KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI

advertisement
KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DITINJAU DARI SISI
KRIMINOLOGI
Oleh:
RADITYA ALFERO
E1A007263
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: Raditya Alfero
NIM
: E1A007263
Judul Skripsi
: KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DI
TINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (Studi Polres Banyumas)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan
tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka
saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 20 Oktober 2013
RADITYA ALFERO
NIM. E1A007263
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang
telah melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA sehingga penulis dapat
menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “KEKERASAN SEKSUAL DALAM
RUMAH TANGGA DI TINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (Studi Polres
Banyumas)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan dan waktu. Oleh
karena itu semua kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan
ketulusan hati.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan
yang sedalam-dalamnya kepada :
1.
Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman dan Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Penguji I yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Budiyono, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II sekaligus
Dosen Penguji II atas perhatian dan kemudahan dalam bimbingan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
iv
3.
Bapak Setya Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji dalam seminar
skripsi dan ujian skripsi, yang telah memberikan masukan bagi Penulis demi
perbaikan skripsi ini.
4.
Bapak Raditya Permana, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan masukan dan motivasi dalam menuntut ilmu.
5.
Seluruh dosen pengajar, staf administrasi, dan civitas akademika Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah membekali dan
memberikan kesempatan penulis menimba ilmu.
6.
Segenap pegawai dan karyawan tempat penulis melakukan penelitian di
Kantor Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Usaha Mikro Kecil
Menengah Pemerintah Kabupaten Banyumas yang telah memberikan data
dan informasinya terkait skripsi ini.
7.
Kepada kedua orangtua tercinta, Ibunda Emilia Lihan S.Pd dan ayahanda
Prof. Dr. Taswin Rahman Tagama S.U yang telah memberikan dukungan
moril dan materiil kepada penulis, sehingga penulis selalu termotivasi untuk
menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya.
Ibu dan Bapak adalah motivasi terbesar penulis untuk menjadi orang sukses.
8.
Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan
2007, sahabat terdekat penulis dan teman-teman UKM ALSA ‘always be one’
di Kampus Merah, serta semua pihak yang turut membantu dan tidak
mungkin penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan,
kehangatan, kerjasama dan persaudaraan kalian.
v
9.
Sahabat dekat penulis Winardi Eka dan Ikhsan fathoni yang sudah menjadi
sahabat bahkan keluarga bagi penulis.
10. Buat sahabatku Didit Waluyo dan Tyas swastio, Sarastyo, Hudiyanto, Rifky
Faudzan,Mochammad Rizal, Lasi Rizal, Dabenk dan Endink yang selalu
memberikan keceriaan disetiap waktu.
Semoga segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis,
mendapatkan balasan pahala dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf
kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tingkah
laku selama berproses di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Akhir
kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi yang
membacanya.
Purwokerto, 20 November 2013
RADITYA ALFERO
E1A007263
vi
ABSTRAK
KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA
DITINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI
(STUDI DI POLRES BANYUMAS)
OLEH :
RADITYA ALFERO
E1A007263
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan dapat dipahami dari berbagai
sisi yang berbeda. Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan
masyarakat ialah tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan dengan
kekerasan. Persoalan kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan manusia, karena ia
berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban umat manusia.
Berkaitan dengan soal kejahatan, maka kekerasan yang merupakan pelengkap dari bentuk
kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah tadi studi
tentang kejahatan. Kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam kenyataannya dari
berbagai mitos selama ini pelaku tak selalu laki-laki dan korban pun tak selalu perempuan, serta
tidak mengenal kelas sosial ekonomi, budaya dan ras. Kejahatan KDRT merupakan salah satu
masalah yang bukan dikategorikan lagi sebagai masalah dalam keluarga, dan penegakan hukum
perlu dilaksanakan secara konsekuen agar dapat memberikan kontribusi besar terhadap
perlindungan korban-korban kejahatan kekerasan dalam rumah tangga.
Budaya masyarakat yang patrilineal adalah faktor terbesar yang menyebabkan lahirnya
kekerasan terhadap perempuan, budaya inipun turut melegitimasi dan melestarikan kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi di wilayah Banyumas. Perlindungan dalam proses penegakan
hukum, mulai dari proses pelaporan, pemeriksaan, penyidikan, hingga persidangan berakhir.
Dengan berpijak pada ketiga elemen dalam sistem hukum, maka disusunlah parameter yang
merupakan prasyarat bagi perbaikan serta upaya yang dapat dilakukan.
Kebijakan Penerapan hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual terbagi menjadi 2
yaitu : Penal yaitu menggunakan sarana hukum pidana yang ada (aparat penegak hukum dan Per
UU), Non penal yaitu melakukan sosialisasi terhadap elemen-elemen masyarakat dan bekerja
sama dengan instansi terkait (Bapernas,diknas dan yang mengenai UU no.23 tahun 2002 dan
2004.
Kata Kunci : Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga, Kriminologi, Banyumas
ABSTRAK
Crime is a complex phenomenon and can be understood from many different sides. One
issue that often comes to the fore in public life is about crime in general, especially regarding
violent crimes. The issue of crime is a perennial problem in human life, as it develops in line with
the level of development of human civilization.
With regard to crime, the violence that is a complement of the crime itself. In fact he has
formed its own characteristics in the repertoire of an earlier study of crime. Crimes of sexual
violence in the home, in fact from myth during the offender does not always men and the victims
are not always women, and knows no socio-economic class, culture and racist. Crime of
domestic violence is one issue that is not considered anymore as a problem in the family, and
law enforcement need to be implemented consistently in order to make a major contribution to
the protection of victims of domestic violence crimes.
Patrilineal culture that is the biggest factor that led to the birth of violence against
women, even this culture helped legitimize and perpetuate violence against women that occurred
in the area of Banyumas. Protection in the law enforcement process, starting from the reporting,
inspection, investigation, until the trial ends. Relying on the third element in the legal system,
then drafted parameters is a prerequisite for improvement and effort to do.
Application of legal policy for sexual violence crimes are divided into two, namely: Penal
namely by means of the criminal justice (law enforcement officers and Legislation), Non penal is
to disseminate the elements of the community and work with relevant agencies (Bapernas, diknas
and that the Legislation no.23 of 2002 and 2004.
Key Words : Domestic Sexual Violence, criminology, Banyumas
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….
ii
SURAT PERNYATAAN ……………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………..
iv
ABSTRAK …………………………………………………………….…
vii
ABSTRACT ……………………………………………………….…….
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………….…………….
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………..……..
1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………….
5
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
6
D. Kegunaan Penelitian …………………………………………...….
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kepolisian Republik Indonesia
1. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia ....………………....
7
2. Tugas dan Wewenang Kepolisian ..................…………............ 7
ix
3. Tinjauan Peran Polisi Dalam Penegakan Hukum ……………..
8
B. Definisi-Definisi Kriminologi …………………………………….. 18
C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
……………………………………………………………………… 22
D. Reaksi Masyarakat Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum dan Pelaku
Kejahatan
1. Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan ……..………………… 24
2. Hubungan Kejahatan dan Masyarakat .......................................... 26
3. Penjelasan Teori Struktural Sosial Tentang Kejahatan …………. 28
E. Obyek Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga …………………. 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ………………………………………....…….
39
B. Metode Penelitian …………………………………………………
39
C. Spesifikasi Penelitian …………………………………………...…
41
D. Lokasi Penelitian ……………………………………………….…
41
E. Informan Penelitian ………………………………………….……
42
F. Metode Penentuan Informan …………..….………………………
43
G. Jenis dan Sumber Data …………………………….……………...
44
H. Metode Pengambilan data …………………………….…………..
45
I. Metode Pengolahan data ………………………………………….
47
J. Uji Mutu Data ……………………………………………………..
48
K. Metode Penyajian Data ……………………………………………
51
L. Metode Analisis Data ……………………………………………... 52
x
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan terjadinya Kekerasan Seksual Dalam
Rumah Tangga terhadap Perempuan ..…………………………….. 53
B. Bentuk Perlindungan Hukum dalam kasus Kekerasan Seksual Terhadap
Anak di Wilayah Kabupaten banyumas ............................................ 77
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ……..……………………………………………………. 95
B. Saran …………..…………………………………………………... 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan dapat dipahami
dari berbagai sisi yang berbeda. Oleh karena itu, dalam realitas sosial dapat ditangkap
berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang
lain. Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan
masyarakat ialah tentang kejahatan pada umumnya, terutama mengenai kejahatan
dengan kekerasan. Persoalan kejahatan merupakan masalah abadi dalam kehidupan
manusia, karena dia berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban
umat manusia.
Sejarah perkembangan masyarakat sejak sebelum, selama dan sesudah abad
pertengahan telah ditandai oleh berbagai usaha manusia untuk mempertahankan
kehidupannya, dan hampir sebagian besar memiliki unsur kekerasan sebagai
fenomena dalam dunia realitas.Bahkan kehidupan umat manusia abad ke-20 ini,
masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai fenomena yang tidak
berkesudahan, apakah fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok
tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan.
Berkaitan dengan soal kejahatan, maka kekerasan yang merupakan pelengkap
dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu ciri tersendiri
dalam khasanah tadi studi tentang kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luar
2
frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin
tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini.
Kejahatan kekerasan bisa dialami oleh siapa saja, dimana pun dan dalam keadaan
apapun.Pada umumnya, remaja, perempuan dan anak-anak merupakan kelompok
yang kerap kali menjadi obyek kekerasan.Khususnya kekerasan terhadap perempuan,
meliputi pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik) dan
mutilasi kelamin, pembunuhan, pelecehan seksual.1
Dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
dari PBB tanggal 20 Desember 1993, diketahui bahwa kekerasan domestik
dimasukkan sebagai tindak kejahatan. Ada sejumlah alasan kenapa kekerasan
domestik harus disebut sebagai kejahatan, antara lain karena kejahatan domestik ini
umumnya terjadi karena masih adanya diskriminasi posisi antara mereka yang
melakukan kekerasan dengan yang menjadi korban kekerasan. Biasanya mereka yang
melakukan kekerasan merasa posisinya dominan dibandingkan mereka yang menjadi
korban. Jika ini terjadi dalam rumah tangga yang seharusnya para pihak dalam rumah
tangga itu saling mengayomi satu sama lain, maka tindakan kekerasan dalam rumah
tangga itu dapat digolongkan sebagai kejahatan.
Dari fakta-fakta sosial diketahui bahwa kejahatan kekerasan dalam rumah
tangga sering terjadi terhadap istri, anak dan pembantu.Diketahui bahwa perbuatan
tersebut dilakukan di dalam rumah, di balik pintu tertutup, dengan kekerasan fisik,
1
Wikipedia, “Kejahatan kekerasan” www.wikipedia.com diakses tanggal 23 oktober 2012
pada pukul: 23.10
3
seksual dan psikologis, dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan dekat
dengan korban.Nampaknya, masalah kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam
lingkup pribadi (privat).Oleh karena itu, kasus-kasus yang terjadi dipersepsikan
sebagai masalah yang tak terjangkau oleh hukum.
Kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga dalam kenyataannya dari
berbagai mitos selama ini pelaku tak selalu laki-laki dan korban pun tak selalu
perempuan, serta tidak mengenal kelas sosial ekonomi, budaya dan ras.
Di sisi lain, pandangan bahwa semua tindak kejahatan diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan pandangan yang tidak
mendukung pembaharuan hukum sesuai tuntutan perkembangan yang ada sehingga
seringkali korban kekerasan seksual mengalami hambatan untuk mengakses kasusnya
pada aturan hukum yang ada. Sementara ketentuan hukum acara pidana dan
ketentuan perundangan lain sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan
bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Semua pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa kedudukan perempuan di
dalam hukum sangatlah lemah. Meski secara de jure, misalnya di dalam Pasal 31
Undang-Undang Perkawinan, perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama
dengan suami (laki-laki) di muka hukum dan kehidupan bermasyarakat, akan tetapi
secara de facto tidaklah demikian.2
Selain pertimbangan hukum tersebut, ada asumsi masyarakat yang
menganggap bahwa masalah kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah urusan
2
Pasal 31 UU perkawinan “Tentang hak dan kedudukan Perempuan”
4
suami isteri yang bersangkutan yang harus diselesaikan oleh mereka berdua. Hal ini
turut menghambat proses perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi
korban kejahatan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sebagian masyarakat juga
berpendapat bahwa campur tangan pihak lain seperti keluarga, masyarakat maupun
pemerintah dianggap tidak lazim.
Telah menjadi keyakinan masyarakat pula baik masyarakat tradisional
maupun modern, bahwa kehidupan dalam perkawinan (rumah tangga) adalah
merupakan sebuah area yang tertutup atau hanya untuk kalangan sendiri.Artinya, ada
keengganan untuk membicarakan persoalan domestik kepada orang luar, karena
memang
ada
nilai-nilai
yang
melembagakan
kesakralan
keluarga
dan
perkawinan.Kekerasan seksual terhadap isteri sangat mungkin terjadi di dalam
perkawinan karena ada keyakinan sebagian masyarakat bahwa hal itu hak suami
sebagai seorang pemimpin dan kepala keluarga.
Dalih mendidik isteri seringkali dijadikan sebagai alasan pembenar manakala
suami menggunakan cara memukul, memperingatkan secara kasar atau menghardik
dan berbagai bentuk perilaku lain yang menyakitkan hati atau fisik isteri. Kejahatan
kekerasan seksual dalam rumah tangga belum banyak dimengerti sebagai masalah
yang serius, karena umumnya orang belum mengerti realitasnya..Kedudukan suami
sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah ini memberikan kekuasaan lebih kepada
suami atas isterinya.Kedudukan ini dengan sendirinya semakin menciptakan
ketergantungan para isteri (setidaknya secara ekonomi) kepada suaminya.
