LATAR BELAKANG

advertisement
Naskah Akademik
Penataan Peraturan
Perundang-undangan Kemetrologian
untuk Mendukung
Daya Saing Nasional
Husein A. Akil
Dede Erawan
Donny Purnomo
Agustinus Praba Drijarkara
Dwi Kirana Yuniasti
Dadang Rustandi
Sunarya
© 2007 Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi*
Katalog dalam Terbitan
Naskah Akademik Penataan Peraturan Perundang-undangan Kemetrologian untuk Mendukung
Daya Saing Nasional/Husein A. Akil, Dede Erawan, Donny Purnomo, Agustinus Praba
Drijarkara, Dwi Kirana Yuniasti, Dadang Rustandi, Sunarya. – Jakarta: LIPI Press, 2007.
vii + 132 hlm.; 17,5 x 23,5 cm
ISBN 978-979-799-199-9
1. Metrologi - Perundang-undangan
2. Daya Saing Nasional
389.1
*Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi
Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310
Telp.: (021) 7560571, 7560533
Fax. : (021) 7560568
Sampul:
Desain: A. Praba Drijarkara
Metrologi mempunyai dampak dalam banyak hal yang kita alami sehari-hari, di antaranya pemeriksaan
kesehatan, explorasi dan transaksi minyak dan gas, industri elektronika dan permesinan, navigasi,
keselamatan transportasi, keselamatan radiasi nuklir, keamanan fasilitas publik dan lain-lain.
Foto: gimp-savvy.com, www.public-domain-photos.com, www.publicdomainpictures.net,
www.stockvault.net, www.wpclipart.com.
ii
KATA PENGANTAR
Pentingnya metrologi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara terlihat
dengan jelas melalui penetapan kebijakan metrologi nasional melalui sebuah undangundang oleh hampir semua negara di dunia. Negara-negara maju seperti Prancis, Kerajaan
Inggris, Amerika Serikat dan Jerman telah mengembangkan UU kemetrologian modern
sejak masa Revolusi Industri, dan melakukan pengembangan sistem metrologi yang
kemudian digunakan sebagai dasar-dasar sistem metrologi internasional dan digunakan
secara luas dalam percaturan internasional. Di Indonesia, UU kemetrologian diawali sejak
bangsa Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, terus berlanjut hingga
bangsa kita menyatakan kemerdekaan hingga akhirnya UU kemetrologian berevolusi
menjadi wujudnya yang berlaku di wilayah RI saat ini yaitu UU No. 2 Tahun 1981 dan
sampai saat ini belum mengalami perubahan.
Dewasa ini diperlukan penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian terutama
dalam rangka peningkatan daya saing nasional. Penataan peraturan perundang-undangan
kemetrologian ini dipandang perlu karena sistem metrologi pada saat ini telah menjadi
sebuah sistem yang diharmonisasikan secara internasional sebagai infrastruktur dasar
untuk memfasilitasi perdagangan global dalam kerangka World Trade Organization
Agreement on Technical Barrier to Trade (WTO-TBT).
Dalam Naskah Akademik ini dielaborasi secara komprehensif hasil dari identifikasi
permasalahan yang timbul dari implementasi peraturan perundang-undangan
kemetrologian yang berlaku saat ini di wilayah RI, serta dikemukakan tentang penjelasan
atas permasalahan substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian yang
menyebabkan kurang efektifnya sistem metrologi nasional dalam mendukung daya saing.
Dalam Naskah Akademik ini dikemukakan suatu rekomendasi atau solusi yang perlu
dilakukan guna mengatasi permasalahan yang menyebabkan kurang efektifnya fungsi
sistem metrologi nasional, khususnya untuk mendukung daya saing nasional dalam pasar
global.
Tim penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT dengan berhasil diselesaikannya
penulisan Naskah Akademik ini. Diharapkan Naskah Akademik ini pada akhirnya dapat
digunakan sebagai landasan penulisan pasal demi pasal peraturan perundang-undangan
kemetrologian utama yang diperlukan untuk mengatur sistem metrologi nasional secara
efektif dan efisien. Tak lupa diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi secara signifikan dalam penyusunan Naskah Akademik ini, terutama
kepada mereka yang turut bergabung dalam diskusi subtansi pada Focus Group
Discussion (FGD).
Tim Penyusun
iii
RINGKASAN
Metrologi adalah sebuah istilah yang mempunyai banyak aspek. Dari sisi ilmiah,
metrologi berarti ilmu pengetahuan mengenai tatacara dan sistem pengukuran. Walaupun
masyarakat pada umumnya tidak terlalu akrab dengan istilah atau konsep metrologi,
implikasi metrologi sangat besar artinya bagi kehidupan mereka sehari-hari. Metrologi
bertujuan untuk memberikan hasil pengukuran yang benar. Tanpa metrologi, hasil dari
suatu pengukuran tidak dapat dijamin kebenarannya.
Kebenaran suatu hasil pengukuran hanya dapat dipastikan jika ada suatu acuan
pengukuran yang diakui oleh semua pihak yang berkepentingan dengan hasil pengukuran
tersebut. Secara teknis, diperlukan suatu acuan berupa standar fisik, metode-metode baku
dan kompetensi untuk melakukan pengukuran pada berbagai tingkat ketelitian. Hal ini
disebut sebagai infrastruktur metrologi.
Pengukuran dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk banyak keperluan: memastikan
jumlah atau ukuran komoditas yang diperdagangkan, guna menentukan nilai transaksinya; memastikan bahwa suatu produk mempunyai karakteristik yang sesuai dengan
suatu spesifikasi tertentu, guna memenuhi kebutuhan konsumen yang akan menggunakannya; memastikan bahwa peralatan ukur yang dipergunakan untuk keperluan medis
mempunyai akurasi yang memadai, guna melindungi kesehatan masyarakat; memastikan
bahwa sarana publik seperti kendaraan umum berada dalam kondisi layak pakai, guna
melindungi keselamatan umum, dan lain-lain.
Dikaitkan dengan daya saing produk, pengukuran merupakan suatu bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian terhadap komoditas yang
diperdagangkan. Bagi produk nasional yang akan diekspor, bukti penilaian kesesuaian
terhadap standar yang dipersyaratkan oleh negara tujuan adalah syarat mutlak.
Sebaliknya, untuk memastikan bahwa produk impor tidak membahayakan konsumen di
Indonesia dan tidak menimbulkan persaingan tidak sehat bagi produk lokal, maka harus
ada sistem standardisasi dan penilaian kesesuaian yang handal, yang didukung oleh
sistem pengukuran yang dapat dipercaya. Dalam hal ini dapat ditunjukkan bahwa
pengukuran mempunyai kaitan langsung terhadap daya saing bangsa.
Memperhatikan dampak pengukuran terhadap kepentingan umum, maka negara harus
melindungi rakyatnya dengan membuat regulasi yang baik tentang sistem, tatacara,
peralatan dan lembaga yang berkaitan dengan metrologi. Naskah ini merupakan suatu
hasil kajian mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai metrologi yang
berlaku di Indonesia saat ini, mulai dari Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang
Metrologi Legal hingga ke peraturan-peraturan pemerintah dan keputusan-keputusan
presiden dan menteri yang mempunyai kaitan dengan pengukuran. Selain mengkaji
iv
peraturan-peraturan tersebut secara terpisah, dilakukan juga perbandingan dengan praktik
dan rekomendasi internasional dalam bidang metrologi.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada saat ini belum mengatur hal
ikhwal metrologi secara komprehensif, dan ada beberapa peraturan yang tumpang tindih.
Juga masih ada kesenjangan antara praktik internasional dengan kondisi di Indonesia,
baik dari segi peraturannya maupun pelaksanaanya.
Rekomendasi yang diberikan adalah penataan semua peraturan mengenai metrologi,
dimulai dengan revisi Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal, dan
kemudian diikuti perangkat peraturan turunannya. Oleh karena itu, Naskah Akademik ini
dimaksudkan sebagai landasan dalam menyusun rancangan undang-undang metrologi,
sebagai pengganti UU No. 2/1981.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... iii
RINGKASAN................................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.1.1 Latar Belakang Filosofis................................................................................................ 2
A. Kebutuhan Pengukuran.................................................................................................2
B. Lingkup Kegiatan Kemetrologian.................................................................................7
C. Peran Negara dalam Kegiatan Kemetrologian............................................................11
D. Perlunya Kesesuaian antara Sistem Metrologi Nasional dan Internasional............... 11
1.1.2 Latar Belakang Historis................................................................................................12
1.1.3 Latar Belakang Sosio-Ekonomi................................................................................... 15
A. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat ...................................................................... 15
B. Perlindungan Kepentingan, Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Masyarakat,
serta Kelestarian Lingkungan.................................................................................... 17
C. Perlindungan Devisa Negara.......................................................................................18
D. Peningkatan Daya Saing Nasional..............................................................................21
1.1.4 Latar Belakang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi....................................................... 27
1.1.5 Landasan Yuridis..........................................................................................................31
1.2 Cakupan Naskah Akademik.................................................................................. 35
1.3 Proses dan Metodologi Penyusunan Naskah Akademik........................................ 36
II. PENGEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMETROLOGIAN.................................................................................................. 38
2.1 Latar Belakang dan Lingkup Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian..... 39
2.2 Otoritas Kegiatan Kemetrologian ......................................................................... 41
2.3 Lembaga-Lembaga Kemetrologian....................................................................... 45
2.4 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran......................................................... 51
2.4.1 Satuan Pengukuran....................................................................................................... 51
2.4.2 Standar Pengukuran Nasional ..................................................................................... 54
2.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran ...........................................60
2.5 Metrologi Legal..................................................................................................... 63
2.5.1 Lingkup Kegiatan Metrologi Legal..............................................................................63
2.5.2 Implementasi Kegiatan Metrologi Legal......................................................................67
2.5.3 Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal..........................................75
2.5.4 Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal..................................76
vi
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN NASIONAL...79
3.1 Latar Belakang dan Lingkup Undang-Undang Kemetrologian.............................. 80
3.2 Otoritas Kegiatan Kemetrologian.......................................................................... 82
3.3 Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional........................................................ 84
3.4 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran......................................................... 89
3.4.1 Satuan Pengukuran ...................................................................................................... 89
3.4.2 Standar Pengukuran Nasional...................................................................................... 90
3.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran............................................97
3.5 Metrologi Legal .................................................................................................... 98
IV. PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN
NASIONAL.............................................................................................................. 105
4.1 Kelemahan Substansi UU No. 2 Tahun 1981...................................................... 106
4.1.1 Latar Belakang dan Lingkup Kegiatan Kemetrologian..............................................106
4.1.2 Prinsip Dasar Kegiatan Kemetrologian......................................................................107
4.1.3 Otoritas Kegiatan Kemetrologian...............................................................................107
4.1.4 Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional.............................................................109
4.1.5 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran.............................................................110
4.1.6 Metrologi Legal..........................................................................................................111
4.2 Kelemahan Implementasi UU No. 2 Tahun 1981................................................ 112
4.3 Penataan Undang-Undang Kemetrologian sebagai Sebuah Kebutuhan............... 114
V. USULAN PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMETROLOGIAN NASIONAL........................................................................... 115
5.1 Pokok-Pokok Revisi Undang-Undang Kemetrologian........................................ 115
5.2 Usulan Cakupan Substansi Undang-Undang Metrologi Nasional....................... 116
5.2.1 Lingkup dan Latar Belakang Undang-Undang Kemetrologian................................. 117
5.2.2 Otoritas dan Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional ....................................... 118
5.2.3 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran.............................................................121
A. Satuan Pengukuran................................................................................................... 121
B. Standar Pengukuran Nasional................................................................................... 122
C. Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran........................................ 124
5.2.4 Kegiatan Metrologi Legal.......................................................................................... 125
A. Lingkup Kegiatan Metrologi Legal.......................................................................... 125
B. Implementasi Kegiatan Metrologi Legal.................................................................. 126
C. Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal...................................... 128
D. Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal.............................. 129
5.3 Saran Untuk Implementasi ................................................................................. 129
vii
PUSTAKA..................................................................................................................... 133
Lampiran 1. Daftar Peraturan Perundang-undangan Terkait Pengukuran....................... 136
Biografi Penyusun.......................................................................................................... 139
Indeks Alfabetis............................................................................................................. 143
viii
I. PENDAHULUAN
Daya saing sebuah bangsa dalam konteks globalisasi dapat dipahami secara sederhana
sebagai kemampuan sebuah bangsa untuk dapat diterima sebagai pemain dalam rantai
produksi dan transaksi global. Dalam konteks ini, sebuah bangsa yang tidak memiliki
daya saing yang memadai akan terombang-ambing dalam percaturan internasional. Untuk
dapat bersaing dalam rantai produksi dan transaksi global, sebuah bangsa harus mampu
memenuhi persyaratan-persyaratan produksi dan transaksi yang ditetapkan oleh para
pemain pasar global dan juga mampu menerapkan aturan-aturan dalam pasar dalam
negeri untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara. Pemerintah Republik Indonesia
telah meratifikasi the Agreement on Establishing World Trade Organization (WTO)
melalui UU No. 7 Tahun 1994. Ratifikasi terhadap kesepakatan pendirian WTO ini secara
otomatis mewajibkan pemerintah RI menerima seluruh kesepakatan internasional dalam
kerangka WTO. Salah satu perjanjian di dalam kerangka WTO yang harus dipahami dan
dimanfaatkan oleh bangsa ini untuk dapat meningkatkan daya saingnya adalah World
Trade Organization Agreement on Technical Barrier to Trade (WTO-TBT) .
