BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdebatan mengenai

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
“…the supreme moment of the subject’s freedom is to set free its object.”
(Žižek)
1.1 Latar Belakang
Perdebatan mengenai posisi manusia dalam ranah sosial muncul sebagai
proses berpikir tentang “yang ada”. Pemikiran corak filsafat yang mengangkat
posisi manusia merujuk pada pergerakan pemikiran filsafat dari masa Yunani Kuno
hingga masa filsafat kontemporer. Pada perkembangannya, para pemikir filsafat
memiliki berbagai konsepsi tentang manusia melalui suatu sudut pandang khusus,
misalnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (homo ludens), manusia
adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), manusia sebagai makhluk yang
suka mencipta (homo faber), manusia sebagai makhluk yang suka bekerja (homo
laborans), manusia sebagai makhluk yang tertawa (homo ridens), bahkan ada yang
menyebut manusia sebagai makhluk pendoa (homo orans/homo religious).1
Konsepsi di atas tentunya memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan
makhluk-makhluk lainnya dalam peneguhan kedudukan mereka sebagai makhluk
yang otentik dan memiliki tempat khusus di dalam kehidupan. Lebih lanjut,
pembenaran tersebut ditegaskan Socrates sebagai berikut, 2
1
Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filososfis tentang Manusia,
Jalasutra, Yogyakarta, 2013, h. 73-74.
2
Louis Leahy, Siapakah Manusia?, Kanisisus, Yogyakarta, 2001, h. 16.
2
Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Maka, tidak heran bahwa ia cenderung
secara spontan untuk bertanya: Apakah artinya menjadi manusia?. Kerapkali, sejak usia
remaja, manusia merasa dalam dirinya sendiri yang paling pribadi suatu dorongan yang ada
di bawah langit Delphi: Kenalilah dirimu sendiri!.
Penjelasan Socrates di atas mencoba untuk menegaskan posisi manusia
sebagai makhluk yang berpikir. Konsepsi manusia Socrates kemudian
mempengaruhi corak berpikir para filsuf setelahnya yang lebih memiliki ranah
perdebatan mengenai posisi subyek3 (individu/manusia) dalam masyarakat.
Perbedaan pandangan posisi subyek dalam masyarakat dimulai oleh pencetus
idealisme yakni Plato yang secara tegas menyebut manusia sebagai makhluk sosial
dan menolak konsepsi kaum sofis yang menyatakan masyarakat sebagai bentukan
individu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang
mendefinisikan manusia sebagai makhluk individual dan tujuan utamanya di dunia
adalah untuk mencari kebahagiaan sebesar-besarnya.4
Pada perkembangannya kemudian, muncul filsuf Rene Descartes yang
disebut pula sebagai bapak filsafat modern dengan diktumnya yang terkenal cogito
ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Secara etimologis, Descartes membedakan
subyek (cogito, kepala, pikiran) dan dunia (sum, hidup, ada). Antara kepala dan
dunia dihubungkan oleh media ilmu pengetahuan (sebagai ergo) melalui aktivitas
3
Subyek tidak selalu hadir (baca: ada) meskipun secara umum subyek selalu diartikan
sebagai manusia atau individu. Hal tersebut memungkinkan adanya berbagai definisi baik diartikan
sebagai subyek aktif atau pasif oleh para teoritisi. Subyek aktif adalah subyek yang bergerak dan
memiliki substansi, sedangkan subyek pasif adalah subyek yang diartikan sebagai pengguna atau
repesentasi dari yang mempengaruhinya. Kehadiran subyek dikatakan “ada” apabila manusia atau
individu memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subyek otonom.
4
Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul
Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, h. 20-21.
3
berpikir.5 Melalui pemikiran Descartes inilah kemudian subyek yang otonom
dihasilkan, subyek yang bebas akan pengembangan diri subyek itu sendiri. Lebih
jauh, pemikiran Descartes berkembang menjadi rumusan klasik atau adagium yang
kemudian melahirkan rumusan yang baru dan lain. Misalnya, muncul rumusan
eligo ergo sum yang diartikan dengan, “Aku memilih, maka aku ada”.6 Hal tersebut
menandakan dalam kegiatan memilih atau berpikir, manusia (individu, subyek)
mengukuhkan eksistensinya. Selain itu, dengan kegiatan memilih atau berpikir
(cogito maupun eligo), semakin menunjukkan posisi manusia sebagai subyek
otonom yang melakukan tindakan memilih atau berpikir untuk menunjukkan bahwa
dia ada.
