Muhammad Harismatulloh Sanjaya

advertisement
ANALISIS PELAKSANAAN DISKRESI FUNGSIONAL DALAM PROSES
PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA
Oleh :
Muhammad Harismatulloh Sanjaya. bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Unila, email: [email protected], Firganefi, Tri Andrisman, Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila, Jl. Soemantri Brodjonegoro No.1
Bandar Lampung 35145.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan diskresi fungsional dalam
proses penyidikan perkara tindak pidana dan apakah faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses penyidikan tindak
pidana. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diketahui bahwa pelaksanaan diskresi fungsional dalam proses
penyidikan perkara tindak pidana diskresi oleh seorang petugas Polisi dimulai dari
proses pemanggilan, penangkapan, pemeriksaan tersangka dimana letak
munculnya diskresi dalam proses penyidikan, mengenai tindakan penyidikan
tersebut terdapat tindakan diskresi dalam proses penyidikan oleh kepolisian yang
dimana pada proses penangkapan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
diskresi fungsional dalam proses penyidikan tindak pidana antara lain adalah
faktor hukum, faktor aparatur penegak gukum, fakto fasilitas dan faktor
masyarakat.
Kata Kunci: Pelaksanaan, Diskresi Fungsional, Penyidikan
2
ABSTRACT
This study aims to determine the functional implementation of discretion in the
process of criminal case investigation and whether the factors that affect the
implementation of functional discretion in the process of criminal investigations.
The approach used is a matter normative juridical and judicial approach
empirically supported premises. Based on the results of research and discussion
note that the implementation of functional discretion in the process of
investigating criminal cases by the discretion of a police officer starts from the
calling process, the arrest, the suspect examination where is the emergence of
discretion in the investigation process, the investigation of the actions are
discretionary actions by the police in the investigation process that where the
arrest process. Factors affecting the implementation of functional discretion in the
process of criminal investigations include legal factors, factors gukum
enforcement agencies, and facilities facto community factors.
Keywords: Implementation, Functional Discretion, Investigation
I. PENDAHULUAN
Diskresi merupakan kewenangan
polisi untuk mengambil keputusan
atau memilih berbagai tindakan
dalam
menyelesaikan
masalah
pelanggaran hukum atau perkara
pidana yang ditanganinya. Tindakan
diskresi dapat dibedakan menjadi ;
(1) tindakan diskresi yang dilakukan
oleh petugas kepolisian secara
individu
dalam
mengambil
keputusan tersebut; (2) tindakan
diskresi yang beradasar petunjuk
atau
keputusan
atasan
atau
pimpinanannya.1
Manfaat diskresi dalam penanganan
masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat antara lain adalah
sebagai salah satu cara pembangunan
moral petugas kepolisian dan
meningkatkan cakrawala intelektual
petugas dalam menyiapkan dirinya
untuk mengatur orang lain dengan
rasa keadilan bukannya dengan
kesewenang - wenangan.
Kenyataannya hukum memang tidak
bisa secara kaku untuk diberlakukan
kepada siapapun dan dalam kondisi
apapun seperti yang tercantum dalam
bunyi
perundang-undangan.
Pandangan yang sempit didalam
hukum pidana bukan saja tidak
sesuai dengan tujuan hukum pidana,
tetapi akan membawa akibat
kehidupan masyarakat menjadi berat,
susah dan tidak menyenangkan. Hal
ini dikarenakan segala gerak
aktivitas masyarakat diatur atau
dikenakan sanksi oleh peraturan.
Jalan keluar untuk mengatasi
1
http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2
012/01/13/kejahatan-korporasi-dalamdiskusi-bersama-prof-koesparmonoirsan, diakses 12 Februari 2013.
kekuatan-kekuatan itu oleh hukum
adalah diserahkan kepada petugas
penegak hukum itu sendiri untuk
menguji setiap perkara yang masuk
didalam proses, untuk selanjutnya
diadakan penyaringan-penyaringan
yang dalam hal ini disebut dengan
diskresi.
Berdasarkan hal tersebut maka
apabila berbicara soal diskresi
kepolisian dalam sistem peradilan
pidana, maka akan ditemukan suatu
hubungan antara hukum, diskresi,
kepolisian, penyidikan dan sistem
peradilan pidana. Maka pokok
permasalahan yang akan dikaji pada
hakekatnya
adalah
bekerjanya
hukum dan diskresi kepolisian itu.
