ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Mist Blower
Mist blower adalah mesin yang menghembuskan cairan obat atau pupuk cair seperti
mesin semprot menjadi butir-butir kecil oleh tenaga angin dari blower, maka dapat dikatakan
bahwa mesin tersebut adalah mesin penyemprot dengan sistem tekanan angin. Bagian-bagian
utama pada mist blower dapat dilihat pada Gambar 1. (Anwar 2011)
Gambar 1. Bagian-bagian Mist Blower
(Sumber: http://www.scribd.com/doc/56875504/LAPORAN-AKHIR-MP)
Mist blower dapat digunakan untuk pemupukan (pupuk cair) atau penyemprotan
pestisida untuk menanggulangi hama pada tanaman. Pemupukan merupakan usaha memasukkan
usaha zat hara kedalam tanah dengan maksud memberikan/menambahkan zat tersebut untuk
pertumbuhan tanaman agar didapatkan hasil (produksi) yang diharapkan. Hara dalam tanah
secara berangsur-angsur akan berkurang karena terangkut bersama hasil panen, air limpasan
permukaan, erosi atau penguapan. Pengelolaan hara terpadu antara pemberian pupuk dan
pembenah akan meningkatkan efektivitas penyediaan hara, serta menjaga mutu tanah agar tetap
berfungsi secara lestari. Untuk memudahkan unsur hara dapat diserap tanah dan tanaman bahan
organik dapat dibuat menjadi pupuk cair terlebih dahulu. Pupuk cair menyediakan nitrogen dan
unsur mineral lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, seperti halnya pupuk
nitrogen kimia (Nasih 2010).
Selain itu, mist blower juga dapat digunakan dalam penyebaran pestisida. Tujuan dari
penggunaan pestisida ialah menekan atau mengurangi populasi jasad pengganggu sasaran (hama,
penyakit, dan gulma) hingga di bawah batas nilai ambang ekonomi, tanpa menimbulkan dampak
yang merugikan seperti antara lain : terjadi resistensi, resurgensi, keracunan tanaman pokok, dan
pencemaran lingkungan. Keberhasilan penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh teknik
aplikasi yang tepat. Selain itu, keberhasilan juga dipengaruhi oleh faktor jenis, dosis dan saat
aplikasi yang tepat.
3
Ada beberapa keuntungan penggunaan mist blower pada aplikasinya di lahan.
Pertama, mempermudah pekerjaan manusia dalam menyebarkan pestisida/larutan pupuk cair.
Kedua, waktu yang terbuang berkurang sehingga kapasitas kerja dapat meningkat. Ketiga,
umumnya butiran cairan pestisida atau pupuk cair yang dihasilkan mist blower lebih halus
sehingga penggunaannya lebih efektif. Keempat, jumlah penggunaan jam kerja peralatan dan
manusia dapat dikurangi. Kerugian penggunaan mist blower yaitu biaya investasi tinggi,
sehingga kurang ekonomis bila hanya digunakan untuk ukuran kebun kecil. Selain itu,
pengenaan secara menyeluruh dari bagian-bagian mahkota daun oleh butiran pestisida atau
larutan pupuk cair sangat sulit untuk tanaman yang rapat daunnya (Anwar 2001).
Petunjuk penggunaan mist blower antara lain (Anwar 2001) :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Udara pada waktu penyemprotan harus memungkinkan antara lain keadaan tanah (tidak
berangin) dan udara masih dingin misalnya pada waktu pagi hari atau sore hari.
Penggunaan pestisida atau pupuk cair dan cara mencampurnya harus sesuai dengan
petunjuk yang telah ditentukan.
Menghindari kontak langsung dengan larutan agar tidak terjadi keracunan.
Melakukan penyemprotan tidak pada waktu banyak embun serta sebelum dan selama hujan
agar jangan sampai terjadi pencucian/pengeceran.
Mengamati ukuran butiran cairan yang keluar, pola sebaran butiran cairan waktu mengenai
bagian-bagian tanaman selama penyemprotan berlangsung.
Dalam keadaan udara berangin, sebaiknya berjalan mengikuti arah angin dan menghindari
pengenaan pestisida atau pupuk cair secara langsung pada bunganya.
Cara merawat mist blower yaitu dengan mencuci semua bagian terutama bagianbagian yang berhubungan dengan pestisida atau pupuk cair. Kemudian, mengeringkan sampai
semua bagiannya kering. Setelah itu, alat tersebut disimpan dalam ruangan yang kering terpisah
dengan barang-barang lain dan jauh dari jangkauan manusia (Anwar 2001).
