UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS PSIKOLOGI HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG BEKERJA Disusun Oleh : Nama : Ramon Diaz N.P.M : 10599179 N.I.R.M : 9931373800500339 Pembimbing : Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi. Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai Gelar Sarjana Satu (S1) DEPOK 2007 i LEMBAR PENGESAHAN Komisi Pembimbing No 1. 2. 3. Nama Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi Hendro Prabowo, S.Psi Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si Kedudukan Ketua Anggota Anggota Panitia Ujian No 1. 2. 3. 4. 5. Nama DR. Ravi Ahmad Salim Prof. DR. Wahyudi Priyono Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi Hendro Prabowo, S.Psi Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si Kedudukan Ketua Sekretaris Anggota Anggota Anggota Tanggal Lulus : 24 Maret 2007 Mengetahui Depok, ………………………. Pembimbing Bagian Sidang Ujian (Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi) ( Drs. Edi Sukirman, M.M ) ii HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG BEKERJA Ramon Diaz Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Motivasi berprestasi adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis. Motivasi berprestasi memiliki lima karakteristik yaitu resiko pemilihan tugas, membutuhkan umpan balik, ketekunan, tanggung jawab dan inovatif. Penelitian ini bersifat korelasional yang dilakukan terhadap 98 mahasiswa yang bekerja dari lima lembaga perguruan tinggi di Jakarta dan di Depok, dengan karakteristik antara lain berusia minimal 20 tahun, belum menikah, mengambil Strata Satu dari berbagai jurusan. Uji asumsi dalam penelitian ini yaitu uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov dan Shapiro-Wilk Test. Untuk nilai signifikan pada burnout adalah 0,000 (p<0,05). Skor signifikan pada motivasi berprestasi adalah 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu burnout dan motivasi berprestasi adalah tidak normal. Hasil uji linearitas burnout dengan motivasi berprestasi menunjukkan hasil yang linear dimana skor F sebesar 168,194 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Untuk selanjutnya data penelitian akan dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik non parametrik. Dengan menggunakan uji korelasi Karl Pearson, didapat koefesien korelasi (r) sebesar -0,798 dengan taraf signifikasi 0,000 (p<0,05). Hasil uji korelai tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hipotesis penelitian ini diterima dan hal ini berarti terdapat hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Kata kunci: burnout, motivasi berprestasi,mahasiswa yang bekerja iii Kupersembahkan Hasil Kerja Keras Ini Untuk Bapa yang di Sorga, Orang Tuaku tercinta, Gerry & Diaphenia kedua adikku tersayang, Priskila kekasihku, Sahabat-sahabat baikku, ini adalah hasil doa, dukungan dan semangat yang kalian berikan iv Cerek air walaupun sesak dengan air panas sampai ke lehernya, Ia tetap bernyanyi Orang yang paling sukses dan berbahagia adalah orang yang menikmati segala keadaan dengan bersyukur v KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugerah-Nya penulisan skripsi dengan judul: HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG BEKERJA, dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, meskipun penulis telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada. Penulis juga menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Ibu Prof. Dr. E. S. Margianti SE., MM., selaku Rektor Universitas Gunadarma. 2. Ibu Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar dan penuh pengertian memberikan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi. “Makasih ya Bu….” 3. Kedua Orang tuaku, Gerry, dan Peni “Terima kasih buat semuanya ... aku sayang kalian ...” 4. Priskila Agustini yang selalu setia mendoakan, memberi semangat serta dukungan juga mendengarkan keluhan-keluhan penulis selama ini. “Thanks my dear …!!” 5. Keluarga Bapak Luhut Panggabean, seisi Pastori serta Jemaat GPI Cibubur. “Makasih buat doa dan dukungannya…” 6. Aldie & Nain, Pendukung paling setia “Makasih buat pertolongannya…aku doain sukses ya!” 7. Keluarga Bapak Philipus yang selalu mendoakan dan mendukung selama ini. “ Makasih Pak dan Umi “ 8. Sahabat juga adik-adikku yang luar biasa Asiando & Yohanes “Keep the faith and thanks for the support” vi 9. Bro Silvanus Makalew, Admin Server Danamon Bank, Jawa Barat. “Thanks Bro …Ini Orang Danamon kan?!”. 10. Direktur PT. TM, Nopa Echo Raymond. “Thanks for some thinking…and the night shift ...!!!” 11. M. Oscar S. Petualang PRO-XL. “Thanks for your pray … when is the next trip?” 12. G. I. Fellowship, Natan, Yosia, Budi dan kawan-kawan seperjuangan. “Thanks for always encourage me …” 13. Mahasiswa-mahasiswi UI, UP, Gunadarma, STMIK Nusa Mandiri, dan Yarsi. “Thanks dah ngisi angket, selamat belajar dan bekerja.!!” Serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang tidak disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para rekan mahasiswa maupun semua pihak yang terkait. Jakarta, 24 Maret 2007 Penulis ( vii Ramon Diaz ) DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii ABSTRAKSI ............................................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iv HALAMAN MOTTO ............................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Penelitian .................................................................. 1 B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5 C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 5 BAB II :TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 6 A. Motivasi Berprestasi Akademis ........................................................ 6 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis ................................... 6 2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis ............................... 10 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi Akademis ..................................................... 13 B. Burnout ............................................................................................. 14 1. Pengertian Burnout ....................................................................... 14 2. Dimensi Burnout ........................................................................... 19 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout .................................. 20 C. Mahasiswa ......................................................................................... 27 1. Pengertian Mahasiswa.................................................................... 27 2. Mahasiswa yang bekerja ................................................................ 28 viii D. Hubungan Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis Pada Mahasiswa yang bekerja .................................................................... 29 E. Hipotesis ............................................................................................ 31 BAB III :METODE PENELITIAN .................................................................... 32 A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian ........................................... 32 B. Definisi Operasional Variabel Penelitian .......................................... 32 C. Subjek Penelitian ............................................................................... 33 D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 33 E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data ............................... 36 F. Teknik Analisa Data .......................................................................... 37 BAB IV : PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ............................... 38 A. Pelaksanaan Penelitian ...................................................................... 38 B. Hasil Penelitian ................................................................................. 39 1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ..................................... 39 2. Uji Asumsi ..................................................................................... 41 3. Hasil Analisia Data ....................................................................... 43 4. Deskripsi Subjek ........................................................................... 44 C. Pembahasan ....................................................................................... 46 BAB V : PENUTUP ........................................................................................... 54 A. Simpulan ........................................................................................... 54 B. Saran .................................................................................................. 55 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 56 ix LAMPIRAN LAMPIRAN A Identitas dan jumlah Subjek Penelitian Data deskriptif Motivasi Berprestasi Akademis Data deskriptif Burnout Pie Chart data deskriptif LAMPIRAN B Hasil Uji Validitas & Reliabilitas Skala Motivasi Berprestasi Akademis Data Valid Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis Hasil Uji Validitas & Reliabilitas Burnout Data Valid Item Skala Burnout LAMPIRAN C UJI ASUMSI 1. Uji Normalitas 2. Uji Linearitas LAMPIRAN D Hasil Korelasi LAMPIRAN E Gambar LAMPIRAN F Alat Ukur x DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Penilaian pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis ............... 34 Tabel 2 : Tabel Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis ........ 34 Tabel 3 : Penilaian pada Skala Burnout ....................................................... 35 Tabel 4 : Tabel Sebaran Item Skala Burnout ............................................... 35 Tabel 5 : Tabel Distribusi Item Valid pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis ................................................................... 40 Tabel 6 : Tabel Distribusi Item Valid pada Skala Burnout .......................... 41 Tabel 7 : Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan SPSS 12.00 for Windows ................................................................ 43 Tabel 8 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Usia...................................... 44 Tabel 9 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ...................... 45 Tabel 10 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Status Tempat Tinggal ....... 45 Tabel 11 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Motivasi Mengambil Kuliah ......................................................................... 45 Tabel 12 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Waktu Khusus Belajar......... 46 Tabel 13 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Mengatasi Kesulitan Belajar............................................................................ 46 Tabel 14 : Rerata Empirik dan Rerata Hipotetik Skala Penelitian .................. 48 xi Tabel 15 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Prioritas .............................. 49 Tabel 16 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Hal-hal Yang Kurang Memuaskan di Tempat Kerja ......................................................... 51 Tabel 17 : Tabel Deskripsi Rerata Dimensi Burnout ..................................... 52 Tabel 18 : Tabel Deskripsi Rerata Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Akademis ..................................................... 52 xii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1: Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi dan variabel Burnout dengan SPSS 12.00 for Windows ............. 