hubungan penggunaan peranti dengar terhadap fungsi

advertisement
HUBUNGAN PENGGUNAAN PERANTI DENGAR
TERHADAP FUNGSI PENDENGARAN PADA SISWA
SMA X DI TANGERANG SELATAN
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
Febianza Mawaddah Putri
NIM: 1113103000064
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Oktober 2016
Materai
6000
Febianza Mawaddah Putri
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
HUBUNGAN PENGGUNAAN PERANTI DENGAR TERHADAP FUNGSI
PENDENGARAN PADA SISWA SMA X DI TANGERANG SELATAN
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Febianza Mawaddah Putri
NIM: 1113103000064
Pembimbing I
Pembimbing II
dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL
NIP. -
dr. Marita Fadhilah, PhD
NIP. 19770727 200604 2 001
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian berjudul
HUBUNGAN PENGGUNAAN PERANTI
DENGAR TERHADAP FUNGSI PENDENGARAN PADA SISWA SMA X
DI TANGERANG SELATAN ini yang diajukan oleh Febianza Mawaddah Putri
(NIM: 1113103000064), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
Oktober 2016. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan
Dokter
Ciputat, Oktober 2016
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
Pembimbing I
Pembimbing II
dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL
dr. Marita Fadhilah, Ph.D
NIP. -
NIP. 19780314 200604 2 001
Penguji I
Penguji II
dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL
dr. Zulhafdy, Sp.M
NIP. -
NIP. 19570808 198612 1 001
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK UIN
Kaprodi PSPD
Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes
dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT
NIP. 19650808 198803 1 002
NIP. 19780507 200501 1 005
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulilahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya serta para
pengikutnya sampai akhir zaman.
Penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan,
bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. DR. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT selaku Ketua
Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter yang selalu
membimbing serta memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa
pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL dan dr. Marita Fadhilah, Ph.D selaku
dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu membimbing dan
mengarahkan saya dalam menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
3. dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL dan dr. Zulhafdy, Sp.M yang telah
menyediakan waktunya untuk menjadi dewan penguji skripsi saya.
4. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku dosen penangung jawab modul riset
mahasiswa
PSKPD
2013
yang
menyelesaikan riset tepat waktu.
v
telah
memotivasi
kami
untuk
5. Kedua orang tua saya yang tercinta, Ir. Syamsudin Hadi Sutarto dan Dewi
Kartika, SE, yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, motivasi dan
do'a kepada saya.
6. Untuk teman seperjuangan penelitian saya Isna Akmalia, Zaima Dzatul
Ilma dan M. Iqbal Khusni yang saling bahu-membahu dan memotivasi
dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini.
7. Seluruh mahasiswa PSKPD 2013 serta teman-teman dan sahabat saya
yang selalu memberi dukungan.
8. Mbak Maria dan tim dari Perusahaan Hearing Vision yang telah
membantu dalam pengambilan data pemeriksaan audiometri.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran, agar penelitian ini dapat terus dilanjutkan dan
bermanfaat untuk berbagai pihak. Demikian laporan penelitian ini saya tulis,
semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
Ciputat, September 2016
Penulis
vi
ABSTRAK
Febianza Mawaddah Putri. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter.
Hubungan Penggunaan Peranti Dengar terhadap Fungsi Pendengaran Pada
Siswa Sma X Di Tangerang Selatan. 2016.
Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) adalah tuli yang terjadi setelah
beberapa waktu terpapar bising dengan frekuensi tertentu. Penggunaan peranti
dengar (PD) memiliki hubungan dengan kejadian GPAB pada remaja. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan PD dengan fungsi
pendengaran yang dilihat dari kejadian takik melalui pengisian kuesioner dan
pemeriksaan audiometri nada murni pada 47 siswa/i SMA X di Tangerang
Selatan. Hasil penelitian ini menunjukan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara penggunaan PD dengan kejadian takik (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara penggunaan PD dengan fungsi pendengaran pada siswa
SMA X di Tangerang Selatan.
Kata kunci: Peranti dengar, takik, gangguan pendengaran akibat bising, siswa
SMA, remaja
ABSTRACT
Febianza Mawaddah Putri. Medical Study Program and Doctor Profession.
Association Between The Using of Listening Device and Hearing Function on
X Senior High School Student in South Tangerang. 2016.
Noise induced hearing loss (NIHL) is hearing lose that occur after long-term noise
exposure. The using of listening device (LD) have an association with NIHL in
teenager. This study aimed to know the association between the using of listening
device and hearing function that can be seen in the notch event through the
questioner completation and pure tone audiometry examination on 47 X senior
high school students in South Tangerang. The result of this study show that there
is no significant association between the using of LD with notch event (p>0.05). It
can be concluded that there is no significant association between the using of LD
with hearing function on X senior high school students in South Tangerang.
Keywords: Listening device, notchs, noise induced hearing loss, high school
students, teenager
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ................................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
1.4.1 Tujuan umum ...................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan khusus ..................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.5.1 Bagi Peneliti ....................................................................................... 4
1.5.2 Bagi Subjek Penelitian........................................................................ 4
1.5.3 Bagi Masyarakat ................................................................................. 4
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
2.1 Landasan Teori ......................................................................................... 5
2.1.1 Anatomi Telinga ................................................................................. 5
2.1.2 Gelombang Bunyi Alami .................................................................... 10
2.1.3 Fisiologi Pendengaran ........................................................................ 10
viii
2.1.4 Klasifikasi Bunyi ................................................................................ 15
2.1.5 Jenis Kebisingan ................................................................................. 17
2.1.6 Kelainan Pendengaran ........................................................................ 18
2.1.7 Pengaruh Kebisingan pada Pendengaran ............................................ 19
2.1.8 PD dan Nilai Ambang Batas Kebisingan ........................................... 23
2.1.9 Pemeriksaan Audiometri Nada Murni ................................................ 27
2.2 Kerangka Teori ......................................................................................... 31
2.3 Kerangka Konsep ..................................................................................... 32
2.4 Definisi Operasional ................................................................................. 33
BAB 3 METODE PENELITIAN ..................................................................... 35
3.1 Disain Penelitian ....................................................................................... 35
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................... 35
3.3 Populasi Penelitian ................................................................................... 35
3.3.1 Populasi dan Sampel yang Diteliti…………………………………...35
3.3.1.1 Populasi Target…………………………………………………35
3.3.1.2 Populasi Terjangkau ..................................................................35
3.3.1.3 Sampel………………………………………………………….35
3.3.2 Jumlah Sampel.................................................................................... 36
3.3.3 Jenis Data dan Cara Pemilihan Sampel .............................................. 37
3.3.3.1 Jenis Data ................................................................................... 37
3.3.3.2 Cara Pengumpulan Data ............................................................ 37
3.3.3.3 Alat dan Bahan Pengumpulan Data ........................................... 37
3.3.4 Kriteria Sampel ................................................................................... 38
3.3.4.1 Kriteria Inklusi ........................................................................... 38
3.3.4.2 Kriteria Eksklusi ........................................................................ 38
3.4 Cara Kerja Penelitian ................................................................................ 38
3.4.1 Alur Penelitian .................................................................................... 40
3.5 Manajemen Data ....................................................................................... 40
3.5.1 Pengumpulan Data .............................................................................. 40
3.5.2 Pengolahan Data ................................................................................. 41
3.5.3 Analisa Data ....................................................................................... 41
ix
3.5.3.1 Analisis Data Univariat… ..................................................... …41
3.5.3.2 Analisis Data Bivariat ................................................................ 41
3.5.4 Rencana Penyajian Data ..................................................................... 42
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 43
4.1 Karakteristik Percontoh ............................................................................ 44
4.2 Prevalensi Kejadian Takik dan Ambang Dengar pada Pengguna PD
Berisiko dan Pengguna PD Tidak Berisiko pada Siswa SMA X ............. 47
4.3 Hubungan Perilaku Penggunaan PD terhadap Kejadian Takik ................ 48
4.4 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 51
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 52
5.1 Simpulan ................................................................................................... 52
5.2 Saran ......................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 54
LAMPIRAN ....................................................................................................... 58
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Batas Kebisingan Komunitas .............................................................. 18
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan ......................................................... 26
Tabel 2.3 Batas Paparan Kebisingan yang Diizinkan Menurut Occupational Safety
and Health Administration (OSHA) ................................................... 27
Tabel 2.4 Derajat Gangguan Pendengaran ISO .................................................. 28
Tabel 2.5 Definisi Operasional ........................................................................... 33
Tabel 4.1 Karakteristik Percontoh....................................................................... 44
Tabel 4.2 Perilaku Penggunaan PD..................................................................... 45
Tabel 4.3 Prevalensi Kejadian Takik dan Ambang Dengar pada Pengguna PD
Berisiko dan Pengguna PD Tidak Berisiko pada Siswa SMA X ....... 48
Tabel 4.4 Hubungan Perilaku Penggunaan PD terhadap Kejadian Takik .......... 48
Tabel 4.5 Hubungan Ambang Dengar terhadap Kejadian Takik ........................ 50
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi Telinga ............................................................................. 5
Gambar 2.2. Bagian Koklea ................................................................................ 8
Gambar 2.3. Potongan Satu Putaran Koklea ....................................................... 9
Gambar 2.4. Organ Corti ..................................................................................... 9
Gambar 2.5. Stimulasi Reseptor Pendengaran .................................................... 12
Gambar 2.6. Gelombang Frekuensi di Regio Membran Basilar ......................... 13
Gambar 2.7. Nada, Intensitas, dan Timbre ......................................................... 17
Gambar 2.8. Senheiser HDA 200 Circumaural Headphone ............................... 23
Gambar 2.9. TDH- Type Supra-aural Headphone. Model 51.1 315 .................. 24
Gambar 2.10. Earbud/Earphones ....................................................................... 25
Gambar 2.11. Canalphone/ In-Ear_Monitor Headsphone ................................. 25
Gambar 6.1 Anamnesis Perilaku Penggunaan PD .............................................. 58
Gambar 6.2 Pemeriksaan Dosis Bising ............................................................... 58
Gambar 6.3 Pemeriksaan Audiometri Nada Murni............................................. 58
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan Data .............. 58
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian ........................................................................ 59
Lampiran 3 Audiogram Pemeriksaan Audiometri .............................................. 61
Lampiran 4 Hasil Uji Statistik............................................................................. 62
Lampiran 5 Gambar Proses Penelitian ................................................................ 64
Lampiran 6 Riwayat Penulis ............................................................................... 65
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi sudah semakin pesat di zaman globalisasi ini.
Salah satunya adalah dalam bidang teknologi audiovisual. Fenomena ini
dapat terlihat dengan bermunculannya produk-produk MP3 player yang
dilengkapi dengan perangkat peranti dengar (PD) dalam bentuk yang beragam
dengan kapasitas penghasil suara yang bervariasi, seperti earphone, headset,
dan lain-lain.1
Pengunaan PD ini pun sudah sangat meluas di berbagai kalangan,
terutama di kalangan remaja. Hasil penelitian American Academy of
Pediatrics yang menggunakan responden penelitian sejumlah 4310 remaja
yang berusia 12 – 19 tahun menunjukan bahwa terjadi peningkatan
penggunaan PD pada kalangan remaja, baik remaja laki-laki maupun remaja
perempuan. Data hasil penelitian tersebut menunjukan penggunaan PD pada
remaja laki-laki sebesar 24,0% dan pada remaja perempuan sebesar 15,6%
pada tahun 1988-1994. Kemudian persentase penggunaan PD ini meningkat
menjadi 39,5% pada remaja laki-laki dan 29,7% pada remaja perempuan pada
tahun 2005-2006. Penelitian tersebut juga memperlihatkan data peningkatan
pada ambang pendengaran dan peningkatan kejadian gangguan pendengaran
pada remaja akibat terpapar suara bising meskipun hasil yang didapatkan
tidak signifikan.2
Akibat populernya penggunaan PD ini, jutaan remaja berpotensi
terkena risiko kehilangan pendengaran permanen karena mendengarkan
musik favoritnya.3 Music-induced hearing loss atau gangguan dengar akibat
musik mungkin saja terlibat pada masalah kesehatan publik, yakni
meningkatnya jumlah remaja dan dewasa muda yang mengalami berbagai
gejala, seperti distorsi, tinitus, hiperakusis dan perubahan ambang dengar.4,5
Rata-rata PD memiliki kapasitas intensitas maksimal sebesar 120
desibel (dB). Berdasarkan hasil penelitian, ambang suara minimal yang dapat
menurunkan fungsi pendengaran adalah 85 dB dengan paparan lebih dari 8
1
2
jam per hari.6 Sedangkan paparan suara berintensitas 110 dB selama 1 jam
per hari dapat menurunkan fungsi pendengaran.7,8 Peningkatan ambang
dengar kedua telinga biasanya terjadi setelah paparan suara dengan frekuensi
tinggi yakni 3 – 6 kHz.6 Oleh karena itu, pengaruh pemakaian PD terhadap
penurunan fungsi pendengaran dipengaruhi oleh faktor tingginya intensitas
dan frekuensi pemakaian PD tersebut.
