analisis hubungan determinan kejadian penyakit infeksi menular

advertisement
ANALISIS HUBUNGAN DETERMINAN KEJADIAN PENYAKIT
INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WANITA
PENJAJA SEKSUAL (WPS)
Adius Kusnsan1)
1)
Fakultas Kesehatan Universitas Haluoleo
Email : [email protected]
Abstract : Analysis of the Determinant Factors Related to the Prevalence of Sexual
Infectious Infection Disease of the Prostitutes in Kendari, Bau-Bau and Muna year
2012 Town. Sexual infectious infection disease is a public health problem in indonesia and
world wide because its effect is very broad viewed from health,politic,and socioeconomic.
Failure in diagnosis and therapy in the early stage resulting in serious complications, for
example, invertility, neonatal infection, and even death. The aim of the study was to analyze
the factors relatedto the prevalenceof sexual infectious infection disease of the prostitutes in
Kendari, Bau-Bau and Muna town. The study was a cross sectional study with the number of
samples was 222 prostitutes. The variables studied were the use of condoms, knowledge of
sexual infectious infection disease and AIDS, sexual intercouese method, frequency of
intercourse, length of profession as prostitutes, and age.The results of the study indicate that
there are four factors which have a close correlation with the prevalence of the sexual
disease: age of the respondent < 29 years (p=0,001 < 0,05), respondents knowledge (p=0,001
< 0,05), sexual intercourse method (p=0,002 < 0,05), and frequency of sexual intercourse
(p=0,016). It is recommended that the regional goverment improve the coordination with
interrelated sectors, fund provision, intensive counseling about sexual infection disease
and AIDS, increase health resources so that this disease will not be a problem for the
public health.
Keywords : Determinant factor, age and knowledge of the prostitunes
Abstrak : Analisis Hubungan Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual
(IMS) Pada Wanita Penjaja Seksual (WPS). Penyakit infeksi menular seksual merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan di seluruh dunia, karena dampaknya
sangat luas baik ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi. Kegagalan
dalam diagonasis maupun terapi pada tahap dini mengakibatkan timbulnya komplikasi yang
cukup serius, misalnya infertilitas, kematian janin, infeksineonatus, bahkan sampai
menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS diwilayah Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang (cross sectional study),
dengan sampel responden sebanyak 222 orang wanita penjaja seksual. Variabel yang diteliti
adalah kegunaan kondom, pengetahuan tentang IMS dan AIDS, cara hubungan seksual,
frekuensi hubungan, lama berprofesi, dan umur. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat
angka 4 (empat) faktor yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya penyakit infeksi
menular seksual (IMS) yaitu faktor umur responden < 29 tahun (nilai P = 0,001<0,05),
kurangnya pengetahuan bagi responden (nilai P=0,001<0,05) cara hubungan seksual (nilai P
=0,002 <0,05) dan frekuensi hubungan seksual (nilai P=0,016). Untuk itu disarankan agar
Pemda Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna meningkatkan koordinasi dengan lintas
sektor terkait, menyediakan dana, meningkatkan penyuluhan, khususnya tentang penyakit
IMS dan AIDS, meningkatkan sumber daya bidang kesehatan, sehingga penyakit IMS dan
AIDS tidak menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat.
Kata Kunci : Faktor Determinan : Usia dan pengetahuan WPS.
344
Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 345
Penyakit Infeksi Menular Seksual
(IMS) masih tetap merupakan masalah
kesehatan masyarakat baik ditinjau dari segi
kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi.
Dalam dekade terakhir ini, telah terjadi
peningkatan insiden IMS dibanyak negara
didunia. Kegagalan dalam diagnosis, maupun
terapi pada tahap dini, mengakibatkan
timbulnya komplikasi yang cukup serius,
misalnya infertilitas, kehamilan ektopik,
kematian janin, infeksi neonates, bayi dan berat
badan lahir rendah, kanker anogenital, bahkan
dapat menyebabkan kematian (Dep.Kes.
