model komunikasi formal dan informal dalam proses kegiatan

advertisement
MODEL KOMUNIKASI FORMAL DAN INFORMAL DALAM PROSES
KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Adhi Iman Sulaiman
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Soedirman
Jl. Prof. Dr. Boenyamin No 993 Purwokerto- 53122, Jawa Tengah, HP. 081572222267
Email:[email protected]
Naskah diterima tanggal 17 Oktober 2013 – disetujui tanggal 14 November 2013
FORMAL AND INFORMAL COMMUNICATION MODEL
ACTIVITY IN THE PROCESS OF EMPOWERMENT
Abstact
The research development actors are performing on the communication functions. In this study
focused on the formal and informal communication, as of opening access, approach on location,
design, implementation and evaluation of empowerment program, located in the village of
Pasuruhan, Subdistrict Binangun of Cilacap Regency. The purpose of this study was to
construct patterns of formal and informal communication in the process of community
development activities, especially in the village of Pasuruhan, District Binangun, Cilacap
Regency, Central Java Province. The approach was qualitative and the study sample was
purposive. Data collection techniques with the Focus Group Discussion (FGD), interviews and
observations. Results showed: (1) Formal communication could not be separated from the
formal communication in the research process and implementation of empowerment. While
formal communication performed after the open access and to reinforce the aim of activity. And
then in the implementation of socialization, extension and comparative studies. (2) The failure to
informal communication processes, maked the process of qualitative research in particular,
could be resistance, minus support, distrust, and could even rejection of research informants. (3)
Formal communication had structured nature, focused and symbolic interaction of status the
institution or organization of communicators. While the informal communication had
unstructured nature, dialogical process or more flexible and could be long term, however the
discussion would be not focus.
Keywords: formal communication, informal communication, community empowerment.
Abstrak
Penelitian ini mengenai fungsi komunikasi yang diperankan oleh para pelaku pembangunan,
pada kegiatan pemberdayaan masyarakat. Fokus penelitian adalah bentuk komunikasi formal dan
informal, yang berlokasi di Desa Pasuruhan Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap. Tujuan
penelitian ini untuk mengonstruksi pola komunikasi baik formal maupun informal dalam proses
kegiatan pemberdayaan masyarakat khususnya di Desa Pasuruhan, Kecamatan Binangun,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Pendekatan penelitian adalah kualitatif dan
pengambilan sampel penelitian adalah purposif. Teknik pengumpulan data dengan Focus Group
Discussion (FGD), wawancara, dan observasi, kemudian menggunakan analisis data interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Komunikasi formal tidak bisa dipisahkan dari
173
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
komunikasi informal dalam proses penelitian dan pelaksanaan pemberdayaan. Komunikasi
formal dilakukan setelah akses terbuka dan untuk mempertegas suatu tujuan kegiatan. Kemudian
dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi, penyuluhan, dan studi banding. (2) Kegagalan proses
komunikasi informal, mengakibatkan resistensi, kurang mendapat dukungan, timbul kecurigaan,
bahkan bisa terjadi penolakan dari informan penelitian. (3) Komunikasi formal memiliki sifat
terstruktur, terfokus, dan adanya interaksi simbol atas nama status institusi atau lembaga dari
para pelaku komunikasi. Sedangkan komunikasi informal sifatnya tidak terstruktur, proses dialog
lebih bebas atau tidak kaku yang bisa berlangsung lama, walaupun pembahasan bisa saja tidak
fokus. Interaksi mengutamakan keakraban atau menjalin hubungan yang intens.
Kata kunci: komunikasi formal, komunikasi informal, pemberdayaan masyarakat.
PENDAHULUAN
Pemberdayaan masyarakat sebagai
proses pembangunan yang menitikberatkan
pada identifikasi masalah yang dihadapi dan
potensi yang dimiliki baik sumberdaya
manusia (kompetensi) maupun sumberdaya
material dengan diberikan ruang atau
kesempatan supaya dapat mengembangkan
diri atau dikembangkan menuju kemandirian
ke arah perubahan yang lebih baik. Menurut
Payne (1997) bahwa pemberdayaan adalah “
to help clients gain power of decision and
action over their own lives by reducing the
effect of social or personal blocks to
exercising existing power, by increasing
capacity and self confidence to use power
and by transferring power from the
environment to clients”.
Jadi
pemberdayaan
membahas
bagaimana
individu,
kelompok,
atau
komunitas berusaha mengontrol kehidupan
mereka sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan
keinginan mereka. Begitupun
menurut
Syahyuti (2006) bahwa salah satu yang
esensial dalam pemberdayaan adalah ketika
individu
atau
masyarakat
diberikan
kesempatan untuk membicarakan apa yang
dianggap penting untuk perubahan yang
mereka butuhkan.
Terdapat fungsi komunikasi yang
diperankan oleh pelaku pemberdayaan yang
diindikasikan dalam suatu dialog atau
komunikasi
yang
partisipatif
antar
masyarakat
untuk
mengontrol
dan
menentukan kehidupannya mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
174
dalam pembangunan. Sebagaimana dikatakan
Lubis (2010), bahwa pada saat ini,
pembangunan
banyak
mempergunakan
pendekatan partispatif yang melibatkan
seluruh warga, yaitu dari sejak tahapan
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai ke
tahapan menikmati hasil pembangunan. Pada
pendekatan ini, proses komunikasi memegang
peranan yang sangat penting, karena melalui
proses komunikasi, partisipasi tersebut dapat
terwujud.
Pentingnya fungsi komunikasi dalam
proses pembangunan melalui kegiatan
pemberdayaan ditegaskan dari hasil penelitian
dari Muchlis (2009) yang menegaskan
pentingnya
komunikasi
yang bersifat
partisipatif dalam program pemberdayaan
masyarakat, sehingga dapat mengakomodir
keberagaman ekonomi, sosial, agama, dan
faktor budaya serta gender. Kemudian hasil
penelitian dari Satriani (2011) bahwa dampak
komunikasi partisipatif dalam setiap kegiatan
masyarakat dan rapat sangat bermanfaat
dengan saling berbagi informasi dan
pengetahuan,
penyelesaian
masalah
diselesaikan secara bersama serta terjalinnya
keakraban sesama.
Komunikasi yang dilakukan dalam
pembangunan
seperti
pada
proses
pemberdayaan, berlangsung dalam bentuk
komunikasi secara formal, seperti pada rapat,
musyawarah atau saresehan antarpelaku
pemberdayaan. Termasuk bentuk komunikasi
informal yang tidak dapat dipisahkan ketika
proses komunikasi formal akan, sedang, dan
telah berlangsung, yaitu melalui lobi dan
negosisasi. Sebagaimana menurut Verdeber
dalam Mulyana (2005), bahwa komunikasi
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
memiliki dua fungsi umum yaitu fungsi sosial
untuk kelangsungan memelihara hubungan
bersama, dan fungsi pengambilan keputusan.
Maka sangat menarik penelitian
mengenai fungsi komunikasi, dalam hal ini
memfokuskan pada komunikasi formal dan
informal
ketika
proses
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
di
Desa
Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah sebagai lokasi
penelitian. Pertimbangan menentukan lokasi
penelitian
tersebut
berdasarkan
hasil
penelitian Suswanto (2011) bahwa (1) Lokasi
tersebut sangat menarik perhatian atau
menjadi sorotan publik baik nasional maupun
internasional, yaitu terjadinya tiga kali
peristiwa penangkapan yang diduga teroris
pada tahun 2009. (2) Masyarakat di Desa
Pasuruhan, masih merasa traumatik atas
peristiwa tersebut, sehingga perlu mendapat
pendekatan yang lebih humanistik melalui
kegiatan pembauran dan harmonisasi dalam
proses pemberdayaan masyarakat. (3) Penulis
merasa tertarik meneliti proses komunikasi
formal dan informal dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat, karena selama ini
luput dari amatan dan kajian penulis. Padahal
komunikasi sangat penting serta strategis
fungsinya dalam proses kegiatan seperti
pemberdayaan masyarakat yang diperankan
oleh penulis, penyuluh, atau instruktur dan
para peserta.
Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik
suatu permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Bagaimana komunikasi formal dan informal
dalam proses kegiatan pemberdayaan di Desa
Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah?
Sehingga penelitian ini bertujuan untuk
mengonstruksi pola komunikasi baik formal
maupun informal dalam proses kegiatan
pemberdayaan masyarakat khususnya di Desa
Pasuruhan, Kecamatan Binangun, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Kemudian
hasil penelitian ini dapat lebih memberikan
perhatian pada kajian komunikasi yang sangat
penting dan strategis dalam suatu proses
kegiatan seperti pemberdayaan masyarakat.
Karena suatu kegiatan seperti pemberdayaan
masyarakat bagi penulis bukan hanya hasil
kegiatan, tetapi penting juga mengkaji dari
proses kegiatannnya yaitu fungsi komunikasi
yang diperankan oleh penulis, penyuluh, atau
instruktur dan peserta kegiatan. Manfaat,
problematika, dan hambatan kegiatan, juga
bisa teridentifikasi serta mendapat solusi
dengan meneliti (menganalisis) proses
kegiatan melalui kajian komunikasi.
LANDASAN KONSEP
Pemberdayaan Masyarakat
Hakikat pemberdayaan sebagaimana
telah dibahas dalam pendahuluan, adalah
suatu usaha menyinergikan kekuatan (potensi
dan sumberdaya) yang dimiliki, kesempatan
(yang diciptakan dan diberikan) menuju
kemandirian dan perubahan yang lebih baik.
Maka dalam pemberdayaan terdapat
pelaku perubahan, yang melakukan sesuatu
terhadap klien (pelaku pemberdayaan) baik
pada tingkat individu, keluarga, kelompok
ataupun komunitas. Pemberdayaan adalah
upaya memberdayakan atau mengembangkan
klien dari keadaan yang tidak atau kurang
berdaya menjadi mempunyai daya guna
mencapai kehidupan yang lebih baik.
Berkaitan dengan hal tersebut Shardlow
dalam Adi (2003) mengatakan bahwa “such a
definition of powerment is centrally about
people control of their own lives and having
the power to shape their own future”. Jadi
pemberdayaan pada intinya membahas
bagaimana individu, kelompok, ataupun
komunitas berusaha mengontrol kehidupan
mereka sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan
keinginan mereka.
Konsep pemberdayaan merupakan
proses belajar hingga mencapai status
mandiri. Meskipun demikian dalam rangka
menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan
pemeliharaan
semangat,
kondisi,
dan
kemampuan secara terus menerus supaya
tidak mengalami kemunduran lagi. Tahaptahap yang harus dilakukan dalam
pemberdayaan adalah: Pertama, tahap
penyadaran dan pembentukan perilaku
menuju perilaku sadar dan peduli sehingga
merasa membutuhkan peningkatan kapasitas
175
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
diri. Kedua, tahap transformasi kemampuan
berupa wawasan pengetahuan, kecakapan,
keterampilan agar terbuka wawasan dan
memberikan keterampilan dasar sehingga
dapat
mengambil
peran
di
dalam
pembangunan. Ketiga, tahap peningkatan
kemampuan intelektual, kecakapan, dan
keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif
dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan
pada kemandirian (Sulistiyani, 2004).
Terdapat fungsi komunikasi yang sangat
penting dan strategis dalam proses
pelaksanaan pemberdayaan yang melibatkan
dialog partisipatif antara
pemangku
kepentingan, dengan masyarakat secara
umum (civil society) mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Sebagaimana menurut Syahyuti (2006) bahwa
salah satu yang esensial dalam pemberdayaan
adalah ketika individu atau masyarakat
diberikan kesempatan untuk membicarakan
apa yang dianggap penting untuk perubahan
yang mereka butuhkan.
Lebih lanjut Mardikanto (2010) secara
komprehensif menjelaskan tentang fungsi
pemberdayaan yang pada intinya sebagai
berikut: (1) Pemberdayaan sebagai proses
perubahan; (2) Pemberdayaan sebagai proses
pembelajaran; (3) Pemberdayaan sebagai
penguatan kapasitas: (i) Penguatan kapasitas
individu, (ii) Penguatan kapasitas entitas
(kelembagaan), dan (iii) Penguatan kapasitas
sistem (jejaring); (4) Pemberdayaan sebagai
proses perubahan sosial; (5) Pemberdayaan
sebagai proses pembangunan masyarakat; (6)
Pemberdayaan sebagai proses pengembangan
partisipasi masyarakat.
Fungsi Komunikasi dalam Pembangunan
melalui Pemberdayaan
Konsep klasik yang masih relevan
menyangkut fungsi komunikasi dalam proses
pembangunan, yaitu menurut Schramm dalam
Nasution (2009) yang merumuskan tugas
pokok komunikasi dalam suatu perubahan
sosial dalam rangka pembangunan nasional
yaitu: (1) Menyampaikan kepada masyarakat,
informasi tentang pembangunan nasional,
agar mereka memusatkan perhatian pada
kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan
176
cara mengadakan perubahan, sarana-sarana
perubahan dan membangkitkan aspirasi
nasional. (2) Memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengambil bagian secara
aktif dalam proses pembuatan keputusan,
memperluas dialog agar melibatkan semua
pihak yang membuat keputusan mengenai
perubahan, memberi kesempatan kepada para
pemimpin masyarakat untuk memimpin dan
mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan
menciptakan arus informasi yang berjalan
lancar dari bawah ke atas.
Komunikasi untuk pembangunan yang
menghasilkan partisipasi, dialog, dan
penyebaran
pengetahuan
penting.
Komunikasi
juga
dapat
membantu
pembangunan dengan mendukung dan
mengadopsi
model
yang
benar-benar
membutuhkan dialog dari kolaborasi antara
semua pemangku kepentingan dan yang
benar-benar
membutuhkan
berbagi
pengetahuan sebagai bentuk terbaik dari
pendidikan bersama. Hal ini dikemukakan
oleh Mefalopulos dalam Dasgipta (2009)
bahwa “communication for development is
motivated towards generating participation,
dialogue, and dissemination of vital
knowledge. Communications can assist
development by advocating and adopting
models that genuinely require dialogue as a
from of collaboration among all stakeholders
and that genuinely require sharing knowledge
as the best form of mutual education”.
Maka dengan fungsi komunikasi
partispatif dan dialogis yang dibutuhkan
dalam proses pemberdayaan, menjadikan
paradigma pembangunan telah bergeser dari
yang ditentukan oleh elit penguasa kepada
publik (civil society) yang bersifat top down
menjadi bersifat bottom up artinya publik
juga ikut menentukan (berpartisipasi).
Sebagaimana pendapat Rangkuti (2011)
bahwa paradigma pembangunan saat ini
mengalami pergeseran di mana pembangunan
menekankan
pada
pemberdayaan
(empowerment) yang dikenal dengan
pembangunan manusia (people centered
development), pembangunan berbasis sumber
daya lokal (resource based development), dan
pembangunan kelembagaan (institutional
development).