5
Dari 217 juta penduduk, setidaknya 24 juta penduduk perempuan mengalami
kekerasan khususnya di daerah pedesaan.Kekerasan dalam rumah tangga itu, seperti
penganiayaan, pemerkosaan dan pelecehan seksual.3
Dan sedangkan di daerah Banyumas terdapat 141 kasus kejahatan kekerasan
dalam rumah tangga pada tahun 2010 hingga 2012, akan tetapi hanya 2 kasus yang
bersangkutan dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Dari kenyataan di atas maka penulis mengetengahkan topik tersebut dengan
berdasarkan oleh beberapa hal antara lain :
1. Kejahatan KDRT merupakan salah satu masalah yang bukan dikategorikan lagi
sebagai masalah dalam keluarga.
2. Penegakan hukum perlu dilaksanakan secara konsekuen agar dapat memberikan
kontribusi besar terhadap perlindungan korban-korban kejahatan kekerasan dalam
rumah tangga.
Dari latar belakang inilah, penulis memutuskan untuk mengangkatnya ke
dalam bahasan skripsi dengan judul “KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH
TANGGA DITINJAU DARI SISI KRIMINOLOGI (Studi di Polres Banyumas)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penulisan skripsi ini yaitu :
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual dalam
rumah tangga terhadap perempuan?
3
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24 diakses tanggal 20 Oktober 2012 pada pukul: 21.00
6
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum yang dilakukan Polres (unit PPA)
terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab terjadinya
kekerasan seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga.
2. Untuk mengetahui upaya polres dalam menanggulangi dan memberikan
bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam
rumah tangga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaharuan hukum nasional
pada umumnya.
b. Dapat menambah wawasan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya
dalam lingkup pidana yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual
dalam rumah tangga.
2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
bagi mereka yang berminat dibidang hukum.
b. Untuk dapat berperan dalam membantu para penegak hukum melakukan
pemberantasan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada khususnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Kepolisian Republik Indonesia
1. Pengertian Kepolisian Republik Indonesia
Polri (Kepolisian Republik Indonesia), arti kepolisian disini ditekankan pada
tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai departemen pemerintahan atau bagian dari
pemerintahan, yakni memelihara keamanan, ketertiban, ketentraman masyarakat,
mencegah dan menindak atau memberantas pelaku kejahatan. Sesuai dengan Kamus
Umum Bahasa Indonesia, bahwa polisi diartikan: 1) sebagai badan pemerintah yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang
melanggar undang-undang, dsb.), dan anggota dari badan pemerintahan tersebut di
atas (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan, dsb.).4
Pengertian lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, “Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangaundangan”. Istilah kepolisian dalam Undang-undang Polri tersebut mengandung dua
pengertian, yakni fungai polisi dan lembaga polisi. Jika mencermati dari pengertian
fungsi polisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 tentang Polri tersebut fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan
4
W.J.S. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hal. 763
8
negara dibidang pemeliharaaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat, sedangkan lembaga
kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan
diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan demikian berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan
lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini dipengaruhi dari konsep
fungsi kepolisian yang diembannya dan dirumuskan dalam tugas dan wewenangnya.5
2. Tugas dan Wewenang Kepolisian
2.1 Tugas Kepolisian
Tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang diklasifikasikan menjadi tiga
yakni: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakan hukum;
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Di dalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, Polri memiliki tanggungjawab terciptanya dan terbinanya suatu kondisi
yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sadjijono di dalam
menyelenggarakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut
melalui tugas preventif dan tugas represif. Tugas dibidang preventif dilaksanakan
dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman,
perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman,
5
Sadjijono, Mengenal hukum Kepolisian (Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum
Administrasi), Surabaya: LaksBang Mediatama, 2008, hal. 5
9
tertib, dan tenteram tidak terganggu segala aktivitasnya. Faktor-faktor yang dihadapi
pada tataran preventif ini secara teoritis dan teknis kepolisian, mencegah adanya
Faktor Korelasi Kriminogin (FKK) tidak berkembang menjadi Police Hazard (PH)
dan munculsebagai Ancaman Faktual (AF). Sehingga dapat diformulasikan apabila
niat dan kesempatan bertemu, maka akan terjadi kriminalitas atau kejahatan (n + k =
c), oleh karena itu langkah preventif, adalah usaha mencegah bertemunya niat dan
kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi kejahatan atau kriminalitas.6
Tugas di bidang represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh
aparatur penegak hukum termasuk didalamnya pihak kepolisian setelah adanya tindak
kejahatan atau tindak pidana. Yang termasuk dalam tindakan represif adalah
penyidikan, penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya sampai dilaksanakannya
pidana.
Tugas pokok kepolisian yang dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang No.
2 Tahun 2002 tersebut dirinci dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
tentang Polri, yang terdiri dari:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban
dan kelancaran lalu lintas dijalan;
6
Sadjijono, Ibid, hal. 117
10
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
h. menyelenggarakan
identifikasi
kepolisian,
kedokteran
kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisianuntuk kepentingan tugas
kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidupdari gangguan ketertiban dan/ atau pihak yang
berwenang;
j. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta
k. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.2 Wewenang Kepolisian
11
Kepolisian Negara Republik indonesia dalam melaksanakan wewenangnya
bukan tanpa batas, melainkan harus selalu berdasarkan hukum, karena menurut
penjelasan UUD 1945 dirumuskan “Bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Guna
terselenggaranya fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan wewenang
yang pada hakekatnya berupa “kekuasaan negara di bidang kepolisian untuk
bertindak atau untuk tidak bertindak” baik dalam bentuk upaya preventif mapun
upaya represif.
Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada Polri umumnya
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: wewenang-wewenang umum yang
mendasarkan tindakan
yang dilakukan polisi dengan azas
Legalitas dan
Plichmatigheid yang sebagian besar bersifat preventif dan yang kedua adalah
wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara
penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan, dimana sebagian besar
bersifat represif.7
Wewenang umum tersebut akan memberikan hak kepada petugas polisi untuk
dapat mengeluarkan perintah-perintah dengan keharusan untuk ditaati sepanjang
masih dalam lingkup tugas kepolisian. Perintah tersebut biasanya dituangkan dalam
bentuk peraturan-peraturan maupun dalam bentuk yang lainnya.8
7
Warsito Hadi Kusumo, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005, hal. 99
Ibid, hal. 101
8
12
Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia No.
2 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia
secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan
peraturan
kepolisian
dalam
lingkup
kewenangan
administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Sedangkan dalam ayat (2), Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang :
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus
dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian.
14
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dan pasal 14 dibidang proses pidana, maka kepolisian mempunyai wewenang yang
telah diatur secara rinci pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002,
yaitu:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenangdi tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untukmencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
15
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipilserta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkankepada penuntut umum;
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Seorang anggota polisi dituntut untuk menentukan sikap yang tegas dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya. Apabila salah satu tidak tepat dalam
menentukan atau mengambil sikap, maka tidak mustahil akan mendapat cercaan,
hujatan, dan celaan dari masyarakat. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya harus berlandaskan pada etika moral dan hukum, bahkan menjadi
komitmen dalam batin dan nurani bagi setiap insan polisi, sehingga penyelenggaraan
fungsi, tugas dan wewenang kepolisian bisa bersih dan baik. Dengan demikian akan
terwujud konsep kepolisian yang baik sebagai prasyarat menuju good governance.
Dalam pasal 18 UU kepolisian, Selain tugas dan wewenang yang disebutkan
di dalam UU Kepolisian ini, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk
kepentingan umum, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri. Tindakan menurut penilaian sendiri ini hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Tinjauan Peran Polisi dalam Penegakan Hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Peranan adalah tindakan yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa atau bagian yang
16
dimainkan seseorang dalam suatu peristiwa,9 sehingga peranan dapat diartikan
sebagai langkah yang diambil seseorang atau kelompok dalam menghadapi suatu
peristiwa.
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto,Peranan (role) merupakan aspek
dinamika dari status (kedudukan), apabila seseorang atau beberapa orang atau
organisasi yang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya,
maka ia atau mereka atau organisasi tersebut telah melaksanakan suatu peranan.10
Beliau juga mengutip pendapat Levinson bahwa peranan mencakup paling
sedikit 3 hal, yaitu:
1) Peranan adalah meliputi sarana yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat
seseorang
dalam
masyarakat.
Peranan
dalam
arti
ini
menempatkan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan masyarakat.
2) Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3) Peranan dapat juga dikatakan sebagai perihal individu yang penting
dalam struktur sosial.11
Berdasarkan pengertian di atas, peranan mengandung makna sebagai
perangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu atau kelompok untuk
melaksanakan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang peran
9
W.J.S. Purwodarminto, op. cit, hal. 751
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1987, hal. 220
11
Ibid. hal. 221
10
17
sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.Dimana setiap orang memiliki macammacam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupya. Hal ini sekaligus
berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta
kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.
Khusus mengenai peran Kepolisian dinyatakan dalam Tap MPR No.
VII/MPR/2000tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia. sebagai berikut: “Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”.
Secara sosiologis maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan
(status) dan peranan (role).Kedudukan merupakan posisi tertentu didalam struktur
kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.Kedudukan
tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya hak-hak dan kewajiban
tertentu.Hak-hak dan kewajiban tadi merupakan peranan atau role.Oleh karena itu,
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang
peranan (role occupant). Suatu hal sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat
atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas, suatu peranan
tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut :12
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
12
Soerjonno Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Bandung: Alumni,1982, hal. 20
18
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role).
Masalah Peranan dianggap Penting, oleh karena pembahasan mengenai
penegakan hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi.Maka diskresi
menyangkut pengambilan keputusan yang sangat terkait oleh hukum tetapi dalam
penerapannya, penilaian pribadi juga memegang peranan. Didalam penegakan hukum
diskresi sangat penting, oleh karena :13
1. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya
sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundangundangan didalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian.
3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana
dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
4. Adanya kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.
B. Definisi-Definisi Kriminologi
Pengertian kriminologi Kriminolgi, (criminology dalam bahasa Inggris, atau
kriminologie dalam bahasa Jerman) secara bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu kata
”crimen” dan ”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu.Dengan
demikian kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat.
Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana
dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada
salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu sosiologi, hukum,
psikologi, psikiatri, dan biologi.14
13
14
Ibid, hal. 22
I.S.,Susanto,kriminologi, FH Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto; 2009. Hlm 1.
19
Penelitian-penelitian kriminologi meliputi berbagai faktor, yang secara umum
meliputi:
1. Penelitian tentang sigat, bentuk, dan peristiwa tindak kejahatan serta
persebarannya menurut faktor sosial, waktu, dan geografis.
2. Ciri-ciri fisik dan psikologis, riwayat hidup pelaku kejahatan (yangmenetap)
dan hubungannya dengan adanya kelainan perilaku.
3. Perilaku menyimpang dari nilai dan norma masyarakat, seperti perjudian,
pelacuran, homoseksualitas, pemabukan, dsb.
4. Ciri-ciri korban kejahatan.
5. Peranan korban kejahatan dalam proses terjadinya kejahatan.
6. Kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana.
7. Sistem peradilan pidana, yang meliputi bekerjanya lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan penghukuman dalam menangani pelaku
pelanggaran hukum pidana sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap
kejahatan.
8. Metode pembinaan pelaku pelanggaran hukum.
9. Struktur sosial dan organisasi penjara.
10. Metode dalam mencegah dan mengendalikan kejahatan.
11. Penelitian terhadap kebijakan birokrasi dalam masalah kriminalitas, termasuk
analisa sosiologis terhadap proses pembuatan dan penegakan hukum.
12. Bentuk-bentuk reaksi non-formal masyarakat terhadap kejahatan,
penyimpangan perilaku, dan terhadap korban kejahatan.15
W.A Bonger (1970) memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” (Bonger,
1970:21). Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke
dalam dua aspek:
1. kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil penelitiannya
disimpulkan manfaat praktisnya.
2. kriminologi
teoritis,
pengelamannya
15
seperti
yaitu
ilmu
ilmu
pengetahuan
pengetahuan
yang
lainnya
berdasarkan
yang
Dr.Soedjono Dirdjosisworo,Pengantar Penelitian Kriminologi,Remadja Karya
CV.Bandung,1984.Hal 15
sejenis,
20
memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari
gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi.
Dalam
kriminologi
teoritis,
Bonger
memperluas
pengertian
dengan
mengatakan bahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan.
Herman Manheim, orang Jerman yang bermukim di Inggris memberikan
definisi kriminologi sebagai berikut:
“Kriminologi dalam pengertian sempit adalah kajian tentanga kejahatan.dalam
pengertian luas juga termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang
penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan,
dan masalah pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman.
untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian
hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana”
Gibbons memberikan definisi yang menekankan pada aspek analisa objektif
kriminologi, yaitu sebagai berikut:
”Kajian ilmiah tentang pelanggaran hukum dan usaha sunggun-sungguh untuk
menyingkap penyebab kriminalitas pada umumnya telah dilakukan di wilayah
yang dinamakan kriminologi, yang memberi perhatian pada analisa objektif
tentang kejahatan sebagai gejala sosial.”
Dalam ruang lingkupnya kriminologi memasukkan pencarian yang berkaitan
dengan proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar
hukum.
Selanjutnya definisi yang diberikan oleh Walter Reckless:
“Kriminologi adalah pemahaman ketertiban indiveidu dalam tingkah laku
delinkuen dan tingakah laku jahat dan pemahaman bekerjanya sistem
peradilan peidana. Yang disebut pertama, yaitu kajian keterlibatan,
mempunyai dua aspek: (1) kajian terhadap si pelaku, dan (2) kajian tingkah
laku dari si pelaku, termasuk korban manusia. Yang disebut kedua,
memperhatikan masalah (1) masuknya orang dalam sistemperadilan pidana
pada setiap titik, dan parale; serta (2) keluaran daru produk sistem peradilan
pidana dalam setiap titik perjalanan.