Pergerakan ranah intelektual di Abad Pencerahan mendorong upaya
sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan diri dari
pengaruh filsafat serta psikologi. Pemikiran awal sosiologi yang diusung oleh
Auguste Comte sekaligus Herbert Spencer dianggap cenderung menonjolkan dunia
ide. Dunia ide yang dibawa oleh kedua pemikir tersebut pun lebih mengutamakan
dimensi keteraturan sosial (social order) daripada dunia empiris, sehingga dapat
dikatakan secara tegas jika warna filsafat masih membayangi pemikiran Comte dan
Spencer. Proyek peneguhan keilmuan sosiologi pun dimulai dari peletakkan dunia
empiris oleh Emile Durkheim. Durkheim berusaha memisahkan sosiologi dari alam
filsafat positif Auguste Comte serta Herbert Spencer
melalui dua karya
monumentalnya Suicide (1897) dan The Rule of Sociological Method (1895).
5
Ahmad Faridl Ma’aruf, Diskursus dan Metode: Rene Descartes, IRCiSoD, Yogyakarta,
2012, h. 9.
6
Fransiskus Borgias, op. cit., h. 77.
4
Durkheim dengan pemikiran fakta sosial hadir dalam upayanya menemukan obyek
studi sosiologi untuk menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan
memenuhi unsur ilmiah. Pandangan fakta sosial menolak adanya dunia ide yang
cenderung mengedepankan proses pemikiran spekulatif, sehingga fakta sosial
mendorong terbentuknya proses pemikiran yang empiris (dapat diukur dan dapat
dipastikan kebenarannya). Secara terperinci, pandangan fakta sosial terdiri atas;
kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societis), sistem sosial, posisi, peranan,
nilai-nilai, keluarga, dan pemerintahan.7 Fakta sosial kemudian secara tegas dan
jelas meletakkan dimensi struktur sosial dan pranata sosial sebagai barang yang ada
sekaligus membawa ranah empiris dalam mempengaruhi subyek, sehingga
pengaruh pemikiran Durkheim berkembang menjadi sebuah kebenaran umum, di
mana realitas sosial menjadi aspek yang tak terpisah dari manusia, sehingga dapat
dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat.8
Penolakan dalam bentuk perbedaan pandangan mengenai posisi subyek
sebagaimana dijelaskan oleh pemikir fakta sosial ditentang oleh pemikir definisi
sosial yang dipelopori oleh Max Weber. Weber dalam pemikirannya menuangkan
posisi subyek (individu) sebagai pelopor pembentuk realitas sosial. Penolakan
Weber terhadap fakta sosial ditunjukkan oleh pernyataan “mempelajari
perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan
manusianya sendiri, berarti mengabaikan segi-segi prinsipal dari kehidupan
sosial”.9 Secara eksternal, norma dan nilai sosial menjadi hambatan bagi
7
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Pers,
Jakarta, 2011, h. 18-19.
8
Peter L. Berger, Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991, h. 3.
9
George Ritzer, op. cit., h. 37.
5
pengembangan diri subyek dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Hal inilah
yang kemudian menjadi kelemahan pemikiran fakta sosial dibandingkan pemikiran
definisi sosial yang mengedepankan segi aktif dan kreatif subyek untuk
menentukan posisi di dalam pemaknaan realitas sosial, sekaligus mempertegas
posisi subyek di dalam masyarakat dengan menggunakan metode interpretasi
(verstehen).
Posisi subyek menentukan aktivitas baik secara tindakan dan pikiran
merupakan bagian di dalam sejarah masyarakat yang sudah ada sebelumnya dan
akan terus berlanjut sesudahnya sebagai wujud biografi atas tiap individu. Terkait
hal tersebut, Peter L. Berger dalam posisi perdebatan mengenai subyek dalam
masyarakat mengemukakan pendapat sebagai berikut, 10
Masyarakat sudah ada sebelum individu ada
Masyarakat pun ada ketika individu tidak ada.
Pandangan Berger di atas memberikan gambaran tidak ada suatu hal yang
berlawanan di antara keduanya. Baik subyek (individu) dan masyarakat memiliki
hubungan causa reality ‘realitas yang saling mempengaruhi’ yang menghasilkan
sebuah penilaian akan hubungan tersebut. Nilai-nilai subyektif yang ada akan
mengalami ketegangan menuju proses dialektis dengan kegiatan obyektif.