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
Komunikasi Formal dan Informal
Komunikasi formal dan informal
sebagai suatu sinergi dikemukakan oleh
Effendy (2005) bahwa sistem komunikasi
formal biasanya mengikuti garis-garis
wewenang sebagaimana dituangkan dalam
struktur organisasi (organigram). Sedangkan
sistem informal (tidak formal) adanya
hubungan-hubungan sosial yang dapat
memiliki kekuatan untuk menentukan
wewenang yang ditransmisikan melalui
sistem formal tersebut dapat diterima.
Sehingga sangat penting posisi wewenang di
dalam sistem formal maupun informal.
Pertama,
Komunikasi
formal.
Komunikasi formal, menurut Mulyana (2005)
adalah
komunikasi
menurut
struktur
organisasi seperti komunikasi ke bawah dan
komunikasi ke atas, dan komunikasi
horisontal. Kemudian menurut Blake dan
Haroldsen (2005) ciri komunikasi organisasi
dan saluran formal banyak persamaan. Ciri
saluran komunikasi formal menurut Shibutani
dalam Blake dan Haroldsen (2005) yaitu: (1)
saluran komunikasi berfungsi dengan standar
bagi semua laporan yang datang dari berbagai
sumber agar dapat diperiksa kebenarannya.
(2) sumber pesan dapat dikenali dan tentunya
dapat dipercaya. Sehingga dapat dijelaskan
saluran komunikasi formal bercirikan aturanaturan yang stabil, pekerjaannya, aturan, dan
sanksi disusun dengan jelas, serta dapat
diikuti oleh orang-orang yang berbeda.
Peserta dapat dikenali dan dapat dipercaya
serta bertanggung jawab serta ada jalur
komunikasi yang akurat.
Kedua, Komunikasi informal. Menurut
Mulyana (2005) komunikasi informal tidak
tergantung
pada
struktur
organisasi.
Kemudian DeVito (2011) komunikasi
informal sebagai komunikasi yang disetujui
secara sosial yang orientasinya tidak pada
organisasi tetapi lebih secara individual.
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini menggunakan
konsep atau model komunikasi sebagai
kerangka pemikiran mengenai komunikasi
yang dipergunakan dan relevan dengan
penelitian ini, West dan Turner (2008) yaitu:
Pertama, komunikasi sebagai interaksi
(model interaksional), yang menekankan
proses komunikasi dua arah di antara para
komunikator, terdapat umpan balik (feedback)
atau tanggapan terhadap suatu pesan yang
bisa berupa verbal dan nonverbal, sengaja
maupun tidak disengaja sebagai pertukaran
makna.
Kedua,
komunikasi
sebagai
transaksional (model transaksional) prosesnya
bersifat kooperatif di mana pengirim dan
penerima sama-sama bertanggung jawab
terhadap dampak dan efektivitas komunikasi
yang terjadi serta aktif untuk membangun
kesamaan makna (pemahaman) secara
simultan (terus-menerus) menerima dan
mengirim pesan secara verbal dan nonverbal.
Landasan komunikasi interaksional
relevan dengan teori komunikasi model ketiga
dari Schramm dalam Mulyana (2005)
menganggap komunikasi sebagai interaksi
dengan kedua pihak yang menyandi,
menafsirkan,
menyandi
balik,
menransmisikan dan menerima sinyal.
Sedangkan landasan teori Komunikasi
Transaksional
relevan
dengan
teori
Komunikasi Konvergensi dari Rogers dan
Kincaid (1981) bahwa komunikasi sebagai
sebuah proses di mana para partisipan
membuat dan berbagi informasi dengan satu
sama lain untuk mencapai saling pengertian.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dirancang adalah
penelitian kualitatif yang sangat cocok untuk
mengonstruksi pola komunikasi formal dan
informal yang terjadi dalam proses kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana
menurut Bogdan dan Taylor (1993) bahwa
metode kualitatif memungkinkan untuk
memahami masyarakat secara personal atau
kelompok yang mengungkap pandangan
dunianya dari pengalaman-pengalaman di
dalam masyarakat yang belum diketahui.
Kemudaian menurut Denzin dan Lincoln
(2009) bahwa metode kualitatif yang
mempelajari segala sesuatu di dalam konteks
alaminya, untuk memahami atau menafsirkan
fenomena dari makna yang melekat pada
manusia atau peneliti.
177
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
Penelitian kualitatif yang dipergunakan
adalah studi kasus, seperti menurut Azis
(2008) bahwa jenis penelitian yang utama
melalui
pendekatan
kualitatif
dalam
penelitian sosial,
salah satunya adalah
dengan menggunakan studi kasus sebagai
penelitian yang terinci tentang individu atau
suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu
secara mendalam.
Teknik penentuan informan adalah
purposif,
artinya
pemilihan
informan
berdasarkan pertimbangan rasional penulis
bahwa informan tertentu yang memiliki
kompetensi untuk memberikan informasi atau
data yang diharapkan penulis. Sebagaimana
menurut Herdiansyah (2011) purposif
sampling digunakan penulis untuk memilih
subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan
tujuan untuk mempelajari dan memahami
permasalahan serta tujuan penelitian.
Informan kunci dalam penelitian ini yaitu KK
sebagai mahasiswa Universitas Terbuka dan
WS sebagai Kepala Desa Pasuruhan
Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap.
Adapun informan sebagai subjek penelitian
dan peserta pemberdayaan yang berasal dari
kelompok usaha, yaitu: (1) Koperasi Syariah
Abdimas Sejahtera: (i) KDS, (ii) DSM, (iii)
K, dan (iv) Aris AW. (2) KUKM: (i) W, (ii) S,
(iii) DAN, dan (iv) MS, (v) S, (vi) K dan (vii)
R. (3) Kelompok tani yaitu (i) D, (ii) YS, (iii)
PH, (iv) S. Objek penelitiannya adalah model
komunikasi formal dan informal dalam proses
pemberdayaan masyarakat.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan untuk penelitian pada komunikasi
formal dilakukan proses Focus Group
Discussion (FGD). Menurut Kriyantono
(2006) metode FGD yaitu sebagai teknik
pengumpulan data untuk memahami sikap
dan perilaku khalayak serta diskusi yang tidak
terstruktur dengan topik yang dipersiapkan.
Adapun hal yang harus dipertimbangkan
dalam FGD, yaitu: (1) Tidak ada jawaban
yang benar atau salah setiap orang peserta
FGD harus merasa bebas untuk menjawab
sesuai dengan permasalahan diskusi. (2)
segala interaksi dan perbincangan harus
terekam dengan baik. (3) diskusi harus
berjalan dengan suasana informal, sehingga
peserta
dapat
memberikan
komentar
178
(antusias-aktif) sekalipun tidak ditanya
langsung sehingga terjadi tukar pendapat
secara dinamis.
Selanjutnya untuk penelitian pada
komunikasi informal dilakukan metode
wawancara tidak terstruktur dan observasi
atau pengamatan secara langsung di lapangan.
Metode pengumpulan data dengan teknik
wawancara dan observasi juga dilakukan
secara berbarengan ketika proses metode
FGD pada penelitian komunikasi secara
formal. Sehingga dalam proses penelitian
kualitatif pada kasus ini, ketiga metode
tersebut saling melengkapi.
