perkembangan model moral kognitif dan relevansinya dalam riset

advertisement
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya Dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
PERKEMBANGAN MODEL MORAL KOGNITIF
DAN RELEVANSINYA DALAM RISET-RISET AKUNTANSI
Febrianty
Universitas Tridinanti Palembang
Abstract
This paper aims to provide a picture of cognitive moral development model and the
characters who build the theory and its relevance in accounting research and
strengthen the evidentiary mereflikasi cognitive moral theory. This description will
begin with the importance of moral and cognitive psychology in understanding human
behavior and interaction related to the particular demands of morality and ethics of
accounting research that focuses on 1. Moral Development, 2. Moral considerations,
and 3. Ethics Education. Progress will be indicated by the moral and ethical
understanding and relationship between them based on reasonable assumptions and
testing for relevanced and developed for other accounting research in the future. This
is because given that psychology and human behavior continue to develop in
accordance with the civilization and the complexity of pemasalahan menunutut they
face and to resolve them appropriately.
Keywords : Development, Moral, Cognitive, Research Accounting
PENDAHULUAN
Etika akuntan telah menjadi isu yang sangat menarik. Di Amerika Serikat isu ini
antara lain dipicu oleh terjadinya crash pasar modal tahun 1987 (Chua et. al., 1994).
Skandal Enron, Worldcom dan perusahaan-perusahaan besar di AS yang terlibat rekayasa
akuntansi dalam laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom
mengumumkan laba sebesar USD 3,8 milyar antara Januari 2001 dan Maret 2002.
Penipuan ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi AS dan
menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Dalam
perkembangannya, Scott Sullifan (CFO) dituduh telah melakukan tindakan kriminal
dibidang keuangan dan mendapat hukuman 10 tahun penjara. Akibatnya pada saat itu, para
investor memilih untuk menghentikan atau mengurangi aktivitasnya di bursa saham.
Sedangkan di Indonesia, isu ini berkembang seiring dengan terjadinya beberapa
pelanggaran etika yang terjadi, baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern,
maupun akuntan pemerintah (Machfoedz, 1999). Secara historis, akuntan merasa lebih etis
dibanding dengan profesi-profesi lain, padahal isu pelanggaran etika yang dilakukan
auditor semakin nyata terjadi. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini
dapat ditelusuri dari laporan Dewan Kehormatan IAI dalam laporan pertanggungjawaban
pengurus IAI periode 1990-1994 yang menyebutkan adanya 21 kasus yang melibatkan 53
KAP (Husada, 1996). Isu-isu etika lainnya dalam dunia bisnis belakangan ini juga telah
57
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya Dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
banyak menarik perhatian masyarakat. Kasus deforestation, impor dan ekspor ilegal,
pekerja-pekerja Indonesia ilegal, illegal logging, kasus Buyat/Minahasa, kasus Freeport,
manipulasi laporan keuangan PT KAI, kasus penggelembungan nilai (mark up) PT. Kimia
Farma Tbk pada tahun 2001 (Arifin, 2005). Laba bersih dilaporkan sebesar Rp 132 miliar
lebih, padahal seharusnya hanyalah sebesar Rp 99,6 miliar, dan kasus Lapindo Brantas
serta banyak lagi kasus lainnya.
Terbongkarnya kasus-kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh para auditor dan
perusahaan besar lainnya yang terlibat dalam praktik manajemen laba semakin
memberikan kesadaran tentang pentingnya peran dunia pendidikan dalam menciptakan
SDM yang berkualifikasi dan bermoral. Prinsip-prinsip good corporate governance juga
menyatakan bahwa sikap independen, transparan, adil, dan akuntabel harus dimiliki oleh
semua pengelola organisasi, baik swasta maupun pemerintah. Begitu pula halnya, perilaku
moral para akuntan profesional penting untuk status dan kredibilitasnya terhadap etika
profesi akuntansi. Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak terjadi apabila setiap akuntan
mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral
dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo, 1999).
Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana disebutkan di atas, seharusnya
memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan etika dalam melaksanakan pekerjaan
profesi akuntan. Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengemukakan
bahwa dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku
etika auditor. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap dan perilaku moral auditor
(akuntan) dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang terjadi dalam lembaga
pendidikan akuntansi, dimana mahasiswa sebagai input, sedikit banyaknya akan memiliki
keterkaitan dengan akuntan yang dihasilkan sebagai output. Pertanyaan–pertanyaan
tentang dugaan atas pelanggaran etika profesi akuntan terhadap kepercayaan publik telah
menimbulkan campur tangan pemerintah. Ponemon dan Gabhart (1993) memberikan
argumen bahwa hilangnya kepercayaan publik dan meningkatnya campur tangan dari
pemerintah pada gilirannya menimbulkan dan membawa kepada matinya profesi akuntan,
dimana masalah etika melekat dalam lingkungan pekerjaan para akuntan profesional (Finn,
et al. 1988; Ponemon dan Gabhart, 1993; 1994; Leung dan Cooper, 1995). Dalam praktik
profesinya, para akuntan profesional harus berinteraksi dengan aturan-aturan etika profesi
dan bisnis dengan para stakeholder, yaitu terhadap individu-individu, perusahaan dan
organisasi. Beberapa interaksi dalam banyak kasus dapat berpotensi munculnya konflik
kepentingan. Para akuntan profesional cenderung mengabaikan persoalan moral bilamana
menemukan masalah yang bersifat teknis (Volker,1984; Bebeau, et al. 1985), artinya
bahwa para akuntan profesional cenderung berperilaku tidak bermoral apabila dihadapkan
dengan suatu persoalan akuntansi.
Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi referensi sebagai acuan untuk
riset-riset akuntansi yang sedang dan akan menguji variabel-variabel moral kognitif dan
mengeksplorasi teori tersebut pada berbagai bidang ilmu.
Moral
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika akan
dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya,
sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral
adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat
dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri sendiri
58
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya Dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain. Begitu pula kata
moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,
atau philosophia moralis. Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian
selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu maka untuk mudahnya
disingkat jadi moral.
Etika dalam bahasa latin adalah ethica, yang berarti falsafah moral. Menurut Keraf
(1998) etika secara harfiah berasal dari kata Yunani, ethos (jamaknya ta etha), yang
artinya sama dengan moralitas, yaitu adat kebiasaan yang baik. Adat kebiasaan yang baik
ini kemudian menjadi sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman dan tolak ukur tingkah
laku yang baik dan buruk. Etika merupakan suatu prinsip moral dan perbuatan yang
menjadi landasan bertindak seseorang sehingga apa yang dilakukannya dipandang oleh
masyarakat sebagai perbuatan terpuji dan meningkatkan martabat dan kehormatan
seseorang (Munawir, 1997). Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan yang mendasar
antar manusia dan berfungsi untuk mengarahkan kepada perilaku moral. Moral adalah
sikap mental dan emosional yang dimiliki oleh individu sebagai anggota kelompok sosial
dalam melakukan tugas-tugas atau fungsi yang diharuskan kelompoknya serta loyalitas
pada kelompoknya (Sukamto, 1991; dalam Falah, 2006). Moral dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1998) ada dua pengertian yaitu:
1. Ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan
kewajiban, dan
2. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah dan
berdisiplin.
Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral karena kedua kata tersebut
sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, moral adalah nilainilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu
etika dari bahasa Yunani dan moral dari bahasa Latin.
(http://dehalban.tripod.com/id15.html).
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti.
Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan (Nelsser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, kemudian istilah
kognitif menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum
yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang
berhubungan dengan maslah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan,
membayangkan memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang
berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan)
yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifitis, tingkat laku
seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Pemikiran Moral
Pemikiran moral mengacu pada penggunaan beberapa alasan untuk menilai sesuatu
kegiatan bisnis sebagai etika atau bukan. Ada empat gaya pemikiran yang mencerminkan
hirarki dari pengembangan moral, yang mengingatkan apa tujuan pengembangan moral
(Kohlberg et al., 1983). Empat gaya pemikiran tersebut adalah deontological, teleological,
59
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
egois atau conventional (Fraedrich dan Ferrell, 1992a, 1992b; Harris dan Sutton, 1995;
Reindenbach dan Robin, 1990).
Pemikiran deontological berfokus pada maksud untuk merealisasikan tujuantujuan
yang penting, ideal, dan nilai-nilai yang diinginkan secara umum, yaitu meliputi kesetiaan
(Barnett et al., 1994; Ellenwood & Ryan, 1991). Pada pendekatan deontological, perhatian
tidak hanya pada perilaku dan tindakan, namun lebih pada bagaimana orang melakukan
usaha dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai
tujuannya. Pemikiran teleological menekankan dalam maksimalisasi yang bermanfaat
untuk masyarakat atau sebanyak-banyaknya orang. Pada pendekatan teleological,
perhatian tidak hanya pada perilaku dan tindakan, namun lebih pada bagaimana mencapai
tujuan dengan sebaik-baiknya. Pemikiran conventional mengacu pada penyesuaian hukum,
norma, dan kode etik profesional. Pemikiran egois memperoleh kebaikan dari kepentingan
untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, hirarki akan memberikan tingkatan dari
pengembangan etika dari egois ke conventional lalu ke teleological dan akhirnya ke
deontological. Teori pengembangan moral mengenai pemikiran moral sangat penting
sebagai konsep dari etika. Pemikiran moral akan mudah membuat pertimbangan moral dan
perilaku moral. Kemudahan ini akan mencerminkan hak yang lebih tinggi dari
pengembangan kognitif dalam pertimbangan dan perilaku. Oleh karena itu, seseorang
cenderung untuk mempunyai pertimbangan moral menurut tingkat dari pengembangan
dalam pemikiran moral seseorang.
Perkembangan Model Moral
Skema Moral Piaget
Jean Piaget (1896-1980) seorang psikolog Swiss: dikenal dgn teori perkembangan
intelektual yang menyeluruh yang mencerminkan adanya kekuatan antara fungsi biologi
dan psikologis. Piaget menerangkan inteligensi itu sendiri sebagai adaptasi biologi
terhadap lingkungan. Contohnya manusia tidak mempunyai mantel berbulu lembut untuk
melindunginya dari dingin; manusia tidak mempunyai kecepatan untuk lari dari hewan
pemangsa; manusia juga tidak mempunyai keahlian dalam memanjat pohon. Tetapi
manusia memiliki kepandaian untuk memproduksi pakaian dan kendaraan untuk
transportasi. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi
Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan
melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori
ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata, skema tentang bagaimana seseorang
mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang
memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang
menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan
kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif
kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk
pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang
digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi
dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
a. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
b. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
c. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
60
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
d. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Para pakar perkembangan anak mempelajari tentang bagaimana anak-anak berpikir,
berperilaku dan menyadari tentang aturan-aturan tersebut minat terhadap bagaimana
perkembangan moral yang dialami oleh anak membuat Piaget secara intensif
mengobservasi dan melakukan wawancara dengan anak-anak dari usia 4-12 tahun. Ada
dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan
remaja:
1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil
mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan
permainan.
2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya
mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan anak-anak
berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada
perkembangan mereka, antara lain:
1. Heteronomous Morality
- Merupakan tahap pertama perkembangan moral teori Piaget yang terjadi kirakira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai
sifat-sifat dunia yang lepas dari kendali manusia.
- Pemikir heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan
mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
- Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada
memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
- Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan
digugurkan oleh otoritas yang berkuasa.
- Ketika Piaget menyarakan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam
permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa
aturan harus selalu sama dan tidak boleh berubah.
- Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan
dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
- Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
2. Autonomous Morality
- Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan
oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak
menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh
manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus
mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
- Bagi pemikir Autonomous, maksud pelaku dianggap sebagai terpenting.
- Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomous, dapat
menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah
kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada
perubahan menurut kesepakatan.
- Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila
seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun
menjadi tak terelakkan.
61
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam
berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja
sama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya
yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota
memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan
merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi
antar orang tua dan anak, orang tua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya
kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan secara
otoriter.
Model Empat Komponen Rest
Model ini pertama kali diperkenalkan sebagai hasil penelitian dari psikologi moral
(Rest 1983). Selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah model dari komponen-komponen
hipotetis yang mendasari setiap tindakan moral (Narvaez and Rest 1995; Rest, Bebeau, and
Volker 1986; Rest et al. 1999). Rest menggagas suatu model empat komponen untuk
meneliti pertimbangan proses pemikiran dan tingkah laku moral individu. Dia mengatakan
bahwa untuk bertingkah laku secara moral, seorang individu melakukan empat proses
psikologi dasar:
1. Moral Sensitivity: menafsirkan situasi sebagai moral. Kemampuan untuk
menafsirkan hubungan sebab-akibat dalam situasi di mana keputusan yang
diambil berpengaruh pada kesejahteraan orang lain.
2. Moral Judgment: memutuskan rangkaian tindakan mana yang paling benar.
Kemampuan untuk membuat sebuah keputusan berdasarkan moral yang ideal.
3. Moral Motivation: memutuskan apa yang ingin dilakukan. Kemampuan untuk
memprioritaskan moral yang menyangkut hal-hal yang akan dilakukan.