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam konteks globalisasi, setiap negara di dunia menghendaki agar produk nasionalnya,
baik berupa barang maupun jasa dapat menjadi komoditas internasional yang dapat
bergerak bebas dan dapat diterima di seluruh dunia. Di sisi lain, setiap negara di dunia
juga menghendaki agar pasar domestiknya tidak dibanjiri oleh barang maupun jasa yang
dapat merugikan kepentingan nasionalnya. WTO-TBT merupakan kesepakatan oleh
semua negara anggota WTO dengan tujuan menjaga keadilan pasar internasional. Oleh
karena itu di dalam kerangka WTO-TBT, setiap negara diberi kewenangan untuk
menetapkan regulasi teknis untuk melindungi pasar domestiknya; regulasi ini harus
bersifat transparan bagi seluruh negara anggota lainnya dan sejauh mungkin harus
didasarkan pada standar (dokumen) internasional yang ditetapkan oleh organisasi
standardisasi internasional. Berdasarkan ketentuan ini, negara-negara lain yang
berkehendak untuk menjual produk dan jasanya ke negara lain dapat melakukan berbagai
usaha yang diperlukan untuk dapat memenuhi regulasi teknis negara tujuan ekspornya.
Kesesuaian terhadap persyaratan di dalam standar internasional yang diadopsi oleh
regulasi teknis suatau negara hanya dapat diterima bila pernyataan kesesuaian tersebut
diberikan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang kompeten. Proses penilaian kesesuaian
merupakan sebuah proses untuk memastikan kesesuaian karakteristik produk terhadap
persyaratan yang ditetapkan dalam standar dan regulasi teknis. Dalam kaitannya dengan
komoditas perdagangan global, sebagian besar persyaratan dinyatakan secara kuantitatif
didasarkan pada berbagai proses yang melibatkan pengukuran. Dalam hal ini, diperlukan
acuan pengukuran yang sama antara pihak-pihak yang bertransaksi untuk dapat
1
menciptakan kepercayaan terhadap hasil-hasil penilaian kesesuaian. Infrastruktur dasar
untuk menjamin kebenaran, kehandalan dan ketertelusuran hasil pengukuran ke Sistem
Internasional Satuan (SI) inilah yang dalam dunia internasional dikenal sebagai
infrastruktur metrologi.
1.1.1 Latar Belakang Filosofis
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu infrastruktur dasar yang diperlukan
dalam harmonisasi dengan tatanan internasional adalah infrastruktur metrologi, yang
memberikan kesetaraan hasil pengukuran domestik dengan hasil-hasil pengukuran di
negara-negara lain. Hanya dengan infrastruktur metrologi, syarat mutu dalam standar
dokumenter dan penilaian kesesuaiannya dapat berlaku lintas batas dan slogan One
Standard–One Test–Accepted Everywhere yang didengungkan oleh organisasi internasional di bidang standardisasi dapat dicapai. Penyediaan infrastruktur metrologi di
Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah, baik melalui penyediaan kelembagaan
maupun peraturan perundang-undangan yang memungkinkan partisipasi aktif warga
negara dalam bidang metrologi.
A. Kebutuhan Pengukuran
Ketika pergaulan dunia berkembang sedemikian rupa seakan tanpa batas, dan produkproduk dari satu belahan dunia dapat melintas ke belahan dunia yang lain, setiap negara
mau tidak mau harus memiliki daya saing yang kuat sehingga produk-produk yang
dihasilkannya dapat secara bebas melintas ke seluruh belahan dunia, yang diharapkan
dapat memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Sebaliknya, setiap negara juga
akan berupaya melindungi warga negaranya dan juga pelaku usahanya dengan aturanaturan tertentu sedemikian hingga produk-produk yang dapat membahayakan warga
negaranya atau dapat menghentikan perjalanan pelaku usahanya dapat dihambat dengan
alasan yang logis dan dapat diterima sesuai dengan skema-skema yang telah disepakati
secara internasional.
Dari sudut pandang ini, daya saing sebuah negara dapat ditingkatkan, bila pemerintah
negara tersebut mampu membuat pengaturan yang tepat sehingga di satu sisi dapat
mendorong kemampuan produknya menerobos pasar global dan di sisi lain dapat
melindungi masyarakat umum dan pelaku usahanya dari serangan produk-produk
bermutu rendah yang dapat membahayakan masyarakat, lingkungan, dan juga perkembangan pelaku usahanya. Tuntutan mutu produk berdaya saing tinggi sebagai produk
yang mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara pembeli, dengan sendirinya tidak dapat dipisahkan dari kemampuan negara penjual untuk memastikan bahwa
komoditas yang diproduksinya memiliki karakteristik sesuai dengan yang ditetapkan
pembeli, dan sebaliknya untuk mencegah produk bermutu rendah membahayakan masyarakatnya termasuk pelaku usahanya, maka keputusan untuk menolak harus juga didasarkan pada cara penentuan karakteristik komoditas yang telah diakui benar secara
internasional.
2
Penentuan karakteristik produk, untuk memastikan bahwa komoditas yang diekspor dapat
diterima di pasar global atau untuk memutuskan boleh atau tidaknya komoditas dari luar
dipasarkan ke pasar domestik, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kegiatan mengukur,
baik itu pengukuran dengan teknologi sederhana maupun pengukuran yang memerlukan
teknologi tinggi. Dalam kaitannya dengan daya saing dan juga melindungi kepentingan
umum ini, maka pengukuran yang dimaksud tentunya adalah pengukuran yang benar,
yang hasil-hasilnya dapat diakui sesuai dengan kesepakatan di dunia internasional.
Infrastruktur untuk menjamin kebenaran pengukuran ini, di tingkat nasional maupun
internasional ini, kemudian dikenal dengan infrastruktur metrologi.
Menurut International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology (VIM),
metrologi adalah bidang pengetahuan mengenai pengukuran, yang mencakup keseluruhan
aspek teoritis dan praktis pengukuran, berapa pun ketidakpastian pengukurannya dan apa
pun bidang penerapannya. Namun demikian, metrologi bukan sekedar ilmu pengukuran;
metrologi adalah kegiatan yang mencakup semua aktivitas yang diperlukan untuk dapat
melakukan pengukuran yang benar, tertelusur dan diakui kebenarannya dalam tingkat
nasional, regional maupun internasional, sedemikian hingga dapat menciptakan rasa
saling percaya di antara pihak-pihak yang melakukan atau berkepentingan dengan
pengukuran. Rasa saling percaya inilah yang kemudian dapat menciptakan kohesi sosial
dalam masyarakat dan juga memfasilitasi transaksi-transaksi dalam percaturan pasar
global. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
mengukur, mulai dari melakukan pengukuran sederhana sampai ke pengukuran yang
memerlukan teknologi tinggi.
Pengukuran yang salah atau tidak teliti dapat mengakibatkan pengambilan keputusan
yang salah, yang dapat berakibat serius dalam hal pemborosan biaya atau bahkan
membahayakan jiwa manusia. Dampak kemanusiaan dan finansial sebagai konsekuensi
keputusan yang salah akibat pengukuran yang tidak tepat dapat dikatakan sama
pentingnya dengan perubahan lingkungan dan polusi yang hampir tidak dapat dihitung.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi semua negara di dunia untuk memiliki pengukuran
yang handal dan teliti, yang disepakati dan diterima oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pengukuran di seluruh dunia.
Ketertelusuran pengukuran (traceability of measurement) secara internasional
disepakati definisinya sebagai "sifat dari hasil pengukuran atau nilai dari suatu standar
yang dapat dihubungkan ke acuan tertentu, yang biasanya berupa standar nasional atau
internasional, melalui rantai perbandingan yang tidak terputus beserta ketidakpastiannya"
[21]. Konsep ketertelusuran pengukuran inilah yang kemudian dipandang sebagai elemen
utama untuk dapat mewujudkan kesetaraan antara hasil penilaian kesesuaian terhadap
persyaratan standar, yang diberlakukan sebagai dasar penetapan regulasi teknis yang
ditetapkan oleh berbagai negara di dunia sebagaimana dinyatakan dalam WTO-TBT yang
kemudian diadopsi dan ditindaklanjuti sebagai rekomendasi berbagai organisasi
kerjasama ekonomi regional, termasuk Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).