Analisis data yang dipergunakan yaitu
analisis data interaktif dari Miles dan
Huberman (2007) yang terdiri dari tiga
komponen: (1) Reduksi data, yang merupakan
proses
pemilihan,
pemusatan,
penyederhanaan dan klasifikasi data mentah
yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan, yang berlangsung secara terusmenerus selama penelitian. (2) Penyajian data
adalah kumpulan informasi yang tersusun
yang
memberi
kemungkinan
adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. (3) Penarikan kesimpulan atau
verifikasi.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Komunikasi Formal dan Informal dalam
Proses Pembukaan Akses
Proses penelitian, terutama penelitian
kualitatif tidak akan lepas dari kegiatan
pembukaan akses di lokasi penelitian, yang
berfungsi untuk melakukan pendekatan
terhadap informan supaya tujuan penulis
melakukan penelitian dapat dipahami,
diterima, dan bahkan didukung. Artinya untuk
menghindari resistensi atau ketidakpahaman,
salah persepsi dan penolakan oleh pihak
informan di lokasi penelitian.
Sehingga pembukaan akses dalam
penelitian ini dijadikan langkah awal untuk
studi pendahuluan dengan menggunakan
strategi yaitu: (1) Melalui komunikasi
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
informal terlebih dahulu kepada informan
kunci sebagai pembuka akses ke lokasi
penelitian. Komunikasi informal ini dengan
melakukan pendekatan,
melobi, dan
mempersuasi
serta menjelaskan tujuan
penelitian kepada informan kunci yang
sebelumnya belum dikenal akrab dengan
peneliti.
Informan
kunci
tersebut
sesungguhnya adalah murid yang pernah
mengikuti proses belajar-mengajar secara
tutorial di Universitas Terbuka pada tahun
2009/2010 di Kelompok belajar (Pokjar) UT
Daerah Kemeranjen Kabupaten Banyumas
yang berbatasan dengan daerah Kroya
Kabupaten Cilacap. Informan kunci tersebut,
penulis pilih karena rumah tempat tinggalnya
berdekatan dengan lokasi penelitian dan
memiliki kerabat di lokasi penelitian.
Kemudian penulis sangat membutuhkan
informasi tentang lokasi tersebut, mengingat
desa Pasuruhan sebagai lokasi penelitian
masih dipandang oleh publik luar sangat
kurang kondusif, sensitif, atau berbahaya
sehingga menimbulkan persepsi yang kurang
baik.
(2) Langkah selanjutnya dengan
melakukan komunikasi informal dengan
meminta kesediaan informan kunci untuk
dipertemukan dengan kerabatnya di lokasi
penelitian. Sehingga proses pendekatan,
melobi dan menegosiasi tujuan kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
sekaligus
penelitian kepada kerabat informan kunci
yang menjadi peserta pemberdayaan.
Sekaligus meminta informan kunci untuk
dipertemukan dengan Kepala Desa Pasuruhan
melalui orang tua (bapaknya) informan kunci
yang merupakan teman akrabnya kepala desa
tersebut. Maka terjadi lagi komunikasi
informal dengan melobi dan mempersuasi
bapaknya informan kunci untuk bersedia
mempertemukan dengan kepala desa yang
merupakan
teman
akrabnya,
supaya
pembukaan akses lebih bisa cepat diterima
dan lancar.
(3) Ketika melakukan komunikasi
informal dengan melakukan pendekatan,
melobi, dan negosiasi untuk menjelaskan
tujuan kegiatan pemberdayaan masyarakat
dan penelitian kepada Kepala Desa
Pasuruhan,
juga
berlangsung
suatu
komunikasi formal yaitu berdialog dengan
saling memperkenalkan diri dengan status
profesi atau institusi yang dipresentasikan.
Satu pihak penulis memperkenalkan diri
sebagai staf pengajar perguruan tinggi
(Unsoed) yang memiliki tugas untuk kegiatan
pemberdayaan masyarakat dan penelitian.
Satu pihak lainnya adalah Kepala Desa
(jabatan formal) yang menerima tim
pemberdayaan masyarakat dan tim penelitian
di lokasi. Kemudian komunikasi formal
tertulis juga ditransaksikan berupa surat resmi
permohonan izin kegiatan pemberdayaan
masyarakat dan penelitian dari institusi
perguruan tinggi yang ditandatangani dekan
dan stempel fakultas yang diterima kepada
kepala desa. Surat resmi yang merupakan
komunikasi formal tertulis tersebut kemudian
oleh pihak desa di proses atau ditindaklanjuti
pengajuan kegiatan tersebut.
(4) Proses komunikasi informal melalui
pendekatan dan melobi kemudian dibarengi
(diperkuat) oleh komunikasi formal (antar
instiusi) melalui surat resmi. Ternyata untuk
kegiatan pertama sampai ketiga sebagai suatu
rangkaian
pemberdayaan
masyarakat,
komunikasi yang terjalin antara penulis
dengan pihak desa dan peserta pemberdayaan
sebagai
informan
penelitian
terjadi
komunikasi informal, yang lebih cair, akrab,
dan intens, tidak formal lagi seperti ketika
awal pembukaan akses.
(5) Hal ini membuktikan bahwa
pembukaan akses dalam proses penelitian
dengan dapat berkomunikasi secara informal
dan formal, memiliki peran yang sangat
strategis dan menentukan. Karena jika
pembukaan akses dengan komunikasi
informal dan formal gagal atau tidak berhasil,
maka kemungkinan proses penelitian akan
mendapat resistensi atau tidak didukung
bahkan bisa ditolak, baik oleh informan kunci
maupun informan lainnya yang menjadi
sasaran penelitian.
Berdasarkan
hasil
analisis
data
penelitian tersebut, maka dibuat suatu model
komunikasi formal dan informal dalam proses
pembukaan akses penelitian seperti pada
gambar 1.
179
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
Model Komunikasi
dalam Proses Pembukaan Akses Penelitian
Komunikasi Informal
(Pendekatan dan
jalinan yang lebih
akrab)
Kolaborasi
Komunikasi Formal
dan Informal dalam
Pembukaan akses
Penelitian
Mencari, mendekati dan
meloby melalui informan
kunci sebagai penghubung
Menjalin
keberlangsungan
hubungan peneliti
dan informan
Komunikasi Formal
(secara status :
lembaga/instutusi dan
tertulis)
Melakukan interaksi
perkenalan status
lembaga/institusi
Melakukan pendekati dan
meloby informan kunci
sebagai penghubung
Mendapat ijin akses
dan kegiatan
Melakukan interaksi perkenalan
status lembaga/institusi dengan para
informan
Proses komunikasi lebih terbuka, cair dan intens serta
dinamis baik secara informal maupun formal
Gambar 1
Model Komunikasi dalam Proses Pembukaan Akses Penelitian
Pembahasan
Komunikasi Formal dan Informal dalam
Proses Penelitian
Proses pembukaan akses ke lokasi
penelitian melalui strategi komunikasi
informal yaitu melakukan pendekatan,
menjelaskan tujuan dan melobi serta
negosiasi kepada informan kunci, untuk bisa
dibantu dipertemukan kepada informan
lainnya yang menjadi subjek penelitian.
Kemudian dilakukan komunikasi formal
180
dengan berinteraksi menggunakan atas nama
institusi atau lembaga dan surat resmi kepada
informan yang juga berposisi memiliki
kewenangan formal untuk bisa membantu dan
memberikan izin kegiatan penelitian. Setelah
terjadi kesamaan pemahaman (mutual
understanding), maka akan ada penerimaan
dari informan kepada penulis, sehingga
bentuk komunikasi informal akan lebih
dominan yang dikarenakan sudah akrab dan
saling memahami atau menerima.
