Pelatihan SMU DKI 20 Des 06(astronomi)

advertisement
Astronomi Dasar
Pelatihan Guru-guru SMUN
Jakarta, 20 Desember 2006
Suhardja D. Wiramihardja
Program Studi Astronomi FMIPA
Institut Teknologi Bandung
2006
Buku acuan
A Workbook for Astronomy
Waxman J., 1986, Cambridge University Press.
Unfolding Our Universe
Nicolson, I., 1999, Cambridge University Press.
An Introduction to Astronomy
Huffer, C.M., Trinklein, F.E., Bunge, M., 1967,
Holt, Rinehart and Winston Inc.
Bola Langit
Dilihat dengan mata, bintang-bintang menempel pada permukaan
dalam sebuah bola raksasa yang berpusat di Bumi. Bola ini, yang
radiusnya tak terhingga, disebut bola langit.
Posisi sebuah benda langit dinyatakan dengan arahnya, bukan
dengan jaraknya. Diperlukan suatu tata koordinat: koordinat pada
permukaan bola.
Dalam sistem koordinat langit, posisi bintang-bintang hanya
ditentukan oleh arah mereka relatif antara satu dengan yang lain.
Umpamanya, bintang S1 dan bintang S2 terpisah atau berjarak sudut
20.
Jarak sudut antara dua bintang, S1 dan S2, didefinisikan sebagai
sudut S1OS2 = sudut S'1OS'2 atau S2OG1 = S'2OG'1. Tampak bahwa
jarak ke bintang-bintang itu tidak diperhitungkan, seakan-akan
mereka diproyeksikan pada bola langit di S'1, S'2 dan G'1.
Z
S'1
S1
*
S'2
*S2
O

G1
N
G'1
KLU, KLS dan Ekuator Langit
Jika kita memproyeksikan kutub-kutub Bumi pada bola langit kita
akan memperoleh dua buah titik yang disebut Kutub Langit Utara
(KLU) dan Kutub Langit Selatan (KLS). Terhadap kedua titik inilah
(bola) langit, karena rotasi bumi, tampak seperti berputar.
Ekuator Langit didefinisikan sebagai lingkaran besar pada bola
langit yang berjarak 90 dari kutub langit.
Orang yang berada di Kutub Utara bumi akan melihat KLU tepat di
atas kepalanya dan ekuator langit pada horizonnya. Sedangkan jika
seseorang berdiri di ekuator bumi, ekuator langit akan membentang
melewati kepalanya dan kutub-kutub langit berada di horizon
terpisah 180.
KLU, KLS dan Ekuator Langit
Polaris
KLU
*
Bola langit yang berputar
Bumi
Ekuator langit
Kutub Langit Selatan (KLS)
Gerak Langit
Di Kutub. Jika kita berdiri di salah satu kutub, sumbu rotasi benda
langit (sebenarnya Bumi) adalah poros KLU-KLS ini. Bintang-bintang
akan tampak berputar melingkar terhadap titik tepat di atas kepala.
Bintang tidak terbit dan tidak terbenam. Lintasan yang ditempuh
bintang dalam bola langit ini disebut lingkaran harian.
KLU
*
Ekuator langit
dan horizon
Lingkaran harian bintang
Bola langit yang berputar
KLS
Di Ekuator. Jika kita berdiri di ekuator, ekuator langit membentang
melintasi kepala kita, dari Timur ke Barat dan sumbu rotasi langit
adalah garis dari Utara ke Selatan. Dari ekuator, bintang tampak
terbit tegak lurus di horizon timur dan terbenam di horizon barat.
Dari ekuator kita bisa melihat semua bintang.
lingkaran harian bintang
T
KLU
KLS
*
B
Bola langit
Ekuator langit
Di Lintang-antara. Pada lintang-antara situasinya merupakan
kombinasi dari dua posisi sebelumnya. Kutub langit tidak terletak di
horizon (seperti kalau kita ada di ekuator) dan juga tidak terletak di
Zenit (seperti kalau kita ada di Kutub), tetapi ada di antara
keduanya. Jarak sudut Kutub Langit dari horizon sama dengan
lintang tempat kita berada.
Tampak lintasan tiga buah bintang; satu di selatan dan dua di Utara
ekuator langit. Jelas bahwa dari lintang-antara, beberapa bintang di
Selatan ekuator langit tidak akan pernah kelihatan. Juga terlihat
bahwa semua bintang di Utara ekuator langit pada suatu saat akan
berada di atas horizon. Bahkan bintang-bintang yang cukup jauh di
Utara akan selalu berada di atas horizon; mereka disebut bintang
circumpolar.
lingkaran harian bintang
KLU
Ekuator langit
T
U
S
B
KLS
Lingkaran Harian
Bintang-bintang di sekitar KLU
Ekliptika
Dalam kenyataan sebenarnya, bumi bergerak mengitari matahari.
September
Desember
Juni
23½
U
Ekliptika
Maret
S
Ekliptika
Dari titik pandang bumi, maka revolusi bumi mempunyai efek yang
mengakibatkan matahari seolah-olah bergerak pada bola langit.
Sebabnya, yaitu karena kita (bumi) bergerak mengitari matahari
maka kita melihat matahari diproyeksikan pada medan bintang yang
berbeda-beda. Ini berarti dari musim ke musim bintang-bintang yang
berlainan akan tampak pada langit malam atau langit siang kita.
22 Jun
23 Sep
Ekliptika
Ekuator langit
21 Mar
22 Des
Gerak Matahari
Sistem Koordinat Ekuatorial
Tampak sebuah bintang pada bola langit. Lingkaran besar yang
ditarik dari KLU melalui bintang ke ekuator disebut lingkaran jam
bintang.
Koordinat bintang dalam sistem ekuator adalah asensiorekta ()
dan deklinasi ().
Asensiorekta adalah
sudut sepanjang ekuator langit diukur mulai dari titik vernal
equinox ke arah Timur (kebalikan arah jarum jam jika dilihat
dari Utara) sampai lingkaran jam bintang.
Deklinasi adalah
sudut sepanjang lingkaran jam (Utara atau Selatan) diukur dari
ekuator ke arah bintang.
Sistem Koordinat Ekuatorial
KLU
Lingkaran jam bintang
*
Ekliptika