Dengan demikian secara singkat dapat diuraikan, bahwa objek
kriminologi adalah:
21
1) Kejahatan
Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara
spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum,
atau lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan
dengan norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut kriminologi.Banyak
para pakar mendefiniskan kejahatan dari berbagai sudut.Pengertian kejahatan
merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada
nilai-nilai dan skala sosial (I Nyoman Nurjaya, 1985:60).
Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran
terhadap undang-undang pidana.Disinilah letak berkembangnya kriminologi
dan sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa
demikian, perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan
bentuk kejahatan tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut
sebagai salah satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran
terhadap kebijakan hukum pidana.Dengan mempelajari kejahatan dan jenisjenis yang telah dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari
pula tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang
dicantumkan dalam undang-undang pidana.16
16
Nurjaya, I Nyoman,Masalah aktual tentang hukum Acara Pidana dan Kriminologi. Penerbit:
Binacipta Tahun terbit: 1984
22
2) Pelaku
Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi
ini.Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku
kejahatan tersebut juga dipelajari.Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran
tersebut tidak demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku
kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah
ditetapkan sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan.Objek penelitian
kriminologi tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan
kejahatan, dan dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat
kesadaran masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah
kebijakan hukum pidana baru.17
C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
Kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah tiap-tiap perbuatan yang
mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan
hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki,
dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak
disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.18
Pengertian Rumah tangga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan
17
Ibid.
Wikipedia, “Pengertian Kekerasan Seksual” www.wikipedia.com diakses tanggal 24 oktober
2012 pukul:22.15
18
23
dengan keluarga. Keluarga adalah bapak dan ibu beserta anak-anaknya dan
merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Lingkup
rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah meliputi: suami,
isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan
dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja
membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang
yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan. Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah:
a. Suami istri atau mantan suami istri.
b. Orangtua dan anak-anak. 19
Pengertian dari istri atau suami atau mantan istri/ suami adalah meliputi istri
atau suami atau mantan istri/ suami de jure yakni seseorang yang telah melakukan
perkawinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta
meliputi istri atau suami atau mantan istri/ suami de facto yaitu, seseorang yang telah
melakukan perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang
berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di
bawah undang-undang tertulis.
19
Wikipedia, “Pengertian Rumah Tangga” www.wikipedia.comdiakses tanggal 24 oktober
2012 pada pukul:23.10
24
Menurut Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.20
D. Reaksi Masyarakat Terhadap Perbuatan Melanggar Hukum Dan Pelaku
Kejahatan
1. Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang
telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan
masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif.Kita juga telah
pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi
pelaksanaannya.dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua
yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara
operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat
pelaksanaannya.
a. Reaksi Represif
20
Pasal 1Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga
25
Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan
kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi
dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.
b. Reaksi Preventif
Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan
agar kejahatan tidak terjadi.Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari
ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini.Menyadari
pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan
yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk
mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal,
a. Reaksi Formal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku
kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihakpihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi
tersebut.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem
peradilan pidana, dengan demikian adalah;
(1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,
(2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta
(3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kejahatannya.
b. Reaksi Informal
Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh
warga masyarakat biasa.Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan
haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan
dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.
26
Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal
sebagai tindak kontrol sosial informal.Studi-studi memperlakukan beberapa
aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang
digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol
sosial informal.Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk
dan tempat.21
2. Hubungan Kejahatan dan Masyarakat
Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang
batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat relative.
Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya
ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan perilaku
masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan dimana satu sisi
memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan moral serta adanya
relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan.
Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of
crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai kondisi
ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban kejahatan atau
merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan.Jadi
sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung bagaimana individu yang
bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan).
Analisis risiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara pelaku dan
korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan
21
http://blogingria.blogspot.com/2011/12/modul-kuliah-kriminologi.html
27
hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku
kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak semua pihak yang
terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban dari suatu
kejahatan.Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan
masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas
Rutin.
Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang
mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di
dalam populasi.Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama
memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu
kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman.Tetapi aspek
korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor
tambahan seperti keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural.Stark
memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di
dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama,
pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut
dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga,
kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat, motivasi untuk
melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.
28
Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait
dengan ekologi sosial.Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan
antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.22
3. Penjelasan Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan
Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat
dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor
struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain;
a. Teori Belajar Sosial
Teori
Differential
Association
dari
Sutherland,
pada
pokoknya,
mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola
kejahatan.Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari
melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok
pribadi yang intim.Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk
melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan
pembenaran-pembenaran
argumentasi
yang
mendukung
kejahatan.
22
http://mamien-go.wordpress.com/2011/07/teori-kriminologi-bag2.html
dilakukannya
29
b. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di
dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar
hukum. Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang
bersifat positif, yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs,
yang diyakini merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat
melakukan pelanggaran hukum.
c. Teori Label
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk
mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran
kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan
terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan
pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana
orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut
sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku
kejahatan.23
Teori Anomie, Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur
Kesempatan Berbeda dan penjelasan tentang hubungan antara Kondisi
Ekonomi dan Kejahatan.
23
http://tugas-makalah.blogspot.com/2013/05/teori-teori-tentang-kejahatan-dan-penyebabnya.html
30
d. Teori Anomie
Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam
masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam
bidang ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatankesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya
untuk mencapai aspirasi tersebut.
e. Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda.
Pada dasarnya menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam
kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai
dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan)
tersebut, dapat menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.24
E. Obyek Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
1. Perempuan atau Istri
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis,
seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi
dalam rumah tangga atau keluarga.Selain itu, hubungan antara suami dan istri
diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional,
ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah
membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan
hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang
24
http://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/08/kriminologi-teori-anomi/
31
sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan
datang.
Dampak umum KDRT
a. Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah:
mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan
harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada
suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma,
mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri.
b. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk,
lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun
Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
c. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing
dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak
akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk
melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak
mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang
dilakukan oleh orang tuanya.
2. Anak yang mempunyai hubungan darah
Kekerasan, sebagai salah satu bentuk agresi, memiliki definisi yang
beragam. Salah satu definisi yang paling sederhana adalah segala tindakan yang
cenderung menyakiti orang lain, berbentuk agresi fisik, agresi verbal, kemarahan
atau permusuhan. Masing-masing bentuk kekerasan memiliki faktor pemicu dan
konsekuensi yang berbeda-beda.Penganiayaan anak atau kekerasan pada anak
atau perlakuan salah terhadap anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse,
32
yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung pada
seorang anak secara fisik, dan emosional.
Kekerasan
anak
meliputi
kekerasan
fisik,
psikis,
seksual,
dan
penelantaran. UNICEF mendefinisikan bahwa kekerasan terhadap anak adalah
“Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan emosional, penganiayaan seksual,
penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan
gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan
kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan
yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan”. Terdapat banyak teori
berkaitan dengan kekerasan pada anak, di antaranya teori yang berkaitan dengan
stres di dalam keluarga.Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak,
orangtua, atau situsional. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan fisik,
mental, atau perilaku beda, anak usia balita, serta anak dengan penyakit menahun.
Stres berasal dari orangtua misalnya orangtua dengan gangguan jiwa, orangtua
korban kekerasan pada masa lalu, orangtua memiliki harapan pada anak
terlampau tinggi, dan orangtua dengan disiplin tinggi.
Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan
terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak
di dalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut
kekerasan dalam rumah tangga.Tindak kekerasan anak yang termasuk di dalam
tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara
fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap anak. Namun, orang tua
33
menyikapi hal tersebut adalah proses mendidik anak, padahal itu adalah salah satu
tindak kekerasan terhadap anak. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar
perlu dikontrol dan dihukum.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan
menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.Bahkan, Komnas
Perlindungan Anak (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur
9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh
ibunya.Bayangkan bagaimana seorang anak menjadi sangat membenci dan tidak
bersimpatik terhadap dunia disekitarnya, khususnya pihak yang memberikan
perilaku kekerasan padanya.Bila yang melakukan itu adalah kedua orang tuanya,
maka jelas anak tersebut bisa menjadi sosok yang sangat menentang bahkan
melawan orang tuanya.
Rasa sakit hati yang disimpan oleh anak ini akan sangat berpengaruh pada
kehidupan psikologis anak. Meski kondisi lingkungan, pendidikan dan pergaulan
juga sangat berpengaruh.
Beberapa hal yang mungkin terjadi :
a. Anak menjadi penakut dan sulit mengambil keputusan.
b. Anak menjauhkan diri dari pergaulan dengan teman sebaya.
c. Anak menjadi agresif.
d. Anak suka mencederai atau menyakiti orang lain.
e. Anak melakukan penyimpangan seksual.
f. Anak menjadi pengguna narkoba.
34
g. Anak depresi dan bahkan ingin bunuh diri.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar.
Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka
lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam
mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup,
dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.Keluarga adalah tempat pertama
kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Sudah tentu dalam proses belajar, anak cenderung melakukan kesalahan.
Namun, dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakantindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun,
orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi
orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
Kekerasan anak dapat terjadi dimana saja, dan oleh siapa saja. Di rumah
kekerasan biasanya di lakukan oleh orangtua, kakak, dan pembantu.Sedangkan di
lingkungan sekolah kekerasan tersbut dapat di lakukan oleh guru, teman-teman,
dan kakak kelasnya. Dan juga di di lingkungan tempat dia bermain kekerasan juga
dapat terjadi.
a. Pemicu Kekerasan Anak
Pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah :
1. Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan
yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi
35
ini kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak
seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua.
2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana
seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan
peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
3. Faktor ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan
ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi.
4. Anak memiliki cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku,
autisme, terlalu lugu, memiliki tempramental lemah, ketidak tahuan anak
terhadap hak-haknya, dan terlalu bergantung kepada orang dewasa.
5. Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu atau ayah
dalam jangka panjang.
6. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan
mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis terhadap anak, anak
lahir di luar nikah.
7. Penyakit gangguan mental pada salah satu orangtua.
8. Orangtua yang dulu sering di telantarkan atau mendapatkan perlakuan
kekerasan , sering memperlakukan anaknya dengan perlakuan yang sama.
9. Kekerasan terhadap anak terbagi atas kekerasan fisik, kekerasan
emosional, kekerasan seksual, dan penelantaran. Namun kekerasan yang
satu dengan yang lain saling berhubungan. Jika anak menderita kekerasan
fisik, pada saat bersamaan anak juga menderita kekerasan emosional.
36
Sementara jika anak mengalami kekerasan seksual, selain menderita
kekerasan emosional, anak juga akan mengalami penelantaran.
b. Ciri-ciri Anak Korban Kekerasan
Secara umum, anak yang mengalami kekerasan adalah sebagai berikut:
1. Menunjukan perubahan perilaku dan kemampuan belajar.
2. Tidak memperoleh batuan untuk masalah fisik dan masalah kesehatan
yang seharusnya menjadi perhatian orangtua.
3. Memiliki gangguan belajar atau sulit berkonsentrasi.
4. Selalu curiga dan siaga terhadap orang lain.
5. Kurangnya pengarahan dari orangtua.
6. Selalu mengeluh, pasif atau menghindar.
7. Datang ke sekolah atau tempat aktivitas lebih awal dan pulang terakhir,
bahkan sering tidak mau pulang ke rumah.
c. Ciri-ciri Orangtua Pelaku Kekerasan Terhadap Anak
Sedangkan ciri-ciri umum orangtua yang melakukan kekerasan pada anak
adalah :
1. Tak ada perhatian pada anak.
2. Menyangkal adanya masalah pada anak di rumah dan di sekolah, dan
menyalahkan anak pada setiap masalah.
3. Meminta guru untuk memberi hukuman berat dan menerapkan disiplin
pada anak.
37
4. Menganggap anak sebagai anak yang bandel, tak berharga, dan susah
diatur.
5. Menuntut kemampuan fisik dan akademik anak, tidak sebanding dengan
kemampuan yang ada.
6. Hanya memperlakukan anak pemenuhan kepuasaan akan kebutuhan
emosional untuk mendapatkan perhatian dan perawatan.
d. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1. Kekerasan Fisik : dianiaya, dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit,
dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, dll.
2. Kekerasan Psikis : dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu
yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dipaksa
bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi
pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dll.
3. Kekerasan Seksual : diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya,
diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya,
dipaksa melakukan oral sex, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi
pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan pelecehan seksual
lainnya.
4. Penelantaran : Kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang
dibutuhkan anak,tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa
38
aman, kesehatan, perlindungan (rumah) dan pendidikan, mengacuhkan
anak, tidak mengajak bicara.25
25
http://books.google.co.id/books?id=04TZAAAAMAAJ&q=dampak+umum+kdrt&dq=dampak+umu
m+kdrt&html
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif dengan
pendekatan yuridis sosiologis. Yang dimaksud dengan metode kualitatif adalah suatu
tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata,
yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain seorang
peneliti yang menggunakan metode kualitatif tidaklah semata-mata bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi untuk memahami kebenaran
tersebut.26 Sedangkan yang dimaksud dengan Yuridis Sosiologis atau social legal
research adalah pendekatan yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi
kehidupan masyarakat itu sendiri yang menekankan pada pencarian-pencarian,
keajegan-keajegan empirik dengan konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis
juga melakukan observasi terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi .27
Perhatian peneliti terfokus pada faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab
terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga dan
mengetahui
upaya
polres
dalam
menanggulangi
dan
memberikan
bentuk
perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga.
B.
Metode Penelitian
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 250
R. Soemitro Hanitijio, Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghali Indonesia, Jakarta,
1988, hlm 11
27
40
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei
dan metode Documenter.Metode survei merupakan pengamatan atau penyelidikan
yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang baik terhadap suatu persoalan
tertentu di dalam daerah atau lokasi tertentu atau suatu studi ekstensif yang dipolakan
untuk memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan.28 Penelitian survei
merupakan kegiatan penelitian yang memiliki tiga tujuan penting diantaranya,
mendeskripsikan keadaan alami yang hidup saat itu, mengidentifikasi secara terukur
keadaan sekarang untuk dibandingkan, menentukan hubunngan sesuatu yang hidup
di antara kejadian spesifik. 29
Penelitian dengan menggunakan survei juga merupakan metode baik guna
mengukur sikap orientasi penduduk dalam populasi besar terhadap suatu kasus sosial.
