perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i EFEK

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EFEK TERATOGENIK PEMBERIAN ZAT WARNA RHODAMIN B
PADA ORGANOGENESIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GALUR WISTAR
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh:
Zuzun Handrianto
M0408024
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
to user
2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka
gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Surakarta,
commit to user
iii
Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
EFEK TERATOGENIK PEMBERIAN ZAT WARNA RHODAMIN B
PADA ORGANOGENESIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
GALUR WISTAR
Zuzun Handrianto
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.
ABSTRAK
Banyak dijumpainya kasus penggunaan zat pewarna Rhodamin B pada zat
makanan disebabkan kurangnya pengawasan oleh pemerintah. Zat pewarna ini
sering digunakan pada jajanan dan saos. Rhodamin B merupakan zat warna
sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui efek pemberian zat warna Rhodamin B pada organogenesis
tikus putih (Rattus norvegicus).
Penelitian ini menggunakan 28 tikus betina bunting dan dibagi secara acak
ke dalam 4 kelompok dengan 7 tikus tiap kelompoknya. Tiap kelompok diberi
dosis Rhodamin B yang berbeda, perlakuan kontrol diberi 0 mg/200gBB,
perlakuan I diberi 6,75 mg/200gBB, perlakuan II diberi 12,5 mg/200gBB,
perlakuan III diberi 25 mg/200gBB. Perlakuan ini diberikan pada hari ketujuh
sampai ke tujuh belas masa kehamilan (organogenesis). Evaluasi yang dilakukan
meliputi menghitung dan mencatat jumlah implantasi yang terdiri jumlah fetus
yang hidup, jumlah fetus yang mati, jumlah fetus yang resorbsi, penimbangan
berat badan, pengukuran panjang badan, pengamatan morfologi fetus, dan
pengamatan struktur skeletonnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian zat zat Rhodamin B yang
sering dijumpai pada jajanan dan pelengkap makanan dapat menimbulkan efek
kematian intrauterus, dan besar kemungkinan menyebabkan resorb, gangguan
pertumbuhan dan abnormalitas internal.
Kata kunci : Rhodamin B, zat pewarna, efek teratogenik, tikus putih
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TERATOGENIC EFFECTS OF RHODAMIN B SUBSTANCE TO THE
RATS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR PHASE ORGANOGENESIS
Zuzun Handrianto
Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas
Maret University, Surakarta.
ABSTRACT
Encountered many cases the use of Rhodamin B dye in food substances
due to lack of supervision by the government. These dyes are often used in snacks
and sauces. Rhodamin B is a synthetic dye that is commonly used as textile dyes.
This study aims to determine the effect of granting the dye Rhodamin B in the
organogenesis of rats (Rattus norvegicus).
This study used 28 pregnant female rats and were divided randomly into 4
groups with 7 mice per group. Each group was given different doses of Rhodamin
B, 0 mg/200gBB given the control treatment, the treatment I was given 6.75
mg/200gBB, treatment II was given 12.5 mg/200gBB, and the treatment III was
given 25 mg/200gBB. This treatment was given on seven to seventeen’ day
during pregnancy (organogenesis). Evaluation includes the count and record the
number of implantation comprising a number of live fetuses, the number of dead
fetuses, fetal number resorbs, weight, measurement of body length, fetal
morphological observations, and structure sceleton observations.
The results showed that administration of substances Rhodamin B
substances are often found in snack foods and supplements can cause the effects
of intrauterine death, and most likely lead to resorb, impaired growth and internal
abnormalities.
Key words: Rhodamin B, dyes, teratogenic effects, rat
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
You have to get up when other people on sleep,
you have to walk when others sit,
you have to run when others walk,
you have to fly when everyone else run.
Berusahalah semaksimal yang kamu bisa!!! Karena kamu
pasti BISA!
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Persembahan sederhana ini untuk orang-orang yang tercinta,
Bapak Susanto dan Ibu Sringatin yang selalu mendukung disaat senang
dan sedih
Saudara-Saudara yang ku sayangi
Bagus Masdrianto,
Bay Andi Lukman,
Evinda Agustina,
Dan Si Kecil Aid Vezarianto
Teman-temanku yang selalu menjadi pelangi dalam hidupku...
Serta UNS tercinta...
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’aalamin
penulis
panjatkan
kehadirat
Allah
Subhaanahu Wa Ta’aala yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang
berjudul :”Efek Teratogenik Pemberian Zat
Warna Rhodamin B Pada
Organogenesis Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar”. Penyusunan
skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata 1
(S1) pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam
penulisan skripsi ini,
tentunya
banyak
pihak
yang
telah
memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada :
Bapak Dr. Agung Budiharjo, M.Si, selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan izin dalam pelaksannan skripsi ini.
Ibu Prof. Dr. Okid Parama Astirin, M.S selaku Dosen Pembimbing I atas
ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan
mengarahkan penulis.
Ibu Dra. Noor Soesanti H., M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas segala
masukan dan dukungan dalam mengarahkan penulis.
Ibu Dra. Marti Harini, M.Si selaku Dosen Penelaah I atas segala koreksi
dan masukan untuk perbaikan karya skripsi penulis.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bapak Tjahjadi Purwoko, M.Si selaku Dosen Penelaah II atas segala
masukan dan dukungan untuk kemajuan karya skripsi penulis.
Bapak Dr. Sunarto, M.S selaku Pembimbing Akademik yang selalu sabar
mendukung penulis.
Seluruh bapak dan ibu dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
ilmunya dan dengan sabar memberikan pengarahan yang tiada henti-hentinya serta
dorongan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Bapak Samidi dan Wasino yang telah membantu dan mengarahkan selama
penelitian di LPPT IV UGM.
Teman penelitianku Umi fatimah dan Zainudin Al Wahid atas bantuannya
secara moril maupun materiil.
Teman-teman dan adek-adek kost IC tercinta Novi Setyaningrum, Asti
Windarni, Dwi Ratih, Dwi Rahmawati, Fairuz Fajrianti Nur, Laila Nur Milati, Ai
Sriwenda Rahman, Dewi Mustika, Hans Fitria Fajrin, Juliana Ekapuri atas semangat
dan dukungannya.
Teman-teman Tri Wulan S.O, Viana Ningsih, Luluk Muslimah, Anggun Wara
Rahajeng, Anggun Wara Pangesti atas dukungan dan bantuannya.