Ekuator langit

Bola langit
Vernal equinox
Koordinat titik-titik
Vernal Equinox
Summer Solstice
Autumnal Equinox
Winter Solstice

0 jam = 0
6 jam = 0
12 jam = 0
18 jam = 0

0
+23,5
0
-23,5
Dalam astronomi selain dalam derajat, ada dua sistem lain yang
dipakai untuk pengukuran sudut.
Radian (rad):
Lingkaran mencakup 2 radian. Jadi 1 rad = 57,3.
Jam:
Lingkaran dapat dibagi menjadi 24 jam, 1 jam = 60 menit,
dst.
Ingat, 1 menit (1/60 jam) tidak sama dengan 1 menit busur
(1/60)
Tanpa memperhitungkan gerak individual bintang-bintang, posisi
bintang-bintang tidak berubah relatif terhadap vernal equinox.
 dan  bintang tetap, tidak peduli kapan dan di mana kita berada.
 dan  bintang Betelguese (bintang terang di rasi Waluku atau
Orion) adalah sama dilihat di Jakarta tgl 20 Desember 2006 jam
24:00 atau di Surabaya tgl 3 Maret 2006 jam 20:00.
 dan  bintang bukan besaran yang berubah secara lokal.
Waktu
Ada tiga satuan dasar waktu.
•
•
•
Hari, yaitu panjang waktu yang diperlukan bumi untuk
menyelesaikan satu kali rotasi.
Tahun, yaitu interval waktu yang diperlukan bumi untuk
menempuh satu putaran terhadap matahari.
Bulan (month), yaitu waktu yang diperlukan bulan (moon) untuk
menyelesaikan satu putaran terhadap bumi.
Ada dua macam hari
Hari matahari (solar day), jika matahari sebagai acuan:
interval waktu dari saat matahari terbit ke matahari terbit berikutnya
atau matahari terbenam ke matahari terbenam berikutnya.
Hari sideris (sidereal day), jika bintang sebagai acuan:
interval waktu dari saat suatu bintang tertentu berada di atas kepala
kita sampai bintang tersebut kembali berada di atas kepala kita lagi.
ke bintang
Satu hari sideris = 23 jam 56 menit
~1
Satu hari matahari = 24 jam