42 xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Memasuki akhir tahun 1970 laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mulai berkembang dengan cepat. Begitu banyak alat dan media yang dihasilkan dari berbagai inovasi yang bertujuan memajukan industri dalam berbagai bidang. Pada saat itu industri informasi-komunikasi, ekonomi dalam hal ini perbankan serta teknologi alat-alat rumah tangga hingga pabrik besar mulai mengalami perubahan serta perkembangan yang luar biasa. Perkembangan begitu terasa, dalam bidang informasi komunikasi terlihat dengan semakin berkembangnya industri surat kabar, radio serta pertelevisian. Dalam bidang ekonomi, pada saat itu perekonomian dunia semakin membaik terutama sektor perbankan dimana inovasi alat serta layanan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas untuk mulai menabung. Terlebih lagi di bidang teknologi, berbagai alat tercipta untuk berbagai keperluan, mulai dari peralatan rumah tangga, peralatan kantor, peralatan pendidikan, peralatan kesehatan hingga peralatan industri besar seperti pabrik. Dalam bidang pendidikan, banyak perguruan tinggi yang berpartisipasi untuk melakukan berbagai penelitian demi kemajuan industri. Kemajuan dan perkembangan tersebut terus berlanjut hingga memasuki tahun 1990 dimana laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi mengalami transformasi ke era komputerisasi yang lebih dikenal industri global (Wikipedia, 2005). Perubahan serta perkembangan tersebut tentu saja membangkitkan kompetisi diantara perusahaan-perusahan yang bergerak dalam industri informasikomunikasi, ekonomi, dan teknologi. Kinerja serta kemampuan karyawan mulai dituntut oleh perusahaan demi persaingan industri global. Bahkan beberapa perusahaan mulai menetapkan standar dalam penerimaan, seleksi serta 1 2 penempatan karyawan dan salah satu standar tersebut adalah tingkat pendidikan. Hal ini tentunya demi kemajuan serta eksistensi perusahaan dalam industri global. Standar tingkat pendidikan tersebut menyebabkan terjadi persaingan diantara karyawan selaku tenaga kerja dalam mempertahankan posisinya dari calon tenaga kerja baru dan juga meraih posisi atau jabatan yang lebih baik dalam perusahaan selain memiliki prestasi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab persaingan yang semakin meningkat diantara para karyawan maupun tenaga kerja baru maka diawal tahun 1980-an banyak karyawan yang mulai memikirkan bahkan kembali menduduki bangku kuliah di perguruan tinggi. Fenomena baru muncul, yaitu mahasiswa yang bekerja. Lulusan sekolah menengah atas dan setingkat yang tak mampu kuliah, memilih bekerja lebih dahulu, kemudian kuliah dengan hasil atau gaji yang didapatkan. Ada banyak individu yang adalah mahasiswa karena banyak hal kemudian bekerja untuk mencukupi biaya kuliah. Terlepas dari semua itu individu tersebut adalah mahasiswa yang berkewajiban untuk meraih prestasi akademis (Orsgaz dkk., 2001). Untuk meraih prestasi akademis yang baik ada faktor yang tidak dapat dilupakan yaitu motivasi berprestasi dalam hal ini motivasi berprestasi akademis. Dalam dunia bisnis, di sekolah, dan berbagai profesi, motivasi berprestasi menjadi suatu prediktor penting untuk kesuksesan. Pandangan umum juga memprediksi bahwa orang-orang yang paling sukses adalah orang-orang yang mempunyai dua motif, yaitu motivasi berprestasi dan motivasi berkompetisi yang kuat (Riyanti & Prabowo, 1998). Winkel (1991) mengatakan, bahwa dalam rangka belajar di sekolah atau di sebuah lembaga pendidikan, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi maksimal yang dimaksudkan, ditentukan oleh siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Motivasi berprestasi dapat dilihat seberapa sering dan baik mahasiswa itu sendiri dengan tekun menghadiri kuliah, kualitas pengerjaan tugas, seperti paper, quiz, dan ujian semester. 3 Kondisi tersebut menyebabkan banyak perguruan tinggi berusaha meningkatkan, motivasi mahasiswa untuk meraih prestasi akademis yang tinggi, antara lain dengan memberikan reward, seperti nilai tambah kehadiran, beasiswa kuliah, penghargaan, mengikutsertakan pada perlombaan ilmiah mahasiswa dan lainnya. Ini membuktikan betapa pentingnya motivasi berprestasi dalam mencapai prestasi akademis yang tinggi. Mahasiswa yang bekerja biasanya mengambil jam kuliah pada sore sampai malam hari, karena di pagi harinya mereka harus bekerja. Dapat dikatakan mahasiswa yang bekerja, sebagai individu memiliki status lain yaitu pegawai atau karyawan di suatu lembaga usaha (Sarwono, 1981). Dalam hal ini mahasiswa yang bekerja tentunya memiliki waktu yang sedikit dibanding mahasiswa yang tidak bekerja. Mahasiswa yang bekerja, harus mengelola waktu belajar dalam waktu yang sempit. Seringkali dalam kondisi lelah setelah pulang kantor, harus mengikuti kuliah, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan dengan terburuburu, bahkan bila terlalu lelah, banyak mahasiswa yang memutuskan untuk tidak mengikuti perkuliahan malam itu. Masalah lainnya, adalah berbagai problematika yang terjadi di tempat kerja dapat memberi dampak terhadap proses belajar mahasiswa yang bekerja. Masalah-masalah yang sering dihadapi di tempat kerja antara lain, rutinitas pekerjaan yang monoton, konflik dan hubungan yang tak harmonis sesama pegawai atau dengan atasan, persaingan yang ketat, tuntutan kerja yang makin bertambah, perkerjaan yang bertumpuk, serta gaji yang tak sesuai. Masalah tersebut adalah sedikit hal yang menyebabkan kelelahan baik emosi dan fisik pada karyawan (Dwivedi, 1981) Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout pada karyawan disetiap jenjang jabatan dan pekerjaan. Dalam sebuah artikel bertajuk “Membunuh Burnout, memanfaatkan Stress” pada harian Republika, 5 Agustus 1993 (dalam Sutjipto, 2001) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Cordes dan Daugherty (dalam Cooper 4 dkk., 2001) menjelaskan bahwa burnout adalah kelelahan yang amat sangat dimana membuat kinerja individu terhambat bahkan berhenti. Saat ini burnout menjadi masalah krusial di dunia kerja, karena seringkali menghambat laju kinerja para karyawan yang akhirnya merugikan perusahaan. Burnout seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan yang tinggi dalam kesehariaannya (Cooper dkk., 2001). Sebab itu banyak perusahaan mencari cara untuk membantu setiap karyawan yang ada untuk menanggulangi burnout di tempat kerja. Mohan (dalam Dwivedi, 1981) menjelaskan bahwa kelelahan yang disebabkan burnout di tempat kerja memberi dampak pada aktivitas lain dalam hidup karyawan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya perhatian pada sekitar, menurunnya kemampuan persepsi dan berpikir, menurunnya motivasi terhadap kegiatan lain, dan menurunnya kegiatan secara fisik dan mental di luar jam kerja. Narayan dan Shanmugam (dalam Dwivedi, 1981) sejak tahun 1971 sampai dengan 1973 melakukan penelitian terhadap kelelahan di kalangan karyawan dengan menggunakan berbagai alat ukur yang bertujuan mengukur tingkat kewaspadaan, konsentrasi, hubungan interpersonal serta istirahat kerja. Hasilnya menunjukan adanya penurunan motivasi, menurunnya kinerja inteligensi, bertambahnya tingkat kecelakaan kerja serta penurunan dalam seksualitas. Penelitian yang dilakukan Grenberger & Steinberg (dalam Santrock, 1990) menunjukkan adanya dampak yang dialami oleh mahasiswa yang bekerja, yaitu mereka sulit menyeimbangkan tuntutan di dunia kerja, pendidikan, keluarga dan teman-teman mereka. Sementara itu Steinberg (1993) menjelaskan bahwa 20 jam kerja perminggu akan memberi pengaruh yang kurang baik terhadap prestasi akademis maupun terhadap kondisi psikologis bagi mahasiswa yang bekerja. Spickard (2001) menjelaskan bahwa pada mahasiswa yang bekerja salah satu penyebab turunnya prestasi di bangku perkuliaan adalah faktor pekerjaan. Masalah di tempat kerja seperti rutinitas kerja, pekerjaan yang bertumpuk, persaingan yang ketat, dan hubungan yang kurang harmonis dengan sesama karyawan atau dengan atasan serta jenis pekerjaan yang berat menimbulkan kelelahan yang berat. Hal itu berdampak bagi motivasi berprestasi pada 5 mahasiswa yang bekerja. Pada mahasiswa yang bekerja masalah yang dihadapi di tempat kerja amat berpengaruh pada tingkat konsentrasi dan penalaran terhadap perkuliahan, serta stamina untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Uraian tersebut memberi gambaran bahwa kondisi di tempat kerja sangat berdampak pada kegiatan perkuliahan mahasiswa yang bekerja. Dengan uraian di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja? B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut ini : 1. Praktis : Menambah informasi bagi para mahasiswa khususnya yang bekerja terutama tentang hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi, sehingga dapat membantu para mahasiswa dalam mengcoping / menyikapi keadaan tersebut. 2. Teoritis : Memberikan masukan bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya ilmu Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Pendidikan, dengan mengungkap lebih jauh tentang burnout dan motivasi berprestasi serta hubungan antara kedua kedua konsep tersebut. Pada penelitian ini juga disusun skala burnout dan motivasi berprestasi yang akan menambah pengetahuan tentang pengembangan alat ukur psikologis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Berprestasi Akademis 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis Seorang gadis yang ingin menjadi dokter. Seorang lelaki yang berjuang untuk memiliki kekuasaan politik. Seseorang yang mengalami penderitaan yang hebat menginginkan kelegaan. Seseorang yang sangat kelaparan dan hanya berpikir tentang makanan. Seorang anak yang kesepian dan berharap memiliki teman. Seorang pria melakukan pembunuhan dan polisi mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut adalah balas dendam. Seorang wanita yang bekerja keras untuk mencapai rasa sukses dan mampu. Hal-hal tersebut adalah beberapa motif yang berperan dalam perilaku manusia. Motif menggerakkan secara keseluruhan mulai dari keinginan dasar, seperti lapar dan seks, sampai kepada hal yang rumit, yaitu motif-motif jangka panjang, seperti ambisi politik, keinginan untuk melayani kemanusiaan, atau kebutuhan untuk menguasai lingkungan sekitarnya (Morgan dkk., 1986). Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku itu didorong dan diarahkan pada tujuan.Contoh-contoh tersebut juga menunjukan bahwa perilaku yang mengarah pada suatu tujuan cenderung untuk menetap. Suatu istilah yang menunjuk kepada dorongan dan kekuatan yang menentukan keberhasilan perilaku yang yang tetap pada tujuan tertentu. Istilah itu adalah motivasi (Morgan dkk., 1986). Banyak sekali orang yang tertarik dengan kata motivasi, bahkan melakukan penyelidikan terhadap alasan mengapa seseorang melalukan suatu tindakan yang tidak biasanya (Hollyforde & Whiddet, 2003). Begitu banyak definisi dari motivasi.yang dikemukakan oleh para ahli. Baron (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) menyatakan bahwa motivasi adalah proses internal yang mengaktifkan, mengarahkan dan menjaga perilaku (terutama 6 7 perilaku yang memiliki tujuan). Seiring dengan pernyataan tersebut Robertson dan Smith (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003), menyatakan motivasi adalah suatu konsep psikologis yang terkait dengan kekuatan dan arah dari perilaku manusia. Atkinson (1964) memandang motivasi sebagai suatu disposisi latent yang berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Sepanjang disposisi tersebut belum terpenuhi maka ia akan selalu muncul kepermukaan. Heckhansen (dalam Asnawi, 2002) memberi pandangan tentang motivasi yaitu sesuatu yang potensial dalam diri manusia yang merupakan keadaan normal tetapi juga sangat menentukan bagaimana suatu situasi menjadi memuaskan. Teevan dan Smith memandangan motivasi sebagai suatu konstruksi yang mengaktifkan perilaku (dalam Asnawi, 2002). Terry dan Leslie (dalam Asnawi, 2002) menyatakan motivasi membuat orang bekerja lebih berprestasi. Dengan demikian motivasi dipandangnya sebagai suatu daya dorong untuk berbuat sesuatu dalam kapasitas dan produktivitas optimal atau maksimal. Asnawi (2002) berpendapat motivasi adalah konstruksi dan proses interaksi antara harapan dan kenyataan masa yang akan datang baik dalam jangka pendek, sedang atau panjang. McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) merupakan salah satu tokoh penganut teori konten, yaitu menekankan pada faktor “apa” yang ada dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tersebut berperilaku tertentu. McClelland mengatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan yang menyebabkan mereka terdorong untuk berperilaku untuk mengurangi atau memenuhinya. Sebab itu seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada pemuasan dari kebutuhan mereka. Pada awalnya McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) menganut suatu pemahaman bahwa motif seseorang telah terbentuk atau dipelajari sejak masa dini, dan sekali motif tersebut terbentuk maka akan sukar untuk mengubahnya. Dengan latar belakang pemahaman tersebut McClelland tertarik untuk meneliti apakah benar motif tersebut tidak dapat diubah. Ternyata dalam hasil pengamatannya lebih lanjut, banyak hal yang dapat merubah motivasi seseorang, 8 contohnya motif seseorang dapat berubah saat seseorang sakit dan sembuh atau mengalami jatuh cinta. Menurut McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) pada saat itu, motivasi adalah pengungkapan kembali (tujuan) oleh isyarat perubahan dalam situasi affektif. Pengungkapan kembali tersebut terjadi sebagai hasil dari pengalaman sebelumnya, seperti contoh seorang yang sakit dan akhirnya sembuh. Motif dapat muncul dan dipelajari karena adanya perubahan suasana hati yang timbul karena adanya perbedaan harapan dan kenyataan yang diamati. McClelland (dalam McCelland dkk, 1953), mengungkapkan dalam mendefinisikan motif harus dibedakan jenis harapan yang terlibat didalamnya, kemudian dasar tindakkan, yaitu sampai dimana harapan-harapan tersebut dapat menjadi suatu tujuan yang dapat dicapai. McClelland (dalam McCelland dkk., 1953), mengemukakan ada beberapa jenis motivasi yang cenderung ditampilkan dalam perilaku sehari-hari. Motif-motif tersebut disebut juga motif sosial, yaitu: 1) Motivasi Berprestasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dengan menitik beratkan kepada pencapaian prestasi tertentu. 