3
Untuk mengelola hal-hal yang terkait dengan kegiatan Standar dan Kesesuaian, APEC
membentuk lima organisasi spesialis regional, yang dua di antaranya adalah organisasi
spesialis terkait dengan kegiatan kemetrologian, yaitu:


Asia Pacific Metrology Programme (APMP) yang mengoordinasikan kegiatan
pengelolaan dan pengembangan standar pengukuran nasional negara-negara di
kawasan Asia Pasifik dan
Asia Pacific Legal Metrology Forum (APLMF) untuk mengoordinasikan harmonisasi
regulasi metrologi legal negara-negara di Asia Pasifik,
sedangkan tiga organisasi spesialis regional lainnya adalah:



Pacific Area Standard Conference (PASC) terkait dengan kerjasama harmonisasi
standard dokumen,
Asia Pacific Laboratory Accreditation Cooperation (APLAC) terkait dengan
akreditasi laboratorium dan lembaga inspeksi serta
Pacific Accreditation Cooperation (PAC) terkait dengan koordinasi sistem akreditasi
lembaga sertifikasi.
Organisasi ekonomi regional lainnya, termasuk Uni Eropa, juga memiliki organisasi
spesialis serupa yang masing-masing juga menjadi fasilitator bagi wilayahnya dalam
mengintegrasikan diri ke dalam pasar global. Jembatan ke pasar global adalah skemaskema yang dikembangkan oleh:





4
Bureau Internationale des Poids et Mesures (BIPM) untuk pengelolaan standar
pengukuran nasional,
Organisation Internationale de Metrologie Legale (OIML) untuk kegiatan metrologi
legal,
International Laboratory Accreditation Cooperation (ILAC) untuk akreditasi
laboratorium termasuk laboratorium kalibrasi,
International Organization on Standardization (ISO) dan International
Electrotechnical Committe (IEC) untuk standar dokumen, serta
International Accreditation Forum (IAF) untuk akreditasi lembaga sertifikasi.
CGPM
Akreditasi
Ketertelusuran
Penilaian
Kesesuaian
WTO/OIML
PASAR
GLOBAL
ILAC/IAF
Standar
Regulasi
ISO/IEC/
Codex
Gambar 1. Infrastruktur Perdagangan Global: Aspek-aspek dalam perdagangan global dan
lembaga-lembaga internasional yang mewadahinya.
Dalam perkembangannya, ketika pengukuran diperlukan untuk mendukung industri
dalam memperoleh keberterimaan produk mereka di pasar global, dan juga untuk
melindungi kepentingan masyarakat dan pelaku usaha, metrologi berkembang menjadi
tiga kategori: metrologi industri, metrologi legal dan metrologi ilmiah. Klasifikasi ini di
tingkat internasional mulai diperkenalkan di Masyarakat Eropa melalui European
Collaboration in Measurement Standards (EUROMET; kemudian menjadi Euramet).
Metrologi industri ditujukan untuk memberikan kepastian akurasi peralatan yang
digunakan di dalam proses perancangan, proses produksi dan proses pengujian
karakteristik produk industri sedemikian hingga mutu produknya dapat diterima secara
internasional, sedangkan metrologi legal ditujukan untuk memastikan kebenaran
pengukuran dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan keadilan transaksi, kesehatan
masyarakat, pelindungan lingkungan, dan keselamatan. Baik kegiatan metrologi industri
maupun metrologi legal pada dasarnya harus dapat diakui kebenarannya secara
internasional. Oleh karena itu pula, setiap negara harus mampu menjamin bahwa setiap
pihak yang melakukan pengukuran didukung dengan acuan pengukuran nasional yang
diakui kebenaran dan kesetaraannya oleh semua negara di dunia. Kebutuhan ini kemudian
melahirkan kategori metrologi ilmiah, yang berkaitan dengan pengembangan ilmu
metrologi dan standar-standar pengukuran yang kebenaran dan kesetaraannya diterima
secara internasional [33]. Kategorisasi kegiatan kemetrologian yang diperkenalkan oleh
5
EUROMET ini nampaknya kemudian diterima secara internasional dalam pengelompokan aplikasi sistem metrologi.
Di dalam United Nation Millenium Development Goals and Action Plan yang dihasilkan
dari World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesberg tahun 2002
dinyatakan bahwa "Pengembangan yang tepat dan implementasi secara efektif infrastruktur regulasi teknis, metrologi, standar dan penilaian kesesuaian (termasuk akreditasi)
yang digunakan oleh masyarakat dunia untuk menyelesaikan isu-isu optimisasi proses
produksi, kesehatan, perlindungan konsumen, lingkungan, keamanan dan mutu serta
mengendalikan resiko dan area kegagalan pasar, akan mendorong pembangunan yang
berkelanjutan, meningkatkan kesejahteraan dan dapat memfasilitasi perdagangan" [34].
Untuk membantu negara-negara yang sedang berkembang untuk dapat berpartisipasi dan
bersaing dalam pasar global kemudian dibentuklah Joint Committee on Coordination of
Assisstance to Developing Countries in Metrology, Accreditation and Standardization (
JCDCMAS), yang beranggotakan:









Bureau International des Poids et Mesures (BIPM)
International Accreditation Forum (IAF)
International Electrotechnical Commission (IEC)
International Laboratory Accreditation Co-operation (ILAC)
International Organization for Standardization (ISO)
International Trade Centre – UNCTAD/WTO (ITC)
Telecommunication Standardization Bureau of International Telecommunication
Union (ITU-T)
Organisation Internationale de Métrologie Légale (OIML)
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)
Mengingat pentingnya harmonisasi infrastruktur teknis antar negara yang diperlukan
untuk implementasi aturan perdagangan global secara efektif, berkaitan dengan
metrologi, JCDCMAS kemudian merekomendasikan perlunya pedoman bagi negaranegara yang sedang berkembang untuk mengembangkan peraturan perundang-undangan
kemetrologian di tingkat nasional. Rekomendasi internasional tentang peraturan
perundang-undangan kemetrologian ini kemudian diterbitkan oleh OIML sebagai International Document OIML D1 "Elements for a Law on Metrology".
Karena pentingnya kegiatan kemetrologian dalam proses integrasi ekonomi suatur negara
ke dalam infrastruktur pasar global, hampir setiap negara di dunia memiliki undangundang metrologi. Berikut ini adalah contoh undang-undang metrologi yang pada saat ini
telah ditetapkan dan sedang diimplementasikan oleh negara-negara sedang berkembang
maupun negara-negara maju di dunia:

6
Indonesia: Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal






Vietnam: Ordinance on Measurement (No. 16/1999/PL-UBTVQH 10 of October 6,
1999)
Jordania: Standards and Metrology Law for the Year 2000
Afrika Selatan: Measurement Units and Measurement Standards Act, 2006
Republik Slovenia: Metrology Act Ur. I. Rs No. 22/00
Thailand: National Metrological System Development Act, B.E. 2540 (1997)
Australia: National Measurement Act 1960 (with amendments up to Act No. 27 of
2004)
Di samping penetapan UU kemetrologian hampir di seluruh negara di dunia yang
menunjukkan pentingnya kegiatan kemetrologian dalam mendukung mutu kehidupan
suatu bangsa dan pentingnya kegiatan kemetrologian sebagai prasyarat untuk tercapainya
tujuan pembentukan organisasi-organisasi internasional di berbagai sektor, terlihat secara
jelas dengan semakin banyaknya kesepakatan dalam bentuk Memorandum of
Understanding maupun kesepakatan lain antara Comité International de Poids et Mesure
(CIPM) dengan berbagai organisasi internasional, antara lain:








Nota Kesepahaman antara World Health Organization (WHO) dan CIPM
Nota Kesepahaman antara World Meteorogical Organization (WMO) dan CIPM
Bergabungnya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi
internasional anggota CIPM
Pernyataan bersama antara OIML – ILAC – CIPM
Posisi BIPM sebagai pengamat resmi pertemuan Codex Alementarius Commission
(joint FAO/WHO Food Standards Programme)
Nota Kesepahaman antara ILAC dan CIPM
Nota Kesepahaman antara National Conference of Standards Laboratory (NCSLi)
dan CIPM
Nota Kesepahaman antara ISO dan CIPM.
B. Lingkup Kegiatan Kemetrologian
Sesuai dengan perkembangan organisasi-organisasi internasional dan regional yang
mengembangkan kerjasama kegiatan kemetrologian di tingkat internasional dan regional
yang dapat dikelompokkan sebagai kerjasama pengelolaan standar pengukuran nasional
yang diorganisasikan oleh BIPM, kerjasama harmonisasi regulasi metrologi legal oleh
OIML dan kerjasama harmonisasi kompetensi laboratorium kalibrasi melalui akreditasi
sebagai salah satu lingkup kerjasama ILAC, maka penjelasan tentang lingkup kegiatan
berikut ini disusun berdasarkan lingkup kegiatan organisasi-organisasi internasional
tersebut.
7
Realisasi satuan SI, pemeliharaan dan
diseminasi
SNSU
METROLOGI ILMIAH
Ketertelusuran
pengukuran
Pe ng
uk ur
an di
pro s
indus
e s pr
t r i,
o d uk
J ap
e
s i,
minn
a ngm
uujia
t un
, t unt u
t a n pa
sa r
METROLOGI
INDUSTRI
m a n,
a la
g
n d a ga n t a n
a
r
k u pe r d s e h a
u
g
i
e
pa n
Pe n s a k s a n k
n
e ra
g
n
t r a indun a na n m, pe n da nga
l
n
pe r k e a m a n umu a ng-u
d
da n e nt ing pe run
ke p t ura n
a
pe r
METROLOGI LEGAL
Gambar 2. Pembagian metrologi menjadi tiga kelompok utama: metrologi ilmiah, metrologi
industri dan metrologi legal
Metrologi legal
Metrologi legal mencakup semua kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan persyaratan
legal mengenai pengukuran, satuan pengukuran, alat ukur dan metode pengukuran.
Kegiatan ini dilakukan oleh atau atas nama otoritas pemerintah untuk menjamin tingkat
kredibilitas hasil pengukuran yang layak pada area yang diwajibkan oleh pemerintah.