Bumi pada t1


Bumi pada t2
Sudut Jam
Seorang pengamat sedang memandang bola langit. Tampak Zenit (Z)
dan KLU (Polaris), ekuator langit berada di 90 dari kutub langit. Pada
horizonnya tampak Utara, Selatan, Timur dan Barat. Lingkaran yang
melalui U, KLU, Z dan S disebut meridian pengamat. Lingkaran dari
KLU yang melalui bintang dan memotong ekuator langit adalah
lingkaran jam bintang. Perpotongan antara meridian pengamat dan
ekuator langit disebut titik  (sigma). Jarak sudut sepanjang ekuator
ke arah Barat, dari titik  ke lingkaran jam bintang adalah sudut jam
bintang. Ini adalah waktu yang ditempuh, sejak sebuah obyek
melewati meridian.
Sudut jam sebuah obyek memberitahukan di mana obyek itu di langit
(dalam kerangka acuan lokal)
Sudut Jam
Z
Meridian pengamat
KLU

Ekuator langit
T
U
Pengamat
♀
S
B
Horizon
Sudut jam sebuah obyek pada suatu saat, berbeda untuk masingmasing bujur yang berlainan di permukaan bumi. Ini yang
membedakan sudut jam dan asensiorekta. Asensiorekta sebuah
obyek tidak bergantung kepada di mana kita berada, karena ia
dihitung relatif terhadap vernal equinox yang tetap relatif terhadap
bintang-bintang. Sudut jam dihitung terhadap  yang tetap relatif
terhadap pengamat.
Maka dapat dikatakan bahwa sudut jam adalah representasi lokal
posisi sebuah obyek, sementara asensiorekta adalah sama untuk
semua pengamat di bumi.
Waktu Sideris
Titik acuan waktu sideris adalah vernal equinox (titik  = Aries).
Waktu Sideris Lokal (WSL) didefinisikan sebagai sudut jam vernal
equinox (SJ())
WSL = SJ()
Hari sideris dimulai ketika vernal equinox ada pada meridian lokal
(SJ()=0) dan berakhir ketika vernal equinox kembali melintas
meridian (23 jam 56 menit waktu hari kemudian)
Waktu Sideris Lokal
Lingkaran mencerminkan ekuator langit dan titik di pusat lingkaran
adalah KLU. Panjang panah menyatakan sudut jam dari vernal
equinox. Sudut jam diukur ke arah Barat (searah jarum jam bila dilihat
dari Utara) dari titik sigma, , ke vernal equinox.

WSL =
SJ ()
Ekuator langit
KLU
()
Vernal Equinox
Definisi Lain dari Waktu Sideris Lokal