Teman-teman Biologi FMIPA UNS angkatan 2008 yang selalu mensupport
penulis. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya
hanya
kepada Allah SWT kita kembalikan
commit
to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semua urusan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT
meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin.
Surakarta, Juli 2012
Penyusun
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................... iv
ABSTRACT................................................................................................ v
MOTTO....................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................. vii
KATA PENGANTAR................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL........................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah..................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian.......................................................................4
BAB II. LANDASAN TEORI..................................................................... 5
A. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................5
1. Zat Pewarna Tekstil Rhodamin B.................................... 5
2. Teratologi......................................................................... 7
3. Embriologi........................................................................ 17
4. Organogenesis.................................................................. 19
5. Skeleton............................................................................ 20
6. Jalur Masuk Zat Asing Ke Dalam Embrio....................... 23
B. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................28
C. HIPOTESIS................................................................................. 29
commit to user
BAB III. METODE PENELITIAN..............................................................30
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Halaman
A. Waktu dan Tempat Penelitian..................................................... 30
B. Alat Dan Bahan........................................................................... 30
1. Alat................................................................................... 30
2. Bahan................................................................................30
C. Cara Kerja....................................................................................31
D. Analisis Data............................................................................... 35
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 36
A. Efek Rhodamin B Terhadap Abnormalitas Eksternal...................... 37
1. Efek Rhodamin B Terhadap Berat Badan, Panjang
Badan Fetus dan Pertumbuhan Fetus.......................................... 38
2. Kematian Intrauterus dan Fetus Hidup........................................ 43
3. Hemoragi (kulit transparan) dan Tubuh Bongkok (tulang
punggung fleksi).......................................................................... 47
4. Ekor Bengkok.............................................................................. 51
B. Efek Rhodamin B Terhadap Abnormalitas Internal........................ 52
1. Keterlambatan Osifikasi.............................................................. 54
2. Kelainan pada Vertebrae............................................................. 56
3. Kelainan pada Costae.................................................................. 57
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................60
A. Kesimpulan...................................................................................... 60
B. Saran................................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 62
LAMPIRAN................................................................................................ 68
RIWAYAT HIDUP PENULIS.................................................................... 89
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Zat warna sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan,
dan kosmetika................................................................................ 7
Tabel 2. Tingkatan perkembangan embrio pada tikus putih........................ 18
Tabel 3. Fetus yang mengalami hambatan pertumbuhan.............................40
Tabel 4. Perkembangan eksternal fetus setelah pemberian Rhodamin
B pada induk.................................................................................. 43
Tabel 5. Jumlah fetus yang mengalami hemoragi, tubuh bongkok, hambatan
pertumbuhan dan ekor bengkok..................................................... 48
Tabel 6. Fetus yang mengalami hemoragi................................................... 48
Tabel 7. Fetus yang mengalami tubuh bongkok.......................................... 51
Tabel 8. Fetus yang mengalami ekor bengkok............................................ 51
Tabel 9. Perbandingan abnormalitas vertebrae fetus pada semua
perlakuan........................................................................................ 57
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Halaman
Rumus bangun Rhodamin B..................................................... 6
Gambar 2.
Bagan kerangka Pemikiran Penelitian...................................... 28
Gambar 3.
Morfologi fetus Rattus norvegicus setelah pemberian
Rhodamin B.............................................................................. 41
Gambar 4.
Perbandingan morfologi uterus................................................ 44
Gambar 5.
Perbandingan morfologi fetus Rattus norvegicus.....................46
Gambar 6.
Perbandingan fetus normal dengan fetus transparan................49
Gambar 7.
Perbandingan fetus normal dan tubuh bongkok.......................50
Gambar 8.
Perbandingan fetus ekor normal dengan ekor bengkok............52
Gambar 9.
Perkembangan skeleton fetus Rattus norvegicus akibat
pemberian Rhodamin B............................................................ 55
Gambar 10. Costae fetus.............................................................................. 58
Gambar 11. Wholemount fetus Rattus norvegicus...................................... 86
Gambar 12. Wholemount kelompok Kontrol............................................... 86
Gambar 13. Wholemount perlakuan I.......................................................... 87
Gambar 14. Wholemount perlakuan II......................................................... 87
Gambar 15. Wholemount perlakuan III........................................................ 87
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Analisis Varian.............................................................. 68
Lampiran 2. Wholemount fetus Rattus norvegicus..................................... 86
Lampiran 3. Tabel konversi dosis antar spesies untuk penetapan besaran
dosis pada suatu spesies hewan atau manusia........................ 88
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah
membentuk masyarakat Indonesia yang sehat diupayakan dengan peningkatan
kualitas hidup serta konsumsi makanan yang baik. Keamanan bahan makanan
yang dikonsumsi merupakan salah satu tolok ukur. Untuk mencapai hal tersebut
diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak, baik produsen, konsumen serta
pemerintah sendiri, khususnya agar pemerintah selalu mengontrol keamanan
pangan nasional. Sehingga bisa tercapai masyarakat Indonesia yang sehat.
Semakin meningkatnya kebutuhan di dunia yang semakin modern ini,
maka masyarakat dituntut untuk mengkonsumsi bahan makanan yang lebih tahan
lama, lebih praktis serta efisien dalam segi harga. Namun dengan meninggalkan
konsep utama keamanan pangan, yaitu menggunakan zat tambahan pewarna yang
tidak seharusnya digunakan untuk makanan. Bahan tersebut bisa berupa bahan
kimia yang berbahaya namun mudah didapat serta harganya yang terjangkau. Di
sisi lain, dengan adanya penambahan zat pewarna tersebut, akan dapat
meningkatkan nilai jual kepada konsumen. Karena warna merupakan faktor yang
penting, dimana setiap orang akan melihat kelayakan sesuatu dari penampakan
fisiknya. Zat pewarna yang masih sering dijumpai pada makanan adalah
Rhodamin B, Methanil yellow, Citrus red, Violet, dan lain-lain. Pewarna tersebut
dinyatakan berbahaya oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239 /
Men.Kes / Per / V / 85.
commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
2
digilib.uns.ac.id
Zat pewarna tekstil Rhodamin B sering dijumpai pada bahan makanan,
terutama pada saos yang biasa disajikan sebagai pelengkap bakso ataupun mie
ayam. Rhodamin B juga ditemukan dalam produk kerupuk, kembang gula, sirup,
manisan, dawet, bubur, ikan asap, cendol, agar-agar, aromanis, dan minuman serta
dalam terasi. Zat warna tersebut walaupun telah dilarang penggunaannya ternyata
masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat Rhodamin B untuk produk
cabe giling merah sebagai pewarna merah (Djarismawati, 2004). Petugas Balai
Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang pada Januari 2010,
menemukan beberapa jajanan sekolah yang mengandung zat-zat berbahaya bagi
manusia saat melakukan pemeriksaan rutin makanan di SD Negeri Pendrikan
Tengah 01-02 di Jalan Sadewa Semarang dan SD Masehi di Jalan Imam Bonjol.