Kegiatan peneitian survei dapat diidentifikasikan sejak seorang peneliti melakukan
persiapan perencanaan, menentukan strategi sampling yang hendak digunakan,
mendiskusikan instrumen pengumpul data seperti angket dan wawancara, bagaimana
menyampaikan instrumen tersebut kepada responden sebagai kelengkapan teknik
survei, sampai akhirnya mengidentifikasi beberapa prosedur yang tepat agar dapat
memproses dan menganalisis untuk memperoleh hasil penelitian.30
Metode dokumenter adalah tehnik pengumpulan data dan informasi melalui
pencarian dan penemuan bukti-bukti.Metode dokumenter ini merupakan metode
28
Ikhsanudin, 2011, Tentang Penelitian, Artikel, Diakses disitus http://ikhsanu.blogspot.com
pada tanggal 15 Mei 2012.
29
Alim Sumarno, 2012, Penelitian survei adalah, Artikel, Diakses disitus
http://blog.elearning.unesa.ac.idpada tanggal 15 Mei 2012.
30
ibid
41
pengumpulan data yang berasal dari sumber non manusia.Data yang diperoleh disebut
dokumen. Data dokumenter adalah jenis data penelitian yang antara lain berupa:
buku, jurnal, surat-surat, hasil penelitian, karya ilmiah ,artikel, dsb. dokumenter
memuat apa dan kapan suatu kejadian atau transaksi, serta siapa yang terlibat dalam
suatu kejadian. Data dokumenter dapat menjadi bahan atau dasar analisa data yang
kompleks yang dikumpulkan melalui metode observasi dan analisis dokumen yang
dikenal dengan content analysis.31
C.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif analitis, yaitu menggambarkan keadaan dari obyek yang akan diteliti untuk
kemudian dianalisa berdasarkan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut permasalahan tersebut di atas.32Spesifikasi penelitian
deskriptif analitis dalam penelitian ini dimaksudkan memberikan gambaran yang
selengkap-lengkapnya tentang peranan kepolisian dalam upaya polres menanggulangi
dan memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual
dalam rumah tangga
D.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada lembaga yang terkait, yaitu di Polres
Banyumas, Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan Pusat
31
Fu'adz Al-Gharuty, 2009, Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif, Artikel. Diakses
disitus http://adzelgar.wordpress.com pada tanggal 2 September 2012.
32
Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.
13
42
Informasi Ilmiiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Karena pada dewasa ini sedang marak mengenai kekerasan seksual dalam rumah
tangga. Dengan adanya kekerasan seksual dalam rumah tangga maka banyak terjadi
pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya sendiri.
Sehubungan dengan tugas kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; menegakan hukum; memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut mengenai peranan kepolisian mengenai pencegahan dan penanggulangan
kekerasan seksual dalam rumah tangga diwilayah hukum Polres Banyumas.
Pengambilan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa sumber data yang dimungkinkan
dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian. Pertimbangan yang lain yaitu
efisiensi biaya dan waktu, dikarenakan peneliti bertempat tinggal di Banyumas. Hal
ini terkait dengan objek penelitian yang akan dikaji oleh peneliti.
E.
Informan Penelitian
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk dapat memberikan informasi
tentang situasi dan latar belakang penelitian.Jadi informan harus benar-benar
mengetahui kondisi dan situasi di lapangan dalam memberikan informasi kepada
peneliti. Informan dalam penelitian ini ialah Anggota Kepolisian Resor Banyumas
tetapi tidak semua informan dijadikan subyek penelitian, hanya sebagian dari
informan saja yang dijadikan subyek penelitian, yaitu Kepala Kepolisian Resor
Banyumas atau orang yang berkapasitas sebagai penanggung jawab dari kinerja
Anggota Kepolisian Resor Banyumas. Hal tersebut didasarkan bahwa
Kepala
43
Kepolisian Resor Banyumas atau orang yang berkapasitas sebagai penanggung jawab
dari kinerja Anggota Kepolisian Resor Banyumas dapat mewakili Kepolisian Resor
Banyumas dalam menjalankan peranannya terhadap penanggulangan kekerasan
seksual dalam rumah tangga di wilayah hukum Kepolisian Resor Banyumas, serta
memahami faktor-faktor yang cenderung menghambat peranan Anggota Kepolisian
dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual dalam rumah tangga di
wilayah hukum Kepolisian Resor Banyumas.
F.
Metode Penentuan Informan
Konsep informan berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi
sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang terpercaya mengenai elemenelemen yang ada (karakteristik elemen-elemen yang tercakup dalam fokus atau topik
penelitian).33
Informan diambil dengan carapurposive sampling atau criterian based selection
yang diikuti oleh Snowball Sampling.34Menentukan sampling dengan criterian based
selection maka peneliti cenderung memilih nara sumber yang dianggap tahu dan
dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui secara
mendalam, sedangkan snowball sampling digunakan untuk mencari informan/ sampel
yang berkelanjutan yang baru berhenti bila sudah tidak menemukan informasi.
Snowball sampling hanya mungkin diterapkan terhadap populasi yang jumlahnya
33
Sanafiah Faisal, penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi, Y A 3, Malang, hlm. 56.
H.B Sutopo, Suatu Pengantar Kualitatif, Dasar Teori dan Praktek, pusat Penelitian UNS,
Surakarta, 1988, hlm. 22.
34
44
tidak lebih dari 100 orang.
35
Berdasarkan kepada fokus kajian yang dilaksanakan
dalam penelitian ini, maka informan yang dikaji adalah:
1. Kepala Kepolisian Resor Banyumas.
2. Kepala Kesatuan Reserse Kepolisian Resor Banyumas.
3. Kepala Kesatuan Unit PPA Kepolisian Resor Banyumas.
Informan penelitian sebagaimana tersebut di atas bukan hal yang limitatif,
karena akan terus berkembang mengikuti prinsip “bola salju” (snowball).
G.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai berikut:
1.
Data Primer
Data primer diperoleh penulis dari Polres Banyumas berupa sejumlah
keterangan atau fakta dari individu Anggota Kepolisian Resor Banyumas
tentang peranan Kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan
seksual dalam rumah tangga.
2.
Data Sekunder
Data sekunder bersumber dari studi kepustakaan, berupa mempelajari
buku-buku literature, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti atau yang sesuai dengan objek kajian.
Data sekunder yang diperoleh dari proses dokumentasi berupa data tertulis
ataupun film bersumber dari dokumen resmi yang ada di Kepolisian Resor
Banyumas, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, hasil-hasil penelitian, serta hasil-hasil
35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
1986, hlm 197.
45
pertemuan ilmiah atau lokakarya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
atau yang sesuai dengan objek kajian.
H.
Metode Pengambilan Data
1.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian
yaitu di Polres Banyumas, dengan menggunakan metode:
a.
Interview (wawancara)
Wawancara adalah suatu cara yang dipergunakan untuk tujuan
tertentu guna mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari
seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadap muka dengan orang
tersebut.36
Wawancara (interview), menurut Fred N Kerlinger37 adalah
situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang
yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian kepada seseorang responden. Teknik wawancara yang dipilih
adalah dalam bentuk, “ wawancara terstruktur“ dan “wawancara tak
terstruktur”. Wawancara terstruktur adalah wawancara dimana peneliti
menetapkan
sendiri
masalah
dan
pertanyaan-pertnyaan
yang
diajukan.Sedangkan wawancara tak terstruktur adalah wawancara dimana
36
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta,1996, hlm.129
Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Perada, Jakarta, 2004,
hlm. 106.
37
46
peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa tanpa
terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara bebas
namun terpimpin dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaanpertanyaan tetapi masih di mungkinkan adanya variasi pertanyaan yang
disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.38
b.
Observasi
Observasi atau pengamatan dilakukan untuk memperoleh data non
verbal (eksperimen informan, penampilan fisik dan lain sebagainya) yang
digunakan untuk melengkapi hasil wawancara atau data lain yang tidak
terjangkau oleh wawancara. Observasi tidak berperan atau keterlibatan
pasif dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti ketika tidak terlibat
dalam kegiatan yang dilakukan oleh para aktor pelaku yang diamati dan
jua tidak memerlukan suatu bentuk interaksi dengan peaku yang diamati,
jadi peneliti hanya mengamati saja.
2.
Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka
terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literature dan dokumendokumen lainnya yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian.
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-
38
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.59-60
47
bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur serta
peraturan perundang-undangna yang berhubungan dengan materi yang akan
dibahas dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari bahan pustaka ini
dinamakan dengan data sekunder.39
Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya
ilmiah pendapat sarjana, hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel
dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi,
teori-teori atau asas atau doktrin yang berkenaan dengan kepolisian dan
pertanggungjawaban pidana.
I.
Metode Pengolahan Data
Data yang telah terkupul diolah dengan menggunakan redukdi data. Reduksi
data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi yang muncul dari catatan tertulis di lapangan, oleh
karenanya reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorgaisasi data
dengan sedemikian rupa. Pada tahap Reduksi data, data dirangkum, dipilih hal- hal
yang pokok, memfokuskan pada hal - hal yang penting dicari tema dan polanya.40
Tahapan pengolahan data selanjutnya, Display data agar dapat melihat
gambaran keseluruhannya atau bagian-bagian tertentu dari penelitian, harus
39
S. Nasution, Metode Penelitan Naturalistik Kualitatif, Rekasarasin, Yogyakarta, 1996, hlm.
72.
39
Soegiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, CV Alfabeta, Bandung,
hlm.92.
40
Ibid, hlm. 99.
48
diusahakan membuat berbagai macam matriks, grafik dan charts. Dengan demikian
peneliti dapat menggunakan data dan tidak tenggelam dalam tumpukan detail. Pada
langkah ini peneliti menyusun data yang relevan sehingga dapat menjadi informsi
yang disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Kemudian tahap berikutnya adalah
tahap penarikan kesimpulan yang merupakan konklusi akhir dari tahapan analisis.41
Tahap pengolahan data kemudian memasuki tahap kategorisasi data.
Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian- bagian
yang memiliki kesamaan.42 Kategori adalah salah satu tumpukan dari seperangkat
tumpukan yang disusun atas dasar pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu.
Yaitu dengan mengelompokan kartu-kartu yang telah dibuat kedalam bagian-bagian
isi yang secara jelas berkaitan, kemudian merumuskan aturan yang menguraikan
kawasan kategori dan yang akhirnya digunakan untuk menetapkan inklusi setiap
kartu pada kategori dan juga sebagai dasar untuk pemeriksaan keabsahan data, serta
menjaga agar setiap kategori yang telah disusun satu dengan yang lain mengikuti
prinsip taat asas.
J.
Uji Mutu Data
Menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan.
Pelaksanan teknik didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Penelitian ini penulis
memfokuskan pada kriteria Kepercayaan (credibility).
42
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosada Karya, Bandung, 1991,
hlm. 288.
49
Pengujian data/uji kepercayaan (credibility) data dilakukan dengan cara
Triangulasi Sumber Hal ini dilakukan karena pengambilan data dalam penelitian ini
menggunakan wawancara dan observasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dilakukan apabila
terdapat data yang bertentangan, tidak sejalan atau berbeda mengenai hal yang sama
atau lebih sumber data serta pengecekan terhadap data yang tidak jelas sehingga
dapat diperoleh data yang dapat dipercaya kebenarannya.
Triangulasi adalah istilah yang diperkenalkan oleh N. K. Denzin dengan
meminjam peristilahan dari dunia navigasi dan militer, yang merujuk pada
penggabungan berbagai metode dalam suatu kajian tentang satu gejala tertentu.
Keandalan dan kesahihan data dijamin dengan membandingkan data yang diperoleh
dari satu sumber atau metode tertentu dengan data yang di dapat dari sumber atau
metode lain. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa setiap bias yang inheren dalam
sumber data, peneliti, atau metode tertentu, akan dinetralkan oleh sumber data,
peneliti atau metode lainnya. Istilah triangulasi yang dikemukakan oleh Denzin
dikenal sebagai penggabungan antara metode kualitatif dan metode kuantitatif yang
digunakan secara bersama-sama dalam suatu penelitian. Triangulasi menurut Denzin
dibagi menjadi empat, yaitu:43
43
Ibid hlm. 330.
50
1.
Sumber
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data
yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, maka pengumpulan dan
pengujian data yang telah diperoleh dapat dilakukan ke beberapa anggota Resor
Banyumasyaitu, ke Kepala Resor Banyumas, Kepala Bagian Reserse Polres
Banyumas dan anggota unit PPA. Data dari ketiaga sumber tersebut, tidak bisa
diratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi di deskripsikan,
dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana yang
spesifik dari tiga sumber data tersebut. Data yang telah di analisis oleh peneliti
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan
(member chek) dengan ketiga sumber data tersebut.
2.
Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,
dokumentasi, atau kuesioner.Bila dengan teknik pengujian kredibilitas data
tersebut, menghasilakan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan
diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain,
untuk mestikan data mana yang dianggap benar.Atau mungkin semuanya benar,
karena sudut pandangnya berbeda-beda.
51
3.
Penyidik
Menggunakan beberapa penyidik yang berbeda yang disiplin ilmunya
sama dengan penelitian ini.
4.
Teori
Penggunaan sejumlah perspektif dalam menafsir suatu data.Yakni
melakukan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisa dengan
menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda.
K.
Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang tersusun secara
sistematis, artinya data primer yang diperoleh akan dihubungkan dengan data
sekunder yang didapat serta dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan
permasalahan yang diteliti,sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan
yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain menggunakan teks naratif
penyajian data juga menggunakan matriks data, matriks yang digunakan adalah
matriks pengaruh eksploratif dan matriks tata peran. Matriks eksploratif digunakan
untuk mengkomparasikan data yang diperoleh dan mengetahui faktor-faktor apa saja
yang menghambat peranan Kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan
kekerasan seksual dalam rumah tangga. Matriks tata peran menyajikan data dari datadata yang telah dikumpulkan mengenai pandangan-pandangan populasi.44Matriks ini
menekankan peranan Kepolisian dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan
seksual dalam rumah tangga di wilayah hukum Polres Banyumas.
44
Mathew B Miles & Michael hubermas, Analisis Data Kualitatif, PT UI Press, Jakarta 1992,
hlm. 19-20
52
L.
MetodeAnalisis Data
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara
bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runrun, logis, tidak tumpang tindih dan
efektif kemudian dilakukan pembahasan.Penulis menggunakan metode pengolahan
data berupa analisis konten dan analisis komparatif.
Analisis konten merupakan bagian dari modus analisis semiotik.Analisis konten
adalah teknik penelitian yang digunakan untuk referensi yang replikabel dan valid
dari data pada konteksnya.Analisis konten lakukan dengan penelitian yang bersifat
pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi atau data yang telah diperoleh.
Pelopor analisis isi adalah Harold D Lasswell, yang memelopori teknik symbol
coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi
interpretasi. Analisis ini dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk data yang
tersedia.Peneliti mencari bentuk dan struktur serta pola yang beraturan dalam teks
dan membuat kesimpulan yang ditemukan.45
Analisis komparatif merupakan suatu analisis yang menggunakan logika
perbandingan
komparasi
yang
dibuat
adalah
komparasi
fakta-fakta
replikatif.46Penggunaan analisis ini adalah untuk membandingkan data-data yang
diperoleh dari informan penelitian selama penelitian berlangsung.Analisis komparatif
memungkinkan kesimpulan yang bisa ditarik dengan menggunakan logika
perbandingan.
45
Lexy J. Moleong, op. Cit. Hlm.279.
Mathew B Miles & Michael hubermas op. Cit. Hlm.88.
46
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Seksual dalam
Rumah Tangga Terhadap Perempuan.
Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang
bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain. Rumah tangga, menurut KBBI (kamus besar bahasa
Indonesia) adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam
rumah dan berkenaan dengan keluarga.Keluarga adalah bapak dan ibu beserta
anak-anaknya dan merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam
masyarakat.
a. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah tiap-tiap perbuatan yang
mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk
melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban
tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara
yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya
(mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.
54
b. Pengertian Konsep
Pelecehan seksual adalah:
Bentuk perbuatannya sangat (subtil), seperti mengedip-ngedipkan dan
memelototkan mata pada seorang perempuan, mengomentari bentuk tubuhnya,
menyiulinya, meraba, atau menciuminya, mulai dengan yang persuasif sampai
dengan yang menggunakan kekerasan”.
Pengertian diatas dapat dibagi kedalam tingkat penggunaan kekerasan, dari
yang ringan hingga paling keras, serta cara pelecehan seksual, dari verbal hingga
penggunaan kekerasan.
Pelecehan seksual, terutama yang terjadi ditempat kerja biasanya diiringi
dengan adanya penggunaan kewenangan, dalam hal ini atasan terhadap bawahan,
begitu pula di dalam rumah tangga, Pemanfaatan kewenangan ini membuktikan
bahwa tidak hanya penggunaan kekerasan secara fisik tetapi juga ancaman secara
verbal, dengan memanfaatkan ketergantungan korban terhadap pelaku secara
sosial maupun ekonomi.
Viktimisasi adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja melawan hukum atau
yang menurut hukum dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial,
pada seseorang atau sekelompok orang atau lembaga, oleh orang atau kelompok
orang atau lembaga lain, baik untuk kepentingan sendiri maupun orang lain.
55
Paul Separovic menyatakan bahwa ada 3 faktor yang menyebabkan
seseorang untuk menjadi korban.
1.
faktor personal, termasuk keadaan biologis ( umur, jenis kelamin, keadaan
mental ).
2.
faktor sosial, misalnya imigran, minoritas, pekerjaan, perilaku jahat, dan
hubungan antar pribadi.
3.
faktor situasional, misalnya situasi konflik, tempat dan waktu.47
c. Kekerasan seksual dalam rumah tangga
Lingkup rumah tangga dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 2004 adalah
meliputi: suami, isteri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah
tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam
kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka
waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga adalah:
1. Suami istri atau mantan suami istri.
2. Orangtua dan anak-anak.
3. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah.
4. Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orang-orang lain
47
http://adhimulyablogs.blogspot.com/2011/05/pelecehan-seksual.html diakses tanggal 3 juli 2013
56
yang menetap di sebuah rumah tangga.
5. Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau
pernah tinggal bersama (yang dimaksud dengan orang yang hidup bersama
adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama dalam
satu rumah untuk jangka waktu tertentu).
Definisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada
pengertian
kekerasan
terhadap
perempuan
yang
ada
dalam
Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993).
Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan:
Kekerasan terhadap perempuan adalah “ setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara
fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.
Pasal 2 dari Deklarasi menyatakan :
“Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi
tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan secara fisik, seksual dan
psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk
pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak,
kekerasa yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam
perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan
danpraktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,
kekerasan diluar hubungan suami istri dan kekerasan yang
berhubungan
dengan
eksploitasi
perempuan,
perkosaan,
penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat
kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya,
perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa. Serta termasuk
57
kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun
terjadinya”.48
Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan berbagai bentuk kekerasan
yang terjadi didalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki
kedekatan tertentu.Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, bekas istri,
tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan
seksual, atau perkosaan oleh anggota keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan
kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini
merupakan
bentuk
diskriminasi
yang
menghalangi
perempuan
untuk
mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki.Jenis tindak
kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang
laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan
yang berdalih kehormatan.Kekerasan kategori ini muncul akibat diposisikannya
perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan
dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya.
Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk
sekaligus dilembagakan secara sosial.Dalam hal ini, masyarakat menentukan
batasbatas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan
perempuan.Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad
48
http://eko-gudangmakalah.blogspot.com/2011/06/kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt.html
diakses tanggal 3 juli 2013
58
lamanya, dan dianggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang
hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label
sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan
dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut. Salah
satu bukti adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender adalah banyaknya
perempuan yang mengalami tindakan kekerasan. Kenyataan ini disebabkan oleh
kurangnya penghargaan dan adanya batas-batas kepantasan yangdiperlakukan
secara diskriminatif terhadap perempuan sehingga perempuan dipandang tidak
lebih dari sekedar objek yang pantas diperlakukan sewenang-wenang.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis,
seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera,
luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian.
2. Kekerasan
psikologis
adalah
setiap
perbuatan
dan
ucapan
yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang.
3. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan
seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan
seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan
atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau
tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan
seksualnya.
59
4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang
untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau
barang, dan atau membiarkan korban bekerja untuk dingeksploitasi, atau
menelantarkan anggota keluarga.
5. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua perbuatan
yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya (seperti
diantaranya: larangan keluar rumah, larangan berkomunikasi dengan orang
lain).49
Merujuk dari penjelasan diatas Berdasarkan data yang saya peroleh di Polres
Banyumas terutama di Bagian Unit PPA, terdapat 141 kasus kekerasan dalam
rumah tangga di daerah banyumas.Data tersebut diambil dari tahun 2010-2012,
dan terdapat 2 kasus yang berdasarkan penelitian saya, yaitu kekerasan seksual
dalam Rumah tangga. Kasus yang sudah diputus di Pengadilan Negeri Banyumas
terdapat 1 kasus kekerasan seksual dalam rumah Tangga yaitu Putusan Nomor :
124/Pid.Sus/2009/PN.Bms pada tanggal 18 februari 2010 yang korbannya dialami
oleh anak dibawah umur. berdasarkan kasus tersebut terdapat faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya tindak kekerasan seksual dalam rumah tangga yaitu :
1. Secara Teoritis.
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara
teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan
49
http://consultanonline.wordpress.com/tahukah-kamu/kejahatan-pidana/kdrt-kekerasan-dalamrumah-tangga/ diakses tanggal 4 juli 2013
60
dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori
para ahli.
Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai
pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan
ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau
mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dkk. membatasi ruang lingkup
kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak)
dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum
pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama.
Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui
secara pasti karena kompleksnya permasalahan, tapi beberapa ahli sudah
melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor
penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.
2. Secara Empiris
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama
yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah
dilakukan.
Masalah kekerasan seksual dalam rumah tangga bukanlah merupakan
masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak
kunjung
reda,
malahan
memperlihatkan
kecenderungan
61
peningkatan.untukmengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini
ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang
sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga.Padahal tindak
kekerasan
yang
dilakukan
sudah
tergolong
tindak
pidana.Malu
mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga,
atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap
dirasakan korban kekerasan seksual dalam rumah tangga di negara kita.
Penjelasan
dari
seluruh
data
dan
informan
di
atas,
dapat
diabstraksikanbahwa berdasarkan data wawancara dan observasi di Polres
banyumas terutama di Unit PPA, Dalam proses reduksi data dilakukan
penyederhanaan atau penyeleksian data yang didasarkan pada perumusan
masalah, fokus dan tujuan Penelitian. Data yang telah direduksi kemudian
disajikan sebagai pengantar untuk melakukan penarikan kesimpulan. Reduksi
untuk masing-masing fokus kajian penelitian adalah sebagai berikut :
1. Fokus Kajian Latar belakang terjadinya Kekerasan terhadap perempuan
Latar belakang terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah
faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
kekerasan
terhadap
perempuan atau faktor-faktor yang turut melestarikan kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi dalam masyarakat, adapun faktor/aspek tersebut
adalah faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Reduksi data untuk tiap aspek
latar belakang kekerasan terhadap perempuan adalah :
62
a. Faktor sosial, status sosial korban maupun pelaku tidak terlalu
mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, hal ini
terbukti dari hasil penelitian tercatat beberapa hal yaitu kekerasan
terhadap perempuan bisa terjadi pada korban dengan status sosial
apapun demikian juga pelaku kekerasan terhadap perempuan tidak
didominasi oleh pelaku dengan status tertentu dalam masyarakat.
Hal ini berarti faktor sosial bukan faktor/variabel penentu yang
melatarbelakangi kekerasan terhadap perempuan. tapi faktor ini
hanya menjadi faktor yang secara tidak langsung melestarikan
kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam masyarakat hal ini
dapat dibuktikan bahwa ada atau tidaknya peran masyarakat dapat
menjadi faktor yang menyuburkan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan seperti :
1) kurangnya peran keluarga dalam mendidik anak menyebabkan
anak cenderung mudah menjadi pelaku ataupun korban
kekerasan hal ini dapat dilihat dari data kasus kekerasan
terhadap perempuan berupa perkosaan dan pencabulan yang
dilakukan oleh pelaku dan korban dibawah umur ;
2) Lingkungan masyarakat yang buruk mempengaruhi
kecenderungan manusia untuk menjadi pelaku ataupun korban
kekerasan ;
3) Masyarakat yang apatis terhadap lingkungannya memiliki
kecenderungan untuk menjadi faktor pendukung terjadinya
kekerasan, hal ini berupa adanya anggapan masyarakat bahwa
kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga orang lain
adalah tabu untuk dicampuri anggapan ini menjadi penyebab
tingginya tingkat kekerasan terhadap istri dan kekerasan dalam
63
rumah tangga dalam masyarakat yang cenderung apatis
terhadap lingkungannya ;
4) Pengaruh negatif perkembangan teknologi dapat menjadi
faktor yang mempercepat degradasi moral masyarakat,
sehingga melahirkan masyarakat yang individualis, apatis serta
hedonis, yang kemudian menyebabkan generasi berikutnya
meniru generasi sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan berupa
perkosaan dan pencabulan yang dilakukan oleh pelaku dan
korban dibawah umur, mayoritas dari kasus tersebut adalah
karena pengaruh VCD porno serta perilaku meniru kekerasan
yang dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Keseluruhan faktor tersebut memunculkan sebuah hipotesa bahwa
masyarakat yang acuh serta keluarga yang kurang memperhatikan
perkembangan anaknya adalah faktor yang sangat mempengaruhi
perilaku anak untuk menjadi pelaku ataupun korban kekerasan
seksual.
b. Faktor ekonomi, faktor ini sebenarnya hanya menjadi faktor
penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan yang sifatnya
kasuistis artinya bahwa faktor ekonomi tidak bisa digeneralisir
sebagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan
terhadap perempuan pada setiap kasus, melainkan hanya terhadap
kasus-kasus tertentu saja faktor ini berlaku, karena kekerasan
terhadap perempuan bisa terjadi pada korban dan pelaku dengan
tingkat ekonomi apapun dari data hasil penelitian tercatat bahwa
faktor ekonomi ini besar sekali pengaruhnya untuk menjadi faktor
penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam
64
bentuk perdagangan perempuan dan pelecehan seksual, berupa
ketergantungan ekonomi yang sangat besar terhadap pelaku
pelecehan seksual menyebabkan perempuan tersebut rentan sekali
terhadap pelecahan seksual, kasus ini dapat dilihat dari data
pelecehan seksual yang terdapat pada Lentera Perempuan dimana
korban kebanyakan adalah mereka yang bekerja pada sektor-sektor
ekonomi dengan kedudukan karir menjadi bawahan pelaku
pelecehan, tapi tentu saja pelecehan seksual bisa terjadi dimana
saja, kapan saja, kepada siapa saja dan oleh siapa saja.
c. Faktor budaya, faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan hal ini disebabkan karena
mayoritas
masyarakat
menganut
budaya
patrialkal
yang
menempatkan perempuan sebagai kelas kedua di masyarakat, hal
ini melahirkan inferioritas perempuan terhadap laki-laki, karena
kedudukan
perempuan
yang lemah
secara
budaya
inilah
perempuan rentan terhadap kekerasan. Faktor budaya ini dapat
tercermin dalam bentuk sebagai berikut.