Polisi mempunyai peran yang sangat
besar didalam penegakan hukum
pidana. Polisi sebagai bagian dari
aparat penegak hukum merupakan
salah satu subsistem yang bertugas
dalam
bidang
penyidik
dan
penyelidik tindak pidana. Kedudukan
Polri sebagai penegak hukum
tersebut ditetapkan dalam Undangundang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam Pasal 2 bahwa:
“Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat”.
Ketentuan pasal di atas dapat terlihat
dengan jelas bahwa Polri dalam
kedudukannya
sebagai
aparat
penegak hukum mempunyai fungsi
menegakkan hukum di bidang
yudisial, tugas preventif maupun
represif.
Sehingga
dengan
dimilikinya kewenangan diskresi
dibidang yudisial yang tertuang
dalam UU No 2 tahun 2002 pada
4
Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk
kepentingan
umum
pejabat
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri”, maka
akan menjadi masalah apabila
dengan adanya diskresi ini justru
malah
merangsang
atau
memudahkan
penyalahgunaan
kekuasaan oleh polisi.
Luasnya kekuasaan yang dimiliki
oleh polisi, mempunyai potensi
kekuasaan itu disalahgunakan untuk
keuntungan diri sendiri, kelompok
maupun organisasi lain. Padahal
penggunaan kekuasaan diskresi yang
diberikan oleh pembuat undangundang sebenarnya apabila jalur
hukum yang disediakan untuk
menyelesaikan suatu masalah malah
menjadi kurang efisien, kurang ada
manfaatnya maupun macet. Ditinjau
dari
sudut
hukumpun
setiap
kekuasaan akan dilandasi dan
dibatasi oleh ketentuan hukum.
Namun, kekuasaan diskresi yang
begitu luas dan kurang jelas batasbatasnya
akan
menimbulkan
permasalahan
terutama
apabila
dikaitkan dengan asas-asas hukum
pidana yaitu asas kepastian hukum
dan hak asasi manusia.
Dalam penelitian ini perumusan
masalah dari masalah-masalah yang
diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah
pelaksanaan
diskresi fungsional dalam proses
penyidikan
perkara
tindak
pidana?
b. Apakah
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
diskresi fungsional dalam proses
penyidikan tindak pidana?
Pendekatan masalah yang digunakan
adalah pendekatan yuridis normatif
dan didukung denga pendekatan
yuridis empiris. Data yang digunakan
adalah data primer dan sekunder,
pengumpulan
data
dengan
wawancara, studi pustaka, dan studi
dokumen. Sedangkan pengolahan
data melalui tahap pemeriksaan data,
penandaan data, rekonstruksi data,
dan sistematisasi data. Data yang
sudah diolah kemudian disajikan
dalam
bentuk
uraian,
lalu
dintreprestasikan atau ditafsirkan
untuk dilakukan pembahasan dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian
untuk selanjutkan ditarik suatu
kesimpulan.
II. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Diskresi
Fungsional
Dalam
Proses
Penyidikan Perkara Tindak
Pidana
Adanya kewenangan penyidik untuk
dapat mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung
jawab
menjadi
dasar
bagi
pelaksanaan
diskresi
penyidik.
Kewenangan
tersebut
biasa
digunakan secara fungsional oleh
penyidik yang disebut sebagai
diskresi fungsional penyidik. Dengan
kewenangan ini, seorang penyidik
dapat mengambil keputusan/tindakan
demi
hukum
berdasarkan
penilaiannya sendiri.
Diskresi kepolisian dapat dilakukan
di dalam semua bentuk pelaksanaan
tugas kepolisian, baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat
represif. Dan tugas represif tersebut
dapat dibagi menjadi represif
5
yustisial (penyidikan) dan represif
non
yustisial
(pemeliharaan
ketertiban).
Penyampingan
penanganan perkara tindak pidana
yang dilakukan oleh kepolisian
merupakan suatu tindakan diskresi,
tapi
tidak
semua
bentuk
penyampingan perkara dikatakana
diskresi kepolisian, karena tidak
sepenuhnya
perkara
tersebut
dikesampingkan.
Dalam
hal
penegakan hukum tindakan diskresi
yang diterapkan oleh Kepolisian juga
berlandaskan norma-norma yang
telah ditentukan oleh Kepolisian itu
sendiri.