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
Namun dalam proses penelitian, tetap
bentuk komunikasi formal akan muncul lagi
yaitu pertama, ketika berlangsung proses
kegiatan Focuss Group Discussion (FGD),
hasil analisis penelitiannya yaitu:
(1) Pada pelaksanaan FGD I yaitu untuk
mengidentifikasi masalah dan potensi, di
mana para informan sebagai peserta FGD
digabung dari semua kelompok usaha yaitu
pengurus koperasi, kelompok tani, dan
kelompok usaha kecil. Komunikasi formal
terjadi yaitu: (1) Ketika dimulai kegiatan
pemberdayaan dengan adanya seremonial
acara pembukaan seperti sambutan-sambutan
dan
penjelasan
rangkaian
kegiatan
pemberdayaan. (2) Kegiatan sesi identifikasi
masalah dan potensi yang dipimpin seorang
moderator yang mengeksplorasi para
informan sebagai pesert FGD. Kemudian para
informanpun melakukan komunikasi secara
formal, yang ditandai dengan gaya
komunikasi yang sudah disiapkan secara
tertulis inti yang mau disampaikan dan
sistematis. (3) Kemudian yang berbicara
dalam forum FGD, adalah perwakilan dari
kelompok usaha secara struktur formal
organisasi, seperti oleh ketua dan wakil yang
mengatasnamakan perwakilan organisasi.
Sedangkan anggota atau pengurus selain
ketua, tidak ada yang berkomunikasi karena
sudah terwakili atau menyerahkan kepada
ketua kelompok. Hal ini disebabkan para
kelompok usaha sebagai informan atau
peserta FGD, sepertinya sudah disepakati
oleh setiap kelompok usaha kalau yang akan
berbicara atau menyampaikan pendapat
adalah ketua atau wakil ketua.
Sehingga pada kegiatan FGD I
berlangsung, lebih dominan komunikasi
formal yang terjadi, artinya komunikasi hanya
satu arah dan terpusat yaitu dari moderator
FGD dengan salah satu delegasi kelompok
usaha yaitu ketua atau wakil ketua kelompok.
Kecuali ketika sebelum kegiatan FGD I,
memang terjadi komunikasi formal seperti
pada kegiatan pengecekan dan pengisian
daftar hadir peserta, serta rehat (coffe break)
sebelum kegiatan FGD dimulai atau ketika
waktu istirahat dan makan siang ketika
kegiatan FGD dimulai lagi, yaitu dengan
berkenalan dan bercengkerama. Hal tersebut
masuk dalam kategori melakukan teknik
wawancara dalam proses penelitian yang
terjadi tidak terstruktur, lebih bebas dan
fleksibel. Sehingga komunikasi formal
kembali terjadi lagi ketika kegiatan FGD
berlangung.
(2) Pada pelaksanaan FGD II untuk
menganalisis hasil FGD I yaitu identifikasi
masalah dan potensi bahwa komunikasi
formal masih terjadi, namun sudah tidak lagi
satu arah didominasi ketua atau wakil ketua
kelompok yang
mewakili kelompoknya
dengan moderator dan instruktur. Karena
pelaksanaan FGD II sudah dipisahkan dalam
bentuk kelompok khusus (cluster) yaitu FGD
khusus kelompok koperasi, FGD khusus
kelompok-kelompok tani dan FGD khusus
kelompok-kelompok
usaha.
Adapun
analisisnya sebagai berikut: (1) Sudah mulai
tidak lagi didominasi ketua atau wakil ketua
kelompok dalam diskusi atau berpendapat,
seperti para peserta yang memiliki jabatan
sekretaris dan bendahara atau pengurus lain
selain, sudah mulai ikut berpendapat, walau
dengan pembahasan hanya menambahkan.
Hal tersebut dikarenakan, selain sudah dalam
bentuk diskusi kelompok khusus, artinya
FGD II memang setiap peserta dalam
kelompok diminta untuk dapat berpendapat
atau berdiskusi dan berpartisipasi secara aktif
untuk ikut sama-sama memecahkan masalah
yang teridentifikasi dalam FGD I yang
dikoordinir oleh ketua kelompok. Kemudain
moderator atau instruktur juga sudah
langsung
menanyakan
atau
meminta
tanggapan langsung kepada setiap peserta
FGD kelompok khusus. (2) Kemudian lebih
mudah dan efektif dalam pengelolaan forum
atau peserta (informan) dalam FGD kelompok
khusus lebih sedikit jumlahnya. Hal tersebut
bisa disebut memiliki struktur jaringan
komunikasi jenis lingkaran, di mana semua
anggota posisinya sama memiliki wewenang
atau kekuatan yang sama untuk memengaruhi
(berpendapat) dan berkomunikasi dengan
sesama anggota (DeVito, 2011). (3)
Kemudian
para
peserta
di
dalam
kelompoknya mulai saling berinteraksi
dengan menggunakan bahasa informal,
artinya tidak berdiam diri secara pasif yang
hanya mendengarkan saja. Namun peserta
181
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
kelompok juga sudah tidak kaku lagi
(sungkan) atau menjadi lebih cair, akrab,
humoris, dan dinamis. Sehingga komunikasi
tidak lagi satu arah dari ketua atau wakil
ketua kepada moderator atau instruktur tetapi
sudah dua arah. Hasilnya adalah selain
analisis atas idetifikasi masalah dan potensi,
juga sudah mulai membuat rancangan untuk
membuat model pemberdayaan.
Sehingga komunikasi informal selain
sudah terjadi ketika sebelum dan masa
isirahat atau setelah kegaitan FGD, juga
sudah berlangsung dalam proses FGD II pada
situasi
formal
khususnya
dilakukan
antaranggota kelompok.
(3) Pelaksanaan FGD III yaitu untuk
merancang pemodelan pemberdayaan, yang
berdasarkan hasil dari FGD II. Peserta atau
informan dari kelompok khusus
sudah
digabungkan lagi secara bersama-sama
dengan kelompok khusus lainnya. Setiap
kelompok usaha, diberikan kesempatan untuk
mempresentasikan hasil FGD II yaitu analisis
masalah dan potensi serta perancangan model
pemberdayaan.
Kemudian
ditanggapi,
diberikan masukan atau dikritik oleh peserta
satu kelompok usaha atau oleh kelompok
usaha lainnya. Sehingga pola komunikasi
formal yang terjadi lebih dinamis dan
partisipatif, atau struktur jaringan komunikasi
bersifat semua lingkaran (bintang). Artinya
semua
peserta
(informan)
memiliki
kesempatan dan kekuatan yang sama untuk
berpendapat dan memengaruhi anggota
lainnya dan keputusan (DeVito, 2011).
Komunikasi informal dalam proses
FGD III lebih dominan sekalipun dalam
keadaan atau situasi formal. Hal ini
dikarenakan: (1) Komunikasi yang terjadi
tidak lagi dibatasi oleh hanya ketua atau wakil
ketua sebagai juru bicara atau perwakilan
kelompok, tetapi anggota atau semua peserta
FGD memiliki kesempatan secara terbuka. (2)
Moderator dan instruktur juga memberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk sumbang
saran atas rancangan yang dipresentasikan
oleh salah satu kelompok. (3) Para peserta
FGD sudah sangat saling akrab, cair, dan
beradaptasi karena sudah terbiasa dengan
kegiatan
FGD
yang
telah
dialami
sebelumnya. Sehingga dalam berkomunikasi
182
untuk mengeluarkan berpendapat dan
kritiknya sudah tidak sungkan dan kaku lagi,
serta terbatasi
oleh struktur
dalam
kelompoknya. (4) Sehingga komunikasi
informal secara nyata berbarengan dalam
situasi komunikasi formal pada FGD III. (5)
Peserta sebagai informan ketika sebelum,
sedang, dan sesudah kegiatan FGD III, lebih
proaktif dan komunikatif secara terbuka
dengan peserta lain dan penulis. Hal ini
seperti menyapa dan tersenyum duluan, aktif
bertanya dan antusias dalam menanggapi
interaksi.
