respon fisiologis dan profil darah sapi peranakan ongole

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
RESPON FISIOLOGIS DAN PROFIL DARAH SAPI
PERANAKAN ONGOLE (PO) YANG DIBERI PAKAN AMPAS
TEH DALAM LEVEL YANG BERBEDA
(Physiological Response and Blood Profile of Ongole Crossbred Cattle (PO)
Fed Tea Waste at Different Levels in Ration)
A. NAIDDIN, M. N. ROKHMAT, S. DARTOSUKARNO, M. ARIFIN dan A. PURNOMOADI
Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Kampus Tembalang Semarang
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of tea waste inclusion in feeding on Ongole Crossbred cattle
(OC) on production and physiological response. Twelve head of cattle PO with averaged initial body weight
at 226.04 + 18.05 kg (CV = 7.99%) and the age of 2 years. The study was arranged based on Completely
Randomized Design (CRD) with three treatments and four replications. The treatments was T1 (10% tea
waste and 90% rice bran feeding), T2 (20% tea waste and 80%rice bran feeding) and T3 (30% tea waste and
70% rice bran feeding). All treatments allowed to rice straw ad libitum. Parameters observed dry matter
intake (DM), body weight gain (ADG), physiological condition of livestock including rectal temperature,
pulse and breathing frequency. The results showed that the physiological condition of animals among the
treatments were not different (P > 0.05) include rectal temperature T1 = 38.27 oC, T2= 38.21oC and T3 = 38.23
oC, respectively, while pulse per minute were T1 = 57 times, T2 = 59 times and T3 = 56 times and breath per
minute were T1 = 14 times, T2 = 14 times and T3 = 15 times, respectively. The average hematocrit during the
study was 29.5%. The changes in blood urea from 0 to 3 and to 6 hours post feeding was 11.27 and 12.88
mg/dl for T1, 14.48 and 12.88 mg/dl for T2, and 20.91 and 8.04 mg/dl for T3, respectively. The changes in
blood glucose from 0 to 3, and to 6 hours was -1.99 and -19.87 mg/dl for T1, -3.97 and -7.94 mg/dl for T2, and
9.93 and 17.88 mg/dl for T3, respectively. The results of this study concluded that tea waste inclusion up to
0.6% body weight in feeding did not influence physiological responses in OC cattle.
Key Words: Animal Physiology, Dry Matter Intake, Tea Waste
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan ampas teh dalam level yang
berbeda terhadap kondisi fisiologis sapi Peranakan Ongole (PO). Sebanyak 12 ekor sapi PO dengan bobot
hidup awal rata-rata 226,04 ± 18,05 kg (CV = 7,99%) dan umur 2 tahun. Penelitian menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini
berupa T1 (pemberian pakan ampas teh 10% dan dedak padi 90%), T2 (pemberian pakan ampas teh 20% dan
dedak padi 80%) dan T3 (pemberian pakan ampas teh 30% dan dedak padi 70%). Semua perlakuan
mendapatkan pakan jerami padi secara ad libitum. Parameter yang diamati konsumsi bahan kering (BK),
pertambahan bobot hidup harian (PBHH), kondisi fisiologis ternak meliputi suhu rektal, denyut nadi,
frekuensi nafas, kadar hematokrit, urea darah, dan glukosa darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kondisi fisiologis ternak tidak berbeda nyata (P > 0,05) meliputi suhu rektal T1 = 38,27oC; T2 = 38,21oC dan
T3 = 38,23oC, denyut nadi T1 = 57 kali/menit; T2 = 59 kali/menit dan T3 = 56 kali/menit serta frekuensi nafas
T1 = 14 kali/menit; T2 = 14 kali/menit dan T3 = 15 kali/menit. Rata-rata hematokrit pada pengambilan awal,
tengah, dan akhir adalah 29,5%. Perubahan urea darah 0, 3, dan 6 jam adalah T1 (11,27 mg/dl; 12,88 mg/dl),
T2 (14,48 mg/dl; 12,88 mg/dl), dan T3 (20,91 mg/dl; 8,04 mg/dl). Perubahan glukosa darah 0, 3, dan 6 jam
adalah T1 (-1,99 mg/dl; -19,87 mg/dl), T2 (-3,97 mg/dl; -7,94 mg/dl), dan T3 (9,93 mg/dl; 17,88 mg/dl).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian pakan ampas teh dalam level yang berbeda
tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis sapi peranakan Ongole (PO) hingga level 30%.