2003)¹.
Pada saat ini diperkirakan terdapat
sekitar 340 juta atau lebih penderita IMS yang
meliputi penyakit sifilis, herpes genetalia,
gonore, HIV/AIDS dan lain-lain. Dalam
beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya
kecendrungan peningkatan prevalensi penyakit
IMS diberbagai Negara termasuk Indonesia.
Secara epideiologi penyakit ini tersebar
diseluruh dunia, angka kejadian paling tinggi
tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara,
diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin
dan Karibean, terdapat hampir 50 juta IMS
setiap tahunnya, diantaranya ialah HIV, virus
herpes, human papilloma virus, dan virus
hepatitis B.
Diperkirakan jumlah orang dengan
kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan pada
akhir tahun 2003 mencapai 90.000-130.000
orang. Sampai dengan bulan Deptember 2008,
pengidap HIV positif sebanyak 6.015 kasus,
sedangkan kumulatif kasus AIDS sebanyak
16.110 kasus atau terdapat tambahan 4.969
kasus baru selama tahun 2008, kematian karena
AIDS hingga tahun 2008 sebanyak 3.362
kematian.
Hal yang lebih memperihatinkan adalah
tingginya persentase penderita pada usia
produktif (53% kelompok usia 20-29 tahun dan
sekitar 25% pada kelompok usia 30-39 tahun).
Disamping itu telah terjadi pergeseran dalam
cara penularannya yang semula oleh
penyalagunaan narkoba suntIK/Injecting Drug
User (IDU), sebagai faktor risiko utama
penyebab HIV dan AIDS, kini kasus penularan
HIV dan
AIDS
terbanyak
(50,4%)
melalui melalui heteroseksual sebesar (46,5%)
dan (3,89%) homoseksual.
Di Indonesia, dari data yang diambil
beberapa RS bervariasi, di RS Dr.Sutomo,
kasus uretritis = 25,22% dari total pederita IMS.
Data tersebut diatas menujukan bahwa insiden
gonore sangat bervariasi akibat pengaruh
kondisi sosial budaya setempat, termasuk
fasilitas pelayanan kesehatan (Dep.Kes.RI.
,2003). Data Infeksi menular seksual (IMS)
merupakan salah satu dari sepuluh penyebab
pertama penyakit yang tidak menyenangkan
pada dewasa muda laki-Iaki dan penyebab
kedua terbesar pada dewasa muda perempuan
negara berkembang. Dewasa dan remaja (15-24
tahun) merupakan 25% dari semua populasi
yang aktif secara seksual, tetapi memberikan
konstribusi hampir 50% dari semua kasus IMS
baru yang ditemukan.
Berdasarkan data diri Dit.Jend. PPM &
PL. Dep.Kes.RI, untuk pengidap HIV/AIDS di
Indonesia sampai dengan maret 2005 telah ada
di 31 Provinsi, dengan jumlah pegidap HIV
6.790 orang dari jumlah tersebut 3.121 orang
telah menjadi pnderita AIDS. Diantara
penderita itu, 776 orang telah meninggal
(proporsi 24,86%) sedangkan estimasi orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia tahun
2004 berkisar antara 90.000 sampai 130.000
orang, demikian juga angka penderita Sifilis
pada Pekerja Sex Komersial
di Indonesia
telah meningkat sampai 10%, waria sebesar
35%, dan kelompok ibu hamil sebesar 2%⁷.
Angka prevalensi IMS tahun 2001 di
lndonesia diperkirakan mencapai lebih dari 100
ribu orang. Potensi tahun 2010 IMS mendekati
I juta orang dan rentan terkena HIV serta yang
akan meninggal karena AIDS sebanyak 100
ribu orang. Pada tahun 1991 kasus AIDS di
lndonesia 12 orang, tetapi pada tahun 2001
menjadi 219 orang. Ini berarti terjadi kenaikan
20 kali dalam 10 tahun atau 2 kali setiap tahun
Pedoman Hidup Sehat.
Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, dari
tahun ke tahun data remaja yang melakukan
hubungan seks bebas tanpa menggunakan
pengaman/ kondom semakin meningkat. Dari
sekitar 5% pada tahun 1980-an, menjadi 20%
pada tahun 2000. Kisaran angka tersebut,
dikumpulkan dari berbagai hasil penelitian di
beberapa kota besar di Indonesia, seperti
Jakarta, Surabaya, Palu, Banjarmasin bahkan
Sulawesi Tenggara,
pada tahun 2000 lalu
tercatat remaja yang pernah melakukan
hubungan seks pranikah mencapai 29,9%⁹.
Subdin Pencegahan Penyakit (P2)
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara
diperoleh informasi bahwa secara kumulatif
346 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350
dari tahun 2004 hingga bulan oktober tahun
2012 di Sulawesi Tenggara telah ditemukan
penderita HIV pada tahun 2009 HIV 10 orang
dan AIDS 14 orang, tahun 2010 HIV 4 orang
dan AIDS 10 orang, tahun 2011 HIV 17 orang
dan AIDS 36 orang, sedangkan tahun 2012 HIV
38 orang dan AIDS 51 orang. Sedangkan
distribusi menurut pekerjaan : wiraswasta
(39%), ibu rumah tangga (30%), karyawan
(11%), lain-lain (8%), PNS (6%), TNI/Polri
(5%) dan pelajar (1%).
Prevalensi kasus AIDS berdasarkan
renking dari 12 (dua belas) kabupaten/kota
sampai bulan oktober 2012, Kab. Muna
termasuk urutan pertama 51 (26,6%), Kota
Kendari 39 (20,3%) dan Kota Bau-Bau 27
(14,06%), selebihnya tersebar pada 9 (sebilan)
kabupaten di Sulawesi Tenggara.
Untuk dapat memahami masalah
perilaku seks pada Wanita Pejaja Seks (WPS),
dan faktor-faktor yang ada hubungannya, serta
mencarikan
upaya
pemecahannya
atau
pencegahannya, maka perlu dilakukan suatu
penelitian tentang faktor Determinan kejadian
Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
Wanita Penjaja Seksual (WPS) di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna
Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
Tujuan umum menganalisis faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian IMS
pada WPS di Wilayah Kota Kendari, Kota BauBau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara. Tujuan khusus menganalisis
hubungan kejadian penyakit IMS pada WPS di
Wilayah Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab.
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012
di tinjau dari faktor (penggunaan kondom,
pengetahuan, cara hubungan seksual dengan
pasangannya/Pria penjaja seksusal, frekuensi
hubungan seks, lama bekerja sebagai WPS,
umur mulai WPS berprofesi).
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna
Provinsi Sulawesi Tenggara. Jenis penelitian
adalah observasional dengan pendekatan
Cross Sectional Study.
Populasi
dalam
penelitian
ini
berjumlah 550 orang Wanita Penjaja Seksual
(WPS) yang berada di Kota Kendari, Kota
Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2012. Pengambilan sampel
dilakukan pada tanggal 15 November 2012
sampai 15 Desember 2012, terbagi ata3 3
lokalisasi yaitu : Kota Kendari, Kota Bau-Bau
dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara
tahun 2012 dengan cara proportional simple
random sampling yakni mengambil secara acak
jumlah sampel penelitian sampai kurun waktu
tertentu sehingga jumlah sampel.