Kedua, pada tahap wawancara dalam
proses penelitian, lebih ditekankan pada
komunikasi informal, melalui pendekatan
yang lebih humanis, akrab, dan persuasif.
Wawancara dengan teknik komunikasi
informal ini dilakukan dengan para peserta
kegiatan FGD ataupun pihak lainnya seperti,
Kepala Desa, Perangkat Desa, Kepala Dusun,
dan anggota kelompok usaha. Pelaksanaan
wawancara dilakukan dengan cara :
1. Ketika
sedang
melakukan
proses
pembukaan akses untuk pendekatan,
proses izin kegiatan, mengundang
kegiatan FGD serta melakukan persiapan
FGD.
2. Wawancara dilakukan ketika sedang
proses pelaksanaan FGD yaitu di awal
kegiatan sebelum dimulai, ketika rehat,
dan setelah kegiatan FGD.
3. Wawancara juga dilakukan ketika proses
kegiatan observasi atau kunjungan ke
tempat usaha para peserta seperti kegiatan
kunjungan ke tempat kelompok usaha dan
ke tempat studi banding.
Ketiga, pelaksanaan penelitian juga
tidak lepas dari kegiatan observasi atau
pengamatan secara langsung khususnya
bersamaan ketika melakukan wawancara
mendalam,
khususnya
pada
kegiatan
kunjungan ke tempat kelompok usaha dan
ketika melakukan studi banding.
Pada proses wawancara dan observasi
di lapangan khususnya ketika kunjungan ke
tempat kelompok usaha, lebih dipergunakan
komunikasi informal karena: (1) Peserta
pemberdayaan sebagai informan telah saling
kenal dan akrab termasuk dengan penulis
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
sehingga lebih cair ketika proses kegiatan
FGD yang memungkinkan melakukan
wawancara dengan komunikasi informal. (2)
Kegiatan wawancara memanfaatkan situasi
ketika sebelum, masa rehat, dan sesudah
kegiatan FGD, sehingga informan merasa
tidak seperti sedang di wawancara tetapi
seperti berdialog atau mengobrol biasa.
Sehingga komunikasi informal lebih tepat dan
efektif.
(3) Komunikasi informal dalam wawancara
juga dilakukan ketika sedang menuju,
melakukan, dan setelah kegiatan kunjungan
ke tempat kelompok usaha serta kunjungan.
Kecuali dalam mengawali dalam kegiatan
resmi kunjungan atau studi banding, terlebih
dahulu dengan komunikasi formal, seperti
memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan
kegiatan kunjungan dan menyerahkan surat
izin atau permohonan kunjungan serta
sambutan-sambutan formal ketika mengawali
kunjungan. Berdasarkan analisis komunikasi
formal dan informal dalam proses penelitian
kegiatan pemberdayaan masyarakat, maka
dapat
dibuat
model,
supaya
lebih
memperjelas hasil analisis, seperti pada
gambar 2.
Model Komunikasi Formal dan Informal
dalam Proses Pembukaan Akses Penelitian
Model Komunikasi dalam Proses Penelitian
Komunikasi Formal
Komunikasi Informal
Focus Group Discussion
(FGD)
Wawancara Mendalam
FGD Tahap I
Identifikasi masalah dan potensi
(sumber daya) secara makro
FGD Tahap II
Analisis masalah dan potensi
(sumber daya) yang telah
teridentifikasi
FGD Tahap III
Analisis, perumusan solusi (program)
dan pembuatan model pengembangan
dan penguatan kelembagaan
Hasil Penelitian
Terdapat pola komunikasi formal dan
informal dalam Pemberdayaan
Pedesaan Berbasis Kearifan Lokal
Observasi dalam
(FGD)
Observasi tempat
kelompok usaha
Peserta
Observasi/Studi
Banding ke
kelompok usaha
di luar peserta
Gambar 2
Model Komunikasi Formal dan Informal dalam Proses Penelitian
183
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
Komunikasi Formal dan Informal pada
Pelaksanaan
Model
Pemberdayaan
Masyarakat
Setelah melalui serangkaian proses
penelitian
seperti
pembukaan
akses,
pendekatan, wawancara mendalam, observasi,
dan dialog dalam kegiatan Focus Group
Discussion (FGD) yaitu pelaksanaan model
kegiatan pemberdayaan masyarakat, adapun
tahapan implementasinya sebagai berikut :
Pertama, teknik triangulasi. Penulis
sebelum
mengimplementasikan
model
pemberdayaan
masyarakat,
dengan
melakukan triangulasi atas hasil FGD sebagai
proses
komunikasi
formal
dengan
menggunakan teknik wawancara mendalam
dan observasi kepada informan, baik sebagai
peserta pemberdayaan, maupun kepada para
pemangku kepentingan (stakeholders) seperti
Kepala Desa, Perangkat Desa, Kepala Dusun
(Kadus), tokoh masyarakat, pelaku usaha,
aktivis, pengurus Ormas, akademisi (teman
sejawat) dan lain sebagainya. Kegiatan
triangulasi ini sangat penting dalam proses
penelitian
kualitatif
untuk
mendapat
keabsahan atau validitas data dan hasil
penelitian. Sebagaiman menurut Creswell
(2010) dalam validitas data kualitatif salah
satunya dengan melakukan triangulasi
(triangulate) yaitu sumber data yang berbeda
kemudian diperiksa bukti-bukti yang berasal
dari
sumber-sumber
tersebut
untuk
membangun justifikasi tema-tema secara
koheren (saling berkaitan).
Pelaksanaan model pemberdayaan
masyarakat merupakan hasil dari penelitian
sekaligus juga hasil dari kesepakatan bersama
dari proses komunikasi dialogis partisipatif
khususnya dalam FGD sebagai komunikasi
formal dan teknik triangulasi sebagai proses
konstruksi keabsahan data dan hasil penelitian
kualitatif. Karena karakteristik penelitian
kualitatif menurut Muljono (2012) salah
satunya tentang hasil penelitian harus
dirundingkan dan disepakati bersama,
dikarenakan realitas subjek (informan) yang
diteliti, hasil penelitian bergantung pada
hakikat dan kualitas hubungan antara penulis
dan informan, kemudian menjadi lebih baik
jika dilakukan verifikasi serta dikonfirmasi
184
dengan informan.
Kedua, tahapan pendekatan dan
perizinan, dengan melakukan komunikasi
informal dan formal. Melakukan pendekatan
kembali dengan komunikasi informal di
lokasi penelitian terutama kepada Kepala
Desa untuk mendapat dukungan dan izin
kegiatan sekaligus mengajukan surat resmi
sebagai bentuk komunikasi formal tertulis
berupa permohonan izin kegiatan, tempat
kegiatan dan permohonan undangan untuk
peserta kegiatan pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat. Penulis setelah mendapat izin
kegiatan dan kesepakatan jadwal pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat dari Kepala Desa,
selanjutnya melakukan pendekatan dan
sosialisasi kepada para peserta pelaksanaan
pemberdayaan yaitu pada kelompok koperasi,
kelompok usaha tani, kelompok usaha kecil.