Suatu penelitian di Belanda pada remaja usia 12-18 tahun
menyebutkan para siswa, terutama laki-laki, sering menggunakan MP3
players dengan volume maksimal.9 MP3 Players dilengkapi dengan
perangkat headphone, sehingga remaja dapat menggunakan volume keras saat
mendengarkan musik tanpa harus mengganggu sekitarnya.1 Remaja
cenderung menggunakan volume keras terutama pada suasana lingkungan
yang berisik atau gaduh.10 Kebanyakan remaja mengatakan bahwa mereka
tidak merasa terganggu dengan kebiasaan mendengarkan musik dengan
volume keras.1
Suatu studi di Amerika pada 5249 anak berusia 6 – 19 tahun oleh
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III by Niskar
et al melaporkan 12,5% anak mengalami noise induced threshold shifts
(NITS) pada salah satu atau kedua telinganya akibat paparan suara gaduh,
salah satu di antaranya merupakan suara musik keras.11
Penelitian oleh Scientific Committee on Emerging and Newly
Identified Health Risks tentang risiko kesehatan pada pemutar musik pribadi
menyimpulkan bahwa kebiasaan sehari-hari mendengarkan musik dengan
volume tertentu dapat meningkatkan risiko kehilangan pendengaran
permanen pada 5-10% pendengar setelah paparan 5 tahun atau lebih.12
Fenomena maraknya penggunaan PD di kalangan remaja Indonesia
menimbulkan ketertarikan untuk meneliti hubungan penggunaan PD dengan
penurunan fungsi pendengaran dengan cara membandingkan fungsi
pendengaran pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko. Selain
itu, penelitian ini dianggap sangat penting untuk dilakukan, karena penurunan
fungsi pendengaran akibat penggunaan PD pada siswa SMA mungkin saja
akan berpengaruh pada terhambatnya proses belajar. Jika proses belajar
3
terhambat, maka akan berpengaruh pada penurunan kualitas pendidikan
siswa-siswi SMA yang akan menjadi generasi penerus bangsa nantinya,
sehingga menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia di Indonesia
di masa depan.
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh penggunaan PD
pada remaja dengan cara membandingkan fungsi pendengaran pada remaja
pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko menggunakan desain
cross sectional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang
dirumuskan oleh peneliti adalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan
antara penggunaan PD terhadap fungsi pendengaran pada siswa SMA X di
Tangerang Selatan?
1.3 Hipotesis
Terdapat
hubungan
antara
penggunaan
PD
terhadap
fungsi
pendengaran pada siswa SMA X di Tangerang Selatan.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara penggunaan PD terhadap fungsi
pendengaran pada siswa SMA X di Tangerang Selatan.
1.4.2 Tujuan Khusus

Mengetahui gambaran perilaku penggunaan PD, yakni status
penggunaan PD, lama penggunaan PD, durasi penggunaan PD
dalam satu hari, frekuensi penggunaan PD dalam satu minggu,
tingkat volume/dosis kebisingan dan kemampuan bercakap-cakap
saat menggunakan PD.

Mengetahui apakah terdapat hubungan antara perilaku penggunaan
PD dengan kejadian takik pada pemeriksaan audiometri.
4
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti

Penelitian
ini
dapat
memberikan
informasi
tentang
hasil
pemeriksaan pendengaran menggunakan audiometri pada siswa/i
SMA.

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang hubungan
penggunaan PD dengan fungsi pendengaran pada siswa/i SMA.
1.5.2 Bagi Subjek Penelitian
Sebagai bahan informasi mengenai hubungan penggunaan PD
dengan fungsi pendengaran pada siswa/i SMA X di Tangerang Selatan.
1.5.3 Bagi Masyarakat Luas
Memberikan masukan kepada instansi pendidikan, kesehatan,
media informasi dan komunikasi, serta pihak-pihak yang terlibat
mengenai hubungan penggunaan PD dengan fungsi pendengaran pada
siswa/i SMA X di Tangerang Selatan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian tentang hubungan penggunaan PD dengan fungsi
pendengaran ini dilakukan terhadap siswa/i kelas XI SMA di SMA terpilih di
sekitar wilayah Tangerang Selatan. Penelitian ini membahas tentang
karakteristik pengguna PD pada siswa/i kelas XI SMA berdasarkan usia dan
jenis kelamin, gambaran penggunaan PD, hasil pemeriksaan audiometri nada
murni dan hubungan antara perilaku penggunaan PD dengan kejadian takik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Anatomi Telinga
Telinga terbagi menjadi tiga bagian:13
a.
Telinga
eksternal
(luar),
berfungsi
untuk
mengumpulkan
gelombang suara dan meneruskannya ke bagian dalam.
b.
Telinga tengah, berfungsi untuk menyampaikan vibrasi suara ke
oval window (jendela oval).
c.
Telinga internal (dalam), berfungsi sebagai tempat beradanya
reseptor pendengaran dan keseimbangan.
Gambar 2.1. Anatomi Telinga
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
5
6
Telinga eksternal (luar) terdiri dari aurikula (daun telinga),
saluran pendengaran eksternal, dan membran timpani (gendang telinga).
Aurikula terbentuk dari kartilago elastin yang dilapisi oleh kulit. Bagian
yang melingkar dari aurikula disebut heliks dan bagian inferiornya
disebut lobule. Aurikula menempel pada kepala dengan ligamen dan
otot-ototnya. Saluran pendengaran luar berbentuk tabung dengan
panjang 2,5 cm (1 inchi) yang terletak di tulang temporal dan berakhir
di gendang telinga. Membran timpani adalah dinding pemisah yang
tipis dan semitransparan yang memisahkan saluran pendengaran luar
dengan telinga tengah. Membran timpani dibungkus oleh epidermis dan
dilapisi oleh epitel kuboid selapis. Di antara lapisan epitel terdapat
jaringan ikat yang mengandung kolagen, serat elastin, dan fibroblas.13
Saluran pendengaran luar mengandung sedikit rambut dan
kelenjar keringat khusus yang disebut kelenjar serumen yang
menyekresi kotoran telinga atau serumen. Kombinasi dari rambut
telinga dan serumen membantu mencegah debu dan benda asing
memasuki
telinga.
Serumen
juga
mencegah
kerusakan
serta
melembutkan kulit di bagian saluran telinga luar. Normalnya serumen
akan kering dan keluar dari saluran telinga dengan mekanisme tubuh
alami.13
Telinga tengah adalah rongga kecil berisi udara di bagian tulang
tengkorak bagian temporal. Telinga tengah dipisahkan dari telinga luar
oleh membran timpani dan dipisahkan dari telinga dalam oleh tulang
tipis yang mengandung dua jendela kecil yang disebut oval window
(jendela oval) dan round window (jendela bundar). Di dalam telinga
tengah, terdapat tulang-tulang telinga yang berartikulasi satu sama lain
melalui sendi-sendi sinovial. Tulang-tulang tersebut disebut maleus,
inkus, dan stapes. Tangkai maleus melekat di permukaan bagian dalam
membran timpani. Maleus terikat dengan badan inkus oleh ligamen
kecil. Inkus berartikulasi dengan kepala stapes. Bagian kaki stapes
7
menempel pada oval window. Di bawah oval window, terdapat round
window.13
Selain ligamen, terdapat pula dua otot skelet yang menempel
pada osikel (tulang-tulang pendengaran). Kedua otot skelet itu adalah
muskulus tensor timpani yang diinervasi oleh cabang mandibular
nervus trigerminus (V) dan muskulus stapedius yang diinervasi oleh
nervus fasial (VII). Muskulus tensor timpani berfungsi membatasi
pergerakan dan meningkatkan tegangan pada gendang telinga guna
mencegah kerusakan telinga dalam akibat suara keras. Sedangkan,
muskulus stapedius berfungsi mengurangi getaran yang besar akibat
suara keras untuk menjaga oval window dari kerusakan dan juga
mengurangi sensitivitas pendengaran. Pada dinding depan telinga
tengah, terdapat suatu celah yang disebut sebagai tuba eustachius yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Tuba eustachius
pada kondisi normal akan tertutup pada bagian ujungnya di daerah
faring. Saat menelan atau menguap, tuba eustachius terbuka,
membiarkan udara masuk dan keluar dari telinga tengah sampai tekanan
pada telinga tengah sama dengan tekanan atmosfer. Tuba eustachius
juga bisa menjadi jalan masuk patogen dari hidung dan tenggorok ke
dalam telinga.13
Telinga dalam disebut juga labirin karena bentuk salurannya
yang sangat kompleks. Secara struktural, telinga dalam terbagi menjadi
dua bagian utama yakni labirin tulang di bagian luar dan labirin
membranosa di bagian dalam. Labirin tulang terbagi menjadi tiga
bagian yakni kanalis semisirkularis dan vestibulum yang mengandung
reseptor keseimbangan, dan koklea yang mengandung reseptor
pendengaran.13
Labirin tulang mengandung cairan yang disebut perilimfe.
Cairan yang secara kimiawi mirip dengan cairan serebrospinal ini
mengelilingi labirin membranosa. Labirin membranosa yang berbentuk
tabung panjang berlapis epitel ini memiliki bentuk yang sama dengan
8
labirin tulang. Labirin membranosa mengandung cairan yang disebut
endolimfe. Level ion potasium (K+) pada endolimfe sangat tinggi
dibandingkan pada cairan ekstraselular, ion potasium ini berperan pada
penghantaran sinyal pendengaran.13
Gambar 2.2. Bagian Koklea
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
Terdapat vestibulum yang merupakan tabung berbentuk oval di
tengah
labirin
tulang.
Labirin
membranosa
pada
vestibulum
mengandung dua saluran yang mirip kantung yakni utrikulus dan
sakulus. Di bagian superior dan posterior dari vestibulum, terdapat tiga
tulang kanalis semisirkularis yang masing-masing terletak pada sudut
yang sama antara satu sama lain. Berdasarkan posisinya, tiga tulang
kanalis semisirkularis tersebut disebut kanalis semisirkularis anterior,
posterior, dan lateral. Kanalis semisirkularis anterior dan posterior
terletak vertikal, sedangkan kanalis semisirkularis lateral terletak
horizontal. Di ujung setiap kanal, terdapat pelebaran yang disebut
ampula. Bagian labirin membranosa yang terletak di dalam tulang
kanalis semisirkularis disebut duktus semisirkularis. Struktur ini
terhubung dengan utrikulus pada vestibulum. Cabang vestibular dari
nervus vetibulokoklearis (VIII) terdiri dari nervus ampular, utrikular,
dan sakular.13
9
Bagian anterior dari vestibulum adalah koklea, sebuah saluran
tulang yang berbentuk spiral yang mirip dengan rumah siput. Koklea
terbagi menjadi tiga bagian yakni duktus koklearis (skala media), skala
vestibuli, dan skala timpani. Duktus koklearis adalah terusan dari labirin
membranosa ke arah koklea yang teirisi oleh endolimfe. Di atas duktus
koklearis, terdapat skala vestibuli yang berujung di oval window.
Sedangkan di bawahnya terdapat skala timpani yang berujung di round
window. Skala vestibuli dan skala timpani merupakan bagian dari
labirin tulang pada koklea, maka dari itu ruang tersebut terisi oleh
perilimfe. Seluruh bagian skala vestibuli dan skala timpani dipisahkan
oleh duktus koklearis, kecuali pada bagian apeks koklea yang disebut
helikotrema.13
Gambar 2.3. Potongan Satu Putaran Koklea
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
Gambar 2.4. Organ Corti
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
10
Skala vestibuli dan duktus koklearis dipisahkan oleh membran
vestibular (membran Reissner), sedangkan duktus koklearis dan skala
timpani
dipisahkan
oleh
membran
basilar.
Membran
basilar
mengandung 20.000 sampai 30.000 serat basilar yang keluar dari
sumbu tulang di koklea, yaitu modiolus, menuju ke dinding luar. Serat
ini kaku dan elastis pada salah satu ujung bebasnya sehingga dapat
bergetar seperti buluh harmonika.13
Organ Corti terdapat pada membran basilar. Organ Corti
mengandung 16000 sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran.