Pemikiran Berger pun sarat dengan upaya menjembatani mikro-makro sosiologi.
Beralih pada ranah sosiologi modern, perkembangan teori klasik menuju
ranah modern tak luput dari persoalan subyek. Pemikir sosiologi modern seperti
10
Peter L. Berger, op. cit., h. 4.
6
Talcot Parsons serta muridnya, Robert K. Merton mengusung pemikiran fungsional
struktural yang menggiring peleburan subyek dalam masyarakat sekaligus
menguatkan pondasi makrososiologi. Pemikiran keduanya mengenai peleburan
subyek secara lugas terdapat dalam pendapat Parsons dan Merton sebagai berikut,
Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam
situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik. Aktor-aktor
mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk ‘mengoptimalkan
kepuasan’, yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam
term sistem simbol bersama yang terstruktur secara struktural.11
Perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial
ketimbang pada motif individual. 12
Pendapat Parsons dan Merton didukung oleh pemikiran Kingsley Davis
serta Wilbert Moore yang menjelaskan cara masyarakat memotivasi dan
menempatkan individu pada posisi mereka yang “tepat”.13 Dengan demikian,
gambaran posisi subyek dalam pandangan fungsional struktural merupakan dorman
dari masyarakat dan subyek pun tidak memiliki otoritas dalam pembentukan sebuah
realitas sosial.
Pola makrososiologi yang didengungkan para pemikir fungsional struktural
tentunya tidak memperoleh kedudukan absolut dalam perkembangan teori sosial.
11
George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006,
12
Ibid., h. 139.
Ibid., h. 118.
h. 124.
13
7
Kritik terhadap pandangan kaum fungsional struktural (makrososiologi) ditentang
oleh para pemikir interaksionisme simbolik seperti George Herbert Mead, C.H.
Cooley, dan Hebert Blumer. Ketiganya memiliki pandangan bahwa subyek
memiliki peran atau potensi dalam membentuk bahkan merombak masyarakat.
Pemikiran terpenting interaksionisme simbolik dalam upaya menguatkan posisi
subyek dalam ranah mikrososiologi, antara lain: (1) Memusatkan perhatian pada
interaksi dunia nyata; (2) Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai
proses dinamis dan bukannya sebagai struktur yang statis; serta (3) Arti penting
yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.
Lebih jauh, penjelasan lain mengenai posisi subyek dipertegas oleh Blumer melalui
premisnya di bawah ini,14
Masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni
membuat indikasi untuk diri mereka sendiri); tindakan individu itu merupakan suatu
konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh
individu melalui catatan dan penafisiran situasi di mana dia bertindak; sehingga kelompok
atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan beberapa individu, yang
disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap setiap tindakan
yang lainnya.
Jelas kemudian melalui pemaknaan Blumer mengenai posisi subyek
mengindikasikan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang berdiri
atas kepentingan dan kesadaran diri. Menilik perkembangan teori sosiologi modern
yang hendak menciptakan teori absolut tentunya telah mengalami kegagalan dalam
14
Irving M.Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Teori Sosiologi
Kontemporer, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 332.
8
menjalankan fungsinya. Di samping itu, integrasi makro-mikro15 pun seolah tak
berdaya sekaligus menandai kemunculan kembali perdebatan posisi subyek dalam
menentukan posisinya. Penguatan kembali posisi masyarakat dalam mempengaruhi
subyek pun semakin berkembang ke dalam ranah bahasa, ideologi, dan tak lupa
stuktur sosial kembali sebagai faktor yang melenyapkan posisi subyek dalam
realitas sosial.
Hal tersebut sekaligus menandai kemunculan pemikir posmodern dan
strukturalis dalam upayanya mengkritik maupun merevisi pemikiran filsafat
Descartes ataupun para penganutnya―cartesian―karena pemikiran Descartes
dianggap sebagai pencetus utama dan paling berpengaruh dalam terjadinya
perdebatan posisi subyek hingga masa sosiologi modern, sekaligus menghidupkan
kembali diktum individu sebagai budak masyarakat.