Pada tahap pendekatan, rencana pelaksanaan
dan sosialisasi kegiatan pemberdayaan
masyarakat, komunikasi informal lebih
dominan dibandingkan dengan komunikasi
formal yang dilakukan oleh penulis kepada
Kepala Desa, hal ini dikarenakan kedekatan
dan keakraban penulis dengan informan atau
peserta pemberdayaan sudah terjalin serta
terbangun cukup lama yaitu ketika proses
penelitian sebelumnya. Sehingga proses
pendekatan
dan
rencana
pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat juga lebih mudah
dilaksanakan. Maka menjadi hal yang sangat
penting dan mendukung dalam suatu proses
penelitian
kualitatif
adanya
proses
pembukaan akses, pendekatan dan menjalin
kedekatan antara penulis dengan yang diteliti,
sehingga penulis ikut berbaur, beradaptasi dan
menjadi bagian dari subjek yang diteliti. Hal
ini yang tidak didapatkan di dalam penelitian
kuantitatif, di mana ada jarak antara penulis
dengan
responden
untuk
menjaga
objektivitas.
Ketiga, tahapan sosialisasi model
pemberdayaan masyarakat,
komunikasi
formal lebih dominan dalam kegiatan Focus
Group Discussion (FGD) berupa penjelasan
dari penulis dan tim ahli kepada peserta
pemberdayaan
tentang
program
pemberdayaan yang akan dilaksanakan yaitu
penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan.
Komunikasi formal juga berlangsung dalam
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
proses dialogis partisipatif dari peserta dalam
sosialisasi model pemberdayaan. Namun
ketika sebelum dan sesudah kegiatan
sosialisasi dilaksanakan, komunikasi informal
dilakukan oleh penulis dan peserta
pemberdayaan dengan saling menyapa,
bertanya, dan terjalin dialog yang intens,
lebih terbuka serta harmonis.
Keempat, tahapan penyuluhan kegiatan
pemberdayaan
masyarakat,
komunikasi
formal juga masih dominan, dikarenakan para
penyuluh atau instruktur menjelaskan materi
dan membutuhkan perhatian yang serius dari
peserta. Kemudian peserta penyuluhan juga
tidak pernah memotong untuk bertanya atau
menanggapi pemaparan atau penjelasan
penyuluh. Kecuali ketika penyuluh atau
instruktur membuka kesempatan untuk tanya
jawab, maka peserta pemberdayaan baru bisa
berargumen dan bertanya kepada penyuluh.
Model Komunikasi Formal dan Informal dalam Proses
Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat
Komunikasi Informal
Komunikasi Formal
Wawancara & Observasi
Melakukan pendekatan kembali ke lokasi
penelitian
Kepada stakeholders dan
Peserta
Wawancara
Mengajukan surat izin
resmi ke Desa
Melakukan Sosialisasi Kegiatan
Pemberdayaan Masyarakat
FGD
Melakukan Dialog dan Tanya Jawab
Melakukan Kegiatan Penyuluhan
Melakukan Pelatihan dan Praktik
Kunjungan ke tempat usaha
peserta
Studi banding ke lokasi
lain
Melakukan Evaluasi Kegiatan
Gambar 3
Model Komunikasi Formal dan Informal dalam Kegiatan Pemberdayaan
185
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
Kelima, tahapan kegiatan pelatihan dan
praktik kegiatan pemberdayaan masyarakat,
komunikasi informal lebih dominan dengan
melalui teknik wawancara mendalam dan
observasi. Karena para penyuluh atau
instruktur menekankan pada partisapasi
langsung dan kerjasama dengan peserta atau
kelompok dan antarpeserta (kelompok).
Komunikasi informal semakin intensif dan
dinamis, ketika kegiatan pelatihan dan praktik
atau simulasi kegiatan contoh dalam pelatihan
manajemen koperasi seperti membuat struktur
kepengurusan, tugas pokok dan fungsi
pengurus, membuat Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Koperasi, Rencana
Kerja Koperasi, manajemen keuangan dan
simulasi rapat pengurus serta rapat anggota
tahunan.
Keenam, tahap kegiatan kunjungan dan
studi banding. Komunikasi informal lebih
dominan perannya melalui teknik wawancara
mendalam dan observasi ketika pelaksanaan
kegiatan kunjungan ke tempat kelompok
usaha para peserta pemberdayaan masyarakat.
Penulis, penyuluh, atau instruktur dan
terutama peserta lebih intens dan terbuka
dalam melakukan dialog, tanya jawab, dan
menceritakan keadaan usaha yang dijalankan.
Sedangkan tahap kegiatan studi banding para
peserta pemberdayaan di lokasi lain atau di
luar daerah para peserta pemberdayaan,
seperti studi banding untuk mencari
pengalaman ke Koperasi Senkuko Cilongok
Kabupaten Banyumas sebagai koperasi
berprestasi peringkat ke-3 tingkat Provinsi.
Studi
banding
berlangsung
dengan
komunikasi formal antara penulis dan
penyuluh atau instruktur sebagai fasilitator
yang mempertemukan dan memperkenalkan
para peserta pemberdayaan dengan pengurus
Koperasi Senkuko. Dialog dalam komunikasi
formal juga terjadi dalam kegiatan tanya
jawab
dan
diskusi
antara
peserta
pemberdayaan dengan pengurus Koperasi
Senkuko. Namun ketika agenda terakhir
berupa kegiatan kunjungan ke fasilitas kantor
dan tempat usaha yang dimiliki Koperasi
Senkuko, dialog dalam komunikasi informal
lebih dominan.
Ketujuh, tahap evaluasi kegiatan
pemberdayaan
masyarakat,
komunikasi
186
formal terjadi dalam pembukaan dan prolog
awal dari penulis dan pihak desa akan tetapi
pada waktu penyampaian evaluasi berupa
masukan dan kritik dari peserta kegiatan,
komunikasi informal mulai berlangsung. Hal
tersebut dikarenakan penulis memberikan
kesempatan untuk peserta mengevaluasi
kegiatan dengan menyampaikan aspirasi dan
argumennya baik kritik, saran, dan
harapannya, tanpa ada pembelaan dari pihak
penulis. Keakraban dan kedekatan semakin
kuat terasa ketika peserta mengharapkan
keberlanjutan
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat dan program pendampingan.
Adapun model komunikasi formal dan
informal dalam proses pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan masyarakat seperti pada
gambar 3.
PENUTUP
Simpulan
Hasil penelitian ini, menjelaskan fungsi
komunikasi formal dan informal yang sangat
penting dan tidak bisa terpisahkan dalam
suatu poses penelitian, terutama dalam
penelitian kualitatif.
Komunikasi
formal
tidak
bisa
dipisahkan dari komunikasi informal dalam
proses penelitian, artinya keduanya sangat
penting dan saling melengkapi. Sehingga
dengan melakukan komunikasi informal
terlebih dahulu untuk membuka akses
penelitian, melakukan pendekatan, penjelasan
tujuan dan lobi terhadap informan kunci dan
informan lainnya. Sedangkan komunikasi
formal dilakukan setelah akses terbuka dan
dalam proses kegiatan formal untuk
mempertegas
suatu
tujuan
kegiatan.
Kegagalan
dalam
proses
komunikasi
informal, bisa membuat proses penelitian
dengan pendekatan
kualitatif, akan
mengakibatkan resistensi, kurang mendapat
dukungan, curiga, bahkan bisa terjadi
penolakan dari informan penelitian.