1)
Subordinasi, lemahnya posisi perempuan baik dalam keluarga
maupun dalam ruang publik. Dalam keluarga tercermin dalam
lemahnya posisi istri dan anak perempuan, budaya kita
menempatkan laki-laki dan suami memiliki kedudukan lebih
tinggi dari perempuan atau istrinya sehingga suami merasa
berhak memperlakukan istri sekehendak hatinya, adanya
penafsiran yang keliru atas ajaran agama, budaya ini
melahirkan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan
terhadap istri baik fisik, seksual dan psikologis. Dalam ruang
65
publik perempuan dinomorduakan dalam pengambilan
keputusan, jenjang karir perempuan cenderung terhambat
apalagi bagi perempuan yang sudah berkeluarga, hal ini
melahirkan beban psikologis bagi perempuan sehingga timbul
hipotesa bahwa apabila perempuan mau maju maka dia harus
memiliki dua kali lipat kemampuan dari laki-laki ;
2)
Pelabelan negatif (stereotipe), adanya pelabelan negatif
terhadap perempuan apalagi bagi perempuan yang yang
secara sosial dianggap cacat moralnya ;
3)
Marginalisasi (peminggiran) dalam mengakses kesempatan
dan hasil kerja ekonomis. Hal ini dapat terlihat bahwa dalam
keluarga laki-laki lebih di dahulukan daripada perempuan
dalam hal pendidikan, materi atau yang lainnya.
Berdasarkan data yang saya peroleh di Polres Banyumas, terdapat 141 kasus
kekerasan dalam rumah tangga di daerah banyumas akan tetapi hanya 3 kasus
yang berkaitan dengan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Data tersebut
diambil dari tahun 2010-2011, dan terdapat 2 kasus yang berdasarkan penelitian
saya, yaitu kekerasan seksual dalam Rumah tangga. Kasus yang sudah diputus di
Pengadilan Negeri Banyumas terdapat 2 kasus kekerasan seksual dalam rumah
Tangga yaitu Putusan Nomor : 124/Pid.Sus/2009/PN.Bms pada tanggal 18
februari 2010. berdasarkan kasus tersebut terdapat dimana seorang pelaku
melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandung dan anak tiri yang
korbannya rata – rata dialami oleh anak dibawah umur sekitar 14-13 tahun. Daftar
kasus yang terjadi Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten banyumas, maka yang
66
pertama harus di lihat adalah gambaran dari hasil penelitian tentang jumlah
kekerasan dalam rumah tangga yang di laporkan pada Polisi Resort (Polres)
Banyumas selama 3 tahun terakhir yaitu tahun 2010-2011 dan dapat di lihat pada
tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Data kekerasan terhadap perempuan Tahun 2009-2012
No
Bentuk kekerasan
Jumlah
1.
Pencabulan
9 Kasus
2.
Perceraian
6 Kasus
3.
Kekerasan seksual terhadap anak
4 Kasus
4.
Kekerasan terhadap Istri
42 Kasus
5.
penganiayaan
8 Kasus
6.
Perselingkuhan
9 Kasus
7.
Kekerasan dalam rumah tangga
20 Kasus
8.
Kekerasan dalam pacaran
18 Kasus
9.
Perkosaan
6 Kasus
10.
Pelecehan seksual
19 Kasus
Jumlah
141 Kasus
Data : Polres Banyumas
Tabel 2: Jumlah kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga
dilaporkan tahun 2010-2011
No
1.
2.
Tahun terjadinya kekerasan
2010
2011
Jumlah
Jumlah kasus
2
1
3
Sumber : Data primer diolah dari kuisoner
Data di atas menunjukan jumlah kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga
yang dilaporkan kepada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Banyumas
kisaran tahun 2010-2011 yaitu ada 3 kasus yang sudah selesei dan pada tahun
2012 ada 2 kasus yang saat ini sedang dalam proses sidang, berarti ada
67
penurunan. Dengan demikian jumlah kasus kekerasan seksual yang di laporkan
pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres banyumas selama periode
2010-2012 sejumlah 4 kasus yang menunjukkan adanya angka yang sama jumlah
kasus dari tahun 2010-2012 dengan rata-rata korban dibawah umur 17 tahun.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka
11 orang responden telah memberikan jawaban yang bervariasi atas pertanyaan
ini dapat dilihat pada tabel 3 :
Tabel 3:Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
No
Penyebab Kekerasan Terhadap Responden
1 Ekonomi
2 Selingkuh
3 Perilaku seks menyimpang
Jumlah Responden
5
3
3
Sumber : Data primer diolah dari kuisoner
Dari data di atas dapat terlihat bahwa ada beberapa hal yang menjadi
penyebab kekerasan dalam rumah tangga, yaitu :
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Perselingkuhan
3. Faktor perilaku seks menyimpang
Menurut
Ali
Rustomo
(Kanit
PPA)
wawancara,
tanggal
15
februari 2013, mengatakan bahwa korban pada umumnya datang melapor dan
mengadu hanya mengaku telah dianiaya tetapi tidak jelas apa penyebabnya
68
sehingga dianiaya. Walaupun ada korban yang mengatakan faktor penyebabnya
adalah faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga. Korban biasanya tidak mau menceritakan hal sebenarnya mengapa ia
dianiaya, sehingga polisi hanya memproses pengaduan tersebut tanpa melihat
lebih jauh faktor penyebabnya. Faktor ekonomi dimaksud adalah masalah
penghasilan suami, sehingga seringkali menjadi pemicu pertengkaran yang
berakibat terjadinya kekerasan fisik dan penelantaran rumah tangga. Selanjutnya
ia mengemukan bahwa selain faktor ekonomi yang dapat menjadi penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah faktor perselingkuhan yang
dapat menyebakan atau berujung pada kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi.
Kekerasan fisik dapat terjadi karena antara pelaku dan korban selalu cekcok atau
bertengkar karena adanya perselingkuhan dari salah satu atau kedua-duanya
masing-masing berselingkuh dengan orang lain. Begitu pula tentang penelantaran
rumah tangga yang terjadi karena adanya perselingkuhan yaitu pelaku sering
meninggalkan rumah tanpa alasan, sehingga tidak mengurus lagi orang-orang
dalam lingkup rumah tangganya. Faktor perilaku yang dapt menjadi penyebab
kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku buruk seseorang seperti seseorang
yang mempunyai sifat tempramen tinggi, gampang marah, kasar berbicara, suka
main judi, pemabuk dan mudah tersinggung, pencemburu dan sifat tersebut dapat
69
dengan cepat terpengaruh untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang di
sekelilingnya.50
Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya
kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dilihat gambaran sebagai berikut :
1. Penyajian data dengan fokus kajian latar belakang kekerasan terhadap
perempuan menggunakan matrik sebagai berikut :
Tabel 4: Sajian Data Penelitian dilihat dari Fokus Kajian Latarbelakang
Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Latar belakang kekerasan Keterangan
a. Faktor Ekonomi
Ketidakmampuan pelaku secara ekonomi
b. Faktor Perselimgkuhan Adanya perselingkuhan dari salah satu pihak
baik yang dilakuan oleh suami atau istri
keduanya dapat menjadi pemicu adanya
kekerasan dalam rumah tangga yang
bentuknya dapat berupa kekerasan fisik,
psikis dan penelantaran rumah tangga serta
kekerasan seksual.
c. penyimpangan seksual Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat
psikologis
atau
kejiwaan,
seperti
pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan
pergaulan, dan factor genetik
Sumber : Data primer diolah dari kuisioner
a. Faktor Ekonomi
Masalah ekonomi secara umum dapat dikatakan sebagai salah satu faktor
yang dapat memicu adanya pertengkaran yang berujung pada kekerasan seksual
atau pencabulan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi sebagai penyebab
50
Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7
maret 2013
70
terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga dapat dilihat ada tabel berikut
mata pencaharian Pelaku Kekerasan Seksual :
Tabel 3. Pekerjaan Pelaku Kekerasan Seksual
No
1
Jenis Pekerjaan Pelaku
Petani
Jumlah Responden
2
2
Buruh
1
3
Pengangguran
Jumlah
2
5 orang
Data: Unit PPA PolresBanyumas 2012
Menurut Ali Rustomo (wawancara, tanggal 7 maret 2013) bahwa kasus-kasus
yang dilaporkan karna alasan ekonomi memang pada umumnya karna
penghasilan kurang yaitu ada tuntutan istri yang selalu minta lebih kepada suami,
sedangkan suami tidak mampu memenuhinya. Tetapi ada juga dari yang
berpenghasilan cukup atau berlebih yaitu karena korban atau istri tidak bisa
mengatur keuangan rumah tangga, sehingga berapapun besarnya uang yang
diberikan selalu habis.51
Hal senada di sampaikan oleh Patahuddin B, SH (Pakar Hukum) bahwa kalau
sepintas lalu seseorang memukul istri karena masalah ekonomi, disini bukan
hanya karna penghasilan rendah tetapi juga ada yang berpenghasilan
51
Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7
maret 2013
71
cukup.Faktor ekonomi juga sangat bervariasi bentuknya, misalnya istri selalu
minta uang belanja melebihi jumlah penghasilan suaminya. Si suami yang punya
tempramen tinggi dan cepat marah setiap istri minta uang belanja selalu dibalas
kata-kata kasar bahkan dengan pukulan. Kasus lain dimana pelaku bukan karna
kekurangan tetapi berlebih atau cukup sehingga selain memenuhi kebutuhan
rumah tangganya dengan cukup, juga memakai untuk membiayai hidup
perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit tersinggung langsung memaki-maki
atau memukul istrinya karna untuk menutupi perselingkuhannya.
Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina, selalu mencelanya
bahkan memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah tangga, bukan
karena kurang uang bahkan dapat dikatakan berlebih hanya dalam hal ini
disebakan karena penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah
tangga. Kalau suami merasa kesal diperlakukan demikian cekcok maka biasanya
berujung pada kekerasan fisik dan dapat .
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena faktor ekonomi relatif
dapat di lakukan baik yang berpenghasilan cukup maupun yang berpenghasilan
kurang dapat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
hanya bentuknya beda.
72
b. Faktor Perselingkuhan
Menurut Ali Rustomo (wawancara tanggal 7 maret 2013) Faktor penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan
adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual
dalam rumah tangga. Berbagai alasan yang secara umum nyatakan bahwa karena
adanya perselingkuhan dari salah satu pihak baik yang dilakuan oleh suami atau
istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan dalam rumah tangga yang
bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga
serta kekerasan seksual.
Kekerasan seksual dapat terjadi apabila suami yang berselingkuh tetapi istri
selalu mempersoalkan masalah tersebut, selalu marah-marah, cemburu. Hal ini
dapat memicu emosi suami untuk bertindak kasar sampai memukul istri.,
demikian juga jika istri yang selingkuh apabila suami mengetahui ada yang
langsung memukul istrinya ada pula yang tidak langsung seperti memperingati
istrinya kalau menurut larangan suami maka dapat terjadi percekcokan berujung
pada kekerasan fisik terhadap istri. Hal ini juga dapat terjadi pada anak
perempuan, ipar perempuan dan pembantu perempuan yang dalam konteks rumah
tangga dapat menjadi objek kekerasan seksual yang disebabkan karena cemburu
akibat faktor perselingkuhan.
73
c. Faktor Perilaku Seks menyimpang
Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang
untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara
yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak
wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti
pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan factor genetik.
Berikut ini macam-macam bentuk penyimpangan seksual :
1. Homoseksual
Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan
seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita
perempuan. Hal yang memprihatinkan disini adalah kaitan yang erat antara
homoseksual dengan peningkatan risiko AIDS. Pernyataan ini dipertegas dalam
jurnal kedokteran Amerika (JAMA tahun 2000), kaum homoseksual yang “mencari”
pasangan yang melalui internet, terpapar risiko penyakit menular seksual (termasuk
AIDS) lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.
2. Sadomasokisme
Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan seksual
diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti
atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan
74
dari sadism seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau
disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual.
3. Ekshibisionisme
Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan
memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan
kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin
terangsang. Kondisi begini sering di derita pria, dengan memperlihatkan penisnya
yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi.
4. Voyeurisme
Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis
yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh
kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang
telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan
mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang
diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan
cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya. Dengan
kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi
penderita untuk memperoleh kepuasan seksual. Yang jelas, para penderita perilaku
seksual menyimpang sering membutuhkan bimbingan atau konseling kejiwaan,
disamping dukungan orang-orang terdekatnya agar dapat membantu mengatasi
keadaan mereka.
75
5. Fetishisme
Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas
seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana
dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan
seksual. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan.
Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan bendabenda favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan
pasangannya tersebut.
6. Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil
Adalah orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks / kontak fisik
yang merangsang dengan anak di bawah umur.
7. Bestially
Bestially adalah manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan
binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan lain
sebagainya.
8. Incest
Adalah hubungan seks dengan sesame anggota keluarga sendiri non suami
istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak cowok.
9. Necrophilia/Necrofil
76
Adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah
menjadi mayat / orang mati.
10. Zoophilia
Zoofilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan
hubungan seks dengan hewan.
11. Sodomi
Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks
baik pasangan sesame jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan.
12. Frotteurisme/Frotteuris
Yaitu suatu bentuk kelainan sexual di mana seseorang laki-laki mendapatkan
kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek / menggosok-gosok alat kelaminnya
ketubuh perempuan di tempat publik / umum seperti di kereta, pesawat, bis, dll.
13. Gerontopilia
Adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta
dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek
atau kakek-kakek). Gerontopilia termasuk dalam salah satu diagnosis gangguan
seksual, dari sekian banyak gangguan seksual seperti voyurisme, exhibisionisme,
sadisme, masochisme, pedopilia, brestilia, homoseksual, fetisisme, frotteurisme, dan
lain sebagainya. Keluhan awalnya adalah merasa impoten bila menghadapi
istri/suami sebagai pasangan hidupnya, karena merasa tidak tertarik lagi. Semakin ia
77
didesak oleh pasangannya maka ia semakin tidak berkutik, bahkan menja dicemas.