Pemikir posmodern dan strukturalis berteori bahwa subyek merupakan
sumber kekacauan serta konflik.16 Subyek dalam hal ini diwakili oleh manusia
dalam pengertian pasif sebagai pengguna atau dalam pengertian aktif sebagai
pencipta bahasa, simbol, atau ideologi. Sejalan dengan pendapat sebelumnya,
Dennis McCallum pun berpendapat tidak ditemukannya manusia sebagai subyek,
akan tetapi subyek (manusia) merupakan hasil dari pabrikasi sosial atau konstruksi
15
Istilah “makro” diartikan sebagai penggambaran yang mewakili masyarakat. Area
makrososiologi adalah menganalisis interaksi sebagai pengaruh struktur sosial. Sedangkan istilah
“mikro” mewakili subyek (baca: manusia atau individu). Area kajian mikrososiologi ini pun
membedah secara internal yang mendasari terjadinya interaksi sosial, di mana individu diletakkan
sebagai dimensi terpenting dalam mempengaruhi dan penciptaan realitas sosial.
16
Steinar Kvale, Psikologi dan Posmodern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, h. 168.
9
sosial yang di dalamnya aktor sebagai subyek tidak memiliki peran yang
signifikan.17
Proyek kematian subyek dimulai oleh perayaan Ferdinand de Saussure
dengan bahasa sebagai pengendali. Saussure menyatakan bahwa realitas antara
subyek dibentuk oleh bahasa. Pun, sama halnya dengan konsep dekonstruksi
Jacques Derrida yang meletakkan bahasa sebagai perantara proses ketertundaan
kehadiran. Michel Foucault hadir semakin menisbikan posisi subyek di arena
struktur sosial. Dalam arena struktur sosial, jaringan kuasa muncul sebagai pencipta
obyek yang menyatakan bahwa tidak pernah ada subyek yang utuh. Akan tetapi,
membahas kematian subyek tidak lengkap jika tidak mengikutsertakan Louis
Althusser yang menyatakan subyek ada sebagai bentukan sejarah dan ideologi.
Dengan analisis lain, subyek dalam pandangan cartesian memiliki posisi sebagai
realitas otonom pun seolah tidak menyadari kehadiran obyek yang mampu
menciptakan anti-ketidakhadiran subyek. Pemikiran ini pun dapat didasari ketika
Descartes mencetuskan subyek cogito, ia masih hidup pada momen ketika udara di
bumi belum dipenuhi oleh obyek (baca: media). Berbeda dengan para penganut
subyek cartesian yang hidup di era kenyataan maya (virtual reality) yang kemudian
dengan mudah diserang para pemikir posmodern dan strukturalis sekaligus
menandai kematian subyek sebagai subyek otonom.
Mengingat berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya dapat
memberikan gambaran konkret sebagai sebuah pengantar untuk memahami pokok
17
Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, Jalasutra,
Yogyakarta, 2005, h. 397-398.
10
permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Penjelasan di atas perlu dilakukan
mengingat pentingnya uraian komprehensif dari tiap penggolongan masa pemikiran
mengenai perubahan posisi subyek (individu) di dalam masyarakat, yakni apakah
masyarakat menciptakan dan mempengaruhi individu, ataukah individu yang
memiliki pengaruh membentuk dan merombak masyarakat. Begitu pula, uraian di
atas sekaligus memberikan gambaran bahwa perdebatan antara makrososiologi dan
mikrososiologi tanpa disadari masih berlanjut hingga saat ini. Perkembangan pola
pemikiran kemudian diharapkan dapat memberikan sumbangsih serta dapat
memberikan rumusan baru mengenai kemana arah pemikiran sosiologi
berkembang. Kiranya, dalam posisi perdebatan tersebut terdapat konsep pemikiran
“redefinisi subyek” yang kemudian dapat mendorong perkembangan pemikiran
sosiologi. Dengan kata lain, konsep pemikiran ini akan menjelaskan relevansi
perdebatan posisi dominan-dorman individu dalam ruang lingkup disiplin
sosiologi.
Redefinisi subyek yang disebut sebagai pemikiran paling kontemporer
dewasa ini dicetuskan oleh pemikir Slovenia sekaligus seorang marxis progresif
bernama “Slavoj Žižek”. Pemikiran Žižek terbilang komprehensif terlebih
dikarenakan Žižek masih hidup di era sosiologi kontemporer di mana perubahanperubahan sedari bahasan kapitalis hingga paham “Jalan Ketiga” masih dapat
diikuti. Žižek telah menghasilkan banyak buku dengan satu bukunya yang cukup
revolusioner, The Sublime Object of Ideology (1989) sekaligus menjadi karya
monumental Žižek, dan pengukuhan dirinya sebagai seorang filsuf yang
11
“berbahaya” serta patut diperhitungkan di era kontemporer dengan dengung “masih
adanya subyek radikal”.