Diskresi melibatkan pula hubungan
dan keterkaitan dengan code of
conduct (norma tingkah laku) dalam
arti standard atau prinsip atau aturan
tentang perilaku petugas penegak
hukum
atau
dalam
praktek
penegakan hukum. jika seorang
advokat/penasehat hukum datang ke
notaris agar si notaris mau
membuatkan
perjanjian
atau
pemyataan penyelsaian tentang suatu
kecelakaan
lalu
lintas
yang
materinya tentang ganti rugi dan
tidak saling menuntut perkara pidana
atau perdatanya. Maka di dalam
konteks ini terjadinya suatu diskresi
dalam menjalankan code of conductnya pula, sekalipun jelas perkara
kecelakaan itu pasti adalah perkara
pidana paling jelek Pasal 359 KUHP
di samping itu, maka si professiqnal
tersebut, terlibat dalam tidak
menjalankan atau menyampingkan
Pasal 395 KUHP tersebut.
Penerapan diskresi merupakan proses
pengambilan keputusan. Keputusan
polisi seyogyanya di buat secara
secara tepat dan arif. Pengambilan
keputusan secara tepat biasanya
didasarkan
pada
pertimbangan
yuridis, sedangkan pengambilan
keputusan secara arif didasarkan atas
pertimbangan
moral.
Pekerjaan
kepolisian adalah pekerjaan yang
hampir tidak bisa di control karena
sering kali melibatkan pertimbangan
moral.
Kepentingan untuk mendapatkan
pertimbangan
moral
dalam
penerapan
diskresi
kepolisian
semakin berarti mengingat karakter
konflik
yang
melekat
dalam
pekerjaan
penegakan
hukum.
Sebagaimana
dikemukakan
terdahulu, tugas kepolisian seringkali
dihadapkan pada situasi konflik
antara menegakkan hukum dan
menjamin kamtib. Konflik tersebut
semakin besar lagi mengingat
Negara kita sebagai negara yang
sedang berkembang.
Diskresi pada kepolisian ada dua
pola seperti yang dikatakana oleh
Dwi Purwanto diskresi yang di
terapkan adalah:
1. Di bidang kamtibmas ( keamanan
dan ketertiban masyarakat).
Semua anggota kepolisian secara
menyeluruh baik dari kalangan
pangk:d yang paling rendah sampai
pangkat yang paling tinggi memiliki
hak untuk melakukan tindakan
diskresi.
2. Di bidang penegakan hukum.
Diskresi kepolisian hanya dapat
dilakukan oleh penyidik dan
penyidik pembantu karena di dalam
penegakan hukum diperlukan orangoranp, yang memerlukan konpetensi,
intelejensi, serta kecakapan di dalani
bertindak.2
2
Hasil Wawancara Penulis Di
Kepolisian
Resor
Kota
Bandar
Lampung, pada hari senin tanggal 11
Februari 2013 pukul 10.00.
6
Diskresi kepolisian yang dilakukan
oleh semua jajaranya berpedoman
pada Asas kewajiban kepolisian, asas
kewajiban sering di gunakan di
dalam bidang kamtibmas (keamanan
dan ketertiban masyarakat). Salah
satu contoh anggota kepolisian yang
bertugas
dilapangan
yang
pangkatnya paling bawah atau
bayangkara dua, sabhara, ataupun
anggota lain yang pangkatnya lebih
tinggi dari itu. Tindakan diskresi
yang di lakukan adalah diskresi pada
bidang tugas Sabhara ini sering kali
diterapkan pada saat pelaksanaan
tugas patroli. Tujuan utama patroli
adalah untuk preventif, tetapi tidak
berarti apabila di temukan suatu
peristiwa yang memerlukan tindakan
represif maka polisi tidak bertindak.
Usaha preventif di maksudkan untuk
mencegah terjadinya kejahatan atau
pelanggaran dengan menghapuskan
factor kesempatan.
Sehubungan dengan hal itu terdapat
anggapan bahwa kejahatan atau
pelanggaran akan terjadi jika factor
niat
bertemu
dengan
factor
kesempatan.