B. Ergonomika
Istilah “ergonomi” berasal dari Bahasa Yunani, yaitu: “ergos” yang berarti kerja dan
“nomos” yang berarti ilmu, hukum atau aturan. Jadi, secara harfiah ergonomi dapat diartikan
sebagai suatu ilmu atau aturan tentang bagaimana seharusnya melakukan kerja. Seiring dengan
perkembangan sistem dan teknologi kerja itu sendiri, maka berbagai hal yang mengkaji dan
mengatur interaksi antara manusia sebagai pelaku atau tenaga kerja dengan peralatan, mesin
ataupun lingkungan kerja berkembang menjadi suatu cabang ilmu tersendiri, yaitu Ergonomi.
Walaupun sebagian besar negara di dunia menggunakan istilah yang berasal dari
padanan kata “ergonomi” (Ergonomics dalam Bahasa Inggris, ergonomi atau ergonomika dalam
Bahasa Indonesia) untuk disiplin ilmu ini, ada beberapa negara menggunakan istilah lain. Seperti
misalnya: Human Engineering atau Human Factors Engineering lazim digunakan di Amerika
Utara atau Labour Science (Roudou Kagaku) digunakan di Jepang. Meskipun ada perbedaan
istilah yang digunakan di beberapa negara tersebut, namun secara umum semuanya itu
mempunyai definisi, misi dan tujuan yang sama (Herodian dkk 1999).
Ergonomika merupakan multi disiplin ilmu yaitu perpaduan dari berbagai disiplin ilmu,
antara lain antropologi, fisiologi, kesehatan, teknik, teknologi dan perencanaan kerja (Soeripto
1988 dalam Fitriani 2003). Secara umum ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu aplikasi
sistematik dari berbagai informasi dan kajian yang relevan tentang karakteristik, kemampuan dan
keterbatasan manusia serta interaksinya terhadap alat, mesin, prosedur dan lingkungan dimana
4
manusia melakukan kerja/aktivitas dengan tujuan agar tercapai kondisi keselamatan, kesehatan
dan kenyamanan serta produktivitas kerja yang optimal.
Dari definisi di atas terlihat bahwa pada dasarnya pendekatan ergonomi terdiri atas dua
sub-sistem, yaitu sub-sistem perlengkapan dan lingkungan kerja serta sub-sistem manusia. Subsistem perlengkapan dan lingkungan kerja meliputi aspek-aspek yang terkait dengan desain
alat/mesin, desain operasi/proses serta desain lingkungan kerja. Sedangkan sub-sistem manusia
meliputi aspek-aspek yang terkait dengan kemampuan dan keterbatasan manusia, baik dari segi
fisik, fisiologis, psikologis, latar belakang sosial, dan sebagainya. Ergonomi akan mengarahkan
proses perancangan agar menghasilkan produk yang tidak saja memiliki kemampuan teknis yang
lebih baik, tetapi juga produk yang sesuai dan serasi dengan kemampuan dan keterbatasan
manusia sebagai pengguna ataupun operatornya.
Menurut Internasional Ergonomics Association (IEA), ergonomika dapat diartikan
sebagai disiplin ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dan elemen lainnya
dalam sistem yang berhubungan dengan perancangan, pekerjaan, produk, dan lingkungannya
untuk mendapatkan kesesuaian antara kebutuhan, kemampuan, dan keterbatasan manusia
(Syuaib 2003 dalam Nuryadi 2011).
Aplikasi ergonomi berupaya untuk menciptakan suatu kombinasi yang paling sesuai dan
serasi (match/compatible) antara sub-sistem peralatan dan lingkungan kerja dengan sub-sistem
manusia sebagai user ataupun operatornya. Dengan terciptanya keserasian antara kedua subsistem kerja tersebut, maka keselamatan dan kenyamanan kerja dapat ditingkatkan serta
kesalahan dan kecelakaan kerja dapat direduksi sehingga efektivitas dan efisiensi kerja (kinerja)
dapat ditingkatkan dan pada akhirnya akan menghasilkan sistem kerja yang lebih produktif.
Salah satu aspek penting dari ergonomika adalah getaran dan tingkat kebisingan yang akan
menjadi pembahasan utama penelitian ini.