Gairah seksualnya kepada pasangan yang sebenarnya justru bias bangkit lagi jika ia
telah bertemu dengan idamannya (kakek/nenek).52
Berdasarkan penjelasan diatas diliat dari data primer yang sudah diolah dari
kuisoner di daerah Banyumas beserta Data kasus , Perilaku seks menyimpang yang
terjadi pada kasus-kasus kekerasan seksual di banyumas yaitu:
-
Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil
-
Incest
B. Bentuk Perlindungan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap
Anak Di Wilayah Kabupaten Banyumas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 di dalam Pasal
1 ayat (3) menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara
Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting
negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan
hukum. Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, keamanan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Banyumas
mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap
52
http://www.idonbiu.com/2009/05/bentuk-bentuk-penyimpangan-sosial-di.html
78
anak, terdapat jumlah kekerasan seksual terhadap anak yang ada di beberapa
wilayah kecamatan di Banyumas, relasi antara pelaku dengan korban, usia pelaku
dan korban, penyelesaian kasus, tuntutan Jaksa dan vonis Pengadilan terhadap
kasus kekerasan seksual terhadap anak di Banyumas.
Bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan seksual secara kekeluargaan
oleh masyarakat, bentuk-bentuk penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap
anak secara kedinasan, dan modus kasus-kasus kekerasan seksual yang dapat
dilihat pada data dari Unit PPA Sat Reskrim Polres Banyumas. Pada waktu
melapor, korban ditempatkan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dimana
seharusnya anggota-anggota didalamnya didominasi oleh polisi wanita (polwan)
sehingga korban tidak malu dan lebih terbuka dalam memberikan keterangan dan
menceritakan kronologis peristiwa perkosaan yang telah dialaminya. Dalam
memberikan pertanyaan, sebisa mungkin penyidik tidak menyinggung perasaan
korban apalagi memojokkan korban. Namun kenyataannya jumlah anggota
Polwan di unit PPA Polres Banyumas amat terbatas sehingga pemeriksaan
dilakukan oleh laki-laki namun korban didampingi orangtuanya. Untuk
kepentingan visum at repertum, RPK seharusnya menyediakan ruangan khusus
sehingga sedikit banyak dapat membantu meringankan penderitaan korban dalam
proses penyidikan. Namun kenyataannya korban dibawa ke Rumah Sakit
Bhayangkara. Bagi korban yang mengalami trauma atau gangguan psikis akibat
kekerasan seksual yang telah dialaminya, Unit PPA Polres Banyumas menjalin
79
kerjasama dengan Dinas Sosial Banyumas yang menyediakan psikiater yang
bertujuan untuk memulihkan kondisi kejiwaan dari korban kekerasan seksual
tersebut. Dalam hal setelah mengalami kekerasan seksual korban tidak diterima
kembali oleh keluarganya, atau sudah tidak ada lagi yang bersedia menampung
korban, maka Unit PPA Polres Banyumas juga menjalin kerjasama dengan Dinas
Sosial banyumas yang menyediakan fasilitas berupa SHELTER (Rumah Aman)
yang memberikan perlindungan agar korban terhindar dari kekerasan serta
mampu menyelesaikan masalahnya.
Perlakuan yang diterima korban selama proses peradilan pidana adalah
merupakan salah satu wujud perlindungan hukum terhadap korban (tindak pidana
perkosaan).
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk perbaikan dan
penyempurnaan penanganan antara lain:
1. Kekerasan seksual dan/atau perkosaan merupakan tindakan pseudoseksual
yang
sering
dilandasi
keinginan
mendominasi,
menaklukkan
dan
merendahkan daripada mendorong seksual sebagai pemicu utama. Karena itu,
kekerasan seksual tidak selalu ditampilkan dalam bentuk perkosaan (dalam
arti penetrasi penis ke vagina) melainkan dapat ditampilkan dalam berbagai
bentuk lain. Upaya perkosaan pun tidak selalu dapat berlangsung sempurna.
Meskipun demikian, dampak psikologisnya pada korban seringkali sama
80
beratnya. Penggunaan istilah perkosaan dapat menjebak dan mengandung
banyak kelemahan, mengingat perkosaan dalam arti (upaya) pemaksaan
hubungan seksual hanya merupakan satu dari banyak bentuk kekerasan
seksual terhadap anak.
2. Pengalaman
klinis
menunjukkan
cukup
banyak
penganiayaan
atau
penyalahgunaan seksual masa kanak yang dilakukan oleh orang-orang dekat
korban, yang berdampak psikologis untuk jangka panjang. Isu incest atau
penganiayaan seksual ini belum mendapatkan perhatian sama besar dengan
isu kekerasan dalam rumah tangga yang lebih umum. Perhatian perlu
diberikan oleh semua pihak pada isu penganiayaan seksual masa kanak,
karena dengan sifatnya yang khusus, penanganan terhadap kasus demikian
tidak sama dengan penanganan terhadap kasus kekerasan lain.
3. Kampanye atau berbagai bentuk advokasi anti kekerasan terhadap anak akan
banyak membantu counsciousness raising dan pemberdayaan korban (dalam
arti membuka keberanian untuk membahas masalah kekerasan, meninggalkan
rasa malu dan tabu), tetapi diperkirakan tidak banyak berdampak langsung
dalam mengubah tingkah laku pelaku. Menurunnya kesewenangan melakukan
kekerasan diperkirakan dapat terjadi bila produk dan proses hukum sungguhsungguh dapat menjerat pelaku dengan hukuman setimpal, dan masyarakat
menunjukkan pemihakannya pada korban dengan menyediakan berbagai
bentuk dukungan sosial yang nyata.
81
4. Dengan kompleksnya permasalahan di seputar kekerasan terhadap anak,
khususnya kekerasan seksual, penanganan atau tindakan legal terhadap korban
tidak dapat dilakukan secara sepenuhnya sama seperti terhadap korban tindak
kriminal lain. Perlu dipikirkan kemungkinannya kehadiran saksi ahli
menggantikan kehadiran korban dalam sidang pengadilan, ataupun bentukbentuk lain untuk memungkinkan dilakukannya tindakan hukum. 53
Dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak khususnya tindak pidana
perkosaan, aparat penegak hukum masih mengalami hambatan. Secara umum,
hambatan yang dihadapi adalah berupa hambatan internal dan eksternal.
1. Hambatan Internal
Hambatan pertama yang dihadapi dari segi internal, yaitu banyaknya
kegiatan, luasnya cakupan kegiatan yang meliputi seluruh institusi penegak
hukum serta mitra kerja. Banyaknya pihak yang terlibat dari berbagai institusi
serta jangkauan dari kegiatan menimbulkan kesulitan dalam melakukan
monitoring dari pelaksanaan masing-masing kegiatan. Oleh karena itu,
diambil langkah-langkah solusi dalam mengatasi masalah ini. Misalnya,
melakukan konsolidasi serta mengefektifkan alur komunikasi dan informasi.
Tim kerja memerlukan konsolidasi ke dalam dan evalusi kegiatan yang tepat
guna dan terus menerus. Tim kerja dari masing-masing kegiatan dan
Koordinator Program perlu membangun persepsi yang setara, komunikasi
53
Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7
maret 2013, diolah
82
dinamis dan tim yang kompak. Koordinator Program perlu memahami
persoalan-persoalan yang dihadapi mitra, yang berhadapan dengan kelompok
peserta misalnya aparat penegak hukum, akademisi dan masyarakat luas.
Contoh permasalahan adalah lobi-lobi informal dan strategi pendekatan yang
berbeda-beda, yang masih harus terus dilaukan terhadap instansi penegak
hukum. Ini untuk menembus dinding birokrasi dan meraih partisipasi dan
umpan balik dari mereka, bahkan untuk memasukkan hasil kegiatan dalam
struktur lembaganya masing-masing. Hambatan internal kedua, adalah
hambatan teknis, yaitu kebutuhan penyediaan sistem informasi digital dan
intrnet yang memadai dan merata. Namun, hal ini berhasil diatasi dengan
baik. Hambatan internal yang ketiga, yaitu kapasitas. Terdapat perbedaan dan
kesenjangan kapasitas kerja pada masing-masing lembaga tim kerja, penegak
hukum dan peserta lainnya, sehingga kerap menimbulkan hambatan dalam
menjalankan program. Upaya konsolidasi dalam tim kerja dapat menunjukkan
secara dimana kekurangan kapasitas ini, dan bagaimana tim kerja dapat
mengatasinya.
2. Hambatan Eksternal
Hambatan eksternal terdiri dari beberapa macam, yang pertama adalah
adanya perbedaan pemahaman. Hal ini sudah diperkirakan sejak awal
mendesain Program. Mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang
berperspektif keadilan, sadari awal disadari tidak akan semudah membalikkan
telapak tangan. Solusi yang diambil, melakukan pendekatan yang bersifat
83
partisipatoris dalam seluruh program dengan melibatkan seluruh pihak yang
berkepentingan. Kedua, menyusun strategi untuk menyamakan persepsi dan
assessment terhadap program-program yang telah dilakukan oleh institusi
penegak hukum. Ketiga, mengenalkan konsep sistem penegakan hukum yang
berkeadilan dengan menggali pengalaman para pihak yang terlibat dalam
Program dalam menangani kekerasan terhadap anak. Dalam prosesnya,
pengalaman kemudian dibahas secara bersama-sama. Pengenalan konsep
Sistem Peradilan Pidana Terpadu- Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
Anak secara perlahan-lahan dilakukan dan didiskusikan bersama pula hingga
mencapai satu persepsi dan pemahaman yang sama. Hambatan lain adalah
hambatan birokrasi yang berkaitan dengan belum menjadi prioritas dikalangan
pengambil kebijakan. Hal ini juga berkaitan dengan dinamika lapangan
hukum dalam konteks sosial, ekonomi, politik. Keterangan dari aparat
penegak hukum yang penulis wawancarai dengan fakta yang terjadi di
lapangan memang jauh berbeda. Namun tidak bijak jika kemudian muncul
stigma atau anggapan bahwa kinerja aparat penegak hukum dalam menangani
kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah seperti yang tertulis di atas
karena tidak semua aparat penegak hukum bersikap demikian. Hanya saja
memang diharapkan bahwa aparat penegak hukum yang menangani kasus
kekerasan seksual terhadap anak, adalah aparat penegak hukum yang
berperspektif anak agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku sehingga dapat menjerat pelaku sesuai
84
dengan perbuatannya. Dengan demikian penegakan hukum akan tercapai,
korban akan merasa dilindungi dan dapat menjawab rasa keadilan dalam
masyarakat.
Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberikan Perlindungan Hukum
Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap anak.
Berkaitan dengan perlindungan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu
lembaga yang khusus menanganinya. Namun, perlu disampaikan terlebih dahulu
suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh
korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau
penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan
beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan,
khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1.
compassion, respect and recognition;
2.
receive information and explanation about the progress of the case;
3.
provide information;
4.
providing proper assistance;
5.
protection of privacy and physical safety;
6.
restitution and compensation;
7.
to access to the mechanism of justice system.
85
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, bukan berarti
kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban
dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara
signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara
lain:54
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam
terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya
tindak pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya
kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada
pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya,
sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya
penanggulangan kejahatan;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi.
54
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara
Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007 hal 54-55
86
Upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual tidak
semata-mata merupakan tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan
kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban dalam
kehidupan bermasyarakat. Upaya perlindungan kepada korban perkosaan dapat dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Perlindungan Oleh Hukum
Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan
yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini
berarti, hukum juga bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi
korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Berdasarkan ilmu hukum, maka
pihak korban dapat menuntut kerugian atau ganti rugi terhadap pihak terpidana.
Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur
dalam.55
1)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara implisit, ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberi
perlindungan terhadap korban kejahatan. Pasal tersebut berbunyi:
“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14a kecuali dalam hal
dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat umum,
bahwa orang yang dipidana tak akan melakukan tindak pidana, hakim
boleh mengadakan syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan
mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya
atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu juga,
yang kurang dari masa percobaan itu.”
55
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan,
2004, hal 91
87
Menurut ketentuan Pasal 14c ayat (1), begitu pula Pasal 14a dan b KUHP,
hakim dapat menjatuhkan pidana dengan menetapkan syarat khusus kepada
terpidana dengan maksud guna mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada
korban.
2)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bab III Tentang Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Pasal 98 s/d 101
yang mengatur tentang ganti rugi yang diberikan oleh korban dengan
menggabungkan perkara pidana dan perdata. Hal ini juga merupakan
merupakan perwujudan dari perlindungan hukum terhadap korban. Jadi selain
pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya,
korban juga mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Namun selama ini jaksa belum pernah mengajukan gugatan ganti kerugian
dalam perkara kekerasan seksual yang ditanganinya. Gugatan ganti kerugian
hanya ada dalam tulisan peraturan perundang-undangan saja. Dari dimensi
sistem peradilan pidana maka kepentingan korban dalam proses penyelesaian
perkara pidana mempunyai dua aspek, yaitu:
a) Aspek Positif
KUHAP, melalui
lembaga
praperadilan,
memberikan
korban
perlindungan dengan melakukan kontrol apabila penyidikan atau penuntutan
perkaranya dihentikan. Adanya kontrol ini merupakan manifestasi bentuk
perlindungan kepada korban sehingga perkaranya tuntas dan dapat
88
diselesaikan melalui mekanisme hukum. KUHAP juga menempatkan korban
pada proses penyelesaian perkara melalui dua kualitas dimensi, yaitu:
Pertama, korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara
pidana sebagai “saksi korban” guna memberi kesaksian tentang apa yang
didengar sendiri dan dialami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Kedua,
korban hadir di sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai
“saksi korban” yang dapat mengajukan gabungan gugatan ganti kerugian
berupa sejumlah uang atas kerugian dan penderitaan yang dialaminya sebagai
akibat perbuatan terdakwa. Karena itu, saksi korban dalam kapasitasnya,
member keterangan bersifat pasif. Kehadiran “saksi Korban” di depan
persidangan memenuhi kewajiban undang-undang, memberi keterangan
mengenai peristiwa yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tetapi,
dalam kapasitasnya sebagai korban yang menuntut ganti kerugian maka
korban sifatnya aktif dalam perkara penggabungan gugatan ganti kerugian.
b) Aspek Negatif
Sebagaimana diterangkan di atas, kepentingan korban dalam proses
penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana mempunyai aspek positif.