Terdapat dua kelompok sel rambut, yakni sel rambut dalam yang terdiri
dari satu baris dan sel rambut luar yang terdiri dari tiga baris. Pada
ujung apikal setiap sel rambut, terdapat 40-80 stereosilia yang
menyentuh atau tertanam pada endolimfe duktus koklearis. Pada ujung
basal, sel rambut dalam dan sel rambut luar bersinaps dengan neuron
sensorik orde pertama dan dengan neuron motorik dari cabang koklear
nervus vestibulokoklearis (VIII). Walaupun sel rambut luar lebih
banyak dari sel rambut dalam, tetapi sel rambut dalam bersinaps lebih
banyak dengan neuron sensorik orde pertama yakni sekitar 90-95%.
Sebaliknya, 90% neuron motorik bersinaps dengan sel rambut luar.13
2.1.2 Gelombang Bunyi Alami
Gelombang bunyi adalah pergantian tekanan tinggi dan rendah
yang merambat dalam arah yang sama melalui suatu medium (seperti
udara). Gelombang bunyi berasal dari benda yang bergetar. Frekuensi
getaran bunyi digambarkan dengan tinggi puncak gelombang. Semakin
tinggi frekuensi getaran bunyi, semakin tinggi puncak gelombangnya.
Bunyi yang terdengar jelas oleh telinga manusia adalah bunyi yang
bergetar dengan frekuensi antara 500 – 5000 Hertz (Hz; 1 Hz = 1 siklus
per detik). Bunyi yang sepenuhnya bisa terdengar oleh manusia berada
pada rentang antara 20 – 20.000 Hz. Suara berbicara biasanya
berfrekuensi 100 – 3000 Hz. Semakin besar intensitas (ukuran atau
amplitudo) getaran, semakin keras bunyi tersebut. Intensitas bunyi
11
diukur dalam satuan unit yang disebut desibel (dB). Peningkatan satu
desibel sama dengan peningkatan sepuluh kali lipat intensitas bunyi.13
2.1.3 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar melalui beberapa tahap kejadian berikut:13
1. Aurikula menangkap gelombang suara dan diteruskan ke saluran
pendengaran eksternal.
2. Gelombang suara yang sampai ke gendang telinga menyebabkan
pergantian tekanan tinggi dan rendah, sehingga gendang telinga
bergetar maju dan mundur. Jarak perpindahannya bergantung pada
intensitas dan frekuensi gelombang suara. Gendang telinga
bergetar pelan terhadap frekuensi suara yang rendah dan bergetar
kencang terhadap frekuensi suara yang tinggi.
3. Area tengah gendang telinga terhubung oleh maleus yang juga ikut
bergetar. Getaran itu kemudian diteruskan ke inkus dan kemudian
ke stapes.
4. Stapes bergerak ke luar dan ke dalam, sehingga oval window
tertarik ke luar dan terdorong ke dalam. Oval window bergetar 20
kali lebih keras daripada gendang telinga karena osikel secara
efisien mentransmisikan getaran kecil yang tersebar di area
permukaan yang luas (gendang telinga) menjadi getaran besar pada
permukaan yang lebih kecil (oval window).
5. Pergerakan oval window menghasilkan gelombang tekanan cairan
perilimfe di koklea. Oval window yang terdorong ke dalam
membuat perilimfe pada skala vestibuli ikut terdorong.
6. Gelombang tekanan ditransmisikan dari skala vestibuli ke skala
timpani kemudian ke round window, menyebabkan round window
terdorong keluar ke telinga tengah.
12
7. Selama gelombang tekanan mendorong dinding skala vestibuli dan
skala timpani, gelombang tekanan tersebut juga mendorong
membran vestibular ke depan dan ke belakang, sehingga
membentuk gelombang tekanan di endolimfe pada duktus
koklearis.
8. Gelombang tekanan di endolimfe menyebabkan membran basilar
bergetar yang kemudian menyebabkan sel-sel rambut pada organ
Corti bergerak ke arah yang berlawanan dari membran tektorial.
Hal ini menyebabkan membengkoknya stereosilia yang kemudian
menciptakan potensial reseptor dan mengaktifkan impuls saraf.
Gambar 2.5. Stimulasi Reseptor Pendengaran
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
Gelombang bunyi dalam berbagai frekuensi menghasilkan
getaran yang berbeda pada tiap segmen membran basilar. Setiap
segmen dari membran basilar akan teraktifkan oleh frekuensi tertentu.
Serat basilar pada membran basilar di basis koklea (bagian yang lebih
dekat ke oval window) lebih pendek dan lebih kaku, sehingga bunyi
dengan frekuensi keras sekitar 20.000 Hz akan menstimulasi getaran
terbaik pada segmen ini. Sedangkan pada apeks koklea (bagian yang
dekat dengan helikotrema), memiliki serat basilar lebih panjang dan
13
lebih fleksibel, sehingga bunyi dengan frekuensi rendah sekitar 20 Hz
akan menyebabkan getaran terbaik pada segmen ini.14 Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, kerasnya suara setara dengan instensitas
gelombang suara. Gelombang suara dengan intensitas
tinggi
menyebabkan getaran yang lebih besar pada membran basilar,
sehingga menyebabkan terbentuknya frekuensi impuls saraf yang lebih
tinggi memasuki otak. Suara yang lebih keras juga menstimulasi selsel rambut dalam jumlah yang lebih banyak.13
Gambar 2.6 Gelombang Frekuensi di Regio Membran Basilar
Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Tortora, 2009
Sel rambut mentranduksi getaran mekanik menjadi sinyal
elektrik. Membran basilar yang bergetar menyebabkan berkas rambut
di apeks sel rambut membengkok ke depan dan ke belakang
mendorong satu sama lain. Ujung rantai protein menghubungkan ujung
setiap stereosilium dengan kanal ion berpintu mekanik yang
dinamakan kanal transduksi pada stereosilium di sebelahnya yang
lebih tinggi. Streosilia membengkok ke arah stereosilia yang lebih
tinggi, sehingga ujung rantai menyentak kanal transduksi dan
membukanya. Pembukaan kanal ini menyebabkan kation pada
endolimfe, terutama K+,
memasuki sitosol sel rambut, sehingga
terciptalah depolarisasi potensial reseptor. Depolarisasi menyebar
sepanjang membran plasma dan membuka kanal Ca2+ berpintu voltase
di basis sel rambut. Akhirnya Ca2+ masuk dan memicu eksositosis
vesikel sinaptik yang mengandung neurotransmitter (kemungkinan
14
glutamat). Selama pengeluaran neurotransmitter, frekuensi impuls
saraf pada neuron sensorik orde pertama yang bersinaps dengan basis
sel rambut meningkat. Pembengkokan stereosilia dalam arah yang
berlawanan menutup kanal transduksi, menyebabkan terjadinya
hiperpolarisasi, dan menurunkan produksi neurotransmitter dari sel
rambut. Hal ini menurunkan frekuensi impuls saraf pada neuron
sensorik.14
Koklea juga memiliki kemampuan untuk memproduksi bunyi.
Bunyi ini biasa disebut otoacoustic emissions. Bunyi ini baru bisa
terdengar bila kita menaruh mikrofon yang sensitif di samping
gendang telinga. Bunyi tersebut dihasilkan oleh getaran sel rambut luar
yang terjadi sebagai respon terhadap gelombang bunyi dan sinyal dari
neuron motorik. Selama berdepolarisasi dan berepolarisasi, sel rambut
luar secara cepat memendek dan memanjang. Kekerapan getaran ini
menimbulkan
perubahan
kekakuan
membran
mempertinggi
pergerakan
membran
basilar
tektorial
yang
dan
kemudian
memperkuat respon sel rambut dalam. Pada saat yang sama, getaran
sel rambut luar tersebut membentuk gelombang bunyi yang merambat
ke arah stapes dan meninggalkan telinga sebagai otocoustic emission.14
Pembengkokan stereosilia dari sel rambut pada organ Corti
menyebabkan pengeluaran neurotransmitter (kemungkinan glutamat),
yang membangkitkan impuls saraf pada neuron sensorik yang
menginervasi sel rambut. Badan sel neuron sensorik terletak di ganglia
spiral. Impuls saraf berjalan di sepanjang akson neuron tersebut, yang
membentuk cabang koklear dari nervus vestibulokoklearis (VIII).
Akson ini bersinaps dengan neuron di nukleus koklearis di medula
oblongata pada sisi yang sama. Beberapa akson dari nukleus koklearis
menyilang di medula, naik melalui jalur yang dinamakan meniskus
lateral di sisi yang berlawanan, dan berakhir di colliculus inferior pada
midbrain. Beberapa akson lain dari nukleus koklearis berakhir di
nukleus olivary superior di pons pada setiap sisi. Perbedaan waktu
15
tempuh impuls saraf untuk sampai ke nukleus olivary superior
membuat kita mampu menentukan lokasi sumber suara. Akson dari
nukleus olivary superior juga berjalan naik melalui jaras meniskus
lateral di kedua sisi dan berakhir di colliculi inferior. Impuls saraf
disampaikan dari setiap colliculus inferior ke nukleus geniculatum
medial di talamus dan pada akhirnya akan sampai di korteks auditori
primer pada korteks serebral, lobus temporal pada serebrum.13
2.1.4 Klasifikasi Bunyi
Berdasarkan frekuensinya bunyi diklasifikasikan menjadi 3
bagian, antara lain:14
a. Frekuensi bunyi antara 0-16 Hz (Infrasound)
Frekuensi 0-16 Hz ini biasanya ditimbulkan oleh getaran
tanah, getaran bangunan maupun truk mobil. Frekuensi di bawah 16
Hz akan mengakibatkan perasaan kurang nyaman, kelesuan dan
kadang-kadang menimbulkan perubahan penglihatan. Vibrasi bunyi
dengan frekuensi ini akan menyebabkan resonansi dan menimbulkan
rasa nyeri jika mengenai tubuh.
b. Frekuensi bunyi antara 16-20.000 Hz (Frekuensi pendengaran)
Kepekaan telinga manusia terjadi pada frekuensi bunyi antara
16-40.000 Hz. Pada frekuensi 1.000 Hz, kepekaan telinga manusia
adalah 0 (dB = 0). Nilai ambang rata-rata secara internasional
terletak di daerah 1.000 Hz.
c. Frekuensi bunyi di atas 20.000 Hz (Ultrasound):
Frekuensi di atas 20.000 Hz disebut ultrasonik/bunyi ultra.
Frekuensi ini dalam bidang kedokteran dipergunakan untuk alat
diagnosis. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh frekuensi yang tinggi
mempunyai daya tembus jaringan cukup besar.
16
Suara ditandai oleh nada (tone, tinggi-rendahnya suara),
intensitas (kekuatan, kepekakan, loudness), dan timbre (kualitas,
warnanada). Nada suatu suara (misalnya, not C atau not G)
ditentukan oleh frekuensi getaran. Semakin tinggi frekuensi getaran,
semakin tinggi nadanya. Telinga manusia bisa mendengar pada
frekuensi 20 – 20.000 Hz, tetapi paling sensitif pada frekuensi 1000
– 4000 Hz.15
Intensitas suatu suara bergantung pada amplitudo gelombang
suara, atau perbedaan tekanan, antara daerah pemampatan yang
bertekanan tinggi dan daerah penjarangan yang bertekanan rendah.
Semakin besar amplitudo, semakin keras suaranya. Telinga manusia
dapat mendeteksi suara dalam rentang intensitas yang lebar, dari
bisikan halus sampai suara pesawat jet yang memekakkan telinga.
Intensitas dinyatakan dalam desibel (dB), yaitu ukuran logaritmik
intensitas dibandingkan dengan suara terendah yang dapat terdengar
dan disebut dengan ambang pendengaran. Karena hubungan yang
bersifat Iogaritmik, setiap peningkatan sepuluh desibel menandakan
peningkatan intensitas sepuluh kali lipat.15
Timbre bergantung pada nada tambahan (overtones), yaitu
frekuensi tambahan yang menimpa nada dasar. Adanya nada-nada
tambahan menyebabkan alat musik mengeluarkan suara yang
berbeda untuk nada yang sama.15
17
Gambar 2.7 Nada, Intensitas, dan Timbre
Sumber: Human Physiology From Cells to Systems, Sherwood, 2010
2.1.5 Jenis Kebisingan
Secara
umum
bising
adalah
bunyi
yang
tidak
diinginkan/dikehendaki. Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang
intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan
pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam. Organ Corti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz - 6000 Hz sering mengalami
kerusakan. Frekuensi 4000 Hz merupakan frekuensi yang paling berat
mengalami kerusakan.16
Secara umum, kebisingan dapat dikelompokkan berdasarkan
intensitas,
kontinuitas
dan
frekuensi.