Metrologi legal bukanlah sebuah disiplin di dalam metrologi, melainkan aplikasi ilmu
kemetrologian untuk memperoleh ketertelusuran dan acuan yang tepat dan dapat berlaku
untuk setiap besaran yang tercakup dalam kegiatan kemetrologian.
Metrologi legal tidak hanya berlaku bagi pelaku perdagangan, tetapi juga ditujukan untuk
perlindungan setiap warga negara dan masyarakat secara keseluruhan, misalnya penegakan hukum, kesehatan, keselamatan dan perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah
harus memberikan perhatian khusus pada hasil pengukuran khususnya bila terdapat
potensi konflik kepentingan terhadap hasil pengukuran terebut, sehingga memerlukan
intervensi wasit yang tidak memihak. Metrologi legal khususnya diperlukan bila kekuatan
pasar tidak cukup terorganisir atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang. Metrologi
8
legal umumnya mencakup pengaturan berkaitan dengan satuan pengukuran, hasil
pengukuran (misalnya barang dalam keadaan terbungkus) dan terhadap alat ukur.
Pengaturan tersebut meliputi kewajiban hukum berkaitan dengan hasil pengukuran dan
alat ukur, dan juga pengendalian legal yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah.
Membeli atau menjual barang dan jasa seringkali mencakup penimbangan atau
pengukuran kuantitas dan/atau mutu produk, dan juga produk dalam keadaan terbungkus
yang menyatakan ukuran massa dan volume, serta layanan pengukuran lain seperti waktu
atau jarak. Tanggung jawab pemerintah juga mencakup peraturan perundang-undangan
terkait dengan kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan. Meskipun fungsifungsi ini pada umumnya tersebar di berbagai kewenangan pemerintah, dalam hal tertentu
tercakup kesamaan bila peraturan perundang-undangan tersebut bergantung pada hasil
pengukuran. Oleh karena itu proses pengukuran seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah adalah menetapkan peraturan perundang-undangan, mengendalikan pengukuran melalui pengawasan pasar dan mengembangkan serta memelihara infrastruktur yang dapat mendukung akurasi pengukuran
tersebut (melalui ketertelusuran) yang sangat mendasar untuk melengkapi peran
pemerintah.
Karena tujuan akhir dari metrologi legal adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap
hasil pengukuran dengan pengaturan legal, kebutuhan dan persyaratan hasil pengukuran
harus dipertimbangkan sebelum menetapkan persyaratan terhadap alat ukur. Metrologi
legal dapat mencakup empat kegiatan utama:




penetapan persyaratan legal;
pengendalian atau penilaian kesesuaian produk atau kegiatan yang tercakup dalam
regulasi;
pengawasan produk dan kegiatan yang tercakup di dalam regulasi; dan
pendirian infrastruktur yang memadai untuk memastikan ketertelusuran dari pengukuran atau alat ukur yang tercakup di dalam regulasi
Metrologi Industri
Telah dijelaskan bahwa metrologi legal diperlukan bila kekuatan pasar tidak cukup
terorganisir atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang, sehingga pemerintah harus
bertindak sebagai wasit untuk memastikan keadilan dalam kondisi-kondisi tersebut. Di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak semua kegiatan mengukur memerlukan
keterlibatan pemerintah secara langsung sebagai wasit yang harus menjamin keadilan
dalam kegiatan pertukaran atau transaksi yang melibatkan pengukuran.
Bagi produsen manufaktur, misalnya produksi suku cadang kendaraan bermotor, kegiatan
kemetrologian lebih diperlukan dalam proses perancangan, produksi maupun pengujian
dan inspeksinya untuk memastikan bahwa produknya memenuhi keinginan pasar, dalam
arti cocok untuk dipasang menggantikan suku cadang aslinya, sehingga produk tersebut
dapat diterima oleh pasar dan memberikan keuntungan ekonomis bagi produsen tersebut.
9
Di sisi lain, bagi produsen kendaraan bermotor yang membeli suku cadang dari pihak lain
untuk dipasang pada produknya, kegiatan kemetrologian khususnya diperlukan untuk
menguji atau menginspeksi suku cadang yang dibelinya sehingga terhindar dari resiko
kerugian akibat suku cadang yang telah dibeli dalam jumlah besar sebagian besar tidak
dapat dipasang dalam finalisasi produknya. Dapat dikatakan dalam contoh transaksi ini,
kedua belah pihak memiliki kemampuan dan kompetensi yang seimbang untuk memastikan dapat memperoleh keuntungan ekonomi yang setimbang dengan investasi yang telah
dilakukannya. Demikian pula, bagi lembaga penelitian, kegiatan kemetrologian
diperlukan dalam proses penelitian dan pembuatan prototipenya untuk memastikan
bahwa produk penelitiannya dapat diterima atau dibeli oleh pasar, sedemikian hingga
dalam kasus ini tidak diperlukan pula keterlibatan pemerintah secara langsung sebagai
wasit yang menjamin keadilan transaksi antara peneliti dengan pembeli produk
penelitian.
Secara teknis, kegiatan untuk memastikan ketertelusuran pengukuran ini dapat dilakukan
oleh pemerintah dan pihak swasta. Partisipasi pihak swasta sangat diperlukan, karena
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan industri,
cakupan besaran yang harus dapat dipastikan ketertelusurannya menjadi semakin banyak,
dan perkembangan ini akan terus berjalan. Untuk memastikan bahwa pengukuran yang
dilakukan memiliki tingkat kebenaran yang layak, pemerintah perlu untuk mengembangkan sistem pengakuan kompetensi terhadap pihak-pihak yang melakukan kegiatan
kemetrologian, sehingga transaksi-transaksi yang dilaksanakan tanpa kehadiran
pemerintah secara langsung sebagai wasit, tetap terjamin keadilan dan keterpercayaannya.
Metrologi Ilmiah
Kegiatan metrologi legal dan kegiatan kemetrologian lainnya pada dasarnya merupakan
aplikasi dari metrologi, yang tujuan utamanya untuk mewujudkan kepercayaan terhadap
hasil pengukuran melalui penciptaan rantai ketertelusuran ke acuan yang sama. Supaya
setiap pihak di suatu negara dapat memiliki tingkat kepercayaan yang sama terhadap hasil
pengukuran, tentunya diperlukan acuan pengukuran nasional yang dapat diakses oleh
semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan kemetrologian. Lebih jauh lagi, dalam
konteks transaksi lintas negara, diperlukan standar pengukuran yang dapat diterima oleh
semua negara, sedemikian hingga hasil-hasil pengukuran dari suatu negara dapat diterima
dan dipercaya oleh negara-negara lain. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan standar
pengukuran yang bersifat universal dan dapat mengakomodasi perkembangan ilmu dan
teknologi yang menggerakkan pasar.
Dalam sejarahnya, sejak awal telah ditemukan adanya kesulitan untuk mewujudkan
prototipe yang seragam, yang kemudian dapat dikelola oleh setiap negara sedemikian
hingga setiap negara memiliki acuan yang sama. Kesulitan ini kemudian menggerakkan
perubahan definisi standar pengukuran internasional, dari yang semula berupa prototipe
internasional, menjadi definisi-definisi berdasarkan tetapan alamiah, yang dapat
direalisasikan oleh negara mana pun. Untuk dapat menjamin kesetaraan standar
pengukuran suatu negara dengan standar pengukuran negara lain, tentunya diperlukan
10
lembaga yang diberi tanggung jawab untuk mengelola standar pengukuran nasional dan
mengupayakan kesetaraan standar pengukuran nasional tersebut dengan standar
pengukuran negara-negara lain dan nilai yang disepakati secara internasional.
Ilmu pengukuran merupakan ilmu lintas disiplin yang dapat mengintegrasikan berbagai
cabang ilmu, oleh karena itu untuk mendukung seluruh aspek kegiatan kemetrologian
diperlukan pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengukuran. Lebih jauh lagi, karena
kebutuhan kegiatan kemetrologian mencakup lintas negara, diperlukan teori-teori pengukuran yang koheren dan disepakati secara internasional sedemikian sehingga aplikasinya
dalam berbagai bidang oleh berbagai negara yang saling bertransaksi dapat dipercaya satu
sama lain. Teori-teori pengukuran yang kemudian disepakati oleh masyarakat metrologi
internasional ini perlu selalu diikuti perkembangannya oleh setiap negara, dipahami,
didiseminasikan dan kemudian diimplementasikan di berbagai sektor kehidupan sehingga
sistem metrologi di negara tersebut dapat mencapai tujuannya. Dengan didasarkan pada
penguasaan terhadap ilmu pengukuran inilah suatu bangsa dapat mengembangkan standar
pengukuran nasionalnya yang setara dengan standar pengukuran negara lain, dan dengan
penguasaan ilmu pengukuran yang lebih tinggi, pemerintah negara dapat menetapkan
persyaratan-persyaratan teknis yang lebih tinggi untuk memroteksi kepentingan
negaranya.
C. Peran Negara dalam Kegiatan Kemetrologian
Peran negara dalam kegiatan kemetrologian adalah untuk memberikan piranti yang
diperlukan dalam menjamin kepercayaan terhadap hasil pengukuran. Hal ini mewajibkan
pemerintah melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memromosikan
metrologi, mengembangkan infrastruktur kemetrologian yang memadai, mendukung
penelitan metrologi untuk melindungi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kecurangankecurangan yang berkaitan dengan pengukuran. Kegiatan ini harus diatur di dalam
kebijakan yang komprehensif dan koheren, sehingga diperlukan peraturan perundangundangan kemetrologian.
Elemen metrologi modern telah berkembang sedemikian hingga tidak hanya terbatas pada
kegiatan tradisional metrologi legal. Pentingnya kegiatan kemetrologian bagi pembangunan sosial ekonomi memerlukan kebijakan metrologi yang komprehensif dan koheren
yang mempertimbangkan isu-isu terkait dengan pelanggan, pengusaha, pendidikan,
kesehatan, keselamatan dan keamanan warga negara. Dalam mengembangkan sistem
metrologi nasional, pemerintah hendaknya menjamin adanya transparansi sehingga setiap
pihak yang berkepentingan dengan metrologi dapat membuat keputusan dengan tepat.
D. Perlunya Kesesuaian antara Sistem Metrologi Nasional dan Internasional
Setiap negara memiliki perspektif sejarahnya masing-masing dalam pengembangan
persyaratan kemetrologian. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan perdagangan
global yang kerangkanya disepakati secara internasional dalam WTO-TBT terdapat
beberapa ketentuan yang harus diikuti oleh negara-negara anggota WTO yang diperlukan
11
untuk memastikan partisipasi aktif dalam perdagangan global dan tentunya mengambil
manfaat darinya. Pasal 2.4 WTO-TBT mewajibkan setiap negara untuk mendasarkan
regulasi teknisnya pada standar (dokumen) internasional sedemikian hingga untuk
mengharmonisasikan persyaratan nasionalnya. Di samping itu, Pasal 6 WTO-TBT
penandatangan perjanjian tersebut untuk mempertimbangkan dan berpartisipasi di dalam
sistem penilaian kesesuaian dan perjanjian pengakuan timbal-balik internasional.