Kata Kunci: Fisiologis Ternak, Konsumsi BK, Level Ampas Teh, Sapi PO
217
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
PENDAHULUAN
Pakan merupakan bagian yang sangat
penting dari usaha peternakan. Pakan dapat
berpengaruh terhadap pertambahan bobot
hidup ternak, karena pakan yang dikonsumsi
merupakan akumulasi dari nutrisi pakan yang
diserap oleh tubuh (BLAKELY dan BADE,
1994). Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk
meningkatkan produktivitas ternak, salah satu
upaya yang dilakukan adalah perbaikan mutu
pakan ternak. Ampas teh sebagai bahan pakan
yang cukup potensial karena ketersediaannya
cukup tinggi, kandungan nutrisi utama sepeti
energi, protein dan serat kasar yang dibutuhkan
ternak, harganya relatif murah dan mampu
mengurangi biaya produksi (ROHAYATI, 1994).
Pakan yang diberikan pada ternak dalam
level yang berbeda akan menyebabkan kondisi
fisiologis seperti suhu tubuh (panas tubuh),
denyut nadi dan frekuensi nafas akan berbeda
akibat perbedaan proses fermentasi atau
metabolisme yang terjadi dalam tubuh,
perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap
respon produksi suatu ternak (MCDOWELL,
1972). Semakin tinggi level pakan yang
diberikan, maka energi yang dikonsumsi
semakin tinggi, yang berakibat pada
meningkatnya panas yang diproduksi dari
dalam tubuh, akibat tingginya proses
metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan
ditambah lagi pengaruh panas lingkungan, hal
ini dapat menyebabkan ternak mudah
mengalami stress (PARAKASI, 1999). Kondisi
tersebut menyebabkan ternak akan selalu
berupaya
mempertahankan
temperatur
tubuhnya pada kisaran yang normal, dengan
cara melakukan mekanisme termoregulasi
(FRANDSON, 1992). Apabila mekanisme
tersebut gagal, maka akan berpengaruh
terhadap tingkat konsumsi pakan, sehingga
ternak tidak dapat berproduksi secara
maksimal karena kondisi fisiologisnya tidak
bekerja secara normal. Seekor ternak dapat
berproduksi secara maksimal jika kondisi
fisiologisnya dalam keadaan baik, artinya
organ-organ tubuh bekerja secara normal.
Darah merupakan salah satu parameter
fisiologis yang mencerminkan kondisi fisiologis
ternak. Hematokrit atau Packed Cell Volume
adalah presentase eritrosit dengan plasma
darah yang dinyatakan dalam volume sel
(TILMAN et al., 1991), yang terdiri dari butir-
218
butir darah merah (FRANDSON, 1992)). Urea
darah diperoleh dari pengangkutan amonia
dalam rumen yang terabsorbsi bersama CO2
yang diubah menjadi urea di dalam hati.
Amonia dalam rumen akan menjadi urea darah
yang diangkut melalui epitelium rumen
(ARORA, 1995) dan diekskresikan melalui urin
(TILLMAN et al., 1991). Glukosa darah dapat
berasal dari senyawa glikogenik yang
mengalami glikoneogenesis dan glikogen hati
yang
mengalami
proses
glikogenelisis
(HARPER et al., 1979).
Respon kondisi fisiologis merupakan
aktivitas fisiologis dalam tubuh ternak seperti,
denyut nadi, frekuensi nafas, suhu rektal,
hematokrit, glukosa darah, dan urea darah yang
mempengaruhi respon produksi berupa
perubahan konsumsi pakan ternak. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kondisi fisiologis dan sapi Peranakan Ongole
(PO) akibat pemberian pakan ampas teh dalam
level yang berbeda.
