bab ii tinjauan pustaka

advertisement
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Obat
Sandra dan Kemala (1994) mengartikan tumbuhan obat sebagai semua
tumbuhan, baik yang sudah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan
yang dapat digunakan obat. Sedangkan Zuhud et al. (1994) menyatakan bahwa
tumbuhan obat merupakan seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui dan
dipercaya mempunyai khasiat obat. Tumbuhan obat tersebut dikelompokan
menjadi :
1) Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui dan
dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat
tradisonal;
2) Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah
dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan
penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis;
3) Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung
senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara
ilmiah-medis atau penggunaannya sebagai bahan tradisional sulit ditelusuri.
Zein (2005) mengatakan bahwa tumbuhan obat memiliki kelemahan sebagai
obat, yaitu
1) Sulitnya mengenali spesies tumbuhan dan berbedanya nama tumbuhan
berdasarkan daerah tempat tumbuh;
2) Kurangnya sosialisasi tentang manfaat tumbuhan obat, terutama di kalangan
profesi dokter;
3) Penampilan tumbuhan obat yang berkhasiat berupa fitofarmaka yang kurang
menarik dan kurang meyakinkan dibandingkan dengan penampilan obat paten;
4) Kurangnya penelitian yang komprehensif dan terintegrasi dari tumbuhan obat
ini di kalangan profesi dokter;
5) Belum adanya upaya pengenalan terhadap tumbuhan yang berkhasiat obat di
institusi pendidikan yang sebaiknya dimulai dari pendidikan dasar.
5
2.2 Pemanfaatan Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat merupakan komponen penting dalam pengobatan
tradisional yang telah digunakan sejak lama di Indonesia. Beberapa bukti yang
menunjukan hal tersebut adalah ditemukannya beberapa naskah yang berisi
pengetahuan mengenai pengobatan tradisional menggunakan tumbuhan obat,
antara lain naskah pada daun lontar “Husodo” (Jawa),“Usada” (Bali), “Lontarak
Pabbuara” (Sulawesi Selatan) dan sebagainya (Aliadi & Roemantyo 1994).
Keuntungan obat tradisional yang langsung dirasakan oleh masyarakat
adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di
pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri di rumah, sehingga hampir
setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan obat untuk mengobati
penyakit atau kelainan yang timbul pada tubuh selama hidupnya, baik ketika
masih bayi, anak-anak maupun setelah dewasa. Penggunaan tumbuhan obat tetap
besar di masyarakat karena manfaatnya secara langsung dapat dirasakan secara
turun-temurun, walaupun mekanisme kerjanya secara ilmiah masih belum banyak
diketahui. Selain manfaat yang dirasakan, penggunaan tumbuhan obat pun
dilatarbelakangi sulitnya jangkauan fasilitas kesehatan, terutama di daerah-daerah
pedesaan yang terpencil (Zein 2005).
Terdapat tiga kelompok masyarakat yang dapat dibedakan berdasarkan
intensitas pemanfaatan tumbuhan obat menurut Aliandi dan Roemantyo (1994),
yaitu
1. Kelompok
pertama
adalah
kelompok
masyarakat
asli
yang
hanya
menggunakan pengobatan tradisonal, umumnya tinggal di pedesaan atau
daerah terpencil yang tidak memiliki sarana dan prasarana kesehatan.
Kelompok ini berusaha mencari sendiri pengobatan untuk mengatasi berbagai
penyakit, sesuai dengan norma dan adat yang berlaku;
2. Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan
tradisional dalam skala keluarga, umumnya tinggal di pedesaan yang memiliki
sarana dan prasarana terbatas. Pada daerah ini sudah tersedia puskesmas,
namun tenaga medis, peralatan dan obat-obatan yang tersedia terbatas. Selain
itu, kondisi ekonomi masyarakat pun umumnya masih rendah sehingga
pengobatan tradisional merupakan alternatif dalam pemenuhan kesehatan
6
masyarakat. Pada kelompok kedua ini, pemerintah telah memasyarakatkan
TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Program ini sesuai untuk kelompok
masyarakat yang menggunakan tumbuhan obat dalam skala keluarga dan
bertujuan untuk penanggulangan penyakit rakyat, perbaikan status gizi dan
melestarikan sumberdaya alam hayati;