Berkaitan dengan dasar-dasar sistem metrologi internasional, komunitas internasional
yang hampir mencakup seluruh negara di dunia telah mengadopsi sistem satuan, standar
pengukuran, dan persyaratan alat ukur melalui organisasi perjanjian antar negara, yaitu
Konvensi Meter dan OIML. Dan untuk memfasilitasi harmonisasi sistem metrologi
secara internasional, telah pula dibentuk organisasi metrologi regional untuk
mengharmoniskan persyaratan metrologi antar negara-negara anggotanya. Tujuan dari
organisasi-organisasi tersebut adalah untuk memfasilitasi perdagangan melalui kesetaraan
hasil pengukuran dan alat ukur. Organisasi-organisasi tersebut kemudian memublikasikan
dokumen dan rekomendasi internasional yang ditujukan sebagai acuan utama
pengembangan infrastruktur metrologi nasional.
Organisasi-organisasi internasional terkait dengan kemetrologian tersebut juga telah
mengembangkan sistem saling mengakui keberterimaan dari kesetaraan standar
pengukuran, kesetaraan kemampuan pengukuran nasional, kesetaraan kompetensi
laboratorium kalibrasi, dan kesetaraan penilaian metrologi legal. Sesuai dengan sifat
dokumen dan juga aturan-aturan yang telah disepakati secara internasional, dokumendokumen tersebut berisi persyaratan-persyaratan yang dapat diterapkan sebagai
persyaratan dan ketentuan dalam struktur metrologi suatu negara. Adopsi ketentuan di
dalam dokumen-dokumen tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk:




acuan pada edisi tertetu;
mencuplik teks dokumen tersebut ke dalam regulasi;
adopsi persyaratan yang identik, tetapi tidak dalam teks yang sama; atau
adopsi persyaratan yang tidak identik, tetapi bersesuaian
1.1.2 Latar Belakang Historis
Kegiatan kemetrologian merupakan sebuah kegiatan yang telah dilangsungkan dan diatur
oleh umat manusia sejak masa lampau, dan bahkan merupakan sebuah kegiatan yang
termuat di dalam kitab suci setiap agama-agama di dunia. Pada zaman Fir’aun Mesir
Kuno 3000 tahun sebelum Masehi, telah tercatat adanya kegiatan metrologi, yang berupa
penetapan standar pengukuran panjang yang digunakan untuk pembangunan piramid.
Standar panjang yang disebut dengan "cubit" pada saat itu didefinisikan sebagai panjang
lengan bawah dari siku ke ujung jari tengah Fir’aun yang sedang memerintah ditambah
dengan lebar telapak tangannya. Standar tersebut kemudian direalisasikan dengan pahatan
pada granit hitam. Pekerja di lokasi bangunan diberi salinan granit atau kayu dan
tanggung-jawab arsitek adalah memelihara standar panjang tersebut. Bahkan untuk
12
memastikan keinginan Fir’aun mewujudkan piramid sebagai bukti kebesarannya, pada
saat tersebut dibuat sanksi hukum bagi "para pekerja yang melalaikan tugasnya untuk
mengalibrasi standar panjang yang menjadi tanggung jawabnya pada setiap bulan
purnama". Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ilmiah untuk mendefinisikan dan
merealisasikan standar pengukuran dan juga pengaturan kegiatan mengalibrasi standar
pengukuran yang digunakan untuk keperluan yang diinginkan oleh penguasa (negara)
telah dilakukan di masa itu. Pada masa kekaisaran Romawi telah ditetapkan juga standar
pengukuran panjang yang digunakan untuk memastikan ukuran lebar roda kereta yang
digunakan untuk transportasi tentara kekaisaran.
Perkembangan kegiatan kemetrologian modern, yang merupakan awal perkembangan
organisasi metrologi internasional saat ini, adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah
Prancis pada saat Revolusi Prancis untuk memberikan tanggung jawab standar
pengukuran yang sebelumnya ditetapkan dengan kewenangan negara ke tangan para
ilmuwan dalam Akademi Sains (Académie des sciences). Salah satu standar pengukuraan
pertama yang direkomendasikan oleh Akademi Sains dan didefinisikan dari tetapan alam
adalah meter, yang didefinisikan di dalam keputusan Majelis Nasional (Assemblée
nationale, 7 April 1795) sama dengan sepersepuluh juta bagian dari seperempat meridian,
yang direalisasikan dengan sepersepuluh juta bagian dari jarak antara Dunkerque dan
Barcelona. Dengan keputusan yang sama pada saat itu ditetapkan pula definisi kilogram
sebagai berat air dalam volume tertentu, dalam bentuk cairan yang dimurnikan.
Keputusan Akademi Nasional Prancis ini membuahkan Undang-undang Timbangan dan
Ukuran 1795 yang menetapkan Sistem Metrik Desimal, yang tercatat sebagai peraturan
perundang-undangan modern pertama yang mengatur kegiatan kemetrologian. Sebagai
implementasi dari Undang-undang Timbangan dan Ukuran 1795 dibuatlah prototipe
standar meter dan kilogram yang pertama, yang kemudian digunakan untuk seluruh
salinan prototipe, disimpan di Arsip Republik Prancis sejak tahun 1799, dan
didedikasikan untuk seluruh umat manusia di setiap waktu yang menggunakan Sistem
Metrik Desimal.
Gambar 3. Prototipe Kilogram dan Meter
Karena kesederhanaan dan sifat universalnya, Sistem Metrik Desimal menyebar dengan
cepat ke nagara-negara lain. Pembangunan jalan kereta, pertumbuhan industri dan
meningkatnya kebutuhan pertukaran sosial dan ekonomi memerlukan satuan pengukuran
yang akurat dan handal. Sistem ini kemudian diadopsi pada permulaan abad ke 19 di
beberapa propinsi di Italia, diadopsi oleh negeri Belanda sejak 1816 dan dipilih oleh
13
Spanyol pada tahun 1849. Di Prancis sendiri sistem metrik desimal kemudian diadopsi
secara eksklusif dengan Undang-Undang pada 4 Juli 1837. Setelah 1860, beberapa negara
Amerika Latin menggunakan meter, dan terdapat peningkatan adopsi sistem metrik oleh
negara-negara lain selama akhir abad ke 19 (sebagai contoh, AS pada tahun 1866, Kanada
pada tahun 1871, dan Jerman pada tahun 1871).
Kegiatan kemetrologian pada abad ke-19 juga merupakan faktor pendukung yang sangat
diperlukan untuk menjamin mutu dan efisiensi produksi di industri, keadilan dalam
perdagangan, perlindungan konsumen, kesehatan dan keselamatan hidup manusia dan
binatang serta perlindungan lingkungan. Peran metrologi bagi kalangan industri
manufaktur ini dimulai oleh Eli Whitney di AS yang memperkenalkan produksi masal
kepada industri di Amerika pada tahun 1820-an, Joseph Withworth di Inggris pada tahun
1830-an yang memperkenalkan gauge dan penggunaan permukaan rata secara sistematis
di dalam mesin dan mengajukan proposal untuk menstandardisasikan ulir sekrup; dan
pada tahun 1869, Auguste de Rive dan Marc Anthoine Thury mendirikan Société
Genevoise D´Instruments de Physique – perusahaan pertama di dunia yang melakukan
produksi masal piranti permesinan.
Dengan semakin besarnya peran kemetrologian dalam pertukaran produk manufaktur
antar negara, berikutnya tampak adanya kesulitan karena negara-negara industri pada saat
itu kemudian bergantung pada duplikat prototipe internasional. Dalam hal ini diperlukan
keseragaman pembuatan duplikat prototipe internasional, yang ternyata masih memiliki
variasi yang cukup tinggi sehingga menjadi penghambat bagi standardisasi sistem
pengukuran yang diharapkan oleh masyarakat internasional pada saat itu. Untuk
mengatasi kesulitan tersebut, kemudian BIPM didirikan melalui perjanjian diplomatik
yang dikenal dengan Convention du Mètre (Konvensi Meter) pada 20 Mei 1875. Untuk
memperingati penandatanganan konvensi tersebut, tanggal 20 Mei kemudian dinyatakan
sebaga Hari Metrologi Dunia. Kegiatan kemetrologian di dunia terus berkembang, dan
karena penetapan regulasi metrologi di berbagai negara ternyata dapat menjadi hambatan
perdagangan antar negara, pada tahun 1955 dibentuklah organisasi metrologi legal, OIML
yang lingkup kegiatannya adalah mengharmonisasikan persyaratan-persyaratan untuk
peralatan ukur, proses pengukuran, dan juga barang dalam keadaan terbungkus yang
diadopsi oleh negara-negara anggotanya.
Gambar 4. Perangko yang diterbitkan oleh Prancis untuk memperingati 100 tahun Konvensi Meter
Perkembangan metrologi di Indonesia mulai diatur sejak tahun 1923, yaitu dengan
diberlakukannya Ordonansi Tera tahun 1923 yang mengalami empat kali perubahan dan
14
terakhir dengan Undang-undang R.I. No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (
UUML). Dalam Penjelasan atas UU No. 2 Tahun 1981 diterangkan bahwa dengan masa
peralihan selama 10 tahun, yang dalam pelaksanaannya 15 tahun, sejak 1 Januari 1938 di
Indonesia berlaku secara resmi Satuan Sistem Metrik dalam ukuran, takaran, timbangan
dan perlengkapannya yang menggantikan satuan sistem tradisional seperti elo, kati dan
lain sebagainya. Ordonansi Tera telah mendasari ditandatanganinya Keppres No. 54/1957
tentang penunjukan Panitia Induk untuk Meter dan Kilogram dan Keppres No. 55/1957
tentang penunjukan meter (X 27) dan kilogram (K 46) sebagai standar nasional. Semua
ketentuan ini sudah tidak berlaku dengan diberlakukannya UUML tersebut di atas.
Selain mengadopsi Sistem Internasional Satuan (SI) sebagai satu-satunya sistem satuan
yang berlaku secara resmi di Indonesia, UU No. 2 Tahun 1981 mengatur tentang standarstandar, peralatan ukur, tera dan tera ulang, barang dalam keadaan terbungkus, perbuatan
yang dilarang, ketentuan pidana, pengawasan dan penyidikan. Istilah lembaga metrologi
nasional (LMN) tidak dikenal dalam UU No. 2 Tahun 1981 dan semua peraturan atau
keputusan di bawahnya yang berlaku saat ini. Walupun demikian, suatu penafsiran
terhadap keberadaan LMN dapat dikembangkan dari substansi yang diamanatkan UUML.