Dari beberapa jajanan sekolah yang diperiksa ternyata ditemukan dua produk
jajanan yang mengandung zat berbahaya, yaitu formalin yang ditemukan pada mie
goreng dan Rhodamin B (pewarna tekstil) ditemukan pada kerupuk. Penelitian
Paramita Erwin Budiyanto pada tahun 2008, juga telah menemukan Rhodamin B
pada saos dan cabe giling di pasar Kecamatan Laweyan Kotamadya Surakarta.
Hal ini menunjukkan Rhodamin B sebagai pewarna makanan sudah digunakan
secara luas di beberapa kota di Indonesia.
Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai
pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004, Rhodamin
B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produkproduk pangan. Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi
kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, dan gangguan hati.
commit to user
3
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Putri (2011), Rhodamin B dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan
bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit
seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia.
Banyak faktor yang menjadikan para pengusaha untuk menggunakan zat
pewarna Rhodamin B ini antara lain karena harganya yang jauh lebih murah
daripada menggunakan pewarna yang alami, disamping itu juga pengolahannya
cukup sederhana tanpa memperhatikan baik buruknya untuk kesehatan manusia.
Tujuan para pedagang hanya satu, yaitu mendapatkan laba atau keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Dampak yang paling ditakutkan adalah jika makanan tersebut dikonsumsi
oleh ibu hamil. Karena saat kehamilan merupakan masa untuk janin mengalami
pembelahan dan pembentukan organ-organ vital tubuh. Semua itu tergantung dari
nutrisi serta asupan makanan yang dikonsumsi oleh sang ibu. Jika yang
mengkonsumsi manusia normal (tidak dalam kondisi hamil), kemungkinan
regenerasi sel masih bisa terjadi. Namun akan lain halnya jika zat-zat kimia
tersebut mengenai janin, bisa memperlambat proses, merusak organ-organ yang
akan dibentuk, bahkan bisa berujung pada kematian janin. Penelitian yang
dilakukan oleh Sabri dkk. (2006) menunjukkan bahwa jika janin diberi zat toksik
selama perkembangannya, maka akan terjadi gangguan-gangguan seperti
penurunan jumlah fetus yang hidup. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap perkembangan embrio,
terutama
untuk
organogenesis.
mengetahui
pengaruhnya
commit to user
terhadap
fetus
selama
masa
4
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap prosentase
fetus hidup, kematian intrauterus, berat badan, panjang badan, serta
keadaan morfologis fetus tikus putih (Rattus norvegicus)?
2. Bagaimana pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap struktur
skeleton fetus tikus putih (Rattus norvegicus)?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap prosentase
fetus hidup, kematian intrauterus, berat badan, panjang badan, serta
keadaan morfologis fetus tikus putih (Rattus norvegicus)
2. Mengetahui pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap struktur
skeleton fetus tikus putih (Rattus norvegicus)
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
Rhodamin B yang biasa digunakan dalam pewarna makanan terutama pada saos,
memberi efek buruk terhadap perkembangan janin jika dikonsumsi oleh ibu
hamil. Disamping itu, supaya masyarakat lebih berhati-hati lagi dalam memilih
makanan yang mengandung zat berbahaya seperti Rhodamin B.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
1.
Tinjauan Pustaka
Zat Pewarna Tekstil Rhodamin B
Rhodamin B (C28H31N2O3Cl) adalah bahan kimia sebagai pewarna dasar
untuk berbagai kegunaan, semula zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan
sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan
sifatnya yang berfluorensi dalam sinar matahari. Rhodamin B ini ditemukan
bersifat racun dan dapat menyebabkan kanker. Bahan ini sekarang banyak
disalahgunakan pada pangan dan kosmetik di beberapa negara (Djarismawati
dkk., 2004).
Data kimia dan fisika Rhodamin B
IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) :
[9-(2-carboxyphenyl)-6-diethylamino-3-xanthenylidene]diethylammonium chloride
Sebutan lain
: Rhodamine 610, C.I. Pigment Violet 1, Basic Violet 10,
C.I. 45170
Berat
: 479,02 g/mol
Rumus molekul
: C28H31N2O3Cl
Titik Lebur
: 1650C (http://en.wikipedia.org)
commit to user
5
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 1. Rumus bangun Rhodamin B (Sumarlin, 2010)
Rhodamin B termasuk salah satu zat pewarna yang diperuntukkan sebagai
pewarna kertas atau tekstil serta dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan
dilarang digunakan pada produk pangan (Syah et al.,2005). Rhodamin B adalah
salah satu pewarna paling umum untuk industri tekstil yang terkenal dengan
stabilitasnya dan digunakan juga untuk pewarnaan biologis. Rhodamin B ini larut
dalam air dan pelarut organik, berwarna kebiruan hingga merah. Penggunaan
senyawa ini sudah dilarang untuk makanan dan kosmetik karena ada indikasi
karsinogenik (Ichou et al., 2007).
Zat Rhodamin B ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya
pada
makanan
melalui
Peraturan
Menteri
Kesehatan
(Permenkes)
No.239/Menkes/Per/V/85. Namun penggunaan Rhodamin B dalam makanan
masih terdapat di lapangan. Contohnya, BPOM di Makassar berhasil menemukan
zat Rhodamin B pada kerupuk, sambal botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada
sejumlah sampel makanan dan minuman (Herman, 2010). Sedangkan menurut
European Parliamentand Council Directive, Rhodamin B termasuk zat yang tidak
diperbolehkan untuk pewarna makanan dan termasuk zat yang dikontrol
pemakaiannya oleh lembaga tersebut (Hajslova et al., 2007).
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Disamping itu, berdasarkan keputusan Dirjen POM Indonesia (Anonim,
1990 dalam Widana ), memasukkan Rhodamin B dalam kategori zat warna yang
berbahaya untuk obat, makanan, maupun kosmetika, seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Zat warna sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika
No.