3. Kelompok ketiga adalah kelompok industriawan obat tradisional.
Suku-suku bangsa di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan obat
untuk kepentingan pengobatan tradisional. Pengetahuan yang dimiliki suku-suku
tersebut mengenai pengobatan tradisional berbeda-beda, termasuk pengetahuan
mengenai tumbuhan obat (Aliandi & Roemantyo 1994). Roosita et al. (2007)
mengatakan bahwa masyarakat Sunda memiliki ketergantungan yang cukup besar
terhadap obat tradisional. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang
dilakukan, yaitu masyarakat Sunda menggunakan obat tradisional untuk dua dari
tiga kasus gangguan kesehatan, baik melalui penggunaan sendiri (60,9%) maupun
dengan bantuan ahli pengobatan (6,5%).
Para ahli pengobatan yang menggunakan obat tradisional menurut Roosita
et al. (2007) menciptakan 96 terapi untuk mengobati berbagai gangguan kesehatan
yang diklasifikasikan menjadi 23 kategori dengan menggunakan 117 spesies
tumbuhan. Menurut hasil penelitian tersebut, terdapat 257 spesies tumbuhan yang
digunakan untuk mengobati gangguan kesehatan. Penduduk Kampung Dukuh di
Garut Jawa Barat misalnya mengenal 137 spesies tumbuhan obat dari 52 suku.
Pemanfaatan terbesar tumbuhan obat di kampung ini adalah sebagai perawatan
kesehatan ibu melahirkan, yaitu sebanyak 41 spesies tumbuhan (Santhyami &
Sulistyawati 2011).
2.3 Pengembangan Tumbuhan Obat
Menurut Hamzari (2008), tumbuhan obat yang beranekaragam spesies,
habitus dan khasiatnya mempunyai peluang besar serta memberi kontribusi bagi
pembangunan dan pengembangan hutan. Karakteristik berbagai tumbuhan obat
yang menghasilkan produk berguna bagi masyarakat memberi peluang untuk
dibangun dan dikembangkan bersama dalam hutan di daerah tertentu. Berbagai
keuntungan yang dihasilkan dengan berperannya tumbuhan obat dalam hutan
7
adalah pendapatan, kesejahteraan, konservasi berbagai sumberdaya, pendidikan
nonformal, keberlanjutan usaha dan penyerapan tenaga kerja serta keamanan
nasional. Di Indonesia, pemanfaatan dan pemasaran bahan tumbuhan obat dapat
digolongkan menjadi bentuk jamu gendong, jamu kemasan modern dan
fitofarmaka (Sangat 2000).
Pengembangan obat bahan alam khas Indonesia yang dikenal sebagai
„jamu‟, dimana tanaman obat menjadi komponen utamanya memiliki arti strategis
dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan kemadirian
Indonesia di bidang kesehatan. Hal tersebut mengingat saat ini Indonesia memiliki
ketergantungan yang besar terhadap obat dan bahan baku obat konvensional
impor yang nilainya mencapai US$ 160 juta per tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 2007).
Sangat (2000) mengatakan bahwa pengembangan jamu dimulai dari
keberadaan usaha jamu gendong, yaitu jamu yang diramu dan dipasarkan dalam
gendongan yang merupakan warisan jaman kuno yang sampai saat ini masih
digemari masyarakat Indonesia, terutama orang Jawa. Jamu kemasan modern
merupakan dampak terhadap perubahan citra jamu gendong dengan pemberian
kemasan yang baik dalam bentuk serbuk, kapsul maupun pil. Jamu kemasan
modern telah memunculkan adanya industri-industri jamu, baik dalam skala kecil
maupun besar.