Sedangkan
tujuan
represif arlalah untuk menindak
suatu kejahatan yang merupakan
gangguan terhadap keamanan dan
ketertiban umum. Tindakan yang di
maksud di sini adalah tindakan yang
di ambil oleh petugas apabila
menemukan tindak pidana yang
merupakan gangguan bagi ketertiban
dan keamanan umum. Peristiwa itu
belum merupakan tindak pidana,
tetapi
petugas
polisi
sudah
menindaknya dengan tujuan untuk
menghindari terlaksananya suatu
tindak pidana.
Sedangkan diskresi di dalam pola
penegakan hukum yang di terapkan
oleh
penyidik
atau
penyidik
pembantu adalah penyidik merasa
memiliki
kewenangan
untuk
menerapkan diskresi setelah melihat
dan mengkaji kasus-kasus yang di
tanganinya apakah bisa di terapkan
diskresi atau tidak semua. hal itu
penyidik maupun penyidik pembantu
semua kebijakannya harus ada
koordinasi terlebih dahulu dengan
pimpinannya. Intinya tergantung
atasan atau pimpinan.
Penerapan diskresi di dalam bidang
penegakan hukum Pasal 5 ayat I
huruf a, angka 4 KUHAP adalah:
yang di maksud dengan "tindakan
lain" adalah tindakan dari penyidikan
untuk kepentingan penyelidikan
dengan syarat:
a. Tidak
bertentangan
dengan
aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum
yang mengharuskam dilakukan
tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus dan masuk
akal dan temiasuk dalam
lingkungan jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak
berdasarkan keadaan memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia.
Penerapan diskresi di bidang
penegakan hukum Pasal 7 ayat (1)
huruf c KUHAP adalah: menyuruh
berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri
tersangka. Contoh kasus di dalam
penerapan diskresi di dalam bidang
penegakan hukum: Khusus tahun
2009 pada bagian kasat 1 operasional
dalam bidang Reskrim di Polresta
Bandar Lampung adalah:
Kasus l
Berkas
Perkara,
No.
Pol:
BP/410/41/2009/DIT
RESKRIM.
Laporan
Polisi
:
LP/K/65/III/2009/siaga operasional.
Tanggal 28 maret 2009. Perkara :
7
Tindak Pidana Perbankan. TKP : PT.
Bank Lampung. Tersangka :
wahyudin Amin. Pasal yang di
langgar : Pasal 49 ayat (2) huruf b.
UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah di ubah dengan UU No 10.
Tahun 1998 tentang Perbankan jo
pasal 55 ayat (1) ke 1. KUHP jo
Pasal 64 ayat (1) ke 1 KUHP.
pidana seperti yang telah di
kemukakan oleh penulis di atas
berdasarkan prinsip tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung
jawab, sebagai mana di sebutkan
dalam pasal-pasal dan UndangUndang yang menyangkut tentang
tindakan yang telah di terapkan di
atas.3
Kasus 2
Berkas
Perkara,
NO.
POL:
BP/86/XI/2009/DIT.
Reskrim.
Laporan
Polisi
:
LP/K/193/IX/2009/siaga operasional.
Tanggal 21 september 2007. Perkara:
dengan sengaja dan melawan hukum
penyuapan terhadap dengan pegawai
negeri atau pejabat penyelenggara
Negara maksud Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara agar berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya
yang
bertentangan
dengan kewajiban. TKP (tempat
kejadian perkara) : kantor lapas
Wayrui Kota Tanjung Karang.
Korban : Ruslan ALs. Mamiq Lilik
Als. Janggrat. Als Datuq. Tersangka:
sudarso. S.H. M.H. DKK. Pasal yang
di langgar: Pasal 5 ayat (2) UU NO.
20 Tahun 2001 dan atau Pasal 223
KUHP Jo. 426. KUHP.
Sebelumnya penulis juga telah
menanyakan
kepada
penyidik
pembantu yang menangani perkara
di dalam penerapan diskresi tantang
langkah-langkah pihak penyidik
pembantu di dalam menerapkan
diskresi pada kasus yang di
diskresikan. Telah di kemukakan
oleh Hasyim adalah:
a. Penilaian
penyidik
tentang
kasusnya
menyimpulkan
keterangan yang di perlukan dari
tersangka sudah cukup.
b. tersangka tidak melarikan diri,
karena semua identititas dan
tempat
tinggal,
pekerjaan
tersangka segalanya jelas
c. tidak akan menghilangkan barang
bukti.