SJ ()
 ()
WSL
Ekuator langit
KLU
*
Vernal quinox
Definisi Lain dari Waktu Sideris Lokal
Sebuah bintang yang diperlihatkan dengan lingkaran jamnya,
mempunyai asensiorekta  (diukur ke arah Timur dari titik ) dan
sudut jam, SJ (diukur ke arah Barat dari titik sigma, ). Kita lihat
bahwa
WSL = SJ() + ()
Jika  (bintang) diganti dengan , kita mendapatkan,
WSL = SJ() + ()
Karena ()=0, maka kita peroleh definisi pertama di atas, yaitu
WSL = SJ()
Fasa Bulan
Fasa Bulan dihasilkan dari perubahan posisi tiga benda.
Fasa Bulan
Pada bulan baru, elongasi bulan bervariasi antara 0 dan 5,
karena inklinasi orbit.
Jika inklinasinya 0, dan bulan selalu bergerak di ekliptika, maka
akan selalu terjadi gerhana matahari pada tiap bulan baru. Tetapi
karena bulan mempunyai inklinasi 5, bulan bisa berada sejauh 5
dari matahari pada saat bulan baru. Jadi gerhana hanya kadangkadang saja terjadi.
Gerak Semu Planet
Orbit Bumi
Bagaimana gerak
retrograde terjadi
Orbit Mars
Hubungan antara Periode Sideris dan Periode Sinodis
Sy = Periode sinodis planet, yaitu panjangnya waktu dari suatu
oposisi/konjungsi ke oposisi/konjungsi berikutnya
Si = Periode sideris planet, yaitu waktu yang dipergunakan planet
untuk menempuh satu putaran mengitari matahari
E = Periode sideris bumi
1
 Bagian orbit yang ditempuh planet dalam satu hari
Si
1
 Bagian orbit yang ditempuh bumi dalam satu hari
E
1
 Bagian dari lap, planet akan menyusul atau tersusul bumi per hari
Sy
Untuk planet dalam
1 1
1
 