Jenis
kebisingan
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Steady state and narrow band noise
Kebisingan yang terus-menerus dengan spektrum suara yang sempit
seperti suara mesin dan kipas angin.
2. Nonsteady state and narrow band noise
Kebisingan yang tidak terus-menerus dengan spektrum suara yang
sempit seperti suara mesin gergaji dan katup uap.
18
3. Kebisingan intermiten
Kebisingan yang terjadi sewaktu-waktu dan terputus seperti suara
pesawat terbang dan kereta api.
4. Kebisingan impulsif
Kebisingan yang impulsif atau memekakkan telinga seperti bunyi
tembakan bedil, meriam atau ledakan bom.17
Tabel 2.1 Batas Kebisingan Komunitas17
Intensitas Kebisingan
Batas Tertinggi
Jenis Kebisingan
Menulikan
Sedang
120
110
100
90
80
70
60
50
Tenang
40
30
Batas dengar terendah
20
10
0
Halilintar
Meriam
Mesin uap
Perusahaan sangat gaduh
Kantor gaduh
Jalan pada umumnya
Rumah gaduh
Kantor pada umumnya
Percakapan kuat
Radio perlahan
Rumah tenang
Kantor perorangan
Auditorium
Percakapan
Suara daun-daun berbisik
Sangat hiruk
Sumber: Pengantar Kesehatan Lingkungan, Chandra, 2005
2.1.6 Kelainan Pendengaran
Kelainan pendengaran mencakup beberapa tipe tuli. Tuli dibagi
menjadi dua tipe, antara lain:18
(1) Tuli yang disebabkan oleh kerusakan koklea, nervus auditorius,
atau sirkuit susunan saraf pusat dari telinga, disebut “tuli
sensorineural”.
(2) Tuli yang disebabkan oleh kerusakan struktur fisik telinga yang
menghantarkan bunyi ke koklea, disebut “tuli konduksi”.
19
2.1.7 Pengaruh Kebisingan pada Pendengaran
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak
dikehendaki. Definisi ini menunjukan bahwa pengertian bising itu
sebenarnya sangat subjektif, artinya tergantung masing-masing
individu, waktu, dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara
audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai
frekuensi.16
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu
intensitas bising, frekuensi bising, lamanya waktu pemaparan bising,
kerentanan individu, jenis kelamin, usia, dan kelainan telinga.19
Perubahan ambang dengar akibat paparan bising dapat
berupa:19
1. Adaptasi
Telinga akan merasa terganggu pada saat pertama kali terpapar
bising, namun lama-kelamaan telinga akan terbiasa karena proses
adaptasi, sehingga suara yang terdengar tidak terasa begitu keras
seperti pada awal pemaparan.
2. Peningkatan ambang dengar sementara
Terjadi kenaikan ambang pendengaran yang bersifat sementara,
artinya dapat kembali seperti semula. Keadaaan ini berlangsung
beberapa menit, beberapa jam, bahkan sampai beberapa minggu
setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini
awalnya terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan
berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang sementara ini akan
menyebar pada frekuensi di sekitarnya. Semakin tinggi intensitas dan
lama waktu pemaparan, semakin besar pula perubahan nilai ambang
pendengarannya. Respon individu terhadap kebisingan tidak sama,
tergantung dari sensitivitas masing-masing individu.
20
3. Peningkatan ambang dengar menetap
Peningkatan ambang dengar menetap ini terjadi setelah
seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada
frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan
bersifat permanen, artinya tidak dapat disembuhkan. Kenaikan ambang
pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 – 20 tahun terjadi
pemaparan, namun ada pula yang mengatakan baru setelah 10 – 15
tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari
bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah
melakukan pemeriksaan audiogram.
Noise
Induced
Hearing
Loss
(NIHL)
atau
Gangguan
Pendengaran Akibat Bising (GPAB) diduga disebabkan oleh adanya
stress mekanis dan metabolik pada organ sensorik auditorik bersamaan
dengan kerusakan sel sensorik atau kerusakan total organ Corti di
dalam koklea. Kehilangan sel sensorik adalah penyebab NIHL yang
paling penting. Kepekaan terhadap stres pada sel rambut luar berada
dalam rentang 0 – 50 dB, sedangkan untuk sel rambut dalam di atas 50
dB. Frekuensi yang sangat tinggi (di atas 8 kHz) mempengaruhi dasar
koklea.
Beberapa proses mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan
sel rambut akibat pajanan terhadap bising meliputi:20
1. Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat menyebabkan
robeknya membran Reissner sehingga cairan dalam endolimfe dan
perilimfe bercampur. Hal ini menyebabkan rusaknya sel rambut.
2. Gerakan membran basilar yang kuat dapat menyebabkan gangguan
organ Corti dengan pencampuran endolimfe dan kortilimfe yang
mengakibatkan kerusakan sel rambut.
3. Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat merusak sel
rambut dengan melepaskan organ Corti atau merobek membran
basilar.
21
Selain itu, terdapat pula proses metabolik yang dapat
menyebabkan kerusakan sel rambut akibat pajanan bising, yakni:20
1. Pembentukan vesikel dan vakuol di dalam retikulum endoplasma
sel rambut serta pembengkakan mitokondria dapat menyebabkan
robeknya membran sel dan hilangnya sel rambut.
2. Kelelahan metabolik akibat gangguan enzim yang esensial untuk
pembentukan energi, biosintesis protein, dan pengangkutan ion
dapat merusak sel rambut.
Tuli akibat bising mempengaruhi sel-sel rambut pada organ
Corti di koklea. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut
luar yang menunjukan adanya degenerasi yang meningkat sebanding
dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut
luar menjadi kurang kaku sehingga respon terhadap stimulasi
berkurang. Bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan
menyebabkan lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Sel-sel rambut akan mati dengan hilangnya stereosilia dan digantikan
oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel
rambut dalam dan sel-sel penunjang juga akan rusak. Suara dengan
intensitas tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan stria vaskularis
oleh karena penurunan atau bahkan penghentian aliran darah pada stria
vaskularis dan ligamen spiralis. Semakin meluasnya kerusakan pada
sel-sel rambut dapat menimbulkan degenerasi pada saraf yang dapat
juga dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.19
Daerah organ Corti sekitar 8 – 10 mm dari ujung basal (sesuai
dengan daerah 4 kHz pada audiogram) dianggap sebagai daerah yang
secara khas rentan terhadap kebisingan. Hal ini dikarenakan daerah 4
kHz mungkin lebih rentan karena inufisiensi vaskular akibat bentuk
anatomis yang tidak biasa di daerah ini. Selain itu, amplitudo
pemindahan di dalam saluran koklea mulai terbentuk di daerah 4 kHz
22
saat perambatan gelombang yang berjalan masih cukup tinggi dan
struktur anatomi koklea menyebabkan pergeseran cairan pada daerah 4
kHz.19
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising
adalah:
21
1. Bersifat sensorineural.
2. Bersifat bilateral.
3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing
loss). Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.
4. Tidak dijumpai penurunan pendengaran yang signifikan apabila
paparan bising dihentikan.
5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekuensi 3000
Hz, 4000 Hz, dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat
terjadi pada frekuensi 4000 Hz.
6. Ketulian pada frekuensi 3000 Hz, 4000 Hz, dan 6000 Hz akan
tercapai akibat paparan bising yang konstan dalam 10 – 15 tahun.
Bising juga dapat menyebabkan efek pendengaran lain yang
disebut tinitus (suara berdenging di dalam telinga). Tinitus biasanya
timbul segera setelah pajanan terhadap bising dan dapat menjadi
permanen jika pajanan terus berlangsung. Tinitus akibat pajanan bising
biasanya bernada tinggi. Selain tinitus, bising juga dapat menyebabkan
vertigo. Vertigo hanya timbul setelah mengalami pajanan yang amat
kuat seperti suara mesin jet dan ledakan suara api.20
Bising juga dapat menyebabkan beberapa efek pada organ selain
pendengaran. Meningkatnya kadar kebisingan dapat menimbulkan
reaksi stres dengan variasi detak jantung, tekanan darah, pernapasan,
gula darah, dan kadar lemak darah. Selain itu, bising juga dapat
23
menyebabkan bertambahnya motilitas saluran pencernaan dan tukak
lambung.20
2.1.8 PD dan Nilai Ambang Batas Kebisingan
Peranti dengar (PD) adalah sepasang pengeras suara yang di
gunakan dekat dengan telinga penggunanya. PD dihubungkan ke
sumber sinyal seperti handphone, laptop, radio, CD player, portable
media player dan lain lain.22
Jenis-jenis PD yang biasa di gunakan bersama media pemutar
musik, antara lain:23
(1) Circumaural, yakni PD yang sepenuhnya mengelilingi telinga. Hal
tersebut memungkinkan telinga penggunanya untuk sepenuhnya
tertutup, sehingga memberikan banyak isolasi dari luar, sehingga
dapat
meredam
kebisingan
(noise-canceling
headphone)
lingkungan yang tidak diinginkan. Hal ini memungkinkan
penggunanya untuk dapat mendengarkan musik dengan volume
minimum meskipun di lingkungan yang bising.
Gambar 2.8. Senheiser HDA 200 Circumaural Headphone
Sumber: Basic Instrumen and Calibration, Frank, 2000
24
(2) Supra-aural atau earpad headphone merupakan PD yang menempel
pada permukaan daun telinga namun tidak sepenuhnya menutupi
telinga seperti circumaural. Supra-aural headphone ukurannya
lebih kecil circumaural headphone, sehingga lebih praktis untuk
dibawa-bawa. Namun, karena headphone jenis ini hanya menempel
pada sebagian daun telinga, suara lingkungan tidak dapat benar –
benar di redam seperti pada headphone jenis circumaural.
Gambar 2.9.TDH- Type Supra-Aural Headphone. Model 51.1 315
Sumber: Basic Instrumen and Calibration, Frank, 2000
(3) Earbud atau earphones merupakan salah satu bentuk dari inter aural
headphone. Ukuranya jauh lebih kecil dibanding dua jenis
headphone sebelumnya. Penggunaanya langsung ditempatkan di
luar kanal telinga. Bentuknya yang kecil membuat headphone jenis
ini paling mudah dibawa-bawa dalam perjalanan. Namun, beberapa
pengguna merasa tidak nyaman dengan betuknya yang kaku dan
terbuat dari plastik. Selain itu, ukurannya terkadang tidak sesuai
dengan ukuran telinga penggunanya. Headphone jenis ini tidak
memiliki kemampuan meredam suara llingkungan sebaik dua
headphone sebelumnya. Hal ini memungkinkan penggunanya untuk
menaikkan tingkat volume saat mendengarkan musik di lingkungan
yang bising seperti jalan raya, kafetaria dan lain-lain.
25
Gambar 2.10. Earbud/Earphones
Sumber: Basic Instrumen and Calibration, Frank, 2000
(4) Canalphone atau In-Ear-Monitor (IEM) merupakan jenis dari inter
aural headphone. Seperti namanya In- Ear-monitor, headphone ini
di gunakan dengan memasukkan bagian eartip dari headphone
kedalam bagian depan lubang telinga yang bertujuan untuk
“menyegel” telinga. Segel umumnya memiliki dua fungsi, yakni
untuk memblokir kebisingan dan untuk membentuk ruang akustik
dalam rangka mencapai suara lebih jelas. Canalphone jauh lebih
baik dalam meredam suara lingkungan (29- 377 dB) di banding
headphone jenis circumaural dan supraaural (8-11 dB).
Gambar 2.11. Canalphone/ In-Ear_Monitor Headsphone
Sumber: Basic Instrumen and Calibration, Frank, 2000
Penelitian yang dilakukan oleh Peter M. Rabinowitz, MD
mengatakan bahwa stereo headphone memiliki tingkat kebisingan sama
dengan lokomotif kereta yaitu 100 dB. Rabinowitz mengangkat kasus
26
seorang remaja perempuan yang mengalami peningkatan ambang
dengar menetap. Remaja tersebut diketahui memiliki kebiasan
mendengarkan musik berjam-jam melalui headphone. Hasil tes
audiometri yang dilakukan menunjukan adanya peningkatan 30 dB pada
frekuensi 4.000 Hz.24
Untuk
menghindari
kasus
GPAB,
diperlukan
informasi
mengenai nilai ambang batas kebisingan yang diperbolehkan. Berikut
adalah tabel yang menunjukkan nilai ambang batas kebisingan.25
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan25
Waktu pemajanan per hari
8
Jam
Intensitas Kebisingan dalam dB(A)
85
4
88
2
91
1
94
30
Menit
97
15
100
7,5
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12
Detik
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
Catatan :
Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA walaupun hanya sesaat
Sumber: Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011
27
Tabel 2.3 Batas Paparan Kebisingan yang Diizinkan Menurut
Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
Sound level (dBA)
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
Permitted duration per workday (hrs)
8.00
6.96
6.06
5.28
4.60
4.00
3.48
3.03
2.63
2.30
2.00
1.73
1.52
1.32
1.15
1.00
0.86
0.76
0.66
0.56
0.50
0.43
0.38
0.33
0.28
0.25
0.21
Sumber: Safety and Health Regulations for Construction, OSHA, 2002.