4. Moral Character: membangun dan mengimplementasikan sebuah rencana dari
tindakan, melawan gangguan, dan mengatasi rintangan seperti kelelahan dan
frustasi. Kemampuan untuk mengubah tujuan menjadi kelakuan.
Sensitivitas moral mengacu pada kewaspadaan terhadap bagaimana tindakan
seseorang mempengaruhi orang lain. Sensitivitas moral meliputi suatu kewaspadaan
tindakan dan bagaimana tindakan tersebut dapat mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat.
Sensitivitas moral meliputi penggagasan skenario yang tepat secara imajinatif,
pengetahuan sebab-akibat rantaian peristiwa, empati, dan keahlian pengambilan peran.
Sensitivitas moral adalah kemampuan untuk mengetahui masalah-masalah etika yang
terjadi (Shaub, 1989; Hebert et al., 1990). Sensitivitas moral didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengetahui bahwa suatu situasi memiliki makna etika ketika situasi itu
dialami individu-individu (Shaub, 1989), yaitu kemampuan untuk mengetahui masalahmasalah etika (Hebert et al., 1990). Sensitivitas moral meliputi persepsi dan interpretasi
dari sebuah kejadian dan hubungan dalam suatu situasi. Kebanyakan aspek dasar dari
sensitivitas memperlihatkan indikasi elemen sebuah keberadaan situasi etika.
Pertimbangan moral menyangkut penilaian dari tindakan-tindakan etika seperti yang
dibuktikan oleh komponen pertama, yaitu: sensitivitas moral yang lebih dapat dibenarkan
secara moral (cukup atau hanya atau secara moral benar atau bagus). Pertimbangan moral
adalah mengarah pada pembuatan sebuah keputusan mengenai apakah kebenaran yang
pasti dari tindakan secara moral, seperti apa yang seharusnya dilakukan. Proses dari
tahapan ini meliputi pemikiran perspektif dari pertimbangan profesionalnya dalam sebuah
pemecahan yang ideal untuk sebuah dilema etika (Thorne, 2000).
62
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Motivasi moral berhubungan dengan kepentingan yang diberikan pada nilai moral
terhadap nilai-nilai lainnya. Motivasi moral dapat terjadi seperti halnya ketika aktualisasi
atau proteksi terhadap kepentingan organisasi ditafsirkan lebih penting dari pada
melakukan hal yang benar. Proses dalam tahapan ini meliputi pertimbangan nilai moral
dalam menumbuhkan nilai lain untuk membangun pertimbangan perilaku moral.
Pembangunan motivasi moral meliputi pertimbangan yang mendalam dalam pemikiran
dan pertimbangan moral untuk sebuah tujuan akuntan dalam latihan pertimbangan
profesionalnya (Thorne, 2000). Susilo, 1987 (dalam Simarmata, 2002) mengatakan bahwa
motivasi adalah faktor-faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu.
Selanjutnya Widyastuti,dkk (2004) menyatakan bahwa motivasi seringkali diartikan
sebagai dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk
berbuat, sehingga motivasi merupakan suatu tenaga yang menggerakkan manusia untuk
bertingkah laku di dalam perbuatannya yang mempunyai tujuan tertentu. Sebaliknya,
karakter moral mengacu pada sifat-sifat seperti kekuatan ego, kekerasan hati (ketekunan),
keteguhan hati dan kemampuan untuk mengatasi rintangan-rintangan (Rest, 1986).
Tahapan ini meliputi kegiatan atau tindakan seorang akuntan terhadap tujuan mereka, yaitu
antara pelatihan pertimbangan profesional dan keikutsertaan dalam tindakan yang pasti.
Thorne (2000) menyatakan bahwa respon akuntan untuk faktor sosial ketika pertimbangan
profesional ideal mereka dan respon terhadap dirinya sendiri dalam latihan pertimbangan
profesionalnya.
Rest menyatakan bahwa tingkah laku moral adalah hasil dari suatu proses yang
sangat ruwet, semua empat komponen (sensitivitas moral, pertimbangan moral, motivasi
moral dan karakteristik moral) adalah faktor-faktor dari ̀tindakan moral. Seseorang
individu yang memperlihatkan kecukupan dalam satu komponen tidak cukup pada
komponen lainnya dan kegagalan moral dapat terjadi bila ada kekurangan dalam setiap
komponen. Contohnya: seorang individu yang memiliki kapasitas pemikiran moral yang
baik bisa saja gagal untuk merasakan suatu masalah etika, untuk mengabaikan suatu pihak
yang terjepit dari evaluasi, atau salah menafsirkan pengaruh-pengaruh suatu pilihan
tingkah laku pada pihak yang terjepit adalah kegagalan komponen pertama. Seorang
individu yang telah membuktikan suatu masalah etika dalam suatu situasi bisa saja
memiliki pemikiran moral yang cukup atau tidak sempurna untuk menentukan tingkah
laku moral yang ideal adalah kegagalan komponen kedua. Seorang individu yang telah
menentukan tingkah laku moral yang ideal dalam suatu situasi, bisa saja memutuskan
bahwa faktor-faktor lainnya lebih penting daripada mengembangkan tujuan-tujuan moral
yang ideal adalah kegagalan komponen ketiga. Akhirnya, seorang idnividu yang telah
mengembangkan suatu tujuan moral bisa saja gagal melaksanakan tingkah laku, adalah
kegagalan komponen keempat. Individu-individu berbeda dalam kemampuannya untuk
merasakan adanya masalah etika. Individu-individu kurang mendengarkan dan melihat
suatu situasi karena kesulitan untuk membuktikan peranannya (Shaub, 1978) atau mereka
gagal untuk mengetahui atau menafsirkan suatu situasi yang terjadi dalam keterbatasan
sensitivitas terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain (Rest, 1986). Selanjutnya
beberapa penelitian psikologi telah menemukan bahwa suatu situasi sosial dapat
menunjukkan tanggapan-tanggapan yang berpengaruh secara cepat terhadap penampilan
seseorang dalam refleksi pertimbangan situasi tersebut (Zajonc, 1980; Hoffman, 1981).