Nama
1.
Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange
No.17)
Merah K3 (C.I. Pigment Red 53, D&C Red No.8)
Merah K4 (C.I. Pigment Red 53 : 1, D&C Red No.9)
Merah K10 (Rhodamin B, C.I. Food Red 15, D&C
Red No.19)
Merah K1.
2.
3.
4.
5.
Nomor Indeks
Warna
12075
15585
15585 : 1
45170
45170 : 1
Sumber : SKEP Dirjen POM No.00386/C/SK/II/90
2.
Teratologi
Teratologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti menghasilkan monster,
lebih tepat disebut dismorfogenik. Teratologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang perkembangan abnormal suatu embrio, penyebab, mekanisme, dan
manifestasi dari perkembangan yang menyimpang dari sifat struktural dan
fungsional (Loomis, 1978, Sadler, 2004). Faktor yang mempengaruhi teratogenesis
meliputi kekurangan nutrisi, keseimbangan endokrin, faktor fisika, radiasi, bahanbahan kimia/obat, infeksi, logam-logam berat, pestisida, bahan makanan, zat bioaktif
yaitu zat yang terkandung dalam tumbuhan atau hewan, kimia industri, serta polusi
udara, air, dan tanah, trauma psikis serta gangguan plasenta (Goldstein et al., 1974,
Wilson, 1973).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
8
digilib.uns.ac.id
Beberapa teratogen memiliki sifat letal yang menonjol sedang yang lainnya
mampu menimbulkan kelainan pada fetus yang diakibatkan oleh satu atau lebih
perubahan yaitu mutasi, penyimpangan kromosom, gangguan pembelahan sel,
perubahan sintesis asam nukleat dan protein, penurunan jumlah senyawa yang
penting dalam biosintesis, penurunan energi untuk perkembangan fetus, gangguan
sistem enzim serta gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Manisfetasi dari
teratogenesis antara lain kematian sel, gangguan interaksi sel, penurunan biosintesis,
gangguan pembentukan morfologi dan gangguan jaringan. Manifestasi ini akan
menghasilkan kematian intrauterine, malformasi, gangguan pertumbuhan, dan
disfungsional atau penurunan fungsi (Wilson, 1973, Loomis, 1978, Peters and
Berkvens, 1996).
Malformasi adalah abnormalitas (kelainan) anatomi pada waktu dilahirkan,
baik makroskopik atau mikroskopik, dapat dipermukaan maupun di sebelah dalam
badan. Ada interaksi tetap antara gen-gen dan bahan-bahan eksogen. Perbedaan reaksi
terhadap bahan yang berbahaya antara individu, strain-strain hewan dan spesies yang
disebabkan oleh kekhususan biokimia yang berhubungan dengan gen-gen. Penyebab
malformasi dibagi menjadi dua, yaitu (1) faktor genetik (misal, kromosom abnormal)
dan (2) faktor lingkungan (Loomis, 1978, Moore, 1988).
Cacat lahir sering juga disebut malformasi kongenital atau anomali congenital
adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan kelainan struktur, perilaku, faal,
dan kelainan metabolik yang ditemukan pada waktu lahir (Datu, 2005). Menurut
Wilson (1973) terdapat enam prinsip dalam teratologi yaitu:
1.
Kerentanan terhadap agen teratogenesis tergantung pada genotip dari
embrio atau dari induknya dan interaksinya dengan faktor lingkungan.
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Prinsip ini berdasarkan bahwa tiap spesies atau strain yang berbeda
akan memberikan respon yang berbeda pula.
2.
Kerentanan terhadap agen teratogenik bervariasi menurut waktu saat
embrio terpapar.
3.
Agen teratogenik akan bereaksi dengan mekanisme yang spesifik pada
sel atau jaringan yang sedang berkembang untuk menyebabkan
kelainan.
4.
Agen teratogen akan menimbulkan abnormalitas pada jaringan-jaringan
yang sensitif. Efek ini berkaitan dengan asal agen dan jalur pemaparan.
5.
Wujud dari perkembangan abnormal adalah: kematian, malformasi,
pertumbuhan yang terhambat, dan kelainan fisiologis.
6.
Wujud
dari
perkembangan
abnormal
akan
meningkat
sesuai
peningkatan dosis.
Bahan kimia yang mempengaruhi perkembangan fetus, dapat menyebabkan
efek yang beraneka ragam mulai dari letalitas sampai kelainan bentuk (malformasi)
dan pertumbuhan yang terhambat disebut teratogen dan secara kolektif respon-respon
ini disebut sebagai efek embriotoksik (Loomis, 1978). Jika kematian sel terjadi pada
perkembangan janin lebih lanjut yakni setelah terbentuk embrio yang tersusun dari sel
dengan jumlah yang cukup, maka kehilangan sedikit sel tidak bersifat letal, meskipun
demikian, organ tubuh yang terbentuk mungkin tersusun dengan jumlah sel yang
lebih sedikit dan mengakibatkan terjadinya deformasi. Konsekuensi dari kematian sel
terhadap kehidupan embrionik atau fetus meliputi: retardasi pertumbuhan intrauterus,
retardasi setelah kelahiran, kematian embrionik, dan malformasi bawaan (Datu,
2005). Efek pada janin sangat bergantung pada umur kehamilan saat terpapar zat
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
teratogenik, dosis, dan laju dosis yang diterima. Perkembangan embrio mamalia dapat
dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap pra-implantasi, tahap organogenesis, dan tahap
fetogenesis. Dari segi toksikologi perkembangan, ketiganya memiliki kepekaan yang
berbeda-beda.
1. Tahap pra-implantasi
Tahap ini dimulai dari fertilisasi, pembelahan awal (cleavage),
blastulasi, hingga gastrulasi awal (Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008).