MATERI DAN METODE
Materi yang digunakan adalah 12 ekor sapi
Peranakan Ongole jantan dengan umur 2 tahun
dan kisaran bobot hidup awal 226,04 + 18,05
kg (CV = 7,99%). Penelitian ini menggunakan
metode Rancangan Acak Lengkap (RAL),
dengan 3 perlakuan pakan dan 4 ulangan.
Pemberian pakan konsentrat 2% bobot hidup,
kekurangannya dicukupi oleh pemberian
jerami secara ad libitum. Perlakuan yang
diterapkan adalah proporsi ampas teh di dalam
konsentrat, yaitu:
T1: ampas teh 10% dan dedak padi 90%
T2: ampas teh 20% dan dedak padi 80%
T3: ampas teh 30% dan dedak padi 70%
Kandungan nutrisi bahan pakan yang
diberikan ditampilkan pada Tabel 1.
Pengambilan data penelitian dilakukan
dengan pengukuran suhu dan kelembaban
lingkungan dilakukan setiap hari pada pukul
06.00; 12.00; 17.00; dan 23.00 WIB, serta data
fisilologis ternak meliputi suhu rektal, denyut
nadi dan frekuensi nafas. Pengambilan data
fisiologis ternak dilakukan dalam dua tahap
yang dilaksankan pada periode perlakuan
meliputi data fisiologis ternak mingguan yang
dilakukan dua kali dalam seminggu selama 11
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum dalam penelitian
Kandungan nutris dalam 100% BK
Bahan pakan
BK
Abu
LK
PK
SK
BETN
7,28
52,24
17.05
.(%)
Jerami
69,96
21,62
1,82
Konsentrat T1
78,00
21,52
2,06
8,96
48,55
13,69
Konsentrat T2
70,65
22,14
2,05
12,51
48,35
19,38
Konsentrat T3
70,35
21,57
2,10
13,87
45,33
21,91
minggu.
Data
penelitian
dianalisis
menggunakan analisis varians dan uji F.
Sampel darah diambil sebanyak 3 kali.
Hematokrit diambil pada awal, tengah, dan
akhir perlakuan. Kadar urea darah dan glukosa
darah diambil di tengah perlakuan pada 0, 3,
dan 6 jam, kemudian langsung dibawa ke
laboratorium untuk disentrifuge selama 10
menit dengan kecepatan 3.000 rpm untuk
memisahkan darah dengan plasma darah.
Plasma darah kemudian diambil dengan pipet
mikromili. Setelah itu dianalisis dengan
menggunakan glukosa dan urea kit.
Peralatan yang digunakan yaitu hygrometer
untuk mengukur suhu dan kelembaban,
thermometer rectal untuk mengukur suhu
tubuh ternak, stethoscope digunakan untuk
mendeteksi denyut nadi, handtally Counter
untuk menghitung frekuensi denyut nadi dan
pernafasan, stopwatch untuk menghitung
waktu.
Sedangkan
peralatan
untuk
pengambilan parameter darah yaitu jarum
suntik, spuit, tabung kapiler, sentrifuges,
mikropipet, inkubator, dan spektrofotometer.
T3 selama 11 minggu penelitian dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berdasarkan data hasil rata-rata fisiologis
ternak yaitu suhu rektal sapi perlakuan, denyut
nadi sapi perlakuan serta frekuensi nafas sapi
perlakuan, tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal
tersebut dapat terjadi karena konsumsi antara
perlakuan T1, T2 dan T3 relatif sama sehingga
panas yang dihasilkan tubuh tidak berbeda.
Menurut PURWANTO et al. (2004), menyatakan
bahwa tingginya konsumsi pakan dapat
menyebabkan meningkatnya panas tubuh
ternak akibat proses metabolisme. Suhu rektal
antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 masih
dalam kisaran normal seperti yang dinyatakan
EDEY (1983), bahwa suhu tubuh sapi dewasa
yaitu 38 – 40,0oC. Denyut nadi dan frekuensi
nafas antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 masih
dalam kisaran normal, yang berkisar 50 – 60
kali per menit dan frekuensi nafas berkisar
antara 10 – 20 kali per menit (BLAKELY dan
BADE, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon fisiologis ternak (suhu rektal)
akibat pemeberian pakan ampas teh dalam
level yang berbeda, yang dilakukan selama 11
minggu pengamatan disajikan pada Gambar 2.