Pengumpulan data dilakukan dengan
langkah
langkah
berikut:
melakukan
kunjungan ke lokalisasi untuk melihat
keadaan dan memperoleh data yang
sebenarnya, karena pada umumnya sering
terjadi perpindahan WPS dari satu
lokalisasi ke lokalisasi yang lain, identifikasi
yang berhubungan dengan kriteria sampel
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Analisis data, analisis univariat
menyajikan
distribusi
dan
frekuensi
karakteristik subyek penelitian, analisis
bivariat dilakukan untuk seleksi kandidat
variabel yang akan ikut dalam analisis
multivariat. Metode yang digunakan uji chi
square, dan analisis multivariat untuk
memperoleh hubungan antara pemakaian
kondom dengan kejadian Infeksi Menular
Seksual (IMS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Analilis Univariat
1. Gambatan Karateristik Kasus
Berdasarkan tingkat pendidikan
f rekuensi r esponden berpendidikan SD
(48,2%), berpendidikan SLTP (42,3%),
berpendidikan SMU (9,5%).
Responden yang tidak pakai
kondom sebanyak (33,3%), dan yang pakai
kondom sebanyak (66,7%). Berdasarkan
pengetahuan responden umumnya responden
sudah tahu tentang IMS dan AIDS sebesar
(65,8%), sedangkan yang tidak tahu
sebanyak (34,2%).
Cara hubungan seks WPS menunj uk kan bah wa car a hubu ngan se ks ant ar a
responden dengan Pria Penjaja Seks (PPS),
secara normal (antara alat kelamin laki-laki
dengan alat kelamin wanita/Hetero seks, adalah
(77,5%), sedangkan yang secara tidak
normal yaitu antara alat kelamin dengan
Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 347
mulut (oral seks), dan atau antara alat kelamin
dengan anus/anal seks sebanyak (22,5%).
Berdasarkan frekwensi hubungan seks
dengan WPS menunjukkan frekuensi/jumlah
pelanggan yang dilayani responden 1 s/d. 2 kali
setiap minggu, sebanyak (61,3%), sedangkan
tamu I pelanggan yang dilayani ≥ 3 orang
setiap minggunya sebanyak (38,7%).
Lama berprofesi sebagai WPS
menunjukkan bahwa pada umumnya responden
yang ada sudah < 3 bulan berprofesi
sebagai WPS baik selama di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna,
yaitu sebanyak (42,8%), sedangkan ≥ 3 bulan
sebanyak (57,2%).
Umur mulai berprofesi sebagai WPS
menunjukkan bahwa responden yang berumur
< 29 tahun sebanyak (43,2%), sedangkan yang
berumur ≥ 29 tahun sebesar (56,8%).
2. Distribusi Kasus Menurut Variabel
Utama
Cara hubungan seks WPS menunj uk kan bah wa car a hubu ngan se ks ant ar a
responden dengan Pria Penjaja Seks (PPS),
secara normal (antara alat kelamin laki-laki
dengan alat kelamin wanita/Hetero seks, adalah
tertinggi (77,5%), sedangkan yang secara
tidak normal yaitu antara alat kelamin
dengan mulut (oral seks), dan atau antara alat
kelamin dengan anus/anal seks terendah
sebanyak
(22,5%).
Sejalan
dengan
responden yang menggunakan kondom
sebanyak (66,7%), sedangkan berdasarkan
tingkat pendidikan frekuensi r esponden
SMU (9,5%).
Analisis Bivariat
Hubungan penggunaan Kondom
dengan kejadian Penyakit infeksi menular
seksual/IMS di Kota Kendari, Kota Bau-Bau
dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2012. Berdasarkan hasil Uji Chi
Square pada df = 1 didapat 6,077 dan
pValue 0,014, atau x 2 hitung lebih besar
dan x 2 tabel (6,077>3.842), maka Ha diterima,
artinya ada hubungan antara pemakaian
kondom dengan kejadian Infeksi Menular
Seksual (IMS).
Berdasarkan hasil Uji Chi Square
pada df = 1 didapat 32,992 dan pvalue =
0,000, berarti x 2 hitung lebih besar dari
pada x2 tabel (32,992>3,842). Hipotesis
diterima j ika x2 hitung >x 2 tabel. Hasil
uj i ini menunjukan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan dengan kejadian IMS.