Periode pra-implantasi terjadi pada umur kebuntingan kurang dari tiga
minggu pada manusia atau 1-6 hari pada mencit atau tikus. Pengaruh
buruk yang mungkin timbul pada periode ini menganut hukum all or
nothing (Santoso, 1990). Adanya zat teratogen dapat menyebabkan
kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio, atau tidak
menimbulkan efek yang nyata (Lu, 1995). Pada tahap ini diferensiasi sel
belum berlanjut, atau sering disebut tahap pradiferensiasi. Apabila satu
atau kelompok sel rusak oleh gangguan agensia toksik, masih
memungkinkan bagi sel-sel sehat disekitarnya untuk membelah dan
menggantikan posisi serta peran sel yang rusak tadi. Dengan demikian,
embrio pulih dan perkembangan dapat berlanjut tanpa ada efek gangguan
yang menetap. Sebaliknya, jika embrio tidak dapat mentoleransi
kerusakan itu, maka embrio tidak dapat melanjutkan perkembangan dan
mati. Oleh karena itu, efek gangguan agensia toksik pada embrio pada
tahap
praimplantasi tidak menyebabkan
(Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008).
commit to user
kelainan perkembangan
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tahap organogenesis
Tahap organogenesis adalah tahap ketika sel secara intensif
menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode ini
sebagian besar organogenesis terjadi (Lu, 1995). Pada tahap ini sel-sel
mulai menampakkan perbedaan morfologi yang nyata karena terjadi
diferensiasi intensif, sehingga adanya zat teratogen yang aktif pada
tahapan ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan organ dan
menghasilkan banyak kemungkinan kelainan-kelainan atau cacat bawaan
yang teramati waktu lahir. Jenis kelainan tergantung dari organ mana
yang paling peka pada saat zat teratogen tersebut bekerja (Hutahean, 2002
dalam Zahrah, 2008). Tidak semua organ rentan pada saat yang sama
dalam suatu kehamilan, pada hari ke-8 sampai hari ke-12 sebagian besar
organ embrio tikus sangat rentan, tetapi palatum dan organ urogenital
baru rentan pada tahap berikutnya (Lu, 1995). Periode ini bekisar antara
3-8 minggu kebuntingan pada manusia dan 6-15 hari kebuntingan pada
mencit (Santoso, 1990).
3. Tahap fetogenesis
Fetogenesis adalah tahap dimana sebagian besar organ-organ
telah terbentuk. Pada tahap ini embrio sering disebut fetus. Periode fetal
adalah ketika diferensiasi organ utama telah terjadi, tetapi diferensiasi
genital eksterna, perkembangan susunan saraf pusat, dan penutupan
rongga mulut (palate) sedang berlangsung. Selama masa ini adanya zat
teratogen dapat menyebabkan kelainan otak, gangguan penutupan palate
atau pseudohemaphroditisme (Herman dan Mutiatikum, 2008). Apabila
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
efek agensia toksik mengenai embrio ketika sebagian besar organ-organ
telah terbentuk dan fetus tinggal melanjutkan pertumbuhan organ-organ
itu, maka manifestasi gangguan seperti ini jarang terwujud menjadi
kecacatan, melainkan berupa hambatan pertumbuhan dan gangguan
fungsi (Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008). Cacat morfologik umumnya
mudah dideteksi pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi
kelainan fungsi seperti gangguan susunan saraf pusat mungkin tidak dapat
didiagnosa segera setelah kelahiran (Lu, 1995).
Pengaruh langsung maupun tidak langsung oleh masuknya bahan kimia
terhadap perkembangan organ fetus dapat mengakibatkan kematian fetus,
pertumbuhan terhambat dan kelainan pembentukan tulang (Thaser and Kilburn,
2005). Menurut Lu (1995), pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh teratogen
antara lain:
a. Aberasi
Yaitu kelainan morfologi meliputi struktur luar dan dalam serta kelainan
fungsional. Misalnya:
1) Anomali minor : kelainan penulangan pada sternum, ekor
keriting, kaki lurus, adanya tulang rusuk tambahan, malrotasi
anggota badan atau cakar, lidah menonjol, kelainan pembentukan
pelvis ginjal dan kulit transparan.
2) Anomali mayor : spina bifida dan hidrosepali yang akan
mengganggu
kelangsungan
hidup,
pertumbuhan,
dan
perkembangan, kesuburan, dan panjang usia hewan (Lu, 1995).
commit to user
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Resorbsi
Merupakan manifestasi kematian hasil konsepsi (Lu, 1995).
c. Toksisitas pada fetus
Tampak dari berkurangnya berat badan fetus yang tidak dapat bertahan
hidup (Lu, 1995). Penjelasan toksisitas tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Toksisitas pada masa perkembangan dan pertumbuhan
Perkembangan embrio meliputi proliferasi, diferensiasi, migrasi
sel dan organogenesis. Selama berlangsungnya proses embriogenesis,
proses-proses tersebut secara berurutan dan saling berhubungan satu
sama lain dan dikendalikan oleh isyarat yang berisi informasi yang
dicetak oleh DNA (Ngatijan, 1990).
2)
Penghambatan perkembangan embrio
Embriogenesis yang normal berakhir dengan terbentuknya
individu baru yang bentuk dan strukturnya sama seperti induknya, tapi
embriogenesis yang abnormal berakhir dengan terbentuknya individu
bervariasi (Wilson, 1973). Bentuk anggota tubuh normal dapat tercapai
apabila kematian apoptotik terjadi pada lokasi-lokasi tertentu pada keping
anggota tubuh (Zakeri dan Ahuja, 1994). Dasar dari perkembangan
abnormal adalah sebagai berikut:
a) Kelainan bentuk (malformasi)
b) Pertumbuhan terhambat
c) Penurunan fungsi
d) Kematian
commit to user
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Ritter (1977) embrio yang terkena pengaruh agensia
toksik dapat mengalami perubahan-perubahan sitologis dan akhirnya
menjadi fetus yang cacat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh :
1. Gerakan morfogenesis terhalang
Gerakan morfogenesis adalah gerakan sel dari satu bagian
embrio menuju ke bagian tertentu sel sebagai organ, yang berperan
dalam gerakan ini adalah mikrotubuli atau mikrofilamen sebagai
sitoskeleton, yang menyebabkan gerakan morfogenesis terhenti,
sehingga tidak terjadi agregasi sel yang mengakibatkan timbulnya
kelainan perkembangan (Ritter, 1977).
2. Hambatan proliferasi sel (pembelahan sel)
Proliferasi sel terjadi dengan jalan mitosis. Kecepatan
proliferasi merupakan fungsi kecepatan pertumbuhan. Pembelahan sel
yang
terhambat
menyebabkan
pertumbuhan
menjadi
lambat.
Sebaliknya bila pembelahan berlangsung cepat akan menyebabkan
gigantisme bahkan jika proliferasi sel tidak terkendali dapat
menyebabkan kanker (Ritter, 1977).