Walau demikian, kenyataannya mempunyai aspek negatif. Dengan tetap
mengacu pada optic KUHAP, perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif
kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mandapat
89
perhatian secara proporsional, atau perlindungan korban lebih banyak
merupakan perlindungan yang tidak langsung.
3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban.
Pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan
Korban disahkan sebagai Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006. UndangUndang ini merupakan sebuah terobosan hukum karena memberikan jaminan
hukum dan mengakui tanggung jawab negara untuk menyediakan layanan
perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor. Bagi korban, Undang-Undang
ini juga merupakan alat baru untuk mengakses keadilan karena ia memuat:
a) Jaminan hukum tentang perlindungan bagi saksi, korban dan pelapor dari
tuntutan secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Walaupun masih
terbatas, jaminan bagi pelapor adalah penting, terutama karena masih
banyak korban yang tidak berani secara sendiri melaporkan kejahatan
yang menimpanya.
b) Adanya perluasan cakupan perlindungan yang dapat diperoleh oleh para
saksi dan korban tindak pidana-tindak pidana yang menempatkan korban
dalam situasi rentan dan berada dalam ancaman terus-menerus seperti
korban-korban atau saksi pada situasi konflik, situasi perdagangan orang,
situasi birokrasi dan lain sebagainya.
90
c) Adanya ketegasan asas-asas yang menjadi acuan implementasi dan
operasional penyediaan perlindungan saksi dan korban, yaitu asas
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak
diskriminatif, dan kepastian hukum.
d) Adanya penjabaran yang cukup rinci tentang hak-hak saksi dan korban
dalam proses peradilan, yaitu:
-
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang atau telah diberikan;
-
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
-
memberikan keterangan tanpa tekanan;
-
mendapatkan penerjemah;
-
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
-
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
-
mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
-
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
-
mendapat identitas baru;
-
mendapatkan tempat kediaman baru;
-
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
-
mendapat nasihat hukum; dan atau
91
-
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir. (Pasal 5 ayat 1)
4)
Termasuknya Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga sebagai jenis kasus
yang berhak atas perlindungan saksi dan korban.
5)
Adanya perhatian pada bantuan medis, rehabilitasi psikososial, kompensasi
dan restitusi lainnya pada pelanggaran HAM berat. Bantuan ini sangat penting
bagi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dalam
situasi konflik dan berbagai situasi yang timbul sebagai akibat kejahatan
terhadap kemanusiaan.
6)
Diperkenankannya pemberian kesaksian oleh saksi dan korban tanpa
kehadiran langsung di persidangan, baik melalui tulisan maupun rekaman
suara. Terobosan ini sangat penting bagi korban kekerasan seksual yang
seringkali masih trauma, merasa takut mengalami reviktimisasi dan juga malu
yang tak tertanggungkan pada saat memberikan kesaksian.
b. Perlindungan Oleh Masyarakat
1) Keluarga
Keluarga merupakan orang-orang terdekat korban yang mempunyai andil
besar dalam membantu memberikan perlindungan kepada korban. Hal ini dengan
dapat ditunjukkan dengan selalu menghibur korban, tidak mengungkit-ungkit
dengan menanyakan peristiwa yang telah dialaminya, memberi dorongan dan
motivasi bahwa korban tidak boleh terlalu larut dengan masalah yang dihadapinya,
memberi keyakinan bahwa kejadian yang dialaminya tidak boleh merusak masa
92
depannya, melindungi dia dari cibiran masyarakat yang menilai buruk dirinya, dan
lain-lain. Hal-hal semacam ini sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh korban,
karena pada dasarnya korban merupakan korban ganda yang selain mengalami
kekerasan fisik secara seksual, ia juga mengalami kekerasan psikis yang tidak
mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkannya. Hukuman yang
telah diterima pelaku dan ganti rugi yang didapatkan oleh korban tidak lantas
membuat kondisi kejiwaannya menjadi kembali seperti semula. Jadi keluarga
sangat berperan penting dalam rangka membantu memulihkan kondisi kejiwaan
korban sehingga korban juga merasa dilindungi oleh orang-orang terdekat dalam
kehidupannya.
2) Masyarakat
Tidak jauh berbeda dengan peran keluarga, masyarakat juga mempunyai
peran penting untuk membantu memulihkan kondisi kejiwaan korban. Masyarakat
diharapkan ikut mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan
korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban, dan lain-lain. Perlakuan
semacam ini juga dirasa sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada
korban, karena dengan sikap masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder
dan takut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Selain itu, perlindungan
hukum terhadap korban juga dilakukan selama proses peradilan yang dapat dilihat
dalam uraian sebagai berikut:
93
1. Sebelum Sidang Pengadilan
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban, pertama kali
diberikan oleh polisi pada waktu korban melapor. Saat ini Polri telah
membentuk suatu Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang diwakili oleh Polwan
yang diwadahi dalam satu Unit Khusus yang berdiri sendiri untuk menangani
kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ruang Pelayanan Khusus
(RPK) adalah sebuah ruang khusus yang tertutup dan nyaman di kesatuan Polri,
dimana perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan
seksual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada Polwan yang empatik,
penuh pengertian dan profesional. Adapun visi dan misi dari RPK adalah
sebagai berikut:
a. Visi:
Perempuan dan anak korban kekerasan mendapat perlindungan dan bantuan
baik medis, psikologis maupun hukum sehingga masalahnya terselesaikan
dengan adil.
b. Misi:
1) Memberikan rasa aman dan nyaman kepada perempuan dan anak yang
menjadi korban kekerasan.
2) Memberikan pelayanan secara cepat, profesional, penuh empati dan rasa
asih kepada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
94
3) Membangun jaringan kerjasama antar instansi atau badan atau lembaga
untuk menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dari uraian di atas dan dari permasalahan yang ke-2 tentang bagaimana
korban diperlakukan selama proses peradilan pidana, masih ada beberapa aparat
hukum yang dalam memperlakukan korban pada kasus ini belum berspektif
perempuan. Penanganan kasus kekerasan seksual juga terlampau panjang karena
harus mengikuti prosedur hukum yang membuat korban menjadi enggan
berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan. Oleh karena itu,
perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem penegakan hukum
yang berkeadilan. Perubahan/reformasi ini diharapkan mampu membawa
pemahaman mengenai kepekaan bagi aparat penegak hukum agar bersikap tanggap
terhadap kepentingan anak-anak korban kekerasan seksual yang dialaminya.
Bicara mengenai reformasi penegakan hukum yang berkeadilan, menyangkut
bagaimana sistem penegakan hukum yang ada mampu mengeluarkan kebijakan
yang menjamin perlindungan terhadap kepentingan dan hak asasi.
95
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1.
Faktor penyebab kekerasan seksual dalam rumah tangga
a. Faktor Ekonomi
Faktor melatarbelakangi kekerasan seksual dimana ketidakmampuan
pelaku secara ekonomi yang membatasi istri bekerja di dalam atau di luar
rumah yang menghasilkan uang, sehingga Pelaku melakukan tindakan
oleh karena itu pelaku tidak mendapat kebutuhan biologis istrinya,
sehingga timbul kekerasan seksual terhadap anak sebagai pelampiasan.
b. Faktor Perselingkuhan
Faktor tersebut timbul karena adanya ketidaknyamanan pelaku
perselingkuhan terhadap pasangannya baik yang dilakuan oleh suami
atau istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan seksual
dalam rumah tangga yang bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, psikis
dan seksual.
96
c.
Faktor penyimpangan seksual
Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan,
seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor
genetik. Berikut ini macam-macam bentuk penyimpangan seksual yang
terdapat kasus-kasus kekerasan seksual di wilayah Banyumas:
- Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil
- Incest
d.
Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan pihak Polres banyumas
terhadap korban kekerasan seksual.
Bentuk perlindungan yang dilakukan pihak Polres Banyumas
khsusnya unit PPA adalah pada saat belum terjadi persidangan dimana
korban ditempatkan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dimana
seharusnya anggota-anggota didalamnya didominasi oleh polisi wanita
(polwan) sehingga korban tidak malu dan lebih terbuka dalam
memberikan
keterangan
dan
menceritakan
kronologis
peristiwa
perkosaan yang telah dialaminya. Bagi korban yang mengalami trauma
atau gangguan psikis akibat kekerasan seksual yang telah dialaminya.
97
B. SARAN
a. Kebijakan Penerapan hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual terbagi
menjadi 2 yaitu :
Penal yaitu menggunakan sarana hukum pidana yang ada ( aparat penegak
hukum dan Per UU ) Non penal yaitu melakukan sosialisasi terhadap elemenelemen masyarakat dan bekerja sama dengan instansi terkait (Bapernas,diknas
dan yang mengenai UU no.23 tahun 2002 dan 2004. Sesuai dengan uu no.2
tahun 2002 tentang kepolisian Negara tentang tugas pokok polri dimana
meliputi Penegakan hukum, Melindungi, Mengayomi, dan melayani
masyarakat. Harkantiknas (pemeliharaan, keamanan, ketertiban masyarakat)
b. Seharusnya penanganan kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga jangan
terlampau panjang, karena prosedur hukum yang membuat korban menjadi
enggan berhadapan dengan hukum yang prosesnya sangat melelahkan. Oleh
karena itu, perlu adanya reformasi hukum dan kebijakan, terutama sistem
penegakan hukum yang berkeadilan. Perubahan/reformasi ini diharapkan
mampu membawa pemahaman mengenai kepekaan bagi aparat penegak
hukum agar bersikap tanggap terhadap kepentingan anak-anak korban
kekerasan seksual yang dialaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Amirudin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Perada.
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada.
Dirdjosisworo, Dr.Soedjono. 1984, Pengantar Penelitian Kriminologi, Bandung,
Remadja Karya CV.
Faisal, Sanafiah.penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Y A 3.
Hanitiidjosumitro, Rony. 1989.Perspektif Sosial dalam Pemahaman MasalahMasalah Hukum, Semarang: CV. Agung.
Hadi Kusumo, Warsito. 2005. Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta, Prestasi
Pustaka.
Koentjoroningrat.1996. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia,
Lexy J. Maleong. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja
Rosdakarya.
Mathew B Miles dan Michael hubermas, 1992, Analisis Data Kualitatif, Jakarta. PT
UI Press.
Mulyadi, Lilik, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi,
Jakarta, Djambatan,
Nurjaya, I Nyoman. 1984, Masalah aktual tentang hukum Acara Pidana dan
Kriminologi. Jakarta, Binacipta.
Nasution, S, 1996,
Rekasarasin.
Metode Penelitan Naturalistik Kualitatif, Yogyakarta.
Purwodarminto, WJS. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.
Sadjijono. 2008. Mengenal hukum Kepolisian (Perspektif Kedudukan dan
Hubungannya dalam Hukum Administrasi). Surabaya: LaksBang Mediatama.
Soejono, Soekanto. 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Susanto, I.S. 2009, kriminologi, Purwokerto, FH Universitas Jendral Soedirman.
Soerjono Soekanto. 1996. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press.
Soemitro, Rony. 1994. Metodologi Penelian Hukum. Jakarta,Ghalia Indonesia.
Sutopo, H.B, 1988, Suatu Pengantar Kualitatif, Dasar Teori dan Praktek, Surakarta,
pusat Penelitian UNS
Soegiono,2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung. CV
Alfabeta.
Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga
Undang-Undang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Sumber lain :
Wikipedia, “Kejahatan kekerasan” www.wikipedia.com diakses tanggal 23 oktober
2012 pada pukul: 23.10
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24 diakses tanggal 20 Oktober 2012 pada
pukul: 21.00
Wikipedia, “Pengertian Kekerasan Seksual” www.wikipedia.com diakses tanggal 24
oktober 2012 pukul:22.15
Ikhsanudin.
2011.Tentang
Penelitian.Artikel.Diakses
http://ikhsanu.blogspot.com pada tanggal 15 Mei 2012
disitus
Alim Sumarno, 2012, Penelitian survei adalah, Artikel, Diakses disitus
http://blog.elearning.unesa.ac.id pada tanggal 15 Mei 2012.
Fu'adz Al-Gharuty, 2009, Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif, Artikel.
Diakses disitus http://adzelgar.wordpress.com pada tanggal 2 September
2012.
http://adhimulyablogs.blogspot.com/2011/05/pelecehan-seksual.html diakses tanggal
3 juli 2013
http://eko-gudangmakalah.blogspot.com/2011/06/kekerasan-dalam-rumah-tanggakdrt.html diakses tanggal 3 juli 2013
http://consultanonline.wordpress.com/tahukah-kamu/kejahatan-pidana/kdrtkekerasan-dalam-rumah-tangga/ diakses tanggal 4 juli 2013
Hasil wawancara dengan Kanit Ali Rustomo, Penyidik Unit PPA Polres Banyumas, 7
maret 2013.
http://blogingria.blogspot.com/2011/12/modul-kuliah-kriminologi.html
http://bantuanhukumfakhrazi.wordpress.com/2012/05/08/kriminologi-teori-anomi/
http://www.idonbiu.com/2009/05/bentuk-bentuk-penyimpangan-sosial-di.html
http://mamien-go.wordpress.com/2011/07/teori-kriminologi-bag2.html
http://books.google.co.id/books?id=04TZAAAAMAAJ&q=dampak+umum+kdrt&dq
=dampak+umum+kdrt&html
Download