikiran yang menyatakan bahwa manusia mempunyai hak
untuk memanipulasi dan mengubah alam meskipun dewasa ini masyarakat
modern telah meningkat kepeduliannya terhadap lingkungan dan alam sekitar.
Download