d. tersangka tidak akan mengulangi
perbuatannya.4
Alasan yang dikemukakan oleh
penyidik tentang penerapan diskresi
kepolisian pada wawancara penulis
dengan pihak kepolisian yaitu
penyidik Dwi Purwanto dikantor
Polrsta Bandar Lampung, dalam
kasus yang telah di terapkannya
diskresi di atas, pihak penyidik
kepolisian memerintahkan kepada
tersangka yang tidak di tahan untuk
wajib lapor karena pihak kepolisian
hat tersebut di anggap sah dan
berdasarkan hukum. Atas tindakan
tersebut pihak penyidik kepolisian
penerapan diskresi pada kasus-kasus
Panarapan diskresi yang di lakukan
oleh pihak penyidik kepolisian
terhadap
tersangka
dengan
berlandaskan regulasi-regulasi yang
telah di jelaskan di atas bukan tidak
ada batasanya akan tetapi di berikan
batasan secara limitative di dalam
Pasal 16 ayat ( 2 ) UU No.2 Tahun
2002 tentang kepolisian yaitu:
3
Hasil Wawancara Penulis Di
Kepolisian Daerah Lampung, pada hari
senin tanggal 11 Februari 2013 pukul
10.00.
4
Hasil Wawancara Penulis Di
Kepolisian
Resor
Kota
BandarLampung, pada hari senin
tanggal 11 Februari 2013 pukul 10.00.
8
1. tidak bertentangan dengan suatu
aturan hukum;
2. selaras dengan kewajiban hukum
yang mengharuskan tindakan
tersebut di lakukan;
3. harus patut, masuk akal, dan
termasuk dalam lingkungan
jabatanya;
1) harus patut, masuk akal, dan
termasuk dalam lingkungan
jabatanya;
2) pertimbangan yang layak
berdasarkan
berdasarkan
keadaan memaksa;
3) menghormati
hak
azasi
manusia.
Selain pasal-pasal yang telah di
jelaskan di atas, pasal-pasal ini juga
menjelaskan tentang penerapan
diskresi Kepolisian yang menjadi
(landasan atau acuan di dalam
bertindak.
Berdasarkan uraian di atas, undangundang memberikan wewenang yang
begitu besar kepada polisi dalam
rangka melaksanakan tugasnya,
sehingga tidak salah kiranya jika
tindakan-tindakan kepolisian tersebut
perlu diimbangi dengan adanya
pengawasan-pengawasan dan harus
dapat dipertanggungjawabkan oleh
ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku
agar
tidak
terjadi
penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini
dikarenakan antara subsistem yang
satu dengan yang lainnya terdapat
keterkaitan satu dengan yang
lainnnya. Ketidaksempurnaan kerja
dalam salah satu subsistem, akan
menimbulkan
dampak
pada
subsistem-subsistem
lainnya.
Demikian pula, reaksi yang timbul
sebagai akibat kesalahan pada salah
satu subsistem akan menimbulkan
dampak kembali pada subsistem
yang lainnya. Dengan demikian
mencegah
masyarakat
menjadi
korban kejahatan, bukan saja
tanggungjawab kepolisian, tetapi
kejaksaan dan pengadilan juga turut
bertanggungjawab melalui putusan
yang dirasakan tidak adil oleh
masyarakat.
Gambaran di atas lebih sebagai hal
yang ideal. Akan tetapi pada
kenyataanya, berbagai variabel diluar
sistem peradilam pidana, justru
potensial sebagai variabel yang
mempengaruhi efektif atau tidaknya
kerja sistem.Karena cakupan yang
demikian maka sistem peradilan
pidana lebih berdimensi kebijakan
lewat
suatu
sistem
untuk
menanggulangi masalah kejahatan.
Pada titik ini jelas bahwa penegakan
hukum lewat sistem peradilan pidana
merupakan bagian dari kebijakan
perlindungan masyarakat untuk
mencapai dan menikmati kedamaian
serta kesejahteraan. Apabila hukum
pidana hendak dilibatkan dalam
usaha mengatasi segi-segi negatif
dari perkembangan masyarakat,
maka hendaknya dilihat dalam
hubungannya dengan keseluruhan
politik kriminal atau kebijakankebijakan sosial. Bertitik tolak dari
hal tersebut dapat dikatakan bahwa
penegakan hukum pidana untuk
menanggulangi masalah kejahatan
tidak akan maksimal apabila tidak
terkait dan tidak searah dengan
kebijakan-kebijakan sosial lainnya.
B. Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Pelaksanaan
Diskresi Fungsional Dalam
Proses Penyidikan Tindak
Pidana.
Penegakan hukum adalah proses
pemberlakukan hukum diatur dalam
suatu undang-undang baik undang-
9
undang formal maupun undangundang materil. Penegakan hukum
dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pokok
penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktorfaktor
yang
mungkin
mempengaruhinya.
Faktor-faktor
tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktorfaktor
tersebut.
Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, dalam
hal ini dibatasi pada undangundang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
d. Faktor
masyarakat,
yakni
lingkungan
dimana
hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor
kebudayaan,
yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan
rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan
hidup.5
Berdasarkan apa yang sudah
dijelaskan oleh penulis tentang
diskresi di atas, tindakan diskresi
yang di lakukan oleh pihak-pihak
kepolisian merupakan langkah di
dalam mengurangi tindak Pidana
dalam kamtihmas (keamanan dan
ketertiban masyarakat). Tindakan
diskresi adalah merupakan langkah
awal dari perbuatan pidana atau
sebelum perbuatan pidana itu di
lakukan, misalkan dengan situasi dan
kondisi yang besar peluang untuk
melakukan
kejahatan,
karena
kejahatan yang timbul bukan hanya
5
Soerjono Soekanto. Faktorfaktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 25
karena ada niat si pelaku akan tetapi
karena kondisi dan situasi yang
berpeluang sangat besar untuk
melakukan tindak pidana.Adapun
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi pemberian diskresi,
yaitu :
1. Faktor Hukumnya Sendiri
Adanya kesenjangan perundangumdangan sebagai landasan dan
pedoman bagi semua lembaga
penegak
hukum,
inkonsistensi
penerapan peraturan di lapangan
dalam
pelaksanaan
diskresi
Kepolisian yang paling sederhana
dapat dilihat pada beragamnya
batasan kewenangan pada peraturanperaturan yang terkait. Akibatnya
aparat penegak hukum membuat
putusan yang tidak konsisten dalam
suatu perkara yang memiliki
kemiripan unsur-unsur perbuatan.
Terkait
dengan
kewenangan
pemberian diskresi ini, bisa terjadi
karena adanya kesenjangan antara
peraturan hukum positif yang
berlaku dengan tuntutan atau
kepentingan tugas, misalnya:
a. Karena
kepentingan
yang
dilanggar tidak terlalu serius,
dianggap terlalu ringan, dan tak
merugikan orang banyak atau
kepentingan nusa dan bangsa.
b. Karena
peraturan-peraturan
hukum
yang
memberi
keleluasaan
petugas
untuk
memilih suatu tindakan-tindakan
tertentu.
Maka dengan demikian pemberian
diskresi dapat dipengaruhi oleh
pemikiran petugas terhadap faktor
hukumnya. Jadi dengan kenyataan
hukum yang demikian itulah faktor
hukum tersebut dapat mempengaruhi
10
penegak hukum khususnya dalam
pemberian diskresi Kepolisian.
2. Faktor Penegak hukum
Masalah ini merupakan hambatan
yang lain yang masih banyak terjadi
dalam menegakkan suatu ketentuan
hukum, dalam hal ini tingkat
intelegensi dan profesionalisme
aparat Kepolisian yang sangat
menentukan pengambilan tindakan
diskresi
kepolisian
tersebut.
Tindakan-tindakan penegak hukum
dalam mengambil keputusan sendiri
itu
memerlukan
kemampuan
intelektual, situasi, moral atau etika
dan tujuan yang dikehendaki. Hal
yang
demikian
itu
dapat
mempengaruhi setiap sikap dan
tindakan di dalam mempergunakan
wewenang diskresi itu. Faktor
petugas ini dipengaruhi oleh
kedudukan dan peran petugas dalam
menegakkan hukum. Lamanya masa
dinas
anggota,
jabatan/pangkat
anggota, pandangan anggota tentang
kasus tersebut dibandingkan kasus
lainnya dan tingkat frustrasi anggota
tentang tidak efektifnya sistim
peradilan pidana. Dengan demikian
bentuk pelanggaran dan keadaan
sipelanggar
ikut
menentukan
keputusan Polisi untuk menggunakan
diskresi. Otonomi petugas lapangan
dipengaruhi
berbagai
faktor,
sebagian besar tugas-tugas bawahan
tidak dapat direncanakan dengan
teliti karena sifatnya yang selalu
mendadak, seperti mendatangi TKP
dan melayani situasi darurat lainnya.