Komunikasi
formal
memiliki
keutamaan seperti terstruktur atau sistematis,
fokus, dan lebih efektif serta jelas pada tujuan
berkomunikasi. Kemudian interaksi didasari
Model Komunikasi Formal Dan Informal Dalam Proses Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Adhi Iman Sulaiman
oleh interaksi simbolik status atas nama
institusi atau lembaga yang dipresentasikan
oleh masing-masing pelaku komunikasi.
Sedangkan komunikasi informal memiliki
karakteristik seperti tidak terstruktur atau
sistematis sehingga proses komunikasi lebih
bebas atau tidak kaku artinya komunikasi
(dialog) bisa berlangsung lama, namun
pembahasan bisa saja menjadi melebar atau
tidak fokus. Lebih mengutamakan keakraban
atau menjalin hubungan yang intens.
Komunikasi informal dan formal juga
berlangsung ketika proses pelaksanaan
kegiatan model pemberdayaan masyarakat
sebagai implementasi hasil penelitian.
komunikasi informal lebih dominan pada
tahapan pelaksanaan triangulasi penelitian,
pendekatan kembali di lokasi penelitian,
sosialisasi kegiatan secara personal, kemudian
tahap pelaksanaan pelatihan atau praktik dan
kegiatan kunjungan, studi banding serta
evaluasi kegiatan. Sedangkan komunikasi
formal dominan dalam proses kegiatan
sosialisasi kegiatan, penyuluhan, dan studi
banding serta evaluasi kegiatan.
Dalam
suatu
kegiatan
seperti
pemberdayaan masyarakat, yang harus
menjadi perhatian bukan hanya hasil
kegiatan, tetapi penting juga mengkaji dari
proses kegiatannya yaitu fungsi komunikasi
yang diperankan oleh penulis, penyuluh, atau
instruktur, dan peserta kegiatan. Karena aspek
manfaat, problematika, dan hambatan
kegiatan, bisa teridentifikasi serta mendapat
solusi dengan meneliti (menganalisis) proses
kegiatan melalui kajian komunikasi.
Saran
Suatu
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat harus juga memerhatikan proses
kegiatannnya, seperti fungsi dan bentuk
komunikasi yang dilakukan para penulis,
penyuluh atau instruktur, dan peserta kegiatan
sebagai aspek penting, selain hasil kegiatan
pemberdayaan. Karena dari aspek komunikasi
dapat diidentifikasi problematika dan
hambatan yang dirasakan subjek penelitian,
serta pada proses kegiatan.
Kemudian pada proses penelitian,
terutama kualitatif dan juga untuk penelitian
kuantitaif,
perlu
memerhatikan
dan
mengutamakan komunikasi informal yang
sangat penting dan menentukan dalam proses
pelaksanaan serta keberlanjutan penelitian,
termasuk bermanfaat untuk pembukaan akses
bagi pelaksanaan komunikasi formal. Saran
terakhir, bahwa komunikasi informal harus
terus dipelihara untuk keberlanjutan jalinan
akses dan interaksi antara penulis dan subjek
penelitian, walaupun kegiatan pemberdayaan
dan penelitian sudah berakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adi,
IR.
(2003).
Pemberdayaan,
Pengembangan
Masyarakat
Dan
Intervensi Komunikasi (Pengantar pada
Pemikiran dan Pendekatan Praktis).
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Azis, A. (2008). Memahami Fenomena Sosial
Melalui Studi Kasus: Di dalam Bungin,
Burhan, editor. Analisis Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers
Blake RH, Haroldsen EO. (2005). Taksonomi
Komunikasi. Bahanan H, penerjemah.
Surabaya: Papyrus. Terjemahan dari : A
Taxonomy
of
Concepts
is
Communication.
Bogdan R, Taylor SJ. (1993). Dasar-Dasar
Penelitian Kualitatif. Afandi AK,
penerjemah. Surabaya: Usaha Nasional
Denzin, K. Norman and Linclons. Yvonna
(2009).
Pendahuluan:
Memasuki
Bidang Penelitian Kualitatif. Dariyanto
et al, penterjemah; Denzin, K. Norman
and
Linclons.
Yvonna,
editor.
Handbook
of
Qualitative
Research.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Terjemahan
dari:
Handbook
of
Qualitative Research. 2000. Thousand
Oak, California (US) : Sage Publication
DeVito,
JA.
(2011).
Komunikasi
Antarmanusia. Maulana A, penerjemah.
Wahyu YI, Prihantini Y, editor.
Tangerang Selatan: Karisma Publishing
Group.
Dasgupta, S. (2009). Sonagachi Project: A
Case-Study Set India. McPhail TL,
187
Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 2, Desember 2013: 173-188
editor. Development Communication :
Reframing The Role of Media. Malden
(US),
Oxford
(GB):
Blackwell
Publishing Ltd.
Effendy, Onong Uchjana. (2005). Ilmu
Komunikasi: Teori dan Praktek.
Bandung: Rosdakarya
Herdiansyah,
H.
(2011).
Metodologi
Penelitian Kualitatif : untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta : Salemba Humanika
Kriyantono, R. (2006). Tekinik Praktis Riset
Komunikasi. Jakarta : Kencana.
Lubis, D. (2010). Komunikasi dan
Pembangunan. Di dalam : Hubeis AVS,
editor. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor
: Sains KPM IPB Pr.
Mardikanto, T. (2010). Konsep-Konsep
Pemberdayaan Masyarakat : Acuan
Bagi Aparat Birokrasi, Akademisi,
Praktisi
dan
Minat/Permerhati
Pemberdayaan Masyarakat, Surakarta :
UNS Press.
Milles MB, Huberman AM. (2007). Analisis
Data Kualitatif. Penerjemah: Tjetjep
Rohendi Rohidi, Jakarta: UI Press.
Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi:
Suatu
Pengantar.
Bandung:
Rosdakarya.
Nasution,
Z.
(2009).
Komunikasi
Pembangunan: Pengenalan Teori dan
Penerapannya. Jakarta: Rajawali Pr.
Payne, M. (1997). Modern Social Work
Theory. Second Edition, London:
McMillan Press Ltd.
188
Rangkuti,
PA.
(2011).
Komunikasi
Pembangunan
dan
Mekanisasi
Pertanian. Bogor: IPB Pers.
Sulistiyani', Ambar' Teguh. (2004). Kemitraan
dan
Model-Model
Pemberdayaan'
Yogyakarta: Gaya Media.
Syahyuti. (2006). Tiga Puluh Konsep Penting
Dalam Pembangunan Pedesaan dan
Pertanian : Penjelasan tentang Konsep,
Istilah, Teori, Indikator serta Variabel,
Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Tesis/Laporan Penelitian:
Muchlis, F. (2009). Analisis Komunikasi
Partisipatif
dalam
Program
Pemberdayaan Masyarakat (Studi
Kasus pada Implementasi Musyawarah
dalam PNPM Mandiri Perdesaan di
Desa Teluk Kecamatan Pemayung
Kabupaten Batang Hari) [Tesis]. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Satriani, I. (2011). Komunikasi Partisipatif
pada Program Pos Pemberdayaan
Keluarga (Studi Kasus di RW 05
Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor
Barat Kota Bogor) [Tesis] Mayor
Komunikasi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Suswanto. B. (2011). Model Psikologi
Humanistik
Pasca
Penangkapan
Terorisme di Provinsi Jawa Tengah.
Purwokerto: LPPM Unsoed.
Download