C. Getaran
Getaran adalah suatu gerak zarah atau benda yang secara teratur (periodik) melalui titik
tertentu (Martono 1980 dalam Fitriani 2003), sedangkan menurut Kromer et al. (1994) dalam
Fitriani (2003), getaran diartikan sebagai suatu gerak yang berulang-ulang terhadap suatu titik
yang tetap atau gerak isolasi yang bergerak bolak-balik melalui lintasan yang sama, dimana
terjadi suatu gerakan cycle selama selang waktu satu detik (satu putaran perdetik/Hertz).
Terdapat dua jenis getaran pada tubuh manusia yaitu Whole Body Vibration dan Handarm Vibration. Whole Body Vibration yaitu getaran pada seluruh tubuh secara signifikan dapat
terjadi pada pengemudi traktor, alat berat, kendaraan off-road, truk dan bus. Jenis getaran ini
ditimbulkan oleh permukaan lahan tempat kendaraan beroperasi dan kurangnya absoprsi shock
pada sistem suspensi. Getaran dan shock pada kendaraan tersebut bertransmisi pada
pengemudinya melalui tempat duduk. Hal ini sangat berbahaya bagi sistem rangka (punggung),
sistem pencernaan, dan organ reproduksi wanita. Getaran dengan frekuensi 1-80 Hz memiliki
efek yang kuat pada keseluruhan tubuh manusia. Sedangkan Hand-arm Vibration yaitu getaran
pada tangan dan lengan mungkin terjadi pada penggunaan perkakas listrik (hand-held power
tool), bor pneumatik, chain saw, chipping hammer, riveter, gerinda dan vibrator beton.
Frekuensi antara 5-1500 Hz sangat berpengaruh pada getaran jenis ini (Herodian dkk 1999).
Pada dasarnya, getaran dibedakan menjadi dua tipe yaitu getaran sinusoidal dan getaran
random (acak). Getaran sinusoidal digambarkan sebagai gerak partikel pada satu sumbu dengan
frekuensi dan amplitudo tertentu, tipe ini biasanya dijadikan patokan dalam percobaan di
5
laboratorium. Getaran random (acak) adalah getaran yang tidak beraturan dan tidak dapat
diprediksi, jenis ini biasanya terjadi di alam (Sanders dan Cormick 1987 dalam Nugroho 2005).
Getaran pada umumnya terjadi akibat efek-efek dinamis dan toleransi-toleransi pembuatan,
keregangan, kontak-kontak berputar dan bergesek antara elemen-elemen mesin serta gaya-gaya
yang menimbulkan suatu momen yang tidak seimbang pada bagian-bagian yang berputar. Osilasi
kecil dapat memicu frekuensi resonansi dari beberapa bagian struktur dan diperkuat menjadi
sumber-sumber kebisingan dan getaran yang utama. Getaran sinusoidal dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Getaran Sinusoidal (Wilson 1989 dalam Nugroho 2005)
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa titik proyeksi tersebut berupa satu garis lurus yang
panjangnya menunjukkan amplitudo getaran. Ketika terjadi perubahan beban, maka akan terjadi
kecepatan sudut dan terjadi percepatan sehingga menimbulkan getaran. Persamaan gerak dari
titik hasil proyeksi tersebut adalah :
x = A X sin (
+ ) ......................................................................................................(1)
dimana :
x = jarak perpindahan titik (m)
A = amplitudo (m)
ω = kecepatan sudut (radian/detik)
t = waktu (detik)
= sudut awal (radian)
= percepatan (m/
)
Persamaan kecepatan getaran adalah turunan pertama dari persamaan gerak :
v=A
cos (
+ ) .....................................................................................................(2)
Persamaan percepatan getaran adalah turunan kedua dari persamaan gerak :
=A
sin (
+ ) ....................................................................................................(3)
Pengaruh getaran dalam waktu singkat hanya memberikan sedikit efek psikologis dan
tidak terjadi perubahan nyata secara kimiawi dalam darah dan kelenjar endokrin tubuh. Akan
tetapi dalam jangka panjang, efek getaran menimbulkan masalah dalam spinal disorders,
6
hermotroids, hernias, dan kesulitan pembuangan air kemih (Waterman 1975 dalam Adinata
2003). Pengetahuan tentang hubungan getaran dan kesehatan belum nyata, tetapi terlihat bahwa
getaran meningkatkan tensi otot. Salah satu fenomena yang tampak akibat getaran mekanis
adalah yang disebut vibration induced finger atau pemucatan telapak tangan oleh pengecilan
pembuluh darah.