63
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Komponen Intensitas Moral Jones
Jones (1991) menyatakan bahwa intensitas moral (moral intensity) terdiri atas enam
elemen, yaitu: Besaran Konsekuensi (the magnitude of consequences), Konsensus Sosial
(social consensus), Probabilitas Efek (probability of effect), Kesegeraan Temporal
(temporal immediacy), Kedekatan (Proximity), dan Konsentrasi Efek (concentration of
effect). Flory, dkk. (1992, dalam Leisch, 2004) merangkum keenam komponen yang
berkaitan dengan isu-isu (masalah) yang berhubungan dengan akuntansi ini dalam skenario
yang berkaitan dengan situasi akuntansi, dan dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Besaran Konsekuensi (the Magnitude of Consequences), didefinisikan sebagai
jumlah kerugian (atau manfaat) yang dihasilkan oleh pengorbanan (atau
kebermanfaatan) dari sebuah tindakan moral. Dimasukkannya besaran
konsekuensi ini dalam konstruk intensitas moral didasarkan pada observasi pada
perilaku manusia dan bukti-bukti yang diperoleh, seperti keputusan yang
menyertakan keinginan si pembawa moral (moral agent). Contohnya: skenario
mengenai seorang akuntan manajemen di suatu perusahaan yang terpaksa
mengikuti permintaan rekan sekerjanya mengenai persetujuan laporan biaya yang
seharusnya dilaporkan ke komisi audit.
2. Konsensus Sosial (Social Consensus) didefinisikan sebagai tingkat kesepakatan
sosial bahwa sebuah tindakan dianggap jahat atau baik. Sebagai contoh: skenario
mengenai si A (seorang pengawas internal pada suatu perusahaan) yang diminta
oleh atasannya untuk menaikkan modal kerja dengan berbagai cara (seperti
menahan penjualan lebih lama atau meninjau ulang kerugian piutang). Ketika si A
mendiskusikan hal ini dengan temannya, temannya tersebut mengatakan bahwa
hal tersebut wajar, dan kebanyakan pimpinan akan meminta hal yang sama
kepada bawahannya.
3. Probabilitas Efek (Probability Of Effect) merupakan sebuah fungsi bersama dari
kemungkinan bahwa tindakan tertentu akan secara aktual mengambil tempat dan
tindakan tersebut akan secara aktual menyebabkan kerugian (manfaat) yang
terprediksi. Sebagai contoh: Kasus si A pada poin (2) di atas akan melakukan
pertimbangan moral dengan mengasumsikan kecil sekali kemungkinan
keputusannya tersebut akan mengakibatkan kerugian.
4. Kesegeraan Temporal (Temporal Immediacy) adalah jarak atau waktu antara pada
saat terjadi dan awal mula konsekuensi dari sebuah tindakan moral tertentu
(waktu yang makin pendek menunjukkan kesiapan yang lebih besar). Kesegeraan
Temporal ini adalah sebuah konstruk komponen dengan dua alasan. Pertama, jika
nilai mata uang sekarang lebih besar dari pada pada masa yang akan datang,
seorang pedagang cenderung mendiskon barang dagangan untuk memperoleh
uang secepatnya. Kedua, periode waktu antara tindakan yang ditanyakan dan
yang diharapkan dalam memperluas bidang usaha akan menyebabkan kerugian
yang sedikit. Sebagai contoh: si A pada skenario pada poin (2) di atas
menganggap keputusannya tidak akan dengan segera menyebabkan kerugian
dimasa mendatang, sehingga tindakannya di masadepan akan terbiasa untuk
melakukan hal yang sama.
5. Kedekatan (Proximity) adalah perasaan kedekatan (sosial, budaya, psikologi, atau
fisik) yang dimiliki oleh pembawa moral (moral agent) untuk si pelaku dari
kejahatan (kemanfaatan) dari suatu tindakan tertentu. Konstruk kedekatan ini
secara intuitif dan alasan moral menyebabkan seseorang lebih peduli pada orang-
64
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
orang yang berada didekatnya (secara sosial, budaya, psikologi ataupun secara
fisik) daripada kepada orang-orang yang jaraknya jauh. Sebagai contoh: Si A
pada skenario diatas memutuskan untuk mengambil tindakan akan
mempertimbangkan apakah keputusannya tersebut akan mempengaruhi rekan
kerjanya atau tidak.
6. Konsentrasi Efek (Concentration Of Effect) adalah sebuah fungsi infers dari
jumlah orang yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebuah tindakan yang
dilakukan. Orang-orang yang memiliki perasaan kepentingan yang tertinggi akan
bertindak secara amoral yang akan menghasilkan konsentrasi efek tinggi. Contoh:
Si A pada skenario pada poin (2) di atas akan melakukan pertimbangan moral
apakah keputusannya tersebut akan mengakibatkan kerugian (jika ada) bagi
sedikit orang atau tidak.
Moral Reasoning Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence
Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago
berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan
kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Kohlberg menulis disertasi
doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapantahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran
moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan
yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring
penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan
moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas
pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada
prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama
kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari
penelitiannya.
Dalam proses mewujudkan tahap perkembangan moralnya, setidaknya Kohlberg
telah mengalami 3 tahap pemikiran yang sarat dipengaruhi oleh John Dewey, Baldwin,
Jean Pieget, dan Emile Durkheim. Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu
pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang
dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam)
tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
1. Periode pertama, tahun 1958-1970. Dimana Kohlberg mengembangkan
pendekatan kognitif-developmental. Disini dia berhasil menelurkan karyanya:
“Stage and Sequence” (1969).
2. Periode kedua, tahun 1970-1976. Kohlberg disini mengkonsentrasikan
pemikirannya pada pengembangan strukturalisme Pieget dengan konsekuen
penerapannya pada perkembangan longitudinal individu. Pada periode dia
mencoba untuk melakukan ‘revisi’ atas karya sebelumnya dan munculah,”Moral
Stage and Moralization” (1976).
3. Periode ketiga, 1975-hingga wafatnya (1987). Kohlberg mencirikan pemikirannya
pada peralihan ‘nauralistis’ terhadap ‘tindakan moral’ dalam konteks kelompok
atau ‘suasana moral’ yang terlembaga. Kritiknya atas penjelasan yang sosiologisirasional Durkheim yang kemudian ditarik kembali, secara tidak langsung dia
65
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
terpengaruh atas itu, dan menjadi ilham baru atas pemikirannya mengenai
‘suasana moral’. Pada periode ini Kohlberg mengeluarkan karyanya yang
berjudul “The Moral Atmosphere of High School: A Comparative Study”
(1984).(Tahap-tahap Perkembangan Moral,Lawrence Kohlberg:1995).
Pada tahun 1960-1970 Kohlberg mulai melakukan pematangan atas paradigma baru
di dunia psikologi yang dia cetuskan berdasarkan hasil penelitian empirisnya bernama teori
kognitif developmental nya. Teori kognitif developmental menegaskan bahwa pada intinya
moralitas mewakili seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk
setiap kebudayaan, yairu prinsip kesejahteraan manusia dan prinsip keadilan (Tahap-tahap
Perkembangan Moral, Lawrence Kohlberg:1995).
Menurut Kohlberg bahwa prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam
proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.