2.1.9 Pemeriksaan Audiometri Nada Murni
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti
mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri digunakan
untuk mengukur ambang dengar. Selain itu, audiometri juga digunakan
untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan
gangguan pendengaran.26
Audiometri nada murni adalah suatu uji pendengaran dengan
menggunakan alat elektronik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada
murni dari berbagai frekuensi 250-500 Hz, 1000-2000 Hz, 4000-8000
28
Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang
dihasilkan disalurkan melalui headphone dan vibrator tulang ke telinga
orang yang diperiksa pendengarannya. Pemeriksaan yang dilakukan
bertujuan untuk mengukur ambang dengar melalui hantaran udara dan
hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan
didapatkan kurva atau audiogram hantaran tulang dan hantaran udara.
Audiogram ini dapat menunjukan derajat ambang dengar seseorang.26
Audiogram juga dapat membedakan jenis gangguan pendengarannya,
apakah tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur.16
Tabel 2.4. Derajat Gangguan Pendengaran ISO16
AMBANG DENGAR (dB)
0 – 25
>25 – 40
>40 – 55
>55 – 70
>70 – 90
>90
INTERPRETASI
Normal
T. ringan
T. sedang
T. sedang berat
T. berat
T. sangat berat
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit THT, Soepardi EA, 2012
Langkah – langkah pemeriksaan audiometri adalah sebagai
berikut:27
A. Persiapan Pasien
Sebelum melakukan pemeriksaan audiometri, perlu dilakuan
persiapan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan fisik telinga dilakukan sebelum pemeriksaan
audiometri. Daun telinga dan liang telinga diinspeksi untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya sumbatan serumen,
perforasi membran timpani atau kelainan struktur telinga.
Pengukuran dimulai dari telinga yang sehat terlebih dahulu.
Pasien diminta utuk melepas alat bantu dengar jika
menggunakannya.
29
2. Pasien diperiksa dalam posisi duduk. Posisi pasien diatur
sedemikian rupa agar pasien tidak mendapat pentunjuk visual
terhadap pemeriksaan yang dilakukan.
3. Instruksi diberikan dalam bahasa yang dimengerti oleh
pasien. Bila keadaan tidak memungkinkan, instruksi dapat
disampaikan dalam bentuk tulisan. Instruksi meliputi:
a. Tujuan tes, yakni untuk mengidentifikasi ambang
pendengaran pasien dan adanya gangguan pendengaran.
b. Duduk diam dan tidak berbicara saat pemeriksaan.
c. Masing-masing telinga akan diperiksa dengan berbagai
frekuensi dan kekerasan bunyi.
d. Pasien diminta untuk mengangkat jari sesuai sisi telinga
yang mendengar suara dan menurunkannya apabila sudah
tidak terdengar.
B. Pemeriksaan Ambang Dengar Hantaran Udara
Langkah-langkah pemeriksaan ambang dengar hantaran udara
adalah sebagai berikut:
1. Pasien
diminta
untuk
menggunakan
supra-aural
headphone. Sisi headphone yang berwarna merah untuk
telinga kanan dan warna biru untuk telinga kiri.
2. Dilakukan
pengenalan
suara
pada
pasien
dengan
memberikan stimulus pada frekuensi 1000 Hz sebesar 30
dB. Jika tidak didapatkan respon pasien, amplitudo
dibesarkan sampai didapatkan respon.
3. Setiap stimulus diberikan selama 1-2 detik.
4. Jeda antara stimulus yang diberikan dapat bervariasi, tetapi
tidak lebih cepat dari waktu pemberian stimulus.
5. Amplitudo stimulus yang diberikan bergantung pada respon
pasien terhadap stimulus. Apabila pasien berespon terhadap
30
stimulus, amplitudo diturunkan 10 dB. Apabila pasien
gagal memberikan respon, amplitudo dinaikan 5 dB.
6. Stimulus diberikan berturut turut pada frekuensi 1000 Hz,
2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, dan 8000 Hz.
Selanjutnya dilakukan tes ulang pada frekuensi 1000 Hz.
Kemudian dilanjutkan dengan tes pada frekuensi 500 Hz
dan 250 Hz. Apabila didapatkan beda 20 dB antara
frekuensi yang diperiksa, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
interoktaf.
7. Ambang dengar ditentukan pada amplitudo minimal yang
dapat dideteksi oleh pasien dengan benar minimal 2 dari 3
kali pemberian stimulus pada amplitudo yang sama.
Apabila pada pemeriksaan kedua pada frekuensi 1000 Hz
didapatkan ambang dengar lebih dari 5 dB, maka diambil
ambang dengar yang terendah dari kedua pemeriksaan.
8. Memberikan notasi audiogram pada grafik audiometri.
Setelah didapat ambang dengar pada frekuensi yang
diperiksa, besarnya ambang dengar pada tiap frekuensi
dicatat dengan menempatkan notasi audiogram yang sesuai
pada grafik. Gambar notasi audiogram tercantum pada
penjelasan di atas.
31
2.2 Kerangka Teori
Penggunaan PD:
 Intensitas
 Frekuensi
 Durasi
Perilaku kebiasaan:
 Merokok
 Alkohol
 dll.
Bising lingkungan:
 Kendaraan bermotor
 Tempat tinggal di
kawasan pabrik
 Tempat tinggal dekat
rel kereta api
 dll.
Siswa/i SMA
Pergegangan
berlebihan
membran basalis
↑ permeabilitas membran
mitikondria sel rambut
luar
Aktivasi
caspase 9 dan
sitokrom C
Apoptosis
sel
↑ influks
Ca2+
Pembentukan
ROS/RNS
Lipid
peroksidase
↑ eksitasi
glutamat
post-sinaps
Pembentukan
sitokin
inflamasi
(TNF α, IL-1)
Ketidakseimbangan
osmotik
Kerusakan
sel rambut
luar
Kerusakan
saraf
Gangguan pendengaran akibat
bising sementara
Paparan bising berulang
Gangguan pendengaran
akibat bising permanen
32
2.3 Kerangka Konsep
Karakteristik subjek:
1. Usia
2. Jenis kelamin
Pengguna PD
berisiko dan
pengguna PD tidak
berisiko
3. Kerentanan individu
- Intensitas bising
- Frekuensi bising
- Lama paparan bising
Penurunan fungsi
pendengaran
(Peningkatan
ambang
pendengaran,
takik, tuli
sensorineural)
Keterangan:
Variabel bebas
Variabel tergantung
Variabel yang tidak diteliti
Variabel perancu
Hubungan yang diteliti
Hubungan yang tidak diteliti
- Tinggal di dekat daerah
yang terpapar bising
- Sumbatan serumen
- Kelainan struktur organ
dalam telinga
33
2.4 Definisi Operasional
Tabel 2.5 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Pengukur
Alat ukur
Cara pengukuran
1.
Ambang
dengar
Ambang dengar
≤25 dB (normal),
>25-40 dB (tuli
ringan), >40-55
dB (tuli sedang),
>55-70 dB (tuli
sedang
berat),
>70-90 dB (tuli
berat), >90 dB
(tuli
sangat
berat)16
Tenaga
audiologis
terlatih
Audiometer nada
murni
menggunakan
hantaran
udara
Telinga subjek diukur
dengan 6 frekuensi
dalam
spektrum
pendengaran,
dan
kehilangan
pendengaran
ditentukan
untuk
masing-masing
frekuensi tersebut.
2.
Perilaku
Penggunaan
PD
Gambaran dari
lama penggunaan
PD, frekuensi
penggunaan PD
dalam satu
minggu dan durasi
penggunaan PD
dalam satu hari.
Peneliti
Kuesioner
Responden diminta
untuk
mengisi
kuesioner yang berisi
pertanyaan tentang
perilaku penggunaan
PD.
Nominal
3.
Dosis bising
Tingkat volume
yang digunakan
saat menggunakan
PD
Peneliti
- Kuesioner
- Responden diminta
mengisi
kuesioner
tentang
tingkat
volume suara yang
biasa digunakan.
Nominal
- Media
player dan
PD jenis
headphone
- Responden diminta
mendengarkan lagu
dari media player
dengan menggunakan
PD yang disediakan
dan memilih tingkat
volume yang biasa
digunakan.
Kuesi-oner
Responden diminta
untuk
menyatakan
pernah atau tidak
pernah
merasakan
keluhan
tersebut
semenjak
aktif
menggunakan PD.
4.
Gambaran
gejala
gangguan
pendengaran
Telinga
berdenging,
telinga lebih
sensitif terhadap
suara, dan
kesulitan
memahami
pembicaraan di
tempat ramai.
Peneliti
Skala
pengukuran
Nominal
Nominal
34
Tabel 2.4 Definisi Operasional (Sambungan)
No.
Variabel
Definisi
Pengukur
Alat ukur
Cara pengukuran
Skala
pengukuran
5.
Pengguna
PD berisiko
Pengguna PD
dengan skor
penggunaan PD 113
Peneliti
Kuesioner
Responden diminta
untuk
mengisi
kuesioner mengenai
frekuensi
penggunaan
PD
dalam satu minggu.
Nominal
6.
Pengguna
PD
tidak
berisiko
Pengguna PD
dengan skor
penggunaan PD
14-22
Peneliti
Kuesioner
Responden diminta
untuk
mengisi
kuesioner mengenai
frekuensi
penggunaan
PD
dalam satu minggu.
Nominal
7.
Takik
Terdapat kenaikan
intensitas ≥10 dB
pada frekuensi
4000 Hz
dibandingkan
dengan frekuensi
sebelumnya (2000
Hz)
Tenaga
audiologis
terlatih
Audiometer
nada murni
hantaran
udara
Telinga
subjek
diukur dengan 6
frekuensi
dalam
spektrum
pendengaran,
kemudian
dilihat
adanya penurunan
intensitas ≥10 dB
pada frekuensi 4000
Hz
dibandingkan
dengan
frekuensi
sebelumnya (2000
Hz)
Nominal
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Disain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat analitik dengan
menggunakan desain cross sectional.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2016 di satu SMA yang
terpilih di wilayah Tangerang Selatan.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi dan Sampel yang Diteliti
3.3.1.1 Populasi Target
Populasi target dalam penelitian ini adalah siswa/i
SMA pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko.
3.3.1.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah siswa/i
kelas XI SMA tahun ajaran 2015-2016 yang merupakan
pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko di satu
SMA terpilih di daerah Ciputat.
3.3.1.3 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas XI
SMA tahun ajaran 2015-2016 yang merupakan pengguna PD
berisiko dan pengguna PD tidak berisiko di satu SMA terpilih
di daerah Ciputat yang memenuhi kriteria inklusi peneliti.
35
36
3.3.2 Jumlah Sampel
Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung
dengan menggunakan rumus sampel untuk penelitian analitik tidak
berpasangan dengan variabel kategorik.28
√
√
Keterangan:
= deviat baku alfa = 1,96; dengan
= 0,05 (ditetapkan peneliti)
= deviat baku beta = 0,80 (ditetapkan peneliti)
RR = risiko relatif yang dianggap bermakna secara klinis
P2
= proporsi efek pada kelompok tanpa faktor risiko (dari pustaka)
P1
= proporsi efek pada kelompok dengan faktor risiko = RR x P2
P
=
Q
=1–P
Perhitungan:
(
√
√
(
)
)
Berdasarkan perhitungan jumlah sampel dengan rumus di atas,
jumlah sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian ini
berjumlah 43 responden.
37
3.3.3 Jenis Data dan Cara Pengambilan Sampel
3.3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang diambil merupakan data primer.
3.3.3.2 Cara Pengumpulan Data
Pemilihan SMA yang akan dijadikan tempat penelitian
dilakukan dengan teknik purposive sampling. Seluruh siswa
kelas XI SMA pada sekolah yang terpilih diminta untuk
mengisi
kuesioner
tentang
kebiasaan
penggunaan
PD.
Kuesioner ini digunakan untuk mengelompokkan para siswa ke
dalam kelompok pengguna PD berisiko dan kelompok
pengguna PD tidak berisiko. Kemudian diambil beberapa
sampel secara simple random sampling dari masing-masing
kelompok sampai tercapai jumlah sampel minimum.