Menurut Wilson (1989) getaran dengan tingkat tinggi dapat menyebabkan kerusakan
tulang-tulang sendi, sistem peredaran darah dan organ-organ lain. Masa getaran yang lama pada
semua bagian tubuh atau getaran pada lengan tangan dapat menyebabkan kelumpuhan atau cacat,
masa getaran yang pendek dapat meyebabkan kehilangan rasa, ketajaman penglihatan dan lainlain yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Getaran pada seluruh tubuh memberikan efek
yang lebih kompleks mulai dari jantung, peredaran darah hingga penurunan daya lihat dan
konsentrasi seseorang.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 16-7063-2004), nilai ambang batas
getaran yaitu sebesar 4 m/s2. Sedangkan untuk mengetahui waktu terpapar (exposure limit)
operator pada tempat kerjanya dengan memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan dapat
dilihat dari grafik di Gambar 3. Dengan menghubungkan percepatan dan frekuensi yang
dihasilkan (Herodian dkk 1999).
Gambar 3. Grafik Hubungan Percepatan dan Frekuensi Sumbu-Z Untuk Perfomance Exposure
Limits.
D. Kebisingan
Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkan, termasuk diantaranya
bunyi tak beraturan dan bunyi yang ditimbulkan sebagai hasil sampingan suatu kegiatan industri
atau transportasi. Bunyi dalam bentuk percakapan atau musik yang mengganggu juga dianggap
sebagai kebisingan. Secara umum, kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang merugikan
terhadap manusia dan lingkungannya, termasuk pada ternak, satwa liar dan sistem di alam
(Suratmo 1998 dalam Fitriani 2003).
7
Kebisingan mempengaruhi konsentrasi dan dapat menjadi penyebab terjadinya
kecelakaan. Tingkat kebisingan ekstrim di atas 90 dB(A) dan puncak kebisingan di atas 100
dB(A) dapat menyebabkan sakit kepala dan meningkatnya tekanan darah, tegangan otot, dan
kelelahan. Kebisingan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan ketulian dan penyakit lain
yang berhubungan dengan pendengaran. Kebisingan dalam waktu yang relatif singkat dapat
menimbulkan iritasi dan mengganggu kenyamanan.
Menurut Suma’mur (1988) dalam Nuryadi (2011), kebisingan yang sering ditemukan di
lingkungan kerja adalah :
1. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise)
misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar, dll.
2. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise)
misalnya gergaji siruler, katup gas, dll.
3. Kebisingan terputus-putus (intermitten) misalnya lalu lintas, pesawat terbang di lapangan
udara, dll.
4. Kebisingan impulsif (impact or impulsif noise) misalnya pukulan, tembakan bedil atau
meriam, ledakan, dll.
5. Kebisingan impulsif berulang misalnya mesin tempa di perusahaan.
Menurut Buchari (2007) dalam Nuryadi (2011), berdasarkan pengaruhnya terhadap
manusia bising dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Bising yang mengganggu (Irritating Noise). Intensitasnya tidak terlalu keras, misalnya : suara
mendengkur.
2. Bising yang menutupi (Masking Noise). Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang
jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan keselamatan dan kesehatan tenaga
kerja, karena teriakan atau tanda bahaya tenggelam dalam bising sumber bunyi.
3. Bising yang merusak (Damaging/Injurious Noise). Merupakan bunyi yang intensitasnya
melebihi nilai ambang batas kebisingan. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan
fungsi pendengaran.
Pada dasarnya pengaruh kebisingan pada jasmani para pekerja dibagi menjadi dua
golongan (Soemanegara 1975 dalam Nuryadi 2011), yaitu :
1. Tidak mempengaruhi sistem penginderaan tetapi mempengaruhi berupa keluhan samar-samar
dan tidak jelas berwujud penyakit.
2. Pengaruh terhadap indera pendengaran baik bersifat sementara maupun bersifat permanen
(tetap), terdiri dari :
a. Accoustic trauma, yaitu tiap-tiap pelukan insidental yang merusakkan sebagian atau
seluruh alat-alat pendengaran disebabkan oleh letupan senjata api, ledakan-ledakan atau
suara dahsyat.
b. Occutional deafnedet2, yaitu kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran seseorang
yang bersifat permanen pada satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh kebisingan
atau suara gaduh yang terus menerus di lingungan kerja.
Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat per satuan waktu dengan
satuan Hertz. Bunyi yang dapat diterima manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara
20-20000 Hz. Apabila frekuensi kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila frekuensi
lebih dari 20000 Hz maka disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia.