Relevansi pemikiran Žižek kemudian dijelaskan dalam beberapa tema
pokok. Pertama, secara ontologis pemikiran Žižek adalah sebuah upaya pembelaan
atas kategori subyek dalam teori kontemporer. Kedua, penggunaan kembali
kategori ideologi. Ketiga, melalui penggunaan subyek dan ideologi lacanian, Žižek
mengupayakan pemahaman baru mengenai realitas kontemporer, yakni masyarakat
global-liberal-kapitalis.18 Gambaran masyarakat kontemporer dalam sosiologi
seiring perkembangannya juga disebut sebagai risk society (masyarakat beresiko).
Namun, pemikiran Žižek yang cenderung meloncat dan tidak memberikan cetusan
teori menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun kembali subyek.
Terlebih yang menjadi persoalan di sini adalah Žižek sama sekali tidak
memperkenalkan arah atau isi perubahan masyarakat yang diharapkannya. Hal
tersebut kemudian menghasilkan asumsi bahwa Žižek pun tidak mempertegas
konsep subyek yang dimaksudkan dalam berbagai eksemplar pemikirannya
terutama konsep relevansi subyek dalam kajian sosiologi.
Merujuk pada persoalan keilmuan sosial dan humaniora di atas, yaitu
kurang ditemuinya pembahasan mengenai konsep relevansi subyek menurut Žižek
dalam kerangka kajian sosiologi yang sistematis serta kurangnya bahan-bahan
kajian Slavoj Žižek di Indonesia, kiranya menjadi sebuah tantangan tersendiri dan
terbilang orisinal untuk mengkaji pemikiran redefinisi subyek Žižek dalam tinjauan
18
Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era
Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek, Marjin Kiri, Jakarta, 2010, h. 18-19.
12
metasosiologi. Diharapkan, hasil pengkajian ini nantinya dapat memberikan
sumbangsih pemikiran dalam memperkaya kazanah keilmuan sosial-humaniora
pada umumnya, dan disiplin sosiologi khususnya.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu berbagai uraian dan penjelasan dalam latar belakang
permasalahan di atas maka beberapa permasalahan pokok yang akan dikaji lebih
mendalam pada pembahasan (penelitian) ini dapat dirumuskan sebagai berikut,
1. Bagaimanakah konsep redefinisi subyek Slavoj Žižek dalam tinjauan
metasosiologi?
2. Di manakah letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma
yang ada dalam sosiologi?
3. Bagaimanakah praksis dan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa
ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian atas tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Slavoj Žižek ini
dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut,
1. Memaparkan konsep pemikiran Slavoj Žižek mengenai redefinisi subyek
dalam kerangka tinjauan metasosiologi.
2. Melacak letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma
pemikiran sosiologi.
3. Menjelaskan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa ini.
13
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih
bagi pemahaman konsep redefinisi subyek menurut Slavoj Žižek dalam tinjauan
metasosiologi. Di sisi lain, penelitian ini ditujukan dalam rangka menambah
literatur terkait konsep subyek dan relevansinya di era kontemporer bagi mahasiswa
sosiologi pada khususnya, maupun akademisi atau pengamat sosial-politik yang
meminati isu terkait mengingat sumber literatur mengenai berbagai konsep
pemikiran Slavoj Žižek di tanah air masih dikatakan jarang dan sulit didapatkan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Sebagaimana penulis sebutkan bahwa pemikiran Slavoj Žižek yang
membahas mengenai redefinisi subyek merupakan upaya pengembalian posisi
subyek yang seakan dihilangkan oleh para pemikir posmodern, strukturalis, hingga
postrukturalis di era kontemporer. Upaya ini tentunya memiliki manfaat dalam
peneguhan kembali identitas individu sebagai subyek baik di ranah sosial maupun
politik. Sekaligus memberikan tawaran jalan keluar terhadap kungkungan era masa
kini yang kita kenal sebagai era “masyarakat cair” maupun era masyarakat beresiko
(risk society).
Download