3.3.3.3 Alat dan Bahan Pengumpulan Data
Peneliti
pengumpulan
menggunakan
data
untuk
alat
atau
menunjang
fasilitas
pekerjaanya
dalam
dan
memperoleh hasil yang lebih baik sehingga mempermudah
pengolahan data. Alat yang digunakan dalam pengumpulan
data untuk penelitian ini antara lain:
1. Headphone
2. Kuisioner gambaran perilaku penggunaan LD
3. Multimeasure application
4. Audiometri
5. Mp3 player (laptop)
6. Ruangan yang sunyi dengan intensitas bising sekitar 50 dB
38
3.3.4 Kriteria Sampel
3.3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini
adalah:
 Siswa/i kelas XI SMA dengan struktur telinga normal,
gendang telinga utuh dan tanpa sumbatan serumen.
 Siswa/i kelas XI SMA yang hadir saat pemeriksaan
audiometri dilakukan.
3.3.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria subjek yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini
adalah:
 Siswa/i kelas XI SMA yang memiliki kelainan struktur
telinga, mengalami perforasi gendang telinga dan memiliki
sumbatan serumen pada telinga.
 Siswa/i kelas XI SMA yang tidak hadir saat pemeriksaan
atau tidak bersedia untuk berpartisipasi.
3.4 Cara Kerja Penelitian
Langkah – langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Merumuskan pertanyaan penelitian.
b. Menetapkan disain penelitian, yakni cross sectional.
c. Menentukan besar sampel.
d. Pemilihan SMA yang akan dijadikan tempat penelitian berdasarkan
teknik purposive sampling.
39
e. Permohonan izin pelaksanaan penelitian ke pihak sekolah yang akan
dijadikan lokasi penelitian.
f. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan subjek penelitian
dengan informed consent.
g. Membagikan kuesioner kepada seluruh siswa/i kelas XI di SMA terpilih
untuk diisi.
h. Membagi siswa/i SMA dalam dua kelompok besar, yakni kelompok
pengguna PD berisiko dan kelompok pengguna PD tidak berisiko.
i. Memilih siswa/i dari kelompok pengguna PD berisiko dan pengguna
PD tidak berisiko yang akan dijadikan sampel dengan teknik simple
random sampling.
j. Melakukan uji fungsi pendengaran dengan tes audiometri nada murni
kepada siswa/i yang terpilih menjadi sampel.
k. Pengumpulan data dari pengisian kuesioner dan hasil pengukuran
fungsi pendengaran dengan pemeriksaan audiometri nada murni.
l. Proses pengolahan data.
m. Pelaporan hasil penelitian.
40
3.4.1 Alur Penelitian
Siswa/i SMA Kelas XI
Pengisian kuesioner
Pemisahan kelompok pengguna PD berisiko dan
kelompok pengguna PD tidak berisiko
Pemilihan sampel dengan teknik simple
random sampling untuk pemeriksaan
Sampel terpilih


Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Anamnesis mengenai perilaku
penggunaan PD
Pemeriksaan dosis
bising
Ambang dengar
Pemeriksaan
audiometri nada murni
Takik
3.5 Manajemen Data
3.5.1 Pengumpulan Data
Data penelitian ini merupakan data primer yang didapatkan dari
kuesioner dan hasil pemeriksaan
audiometri nada murni kepada
subjek yang diteliti. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan seputar
identitas subjek (nama, usia, jenis kelamin) dan gambaran perilaku
penggunaan PD. Pengukuran audiometri dilakukan untuk menentukan
derajat ambang dengar dan melihat kejadian takik pada subjek.
Kemudian data dari kuesioner dicocokkan dengan hasil pengukuran
audiometri tersebut untuk membandingkan fungsi pendengaran pada
pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko.
41
3.5.2 Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Proses editing adalah memastikan data kuesioner telah terisi
dengan lengkap dan data hasil pengukuran fungsi pendengaran
audiometri sudah tepat.
b. Pemberian Kode (Coding)
Data diklasifikasikan dan diberikan kode untuk memudahkan
analisis pada setiap variabel penelitian serta memudahkan
pengolahan dengan komputer.
c. Pemasukan dan Pemprosesan Data (Entry Data)
Data akan dimasukan ke media komputer dan diolah dengan
menggunakan aplikasi program statistik yaitu SPSS.
d. Pembersihan Data (Cleaning Data)
Pembersihan data dilakukan untuk memeriksa kembali data yang
telah masuk dalam media komputer dan memperbaikinya apabila
dalam data tersebut masih terdapat kesalahan.
3.5.3 Analisa Data
3.5.3.1 Analisis Data Univariat
Analisis
data
univariat
bertujuan
untuk
mendeskripsikan variabel-variabel dependen dan independen
sehingga dapat membantu analisis bivariat lebih mendalam.
Analisis ini dilakukan untuk lebih memahami karakteristik
data yang ada. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi serta interpretasinya.29
3.5.3.2 Analisis Data Bivariat
Analisis data bivariat bertujuan untuk mengetahui
kemaknaan hubungan antara variabel dependen dan variabel
42
independen. Pada penelitian ini, digunakan uji Fisher untuk
dua kelompok tidak berpasangan yang memiliki maksud
pemilihan individu pada kelompok yang satu tidak bergantung
pada karakteristik individu kelompok lainnya.28
Penelitian
ini
menggunakan
uji
Fisher
untuk
mengetahui hubungan perilaku penggunaan PD dengan
kejadian takik pada siswa kelas XI SMA yang merupakan
pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko.
Variabel bebasnya adalah kategori penggunaan PD, sedangkan
variabel tergantungnya adalah kejadian takik.
Hasil uji statistik tersebut akan memberikan nilai p.
Nilai α yang ditetapkan dalam penelitian ini sebesar 0,05
dengan interval kepercayaan atau confidence interval (CI)
sebesar 95%, sehingga pemaknaan nilai p adalah sebagai
berikut:28
 Jika p<0,05; maka hipotesis nol ditolak, artinya ada hubungan
bermakna antara penggunaan PD dengan fungsi pendengaran.
 Jika p>0,05; maka hipotesis nol tidak ditolak, artinya tidak ada
hubungan bermakna antara penggunaan PD dengan fungsi
pendengaran.
3.5.4 Rencana Penyajian Data
Data akan disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi
frekuensi dan grafik yang memperlihatkan hasil pemeriksaan fungsi
pendengaran dengan audiometri pada pengguna PD berisiko dan
pengguna PD tidak berisiko (dalam dB) disandingkan dengan beberapa
frekuensi suara (250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan
8000 Hz).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan
PD terhadap fungsi pendengaran pada remaja. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Mei 2016 pada
siswa/i kelas XI di salah satu SMA yang terpilih di Tangerang
Selatan. Pemilihan SMA dilakukan dengan teknik purposive sampling. Sampel
dalam penelitian ini dipilih dengan cara simple random sampling, sehingga
terpilih 50 siswa dari 200 siswa/i kelas XI untuk menjadi responden penelitian.
Disain penelitian yang digunakan dalam peneltian ini adalah cross
sectional. Hasil penelitian didapatkan melalui data primer yakni dengan cara
pengisian kuesioner, wawancara dan pemeriksaan audiometri nada murni.
Sebelum dipilih 50 siswa untuk menjadi responden, seluruh siswa/i kelas
XI SMA di SMA X melakukan pengisian kuesioner untuk mengetahui perilaku
penggunaan PD yang meliputi status penggunaan PD, lama penggunaan PD,
durasi penggunaan PD dalam satu hari, frekuensi penggunaan PD dalam satu
minggu, dosis kebisingan PD yang biasa didengarkan dan kemampuan bercakapcakap saat menggunakan PD. Setelah itu siswa/i dibagi dalam dua kelompok,
yakni kelompok pengguna PD berisiko dan kelompok pengguna PD tidak
berisiko. Pembagian kelompok tersebut didasarkan pada nilai cutoff dari skor
perilaku penggunaan PD pada kuesioner. Skor perilaku penggunaan PD tersebut
terdiri dari beberapa kriteria, yakni status penggunaan PD (skor 1-2), lama
penggunaan PD (skor 1-4), durasi penggunaan PD dalam satu hari (skor 1-3),
frekuensi penggunaan PD dalam satu minggu (skor 1-5), dosis kebisingan PD
(skor 1-6) dan kemampuan bercakap-cakap saat menggunakan PD (skor 1-2).
Semakin rendah skornya, pengguna PD semakin berisiko untuk mengalami
GPAB. Total skor maksimal dari seluruh kriteria adalah 22, sehingga responden
yang mempunyai skor 1-13 digolongkan ke dalam kelompok pengguna PD
berisiko dan responden yang mempunyai skor 14-22 digolongkan ke dalam
kelompok pengguna PD tidak berisiko. Setelah itu peneliti memilih 50 siswa
untuk menjadi responden yang dilakukan pemeriksaan audiometri.
43
44
Pemeriksaan audiometri dilakukan pada kunjungan kedua di SMA X.
Ruang pemeriksaan yang dipilih adalah ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) di
sekolah tersebut. Sebelum pemeriksaan dilakukan, bising lingkungan di ruang
pemeriksaan tersebut diperiksa menggunakan alat multimeasure application.
Berdasarkan hasil pemeriksaan bising lingkungan sebelum pemeriksaan, ruang
UKS tersebut memiliki bising sebesar 50 dB.
Siswa/i yang telah terpilih menjadi responden penelitian dipanggil satupersatu ke dalam ruang pemeriksaan. Terdapat dua responden yang tidak hadir
pada saat pemeriksaan audiometri dan satu responden yang memiliki gangguan
konduktif pada telinganya, sehingga total responden menjadi 47 orang.
Terdapat dua pos pemeriksaan, yakni pos pemeriksaan dosis bising dan
pos pemeriksaan audiometri. Sebelum pemeriksaan dosis bising dan audiometri
dilakukan, setiap responden diwawancara mengenai perilaku penggunaan PD.
Pemeriksaan dosis bising dilakukan menggunakan laptop Lenovo tipe IdeaPad
S210 Touch dan headphone jenis circumaural bermerek Rlens dengan sensitivitas
106 dB ± 3 dB. Responden diminta untuk memejamkan mata sambil
mendengarkan musik dari headphone yang disambungkan ke media player laptop.
Volume suara awal diatur menjadi 0 atau tidak ada suara sama sekali, kemudian
responden diminta untuk menaikkan sendiri volume suaranya sampai volume
yang biasa digunakan atau dirasa nyaman. Pemeriksaan audiometri nada murni
dilakukan pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz dan 8000
Hz. Pemeriksaan audiometri ini dilakukan oleh audiologis yang sudah terlatih dari
perusahaan Hearing Vision.
4.1 Karakteristik Percontoh
Tabel 4.1 Karakteristik Percontoh
Variabel
Rerata Usia
Jenis Kelamin
 Laki-laki
 Perempuan
Pengguna PD Berisiko
16,5 (±0.69 SD)
Pengguna PD Tidak Berisiko
16,3 (±0.77 SD)
11 (37,9%)
18 (62,1%)
5 (27,8%)
13 (72,2%)
45
Penelitian ini diikuti oleh siswa/i SMA kelas XI yang memiliki variasi
usia 15 – 19 tahun. Kelompok pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak
berisiko memiliki rerata usia yang relatif sama (Tabel 4.1). Rerata usia pada
pengguna PD berisiko adalah 16,5 (±0.69 SD), sedangkan rerata usia pada
pengguna PD tidak berisiko adalah 16,3 (±0.77 SD). Perbandingan jenis
kelamin responden pada kelompok pengguna PD berisiko dan kelompok
pengguna PD tidak berisiko juga relatif sama. Kelompok pengguna PD
berisiko memiliki perbandingan jenis kelamin sebesar 37,9% laki-laki dan
62,1% perempuan, sedangkan kelompok pengguna PD tidak berisiko memiliki
perbandingan jenis kelamin sebesar 27,8% laki-laki dan 72,2% perempuan.
Secara keseluruhan jumlah responden perempuan lebih banyak dari responden
laki-laki.