Hasil Uji Chi Square pada df = 1 didapat
25,412 dan p-value = 0,000. Apabila
dilihat
dari
hasil
uji
tersebut,
menunjukkan bahwa x2hitung lebih besar
dari x2tabel (25,412 > 3,842). Hasil ini
menunjukan ada hubungan antara cara
hubungan seks yang dilakukan oleh
responden baik secara normal maupun tidak
normal (Hetero seks/oral seks/anal seks)
dengan kejadian Infeksi Menular Seksual
(IMS).
Hasil uji Chi Square pada df = 1
didapat 17,489 dan p-value = 0,000. Apabila
dilihat pada tabel t e r s e b u t , t e r n y a t a
x2hitung
lebih
besar
daripada
x 2 t a b e l ( 1 7 , 4 8 9 > 3,842). Hal ini berarti
ada hubungan frekuensi hubungan seks
dengan kejadian Infeksi Menular Seksual
(IMS).
Berdasarkan hasil uji Chi Square
pada df = 1 didapat 10,782 dan p-value =
0,001 yang berarti x 2 hitung lebih besar
daripada x 2 tabel (10,782>3,842). Hasil
uji menunjukan bahwa ada hubungan
antara l a ma r e s p o nde n
b e r pr o f e s i
s e b a ga i W P S d e n ga n ke j a di a n IM S .
Berdasarkan hasil uji Chi Square
pada df = 1 didapat 10,782 dan p-value =
0,001 yang berarti x 2 hitung lebih besar
daripada x 2 tabel (10,782>3,842). Hasil
uji menunjukan ada hubungan antara
l a ma r e s p o n de n
b e r p r of e si s e ba ga i
W P S . H asil Uji Chi Square pada df = 1
didapat 27,903 dan p-value = 0,000.
Apabila dibanding
dengan
x 2 tabel
2
(3,842), maka x hitung lebih besar
(27,903>3,842). Hasil ini menunjukan bahwa
ada hubungan antara umur dari WPS dengan
kejadian IMS dengan kejadian IMS.
Analisis Multivariat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan serta kontribusi masing-masing
variabel
dependen
terhadap
variabel
independent
apabila
dimasukan
secara
bersamaan. Pada tabel 21 memperlihatkan hasil
uji logistik regresi, dimana variabel independen
dengan nilai p-value < 0,05 saja yang
dimasukkan kedalam model. Variabel umur dan
348 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350
pengetahuan responden merupakan variabel
yang paling besar kontribusinya terhadap
kejadian IMS, sedangkan variabel cara
hubungan seks dengan p = 0,002 dan frekuensi
tamu dengan p = 0,016, tetap berhubungan
secara bermakna terhadap kejadian IMS,
walalupun kontribusinya lebih kecil dibanding
dengan variabel umur dan pengetahuan.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukan dari 222
orang Wanita Penjaja Seksual (WPS) terdapat
52 orang (23,42%) WPS yang menderita
Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna tahun
2012, prevalensi IMS hampir sama dengan
prevalensi di Indonesia antara (10-35%),
(Dep.Kes.Rl, 1997). Namun lebih rendah bila
dibanding dengan angka IMS yang ada,
sebesar 47,5%. (Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2010), termasuk
data dari RS Umum Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2009, sebesar 52,87% dari seluruh
penderita yang dirawat di Rumah Sakit.
Hasil penelitian menunj ukkan mes kipun lebih banyak pelanggan yang sering
menggunakan kondom (66,7%), ternyata masih
menderita IMS (23,42%). Demikian juga
penelitian di Bali oleh Dewa, Wirawan dari
Yayasan Kerti Praja dan Kathy Fored, et,
al, University of Michigan, USA (2000),
terjadi peningkatan pemakaian kondom
dari 31% jadi 70%, angka prevalensi sifilis
turun dari 14% menjadi 0,7%, dan prevensi
gonore turun dari 63% menjadi 44%.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa angka pemakaian kondom di Kota
Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna
sistem pendistribusian kondom sudah
berjalan baik, dan relatif lebih tinggi bila
dibanding dengan penelitian di Denpasar
yang
hanya
32%
saja
pelanggan
menggunakan kondom serta hasil penelitian
yang dilakukan di Kabupaten Merauke,
Papua, hanya 10% saj a kontak sek s
yang menggunakan kondom.