Adapun buah pemikiran Lawrence Kohlberg mengenai 3 tingkat dan 6 tahap
perkembangan moral manusia, menurut Prof. Dr. K. Bertens dalam bukunya “Etika”, yang
kemudian menjadi sebuah teori moral yang mempengaruhi dunia psikologi dan filsafat
moral atau etika, yakni:
1.
Taraf Pra-Konvensional
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan
buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak
dan tidak enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak
pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu
diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan
yaitu :
- Punishment and Obedience Orientation. Akibat-akibat fisik dari tindakan
menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara
buta pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya sendiri.
- Instrument-Relativist Orientation. Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa
tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan
antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya
membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
2.
Taraf Konvensional (Conventional Level)
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa
bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya,
berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan
secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang
mengusahakan ketertiban sosial.
Dua tahap dalam taraf ini adalah :
- Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation. Tingkah
laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau
yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya
diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”. Orang berusaha
membuat dirinya wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi
tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah
diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir
mati dianggap berintensi baik.
66
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
- Tahap law and order orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah
ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban sosial dijunjung tinggi dalam tahap
ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati
otoritas dan memelihara ketertiban sosial.
3.
Taraf sesudah konvensional (Postoonventional Level)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral
dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan
entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya
adalah:
- Social Contract Orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya
suatu tindakan atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji di
masyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relatif, maka perlu ada usaha
untuk mencapai suatu konsensus bersama.
- The Universal Ethical Principle Orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan
oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut
oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak. Pada intinya
prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada
harkat( nilai) manusia sebagai pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu
berlakulan dalil berikut :
1. Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2. Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berpikir dari tahap yang
lebih dari dua tahap diatasnya.
3. Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir
dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik
kepada tahap 3. Berdasarkan inilah Kohlber percaya bahwa moral reasoning
dapat dan mungkin diperkembangkan.
4. Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan
suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Sesorang yang sudah mapan
dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehingga ia terangsang
untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap
tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada
perkembangan.
Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”
dalam bentuk tunggal artinya kebiasaan, adat; akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berpikir; dan bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan oleh filsuf Yunani besar
Aristoteles (384-322 SM.), sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Maka “etika”
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (Bertens,
2000). Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan etika maka pendekatan yang
sangat perlu kita lakukan merinci prinsip-prinsip dasar etika. Prinsip ini terdiri atas dignity
(harga diri/martabat), equity (keadilan), prudence (kehati-hatian), honesty (kejujuran),
keterbukaan, good will (niat baik).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu pengetahuan tentang asasasas akhlak (moral). Pengertian etika dalam kamus Echol dan Shadaly (1995) adalah
67
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
bertindak etis, layak, beradab dan bertata susila. Menurut Boynton dan Kell (1996) etika
terdiri dari prinsip-prinsip moral dan standar. Moralitas berfokus pada perilaku manusiawi
“benar” dan “salah”. Selanjutnya Arens-Loebbecke (1996) menyatakan bahwa etika secara
umum didefinisikan sebagai perangkat moral dan nilai. Dari definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa etika berkaitan erat dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku. Termasuk
para akuntan diharapkan oleh masyarakat untuk berlaku jujur, adil dan tidak memihak
serta mengungkapkan laporan keuangan sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana
yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya,etika membahasa tentang tingkah
laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama
bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan
buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha
mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing
golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah
etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku
manusia, etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari
sudut baik dan buruk .
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika
normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai
etika).
Adapun jenis-jenis Etika adalah sebagai berikut:
1. Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari
kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika
sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Ada dua sifat etika, yaitu:
a. Non-empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris
adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat
tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolaholah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan
etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual
dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.
b. Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”.
Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak
terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”.
Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Etika
tidak bersifat teknis melainkan reflektif, dimana etika hanya menganalisis
tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb,
sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan
kelemahannya.
68
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
2. Etika Teologis
Terdapat dua hal-hal yang berkait dengan etika teologis. Pertama, etika teologis
bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika
teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika
secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam
etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak
dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda
antara etika filosofis dan etika teologis.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang
diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara
agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam
merumuskan etika teologisnya.
Model Sensitivitas Etika (Ethical Sensitivity Model)
Hunt dan Vitell (1986) mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan proses
pengambilan keputusan etika, dimana langkah awal individual menerima masalah etika,
sampai pada pertimbangan etika (ethical judgment), berkembang pada niat, dan akhirnya
terbawa pada perilaku. Faktor-faktor dimana Hunt dan Vitell memprediksi pengaruh
kemampuan seseorang untuk mempersiapkan masalah etika meliputi lingkungan budaya,
lingkungan industri, lingkungan organisasi, dan pengalaman personal.
Teori dalam penelitian ini untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
sensitivitas etika akuntan berdasarkan teori Hunt dan Vitell (gambar 2 pada lampiran).
Secara khusus, lingkungan budaya akuntan (CPA), pengalaman personal, lingkungan
industri, dan lingkungan organisasional dihipotesiskan untuk mempengaruhi kemampuan
mereka dalam mengenal situasi yang memuat etika. Lingkungan budaya dan pengalaman
personal adalah diasumsikan bentuk orientasi etika akuntan dimana dalam penelitian ini
diukur dengan menggunakan skala Forsyth (1980) yaitu idealisme (idealism) dan
relativisme (relativism). Lingkungan industri atau pengaruh dari profesi akuntan (industri)
seorang akuntan diukur dengan menggunakakan skala Aranya et al., (1981) yaitu
komitmen profesional. Terakhir, lingkungan organisasi atau pengaruh perusahaan pada
akuntan dievaluasi dengan menggunakan skala komitmen organisasi oleh Aranya dan Feris
(1984).
Teori Orientasi Etika dalam Perspektif Moral
Forsyth (1980) memuat bahwa orientasi Etika dikendalikan oleh dua karakteristik,
yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme mengacu pada luasnya seseorang individu
percaya bahwa keinginan dari konsekuensi dapat dihasilkan tanpa melanggar petunjuk
moral. Kurangnya idealistic prakmatis mengakui bahwa sebuah konsekuensi negatif
(mencakup kejahatan terhadap orang lain) sering menemani hasil konsekuensi positif dari
petunjuk moralnya dan ada konsekuensi negatif berlaku secara moral dari sebuah tindakan.