Berdasarkan
Gambar
2
perubahan
pergerakan temperatur tubuh sapi perlakuan T1,
T2 dan T3, dengan nilai rata-rata berturut-turut
Kondisi fisiologis ternak (suhu rektal,
denyut nadi dan frekuensi nafas)
Kondisi fisiologis sapi (suhu rektal, denyut
nadi, dan frekuensi nafas) perlakuan T1, T2 dan
Suhu rektal
Tabel 2. Kondisi fisiologis ternak (suhu rektal, denyut nadi, dan frekuensi nafas)
T1
T2
T3
Keterangan
38,27
38,21
38,23
ns
Parameter
o
Suhu rektal ( C)
Denyut nadi (kali/menit)
57
59
56
ns
Frekuensi nafas (kali/menit)
14
14
15
ns
ns: tidak berbeda nyata pada taraf 5% (P > 0,05)
219
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Gambar 2.
Respon fisiologis ternak (suhu rektal) akibat pemberian pakan ampas teh dalam level
yang berbeda
38, 27; 38, 21 dan 38,23oC, berdasarkan nilai
statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05).
Pergerakan temperatur tubuh secara umum
mengalami peningkatan dari minggu ke-1
sampai minggu ke-10, namun peningkatan
tersebut setiap minggunya bervariasi antara
perlakuan. Peningkatan terbesar suhu T2 terjadi
pada minggu ke-1 sampai ke-3, minggu ke-4
sampai ke-6 dan minggu ke-7 sampai ke-9.
Perubahan pergerakan sapi perlakuan T1 relatif
stabil pada minggu ke-1 sampai ke-6 dan
terjadi peningkatan pada minggu ke-7 sampai
ke-10, namun peningkatannya lebih kecil
dibandingkan T2. Sapi perlakuan T3 pergerakan
suhu rektal relatif stabil pada minggu ke-2
sampai minggu ke-7 dan mulai mengalami
peningkatan pada minggu ke-8 sampai minggu
ke-10. Perubahan pergerakan suhu rektal lebih
dominan terjadi pada perlakuan T2,
peningkatan suhu rektal lebih besar
dibandingan T1 dan T3. Pakan perlakuan T3
seharusnya menghasilkan tambahan beban
panas lebih tinggi dibandingkan dengan T2 dan
T1, mengingat konsumsi pakan yang
memberikan proses fermentasi lebih tinggi
dibanding T2 dan T1, hal ini sesuai dengan
pendapat RASYID et al. (1994), yang
menerangkan bahwa semakin tinggi level
pakan yang diberikan, maka energi yang
dikonsumsi semakin tinggi, yang berakibat
pada meningkatnya panas yang diproduksi dari
220
dalam tubuh, akibat tingginya proses
metabolisme yang terjadi di dalam tubuh.
Denyut nadi
Respon fisiologis ternak (denyut nadi)
akibat pemeberian pakan ampas teh dalam
level yang berbeda, yang dilakukan selama 11
minggu pengamatan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 menggambarkan bahwa perubahan
pergerakan denyut nadi relatif berjalan selaras
antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3, dengan
nilai rata-rata berturut-turut 57 kali/menit, 59
kali/menit dan 56 kali/menit, berdasarkan nilai
statistik tidak berbeda nyata (P > 0,05).
Pergerakan yang selaras hampir terjadi pada
setiap minggu dan variasi pergerakannya relatif
kecil. Pergerakan denyut nadi terjadi
penurunan pada minggu ke-1 sampai minggu
ke-7 dan mengalami peningkatan pada minggu
ke-8 sampai minggu ke-10. Penurunan denyut
nadi antara sapi perlakuan T1, T2 dan T3 lebih
dominan dibandingkan peningkatannya. Hal ini
dapat terjadi karena peningkatan panas tubuh
masih dalam kisaran normal sehingga
meknisme
termoregulasi
dengan
cara
meningkatkan denyut nadi dalam upaya
melepaskan panas tubuh belum berjalan.