3. Biosintesis protein berkurang
Dalam proses perkembangan, terjadi diferensiasi dari sel-sel
yang sama menjadi bermacam-macam sel atau jaringan. Terjadinya
diferensiasi karena adanya protein baru yang khusus untuk masingmasing sel atau jaringan. Sintesis protein melalui RNA yang
menentukan jenis protein baru tersebut. Agen kimia yang dapat
menghambat sintesis RNA atau protein, bekerja sebagai teratogen
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena menghambat diferensiasi sel dan dapat mengakibatkan
kematian apoptotik (Umansky, 1996).
4. Kegagalan interaksi sel
Dalam proses morfogenesis, terjadi interaksi antar sel atau
interaksi antar jaringan, yang dikenal dengan istilah induksi. Apabila
interaksi tidak terjadi secara normal karena adanya zat asing yang
menghalangi, maka hal ini menyebabkan morfogenesis yang
menyimpang. Penyimpangan morfogenesis yang berat menyebabkan
kematian embrio (Ritter, 1977).
5. Kematian sel yang berlebih
Kematian sel dalam tubuh embrio, menyebabkan pertumbuhan
terhambat. Apabila terlalu banyak sel yang mati, dapat menyebabkan
badan kerdil. Apabila sel yang mati hanya pada organ tertentu, maka
organ tersebut tidak terbentuk sempurna. Apabila sel yang mati di satu
sisi, maka hal ini dapat mengubah arah pertumbuhan. Misalnya
kematian sel setempat dapat menyebabkan deformasi di bagian wajah,
seperti bibir sumbing (Ritter, 1977).
6. Gangguan mekanis atau fisik
Luka
pada
embrio
dapat
menyebabkan
kelainan
perkembangan. Tekanan hidrostatis cairan amnion, tekanan mekanik
pada embrio, menyebabkan perubahan arah pertumbuhan (Ritter,
1977).
Abnormalitas anggota tubuh itu terutama disebabkan oleh kematian sel yang
terjadi secara intensif pada bagian mesoderm keping anggota (Sudarwati dkk., 1993).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16
digilib.uns.ac.id
Menurut Wilson (1973) dan Hutahean (2002) dalam Zahrah (2008) terdapat 4
kelompok wujud gangguan perkembangan embrio (abnormalitas embrio), yaitu :
1.
Kematian
Kematian fetus terjadi jika kelainan yang ditimbulkan oleh agensia
toksik parah (terjadi kelainan struktural maupun fungsional) sehingga fetus
tidak mampu beradaptasi untuk bertahan hidup.
2.
Kecacatan bentuk
Kecacatan bentuk (malformasi) merupakan manisfetasi dari teratogen.
Malformasi dapat berupa kelainan anatomik, histologi dan berkurang atau
bertambahnya jumlah komponen penyusun tubuh fetus.
3.
Hambatan pertumbuhan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan fetus
terhambat, anatara lain gangguan sintesis pada tingkat molekuler dari DNA,
RNA, protein, karbohidrat, dan lemak. Pertumbuhan yang terhambat akan
mengakibatkan fetus berukuran lebih kecil daripada fetus normal.
4.
Gangguan fungsi
Gangguan fungsi suatu organ pada fetus akan menyebabkan viabilitas
atau daya tahan hidup menjadi lebih rendah, sehingga fetus berumur pendek
(Wilson, 1973). Menurut Siswosudarmo (1988), sifat obat dapat digolongkan
dalan 3 golongan besar yaitu:
1.
Obat dengan zat teratogen pasti (known teratogens) misal Thalidomid,
obat anti tumor.
2.
Obat dengan kecurigaan kuat bersifat teratogenik (probable teratogen),
misal alkohol, litium, wasparin.
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Obat dengan dugaan bersifat teratogenik (possible teratogen), misal
salisilat, antasida, penekan nafsu makan, antidiabetika oral, dan obatobatan psikotropik.
Robert (1971) dan Wilson (1973) melaporkan bahwa teratogenitas bersifat
genetik dan bukan genetik. Teratogenitas genetik merupakan kelainan atau terjadi
cacat bawaan yang disebabkan oleh adanya mutasi gen, kelainan kromosom, dan
perubahan fungsi asam nukleat. Teratogenitas yang bukan bersifat genetik disebabkan
kekurangan energi, hambatan yang bersifat enzimatik, perubahan permeabilitas
membran dan tidak seimbangnya tekanan osmotik membran sel. Tuchmann-Duplesis
(1975) mengatakan bahwa kelainan karena faktor luar, gen aslinya normal dan
seimbang tetapi dirusak oleh faktor yang datangnya dari lingkungan perkembangan
embrio dan mempunyai sifat dismorfogenik.
3.
Embriologi
Tikus merupakan spesies poliestrus yang mengulang siklusnya sepanjang
tahun tanpa banyak variasi, panjang siklusnya 4-6 hari dengan mekanisme ovulasi
yang spontan dengan 8-11 jam dari fase estrus (Hafez, 1970). Menurut Rugh
(1968), pekembangan embrio di dalam uterus dibagi dalam 3 fase, yaitu:
a. Perkembangan dasar dari fertilisasi yang berlanjut dengan lapisan
germinal
b. Organogenesis
c. Diferensiasi jaringan dengan pemasakan fungsi dan integrasi organ.
Eksistensi intra-uterine dari embrio dan fetus melewati 3 tahapan masa
commit to masa
user implantasi, dan masa fetus yang
perkembangan, yaitu masa pra implantasi,
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebenarnya (Burki, 1986 dalam Astirin 1999). Sedangkan menurut Hafez (1970),
waktu perkembangan embrio pada tikus putih ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkatan Perkembangan Embrio pada Tikus Putih
Waktu (hari)
1
Tingkatan yang terjadi
Stadium 1-2 sel, berada di bagian teratas dari oviduk
2
3
4-5
5
Stadium 2-16 sel, migrasi ke uterus
Morula, berada di uterus bagian atas
Balstula bebas dalam uterus, dilindungi zona pellucida
Perpanjangan masa inti sel primitif streak jelas dan terbentuk
rongga pro-amnion
6
Implantasi
7
Diferensiasi embrio dan terbentuk bagian ekstra embrionik
8
Diferensiasi tropoblast dengan cepat, primitif streak, primitif
knot, head processus, awal pembentukan mesodem dan
pemanjangan area embrionik
9
Terbentuk somit, neural plate dan awal neural folds
10-10,5
Terbentuk tabung neural, promordial hati, mata, dan telinga,
diferensiasi endoderm ke dalam foregut, midgut, dan hindgut
11-11,5
Pemanjangan somit toraks, pembentukan tailbud,
perkembangan tubulus mesonephridicus (terbentuknya
embrio)
12-16
Pemanjangan somit belakang, mata terbentuk, osifikasi awal
dari skeleton
16-20
Perkembangan fetus
20-21
Kelahiran
(Sumber : Hafez, 1970)
Embrio tahap preimplantasi merupakan salah satu bahan yang digunakan
untuk penelitian di bidang bioteknologi embrio (IVF/IVM= in vitro fertilization/
maturation, transfer embrio, dan stem cells). Tahap preimplantasi embrio
merupakan tahap perkembangan dasar sebelum tahap organogenesis, tahap ini
merupakan tahap yang sangat tergantung pada nutrisi yang ada pada cairan
oviduk. Kelangsungan hidup embrio pada tahap selanjutnya sangat tergantung
dari keberhasilan hidup embrio pada tahap preimplantasi (Said dkk., 2011).