Relativisme dalam arti lain menyiratkan penolakan dari peraturan moral yang
sesungguhnya untuk petunjuk perilaku. Forsyth (1992) menyatakan bahwa suatu hal yang
menentukan dari suatu perilaku seseorang sebagai jawaban dari masalah etika adalah
pilosopi moral pribadinya. Idealisme dan relativisme, dua gagasan etika yang terpisah
adalah aspek pilosofi moral seorang individu (Forsyth, 1980; Ellas, 2002). Relativisme
adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan
69
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
perilaku moral. Sedangkan idealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh
individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai
moral. Kedua konsep tersebut bukan merupakan dua hal yang berlawanan tetapi lebih
merupakan skala yang terpisah, yang dapat dikategorikan menjadi empat klasifikasi
orientasi etika, yaitu: (1) Situasionisme; (2) Absolutisme; (3) Subyektif; dan (4)
Eksepsionisme. Berikut ini adalah tabel klasifikasi orientasi etika:
Tabel 1. Klasifikasi Orientasi Etika
Riset-Riset Akuntansi yang Memfokuskan Pada Moral Kognitif
Penelitian atas persoalan moral dalam akuntansi difokuskan pada tiga kelompok
utama, yaitu: 1. Pengembangan Moral (Ethical developement), 2. Pertimbangan Moral
(Ethical Judgment), dan 3. Pendidikan Etika (Ethics Education).
Penelitian
pengembangan moral berusaha mencari pokok-pokok yang mendasari proses pemikiran
moral para akuntan dan auditor dalam praktik (Tsui, 1994, Sweeny, 1995; Jeffrey dan
Weatherholt, 1996; Kite et al. 1996; Cohen et al. 2001; Ellas, 2002; Buchan, 2005).
Penelitian pertimbangan moral, menguji hubungan antara pemikiran moral dan perilaku
moral para akuntan dalam konteks akuntansi dan auditing (Allen and Ng, 2001; Chiu,
2003; Chan dan Leung, 2006). Penelitian dalam pendidikan etika menginvestigasi tentang
keefektifan campur tangan pendidikan dalam memecahkan atau memperbaiki sikap moral
dan keahlian atau pengetahuan tentang pemikiran moral dari mahasiswa akuntansi dan
para praktisi (Jeffrey, 1993; Mele, 2005).
Riset-riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para akuntan
dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis. Bagaimanapun, faktor yang penting
dalam penilaian dan perilaku etis adalah kesadaran para individu bahwa mereka adalah
agen moral. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etika atau moral dalam suatu
keputusan inilah yang disebut sensitivitas etika.
1. Penelitian Hunt dan Vitell (1986) menyebutkan kemampuan seorang profesional
untuk dapat mengerti dan sensitif akan adanya masalah-masalah etika dalam
profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat di mana profesi
itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi.
2. Arnold dan Ponemon (1991) telah menyelidiki hubungan antara pemikiran
moral auditor dengan persepsi whistle-blowing. Mereka melaporkan bahwa
auditor intern dengan tingkat yang relatif lebih tinggi atas pemikiran moral lebih
70
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
dapat mengidentifikasi dan mengetahui perilaku yang tidak moral. Mereka juga
menemukan bahwa prediksi atau ramalan-ramalan para auditor internal
dipengaruhi oleh posisi individu yang telah menemukan pelanggaran etika.
Penelitian lain mengenai masalah etika pernah dilakukan oleh Stevens et al
(1993) yang melakukan perbandingan evaluasi etis dari staf pengajar (faculty)
dan mahasiswa sekolah bisnis (School of business). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa staf pengajar lebih berorientasi etis dibandingkan
mahasiswa.
Glenn dan Van Loo (1993) melakukan penelitian untuk membandingkan
keputusan dan sikap etis mahasiswa bisnis dengan keputusan dan sikap etis
praktisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa mahasiswa membuat keputusan
yang kurang etis dibandingkan praktisi bisnis lainnya.
Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas etika
auditor, meneliti hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen profesional
auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang mempunyai idealisme secara
otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan standar
profesional, sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan dalam
bekerja. Hal ini akan searah dengan konsep non-relativisme yang menyatakan
tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama akuntan sebagai sebuah profesi
audit adalah juga termasuk menghindari kerugian yang diterima oleh pengguna
laporan keuangan, sehingga seorang auditor yang memiliki orientasi etika idealis
akan selalu merujuk kepada tujuan dan arahan yang ada pada standar
profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi etis
dan nilai-nilai individu terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka
menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif
dengan perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor
idealisme yang tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolut
lebih bermoral (favor moral absolute) dan sebaliknya.
Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan dan
nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi mempengaruhi
integritas dan independensi auditor.
Fischer dan Rosenzweig (1995) menguji tentang sikap mahasiswa dan sikap
praktisi yang berkaitan dengan akseptabilitas etis atas manajemen laba
(earnings). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa dan
praktisi memiliki beberapa sensitivitas etis yang sama namun tidak merata.
Karcher (1996) mengandalkan penelitian Shaub (1989) untuk meneliti
kemampuan para auditor untuk melihat kehadiran masalah moral. Suatu
instrumen eksperimen dengan masalah etika yang disatukan kedalam situasisituasi akuntasi umum dilakukan untuk menemukan sensitivitas profesional
akuntansi terhadap masalah-masalah moral dan faktor-faktor yang
mempengaruhi sensitivitas moral mereka dan persepsi-persepsi kepentingan
masalah moral. Karcher (1996) melaporkan bahwa para auditor dalam
penelitiannya secara umum sensitif terhadap masalah-masalah etika. Faktorfaktor seperti sifat masalah moral, kepelikan masalah moral dan umur subjek
(pelaku) ditemukan signifikan dalam pembuktian masalah etika, dimana posisi
71
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
pekerjaan, keahlian, pembeberan utama terhadap suatu masalah moral dan
tingkat pendidikan subjek tidak signifikan.
Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen profesional,
pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya menunjukkan
bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat maka perilakunya lebih
mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan akuntan
dengan komitmen profesional yang rendah. Namun riset ini belum menunjukkan
bagaimana komitmen profesi dan orientasi etika berhubungan dengan perilaku
akuntan dalam situsai dilema etika.
Cohen et al. (1998) meneliti pengaruh gender terhadap aspek perilaku etika.
Penelitian ditujukan pada pengaruh perbedaan latar belakang pendidikan
akuntan dan non akuntan berdasarkan gender terhadap intensitas dan orientasi
etika. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan intensitas moral
dan orientasi etis antara pria dan wanita pada praktisi akuntan maupun nonakuntan.
Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen
profesional mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah yang menjadi
sampel penelitiannya.
Penelitian tentang etika juga pernah dilakukan oleh Ludigdo & Machfoedz
(1999) yang menemukan tidak terdapat perbedaan antara mahasiswa semester
awal dengan semester akhir.
Di New Zealand, Frey (2000) melakukan penelitian yang menginvestigasi
pengaruh intensitas moral dalam pembuatan keputusan pada para pembuat
keputusan (manajer) di perusahaan.