Penurunan dan peningkatan denyut nadi
dipengaruhi oleh beban panas yang diterima
tubuh, semakin tinggi panas tubuh, maka
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Gambar 3. Respon fisiologis ternak (denyut nadi) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam level
yang berbeda
denyut nadi akan semakin tinggi. Menurut
HABEEB et al. (1992), jika temperatur tubuh
tinggi menyebabkan ternak akan meningkatkan
mekanisme termoregulasi dengan cara
meningkatkan denyut nadi.
penguapan melalui saluran pernafasan untuk
menstabilkan suhu tubuh sesuai dengan
pendapat HAFEZ (1968) bahwa ketika waktu
ternak mengalami cekaman panas maka ternak
akan meningkatkan penguapan air melalui kulit
atau melalui saluran pernafasan.
Frekuensi nafas
Respon fisiologis ternak (frekuensi nafas)
akibat pemeberian pakan ampas teh dalam evel
yang berbeda, yang dilakukan selama 11
minggu pengamatan disajikan pada Gambar 4.
Gambar
4
menggambarkan
bahwa
perubahan pergerakan frekuensi nafas relatif
berjalan selaras antara sapi perlakuan T1, T2
dan T3 dengan nilai rata-rata berturut 14
kali/menit, 14 kali/menit dan 15 kali/menit,
berdasarkan nilai statistik tidak berbeda nyata
(P > 0,05). Pergerakan frekuensi nafas antara
sapi perlakuan T1, T2 dan T3 secara umum
mengalami penurunan dimulai dari minggu ke1 sampai minggu ke-11 dan peningkatan
frekuensi nafas hanya terjadi pada minggu ke1, 5 dan 8. Hal ini terjadi karena penurunan
frekuensi nafas diikuti pula oleh penurunan
denyut nadi sehingga upaya untuk melepaskan
panas akibat beban panas tubuh tidak berjalan.
Peningkatan frekuensi nafas terjadi bila ternak
mengalami cekaman panas, denyut nadi
meningkat, maka ternak akan berupaya
mengeluarkan panas dengan meningkatkan
Pengaruh kadar hematokrit, urea darah,
dan glukosa darah terhadap sapi peranakan
ongole (PO) yang diberi ampas teh
Kondisi fisiologis darah sapi PO (glukosa
darah, urea darah, dan hematokrit) perlakuan
T1, T2 dan T3 selama 11 minggu penelitian
dapat dilihat pada Tabel 3.
Rata-rata
kadar
hematokrit
selama
penelitian adalah 29,5% dan nilai tersebut
berada pada kisaran normal. Menurut
BENYAMIN (1978) kadar hematokrit normal
sapi berkisar antara 22 – 39%, sedangkan
menurut SCHALM (1986) berkisar antara 24 –
46%. Perubahan 0 – 6 jam urea darah pada
perlakuan T2 dan T3 terjadi penurunan yang
menunjukkan telah dimanfaatkannya amonia
rumen oleh mikroba untuk sintesa protein. Hal
ini seperti pendapat HWANG et al. (2001) yang
menjelaskan bahwa level protein pakan yang
meningkat menghasilkan kadar urea darah
yang meningkat pula. Penurunan glukosa darah
yang terjadi diperlakuan T2 pada 0 – 6 jam
diduga dimanfaatkan untuk sumber energi atau
221
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Gambar 4. Respon fisiologis ternak (frekuensi nafas) akibat pemeberian pakan ampas teh dalam
level yang berbeda
Tabel 3. Rata-rata kadar hematokrit, perubahan urea darah, dan perubahan glukosa darah
Perlakuan
Waktu pengambilan darah
T1
T2
Keterangan
T3
Rata-rata nilai hematokrit (%)
Periode perlakuan awal
32,5
31
32,5
tbn
Periode perlakuan tengah
27,5
30,75
30,75
tbn
Periode perlakuan akhir
27,75
24,5
28,25
tbn
Rata-rata jumlah
29,25
28,75
30,5
Perubahan 0 – 3 jam
11,27
14,48
20,91
tbn
Perubahan 0 – 6 jam
12,88
12,88
8,04
tbn
Perubahan 0 – 3 jam
1,99
-3,97
9,93
tbn
Perubahan 0 – 6 jam
-19,87
-7,94
17,88
tbn
Urea darah (mg/dl)
Glukosa darah (mg/dl)
tbn: tidak berbeda nyata
disimpan dalam bentuk glikagon. Sedangkan
pelakuan
T3
yang
terus
mengalami
peningkatan, diduga dikarenakan terjadinya
peningkatan asam propionat yang tinggi di
dalam rumen setelah pemberian pakan.