Para supervisor jarang dapat
melakukan pengawasan langsung
atas pelaksanaan tugas tersebut.
3. Faktor Masyarakat
Maksud dari faktor masyarakat, yaitu
dimana masyarakat baik korban
maupun pelaku atau tersangka tindak
pidana
yang
menginginkan
penyelesaian yang cepat tanpa
melalui pengadilan memberikan
akses bagi polisi untuk mengambil
tindakan diskresi. Di sisi lain juga
adanya
kurangnya
pemahaman
anggota masyarakat tentang diskresi,
karena sesungguhnya di dalam
membicarakan persoalan diskresi ini
titik sentralnya adalah pendapat atau
keyakinan si petugas terhadap
permasalahan yang dihadapi, tetapi
permasalahan yang dihadapi tak
terlepas dari orang yang dihadapi
oleh petugas itu. Jika petugas
menganggap
masyarakat
yang
dihadapi adalah warga negara yang
dilindungi,
dibina,
diayomi,
dibimbing, atau dilayani, maka
kecenderungan pemberian diskresi
akan lebih besar.
III. SIMPULAN
Berdasarkan
pada
perumusan
masalah dan pembahasan masalah
yang telah penulis uraikan pada babbab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan diskresi fungsional
dalam proses penyidikan perkara
tindak pidana diskresi oleh
seorang petugas Polisi dimulai
dari
proses
pemanggilan,
penangkapan,
pemeriksaan
tersangka
dimana
letak
munculnya diskresi dalam proses
penyidikan, mengenai tindakan
penyidikan tersebut terdapat
tindakan diskresi dalam proses
penyidikan oleh kepolisian yang
dimana
pada
proses
penangkapan.
Pelaksanaan
diskresi Kepolisian sendiri harus
dilakukan melalui pengawasan
yang ketat baik dari eksternal
maupun dari internal kepolisian
itu sendiri. Hal ini dibutuhkan
11
untuk menjaga profesionalisme
serta kemandirian Polri terutama
ditengah
situasi
dinamika
kehidupan masyarakat Indonesia
saat ini. wewenang yang begitu
besar kepada polisi dalam rangka
melaksanakan tugasnya, sehingga
tidak salah kiranya jika tindakantindakan kepolisian tersebut perlu
diimbangi
dengan
adanya
pengawasan-pengawasan
dan
harus
dapat
dipertanggungjawabkan
oleh
ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan.
2. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
diskresi fungsional dalam proses
penyidikan tindak pidana antara
lain adalah faktor hukum di mana
adanya
kesenjangan
antara
peraturan hukum positif yang
berlaku dengan tuntutan atau
kepentingan tugas. Dari faktor
aparatur
dalam
mengambil
keputusan
memerlukan
kemampuan intelektual, situasi,
moral atau etika dan tujuan yang
dikehendaki. Lamanya masa
dinas anggota, jabatan/pangkat
anggota, pandangan anggota
tentang
kasus
tersebut
dibandingkan kasus lainnya dan
tingkat
efektifitas
sistim
peradilan pidana. Sedangkan dari
faktor masyarakat yang dihadapi
adalah warga negara yang
dilindungi, dibina, diayomi,
dibimbing, atau dilayani, maka
kecenderungan
pemberian
diskresi akan lebih besar.
Penerapan diskresi pada kasus tindak
pidana, pihak kepolisian sebaiknya
benar-benar obyektif bukan subyektif
atau melihat tersangka atau pelaku
tapi melihat bagaimana kasus yang
akan diterapkan tindakan diskresi di
perkenankan
atau
tidak
di
perkenankan di liat dari sisi perkara
yang di hadapinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 2002, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Atmasasmita, Romli, 2008, Bunga
Rampai
Hukum
Acara
Pidana, Armico, Bandung.
Ashshofa, Burhan, 1996, Metode
Penelitian Hukum, Rineka
Cipta, Jakarta.
Bassar, Sudradjat, 1986, Tindaktindak
pidana
tertentu,
Remadja Karya, Bandung.
Soekanto. Soerjono, 2005, Faktorfaktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
________________,
2010,
Pengantar Penelitian Hukum,
UI Press, Jakarta,
Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Download