Si E S y
Untuk planet luar
1 1
1
 
E Si S y
Konjungsi
Venus
Bumi
Konjungsi dan Oposisi
beberapa planet
Mars
Oposisi
Hukum II Keppler
Garis penghubung matahari-planet dalam selang waktu sama
menyapu luas yang sama.
BESARAN-BESARAN DASAR BINTANG
Bintang, serupa dengan Matahari , adalah sebuah bola gas
yang mengeluarkan cahaya sendiri. Ada yang ukuran
diameternya besar, ada yang kecil. Ada yang temperaturnya
tinggi, ada yang rendah. Ada yang cemerlang (brilliant),
dan ada yang redup (dimmer). Semua terletak pada jarak
sangat
jauh
dibandingkan
jarak
Bumi-Matahari.
Pengetahuan kita tentang bintang dibangun terutama dari
pengukuran terang dan perubahan terang mereka, posisi
dan perubahan posisi mereka, warna dan spektrum mereka,
serta dengan menerapkan pengetahuan kita mengenai
fisika dan kimia untuk menginterpretasikan hasil
pengamatan.
Terang (brightness) dan Magnitudo (1)
Terang sebuah bintang di langit dinyatakan dalam besaran yang
disebut magnitudo semu – ukuran dari jumlah cahaya yang sampai di
Bumi yang awalnya diperkenalkan oleh Hipparchus, seorang astronom
kenamaan Yunani pada abad 2 S.M. Hipparchus membagi bintangbintang ke dalam enam kelas, atau magnitudo, dimana bintang yang
paling terang diberi harga magnitudo 1 dan yang paling lemah yang
masih dapat dilihat dengan mata diberi harga magnitudo 6.
Terang (brightness) dan Magnitudo (2)
Dalam tahun 1856 sistem magnitudo ini oleh seorang astronom Inggris,
N.R. Pogson, dinyatakan secara lebih eksak. Ia mendefinisikan skala
magnitudo sedemikian rupa dimana perbedaan lima magnitudo (yaitu
antara magnitudo 1 dan magnitudo 6 atau antara magnitudo 6 dan
magnitudo 11) bersesuaian dengan perbedaan dalam terang tepat
seratus kali dan perbedaan satu magnitudo bersesuaian dengan akar
pangkat lima dari seratus yaitu 2,512. Jadi, dibandingkan dengan
bintang magnitudo satu, bintang magnitudo dua 2,512 lebih lemah;
bintang magnitudo tiga 2,512 X 2,512 = (2,512)2 = 6,31 lebih lemah; dan
bintang magnitudo enam (2,512)5 = 100 lebih lemah.
Terang (brightness) dan Magnitudo (3)
Bintang yang lebih lemah dari limit mata telanjang mempunyai
magnitudo lebih besar daripada 6. Sebagai contoh, sebuah bintang
dengan magnitudo 11 seratus kali lebih lemah daripada bintang dengan
magnitudo 6, yang juga seratus kali lebih lemah daripada bintang
dengan magnitudo 1; jadi bintang dengan magnitudo 11 sepuluh ribu
kali lebih lemah daripada bintang magnitudo 1. Sebaliknya, bintangbintang atau obyek-obyek langit lainnya, yang lebih terang daripada
bintang magnitudo 1 akan mempunyai harga magnitudo pecahan, nol,
atau negatif. Sirius, bintang yang terang di langit mempunyai
magnitudo semu -1,46; planet Venus pada saat paling terang mencapai
-4,4 dan Bulan purnama -12,6 sementara Matahari -26,7. Matahari kirakira tiga puluh tiga magnitudo lebih terang daripada bintang paling
lemah yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang, sedangkan obyek
yang paling lemah yang masih bisa dideteksi oleh Hubble Space
Telescope mempunyai magnitudo sekitar +29, kira-kira satu milyar kali
lebih lemah daripada batas deteksi mata telanjang.
Magnitudo Absolut (1)
Magnitudo semu adalah ukuran jumlah cahaya yang sampai ke Bumi
dari bintang yang jauh. Dengan mengabaikan absorpsi yang mungkin
ada di ruang antar bintang, magnitudo semu bergantung pada jumlah
cahaya yang dipancarkan oleh bintang (luminositas intrinsiknya) dan
jaraknya. Terang semu melemah sebanding dengan kwadrat jarak – jika
jaraknya dua kali lebih jauh, terang semu menjadi seperempat kali
harga sebelumnya.
Magnitudo Absolut (2)
Terang semu sebuah bintang tidak mengungkapkan luminositas
sebenarnya. Sebuah bintang dengan luminositas sedang akan tampak
terang jika ia dekat kepada kita, tetapi bintang dengan luminositas
tinggi akan tampak redup jika ia sangat jauh. Jika semua bintang
berada pada jarak yang sama dari Bumi, terang semu relatif mereka