2) Motivasi Berafiliasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang dalam berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan. 3) Motivasi Berkuasa, merupakan motif yang mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai kepuasan dengan menguasai dan mempengaruhi orang lain. McClelland (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) merasakan bahwa motivasi berprestasi sangat berperan dalam semua budaya kehidupan manusia, karna semua manusia dari berbagai latar selalu berusaha mencapai keberhasilan dan menjauhi kegagalan. Hal ini adalah hasil pembelajaran bahwa dalam keseluruhanya masyarakat selalu memberikan penghargaan terhadap keberhasilan (berupa pujian, topik pembicaraan) begitu juga dalam keluarga (berupa pelukan, senyuman dan sanjungan). Oleh karena itu apabila seseorang selalu berusaha 9 mengerjakan yang lebih baik maka dapat dikatakan mempunyai motivasi berprestasi tinggi. Asnawi (2002) menjelaskan Motivasi berprestasi berhubungan dengan kemampuan untuk mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang tinggi, bersaing melalui usaha keras, untuk mengungguli orang lain. McClelland dan Burnham (dalam Asnawi, 2002) menjelaskan motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih efesien dari sebelumnya. Sedangkan Dwivedi dan Herbert (Dwivedi, 1981) mengartikan motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standarnya sendiri maupun orang lain. Menurut Davis (Hollyforde dan Whiddet, 2003), motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan, sehingga menyebabkan individu bekerja lebih baik lagi. Gage dan Berliner (1992) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah motivasi untuk sukses, untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu hal. Hollyforde dan Whiddet (2003) menyatakan basis dari motivasi berprestasi adalah kekuatan untuk mencapai kesuksesan. Tentunya setiap individu memiliki definisi tentang kesuksesan pada diri mereka masing. Semakin sukses seseorang mencapai tujuannya, semakin seseorang tersebut memiliki kepuasan dan pengalaman dalam pencapaiannya, sebab itu mereka akan berjuang untuk melakukan dan mendapatkan hal tersebut di masa yang akan datang. Atkinson (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai sebuah kemampuan untuk mengalami kebanggaan dalam penyelesaian tugas demi tugas. Semakin seseorang berhasil dalam suatu tugas yang sama semakin berkurang dorongan pencapaian yang maksimal untuk menyelesaikannya. Hal ini disebabkan adanya suatu asumsi semakin besar rasa pencapaian tugas apabila seseorang diberikan kesempatan menyelesaikan tugas yang lebih sulit dari pada tugas sebelumnya atau tugas yang lebih mudah. Murray (dalam Chaplin, 1999) mendefinisikannya dengan bahasa yang lebih mudah, yaitu motivasi berprestasi adalah motif untuk mengatasi rintangan- 10 rintangan, atau berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaanpekerjaan yang sulit. Istilah akademis sangat terkait hubungannya dengan aktivitas keilmuan dan lembaganya seperti sekolah dan perguruan tinggi dimana terjadi proses belajar mengajar. Winkel (1991) menjelaskan bahwa dalam rangka aktivitas belajar di sekolah, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi belajar yang maksimal yang dimaksud adalah penentuan dari siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan seluruh uraian di atas serta definisi-definisi tentang motivasi dan motivasi berprestasi dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis. 2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis Tingkat dimana orang dengan motivasi berprestasi yang kuat dapat menunjukan perilaku yang berorientasi ke prestasi tergantung banyak faktor (Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1998). Salah satu faktor itu adalah -takut akan kegagalan- yang dikatakan menghambat pemunculan perilaku berprestasi (Atkinson; Atkinson & Birch; Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1996). Untuk orang yang takut gagal biasanya kebutuhan berprestasinya relatif rendah, motivasi berprestasi mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara (McClelland & Winter; Hoyenga & Hoyenga; Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1998). a. Resiko Pemilihan Tugas Orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi lebih suka bekerja dengan tantangan yang moderat yang menjanjikan kesuksesan. Mereka tidak suka 11 melakukan pekerjaan yang mudah, dimana tidak ada tantangan sehingga tidak ada kepuasan untuk kebutuhan berprestasinya, mereka juga tidak suka melakukan pekerjaan yang sulit dimana kemungkinan untuk suksesnya kecil. Jadi orang dengan motivasi berprestasi tinggi adalah orang yang realistis dalam memilih tugas, pekerjaan, dan lapangan kerja, yaitu mereka lebih suka mencocokkan antara kemampuan mereka dan apa yang dituntut dari tugas atau pekerjaan itu. Dalam konteks akademis maka tugas-tugas yang dimaksud adalah tugas yang didapat dalam perkuliahan, yaitu tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, contohnya laporan praktikum, makalah, presentasi dan lainnya. b. Membutuhkan Umpan balik Orang dengan motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dimana prestasi mereka dapat dibandingkan dengan prestasi orang lain; mereka menyukai umpan balik “bagaimana mereka melakukannya”. Umpan balik dibutuhkan agar dapat meningkatkan efektivitas dari apa yang dilakukan untuk dapat mencapai apa yang diinginkan (dalam Amir, 1995). Orang dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak menyukai umpan balik terutama karena mereka tidak suka jika kesalahan-kesalahan yang telah dibuatnya diketahui oleh orang lain. Umpan balik dalam konteks akademis yang dimaksud, dapat berupa saling membandingkan nilai hasil belajar antara lain seperti hasil ujian dan indeks prestasi. c. Ketekunan Orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung tetap mempertahankan pekerjaan yang sudah mereka capai yang berhubungan dengan karir atau merefleksikan ciri pribadi mereka (misalnya kecerdasan) yang dilibatkan untuk mencapai puncak. Cooper (dalam Oktarina, 2002) mengatakan bahwa orang dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau tekun dalam mengerjakan tugas walaupun tugas tersebut menjadi semakin sulit. Dalam konteks akademis, 12 siswa atau mahasiswa dengan hasrat berprestasi tinggi menpunyai keuletan. Sebaliknya orang yang memiliki motivasi rendah cenderung cepat menyerah apabila berhadapan dengan tugas yang semakin sulit. d. Tanggung Jawab Bila orang dengan motivasi berprestasi tinggi sukses, mereka cenderung menaikkan tingkat aspirasi mereka dalam cara yang realistis sehingga mereka akan terus bergerak ke tugas-tugas yang lebih menantang dan sulit. Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi merasa dirinya bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakan. Mereka akan berusaha untuk menyelesaikannya dan tidak akan meninggalakan tugas tersebut walau semakin sulit sebelum mereka menyelesaikannya (McClelland, 1961). e. Inovatif Orang dengan motivasi berprestasi tinggi senang bekerja dalam situasi dimana dia dapat mengontrol hasilnya, mereka bukan penjudi. McClelland (1961) menjelaskan orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung bertindak kreatif dengan mencari cara untuk menyelesaikan tugas seefesien dan seefektif mungkin. Menurut Hollyforde dan Whiddett (2003) karakteristik seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi yaitu: a. Individu tersebut bertanggung jawab atas hasil yang akan dicapai b. Individu tersebut menghendaki berbagai umpan balik terhadap hasil yang dicapai. c. Individu tersebut memiliki kriteria dari tingkat kesukaran jenis tugas yang diambil Asnawi (2002) menjelaskan manifestasi dari motivasi berprestasi akan terlihat pada beberapa cirri perilaku seperti: a. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya b. Mencari umpan balik terhadap perbuatannya 13 c. Memilih resiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif Dengan demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa uraian beberapa tokoh diatas memiliki beberapa kesamaan tentang karakteristik orang dengan motivasi berprestasi tinggi, yaitu: Ketekunan, Tanggung Jawab, Membutuhkan Umpan Balik, Resiko Pemilihan Tugas, dan Inovatif. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi Akademis Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain (Asnawi, 2002): a. Tingkah laku dan karakteristik yang ditiru anak oleh anak melalui observational learning. Anak-anak belajar dengan mengamati dan meniru orang tua serta orang lain yang dijadikan model. b. Harapan orang tua terhadap anak, dorongan orang tua agar anak mencapai prestasi yang maksimal c. Lingkungan d. Penekanan kemandirian Juvonen (2003) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu: a. Pola asuh terhadap anak, penanaman nilai serta cita-cita dari orang tua b. Lingkungan Sekitar, norma sosial serta harapan masyarakat disekitarnya c. Proses pembelajaran oleh anak itu sendiri Tokoh lainnya Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah: a. Pola asuh anak, dalam hal ini penanaman nilai serta harapan orang tua menjadi dorongan terkuat untuk berprestasi dengan maksimal b. Lingkungan, dimana asumsi dan nilai sosial yang ada memberi masukan serta perbandingan terhadap tujuan pencapaian. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi akademis adalah pola asuh anak, lingkungan sekitar serta proses pembelajaran dari seorang anak. 14 B. Burnout 1. Pengertian Burnout Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai sindrom burnout (Farber, 1991). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah seperti gedung yang terbakar tadi. Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang yang kronis (Freudenberger & Richelson dalam Farber, 1991). Deskripsi awal Freudenberger mengenai seseorang yang menderita karena sindrom burnout sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa: " ….dan anda menempatkan sebagian besar diri anda di dalam pekerjaan. Anda secara gradual terbentuk di dalam lingkungan sekitar anda dan di dalam diri anda sendiri ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda merasakan sense of commitment yang utuh" (Farber, 1991). Maksudnya adalah jika kita bekerja pada suatu pelayanan, misalnya guru, maka kita akan terbentuk secara keseluruhan oleh atmosfir layanan pembelajaran secara intens dengan membiarkan keterlibatan pribadi kita dan sumber emosi kita sampai pada akhirnya kita menemukan diri kita dalam keadaan kelelahan. 15 Gambaran tersebut menjelaskan, bahwa terdapat pemahaman awal mengenai burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena seseorang bekerja terlalu rutin, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanantekanan untuk memberi lebih banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari klien/siswa yang amat membutuhkan, dan dari kepungan para administrator (penilik/pengawas dan sebagainya). Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa bersalah, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi dengan lebih besar. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka, maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya sumber diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau frustrasi yang disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger dalam Farber, 1991) Penelitian tentang burnout sendiri sebenarnya telah berlangsung selama 20 tahun (Schaufeli dkk., 1993) sehingga menghasilkan berbagai ragam pengertian. Maslach dan Jackson dalam penelitiannya tersebut tentang burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang kesehatan mental, bidang pelayanan kesehatan, bidang pelayanan sosial, bidang penegakan hukum, maupun bidang pendidikan, dalam perkembangannya telah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam memahami burnout. Mereka menemukan bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, maupun penurunan pencapaian prestasi pribadi (Schaufeli dkk., 1993). Kemudian Pines dan Aronson (1989) mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, emosional dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh tuntutan emosional. Menurut mereka burnout dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor pelayanan sosial yang cukup lama. Pada jenis pekerjaan tersebut, menurutnya, seseorang menghadapi tuntutan dari klien, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan 16 yang adekuat terhadap kinerja pemberi layanan. Situasi menghadapi tuntutan dari penerima layanan menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional. Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang minimal. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut menurut Pines dan Aronson (dalam Wally & Huby, 2000) adalah: a. Kelelahan fisik, yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi fisik. Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, rasa ngilu, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih yang kronis, dan lemah. b. Kelelahan emosional, yaitu suatu kelelahan pada individu yang berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak berdaya dan depresi. Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang tiada henti, tidak dapat dikontrol, suka marah, gelisah, tidak peduli terhadap tujuan, tidak peduli dengan peserta didik orang lain, merasa tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya (Sutjipto, 2001). c. Kelelahan mental, yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi. Kelelahan mental ini dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal, tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih kasih, selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah, merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup (Sutjipto, 2001). 17 Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Pandangan Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freuddenberger bahwa seseorang memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak mereka capai pada awal bekerja. Ia merasa terpanggil untuk bekerja, sehingga idealisme mereka pun tinggi. Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami perubahan motivasi, mereka mengalami burnout (Greenberg & Baron, 1993). Baron, McKnight & Glass, Parker & Kulik (dalam Sarafino, 1998) memberi definisi bahwa burnout sebagai suatu kondisi kelelahan fisik dan psikososial yang kronis, timbul sebagai akibat derajat stress yang tinggi karena pengendalian diri yang kurang kuat. Sedangkan Taylor (1999) menjelaskan bahwa burnout merupakan resiko yang terjadi pada individu yang bekerja dalam menghadapi orang-orang yang kekurangan. Kreitner dan Kinicki (2000) mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan emosional dan sikap-sikap negative dari waktu ke waktu. Kreitner dan Kinicki menjelaskan sikap-sikap negatif tersebut antara lain adalah fatalisme, kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan, kekasaran, ketidak puasan dan melarikan diri. Berdasarkan definisi dan pandangan-pandangan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. 18 2. Dimensi Burnout Maslach menjelaskan bahwa pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat "asimetris" antara pemberi dan penerima pelayanan. Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa, atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber emosional. Maslach (Schaufeli dkk., 1993) mengemukakan bahwa burnout merupakan sindrom yang memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. a. Kelelahan Emosional Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis yang maksimal (Maslach, 2001). b. Depersonalisasi Depersonalisasi, menurut Maslach (Schaufeli dkk., 1993) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Ia menjelaskan depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan orang lain disekitarnya sebagai objek. Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi 19 kontak dengan sekitarnya, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap sekitarnya (Maslach, 2001). Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines & Aronson, 1988). Hal ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam pekerjaan. c. Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa penurunan pencapaian prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan orang lain di sekitarnya secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap orang lain di sekitarnya, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Menurut beberapa tokoh seperti Caputo, Farber, Cherniss, kedua hal ini secara umum merupakan sumber burnout (Schaufeli dkk., 1993). Namun, pandangan tersebut agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) berpendapat bahwa sumber utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan penerima pelayanan dalam jangka panjang. Namun, Maslach secara tersirat juga mengakui bahwa penting 20 mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga perlu untuk mengkaji faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout. Dengan demikian faktor timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1) karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan (3) keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan. a. Karakteristik Individu Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Schaufeli dkk., 1993). 1) Faktor demografik Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar. Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional. Proses sosialisasi pria cenderung dibesarkan dengan nilai kemandirian sehingga diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya, wanita dibesarkan lebih berorientasi pada kepentingan orang lain (yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang diharapkan berkembang dari dalam dirinya adalah sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap jenis kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional dengan orang lain akan rentan 21 terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional. Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang cukup signifikan antara masyarakat keturunan Afrika dengan masyarakat Caucasian, pada para pekerja pelayanan sosial. Masyarakat keturunan Afrika cederung memiliki burnout yang lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa terjadi karena mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan masyarakat yang menekankan pada hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa dengan hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik, menghadapi harapan yang tidak realistis. Di samping itu, kondisi masyarakat keturunan Afrika di Amerika Serikat telah terbiasa mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan karena adanya diskriminasi dan kemiskinan. Dengan latar belakang kehidupan seperti itu, maka akan mendorong individu lebih siap mental dalam menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang dapat menimbulkan burnout. Pada sisi usia, Farber (1991) menyatakan bahwa guru-guru di bawah usia empat puluh tahun paling berisiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan burnout. Demikian halnya dengan hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993), bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis. Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih banyak yang mengalami burnout daripada yang telah menikah (Farber, 1991). Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak, maka seseorang 22 yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: Pertama, Seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis; Kedua, keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional; Ketiga, kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan; Keempat, seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Schaufeli dkk., 1993). Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Schaufeli dkk., 1993). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang tidak berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu. Smith (dalam Caputo, 1991) dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada mereka yang bekerja secara penuh. 2) Faktor Kepribadian Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang idealis dan antusias (Pines & Aronson, 1989). Mereka adalah individu-individu yang memiliki sesuatu yang berharga. Pines (dalam Sutjipto, 2001) mencatat bahwa burnout lebih banyak terjadi pada nilai dan usaha sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan mereka. Bloch 23 (dalam Farber, 1991) menunjukkan bahwa guru-guru yang obsesional, penuh kasih, idealis, dan berdedikasi cenderung lebih rentan mengalami "sindrom guru yang terpukul". Suatu gangguan yang dipaparkan Bloch dengan cara yang hampir sama dengan yang dipaparkan orang lain mengenai burnout. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri. Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Ia menggambarkan bahwa karakteristik individu yang memiliki konsep diri rendah yaitu tidak percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah. Mereka pada umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga menjadi beban kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri. Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss, 1980). Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout. Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif, misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila emosi-emosi tersebut tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan emosional. 24 Menurut Kahn (dalam Cherniss, 1980) individu yang introvert akan mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat menghadapi konflik karena mereka cenderung menarik diri dari kerja, dan hal ini akan menghambat efektivitas penyelesaian konflik. Meehling (dalam Farber, 1991) menyatakan bahwa kepribadian seperti locus of control sebagai prediktor yang signifikan terhadap burnout guru. Rotter (dalam Cherniss,1980) menjelaskan bahwa individu dengan locus of control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami disebabkan oleh kekuatan di luar diri. Mereka meyakini bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi sehingga mudah menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis terhadap pekerjaan. Tuntutan emosional seringkali disebabkan oleh kombinasi antara harapan yang sangat tinggi dengan situasi stres yang kronis. b. Lingkungan Kerja Beberapa tokoh seperti Cherniss, Pines dan Aronson berpendapat masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout (Schaufeli dkk., 1993). Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani (kelas padat misalnya), tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, dan pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan kemampuan individu. Di samping itu, beban kerja yang berlebihan dapat mencakup segi kuantitatif yang berupa jumlah pekerjaan dan kualitatif yaitu tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus ditangani. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri untuk terlibat dengan klien (Schaufeli dkk., 1993). Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan burnout (Caputo; Cherniss; Pines & Aronson; Maslach dalam Sutjipto, 2001). Sisi positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja 25 yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat menghadapi masalah dengan klien (Schaufeli dkk., 1993). Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan kerja yang dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya hubungan antar rekan kerja yang buruk. Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan antar mereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, mencurigai dan saling bermusuhan. Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu: (1) perbedaan nilai pribadi, (2) perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan, dan (3) mengutamakan kepentingan pribadi dalam berkompetisi. Di samping dukungan sosial dari rekan kerja tersebut, dukungan sosial yang tidak ada dari atasan juga dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout (Cherniss; Pines & Aronson; Maslach dalam Sutjipto, 2002). Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan bermakna. Kahn (dalam Cherniss, 1980) mengemukakan bahwa adanya konflik peran merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan. Contohnya: (1) seorang guru diharapkan untuk menerapkan disiplin kepada siswa namun di sisi lain ia harus memperlihatkan perasaan kasih sayang, perhatian, rasa humor agar suasana pembelajaran dapat tercipta secara baik, (2) guru-guru ingin agar siswa yang hiperaktif tetap dipertahankan di sekolah namun pihak yayasan sekolah meminta agar siswa yang berkelakuan seperti itu harus dikeluarkan dari sekolah, dan (3) sebagai pekerja sosial ia harus melakukan kerja lembur namun sebagai seorang ibu ia juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga pula. Farber (1991) mengemukakan bahwa, keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat dengan pekerjaan guru, kritik masyarakat, pindah kerja yang tidak dikehendaki, kelas yang terlalu padat, kertas kerja yang berlebihan, bangunan fisik 26 sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan burnout. c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger dalam Farber, 1991). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antarmereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya. Para pekerja di bidang sosial sering menerima umpan balik yang negatif (Maslach; Caputo; Cherniss dalam Sutjipto, 2002). Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga individu kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Demikian halnya jika pemberi pelayanan dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab mereka menganggap bahwa memang seharusnya seperti itu. Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka, misalnya siswa dengan keterbelakangan mental. Dengan keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri pemberi pelayanan/guru akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima pelayanan. Pada sisi lainnya, karyawan sebagai pemberi pelayanan sering menghadapi karakteristik penerima pelayanan yang sulit ditangani atau klien yang bermasalah berat, dan hal ini akan mendatangkan stres emosional (Schaufeli dkk., 1993). Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) memberikan contoh situasi kerja yang menekan secara emosional, yaitu merawat pasien bagian psikiatri yang tidak mampu menolong diri sendiri. Individu terus dihadapkan pada kondisi yang menekan secara emosional akan mudah merasa kesal, marah, tertekan, jengkel, 27 dan perasaan tidak enak lainnya. Apalagi bila ditambah oleh perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik yang positif, maka akan turut menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan. C. Mahasiswa 1. Pengertian Mahasiswa Mahasiswa adalah sekelompok manusia yang berkecimpung dalam lembaga pendidikan dan dibina dengan etika ilmiah (Usman, 2001). Kehidupan mahasiswa tidak terlepas dari pendidikan dan penelitian. Mahasiswa umumnya masih relatif muda baik dalam usia maupun kematangan berpikir, artinya masih membutuhkan bimbingan orang tua atau dosen dalam setiap gerak dan tindakannya (Usman, 2001). Mahasiswa secara menyeluruh termasuk kategori tahap perkembangan dewasa awal (Hurlock, 1973). Menurut Hurlock (1973) mahasiswa berada dalam usia antara 19 tahun sampai dengan 26 tahun, mengalami transisi dari masa perkembangan remaja akhir ke pada tahapan berikutnya yaitu masa perkembangan dewasa awal. Penetapan usia ditahap masa perkembangan dewasa awal berbeda-beda diantara para ahli. Santrock (1990) menetapkan usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun sebagai tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) menjelaskan rentang usia 20 tahun sampai dengan 40 tahun sebagai tahap masa perkembangan dewasa awal. Walaupun demikian terdapat kesepakatan bahwa pada masa perkembangan dewasa awal, individu mulai menguji ide-ide mengenai diri dan dunia disekitarnya secara umum. Pada tahap dewasa muda mulai membentuk kemandirian dalam hal personal dan ekonomi. Melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi atau akademi, mengembangkan karir, serta membentuk hubungan sosial secara kelompok maupun yang mengarah pada perkawinan adalah tugas perkembangan yang menonjol pada tahap ini (Papalia & Olds, 1992). 