Tabel 4.2 Perilaku Penggunaan PD
Variabel
Pengguna PD
1. Pengguna PD
2. Bukan Pengguna PD
Lama Penggunaan PD
1. < 1 tahun
2. 1 – 2 tahun
3. 3 tahun
4. > 3 tahun
Durasi Penggunaan Per Hari
1. < 1 jam
2. 1 – 2 jam
3. > 2 jam
Frekuensi Penggunaan Per Minggu
1. 0 hari
2. 1 – 2 hari/minggu
3. 3 – 4 hari/minggu
4. 5 – 6 hari/minggu
5. Setiap hari
Dosis Kebisingan PD
1. <20%
2. 20% - 30%
3. 40% - 50%
4. 60% - 70%
5. 80% - 90%
6. 100%
Kemampuan Bercakap-cakap saat
Menggunakan PD
1. Mampu
2. Tidak mampu
n (%)
47 (100)
0 (0)
2 (4,3)
10 (21,3)
9 (19,1)
26 (55,3)
24 (51,1)
17 (36,2)
6 (12,8)
0 (0)
13 (27,7)
9 (19,1)
8 (17,0)
17 (36,2)
0 (0)
3 (6,4)
20 (42,6)
17 (36,2)
7 (14,9)
0 (0)
19 (40,4)
28 (59,6)
46
Gambaran perilaku penggunaan PD didapatkan dari hasil pengisian
kuesioner dan dikonfirmasi dengan wawancara langsung (Tabel 4.2). Hasil
dari pengisian kuesioner dan wawancara tersebut menunjukan bahwa seluruh
responden merupakan pengguna PD. Lama penggunaan PD paling banyak
adalah >3 tahun, durasi penggunaan PD dalam satu hari paling banyak adalah
<1 jam dan frekuensi penggunaan PD dalam satu minggu paling banyak
adalah setiap hari. Dosis bising yang paling banyak digunakan adalah sekitar
40%-50%. Data dosis bising hasil pemeriksaan langsung tidak dapat
digunakan karena tidak adanya alat dosimeter untuk menyesuaikan volume
dari media player laptop dan headphone yang digunakan dengan standar yang
ada, sehingga data dosis bising diambil dari hasil pengisian kuesioner.
Lama penggunaan PD >3 tahun dan penggunaan PD setiap hari perlu
menjadi perhatian, karena berdasarkan literatur, gangguan pendengaran akibat
bising (GPAB) atau noise induce hearing lose (NIHL) dapat disebabkan oleh
paparan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang lama, yakni sekitar
5 sampai 10 tahun.16 Berdasarkan literatur yang lain, kenaikan ambang
pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi
pemaparan, namun terdapat pendapat lain yang menyebutkan GPAB baru
akan terjadi setelah 10 sampai 15 tahun terjadi pemaparan.19
Sebesar 59,6% responden tidak mampu bercakap-cakap dengan jelas
saat menggunakan PD sehingga harus menurunkan volume atau melepas PD.
Hal ini menunjukan bahwa lebih dari setengah responden menggunakan PD
dengan volume yang cukup keras sehingga menyebabkan suara lingkungan
tidak dapat terdengar dengan jelas.
Dosis kebisingan PD sebesar 40%-50% masih aman untuk digunakan
apabila penggunaan PD tidak digunakan lebih dari 4 jam dalam sehari. Dosis
bising sebesar 80%-90% cukup berisiko menimbulkan GPAB bila digunakan
lebih dari 1 jam per hari. Berdasarkan literatur penggunaan pemutar musik
digital dengan volume maksimal, yakni sekitar 100 desibel, hanya boleh
digunakan maksimal 5 menit.16 Maka dari itu, penting sekali untuk
menyesuaikan intensitas, frekuensi dan dosis bising yang digunakan dalam
47
penggunaan PD. Sangat dianjurkan penggunaan volume rendah agar lebih
aman untuk pendengaran.
Selain itu, untuk mencegah terjadinya GPAB akibat penggunaan PD,
remaja harus diberikan informasi dan peringatan dini, seperti pengenalan pada
level volume musik yang aman untuk didengarkan.30,31 Hal tersebut bukan
merupakan tanggung jawab dari produsen MP3 players saja, tetapi juga
merupakan tanggung jawab sekolah, pemegang kebijakan kesehatan dan
orangtua untuk memberikan informasi kepada remaja tentang potensi bahaya
mendengarkan musik keras dengan menggunakan PD dan cara memproteksi
diri terhadap bahaya tersebut.9
4.2 Prevalensi Kejadian Takik dan Ambang Dengar pada Pengguna PD
Berisiko dan Pengguna PD Tidak Berisiko
Tabel 4.3 Prevalensi Kejadian Takik dan Ambang Dengar pada Pengguna PD
Berisiko dan Pengguna PD Tidak Berisiko pada Siswa SMA X
Pengguna Berisiko
Pengguna Tidak Berisko
n (%)
n (%)
Takik AD
1 (3,4)
1 (5,6)
Takik AS
2 (6,9)
0 (0)
Takik Gabungan
3 (10,3)
1 (5,6)
Ambang dengar kanan ≤ 25 dB
28 (96,6)
14 (77,8)
Ambang dengar kanan > 25 dB
1 (3,4)
4 (22,2)
Ambang dengar kiri ≤ 25 dB
28 (96,6)
14 (77,8)
Ambang dengar kiri > 25 dB
1 (3,4)
4 (22,2)
Takik dinyatakan apabila terdapat kenaikan intensitas ≥10 dB pada
frekuensi 4000 Hz dibandingkan dengan frekuensi sebelumnya (2000 Hz).16
Data pemeriksaan audiometri menunjukan bahwa responden pengguna PD
yang mengalami takik di telinga kanan sebesar 3,4%, telinga kiri sebesar
6,9% dan takik gabungan sebesar 10,3% (Tabel 4.3). Sedangkan pada
pengguna PD tidak berisiko, responden yang mengalami takik di telinga
kanan sebesar 5,6%, telinga kiri sebesar 0% dan takik gabungan sebesar
48
5,6%. Data ini menunjukan bahwa kejadian takik lebih banyak terjadi pada
pengguna PD berisiko daripada pengguna PD tidak berisiko.
Ambang dengar dihitung dari rerata intensitas di frekuensi 500 Hz,
1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz. Ambang dengar 0 – 25 dB masih tergolong
normal, sedangkan ambang dengar >25 dB masuk ke dalam kategori tuli
ringan. Data di atas menunjukan persentase responden pada kelompok
pengguna PD berisiko dan pengguna PD tidak berisiko yang memiliki
ambang dengar ≤ 25 dB dan > 25 dB. Jumlah responden pada pengguna PD
berisiko yang ambang dengar telinga kanan dan kirinya >25 dB sebesar 3,4%.
Sedangkan jumlah responden pada pengguna tidak berisiko yang ambang
dengarnya >25 dB sebesar 22,2%. Data tersebut menunjukan bahwa
pengguna tidak berisiko memiliki peningkatan ambang dengar yang lebih
tinggi.
4.3 Hubungan Perilaku Penggunaan PD terhadap Kejadian Takik
Berdasarkan data di atas, peneliti mencoba menghubungkan perilaku
penggunaan PD dengan fungsi pendengaran pada responden dengan melihat
adanya kejadian takik.
Tabel 4.4 Hubungan Perilaku Penggunaan PD terhadap Kejadian Takik
Kategori Kejadian Takik
Kategori Pengguna PD
Berisiko
Tidak Berisiko
Total
Takik
Tidak Takik
3
1
4
26
17
43
Total
p-value
29
18
47
1,000
Jumlah responden yang mengalami kejadian takik pada kelompok
pengguna PD berisiko sebanyak 3 orang, sedangkan pada pengguna PD tidak
berisiko sebanyak 1 orang.
Hubungan
penggunaan
PD
terhadap
kejadian
takik
diuji
menggunakan Fisher. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan
antara penggunaan PD terhadap kejadian takik (p=1,000). Hal ini berbeda
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Terdapat beberapa penelitian yang
49
mendapatkan hasil bermakna pada hubungan antara penggunaan PD dengan
fungsi pendengaran.
Hal ini dapat disebabkan oleh karena responden yang dipilih pada
penelitian ini memiliki rerata usia remaja yang tergolong muda, yakni sekitar
16 tahun. Usia muda memungkinkan sel-sel rambut telinga lebih cepat dan
mudah mengompensasi kerusakan sel akibat paparan bising yang keras dan
kontinu. Suatu penelitian di Jerman menunjukan bahwa prevalensi takik
hanya sebesar 2,9% pada 1843 remaja usia 15-16 tahun yang memiliki risiko
terpapar suara musik.32 Sedangkan pada penelitian-penelitian lainnya yang
notabene dilakukan di luar negeri, subjek penelitian yang dipilih memilki usia
rerata yang lebih tinggi. Suatu penelitian menyebutkan bahwa kejadian
GPAB biasanya belum terjadi pada usia 12-19 tahun, namun akan meningkat
pada usia di atas 20 tahun.33
Hasil yang tidak signifikan dari penelitian ini juga dapat disebabkan
oleh kurangnya durasi, intensitas, frekuensi dan volume bising sehingga tidak
terlalu berpengaruh dengan kejadian GPAB. Suatu peneltian membandingkan
kejadian takik antara kelompok pengguna PD dengan 8-h equivalent music
exposure levels (LAeq8h) <75dB dan kelompok pengguna PD dengan
LAeq8h ≥75 dB. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat
inseiden tinitus, gangguan mendengar dan ambang dengar yang lebih tinggi
pada pada pengguna PD dengan LAeq8h >85 dB yang sudah menjadi
pengguna selama 4 tahun.34
Selain itu, kebiasaan remaja di negara barat yang rutin mengonsumsi
alkohol dan rokok diperkirakan juga memengaruhi hasil penelitian. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa paparan bising kontinu yang dibarengi
dengan konsumsi alkohol dan rokok dapat meningkatkan risiko tuli
senorineural
pendengaran.
dan
meningkatkan
perluasan
dari
kerusakan
organ
35
Kebiasaan remaja barat mendengarkan musik keras di acara-acara
konser dan diskotik juga dapat mempengaruhi hasil penelitian.37 Remaja
50
barat biasanya terpapar musik diskotik secara kontinu selama empat jam
dalam seminggu. Suatu penelitian menyebutkan prevalensi GPAB pada
remaja dengan rerata usia 18 tahun akibat kombinasi dari paparan konser
musik rock, diskotik dan earphone adalah sebesar 36%.38 Volume suara
musik diskotik yang bervariasi antara 104,3 dB sampai 112,4 dB merupakan
volume yang cukup berisiko untuk menimbulkan gangguan pendengaran.36
Beberapa faktor ini pada akhirnya dapat mempengaruhi kebermaknaan
hubungan GPAB dan paparan musik keras dengan perantara PD pada
penelitian-penelitian sebelumnya.
Fungsi pendengaran tidak dinilai dari ambang dengar karena pada
penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan otoskopi sebelum pemeriksaan
audiometri. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya beberapa kemungkinan
seperti serumen atau kelainan konduktif lainnya yang tidak terdeteksi dan
dapat menyebabkan peningkatan ambang dengar pada pemeriksaan
audiometri. Sehingga pada penelitian ini data ambang dengar tidak digunakan
untuk menghindari adanya bias informasi.
Tabel 4.5 Hubungan Ambang Dengar terhadap Kejadian Takik
Ambang dengar
Dextra ≤ 25 dB
Dextra > 25 dB
Total
Sinistra ≤ 25 dB
Sinistra > 25 dB
Total
Analisis
Kategori Kejadian Takik
Tidak Takik
Takik
38
4
5
0
43
4
38
4
5
0
43
4
hubungan
ambang
dengar
Total
42
5
47
42
5
47
terhadap
p-value
1,000
1,000
kejadian
takik
menunjukan bahwa tidak terdapatnya hubungan antara ambang dengar kanan
dan kiri terhadap kejadian takik (Fisher; p=1,000). Hal ini menunjukan bahwa
tidak dilakukannya otoskopi sebelum pemeriksaan audiometri kemungkinan
besar tidak memengaruhi kejadian takik yang diperoleh.
Data ambang dengar menunjukan bahwa hanya terdapat 5 responden
yang mengalami ambang dengar >25 dB. Hal ini menunjukan bahwa
51
kemungkinan kejadian ambang dengar yang meningkat disebabkan oleh
kelainan konduktif seperti serumen dan tidak dipengaruhi oleh bising
lingkungan.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Tidak dilakukannya
pemeriksaan otoskopi sebelum pemeriksaan audiometri pada peneltian ini
menimbulkan bias informasi dari hasil pemeriksaan audiometri. Responden
yang mengalami sumbatan serumen, perforasi membran timpani dan kelainan
struktur telinga lainnya tidak dapat diidentifikasi karena tidak adanya
pemeriksaan
otoskopi.27
Namun,
hal
ini
dapat
diantisipasi
dengan
mengidentifikasi penurunan ambang dengar di frekuensi tertentu. Penurunan
ambang dengar pada gangguan konduktif akan cenderung terjadi pada
frekuensi tinggi dibanding frekuensi rendah. Sedangkan pada gangguan
sensorineural, penurunan ambang dengar terjadi pada frekuensi nada tinggi
dan memiliki kekhasan berupa kejadian takik.16
Tidak dilakukannya anamnesis mengenai paparan bising lingkungan
selain dari penggunaan PD juga dapat menimbulkan bias informasi. Sehingga
apabila terjadi penurunan ambang dengar atau kejadian takik pada hasil
pemeriksaan, belum dapat dipastikan sepenuhnya bahwa gangguan tersebut
diakibatkan oleh penggunaan PD.