Setelah penetapan UU No. 2 Tahun 1981 kemudian ditetapkan tentang:




pembentukan Dewan Standardisasi Nasional (DSN) melalui Keputusan Presiden No.
7 Tahun 1989,
Standar Nasional Satuan Ukuran (SNSU) melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun
1989,
pembentukan Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melanjutkan tugas Dewan
Standardisasi Nasional melalui Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997, dan
pembentukan Lembaga Pembina SNSU yang dikenal dengan Komite Standar
Nasional Satuan Ukuran (KSNSU) melalui Keputusan Presiden No. 79 Tahun 2001.
Dalam Keputusan Presiden yang disebutkan terakhir, pengelolaan teknis ilmiah standar
pengukuran nasional diserahkan kepada unit kerja di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) yang bergerak di bidang metrologi.
1.1.3 Latar Belakang Sosio-Ekonomi
A. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat
Kita semua akhir-akhir ini sangat akrab dengan iklan yang dilakukan oleh Pertamina
tentang layanan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di berbagai media televisi,
radio maupun media cetak yang intinya ingin membangun kepercayaan masyarakat
terhadap layanan SPBU Pertamina, melalui pernyataan "telah diaudit oleh auditor
internasional", dengan salah satu fokus pada kebenaran takaran bahan bakar yang
diberikan oleh SPBU Pertamina. Bila ditelusuri lebih lanjut, pernyataan tersebut
didasarkan pada penggunaan jasa lembaga sertifikasi dan laboratorium berskala
internasional, yaitu Bureau Veritas (BV) untuk mengaudit layanan SPBU Pertamina. BV
15
adalah lembaga sertifikasi yang berpusat di Perancis, dan beroperasi di berbagai negara,
dan diakui kompetensinya di berbagai negara sebagai lembaga sertifikasi dan juga
laboratorium independen melalui akreditasi di negara asalnya maupun melalui akreditasi
di negara-negara lokasi operasinya oleh lembaga akreditasi nasional yang telah diakui
secara internasional untuk melakukan akreditasi lembaga sertifikasi melalui skema saling
mengakui yang dikembangkan oleh IAF, dan untuk laboratorium diakreditasi oleh badan
akreditasi yang mendapat pengakuan internasional dalam skema ILAC.
Bahan bakar merupakan komponen penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak
problem sosial, seperti sering kita lihat dalam berbagai media akhir-akhir ini, disebabkan
oleh kelangkaan bahan bakar, ataupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dalam pengadaan bahan bakar maupun menjamin kebenaran takaran penjualan bahan
bakar. Dalam kaitannya dengan kepercayaan masyarakat seperti dicontohkan dalam paragraf di atas, memang tujuan akhir dari Pertamina adalah aspek ekonomi, dalam hal ini
agar SPBU-nya tetap laku dalam bersaing dengan SPBU-SPBU milik asing yang telah
mendapat ijin operasi di Indonesia. Namun demikian pernyataan "telah diaudit oleh
auditor internasional" dalam iklan secara tidak langsung menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap layanan SPBU (termasuk takaran penjualan bahan bakar)
menurut Pertamina hanya dapat dibangun melalui penggunaan lembaga sertifikasi asing.
Hal ini menunjukkan bahwa secara sosiologis, dalam analisis pemasok, masyarakat tidak
cukup percaya atau mungkin tidak tahu bahwa pemerintah telah melakukan pengawasan
terhadap kebenaran takaran penjualan bahan bakar di SPBU melalui kegiatan metrologi
legal.
Kenyataan ini seharusnya menjadi pemacu bagi pemerintah untuk melakukan berbagai
usaha yang diperlukan dalam membangun kepercayaan masyarakat bahwa dalam kasus
ini, pemerintah telah menjamin kebenaran takaran penjualan bahan bakar di SPBU
melalui kegiatan metrologi legalnya, sehingga tidak diperlukan lagi jaminan tambahan
dari pihak luar. Dari sisi lain, penggunaan jasa pihak luar oleh pengusaha, apalagi dalam
hal Pertamina adalah badan usaha milik negara, menunjukkan bahwa pengusaha pun
tidak cukup percaya terhadap pemerintah bahwa kegiatan metrologi legal yang dilakukan
oleh pemerintah dapat membawa kepercayaan bagi konsumen SPBU.
Porsi kegiatan metrologi dalam kehidupan sosial masyarakat sebagian besar merupakan
kontribusi dari kegiatan metrologi legal. Sesuai dengan lingkupnya, metrologi legal
merupakan implementasi metrologi dalam kaitannya dengan penerapan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan perlindungan
kepentingan umum, perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat, serta
perlindungan lingkungan. Peraturan perundang-undangan metrologi legal hendaknya
mencakup berbagai jenis alat ukur maupun proses pengukuran yang terkait dengan halhal tersebut dan dilaksanakan secara transparan dan dijamin kompetensinya dengan
skema pengakuan kompetensi yang dipercaya oleh masyarakat sedemikian hingga
metrologi dapat menjamin rasa saling peercaya baik antar masyarakat, antara masyarakat
dengan pelaku usaha, antara masyarakat dengan pemerintah, dan juga antara pelaku usaha
16
dengan pemerintah. Bila mengacu pada filosofi sistem metrologi yang telah dikenal dan
diharmonisasikan secara internasional, hal tersebut harus dijamin dengan sebuah sistem
yang mampu mengoperasikan sistem metrologi secara utuh. Untuk membangun
kepercayaan masyarakat, metrologi legal memerlukan adanya jaminan kompetensi yang
memadai, jaminan kompetensi ini memerlukan lembaga independen penilai kompetensi,
yang secara internasional dikenal dengan badan akreditasi, dan untuk memastikan
kebenaran pengukuran dalam lingkup metrologi legal, maka proses kalibrasi yang terlibat
didalamnya harus mengacu pada kegiatan pengelolaan standar pengukuran yang
kompetensinya diakui pula.
Penerapan sistem metrologi yang harmonis dengan perkembangan sistem metrologi
internasional, dari ilustrasi singkat yang sering kita temukan saat ini dalam bentuk iklan
SPBU Pertamina, telah berkembang menjadi prasyarat untuk membangun kepercayaan,
sebagaimana ditunjukkan bahwa pernyataan ’telah diaudit oleh auditor internasional’
menjadi kata kunci, yang dalam perspektif pengusaha digunakan sebagai pernyataan yang
dianggap mampu mengembangkan kepercayaan masyarakat terhadap layanan yang
diberikannya.
B. Perlindungan Kepentingan, Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan
Masyarakat, serta Kelestarian Lingkungan
Dalam pelayanan dan diagnosis kesehatan terdapat banyak sekali diagnosis yang
didasarkan pada hasil pengukuran terhadap gejala-gejala yang terjadi di tubuh manusia.
Sebagai contoh sederhana, dalam pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan tekanan darah
merupakan salah satu pemeriksaan rutin menggunakan spygnomanometer. Betapa besar
resiko yang ditanggung oleh pasien bila misalnya alat ukur mengalami kesalahan
sedemikian hingga seorang pasien yang tekanan darahnya terlalu tinggi dinyatakan
normal berdasarkan pembacaan alat ukur yang digunakan oleh tenaga medis. Hal serupa
dapat terjadi dalam penggunaan electrocardiograph. Kejadian yang sangat fatal juga
dapat terjadi pada foto sinar-X, bila pengatur dosis sinar-X yang digunakan oleh tenaga
medis ternyata memiliki kesalahan yang cukup besar, sehingga dosis radiasi yang
dipancarkannya lebih besar dari ambang batas aman bagi pasien. Betapa besarnya
pengaruh negatif yang akan ditanggung oleh pasien. Dalam hal penggunaan layanan
kesehatan menggunakan alat ukur, dapat dikatakan terjadi transaksi yang tidak seimbang,
karena pasien selaku pembeli layanan tidak mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk
memastikan kebenaran proses-proses pengukuran yang dilakukan pada saat transaksi
layanan kesehatan tersebut. Oleh karena itu pemerintah wajib untuk menerapkan aturanaturan serta menetapkan batas kesalahan alat ukur untuk suatu layanan medis tertentu
sehingga kesehatan, keselamatan dan kepentingan pasien dapat dilindungi.
Saat ini, polusi udara telah menjadi sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan karena
dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat dan juga lingkungan hidup.
Dalam pengendalian polusi udara ini, sudah barang tentu diperlukan alat-alat ukur yang
kebenarannya harus selalu diawasi oleh atau atas nama pemerintah sedemikian hingga
keputusan-keputusan yang diambil terkait dengan pencemaran udara ini akan benar-benar
17
bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pelestarian lingkungan. Masih berkaitan
dengan kelestarian lingkungan hidup, alat-alat ukur yang digunakan untuk memantau
pencemaran air yang disebabkan oleh limbah industri yang dibuang ke sungai juga
memerlukan proses pengukuran dan alat-alat ukur yang kebenarannya harus dijamin oleh
atau atas nama pemerintah.
Di negara-negara maju, usaha untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas juga dilakukan
dengan pengukuran kandungan alkohol dalam nafas pengendara kendaraan bermotor
dengan alcohol breath meter, sebagai bagian dari razia yang dilakukan oleh polisi lalu
lintas. Untuk memastikan kebenaran keputusan yang diambil oleh polisi lalu lintas,
alcohol breath meter digolongkan sebagai peralatan yang akurasinya diatur dalam
regulasi metrologi legal di negara tersebut. Dari hasil evaluasi di beberapa negara maju,
termasuk Australia, AS dan Singapura, regulasi ini sangat efektif untuk mengurangi
kecelakaan lalu lintas di negara-negara tersebut.