Silver dan Valentine (2000) melakukan penelitian mengenai intensitas moral
mahasiswa terhadap skenario yang berhubungan dengan marketing.
Patterson (2001) telah menguji kepentingan relatif industri, organisasi dan
faktor-faktor pribadi pada sensitivitas moral para akuntan publik. Patterson
melaporkan bahwa industri, organsasi dan faktor pribadi ditemukan sebagai
faktor penyebab yang signifikan pada sensitivitas moral akuntan publik, tetapi
konstruk industri dan organisasi yang berkolerasi negatif dengan faktor pribadi.
Douglas, Davidson dan Schwartz (2001) menyatakan bahwa nilai etika
organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan nilai kepribadian individu.
May dan Pauli (2002) melakukan riset pada mahasiswa Universitas Midwestern
mengenai intensi moral, proses evaluasi moral, dimensi intensitas moral, dan
pengakuan moral.
Penelitian mengenai sensitivitas etis pernah dilakukan oleh Rustiana (2003)
dengan subjek penelitian mahasiswa akuntansi di Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan sensitivitas etis
antara mahasiswa pria dan wanita.
L. Leitsch (2004) melakukan penelitian terhadap 110 orang mahasiswa
akuntansi pada sebuah perguruan tinggi di Northeast (USA). Penelitiannya
bertujuan untuk melihat perbedaan intensitas moral mahasiswa tersebut terhadap
berbagai karakteristik isu dengan menggunakan empat skenario akuntansi yaitu:
menyetujui pelaporan biaya yang dipertanyakan, memanipulasi pembukuan
perusahaan, melanggar kebijakan perusahaan dan memperpanjang kredit yang
diragukan.
72
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
21. Yulianty dan Fitriany (2005) menemukan bahwa mahasiswa semester akhir
cenderung berlaku etis dalam penyusunan laporan keuangan dibandingkan
mahasiswa semester akhir.
22. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Bennie (2006) mengenai
motivasi moral dijelaskan bahwa hubungan tanggung jawab dari auditor kepada
pihak lain yang luas seperti para stakeholder adalah menjadi perhatian yang
penting dalam memotivasi antara etika dengan nilai lainnya (sensitivitas,
pertimbangan dan karakter) untuk membangun kecenderungan berperilaku
moral.
23. Alleyne, dkk. (2006) melakukan penelitian terhadap mahasiswa Barbados
bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai faktor seperti: gender, umur,
afiliasi keagamaan dan komitmen terhadap perbedaan persepsi intensitas moral
yang didasarkan pada empat skenario yang berhubungan dengan isu-isu audit
dan non-audit.
24. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Bennie (2006) mengenai
motivasi moral dijelaskan bahwa hubungan tanggung jawab dari auditor kepada
pihak lain yang luas seperti para stakeholder adalah menjadi perhatian yang
penting dalam memotivasi antara etika dengan nilai lainnya (sensitivitas,
pertimbangan dan karakter) untuk membangun kecenderungan berperilaku
moral.
25. Budi Sasongko (2007) meneliti proses pembuatan keputusan moral dengan
responden auditor internal, mengembangkan hipotesis yang dipengaruhi oleh
orientasi etis, komitmen profesional, pengalaman kerja, dan nilai etis perusahaan
(corporate ethical values).
PENUTUP
Perkembangan teori moral kognitif didasari oleh perlunya tingkah laku moral yang
merupakan hasil dari suatu proses yang sangat ruwet yang terdiri dari berbagai unsur dan
dapat dikelompokkan berdasar tahapan/periode. Seseorang individu yang memperlihatkan
kecukupan dalam beberapa unsur tetapi tidak cukup pada unsur lainnya dan kegagalan
moral dapat terjadi bila ada kekurangan dalam setiap unsur. Model yang diajukan oleh
tokoh-tokoh seperti: Piaget, Rest, Jones, dan Kohlberg masing-masing memberikan sisi
pandang yang berbeda-beda yang terus dikembangkan oleh para peneliti selanjutnya dan
dapat menjadi dasar dalam memahami psikologi dan perilaku manusia untuk membedakan
yang berlaku moral dan tidak moral, etis dan tidak etis.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, P.W. and Ng, C.K. (2001), “Self interest among CPAs may influence their moral
reasoning”, Journal of Business Ethics, Vol. 33 No. 1, pp. 29-35.
Alleyne, P., Devonish D., Nurse, J. (2006), “Perception of Moral Intensity Among
Undergraduate Accounting Students in Barbados”, Journal of Eastern Carribean
Studies, Vol. 31, No. 3, pp. 1-26.
73
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Aranya, N., dan K. R. Ferris. 1984. Reexamination of Accountants’ OrganizationalProfessional Confic. The Accouting Review.
Aranya, N., J. Pollock, dan J. Amernic. 1981. An Examination of Professional
Commitmen in Publik Accounting. Accounting, Organization, and Society. Vol. 6.
pp. 271-280.
Arens & Loebbecke. 1998. “Auditing: Integrated Appro-ach”. Prentice Hall. pp. 68.
Arifin Sabeni. (2005), “Peran Akuntan dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate
Governance (Tinjauan Perspektif Agency Theory)”. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
Arnold, D. and Ponemon, L. (1991), “Internal auditors’ perceptions of whistleblowing and
the influence of moral reasoning: an experiment”, Auditing: A Journal of Practice
& Theory, Fall, pp. 1-15.
Bebeau, M. J., J. R. Rest, dan C. M. Yamoor. 1985. Measuring Dental Students’ Ethical
Sensitivity. Journal of Dental Education. Vol. 49. pp. 225-235.
Bertens K., 2000. “Etika”, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. pp. 4-7.
Buchan, H.F. 2005. Ethical Decision Making in the Public Accounting profession: an
extension of Ajzen’s theory of Planned behavior”, Journal of Business Ethics,
Vol.61 No.2, pp. 165-81.
Budi Sasongko, dkk. (2007). Internal Auditor dan Dilema Etika. www.theakuntan.com.
Chua, F.C M.H.B. Perera and M.R Mathews. 1994. Integration of Ethics Into Tertiary
Accounting Programes in New Zealand and Australia.
Cohen, J.R. and Bennie, N.M. (2006), “The Applicability of a Contingent Factors Model
to Accounting Ethics Research”, Journal of Business Ethics, Vol. 68, pp. 1-18.
Douglas, P. C., R. A. Davidson and B. N. Schwartz.2001. “The Effect of Organizational
Culture and Ethical Orientation on Accountants‟ Ethical Judgements”, Journal of
Business Ethics, Vol. 34(2), h. 101–121. Diakses tanggal 1 November 2009, dari
Springer Link.