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada masa implantasi, embrio mengalami proses diferensiasi dengan
melangsungkan kegiatan segregasi sel-sel embrio yang mengarah ke pembentukan
sel-sel khusus yang akan berubah menjadi sistem tubuh serta organ-organnya.
Masa ini dikenal sebagai periode organogenesis, yaitu periode proliferasi, migrasi,
asosiasi, diferensiasi, dan pembentukan sel bersama-sama dengan proses
pembentukan jaringan dan organ (Jawi, 1999).
Menurut Kimball (1983), perkembangan embrio dimulai saat telur yang
telah dibuahi dalam tuba fallopi, embrio yang sedang berkembang ini meneruskan
perjalanannya ke uterus dan terjadi pembelahan yang berulang sehingga terbentuk
bola berongga yang disebut blastosis, kira-kira satu minggu setelah fertilisasi
blastosis tertanam dalam dinding mukosa uterus yang menebal. Peritiswa ini
disebut implantasi. Perkembangan blastosis berlanjut dengan pembelahan sel yang
cepat dan beberapa sel migrasi dari satu tempat ke tempat lain di dalam embrio
yang sedang berkembang sehingga terbentuklah dua bagian utama sel atau
jaringan embrio yang sebenarnya yang akan menjadi fetus dan membran ekstra
embrional.
4.
Organogenesis
Menurut Lu (1995), tahap organogenesis adalah tahap ketika sel secara
intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode ini
sebagian besar organogenesis terjadi. Stadium ini terjadi pada umur kehamilan 38 minggu pada manusia atau 6-13 hari pada mencit. Menurut Santoso (2004) dan
Jawi (1999), stadium ini paling aktif karena mulai terjadi diferensiasi sel-sel untuk
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembentukan organ tubuh. Fase ini sensitif terhadap zat teratogen sehingga bisa
menyebabkan kelainan bentuk (malformasi). Kemungkinan pengaruh buruk yang
terjadi adalah:
a. Pengaruh letal yaitu terjadi kematian janin atau abortus
b. Pengaruh sub letal yaitu tidak terjadi kematian tetapi terjadi
malformasi anatomik (struktur) pertumbuhan organ atau pengaruh
teratogenik.
c. Gangguan fungsional yang permanen baru tampak kemudian, artinya
tidak timbul pada saat kelahiran.
Periode organogenesis merupakan periode pembentukan organ-organ dan
sistem tubuh serta terjadi perubahan bentuk tubuh. Pada periode ini sel secara
intensif mengalami diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi sehingga embrio
sangat rentan terhadap efek teratogen. Periode ini berakhir jika bentuk embrio
sudah seperti induknya, yaitu pada hari ke-10 sampai ke-14 pada hewan pengerat
dan pada minggu ke-14 pada manusia (Robert, 1971, Lu, 1995).
5.
Skeleton
Tulang adalah jaringan ikat yang terdiri dari materi intersel yang
mengapur (matriks tulang), dan 3 jenis sel tulang yaitu osteosit (terdapat di
rongga/ lakuna di dalam matriks), osteoblast (sel yang membentuk komponen
organik dari matriks), osteoklas (sel raksasa yang berinti banyak yang berperan
pada resorbsi dan pembentukan kembali jaringan tulang). Umumnya struktur
commit to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tulang adalah kaku dan merupakan penyusun utama sistem skeleton (Greep, 1966;
Junqueira et al.,1998).
Menurut Junqueira et al. (1998), tulang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang disebut dengan istilah osifikasi. Awal dari proses osifikasi ini
adalah terjadinya perubahan jaringan mesenkim pada fetus menjadi jaringan
tulang atau menjadi kartilago yang selanjutnya akan menjadi jaringan tulang.
Tulang berfungsi sebagai cadangan kalsium, fosfat, dan ion lain yang dapat
dilepaskan atau disimpan secara terkendali untuk mempertahankan konsentrasi
tetap ion-ion ini dalam cairan tubuh (Bloom and Faweett, 1978).
Osifikasi
dibagi
menjadi
2
cara,
yaitu
osifikasi
desmalis
(intramembranosa) dan osifikasi endokondral (Junqueira et al., 1998). Osifikasi
intramembranosa terjadi di dalam daerah-daerah pemadatan jaringan mesenkim.
Pada osifikasi intramembranosa ini, tulang dibentuk melalui mineralisasi langsung
pada matriks yang disertai oleh osteoblas. Osifikasi ini merupakan sumber
sebagian besar tulang pipih cranium yaitu os-frontal, os-parietal, os-temporal,
dan os-accipital. Selain itu, osifikasi ini juga mengatur pertumbuhan tulang-tulang
pendek dan penebalan tulang panjang. Sedangkan osifikasi endokondralis terjadi
di dalam tulang rawan hialin. Pertumbuhan tulang pada osifikasi ini melalui
penimbunan matriks tulang rawan sebelumnya.
a. Osifikasi endokondralis
Ham and Cormack (1979) menyatakan bahwa osifikasi
endokondralis terbagi dalam 2 tahap. Tahap pertama mencangkup
hipertropi dan destruksi kondrosit. Pada tahap ini ditandai dengan
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya pusat penulangan primer yang berupa pembesaran (hipertropi)
dan kondrosit di tengah-tengah diafisis. Kondrosit mensekresikan bahan
matriks kartilago ke ruang antar sel. Adanya hipertropi kondrosit
menyebabkan matriks kartilago terdesak membentuk sekat-sekat tipis.