Hasil penelitian ini melalui analisis
bivariat dengan nilai p-value 0,000 dan
membuktikan bahwa pengetahuan tentang IMS
dan AIDS, ternyata mempunyai hubungan
bermakna terhadap kejadian IMS. Hasil ini
didukung dengan analisis multivariat
dengan nilai p-value = 0,001 (lebih kecil
dari 0,05), yang berarti pengetahuan
mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian IMS.
Hal ini dapat dipahami karena
responden yang dapat memahami tentang
IMS dan AIDS, tentu mereka tidak akan
melakukan hubungan seks secara tidak
normal, menjaga penularan penyakit
dengan berupaya membujuk pelanggannya
untuk menggunakan kondom, dan segera pergi
beobat di fasilitas kesehatan atau ke dokter
praktek jika ditemukan gejala IMS dan AIDS.
Hal ini sesuai dengan penelitian di Denpasar,
Bali,
bahwa
dengan
intervensi
pengetahuan yang intensif akan menurunkan
secara signifikan angka IMS dan HIV/AIDS
yaitu untuk prevalensi sifilis turun dari 14%
menjadi 0,7%, dan prevalensi gonore turun
dari 63% menjadi 44%. Bila peningkatan
pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS
diberikan secara intensif kepada WPS tentu
akan medapatkan hasil yang positif yakni
penurunan angka IMS.
Hasil penelitian melalui analisis
bivariat menunjukkan nilai p-value = 0,000,
dan analisis muftivariat dengan nilai p-value =
0,002, yang berarti bahwa cara hubungan seks
yang tidak normal atau secara anal/oral seks,
hubungan secara heteroseks, ternyata
mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian IMS. Hasil penelitian ini
juga mengungkapkan bahwa dari 222 sampel
tersebut, hubungan seks secara tidak normal
adalah dengan melalui anal seks sebanyak 4
orang (1,80%), dan oral seks sebanyak 48
orang (20,72%). Hal ini disebabkan karena
mukosa pada kulit alat kelamin wanita baik
pada mulut (oral), atau anal (dubur), sangat
tipis s e ka l i , s e hi n gga mu d a h t ej a d i
p e r l u ka a n
( D i t .J e nd. P P M
&
PL
Dep.Kes.R.1, dalam AIDS untuk Petugas
Kesehatan, 1998).
Tingkat risikonya
tergantung
pada jumlah virus yang masuk kedalam
tubuh seseorang seperti luka, perdarahan
gusi atau penyakit gigi mulut atau pada alat
genital (DepKes, 2001).
Hasil penelitian melalui analisis
bivariat dengan p-value = 0,000 dan pada
multivariat, nilai p-value = 0,016 yang
menunjukkan bahwa frekuensi hubungan seks
mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap kejadian IMS di Kota Kendari, Kota
Bau-Bau dan Kab. Muna. Menurut pengakuan
Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 349
responden
bahwa
berapapun
jumlah
tamu/pelanggan dan kapanpun tamu atau
pelanggan tersebut mau berkencan padanya,
tetap akan dilayani. Hasil penelitian ini
menunj ukkan bahwa rata -rata setiap
hari responden menerima pelanggan
hanya 1 (satu) orang. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa responden
yang menerima pelanggan > 3 orang
sebanyak 86 orang (38,7%), sedangkan
yang tidak tentu menerima pelanggan I
s/d. 2 orang setiap minggu) sebanyak 136
orang (61,3%). Bila frekuensi hubungan
seksual dengan responden kurang, maka tentu
IMS dapat berkurang. Dengan demikian wajar
saja bila dikatakan bahwa semakin banyak
frekuensi hubungan seks yang dilakukan oleh
responden, semakin tingginya kejadian IMS.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa dalam analisis bivariat nilai p = 0,001,
berarti lama berprofesinya responden
mempunyai hubungan dengan kejadian IMS.