Echols, J.M. dan Shadily, H. (1995), Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Ellias, R.Z. 2002. “Determinants of earnings management ethics among accountants”,
Journal of Business Ethics, Vol. 40 No. 1, pp. 33-45.
Falah, S. 2006, Pengaruh Budaya Etis Organisasi dan Orientasi Etis terhadap Sensitivitas
Etis, Tesis Magister Sains Akuntansi, Universitas Diponegoro, Semarang (tidak
dipublikasikan).
74
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Finn, D.W., L.B Chonko, and J.D Hunt. 1988. “Ethical Problem in Public Accounting: The
View from The Top”. Journal of Bussiness Ethics, 7 , pp. 605 – 615.
Fischer, Marilyn, dan K. Rosenzweig, (1995). Attitudes of Students and Accounting
Practitioners Concerning the Ethical Acceptability of Earnings Managements.
Journal of Business Ethics 14:433-444.
Forsyth, D. R. 1980. “A taxonomi of ethical ideologies”. Journal of Personality and Sosial
Psychology 39 : 175 – 184.
Fraedrich, J.P., & Ferrell, O.C (1992a), Cognitive consistency of marketing managers in
ethical situations, Journal of Academy of Marketing Science, 20, 245-252.
Frey, B.F. 2000. “The Impact of Moral Intensity on Decision Making in a Business
Context”. Journal of Busniess Ethics. No. 26: 181-195.
Hoesada, Jan. 1996. ”Etika Bisnis dan Profesi di Era Globalisasi”. Media Akuntansi. No.21
hal. 5 – 7.
Hunt, S. D dan Vitell. 1986. “A General Theory of Marketing Ethics”. Journal of
Macromarketing 6 (Spring) pp. 5 – 16.
Jeffrey, C. and Weatherholt, N. (1996), “Ethical development, professional commitment,
and rule observance attitudes: a study of CPAs and corporate accountants”,
Behavioral Research in Accounting, Vol. 8, pp. 8-31.
Jones, T. M.. 1991. “Ethical decision making by individuals in oorganiszations” : An issue
– contingent model”. Academy of Management Review 16 (2) : pp. 366 – 395.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai
Pustaka.
Karcher, J.N. (1996), “Auditors’ ability to discern the presence of ethical problems”,
Journal of Business Ethics, Vol. 15 No. 10, pp. 1033-50.
Keraf, Sonny, 1998, “Kemerosotan Moral Profesi Akuntansi”, Seminar Nasional Strategi
Pendidikan Etika & Etika Profesi Akuntansi Di Indonesia. (Nopember). FE-Usakti.
Jakarta.
Khomsiyah dan Nur Indriantoro. 1998. “Pengaruh Orientasi Etika terhadap Komitmen dan
Sensitivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta”. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia. vol.1 Januari hal. 13 – 28.
Leitsch, Deborah L., (2004), “Differences in the Perceptions of Moral Intensity in the
Moral Decision Process: An Empirical Examination of Accounting Students”,
Journal of Business Ethics 53: 313–323, 2004.
75
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Leung, P. and Cooper, B.J. (1995), “Ethical dilemmas in accountancy practice”, Australian
Accountant, May, pp. 28-32.
Ludigdo, Unti dan M. Machfoedz. 1999. Persepsi Akuntan dan mahasiswa Terhadap Etika
Bisnis. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol.2 Jan:1-9.
Machfoedz, Mas’ud. (1999). “Studi Persepsi Mahasiswa terhadap Profesionalisme Dosen
Akuntansi Perguruan Tinggi” Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. vol 3 no 1
juni 1999.
May, D. R. and K. P. Pauli. (2002), “The role of moral intensity in ethical decision
making: A review and investigation of moral recognition, evaluation, and
intention”, Business and Society 41(1), 85–118.
Mele, D. (2005), “Ethical education in accounting: integrating rules, values and virtue”,
Journal of Business Ethics, Vol. 57 No. 1, pp. 97-109.
Ponemon, L., and D. Gabhart. 1993. Ethical reasoning in Accounting and auditing.
Reidenbach, R.E., & Robn, D.P. (1990), Toward the development of a multidemensional
scales for improving evaluations of business ethics, Journal of Business Ethics, 9,
639-653.
Rest, J. R. 1983. “Morality,” in Handbook of Child Psychology, Volume III (4th ed.), P. H.
Mussen (series ed.), J. H. Flavell and E. M. Markman (volume eds.), John Wiley &
Sons, New York. pp. 556-629.
Rest, J.R., 1986. “Moral Development: Advances in Research and Theory”. New York, NY
: Praegar.
Rustiana. (2003). “Studi Empiris novice accountant: Tinjauan Gender,” Jurnal Studi
Bisnis. vol 1 no 2.
Shaub, M. 1989. “An Empirical examination of the determinants of auditor ethical
sensitivity”. Unpublished Ph.D. desertation, Texas Tech University.
Simarmata, Jonner. 2002. ”Korelasi Motivasi Kerja dengan Kinerja”, Jurnal Akademika,
Volume 6 No 1.
Sweeney, J. (1995), “The moral expertise of auditors: an exploratory analysis”, Research
on Accounting Ethics, Vol. 1, pp. 213-34.
Thorne, L. (2000), “The Development of Context-Specific Measures of Accountants’
Ethical Reasoning”, Behavioral Research in Accounting 12, 139–170.
Tsui, J. (1994), Auditors’ ethical behaviour; a study of the determinants of auditors’
decision making in an audit conflict situation, unpublished doctoral dissertation,
The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong.
76
JURNAL EKONOMI DAN INFORMASI AKUNTANSI (JENIUS)
Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset-Riset Akuntansi
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Volker, J. M., 1984. Couseling Experince, Moral Judgment, Awareness of Consequnces,
and Moral Sensitivity in Counseling Practice. Unpublished Doctoral Disertation.
Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.
Widiastuti, Indah. 2004. Pengaruh Perbedaan Level Hirerarkis Akuntan publik dalam
Kantor Akuntan Publik terhadap Persepsi tentang Kode Etik Akuntan Indonesia.
Jurnal Akuntansi & Bisnis. Vol.3 (1) Peb: 53-65.
Windsor, C. and Ashkanasy, N. (1995), “Moral reasoning development and belief in a just
world as precursors of auditor independence: the role of organizational culture
perceptions”, Proceedings of the Second Annual ABO Research Conference.
Yulianty dan Fitriany, (2005).”Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika Penyusunan
Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi VIII. 15-16 September 2005.
Ziegenfuss, D.E. dan A. Singhapakdi (1994), “Professional Values and Ethical Perceptions
of Internal Auditors”, Managerial Auditing Journal, Vol. 9 No. 1,
77
Download