Industri jamu berkembang seiring dengan meningkatnya pemanfaatan
tanaman obat. Adanya industri tersebut, menuntut keberadaan bahan baku secara
kontinyu. Begitu pula dalam proses pembuatannya yang memerlukan tenaga ahli
dan tenaga kerja. Peningkatan kualitas sumberdaya produsen, yaitu petani
produsen tanaman obat harus mengikuti perkembangan IPTEK, seperti
penggunaan bibit yang unggul. Cara pembudidayaan yang sesuai untuk tanaman
obat adalah cara pembudidayaan secara organik tanpa menggunakan pestisida,
mengingat banyaknya tanaman obat yang langsung dikonsumsi tanpa diolah
terlebih dahulu (Hoesen 2000). Sedangkan dalam peningkatan perusahaan dan
pabrik, peningkatan kualitas jamu secara tidak langsung ditunjukan dengan
adanya ijin resmi dari pemerintah terhadap produk jamu yang dibuat. Contoh
perusahaan jamu skala besar yang produknya telah dikenal di dalam maupun di
8
luar negeri adalah Sido Muncul, Mustika Ratu, Sari Ayu, Air Mancur dan Nyonya
Meneer (Sangat 2000).
Fitofarmaka mengandung komponen aktif tertentu yang berasal dari
tumbuhan obat, mempunyai khasiat penyembuhan penyakit lebih khusus dan
dikemas
seperti
obat
modern.
Jika
berhasil
dikembangkan,
peluang
penggunaannya selain dapat dijual secara bebas juga dapat diperoleh melalui
resep dokter. Hal tersebut menyebabkan fitofarmaka dapat bersaing dengan obatobatan modern. Hingga saat ini, fitofarmaka belum banyak diproduksi. Industri
farmasi yang sudah memproduksi fitofarmaka, yaitu Kimia Farma dan Endo
Farma (Sangat 2000).
Tukiman (2004) mengatakan bahwa upaya pengobatan tradisional dengan
tumbuhan obat merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan
penerapan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan
kesehatan. Dalam lingkup pembangunan kesehatan keluarga, upaya pengobatan
tradisonal dengan pemanfaatan tumbuhan obat dapat diwujudkan melalui apotik
hidup atau TOGA. TOGA adalah singkatan dari tanaman obat keluarga, yaitu
berbagai spesies tumbuhan yang dibudidayakan dengan memanfaatkan lahan di
halaman atau sekitar tempat tinggal dan merupakan persediaan obat bagi keluarga
atau
tetangga
sebelum
mendapat
pengobatan
dokter
atau
puskesmas.
Pengembangan TOGA atau apotek hidup ditujukan sebagai alternatif penggunaan
maupun pendamping obat kimia sintetik (Hoesen 2000).
Spesies tumbuhan obat yang ditanam di TOGA atau apotek biasanya
merupakan tumbuhan yang relatif mudah tumbuh tanpa perawatan intensif dan
biasanya digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit ringan yang sering
diderita anggota keluarga. Hoesen (2000) mengatakan bahwa Zingiberaceae
merupakan famili tumbuhan yang biasanya paling umum dan banyak ditanam
pada TOGA. Selain itu, sering juga dijumpai tumbuhan dari famili Euphorbiaceae,
Acanthaceae, Apocynaceae dan Lamiaceae. Tumbuhan-tumbuhan tersebut
biasanya dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit, seperti batuk,
sariawan, sakit gigi, mencret, demam, pegal linu, sakit perut, cacingan, penyakit
kulit dan mimisan. Namun, tumbuhan TOGA pun dapat dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit kronis, seperti ginjal, diabetes, asma, TBC, penyakit hati,
9
tekanan darah tinggi dan tekanan darah rendah. Selain untuk pengobatan,
tumbuhan TOGA ada yang berfungsi ganda sebagai sayuran, bumbu, tanaman
hias/pelindung rumah dan ada juga yang digunakan untuk menambah penghasilan
keluarga.
Download