28 Sternberg (2000), dalam periode ini, dipandang dari sudut psikologis mempunyai ciri yang serupa yakni dalam segi transisi biologis, transisi kognitif serta transisi sosial seperti berikut: a. Transisi biologis. Merujuk pada perubahan dalam penamilan fisik serta kemampuan reproduksi. b. Transisi kognitif. Dalam hal ini mahasiswa sudah mencapai kemantapan dalam taraf berpikir formal operasional yang ditandai dengan kemampuan berpikir secara hipotesis dan abstrak. c. Transisi sosial. Perubahan dari status remaja menuju status dewasa. Konsekuensinya mahasiswa diharapkan oleh lingkungannya untuk dapat berpikir dan bertindak sebagai orang dewasa. Secara umum pengertian-pengertian di atas menunjukakan suatu kesamaan yaitu, menyebutkan bahwa mahasiswa adalah sekelompok manusia yang berkecimpung dalam lembaga pendidikan dan dibina dalam etika ilmiah serta menjalani tahapan masa perkembangan dewasa awal. 2. Mahasiswa yang bekerja Fenomena mahasiswa yang bekerja sudah lama muncul dikalangan mahasiswa. Bass (dalam Stella, 2004) mengemukakan, mahasiswa bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mengaktualisasikan diri, serta mencari pengalaman dan relasi. Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) menjelaskan bahwa kuliah adalah waktu untuk mengungkap intelektual dan pertumbuhan personal. Bagi mahasiswa yang sedang memasuki tahap perkembangan dewasa awal, pendidikan di perguruan tinggi memberi kesempatan untuk menjawab asumsi-asumsi yang dimiliki sejak masa kanak-kanak dan oleh karena itu hal ini membentuk identitas diri dimasa dewasa. Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) juga berpendapat, penemuan dan pengenalan diri memberi peluang terhadap pemilihan karir yang baru dan realistik. 29 Spickard (2001) menjelaskan mengapa mahasiswa tersebut bekerja, salah satunya adalah untuk menguji kemampuan serta intelektualitas yang mereka asah di bangku perkuliahan dalam kondisi nyata yaitu di lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Mahasiswa yang bekerja biasanya menggunakan waktu luang mereka untuk melakukan pekerjaan. Bagi mahasiswa yang bekerja, mereka memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri (Spickard, 2001). Salah satu keuntungannya mereka telah melakukan penjajakan lebih awal terhadap karir yang mereka akan tempuh, hal ini memberi informasi melalui apa yang mereka alami di lapangan kerja. Kerugiannya, tidak sedikit mahasiswa yang bekerja mengalami permasalahan dalam pembagian waktu dan penyelesaian tugas dibangku kuliah berkaitan dengan pekerjaan mereka. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa bekerja adalah mahasiswa yang memberikan sebagian waktunya bukan hanya pada bangku perkuliahan, tetapi juga pada dunia kerja. D. Hubungan antara Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis pada Mahasiswa yang bekerja Dalam dunia kerja begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh sebuah institusi usaha seperti target produksi dan keuntungan, peningkatan produktivitas, penekanan biaya produksi, penjualan dan pemasaran, administrasi serta pemberdayaan baik sumber daya alam dan manusia (Dwivedi, 1981). Menurut Das (dalam Dwivedi, 1981) permasalahan tersebut memiliki kaitan dengan manusia selaku kunci dari tenaga kerja. Hubungan antar karyawan dan atasan, suasana dan tata tertib kerja, pembagian tanggung jawab dan tugas kerja sampai dengan pembayaran hak karyawan adalah sebagian permasalahan yang ada dalam dunia kerja. Kishore mengungkapkan (dalam Dwivedi, 1981) bila terjadi penanganan yang salah pada sumber daya manusia dalam dunia kerja akan berdampak buruk pada perusahaan sebagai institusi usaha. Permasalahan itu adalah ketidak puasan kerja, stress hingga burnout. 30 Bagi mahasiswa yang bekerja permasalahan yang mereka hadapi bukan hanya masalah belajar, akan tetapi bertambah dengan adanya tanggung jawab dan kewajiban mereka sebagai karyawan. Spickard (2001) dalam hasil penelitiannya sejak tahun 1997 terhadap para mahasiswa kedokteran yang mengalami penurunan prestasi belajar di Vanderbilt University Medical Center, Nashville, mengemukakan salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa adalah faktor pekerjaan yang diambil diwaktu luang mereka. Spickard menjelaskan masalah kerja yang berlebihan membuat para mahasiswa kedokteran tersebut mengalami tekanan yang berat terus menerus yang menghabiskan energi psikis mereka. Hal tersebut bukan hanya berdampak pada pekerjaan para mahasiswa tersebut, akan tetapi sisi kehidupan mereka yang lain seperti kehidupan sosial dan kehidupan pendidikan (Spickard, 2001). Penelitian yang dilakukan Shin, Rossario dan Morch (dalam Brian, 1999) terhadap 141 pekerja sosial dengan rentang usia 23 tahun sampai dengan 65 tahun mengenai coping terhadap burnout, menunjukkan bahwa pada rentang dibawah 25 tahun dengan status lajang dan menjalani studi mengalami kesulitan dalam melakukan coping. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan rentang dibawah 25 tahun yang masih studi mengalami kesulitan dalam membagi waktu dan prioritas kegiatan. Hal ini membuat mereka lebih cepat mengalami sindrom burnout, akibatnya konsentrasi kerja menurun, sikap yang kurang ramah terhadap penerima layanan, sering mengalami gangguan kesehatan ringan dan berat serta penurunan prestasi kerja maupun studi. Penelitian tentang kepuasan kerja dan burnout oleh Student Support Services Personel (SSSP) di Amerika, yang dilakukan oleh Brewer dan Clippard (1996) menunjukkan adanya kaitan permasalahan ditempat kerja yang menghasilkan burnout yang berdampak pada prestasi akademi para mahasiswa yang bekerja. Sampel yang diambil secara acak berjumlah 250 orang dari 1.702 populasi mahasiswa pada suatu fakultas. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout yaitu MBI (Maslach Burnout Inventory) dan untuk kepuasan kerja menggunakan JSS (Job Satisfaction Scale). Menunjukkan bahwa sebagian besar mereka yang mengalami burnout adalah mereka yang tidak mengalami 31 kepuasan kerja. Hasilnya, banyak mahasiswa yang bekerja tersebut mengalami penurunan prestasi akademis oleh karena sering izin sakit, membolos, lupa mengumpulkan tugas dan gagal ujian. Brewer (1996) mengemukakan bahwa ketidak puasan kerja yang berakibat turunnya prestasi akademis para mahasiswa yang bekerja disebabkan kondisi menurunnya motivasi berprestasi para mahasiswa yang bekerja terhadap tugas-tugas kerja serta tugas-tugas akademis. Dalam sebuah artikel berjudul “Burnout in Medical College Students” pada sebuah situs internet yang dipublikasikan oleh Patient Information Publications (1997), mengulas bahwa banyak mahasiswa kedokteran yang mengambil praktek kerja di rumah sakit terkena sindrom burnout, mengalami turunnya pencapaian prestasi pribadi yang berdampak pada motivasi berprestasi akademis para mahasiswa kedokteran di kampus. Akibatnya prestasi akademis para mahasiswa kedokteran tersebut menurun. Permasalahan ditempat kerja berdampak serius pada diri mahasiswa tersebut apabila tidak ditangani dengan baik. Hal tersebut memberi dampak pada sisi kehidupan akademis mereka. Turunnya motivasi untuk berprestasi dalam perkuliahan adalah salah satu hasilnya. E. Hipotesis Dari uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah, ada hubungan negatif antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis dimana semakin tinggi skor burnout maka semakin rendah skor motivasi berprestasi akademis, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor burnout maka semakin tinggi skor motivasi berprestasi akademis. BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian Dalam penelitian ini variabel yang akan dikaji adalah : 1. Prediktor : Burnout 2. Kriterium : Motivasi Berprestasi Akademis B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Definisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1. Burnout Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung serta idealisme yang tidak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini burnout diungkap melalui dimensi yang dikemukakan Maslach (2001) yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. 2. Motivasi Berprestasi Akademis Motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis, yang mengacu pada karakteristik yang dikemukakan oleh McClelland (1953). Karakteristik motivasi berprestasi akademis adalah sebagai berikut : tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. 32 33 Dari karakteristik yang telah dikemukakan di atas disusun skala motivasi berprestasi akademis yang dapat digunakan untuk mengukur variabel motivasi berprestasi akademis. C. Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa S1 yang bekerja minimal selama 1,5 tahun atau lebih dengan rentang usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi universitas di Jakarta dan sekitarnya. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah angket yang terdiri dari skala motivasi berprestasi akademis dan skala burnout sebagai berikut: 1. Skala Motivasi Berprestasi Akademis Motivasi berprestasi akademis diukur dengan skala motivasi berprestasi akademis yang disusun berdasarkan karakteristik sebagai berikut: tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. Bentuk skala yang digunakan adalah skala Likert. Pilihan yang diberikan antara lain: SS (Sangat sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Pernyataan skala terdiri dari pernyataan favorabel dan unfavorabel dengan penilaian sebagai berikut: 34 Tabel 1 Penilaian pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis Pilihan Favorabel Unfavorabel SS 4 1 S 3 2 TS 2 3 STS 1 4 Distribusi item pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis Nomor Item No 1 2 3 4 5 Karakteristik Favorabel Unfavorabel 1, 11, 16, 31, 6, 21, 26, 36, 46, 51 41, 56 Membutuhkan 2, 12, 17, 32, 7, 22, 27, 37, Umpan Balik 47, 52 42, 57 3, 13, 18, 33, 8, 23, 28, 38, 48, 53 43, 58 Resiko 4, 14, 19, 34, 9, 24, 29, 39, Pemilihan Tugas 49, 54 44, 59 5, 15, 20, 35, 10, 25, 30, 40, 50, 55 45, 60 30 30 Tanggung Jawab Inovatif Ketekunan Total Total 12 12 12 12 12 60 35 2. Skala Burnout Dalam penelitian ini burnout diukur dengan skala burnout yang disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Bentuk skala yang digunakan adalah skala Likert dengan pilihan sebagai berikut: Tp (Tidak pernah), Jr (Jarang), Kd (Kadang), Sr (Sering), Sl (Selalu). Pernyataan pada skala burnout hanya terdiri dari pernyataan favorabel dengan penilaian sebagai berikut: Tabel 3 Penilaian pada Skala Burnout Pilihan Tp Jr Kd Sr Sl Favorabel 1 2 3 4 5 Distribusi item pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4 Sebaran Item Skala Burnout No Nomor Item Dimensi Favorabel 1 Kelelahan Emosional 2 Depersonalisasi 3 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, 28 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, 23, 26, 29 Penurunan Pencapaian 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, Prestasi Pribadi 24, 27, 30 Total Total 10 10 10 30 36 E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data Validitas berkaitan dengan kesesuaian antara suatu konsep dengan indikator yang digunakan untuk mengukurnya (Prasetyo & Jannah, 2005). Azwar (1996) mengemukakan validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu instrimen pengukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, validitas menurut Chaplin (1999) yaitu bahwa alat-alat tersebut bisa mengukur menurut kenyataannya seperti yang dikehendaki untuk diukur. Reliabelitas berkaitan dengan keterandalan suatu indikator. Informasi yang ada pada indikator ini tidak berubah-ubah dengan kata lain konsisten (Prasetyo & Jannah, 2005). Menurut Azwar (1996) reliabelitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya bila suatu pengamatan dilakukan dengan perangkat ukur yang sama lebih dari satu kali, hasil pengamatan itu sama. Bila tidak sama, maka perangkat ukur tersebut tidak reliabel (Prasetyo & Jannah, 2005). Pada penelitian ini, skala motivasi berprestasi akademis dibuat berdasarkan karakteristik sebagai berikut: tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. Karakteristik tersebut digunakan untuk membuat serta menyusun item-item yang kuat untuk dijadikan sebuah alat tes yang berbentuk skala. Pada skala burnout, item-item dibuat dan disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Sebelum menjadi alat tes terlebih dahulu dilakukan validitas isi (content validity) pada kedua skala tersebut. Azwar (1996) mengemukakan pengujian validitas isi tidak melalui analisis statistika tetapi menggunakan analisis rasional. Lebih lanjut Azwar (1996) mengemukakan bahwa validitas isi telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah item-item dalam dalam tes yang telah ditulis sesuai dengan blueprint yaitu telah sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing item telah sesuai dengan indikator perilaku yang hendak diungkapnya. Selanjutnya kedua skala tersebut 37 dibentuk dalam angket dengan penampilan yang layak agar memberikan kemudahan serta menarik minat dalam pengisian alat tes. Kemudian pengujian validitas item untuk skala burnout dan motivasi berprestasi akademis menggunakan total item correlation dengan mengkorelasikan skor setiap item dengan total item yang dihitung dengan menggunakan formulasi korelasi product moment Karl Pearson yang dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows. Pengujian reliabilitas item menggunakan formula Alpha Cronbach yang dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows. F. Teknik Analisis Data Untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi digunakan korelasi product moment Karl Pearson dengan bantuan program SPSS ver 12.0 for windows. BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode try out terpakai. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 dan 14 November 2006 di beberapa perguruan tinggi. Pada hari Jumat, tanggal 10 November 2006 penyebaran kuesioner dilakukan di 3 perguruan tinggi yaitu Univesitas Gunadarma, Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila. Pada hari itu di masing-masing universitas disebarkan kuesioner sebanyak 50 eksemplar. Pembagian ditujukan hanya pada mahasiswa yang bekerja dengan menanyakan apakah mahasiwa tersebut bekerja atau tidak bekerja. Kuesioner yang kembali untuk Universitas Gunadarma sebanyak 50 Eksemplar, Universitas Indonesia sebanyak 21 Eksemplar, Universitas Pancasila 15 Eksemplar. Penyebaran di Universitas Gunadarma dilakukan antara pukul 19.40 Wib sampai dengan pukul 21.38 Wib di depan kampus D, Margonda Raya. Di Universitas Indonesia, penyebaran dilakukan di luar gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat dari pukul 18.40 Wib sampai dengan pukul 20.58 Wib. Penyebaran di Universitas Pancasila dilakukan dari pkl. 20.18 sampai 21.22 Wib di depan gerbang pintu masuk kampus. Penyebaran pada hari Selasa, tanggal 14 November 2006 dilakukan di dua perguruan tinggi yaitu di Universitas Yarsi, Cempaka Putih dan di STMIK Nusa Mandiri, Kramat-Jakarta. Kuesioner yang disebarkan di kedua perguruan tinggi tersebut masing-masing sejumlah 50 eksemplar. Kuesioner yang berhasil diperoleh kembali dari Univeritas Yarsi 11 eksemplar dan yang dapat diperoleh dari STMIK Nusa Mandiri sebanyak 10 eksemplar. Kondisi subjek penelitian pada saat disebarkan angket, menurut pengamatan penulis kebanyakan dalam keadaan tegang dan lelah. Di beberapa kampus yang dimana penulis mengambil data sempat terjadi kesalahan persepsi dengan angket 38 yang disebar, karena 39 kebanyakan subjek penelitian menganggap bahwa angket itu alat tes psikologi yang dipakai untuk evaluasi kerja dimana angket itu dapat dipelajari untuk mempersiapkan diri menghadapi evaluasi kinerja dari kantor. Sehingga banyak angket yang tidak kembali. Beberapa subjek penelitian pada saat mengembalikan angket ada juga yang sempat menanyakan apakah angket tersebut bisa mereka pinjam untuk di photocopy dan berapakah hasil skor angketnya. Total kuesioner yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 107 eksemplar. Berdasarkan kriteria usia, lama bekerja serta status pernikahan subjek, dilakukan seleksi dan hasilnya terdapat 9 eksemplar yang tidak memenuhi kriteria, maka kuesioner yang dapat digunakan adalah sebanyak 98 eksemplar. B. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Hasil uji validitas dan reliabilitas pada skala motivasi berprestasi dan skala burnout adalah sebagai berikut: a. Skala Motivasi Berprestasi Pada penelitian ini untuk menguji skala motivasi berprestasi digunakan Pearson Product Moment Corelation Coeffecient dengan bantuan aplikasi program SPSS Ver. 12.00 for Windows. Pada skala motivasi berprestasi akademis terdapat 50 item yang dinyatakan valid dan 10 item yang dinyatakan gugur dari 60 item yang diujikan. Korelasi item-item yang valid bergerak antara 0,302 sampai dengan 0,857. Sedangkan hasil uji reliabelitasnya adalah sebesar 0,971 (Lampiran). Adapun perincian item yang valid pada skala motivasi berprestasi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: 40 Tabel 5. Distribusi Item Valid pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis Nomor Item yang Valid No 1 2 3 4 5 Karakteristik Tanggung Jawab Membutuhkan Umpan Balik Inovatif Resiko Pemilihan Tugas Ketekunan Total Favorabel Unfavorabel Jumlah 1, 31, 51 6, 21, 26, 36, 41, 56 9 2, 12, 17, 32, 47 7, 22, 27, 37, 42, 57 11 3, 13, 33, 48, 53 8, 23, 28, 43, 58 10 4, 14, 49, 54 9, 24, 29, 39, 44, 59 10 5, 15, 20, 35, 50 10, 25, 30, 40, 60 10 22 28 50 a. Skala Burnout Pada penelitian ini untuk menguji skala burnout digunakan Pearson Product Moment Corelation Coeffecient dengan bantuan aplikasi program SPSS Ver. 12.00 for Windows. Pada skala burnout terdapat 28 item yang dinyatakan valid dan 2 item yang dinyatakan gugur dari 30 item yang diujikan. Korelasi item-item yang valid bergerak antara 0,303 sampai dengan 0,705. Sedangkan hasil uji reliabilitasnya adalah sebesar 0,934 (Lampiran). Adapun perincian item yang valid pada skala burnout yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini: 41 Tabel 6. Distribusi Item yang Valid pada Skala Burnout Nomor Item No Dimensi 1 Kelelahan Emosional 2 Depersonalisasi 3 Favorabel Total 4, 7, 10, 13, 16, 19, 25, 28 8 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, 23, 26, 29 Penurunan Pencapaian 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27, Prestasi Pribadi 30 Total 10 10 28 2. Uji Asumsi Uji asumsi adalah langkah selanjutnya sebelum melakukan analisis korelasi. Uji asumsi bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai normalitas sebaran skor dan uji linearitas. Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi program SPSS 12.00 for Windows. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov Tes dan Shapiro-Wilk Tes. Pada skala motivasi berprestasi diperoleh nilai Z sebesar 3,340 dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Untuk Skala burnout diperoleh nilai Z sebesar 1,378 dan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu motivasi berprestasi dan burnout adalah tidak normal. Tetapi menurut Reksoatmodjo (2007) estimasi suatu kecenderungan atau gejala dan pengujian hipotesis pada tingkat kepercayaan tertentu dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran sampel. Apabila ukuran sampel N > 30 (sampel besar) digunakan distribusi normal. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov Test. Hasil uji linearitas pada motivasi berprestasi dan burnout 42 menunjukkan hasil yang linear, dimana skor F tes sebesar 168,194 dan nilai signifikasi 0,000 (p<0,05). Selanjutnya data penelitian dianalisis dengan menggunakan perhitungan statistik parametrik dimana hasil uji asumsi dapat dilihat pada hal lampiran. Gambaran secara linear antara item variabel burnout dengan item variabel motivasi berprestasi akademis dapat dilihat pada grafik berikut ini: Gambar 1. Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi dan variabel Burnout dengan SPSS 12.00 for Windows 180.00 160.00 MB 140.00 120.00 100.00 80.00 40.00 60.00 80.00 Burnout 100.00 120.00 43 3. Hasil Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik teknik korelasi Karl Pearson dan diperoleh hasil seperti tertera dalam tabel hasil perhitungan SPSS 12.00 for Windows di bawah ini: Tabel 7. Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan SPSS 12.00 for Windows Motivasi Berprestasi Burnout Motivasi Berprestasi Burnout Korelasi Pearson 1 -0,798(**) Sig. (1-tailed) . 0,000 N (Jumlah Subjek) 98 98 Korelasi Pearson -0,798(**) 1 0,000 . 98 98 Sig. (1-tailed) N (Jumlah Subjek) ** signifikansi korelasi pada tingkat 0,01 (1-tailed). Dari hasil analisis data tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan yang negatif antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis, diterima. 44 4. Deskripsi Subjek Berdasarkan dari data deskripsi subjek yang meliputi usia, jenis kelamin, status tempat tinggal serta item deskripsi motivasi berprestasi dan item deskripsi burnout dapat dilihat pada tabel-tabel berikut: Tabel 8. Deskripsi Subjek berdasarkan Usia Usia Jumlah Persen Rerata Motivasi Berprestasi Akademis Rerata Burnout 20 4 4% 121,75 64,75 21 21 22% 141,19 60,47 22 11 11% 105,90 78,36 23 10 10% 86,90 91,80 24 16 17% 93,00 88,93 25 8 8% 83,50 94,97 26 7 7% 86,28 94,14 27 7 7% 86,57 97,14 28 7 7% 84,71 94,57 29 2 2% 86,50 89,50 30 5 5% 86,80 97,20 45 Tabel 9. Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Rerata Motivasi Jumlah Persen Laki-Laki 61 62% 101,62 83,57 Perempuan 37 38% 104,13 82,56 Kelamin Berprestasi Akademis Rerata Burnout Tabel 10. Deskripsi Subjek berdasarkan Status Tempat tinggal Status Tempat Rerata Motivasi Rerata Berprestasi Akademis Burnout 48% 98,27 85,89 46 47% 106,91 81,06 Kontrak 2 2% 86,50 89,00 Saudara 3 3% 114,00 69,66 Jumlah Persen Rumah Orang Tua 47 Kos tinggal Tabel 11. Deskripsi Subjek berdasarkan Motivasi Mengambil Kuliah Motivasi Mengambil Kuliah Jumlah Persen Rerata Motivasi Berprestasi Akademis Rerata Burnout Mendukung Karier 41 41% 101,36 85,78 Kenaikan Jabatan 32 33% 89,65 90,06 25 26% 121,08 70,16 Mencari perkerjaan yang lebih baik 46 Tabel 12. Deskripsi Subjek berdasarkan Waktu Khusus Belajar Waktu Khusus Belajar Jumlah Persen Rerata Motivasi Rerata Berprestasi Akademis Burnout Sempat 39 40% 109,50 78,38 Tidak Sempat 59 60% 98,22 86,37 Tabel 13. Deskripsi Subjek berdasarkan Mengatasi Kesulitan Belajar Mengatasi Kesulitan Belajar Melihat hasil teman Kerjasama dengan teman Bertanya pada dosen Rerata Motivasi Rerata Berprestasi Akademis Burnout 20% 103,00 86,35 65 67% 98,15 85,04 13 13% 124,00 69,07 Jumlah Persen 20 C. Pembahasan Penelitian ini berusaha untuk menguji adanya hubungan antara burnout dengan motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, hipotesis penelitian diterima, dimana terdapat hubungan negatif yang signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa semakin tinggi burnout, semakin rendah motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Semakin rendah burnout, semakin tinggi motivasi berprestasi akademis mahasiswa yang bekerja. 47 Miller (2000) mengemukakan berdasarkan penelitian-penelitan yang dilakukan, diketemukan bahwa burnout berkorelasi negatif terhadap pembelajaran, kebiasaan yang membangun dan keberhasilan memecahkan masalah. Pembelajaran dalam hal ini adalah motivasi berprestasi dan pencapaian terhadap suatu hal. Hal serupa juga diungkapkan oleh Spickard (2001) dalam hasil penelitiannya terhadap mahasiswa kedokteran yang bekerja adalah bahwa burnout memiliki hubungan yang negatif terhadap pencapaian pribadi dan motivasi berprestasi akademis. Faktor lain yang juga mempengaruhi terjadinya burnout adalah kondisi di lapangan antara lain beban kerja. Beberapa ahli yang telah berkecimpung dalam penelitian terhadap burnout berpendapat bahwa masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout (Schaufeli dkk., 1993). Sekalipun individu memiliki motivasi berprestasi yang cukup tinggi, dimana individu mampu melihat dan memilih setiap resiko tugas yang diberikan, kenyataan yang sering terjadi dalam dunia kerja, banyak situasi yang membuat individu tidak dapat menolak tugas yang diperintahkan serta seringkali harapan dan insentif yang diterima setelah menyelesaikan tugas tidak sebanding. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kreitner dan Kinicki (2005) mengenai harapan-harapan dalam hal ini penugasan kerja, pembayaran atau promosi sangat rentan terhadap konflik yang menyebabkan burnout pada karyawan. Kondisi tersebut bila terus berlanjut akan menyebabkan burnout dimana terjadi kelelahan emosional, depersonalisasi yaitu kondisi dan sikap yang kurang bersahabat atau menarik diri, serta menurunnya pencapaian prestasi pribadi pada banyak sisi kehidupan individu. Mahasiswa yang bekerja lalu mengalami burnout akan mendapatkan dirinya menderita penurunan motivasi sekalipun banyak mereka yang tidak mengakuinya. Hal tersebut disebabkan karena mereka berpikir lebih baik menarik diri untuk sementara waktu (Briscoe, 1984). Kondisi tersebut justru membuat mahasiswa yang bekerja menjadi jarang atau bahkan sering kali 48 tidak mengikuti perkuliahan secara teratur dan akhirnya berdampak pada tugas serta nilai akademis mereka. Neumann dan Reichel (dalam Repak, 2005), profesor dari Universitas Boston dan Universitas Ben Gurion, melakukan penelitian tentang burnout terhadap para mahasiswa dan menemukan bahwa mahasiswa biasa juga dapat mengalami burnout, apalagi mahasiswa yang bekerja sekaligus kuliah, dimana tuntutan jauh lebih banyak mereka dapatkan dibanding yang mereka harapkan. Hasil perhitungan skor rerata empirik dan skor rerata hipotetik skala burnout dan motivasi berprestasi dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 14. Rerata Empirik dan Rerata Hipotetik Skala Penelitian. Standar Total Skala Rerata Empirik Deviasi Standar Rerata Hipotetik Deviasi X max Rerata Hipotetik X min X max Rerata Empirik X min 50 26,73 77,00 164,00 102,57 25 50 200 125 28 17,22 44,00 116,00 83,19 18,67 28 140 84 Subjek Item MB 98 Burnout 98 Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa rerata empirik pada skala motivasi berprestasi sebesar 102,57 lebih rendah dari pada rerata hipotetik sebesar 125. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki motivasi berprestasi yang sedang. Pada skala burnout rerata empirik adalah sebesar 83, 19 sedikit rendah dari rerata hipotetik sebesar 84, maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian mengalami burnout. Rendahnya rerata empirik dari pada rerata hipotetik diatas terjadi karena kesuntukan pekerjaan serta tugas kuliah yang banyak mulai berkurang, apalagi situasi saat disebarkannya angket penelitian adalah pada minggu terakhir bulan puasa. Kelelahan yang biasa terjadi pada hari kerja tidak begitu berat juga beban perkuliahan serta tugas-tugas kuliah tidak sebanyak diluar bulan puasa. Perusahaan-perusahaan juga menyesuaikan beban dan waktu kerja pada karyawan 49 selama bulan puasa. Kantor-kantor juga memilih meliburkan karyawan pada hari sabtu, 18 November 2006 di akhir minggu, dimana hari raya Idul Fitri pada saat itu jatuh pada hari selasa dan rabu, 21 dan 22 November 2006. Penelitian yang dilakukan Shin, Rossario dan Morch (dalam Brian, 1999) dengan rentang usia 23 tahun sampai dengan 65 tahun mengenai coping terhadap burnout, menunjukkan bahwa pada rentang dibawah 25 tahun dengan status lajang dan menjalani studi mengalami kesulitan dalam melakukan coping. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan rentang dibawah 25 tahun yang masih studi mengalami kesulitan dalam membagi waktu dan prioritas kegiatan. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil dari subjek penelitian seperti pada tabel 9 tentang deskripsi subjek berdasarkan usia (hal 45). Berdasarkan tabel 9 tentang deskripsi subjek berdasarkan usia, terlihat bahwa mahasiswa yang bekerja dengan rentang usia mulai 23 sampai 30 tahun mengalami motivasi berprestasi akademis rendah dan kecenderungan burnout tinggi sedangkan subjek penelitian dengan usia dibawah 23 tahun memiliki motivasi berprestasi akademis tinggi dan burnout yang rendah. Ini bisa terjadi karena prioritas subjek penelitian dengan usia antara 23 tahun sampai dengan 30 tahun lebih memilih pekerjaan dibandingkan subjek penelitian dengan usia dibawah 23 tahun yang lebih memilih kuliah. Kecenderungan perilaku tersebut dapat terlihat pada tabel berikut: Tabel 15. Deskripsi Subjek berdasarkan Prioritas Tugas Prioritas Rerata Motivasi Berprestasi Rerata Akademis Burnout 74% 99,69 85,39 26% 110,96 76,76 Jumlah Persen Pekerjaan 73 Kuliah 25 Tugas 50 Berdasarkan data deskriftif pada tabel 17 terlihat bahwa individu yang memprioritaskan penyelesaian tugas pekerjaan, lebih banyak jumlahnya dan memiliki motivasi berprestasi akademis rendah serta burnout tinggi. Hal ini dapat dikaitkan dengan motivasi mahasiswa yang bekerja dalam mengambil kuliah, seperti tertera pada tabel 12 tentang deskripsi subjek berdasarkan motivasi mengambil kuliah pada halaman 46. Berdasarkan pada tabel 12, terlihat subjek penelitian dengan motivasi mengambil kuliah untuk kenaikan jabatan memiliki rerata burnout yang tinggi terhadap motivasi berprestasi akademis. Oleh sebab itu subjek penelitian akan lebih memprioritaskan pekerjaan dibanding kuliah, dikarenakan perkuliahan hanya sebagai syarat untuk mendukung kenaikan jabatan. Pada suatu penelitian di Inggris yaitu NUS Survey (dalam Wood & Armstrong, 1999) terhadap mahasiswa bekerja yang sering gagal ujian, diketemukan 59% mahasiswa terpengaruh dengan kehidupan kerja dan 48% mahasiswa memilih mengutamakan kerja dibanding studi. Kemudian 38% mahasiswa sering tidak mengikuti perkuliahan dan tidak sempat belajar. Hal tersebut juga diketemukan dalam tabel 13 tentang deskripsi subjek berdasarkan waktu khusus belajar pada halaman 47. Pada tabel 13, terlihat individu yang tidak sempat memberikan waktu khusus untuk belajar memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout tinggi. Dibanding individu yang menyempatkan diri khusus untuk belajar, rerata burnout lebih rendah dan rerata motivasi berprestasi akademis lebih tinggi. Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan ada saat dimana motivasi berprestasi terlihat begitu tinggi walaupun hasilnya menurun. Akan tetapi bila terjadi kegagalan dalam meningkatkan hasilnya hal tersebut akan membawa individu menderita penurunan motivasi. Sebaliknya bila berhasil dilakukan hal tersebut akan membangkitkan dorongan untuk berkembang pada pencapaian selanjutnya. Dengan menyempatkan diri secara khusus untuk belajar, membangkitkan motivasi untuk maju pada pencapaian berikutnya. 51 Beberapa hal ditempat kerja juga memiliki dampak pada mahasiswa yang bekerja seperti yang terlihat pada data deskriptif tentang hal-hal yang kurang memuaskan ditempat kerja pada tabel berikut: Tabel 16. Deskripsi Subjek berdasarkan Hal-hal Yang Kurang Memuaskan di Tempat Kerja Hal-hal Yang Kurang Rerata Motivasi Rerata Berprestasi Akademis Burnout 7% 139,57 61,42 13 13% 106,84 76,84 Suasana kenyamanan 2 2% 132,00 76,50 Hubungan 1 1% 146,00 49,00 Peningkatan Karier 34 35% 89,00 91,44 Gaji-Insentif 39 40% 104,43 82,97 Fasilitas Kerja 2 2% 88,50 88,50 Memuaskan di Tempat Jumlah Persen Jenis Pekerjaan 7 Jabatan Kerja Berdasarkan tabel tersebut, terlihat subjek penelitian merasa kurang puas terhadap peningkatan karir, ini terbukti dengan nilai rerata burnout yang lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Untuk subjek penelitian yang mengalami masalah dengan fasilitas kerja dapat dilihat bahwa rerata motivasi berprestasi akademis lebih rendah dibanding hal-hal lain. Adapun data deskriptif berdasarkan komponen-komponen variabel burnout dan motivasi berprestasi akademis memperlihatkan kondisi subjek secara lebih spesifik seperti pada tabel berikut: 52 Tabel 17. Deskripsi Rerata Dimensi Burnout Jumlah Dimensi Burnout Persen Rerata Dimensi Burnout Item Kelelahan Emosional 8 30% 3,091 Depersonalisasi 10 35% 3,209 Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi 10 35% 3,008 Berdasarkan tabel diatas, nilai rerata pada dimensi depersonalisasi lebih tinggi dibandingkan dimensi-dimensi burnout lainnya. Hal ini disebabkan subjek penelitian berdasarkan jenis pekerjaan, lebih banyak bekerja dalam bidang yang berkaitan dengan pelayanan publik atau berinteraksi dengan orang banyak. Perilaku yang kurang sesuai terhadap orang lain bisa saja muncul dalam keseharian mereka berdasarkan dimensi burnout yang mereka alami. Tabel 18. Deskripsi Rerata Aspek-Aspek Motivasi Berprestasi Akademis Rerata Aspek-aspek Jumlah Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Persen Item Motivasi Berprestasi Akademis Tanggung Jawab 9 18% 2,658 Membutuhkan Umpan Balik 11 22% 2,344 Inovatif 10 20% 2,378 Resiko Pemilihan Tugas 10 20% 1,835 Ketekunan 10 20% 2,288 53 Berdasarkan tabel 20 tersebut subjek penelitian dalam aspek tanggung jawab memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dari aspek-aspek lainnya. Hal ini mungkin disebabkan subjek penelitian sudah terbiasa bertanggung jawab atas tugas serta tuntutan yang diberikan di kantor sehingga sekalipun dalam keadaan burnout mereka berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dan kuliah. Sedangkan untuk aspek resiko pemilihan tugas memiliki nilai rerata yang lebih rendah dibanding aspek-aspek lainnya. Hal ini mungkin, dikarenakan sebagian besar mahasiswa yang bekerja, cenderung memilih diberikan tugas-tugas pekerjaan dan perkuliahan yang mereka kuasai, namun kenyataannya seringkali mereka tidak memiliki pilihan sehingga, pada saat diberi tugas perkuliahan mereka mengerjakan tugas kuliah tidak maksimal dan tidak jarang meminta diberikan tugas kuliah yang tidak sulit karena tugas pekerjaan mereka sudah menumpuk. BAB V PENUTUP A. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang negatif yang sangat signifikan antara skor burnout dengan skor motivasi berprestasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan semakin tinggi burnout yang dialami Individu maka semakin rendah motivasi berprestasi akademis, demikian juga sebaliknya, semakin rendah burnout yang dialami individu maka motivasi berprestasinya akan semakin tinggi. Rerata burnout dikategorikan sedang dan motivasi berprestasi akademik dikategorikan sedang, ini dikarenakan kondisi waktu pengambilan data pada bulan ramadhan yang berpengaruh pada kondisi subjek penelitian. Berdasarkan identitas pada subjek penelitian dengan usia rentang 23 tahun sampai 30 tahun memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout yang tinggi dibanding subjek penelitian dengan yang berusia antara 20 tahun sampai dengan 22 tahun. Hal ini berkaitan dengan prioritas penyelesaian tugas dimana jumlah subjek penelitian lebih banyak memprioritaskan penyelesaian tugas pada pekerjaan memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout tinggi. Motivasi mengambil kuliah untuk kenaikan jabatan memiliki rerata burnout tinggi dan rerata motivasi berprestasi akademis rendah. Demikian halnya dengan individu yang tidak menyempatkan diri memberi waktu khusus untuk belajar mengalami burnout dan motivasi berprestasi akademis rendah dibanding individu yang menyempatkan diri memberi waktu khusus untuk belajar. Untuk hal-hal yang kurang memuaskan, subjek penelitian merasa kurang puas terhadap peningkatan karir, ini terbukti dengan nilai rerata burnout yang lebih tinggi dibanding hal-hal lain. Untuk hal peningkatan karier dapat dilihat bahwa rerata motivasi berprestasi akademis lebih rendah dibanding hal-hal lain. Dimensi depersonalisasi pada variabel burnout memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dibanding dimensi lainnya. Hal ini dikarenakan subjek penelitian 54 55 berdasarkan data jenis pekerjaan berada dalam bidang pelayanan publik atau lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Pada variabel motivasi berprestasi akademis, aspek tanggung jawab memiliki nilai rerata tertinggi. Ini dikarenakan subjek penelitian terbiasa dituntut tanggung jawab dalam bekerja. Sedangkan aspek resiko pemilihan tugas memiliki nilai rerata terendah, hal ini disebabkan mahasiswa yang bekerja berusaha mengerjakan tugas kuliah yang mereka dapat kerjakan dan tidak jarang meminta diberikan tugas kuliah yang tidak sulit karena tugas pekerjaan mereka sudah menumpuk. B. Saran 1. Bagi subjek Dengan mengetahui kondisi mereka secara pribadi, maka subjek diharapkan untuk dapat menanggulangi burnout, dengan membuka diri, bercerita atau berkonsultasi, beribadah, menyusun skala prioritas dan melakukan kegiatankegiatan menyenangkan yang positif seperti olah raga dan rekreasi. 2. Bagi Lembaga Perguruan Tinggi Disarankan untuk membuka wadah konsultasi dikampus sebagai sarana untuk mendengar dan mengatasi burnout, yang diberikan pada seluruh perangkat akademisi dalam hal ini mahasiswa, khususnya mahasiswa bekerja. 3. Bagi peneliti selanjutnya Disarankan untuk meneliti faktor-faktor penyebab burnout kaitannya dengan motivasi berprestasi akademis atau sebaliknya faktor-faktor motivasi berprestasi akademis kaitannya dengan burnout. Memilih subjek penelitian dengan karakteristik yang berbeda seperti mahasiswa sekolah tinggi agama atau cacat fisik juga memperhatikan variabel lainnya seperti gender, perbedaan jenis kelamin, status pernikahan, jenis pekerjaan, jabatan pekerjaan, jurusan perkuliahan, motivasi berkuliah, jarak tempat tinggal dengan kantor dan kampus, serta banyak hal yang dapat dikaitkan dengan burnout dan motivasi berprestasi akademis. DAFTAR PUSTAKA Amir, Y. (1985). Hubungan antara Locus of Control dengan Motivasi Berprestasi Siswa SMAN 07 Jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Atkinson, J. W. (1964). An Introduction to Motivation. Princeton: Van Nostrand. Asnawi, S. (2002). Teori Motivasi Dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Studia Press. Azwar, S. (1996). Tes Prestasi Fungsi Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brewer, E. W., & Clippard, L. F. (1996). Burnout and job satisfaction among student support services personnel. Human Resource Development Quarterly. http://web.utk.edu/~ewbrewer. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Brian, D. (1999). Burnout in Academic World: Teacher and Working Studentst. www.uq-jpsp.com/article. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007. Briscoe, M. L. (1984). Reflections On Academic Burnout. ADE Buletin. www.ade.org/ade/bulletin. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007 Chaplin, J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa: Kartini Kartono. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O’Driscoll, M. P. (2001). Organizational Stress: A Review and Critique of Theory Research and Aplications. California: Sage Publications Inc. Cherniss, C. (1980). Staff Burnout: Job Stress In Human Services. London: Sage Dwivedi, R. S. (1981). Dynamics of Human Behavior at Work. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Farber, A. B. (1991). Crisis In Education: Stress and Burnout In The American Teacher. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. 