akan menjadi indikasi sebenarnya dari luminositas relatif mereka.
Untuk menggambarkan luminositas intrinsik bintang-bintang pada
skala magnitudo, astronom menggunakan besaran yang disebut
magnitudo absolut, yang didefinisikan sebagai magnitudo semu yang
akan dimiliki bintang itu jika ia diletakkan pada suatu jarak standar.
Jarak standar yang dipilih untuk tujuan ini adalah 10 parsek (satu parsek
adalah satuan ukuran yang ekivalen dengan 3,26 tahun cahaya; akan
dijelaskan kemudian). Magnitudo absolut matahari adalah +4,8 yang
berarti jika matahari dipindahkan ke jarak 10 parsek (32,6 tahun
cahaya), magnitudo semunya akan menjadi 4,8.
Magnitudo Absolut (3)
Sirius, bintang paling terang di langit, mempunyai magnitudo absolut
+1,42 yang bersesuaian
dengan 26 kali cerlangnya (luminous)
Matahari. Bintang ini menjadi bintang paling terang di langit, terutama
lebih dikarenakan kedekatannya pada kita (8,6 tahun cahaya) daripada
karena luminositas sebenarnya. Bintang Deneb, di rasi Cygnus,
memiliki magnitudo absolut -7,3 yang bersesuaian dengan 70.000 kali
luminositas Matahari. Dengan jaraknya yang 1.800 tahun cahaya,
magnitudo semunya adalah 1,25 yang membuatnya menjadi bintang
paling terang ke 19 di langit. Sebaliknya, bintang yang paling dekat
(Proxima Centauri) adalah sebuah bintang redup yang magnitudo
absolutnya +15,1. Kendati jaraknya lebih dekat dari 4,3 tahun cahaya, ia
terlalu lemah (magnitudo semu +10,7) untuk dilihat tanpa teleskop.
Secara keseluruhan, magnitudo absolut bintang berkisar antara -10
(kira-kira 1 juta kali cerlangnya Matahari) sampai +17 (beberapa
perseratus ribu cerlangnya Matahari).
Luminositas, Fluks, dan Magnitudo Bintang (1)
Terang bintang yang terlihat bergantung pada kwantitas cahayanya
yang sampai pada permukaan Bumi. Dengan menganggap bahwa
bintang bentuknya bola yang meradiasikan jumlah enerji yang sama
perdetik ke segala arah, saat cahaya yang dipancarkan telah menempuh
jarak r dari bintang, ia telah tersebar ke seluruh permukaan dari sebuah
bola dengan radius r dan luas permukaan 4  r2. Jumlah enerji per detik
yang melewati satuan luas permukaan (1 m2) dari bola ini secara tegak
lurus disebut fluks (F). Fluks pada jarak r dari sebuah bintang dengan
luminositas L sama dengan jumlah total enerji yang dipancarkan per
detik (L) dibagi luas daerah pada mana enerji telah tersebar (4  r2).
F = L/(4 r2)
Luminositas Matahari adalah 3,86 X 1026 W, dan harga rata-rata fluks
radiasi Matahari yang sampai di Bumi adalah 1,368 Wm-2. Jika
Matahari dipindahkan ke jarak 10 parsek (3,09 X 1017 m), ketika
magnitudo bolometrik semunya menjadi 4,7 fluks Matahari di Bumi
akan berkurang menjadi
(3,86 X 1026)/ (4  X (3,09 X 1017)2 ) = 3,2 X 10-10 Wm-2
Luminositas, Fluks, dan Magnitudo Bintang (2)
Magnitudo skalanya logaritmis, dan perbedaan dalam magnitudo semu
antara dua bintang (1 dan 2) didefinisikan sebagai
m1 – m2 = -2,5 log (F1/F2)
dimana m1 dan m2 adalah magnitudo semu masing-masing bintang
dan F1 dan F2 adalah fluks masing-masing bintang (hubungan yang
sama berlaku pada magnitudo optik dan fluks atau pada magnitudo
bolometrik dan fluks).
Jika terang semu bintang 2 seratus kali lebih besar daripada terang
semu bintang 1, maka ratio fluks (F1/F2) = (1/100) = 0,01. Karena log
(0,01) = - 2,
m1- m2 = -2,5 X (- 2) = 5,0 dan m1 = m2 + 5,0
Berarti, bintang 1 lima magnitudo lebih lemah daripada bintang 2.
Jika bintang 2 terangnya 10.000 kali lebih terang daripada bintang 1
(F1/F2 = 1/10.000 = 0.0001), m1- m2 akan menjadi 10 magnitudo, dan
seterusnya.
Jarak (1)
Metoda fundamental untuk mengukur jarak bintang adalah paralaks
trigonometri. Prinsip dasarnya, untuk bintang, garis alas yang
digunakan adalah diameter orbit Bumi mengelilingi Matahari.
Prinsipnya, jika posisi sebuah bintang tertentu diukur dalam bulan
Januari, katakanlah, ketika Bumi berada pada suatu titik di orbitnya di
bagian kiri Matahari, dan diukur lagi pada bulan Juli pada satu titik