Data pemeriksaan dosis bising menggunakan circumaural headphone
dan media player laptop tidak dapat digunakan karena tidak adanya alat
dosimeter yang dapat mengonversi volume media player laptop dalam satuan
persen ke dalam satuan desibel.
Pemeriksaan audiometri nada murni tidak dilakukan di ruang kedap
suara dengan standar bising yang sesuai. Menurut OSHA, intensitas bising
maksimum pada ruang pemeriksaan audiometri adalah 40 dB.39 Hal ini
menyebabkan data peningkatan ambang dengar tidak dapat dipastikan sebagai
gangguan pendengaran, sehingga penelitian ini tidak dapat meneliti hubungan
antara perilaku penggunaan PD dengan peningkatan ambang dengar atau
gangguan pendengaran.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Seluruh responden merupakan pengguna PD. Lama penggunaan PD paling
banyak adalah >3 tahun, durasi penggunaan PD dalam satu hari paling
banyak adalah <1 jam dan frekuensi penggunaan PD dalam satu minggu
paling banyak adalah setiap hari. Sedangkan untuk dosis kebisingan PD
yang paling banyak digunakan adalah sekitar 40%-50%. Pengguna PD
yang mampu bercakap-cakap saaat menggunakan PD sebesar 59,6%.
2. Tidak didapatkan hubungan antara perilaku penggunaan PD dengan GPAB
yang dilihat dari kejadian takik (Fisher; p>0,05).
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya
pemeriksaan
otoskopi
sebelum
pemeriksaan
audiometri
untuk
menyingkirkan bias informasi dari hasil pemeriksaan akibat gangguan
konduktif, seperti sumbatan serumen dan perforasi membran timpani.
Selain itu diperlukan pula pemeriksaan otoacoustic emissions (OAE) dan
timpanometri untuk lebih memastikan gangguan pendengaran.
Anamnesis mengenai risiko paparan bising di luar penggunaan PD
perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan faktor terjadinya
GPAB di luar penggunaan PD.
Diperlukan alat dosimeter untuk mengonversi volume media
player laptop dalam satuan persen ke dalam satuan desibel agar data dosis
bising dapat diambil dari hasil pemeriksaan langsung.
Pemeriksaan audiometri harus dilakukan di ruang kedap suara
dengan intensitas bising dibawah 40 dB untuk menentukan secara akurat
gangguan pendengaran yang dilihat dari peningkatan ambang dengar.
52
53
Diperlukan booth audiometri yang dapat dibawa saat akan melakukan
pemeriksaan
audiometri
di
tempat-tempat
tertentu.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Hellstrom PA, Axelsson A. Sound levels, hearing habits and hazards of
using portable cassette players. J Sound Vib. 1998;127:521-8.
2. Elisabeth H, Marcia AT, Christopher H. Prevalence of noise-induced
hearing-treshold shifts and hearing loss among us youths. Pediatrics.
2011;127:e39.
3. Kasper CA. The simple guide to optimum hearing health for the MP3
generation. New York: Au D; 2006.
4. Chung JH, Des Roches CM, Meunier J, Eavey RD. Evaluation of noiseinduced hearing loss in young people using a web-based survey technique.
Pediatrics. 2005;115:861-7.
5. Crandell C, Mills TL, Gauthier R. Knowledge, behaviors, and attitudes
about hearing loss and hearing protection among racial/ethnically diverse
young adults. J Natl Med Assoc. 2004;96:176-86.
6. Rabinowitz P. Noised induced hearing loss. American Family Physician.
2000;61:2749-60.
7. Lukes E, Johnson M. Hearing conservation: an-industry school
partnership. J Sch Nurs. 1999;15:22-5.
8. Broste SK, Hansen DA, Strand RL, Stueland DT. Hearing loss among
high school farm students. Am J Public Health. 1989;79:619-22.
9. Vogel I, Brug J, Hosli EJ, van der Ploeg CP, Raat H. MP3 players and
hearing loss: adolescents’ perceptions of loud music and hearing
conservation. J Pediatr. 2008 Mar;152(3):400-4
10. Fligor BJ, Ives T. Does earphone type affect risk for recreational noiseinduced hearing loss?. Etymotic Reasearch. 2006.
11. Niskar AS, Kieszak SM, Holmes AE. Estimated prevalences of noiseinduced threshold shifts among children 6 – 19 years of age. Pediatrics
1988 – 1944; 108: 40-43.
55
12. Scientific Committee on Emerging and Newly Identified Health Risks. z.
Brussels: European Commission 2008.
13. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology 12th
edition. US America: John Wiley & Sons 2009; 620-33
14. Gabriel JF. Fisika Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
1996; 87-95.
15. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. Edisi 7. USA:
Brooks/Cole 2010; 213-16.
16. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise
Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J
& Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-7. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI 2012; 42-45.
17. Chandra B. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC 2005; 169-70.
18. Hall JE. Guyton dan Hall buku ajar fisiologi kedokteran edisi Keduabelas.
Singapura: Elsevier 2011; 681-90.
19. Rambe A. Gangguan pendengaran akibat bising. Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera
Utara: USU Digital Library 2003.
20. Jeyaratnam J. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC 2009.
21. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Noise-induced hearing loss
in children. Laryngoscope 1992;102:645-55.
22. Airo E. Pekkarinen J. Olkinuora PS. Listening To Music With Earphones:
A
Noise
Exposure
Assessment.
Hearnet
2007.
Diakses
di:
http://www.saif.com/_files/SafetyHealthGuides/S-839.pdf pada tanggal
1/8/2016.
56
23. Frank T. Basic Instrumen and Calibration. Dalam: Roeser RJ, Valente M,
Hosford-Dunn H. Audiologi Diagnosis. United State of America: Thieme
Medical Publisher 2000; 185-187.
24. Rabinowitz PM. Hearing Loss and Personal Music Players. BMJ 2010.
Diakses di: http://www.bmj.com/content/340/bmj.c1261.full pada tanggal
1/8/2016.
25. Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor: KEP 51/MEN/1999. Tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.1999.
26. Hernita SY. Perbanding Ketepatan Tes Garpu Tala dengan Audiometri
Nada Murni dalam Penentuan Jenis Kurang Pendengaran. 2005. Diakses
di: http://www.m3undip.org/ed1/artikel_05.htm
27. Penuntun Pemeriksaan Audiometri. Dalam: Penuntun Praktikum Fisiologi
Modul Indra. Jakarta: Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 2010.
28. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjarwo SR. Studi Cross Sectional.
Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara 1995;66-77.
29. Dahlan M. Sopiyudin. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 3.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika 2011; 2-15.
30. Biassoni EC, Serra MR, Richtert U. Recreational noise exposure and its
effect on the hearing of adolescents. Part II: development of hearing
disorders. Int J Audiol 2005;44:74-85.
31. Hellstrom PA, Axelsson A, Costa O. Temporary threshold shift induced by
music. Scand Audiol Suppl 1998;48:87-94.
32. Twardella D, Perez-Alvarez C, Steffens T, Bolte G, Fromme H, VerdugoRaab U. The prevalence of audiometric notches in adolescents in
Germany: The Ohrkan-study. Noise Health 2013;15:412-9
57
33. Daniel E. Noise and hearing loss: a review. J Sch Health. 2007;77(5):
225–231
34. Sulaiman AH1, Husain R, Seluakumaran K. Hearing Risk among Young
Personal Listening Device Users: Effects at High-Frequency and
Extended High-Frequency Audiogram Thresholds. J Int Adv Otol 2015
Aug;11(2):104-9.
35. Heyman MH, Storch S, Anent ME. The fat overload syndrome. Am J Dis
Child 1981; 135: 628-30.
36. Serra MR, Biassoni EC, Utz R, Minoldo G, Franco G, et al. Recreational
noise exposure and its effects on the hearing of adolescents. Part I: An
interdisciplinary long-term study. Int J Audiol 2005; 44, 65-73.
37. Bogoch II, House RA, Kudla I. Perceptions about hearing protection and
noise-induced hearing loss of attendees of rock concerts. Canadian Journal
of Public Health 2005; 96.
38. Williams W, Beach EF, Gilliver M. Clubbing: the cumulative effect of
noise exposure from attendance at dance clubs and night clubs on wholeof-life noise exposure. Noise Health 2010;12:155-8.
39. Occupational Safety and Health Administration (OSHA) (1981).
Occupational Noise Exposure: Hearing Conservation Amendment. Fed.
Regist. 46(11), 4078-4181
58
Lampiran 1
Surat Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan Data
59
Lampiran 2
Kuesioner Penelitian
KUOSIONER PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA
KELAS DUA SMA TERHADAP PENGGUNAAN
PERSONAL LISTENING DEVICE (PLD)
I.
IDENTITAS RESPONDEN
1.
Nama
2.
Usia
Kelas:
3.
No HP
4.
Jenis Kelamin
1. Laki-laki 2. Perempuan
II.
GAMBARAN PENGGUNAAN HEADSET
KEBIASAAN ANDA MENGGUNAKAN HEADSET
1. Ya
1. Apakah anda mendengarkan music
menggunakan headset?
2. Tidak
1. < 1 tahun
2. Sudah berapa lama anda
mengunakan headset?
2. 1-2 tahun
3. 3 tahun
4. > 3 tahun
Dalam
seminggu
berapa
hari
anda
1. 1-2 hari/minggu
3.
mendengarkan musik menggunakan
2. 3-4 hari/minggu
headset?
3. 5-6 hari/ minggu
4. Setiap hari
1. < 1 jam
4. Berapa lama waktu yang anda
gunakan setiap kali medengarkan
2. 1-2 jam
musiK menggunakan headset?
3. >2 jam
5. Apa yang biasanya Anda gunakan untuk 1. Ipod
mendengarkan musik?
2. Mp3/Mp4 player
3. Handphone (HP)
4. Laptop/Komputer
7. Lain-lain : ____________
6.
Berapa tingkat volume yang biasa
anda set di media player anda saat
mendengarkan musik menggunakan
headset?
1. < 20 %
2. 20 % - 30 %
3. 40% - 50 %
4. 60 % - 70 %
5. 80 % - 90 %
6. 100 %
60
Lampiran 2
Kuesioner Penelitian (Lanjutan)
7.
Headset jenis apa yang biasanya
anda gunakan?
1. Circumaural
2. Supra-aural
3. Earbuds atau earphones
4. Canalphones
8.
Pada saat anda menggunakan
headset (pada kedua telinga) ,
Apakah anda dapat dengan jelas
melakukan percakapan tanpa harus
menurunkan volume/ mematikan
media player anda?
1. Ya dapat
2. Tidak dapat
61
Lampiran 3
Audiogram Pemeriksaan Audiometri
62
Lampiran 4
Hasil Uji Statistik
A. Uji Normalitas dan Varians Data
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Takik
Statistic
Df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Perilaku Penggunaan
1.00
.152
43
.014
.957
43
.108
PD
2.00
.283
4
.
.863
4
.272
a. Lilliefors Significance Correction
63
Lampiran 4
Hasil Uji Statistik (Lanjutan)
B. Uji Fisher
Cutoff 60% * Takik Crosstabulation
Count
Takik
1.00
Cutoff 60%
2.00
Total
Berisiko
26
3
29
Tidak Berisiko
17
1
18
43
4
47
Total
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
(2-sided)
1
.567
.001
1
.973
.346
1
.557
.327
b
df
a
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
sided)
1.000
.320
N of Valid Cases
1
.571
47
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.53.
b. Computed only for a 2x2 table
.502
64
Lampiran 5
Gambar Proses Penelitian
Gambar 6.1 Anamnesis
Perilaku Penggunaan PD
Gambar 6.3 Pemeriksaan
Audiometri Nada Murni
Gambar 6.2 Pemeriksaan
Dosis Bising
65
Lampiran 6
Riwayat Penulis
Identitas
Nama
: Febianza Mawaddah Putri
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 2 Februari 1996
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Cendrawasih IV No. I RT 004/015
Jatisampurna, Bekasi 17433
Email
: [email protected]
Riwayat Pendidikan

2001-2007
: SDIT Al-Ishmah

2007-2010
: SMPIT Al-Ishmah

2010-2013
: SMA Negeri 5 Bekasi

2013-sekarang
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download