56 57 Gage, N. L., & Berliner, D. C. (1992). Educational Psychology. 5th Edition. Boston: Houngton Mifflin Company. Hollyforde, S. & Whiddett, S. (2003). The Motivation Handbook. Mumbai: Jaico Publishing House. Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. New York: McGraw Hill Book Company. Juvonen, J. (2003). Motivation Analysis in Prediction of Four Year College Academic Achievement. www.overbooked.org/gpapredict.htm. Diakses hari Selasa, 20 Maret 2007. Kreitner, R. & Kincki, A. (2005). Perilaku Organisasi. Edisi 5. Buku 2 Indonesia. Alih Bahasa: Erly Suandy . Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Maslach, C. (2001). Annual Review of Psychology: Job Burnout. www.anualreviews.org/maslach_01. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. McClelland, D. C., Atkinson, J. W., Clark, R. A., & Lowell, E. L. (1953). The Achievement Motive. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc. McClelland, D. C. (1961). The Achieving Society. Princeton: D. Van Nostrand Company, Inc. Miller, D. (2000). Dying to Care? Work, Stress and Burnout in HIV/AIDS. New York: Routledge the Taylor & Francis Group. Morgan, C. T., King, R. A., Weisz, J. R., & Schopler, J. (1986). Introduction To Psychology: International Edition. Singapore: McGraw Hill. Oktarina, A. (2002). Hubungan Persepsi Siswa terhadap Dukungan Sosial Orang Tua, Guru, dan Teman dengan Motivasi Berprestasi pada Siswa SLTP Peringkat Tinggi dan Peringkat Rendah. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Orsgaz, J. M., Orsgaz, P. R., Whitmore, D. M. (2001). Learning and Earning: Working in College. www.brockport.edu/car01.htm. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Papalia, D. E., & Olds, S. W. (1992). Human Development. 5th Edition. New York: McGraw Hill Inc 58 Patient Information Publications. (1997). Burnout in Medical College Student. http://www.patient.co.uk. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Pines, A. & Aronson, E. (1989).Career Burnout: Causes and Cures. New York: The Free Press Potter, B. (2006). The Burnout Sindrom. www.rwbo_rsh.edu/index/rc_12743.php. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006. Prasetyo, B. & Jannah, L.M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Reksoatmodjo, T. N. (2007). Statistika untuk Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Refika Aditama. Repak, N. (2005). Burnout: Emotional Fatigue and Coping in Academic Student. www.gradresources.org/article. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007 Riyanti, B. P. & Prabowo, H. (1998). Psikologi Umum 2. Jakarta: Penerbit Gunadarma. Sarafino, E. P. (1998). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 3rd Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc Sarwono, S. W. (1981). Penggeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Penelitian terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: Rajawali. Santrock, J. W. (1990). Adolesence. 4th edition. New York: Wm C. Brown Publisher. Schaufeli, W. B., Maslach, C., & Marek, T. (1993). Profesional Burnout: Recent Developments In Theory and Research. Washington DC: Routledge the Taylor & Francis Group. Spickard. (2001). Working College Students: Health, Educations and Burnout. www.mc.vanderbilt.edu/root. Diakses hari Jumat, 3 Maret 2006. Steinberg, L. (1993). Adolesence. 5th edition. New York: McGraw Hill Inc. Stella, S. R. (2004). Hubungan antara Stress Kerja dengan Motivasi Berprestasi pada Mahasiswa yang Bekerja Paruh Waktu. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta. Unika Atmajaya. 59 Sternberg, R. J., & Grigorenko, E. L. (2000). Teaching for successful intelligence. Arlington Heights, IL: Skylight Training and Publishing Inc. Sutjipto. (2001). Apakah anda mengalami Burnout. www.depdiknas.go.id/jurnal/32/apakah_anda_mengalami_burnout.htm. Diakses Jumat, 3 Maret 2006 Taylor, S. E. (1999). Health Psychology. 4th Edition. Singapore: McGraw Hill Inc Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan Development. 5th edition. Orlando: Holt, Rineheart & Winston, Inc. Usman, H. & Akbar, P. S. (2003). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Usman, R. (2001). Kampus sebagai Institusi Pencerahan. Aceh Timur: Pemda tingkat II Aceh Timur. Wally, N & Hubby, G. (2000). Working Student and Education Problem. http://ericae.net/edo/ED414521.htm. Diakses hari Jumat, 3 Maret 2006. Wikipedia. (2005). Global Industry. www.wikipedia.com/glob_histry. Diakses hari Selasa, 20 Maret 2007. Winkel, W. S. (1991). Psikologi Pengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia Wood, S. N., Armstrong, D. P. (1999). Working Student and Job Burnout: Academic Problem and Job Dissatisfaction Studies. www.troubleatwork.org.uk. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007. LAMPIRAN LAMPIRAN A IDENTITAS DAN JUMLAH SUBJEK PENELITIAN DATA DESKRIPTIF MOTIVASI BERPRESTASI DATA DESKRIPTIF BURNOUT PIE CHART DATA DESKRIPTIF LAMPIRAN B HASIL UJI VALIDITAS & RELIABILITAS SKALA MOTIVASI BERPRESTASI Item-Total Statistics VAR001 Scale Mean if Item Deleted 127,3980 Scale Variance if Item Deleted 722,551 Corrected Item-Total Correlation ,454 Cronbach's Alpha if Item Deleted ,971 VAR002 128,1633 700,056 ,789 ,970 VAR003 128,1837 705,863 ,757 ,970 VAR004 128,6122 714,364 ,610 ,971 VAR005 127,8469 714,750 ,464 ,971 VAR006 128,6429 697,160 ,792 ,970 VAR007 128,3980 700,428 ,792 ,970 VAR008 128,3878 707,766 ,723 ,970 VAR009 128,8469 712,750 ,691 ,970 VAR010 128,6633 698,844 ,849 ,970 VAR011 127,4082 744,368 -,216 ,972 VAR012 128,3163 707,971 ,728 ,970 VAR013 128,1837 708,976 ,735 ,970 VAR014 128,6429 718,253 ,559 ,971 VAR015 128,1531 702,750 ,783 ,970 VAR016 127,2755 730,387 ,259 ,971 VAR017 128,1429 700,804 ,838 ,970 VAR018 127,8878 728,534 ,218 ,972 VAR019 127,1735 757,774 -,503 ,973 VAR020 128,3367 721,257 ,568 ,971 VAR021 127,9388 717,007 ,520 ,971 VAR022 128,4286 701,959 ,714 ,970 VAR023 128,6224 694,794 ,816 ,970 VAR024 128,9592 717,710 ,597 ,971 VAR025 128,3980 713,933 ,685 ,970 VAR026 128,1429 698,887 ,857 ,970 VAR027 128,3878 691,663 ,849 ,970 VAR028 127,9898 706,629 ,770 ,970 VAR029 128,7755 708,609 ,734 ,970 VAR030 128,5102 704,912 ,763 ,970 VAR031 127,2449 725,919 ,408 ,971 VAR032 128,1531 699,203 ,840 ,970 VAR033 128,2041 704,597 ,798 ,970 VAR034 VAR035 127,2653 128,1224 743,723 711,902 -,218 ,838 ,972 ,970 VAR036 128,6837 708,961 ,690 ,970 VAR037 128,0612 704,120 ,789 ,970 VAR038 128,8265 729,774 ,248 ,971 VAR039 128,9490 714,853 ,705 ,970 VAR040 128,3163 714,301 ,661 ,971 VAR041 128,7245 721,026 ,495 ,971 VAR042 128,2245 701,702 ,809 ,970 VAR043 128,7347 715,022 ,585 ,971 VAR044 128,6837 706,961 ,769 ,970 VAR045 127,6735 735,006 ,039 ,972 VAR046 VAR047 127,4490 128,3469 725,817 705,920 ,215 ,743 ,972 ,970 VAR048 128,4592 711,570 ,582 ,971 VAR049 128,7551 722,372 ,461 ,971 VAR050 128,3163 713,105 ,735 ,970 VAR051 127,3265 728,573 ,302 ,971 VAR052 VAR053 127,4694 128,1020 730,004 707,185 ,175 ,724 ,972 ,970 VAR054 128,4694 698,808 ,804 ,970 VAR055 VAR056 127,6327 128,1735 728,606 717,196 ,246 ,592 ,971 ,971 VAR057 128,6020 710,304 ,681 ,970 VAR058 128,3673 703,864 ,767 ,970 VAR059 128,6224 709,289 ,714 ,970 VAR060 128,1020 710,278 ,647 ,971 Alpha 0,971 NB: Item yang gugur di cetak tebal dan di garis bawahi. DATA VALID ITEM SKALA MOTIVASI BERPRESTASI HASIL UJI VALIDITAS & RELIABILITAS SKALA BURNOUT Item-Total Statistics VAR00001 Scale Mean if Item Deleted 86,5714 Scale Variance if Item Deleted 307,216 Corrected Item-Total Correlation ,220 Squared Multiple Correlation ,340 Cronbach's Alpha if Item Deleted ,935 VAR00002 87,2449 294,104 ,563 ,585 ,932 VAR00003 87,0918 290,435 ,630 ,590 ,931 VAR00004 87,2857 290,165 ,629 ,582 ,931 VAR00005 87,4082 295,646 ,538 ,585 ,932 VAR00006 87,5714 293,031 ,601 ,625 ,931 VAR00007 87,4184 290,761 ,705 ,620 ,930 VAR00008 87,3571 292,149 ,604 ,625 ,931 VAR00009 87,7857 294,418 ,536 ,582 ,932 VAR00010 87,1122 299,441 ,439 ,385 ,933 VAR00011 87,0204 294,412 ,491 ,496 ,933 VAR00012 87,4286 293,443 ,649 ,591 ,931 VAR00013 87,4898 293,345 ,568 ,549 ,932 VAR00014 87,4388 289,321 ,686 ,560 ,930 VAR00015 87,3061 289,967 ,643 ,691 ,931 VAR00016 87,4286 292,186 ,622 ,572 ,931 VAR00017 87,5714 290,062 ,587 ,598 ,932 VAR00018 87,0612 287,316 ,639 ,665 ,931 VAR00019 86,7857 299,015 ,402 ,408 ,934 VAR00020 86,9184 297,292 ,417 ,460 ,934 VAR00021 87,4796 295,283 ,510 ,472 ,932 VAR00022 86,8571 302,887 ,277 ,282 ,935 VAR00023 87,2959 289,757 ,619 ,519 ,931 VAR00024 87,3980 292,098 ,676 ,644 ,931 VAR00025 87,1837 290,729 ,577 ,573 ,932 VAR00026 86,7755 292,794 ,472 ,507 ,933 VAR00027 87,3776 292,341 ,574 ,553 ,932 VAR00028 87,1122 292,637 ,596 ,606 ,931 VAR00029 86,8776 285,902 ,681 ,634 ,930 VAR00030 87,1531 300,853 ,303 ,442 ,935 Alpha 0,934 NB: Item yang gugur di cetak tebal dan di garis bawahi. DATA VALID ITEM SKALABURNOUT LAMPIRAN C UJI ASUMSI 3. UJI NORMALITAS Hasil Uji Normalitas Skala Motivasi Berprestasi dan Skala Burnout Case Processing Summary Cases Valid Missing Total MB N 98 Percent 100,0% N 0 Percent ,0% N 98 Percent 100,0% Burnout 98 100,0% 0 ,0% 98 100,0% Descriptives MB 95% Confidence Interval for Mean Burnout Statistic 102,5714 Mean Lower Bound Upper Bound Std. Error 2,70092 97,2108 107,9320 5% Trimmed Mean 100,8776 Median 88,0000 Variance 714,907 Std. Deviation 26,73775 Minimum 77,00 Maximum 164,00 Range 87,00 Interquartile Range 45,50 Skewness ,989 ,244 Kurtosis -,677 ,483 Mean 83,1939 1,74027 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 79,7399 86,6478 5% Trimmed Mean 83,7166 Median 88,5000 Variance 296,797 Std. Deviation 17,22780 Minimum 44,00 Maximum 116,00 Range 72,00 Interquartile Range 26,50 Skewness -,573 ,244 Kurtosis -,818 ,483 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) MB Statistic ,334 Burnout df ,144 Shapiro-Wilk 98 Sig. ,000 Statistic ,764 98 ,000 ,926 df 98 Sig. ,000 98 ,000 a Lilliefors Significance Correction Motivasi Berprestasi Histogram 30 25 Frequency 20 15 10 5 Mean = 102.5714 Std. Dev. = 26.73775 N = 98 0 75.00 100.00 125.00 MB 150.00 Normal Q-Q Plot of MB 4 Expected Normal 2 0 -2 -4 40 60 80 100 120 140 160 180 Observed Value Detrended Normal Q-Q Plot of MB Dev from Normal 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 80 100 120 140 Observed Value 160 180 180.00 160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 MB Burnout Histogram 25 Frequency 20 15 10 5 Mean = 83.1939 Std. Dev. = 17.2278 N = 98 0 40.00 60.00 80.00 Burnout 100.00 120.00 Normal Q-Q Plot of Burnout 4 Expected Normal 2 0 -2 -4 40 60 80 100 120 140 Observed Value Detrended Normal Q-Q Plot of Burnout 0.4 Dev from Normal 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 40 60 80 Observed Value 100 120 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 Burnout 4. UJI LINEARITAS Hasil Uji Linearitas Descriptive Statistics MB Mean 102,5714 Std. Deviation 26,73775 83,1939 17,22780 Burnout N 98 98 Correlations Pearson Correlation MB Sig. (1-tailed) MB Burnout Burnout -,798 -,798 1,000 . ,000 ,000 . MB 98 98 Burnout 98 98 Burnout N MB 1,000 Variables Entered/Removed(b) Model 1 Variables Entered Burnout(a) Variables Removed Method Enter . a All requested variables entered. b Dependent Variable: MB Model Summary(b) Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Change Statistics R Square Change 1 ,798(a) ,637 ,633 16,20129 ,637 F Change 168,194 df1 1 df2 96 a Predictors: (Constant), Burnout b Dependent Variable: MB ANOVA(b) Model Regression Sum of Squares 44147,753 Residual 1 Mean Square 44147,753 25198,247 96 262,482 69346,000 a Predictors: (Constant), Burnout b Dependent Variable: MB 97 1 Total df F 168,194 Sig. ,000(a) Sig. F Change ,000 Coefficients(a) Model 1 Unstandardized Coefficients Std. B Error (Constant) Burnout 205,593 8,111 -1,238 ,095 Standardized Coefficients 95% Confidence Interval for B Lower Upper Bound Bound t Sig. 25,349 12,969 ,000 189,494 221,693 ,000 -1,428 -1,049 Beta -,798 Correlations Zeroorder Partial Part -,798 -,798 a Dependent Variable: MB Coefficient Correlations(a) Model 1 Burnout Correlations Covariances Burnou t Burnou t 1,000 ,009 a Dependent Variable: MB Collinearity Diagnostics(a) Variance Proportions Model 1 Dimensio n 1 Eigenvalue 2 Condition Index 1,979 1,000 (Constant) ,01 Burnout ,01 ,021 9,810 ,99 ,99 a Dependent Variable: MB Residuals Statistics(a) Predicted Value Minimum 61,9464 Maximum 151,1066 Mean 102,5714 Std. Deviation 21,33381 Residual -47,96161 46,32845 ,00000 16,11756 98 Std. Predicted Value -1,904 2,275 ,000 1,000 98 Std. Residual -2,960 2,860 ,000 ,995 98 a Dependent Variable: MB N 98 ,798 Collinearity Statistics Tolerance 1,000 VIF 1,000 Histogram Dependent Variable: MB 25 15 10 5 Mean = 4.61E-16 Std. Dev. = 0.995 N = 98 0 -3 -2 -1 0 1 2 3 Regression Standardized Residual Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: MB 1.0 0.8 Expected Cum Prob Frequency 20 0.6 0.4 0.2 0.0 0.0 0.2 0.4 0.6 Observed Cum Prob 0.8 1.0 LAMPIRAN D HASIL KOLERASI Hasil Uji Korelasi Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis MB MB 1 -.798(**) Sig. (1-tailed) . .000 98 98 -.798(**) 1 .000 . 98 98 N Burnout Burnout Pearson Correlation Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). LAMPIRAN E GAMBAR GRAPHIC SCATTER 180.00 160.00 MB 140.00 120.00 100.00 80.00 40.00 60.00 80.00 Burnout 100.00 120.00 LAMPIRAN F ALAT UKUR