bagian orbit sebelah kanan, pergeseran kecil dalam posisinya (paralaks)
dapat dideteksi. Perubahan sudut maksimum bintang dari posisi rataratanya di langit, yang terjadi ketika sudut antara Bumi, Matahari dan
dan bintang tegak lurus disebut paralaks tahunan (annual paralax).
Dengan konvensi, paralaks tahunan sering dinyatakan dengan simbol .
Selama setahun bintang akan membuat jejak berbentuk elips kecil, yang
berpusat pada posisi rata-ratanya, dengan radius maksimum sama
dengan paralaks tahunan.
Jarak (2)
Paralaks tahunan adalah sudut antara Matahari, bintang, dan Bumi
dalam segitiga siku-siku yang dibentuk oleh tiga benda ini. Makin jauh
bintang, makin panjang dan makin lancip segitiga ini, dan makin kecil
paralaksnya. Jika paralaks tahunan bintang dapat diukur, dan jarak
antara Matahari dan Bumi diketahui, jarak bintang dapat dihitung
dengan menggunakan trigonometri sederhana pada segitiga ini. Tidak
ada bintang yang cukup dekat pada kita sehingga besar paralaksnya 1
detik busur. Paralaks tahunan bintang paling dekat, Proxima Centauri,
adalah 0,772 detik busur, yang bersesuaian dengan jarak kira-kira
270.000 kali lebih besar daripada jarak Matahari – sekitar
40.000.000.000.000 km, atau 4,2 tahun cahaya.
Jarak (3)
Satuan pengukuran jarak , yang berkaitan dengan paralaks, adalah
parsek. Satu parsek adalah jarak dimana bintang mempunyai paralaks
tahunan tepat 1 detik busur; ekivalen dengan jarak dimana panjang 1
Satuan Astronomi (SA), yaitu radius orbit Bumi mengelilingi Matahari,
mencakup sudut 1 detik busur. Satu parsek ekivalen dengan 206.265 SA
(3,09 X 1013 km) atau 3,26 tahun cahaya. Jarak sebuah bintang, yang
dinyatakan dalam parsek, merupakan kebalikan dari paralaks tahunan
(dinyatakan dalam detik busur). Contoh, paralaks tahunan 1 detik
busur bersesuaian dengan jarak 1/1 = 1 parsek, sementara paralaks 0,1
detik busur bersesuaian dengan jarak 10 parsek, dan seterusnya.
Proxima Centauri, dengan paralaks 0,772 detik busur, terletak pada
jarak 1/0,772 = 1,30 parsek.
Jarak (4)
Paralaks paling kecil yang masih dapat diukur dengan teknik
konvensionil dari permukaan Bumi kira-kira 0,02 detik busur, yang
bersesuaian dengan jarak 100 parsek. Akan tetapi satelit Hipparcos
(High Precision Parallax Collecting Sattelite), yang diluncurkan oleh
European Space Agency (ESA) dalam tahun 1989 dan menyelesaikan
misinya dalam tahun 1993, mampu mengukur paralaks sampai
ketelitian 0,001 detik busur.
Metoda lain harus digunakan untuk bintang yang jaraknya terlalu jauh
untuk diukur dengan cara trigonometri. Jika magnitudo absolut sebuah
bintang dapat ditentukan dari karakteristik bintang tersebut (misalnya
spektrum), jarak bintang ini dapat ditentukan dengan membandingkan
magnitudo semu dan magnitudo absolutnya. Pada prakteknya,
penentuan jarak dengan cara ini harus memasukkan faktor absorpsi
yang diakibatkan oleh materi antar bintang. Tapi prinsipnya, teknik ini
(dikenal sebagai paralaks spektroskopik) memungkinkan jarak bintang
dapat dihitung, asalkan luminositas intrinsiknya, berarti magnitudo
absolutnya dapat diperkirakan dengan baik.
Modulus Jarak (1)
Magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) sebuah bintang
dihubungkan dengan jarak (d) dalam parsek oleh persamaan
m – M = - 5 + 5 log d
Kwantitas m - M dikenal sebagai modulus jarak.
Jika magnitudo absolut bintang dapat diperoleh dengan baik (misalnya,
dari penampilan spektrum bintang tersebut) dan magnitudo semunya
dapat diukur, jarak bintang dapat diperoleh dengan persamaan tersebut
di atas.
5 log d = m – M + 5
log d = m – M + 5 / 5 = 0,2 ( m – M + 5 )
jadi
d = 100,2(m – M + 5 )
Sebagai contoh, jika m = M, maka m – M = 0 dan d = 100,2( 0 + 5 ) = 101 =
10 parsek. Ini sesuai dengan definisi yang dijelaskan sebelumnya
tentang magnitudo absolut ( M = m kalau d = 10 parsek). Contoh yang
lain, jika magnitudo absolut sebuah bintang +5 dan magnitudo
semunya +10, jaraknya adalah 100,2(5 + 5) = 102 = 100 parsek.
Download