teh dalam level yang berbeda tidak
berpengaruh terhadap respon fisiologis pada
sapi peranakan Ongole (PO) hingga pada level
30%.
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa pemberian pakan ampas
222
ANGGORODI, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak
Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
ARORA, S.P. 1995. Pencernaan Mikroba Ruminansia.
Cetakan
kedua.
Diterjemahkan
oleh:
MURWANI, R. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
BENYAMIN, M.M. 1978. Outline of Veterenary
Clinical Pathologi. 3rd Ed., W. H. Freeman and
Company, San Fransisco.
BLAKELY, J. dan D.H. BADE. 1994. Ilmu Peternakan.
Diterjemahkan oleh: SRIGANDONO, B. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
EDEY, T.N. 1983. Tropical Sheep and Goat
Production.
Australian
Universities’
International Development Program (AUIDP),
Canberra.
FRANDSON, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi
Ternak. Diterjemahkan oleh: SRIGANDONO, B.
dan K. PRASENO. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
GASPERSZ, V. 1991. Teknik Analisis dalam
Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung
HABEEB, A., M. ALNAIMY, I. F. MARAI and T. H.
KAMAL. 1992. Heat Stress. In : Clive Phillips
and David Piggins (Ed). Farm Animal and the
Environment.Cambridge University Press,
New York. hlm. 125 – 127.
HAFEZ, E.S.E. 1968. Adaptation of Domestic
Animals. Lea and Febiger, Philadelphia
HARPER, H.A., VICTOR. W. RODWELL, PETER DAN A.
MAYERS. 1979. Biokimia (Review of
Physiological Chemistry) 17th Ed. Lange
Metical Publication, Los Altos, California.
Diterjemahkan oleh: MUALIAWARMAN, M.
HWANG, S.Y., M.J. LEE dan H. C. PEK. 2001. Divinal
variation in milk and blood urea nitrogen and
whole blood ammonia nitrogen in dairy cows.
Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14(12): 1683 –
1689.
MCDOWELL, R.E. 1972. Improvement of Livestock
Production in WarmClimates.W.H. Freeman
and Co., San Francisco, USA
PURWANTO, B.P., D.M. DJAFAR dan A. MURFI. 2004.
Pengaruh suhu air minum terhadap respons
termoregulasi sapi Holstein dara. J.
Pengembangan Peternakan Tropis 2: 16 – 21.
RASYID, A., MARIYONO, L. AFFANDHY dan M.A.
YUSRAN. 1994. Tampilan fisiologis sapi
Madura yang dipekerjakan di lahan kering
dengan pakan berbeda. Pros. Pertemuan
Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan
Kering. Departemen Pertanian. Malang, 26 –
27 Oktober 1994. Sub Balai Penelitian Ternak
Grati. hlm. 325 – 327.
ROHAYATI, R.T. 1994. Evaluasi Nutrisi Ampas Teh
Sebagai Pakan Tunggal dan Substitusinya
terhadap Lamtoro dalam Ransum secara In
Vitro. Skripsi Sarjana Peternakan. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SCHALM, C.W.N., C. JAIN dan E.J. CARROL. 1986.
Veterinanry Hematology. 2nd Ed. Lea and
Febiger, Philadelphia.
SUGENG. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya,
Jakarta.
TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPROJO, S.
PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO.
1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan
ke-4, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
223
Download