C. Perlindungan Devisa Negara
Ilustrasi berikut merupakan sebuah temuan oleh pemerintah Amerika Serikat yang
teridentifikasi dalam dokumen "An Assessment on the United States Measurement
System" tahun 2006, yang berkaitan dengan perlunya peningkatan ketelitian pengukuran
aliran gas yang digunakan sebagai dasar transaksi impor gas Amerika Serikat:
"Pada tahun 2004, AS mengimpor gas alam senilai 21 miliar Dollar AS per tahun
dari Kanada melalui jaringan pipa gas, dan sekitar 4 miliar Dollar AS per tahun
dari negara-negara lain. AS sendiri memiliki cadangan gas alam sebesar 3% dari
cadangan gas alam di dunia. Penggunaan gas alam di AS pada tahun 2004
mencapai 100 milliar Dollar AS per tahun. Karena pembangunan pembangkit listrik
di AS di masa depan direncanakan akan menggunakan gas alam, maka impor gas
AS akan terus meningkat. Saat ini tingkat ketelitian pengukuran aliran gas dalam
pipa tekanan tinggi yang mampu dicapai oleh AS adalah sekitar ± 0,5%, yang bila
dikonversikan dalam nilai uang ekivalen dengan resiko kerugian dalam bentuk
kelebihan pembayaran gas yang diterima senilai 0,5 milliar Dollar AS per tahun,
yang kemudian harus ditanggung oleh pengguna gas alam di AS. Besarnya resiko
kerugian tersebut hanya akan dapat dikurangi bila AS memiliki kemampuan
pengukuran aliran gas dengan tingkat ketelitian yang lebih baik. Sebagai ilustrasi,
bila ketelitian pengukuran dapat ditingkatkan manjadi 10 kali lebih baik, maka
resiko kerugian yang mungkin dialami oleh AS akan menjadi 10 kali lebih kecil,
atau akan berkurang sebesar 0,45 milliar Dollar AS.
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut pemerintah AS kemudian menetapkan
kerjasama antara National Institute of Standard and Technology (NIST), sebagai
lembaga metrologi nasional AS, dengan laboratorium kalibrasi komersial yang
memiliki kemampuan pengukuran gas terbaik di AS, yaitu Southwest Research
Institute (SwRI) dan Colorado Engineering Experiment Station, Inc (CEESI) untuk
meningkatkan ketelitian pengukuran aliran gas alam yang dapat dilakukan oleh AS,
18
sehingga sebagai importir AS dapat menjadi pihak yang mengendalikan transaksi.
Pemerintah AS menargetkan kerjasama ini paling tidak dapat mencapai
kemampuan pengukuran gas sekitar 0,15%, yang saat ini sudah mampu dicapai
oleh Jerman dan Belanda"
Dalam hasil penelitian yang dikutip di atas, pemerintah AS bertindak sebagai negara
pengimpor dan pemakai gas alam. Sebaliknya, tim peneliti penyusun naskah akademik ini
mencoba menggunakan logika yang digunakan oleh pemerintah AS untuk paling tidak
memberikan ilustrasi tentang peranan metrologi, dalam hal ini kemampuan untuk
melakukan pengukuran aliran gas dalam pipa, terhadap tingkat resiko kerugian yang
dapat dialami oleh Indonesia sebagai pengekspor gas alam dan minyak bumi, sebagai
berikut:
"Pada tahun 2004 ekspor minyak bumi Indonesia sebesar 355 ribu barrel yang
bernilai 6,2 miliar Dollar AS, dan eskpor gas alam sebesar 3 juta barrel yang
bernilai 72 milliar Dollar AS. Perhitungan volume minyak bumi maupun gas alam
tersebut tentunya dilakukan dengan alat-alat ukur yang memiliki ketelitian tertentu,
yang seharusnya ditetapkan oleh pemerintah RI, sedemikian hingga resiko kerugian
dalam bentuk kekurangan pembayaran oleh pembeli dapat dikendalikan. Bila
pemerintah Indonesia hanya mampu memastikan bahwa alat-alat ukur yang
digunakan dalam transaksi tersebut memiliki ketelitian ± 1 %, maka dalam resiko
kerugian yang mungkin dialami oleh Indonesia dalam transaksi minyak bumi dan
gas alam dengan nilai total sekitar 80 miliar Dollar tersebut dapat mencapai 0,8
milliar Dollar AS atau sekitar 7,26 trilliun Rupiah"
Nilai resiko kerugian sebesar 7,26 trilliun Rupiah per tahun tersebut tentunya bukan
merupakan resiko yang kecil bagi pemerintah RI. Transaksi minyak bumi dan gas alam
merupakan sebuah kasus praktis yang dapat memberikan contoh secara jelas tentang
peran proses pengukuran komoditas yang diperjualbelikan secara langsung terhadap
resiko-resiko ekonomi yang mungkin harus ditanggung oleh sebuah negara. Dalam kasus
produksi minyak dan gas di negeri ini, diketahui bahwa mayoritas ladang minyak dan gas
kita dikelola oleh kontraktor asing dengan sistem bagi hasil. Dengan demikian nilai bagi
hasil yang dapat diterima oleh pemerintah RI tentunya didasarkan transaksi penjualan
yang dilakukan oleh kontraktor tersebut. Semua transaksi minyak dan gas, sebagaimana
dijelaskan di atas, selalu didasarkan pada hasil pengukuran volume minyak dan gas yang
diproduksi. Kemampuan pemerintah untuk memastikan tidak adanya kecurangan proses
pengukuran yang dilakukan oleh para kontraktor merupakan tindakan penting yang harus
dilakukan oleh pemerintah RI. Bila mengacu pada sistem metrologi, pengawasan
terhadap penggunaan alat ukur untuk melindungi kepentingan RI tersebut tentunya
menjadi kewajiban institusi metrologi legal, yang dalam hal ini harus menetapkan tingkat
ketelitian peralatan ukur yang boleh digunakan sebagai dasar transaksi dan kemudian
melakukan pengawasan sedemikian hingga persyaratan ketelitian tersebut selalu dipenuhi
oleh para kontraktor dalam melakukan transaksi.
19
Karena transaksi ekspor tentunya melibatkan negara pembeli, maka penetapan persyaratan dan juga pelaksanaan pengawasan saja tentunya tidak cukup, bila pihak-pihak yang
mewakili pemerintah RI dalam penetapan persyaratan dan pengawasan peralatan ukur
transaksi tersebut belum diakui dalam sistem perdagangan internasional dalam kerangka
WTO. Alasannya, karena harmonisasi regulasi dan kompetensi dari lembaga penilai
dipersyaratkan dalam WTO-TBT. Dalam hal penetapan persyaratan ketelitian alat ukur,
sejauh mungkin pemerintah RI harus mengacu pada rekomendasi pengujian dan karakteristik alat ukur yang diberikan oleh organisasi metrologi legal internasional (OIML)
sedangkan penilaian ketelitian alat ukur sudah tentu akan melibatkan kalibrasi. Dalam
kerangka WTO, pelaksanaan kalibrasi yang dapat dilakukan sebagai bagian dari transaksi
(dan tidak dianggap sebagai penerapan aturan untuk menciptakan hambatan teknis
perdagangan) harus dilakukan oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh
badan akreditasi yang diakui dalam skema saling mengakui yang dikelola oleh ILAC.
Berikutnya, untuk memastikan bahwa hasil kalibrasi yang dilakukan oleh lembaga penilai
tersebut setara dengan hasil kalibrasi di negara-negara lain yang berkepentingan dalam
kerangka WTO, maka kalibrasi tersebut harus mengacu pada standar pengukuran nasional
yang dikelola oleh lembaga metrologi nasional yang telah diakui kompetensinya secara
internasional dalam pengaturan saling mengakui antarlembaga metrologi nasional yang
dikelola oleh CIPM. Dengan persyaratan yang telah harmonis dengan sistem
internasional, proses penilaian yang diakui di tingkat internasional, dan juga standar
pengukuran nasional yang dikelola oleh lembaga metrologi nasional yang diakui di
tingkat internasional, pemerintah RI juga belum bisa menjadi pengendali utama resiko
transaksi yang mungkin dialaminya bila tingkat ketelitian pengukuran yang mampu
dicapai oleh infrastruktur metrologi tersebut tidak sama atau tidak lebih baik dari negara
pembeli minyak dan gas alam kita.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa dalam transaksi ekspor komoditas utama nasional
(minyak dan gas bumi), metrologi menjadi pemegang kunci untuk mengendalikan resiko
kerugian yang mungkin disebabkan oleh kesalahan atau bahkan kecurangan proses
pengukuran yang dilakukan oleh kontraktor maupun operator. Untuk dapat memastikan
bahwa transaksi minyak dan gas bumi tersebut dapat dilakukan sebaik-baiknya untuk
kepentingan nasional, diperlukan:



20
otoritas metrologi legal untuk menetapkan persyaratan dan melakukan pengawasan
alat ukur yang digunakan oleh operator,
kegiatan kalibrasi – yang merupakan bagian dari metrologi industri – untuk menilai
karakteristik alat ukur yang dilakukan oleh operator, dan
pengelolaan standar pengukuran nasional oleh lembaga metrologi nasional yang
kompetensinya diakui, serta pengembangan ilmu metrologi – yang merupakan bagian
dari kegiatan metrologi ilmiah – untuk memastikan kesetaraan standar pengukuran
nasional RI dengan standar pengukuran nasional negara asal kontraktor dan negara
pembeli dan untuk mencapai ketelitian pengukuran yang setara dengan ketelitian
pengukuran yang mampu dicapai oleh negara asal operator dan negara pembeli.
Bila infrastruktur metrologi nasional dapat dioperasikan secara efektif dan efisien
sedemikian hingga prasyarat yang ditetapkan dalam kerangka WTO tersebut dapat
dipenuhi, mungkin beberapa permasalahan yang terjadi saat ini seperti dalam kasus
ekspor gas melalui jalur pipa dari Natuna ke Malaysia dan Singapura dapat segera
diselesaikan dengan solusi yang tidak merugikan negeri ini.
D. Peningkatan Daya Saing Nasional
(i)
Daya Saing Produk dalam Supply-Chain Industri Internasional
Diawali dengan revolusi industri pada abad ke-18, industrialisasi di dunia terus berkembang lintas batas, sehingga komponen-komponen yang diperlukan oleh sebuah produk
akhir yang akan dipasarkan diproduksi oleh industri di berbagai negara yang berbeda.
Produksi otomotif merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya kegiatan kemetrologian untuk mendukung daya saing produk manufaktur nasional.
Saat ini, hampir seluruh masyarakat pemakai produk otomotif mengenal suku
cadang original sebagai produk suku cadang yang diproduksi oleh industri yang
secara langsung menjadi bagian dari supply chain produksi, serta suku cadang
yang kemudian dikenal dengan "KW-1", "KW-2" dan seterusnya yang pada
umumnya memiliki harga lebih murah yang dapat digunakan untuk
mensubstitusi suku cadang original. Sebagai ilustrasi nyata, di dunia otomotif
nasional kita mengenal merek Indopart sebagai merek suku cadang lokal yang
dapat digunakan untuk mensubstitusi suku cadang produk otomotif bermerek
Suzuki, merek Federal yang merupakan merek suku cadang lokal substitusi suku
cadang produk motor Honda, serta merek-merek lain yang biasa dijumpai di
bengkel otomotif non-ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) untuk
memberikan alternatif harga lebih murah kepada pelanggan. Telah menjadi
informasi umum pula, bahwa beberapa jenis suku cadang original dari sebuah
merek kendaraan bermotor merupakan produksi dari industri lain yang
memperoleh pesanan dari pemilik merek untuk memroduksi suku cadang yang
kemudian diberi label original.