8
Menurut Sears (1962), intensitas gelombang bunyi yang merambat didefinisikan
sebagai jumlah rata-rata energi yang dibawa per satuan waktu oleh gelombang per satuan luas
permukaan yang tegak lurus pada arah rambatannya. Singkatnya, intensitas itu ialah daya ratarata yang dibawa per satuan luas. Lama mendengar ditentukan oleh beban bising yaitu jumlah
perbandingan antara waktu mendengar pada tingkat bising bersangkutan.
Untuk menghitung beban bising digunakan persamaan :
Beban bising = ∑
< 1 ............................................................................................. (4)
dimana:
Cn = Lama mendengar pada tingkat bising tertentu (jam)
Tn = Lama mendengar yang diijinkan pada tingkat bising bersangkutan
Sedangkan untuk perhitungan lama mendengar yang diizinkan dapat dihitung dengan
menggunakan standar Department of Defenses (DOD) dan Occupational Safety and Health
Administration (OSHA). Rumus yang digunakan kedua standar tersebut adalah :
Waktu (jam) =
DOD .......................................................................................(5)
Waktu (jam) =
OSHA .....................................................................................(6)
Ukuran kebisingan dinyatakan dengan istilah sound pressure level (SPL) dengan satuan
dB(A). Alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu sound level meter. Alat ini
mengukur kebisingan diantara 30-130 dB(A) dengan frekuensi 20-20000 Hz. Hasil keluaran
pengukuran dengan alat ini adalah desibel (dB(A)) dengan menggunakan dasar persamaan
(Chanlet 1979 dalan Nuryadi 2011) :
SPL =10 Log (P/Pref)2....................................................................................................(7)
dimana :
SPL
P
Pref
: Tingkat tekanan kebisingan (Sound Pressure Level) (dB)
: Tekanan suara (N/m2)
: Tekanan bunyi reference (2 x 10-5 N/m2)
Menurut Sukarmadijaya (1995), intensitas bising akan semakin berkurang jika jarak
dengan sumber bising semakin jauh. Perambatan atau pengurangan tingkat bising dari
sumbernya dinyatakan dengan persamaan :
Untuk sumber diam :
-
= 20 log ( / ) ..........................................................................................(8)
Untuk sumber bergerak :
-
= 10 log ( / ) ..........................................................................................(9)
9
dimana :
: Intensitas suara sumbu 1 pada jarak
: Intensitas suara sumbu 2 pada jarak
: Jarak pertama ke sumber bising
: Jarak kedua ke sumber bising
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : KEP-51/MEN/1999 tanggal 16
April 1999 ditetapkan ambang batas (NAB), antara lain menyebutkan NAB kebisingan ditempat
kerja adalah 85 dB(A). Sebagai perbandingan dengan peraturan lainnya, berikut beberapa standar
nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja yang diperkenankan pada Tabel 1 :
Tabel 1. Standar Nilai Ambang Batas Kebisingan dan Lama Kerja yang Diperkenankan
Intensitas (dB(A))
ISO
OSHA
Indonesia (Menaker)
Waktu Kerja
(Jam)
85
90
85
8
...
92
87.5
6
88
95
90
4
...
97
92.5
3
91
100
95
2
94
105
100
1
97
110
105
0.5
100
115
110
0.25
Sumber : Sudirman 1992 dalam Wijaya A. 2005
Pada lingkungan kerja, kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi
pekerja maupun bagi masyarakat sekitar. Untuk meminimalkan efek kebisingan yang
ditimbulkan terhadap kesehatan manusia. Menurut Peterson dalam Nuryadi (2011), bahwa upaya
pengendalian kebisingan diantaranya sebagai berikut:
1. Pengendalian keteknikan, yaitu memodifikasi peralatan penyebab kebisingan, modifikasi
proses dan modifikasi lingkungan dimana peralatan dan proses tersebut berjalan dengan
bahan konstruksi yang tepat.
2. Pengendalian sumber kebisingan, yaitu dilakukan dengan substitusi antar mesin, proses dan
material terutama penambahan penggunaan spesifikasi kebisingan pada masing-masing
peralatan dan mesin lama maupun baru.
3. Pengendalian dengan modifikasi lingkungan, bila radiasi kebisingan dari bagian-bagian
peralatan tidak dapat dikurangi maka dapat digunakan peredam getaran, rongga resonansi,
dan peredam suara (isolator).
4. Alat pelindung diri, yaitu menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT), misalnya sumbat
telinga, tutup telinga, dan helmet. Alat-alat tersebut dapat mengurangi intensitas kebisingan
sekitar 25-50 dB.
10
Download