Di dalam matriks kartilago terjadi pengendapan garam-garam kalsium,
sehingga kondrosit akan terperangkap dalam matriks destruksi dan
akhirnya mati, sehingga menghasilkan rongga-rongga bekas kondrosit
yang saling berhubungan yang disebut lakuna.
Tahap kedua, tunas ostogenik yang terdiri dari kapiler-kapiler
darah
masuk
dari
periosteum,
kemudian
membawa
sel-sel
osteoprogenitor menembus ke dalam lingkungan baru ini, pola
diferensiasi sel-sel kondrogenik berubah, tidak menghasilkan kondrosit
lagi tetapi menghasilkan osteoblas yang akan menjadi osteosit (Han and
Cormack, 1979).
Osifikasi pada setiap spesies hewan tidak sama. Pada tikus
osifikasi dimulai pada hari ke-8 kebuntingan, dengan masa kritis pada
hari ke-13 sampai 15 kebuntingan (Taylor, 1986).
b. Pertumbuhan memanjang tulang panjang
Menurut Junqueira et al. (1998), setelah penulangan sekunder
berakhir, maka terdapat sisa-sisa kondrosit diantara epifisis dan diafisis
yang tersusun berderet-deret. Deretan sel-sel ini dipisahkan oleh
matriks tipis. Jaringan kartilago yang berada diantara epifis dan diafisis
disebut kartilago epifisialis. Katilago ini dibagi berkaitan erat dengan
commit to user
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertumbuhan tulang memanjang. Kartilago ini dibagi menjadi 5 zona,
yaitu zona rehat, zona proliferasi, zona hipertropi, zona kalsifikasi dan
zona osifikasi (Ham and Cormack, 1979).
6.
Jalur Masuk Zat Asing Ke Dalam Embrio
Howland (1975) menyatakan sel embrio masih sangat rentan terhadap
pengaruh dari luar karena terjadinya mitosis berlanjut dan inti sel dalam keadaan
tidak berselaput dan kromosom tersebar. Akibatnya zat asing dengan mudah
berinteraksi sehingga menyebabkan kelainan perkembangan. Kemungkinan
masuknya zat asing ke dalam tubuh ada berbagai jalan yaitu kontak langsung
dengan kulit, lewat sistem pernafasan, lewat sistem pencernaan, secara
eksperimen disuntikkan atau disinari, kemudian dibawa oleh sistem peredaran
darah sampai ke dalam jaringan atau sel.
Menurut Tuchmann-Duplessis (1975), apabila zat kimia diberikan secara
oral dengan hasil metabolisme berberat molekul kecil, akan diabsorbsi oleh
intestinum dan melalui barrier plasenta. Struktur molekul obat membutuhkan
carrier membran yang spesifik, yaitu:
a. Melalui pori membran
Hanya untuk senyawa dengan berat molekul kurang dari 100
b. Pinositosis
Untuk pengiriman sejumlah kecil makromolekul terutama virus dan
substansi imunologik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
c. Difusi sederhana
Proses penting untuk transfer obat melalui palsenta. Transfer berbagai
macam obat melalui plasenta mengikuti hukum difusi melalui
membran lipoprotein. Laju difusi tergantung pada konsentrasi obat,
tidak ada kejenuhan, hanya membutuhkan energi thermal, dan tidak
ada kompetisi diantara molekul yang berhubungan.
Plasenta adalah organ sementara dan merupakan tempat berlangsungnya
pertukaran fisiologik antara induk dan fetus dan bersifat permeabel (Junqueira et
al., 1998). Plasenta adalah tenunan tubuh dari embrio dan hewan induknya, yang
terjalin pada waktu pertumbuhan embrio untuk keperluan penyaluran makanan
dari induk kepada anak dan zat buangan dari anak kepada induk (Elya dan
Kusmana, 2002). Fungsi plasenta adalah menyediakan makanan untuk fetus yang
diambil dari darah ibu, bekerja sebagai paru-paru fetus dengan menyediakan zat
untuk oksigenasi darah fetus dan menyingkirkan bahan buangan fetus. Plasenta
juga bekerja sebagai penghalang guna menghindarkan mikroorganisme penyakit
mencapai fetus. Plasenta membantu ovarium dalam produksi hormon yang
diperlukan untuk kelangsungan kehamilan dan memainkan peranan penting dalam
hubungan dengan laktasi, yaitu dengan merangsang perkembangan jaringan
kelenjar susu dan saluran-salurannya (Pearce, 1993).
Tipe plasenta pada mencit sama dengan tipe plasenta pada manusia yaitu
hemokorialis, karena darah induk dan darah fetus dipisahkan oleh selaput
sinsitium yang berasal dari korion dan sel-sel endotel dari kapiler fetus (Kaufman,
1994). Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana.
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Obat-obat yang bersifat lipofilik lebih mudah menembus plasenta daripada zat
nonlipofilik. Obat yang tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah
berdifusi melalui plasenta dibandingkan obat-obat yang bersifat asam atau basa.
Perubahan-perubahan pada aliran darah plasenta akibat keadaan patofisiologis
sekunder (hipertensi dalam kehamilan) atau karena efek farmakologis obat dapat
mempengaruhi transfer obat melalui plasenta (Jacobs, 1996).
Pada masa kehamilan, terjadi berbagai perubahan pada fisiologi tubuh,
misalnya menurunnya motilitas saluran pencernaan, menurunnya kadar protein
darah, meningkatnya kecepatan aliran darah ginjal, dan terpacunya enzim-enzim
metabolisme. Pada keadaan hamil, distribusi obat dalam tubuh menjadi sedikit
kompleks, karena disini terdapat dua macam sirkulasi, yakni sirkulasi maternal
(dalam tubuh ibu) dan sirkulasi fetal (dalam fetus) (Astirin dan Widiyani, 2010).
Suatu senyawa yang diberikan secara ekstra vaskuler kepada ibu akan
mengalami absorbsi dari tempat pemberiannya, untuk kemudian memasuki
peredaran darah maternal. Dengan adanya sirkulasi fetal yang berhubungan secara
langsung dengan sirkulasi maternal, maka molekul obat maupun metaboliknya
kemungkinan dapat masuk ke dalam fetus (Astirin dan Widiyani, 2010).
Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa
mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi
efek obat. Perubahan-perubahan itu menurut Jawet (1998) adalah:
1. Kehamilan bisa merubah absorbsi obat yang diberikan peroral.
commit to user
Download