Namun setelah diuji bersama dalam analisis
multivariat, nilai p-value menjadi 0,062,
yang berarti tidak ada hubungan yang
bermakna. Hal ini berarti masih ada faktor
lain yang lebih dominan terhadap lama profesi
responden tersebut, terutama faktor usia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bila responden yang sudah lama berprofesi
(≥ 3 bulan), akan mengalami risiko sakit
IMS sebesar 57,2%, sedangkan responden
yang berprofesi kurang 3 bulan, akan
menderita IMS sebesar 42,8%. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Bing
Wibisono,(1998), bahwa WPS yang lebih dari 3
bulan akan lebih banyak menderita IMS.
Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa baik dalam analisis bivariat nilai pvalue 0,000, dan pada multivariat
nilainya 0,001 atau ada hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian
IMS. Artinya bahwa responden yang usianya
< 29 tahun, akan lebih banyak menderita IMS
dibanding dengan responden yang berusia > 29
tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kelompok Studi
Penyakit
Menular
Seksual
Indonesia
(KSPMSI),1998, bahwa kasus IMS umumnya
pada wanita muda dan data dari
Dit.Jend.PPM & PL Dep.Kes. (2003)
menunjukkan bahwa 65% pengidap HIV di
Indonesia adalah berusia 15-30 tahun.
Demikian juga penelitian lain), membuktikan
bahwa terdapat hubungan yang sangat
bermakna antara usia muda WPS dengan
kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS).
SIMPULAN
Simpulan dari penelitian ini:
1. Penggunaan
Kondom
bukan
merupakan faktor yang berhubungan
dengan kej adi an IMS pada WPS di
Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna, (nilai bivariat = 0,014,
sedangkan pada multivariat = 0,124).
2. P en get a hua n t ent a ng IM S dan
A ID S , me r upa kan f a kt or ya n g
berhubungan dengan kejadian IMS pada
WPS di Kota Kendari, Kota Bau -Bau
dan Kab. Muna, (nilai pada bivariat =
0,000, sedangkan pada multivariat = 0,001).
3. Cara berhubungan seksual meru pakan faktor yang berhubungan
dengan kej adi an IMS pada WPS di
Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna, ( nil ai bivar iat = 0,000,
sedangkan multivariat = 0,002).
4. Frekuensi hubungan seksual merupakan
faktor
yang
berhubungan
d en gan kej adi an IM S pa da WPS di
Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab.
Muna, (nilai pada bivariat = 0,000,
sedangkan pada multivariat = 0,016).
5. Lama berprofesi bukan merupakan
faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada Wanita Penjaja Seksual
(WPS) di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan
Kab. Muna .(nilai bivariat = 0,001,
sedangkan pada multivariat = 0,062).
6. Umur responden merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejadian IMS pada
WPS di Kota Kendari, Bau-Bau dan Kab.
Muna (nilai bivariat = 0,000, sedangkan
multivariat = 0,001).
7. Faktor hubungan determinan terhadap
kejadian IMS pada WPS dari urut
terbesar ke urut terendah adalah : Umur
responden, pengetahuan tentang IMS dan
HIV/AIDS, cara hubungan seks, dan
frekuensi hubungan seks.
350 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350
DAFTAR RUJUKAN
Dit.Jend.
Dep.Kes.R.I.
1998,
Petunjuk
Pelaksanaan Konseling HIV/ AIDS, Jakarta.
Dit.Jend. Dep.Kes.R.I. 2003, Estimasi
Nasional Infeksi HIV pada Orang Dewasa
Indonesia, Dep. Kes,. Jakarta.
Dep.Kes. dan Kes.Sos R.I, 2001. Pedoman
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV di Sarana
Pelayanan Kesehatan, Dep.Kes.Jakarta.
Download