Suku cadang otomotif, khususnya suku cadang mekanik, mensyaratkan
pengukuran dengan tingkat kepresisian tertentu yang diperlukan supaya suku
cadang tersebut dapat dipasang dengan tepat dan berfungsi dengan baik untuk
menggantikan suku cadang yang memerlukan penggantian. Para pengguna
produk suku cadang KW-2 yang memiliki harga lebih rendah seringkali
mengeluh, karena suku cadangnya cepat rusak, atau tidak dapat dipasang dengan
tepat pada dudukan yang tersedia pada kendaraannya. Penggantian lampu utama
atau lampu belakang mobil dengan produk non-original seringkali menyulitkan
pemasangannya. Di Indonesia, terdapat beberapa produsen lokal yang
memperoleh kepercayaan dari pemilik merek kendaraan bermotor untuk
memroduksi suku cadang original tersebut, sebagai contoh PT. Inti Ganda
21
Perdana, yang memroduksi bagian dari sistem penggerak (gardan, sumbu roda,
dll) dari produk Astra Group dan beberapa merek lain, serta PT. Morita Tjokro
Gearindo yang dipercaya untuk memroduksi roda-gigi atau transmisi berbagai
merek kendaraan bermotor yang dipasarkan di Indonesia.
Untuk memastikan mutu produk, dalam contoh ini roda-gigi serta sistem penggeraknya,
tentunya diperlukan ketelitian pengukuran dimensi yang memadai. Untuk memastikan
bahwa pencetakan dalam proses produksi dan pengaturan sistem produksi dapat
menghasilkan dimensi yang tepat tentunya diperlukan peralatan ukur yang terkalibrasi
dan kemudian dinilai kesesuaiannya dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Dalam
kasus produksi kendaraan bermotor, tentu saja ukuran-ukuran setiap bagian kendaraan
tersebut telah diperhitungkan pada saat perancangannya, misalnya untuk produk-produk
Jepang, tentunya ditetapkan oleh para ahli di Jepang dengan alat ukur yang ada di Jepang
yang telah dikalibrasi sesuai dengan sistem metrologi yang ada di Jepang. Oleh karena itu
untuk memastikan bahwa suku cadang yang diproduksi di Indonesia memiliki ukuran
yang sama dengan yang dimaksud oleh ukuran dalam rancangan produksi yang dilakukan
di Jepang, maka proses pengukuran yang dilakukan dalam proses produksi di Indonesia
harus setara dengan pengukuran dalam sistem metrologi Jepang. Sistem metrologi yang
dimaksud dalam hal ini adalah standar pengukuran nasional Indonesia yang harus terbukti
setara dan dikelola oleh lembaga yang kompetensinya setara dengan kompetensi
pengelola standar pengukuran nasional Jepang. Demikian pula, kalibrasi peralatan
produksi yang dilakukan di Indonesia harus dilakukan oleh laboratorium kalibrasi yang
kompetensinya setara dengan kompetensi laboratorium kalibrasi di Jepang.
Bila sistem metrologi pihak-pihak yang bertransaksi tidak setara, tentu saja resiko
ketidaksamaan ukuran yang akan menyebabkan suku cadang tidak terpasang dengan baik
menjadi besar, sehingga pemilik merek tidak akan bersedia membeli atau menggunakan
produksi Indonesia sebagai suku cadang original produk otomotif yang diproduksinya.
Bila sistem metrologi nasional Indonesia belum mampu memberikan hasil pengukuran
yang setara dengan hasil pengukuran yang dijamin oleh sistem metrologi nasional di
negara pemilik merek, tentu saja produsen kita harus menggunakan jasa kalibrasi dari
negara pemilik merek, yang akan menambah biaya produksi dan kemudian akan
meningkatkan harga jual produk, sehingga dari sisi harga produk suku cadang nasional
tersebut menjadi tidak mampu bersaing dengan produk nasional negara lain yang dalam
prosesnya cukup menggunakan jaminan hasil pengukuran dari sistem metrologi
nasionalnya sendiri. Dari ilustrasi ini tergambar bahwa ketersediaan sistem metrologi
nasional yang memadai dan harmonis dengan sistem internasional diperlukan untuk
meningkatkan daya saing produk manufaktur tersebut.
Dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing dalam supply-chain produk manufaktur
ini, peran negara yang diperlukan adalah menyediakan infrastruktur metrologi yang
memadai, yang dapat digunakan oleh industri nasional untuk memastikan kesetaraan
proses pengukuran dalam proses produksi yang dilakukannya dengan proses pengukuran
22
yang dikehendaki oleh konsumennya, dalam hal ini pemilik merek yang berada di negara
lain. Pengaturan yang berlebihan oleh pemerintah, misalnya menjadikan peralatan dalam
proses produksi suku cadang ini sebagai jenis peralatan yang diatur dalam regulasi
metrologi legal, dapat menyebabkan investasi lebih bagi pemerintah, karena pemerintah
harus menetapkan syarat-syarat ketelitian alat ukur di berbagai jenis industri manufaktur,
yang tentu saja variasinya sangat luas dan akan membutuhkan investasi sumber daya
manusia yang besar. Sedangkan bila pemerintah memaksakan kewenangannya untuk
melakukan peneraan terhadap alat ukur dalam proses produksi seperti contoh di atas
tanpa mengetahui persyaratan ketelitian yang diperlukan oleh setiap industri manufaktur,
maka regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut akan membebani pelaku usaha.
Karena, di satu sisi pelaku usaha harus mengeluarkan investasi untuk pemenuhan
regulasi. Di sisi lain, akibat ketentuan regulasi yang tidak sesuai dengan persyaratan
produk yang diminta oleh konsumennya, pelaku usaha tersebut juga harus mengeluarkan
investasi lain untuk mengalibrasikan peralatannya secara sukarela sesuai dengan
persyaratan proses produksi yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan mutu yang
diminta oleh konsumennya.
Dalam ilustrasi di atas, kedua industri suku cadang otomotif yang disebutkan saat ini
telah menggunakan infrastruktur nasional yang ada. Dalam hal ini, untuk menekan
kontribusi biaya kalibrasi terhadap biaya total produksi, kedua industri tersebut
membentuk laboratorium kalibrasi di lingkungannya sendiri dengan fungsi melakukan
kalibrasi seluruh peralatan ukur yang terlibat dalam proses produksinya. Kemudian untuk
memastikan bahwa laboratorium kalibrasinya memiliki kompetensi yang setara dengan
kompetensi laboratorium kalibrasi di negara pemilik merek, industri tersebut mengajukan
laboratorium kalibrasinya untuk diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Sistem metrologi nasional yang baik, khususnya institusi metrologi ilmiah, seharusnya
dapat berperan lebih jauh untuk mendorong industri manufaktur skala kecil dan
menengah untuk dapat meningkatkan daya saing produknya melalui pengembangan
sistem pengukuran yang murah, yang dapat diterapkan oleh industri kecil dan menengah
untuk memenuhi syarat-syarat mutu yang dipersyaratkan oleh produsen utama produk
tertentu, khususnya bila syarat-syarat mutu tersebut berupa persyaratan toleransi hasil
pengukuran.
(ii) Daya Saing Produksi Alat Ukur
Daya saing produk alat ukur menjadi satu topik bahasan yang dibahas oleh tim peneliti
sebagai bagian dari latar belakang penulisan naskah akademik ini, karena produksi alat
ukur, khususunya alat ukur yang kemudian digunakan sebagai penentu ukuran yang
mendasari transaksi antara penjual dan pembeli, memiliki situasi yang unik. Jenis alat
ukur ini sudah barang tentu menjadi obyek dari ketentuan metrologi legal bila alat ukur
tersebut akan digunakan di lokasi produksinya, dan di pihak lain alat ukur tersebut harus
memenuhi persyaratan-persyaratan kemetrologian suatu negara, bila kemudian alat
tersebut akan diekspor ke negara tersebut.
23
Meter air dan meter listrik merupakan jenis alat ukur yang dapat diambil sebagai
contoh alat ukur yang menjadi obyek regulasi metrologi legal. Untuk meter air
sudah terdapat beberapa produsen dalam negeri yang mampu memroduksinya.
Sebagai contoh: PT. Multi Instrumentasi di Bandung dan PT. Barindo Anggun
Industri di Surabaya, yang memroduksi meter air untuk keperluan pasokan air
minum dari perusahaan air minum di berbagai daerah. Bagi industri nasional
seperti ini, kesesuaian antara regulasi metrologi legal nasional dengan
rekomendasi internasional tentang klasifikasi meter air akan dapat mendorong
daya saingnya di pasar global, karena dengan memenuhi persyaratan
kemetrologian yang diterapkan oleh regulasi metrologi legal nasional,
perusahaan tersebut telah memperoleh paspor untuk mengekspor produknya.
Sebaliknya, bila regulasi metrologi legal nasional tidak harmonis dengan
rekomendasi internasional, mungkin bahkan diperlukan rancangan dan jalur
produksi yang berbeda antara meter air yang ditujukan untuk pasaran domestik
dan ekspor, yang tentu saja pemeliharaan jalur produksi dengan karakteristik
yang berbeda ini akan berkontribusi terhadap tambahan beban biaya produksi.
Selain industri alat ukur lokal, produsen alat ukur asing juga membutuhkan infrastruktur
metrologi yang jelas. Dengan berkembangnya industri multinasional, produsen alat ukur
juga menjadi salah satu jenis produsen yang memilih lokasi-lokasi basis produksi baru
dengan pertimbangan efisiensi dan daya saing produk bila diproduksi di suat negara.
Memang faktor yang memengaruhi pemilihan sebuah negara sebagai lokasi basis
produksi bukan hanya faktor-faktor kemetrologian, namun demikian peran kemetrologian
dapat diilustrasikan secara nyata dalam kasus ini.
Indonesia pada saat ini telah dipilih oleh Actaris Group sebagai basis produksi
meter air dan meter listrik bermerek Actaris yang berpusat di Prancis.
Produksinya dilakukan oleh PT. Mecoindo yang merupakan joint venture antara
pengusaha lokal dengan Actaris Group. Banyak perusahaan air minum di
berbagai daerah yang menggunakan meter air merek Actaris untuk dipasang di
instalasi pelanggannya. Di samping untuk memenuhi kebutuhan perusahaan air
minum di Indonesia, produksi meter air PT. Mecoindo juga diekspor ke Australia
dan negara-negara lainnya. Untuk kebutuhan ekspornya di Australia, produk PT.
Mecoindo selama ini harus memperoleh sertifikat uji terlebih dahulu dari
Actaris, Pty. Australia yang memiliki laboratorium kalibrasi yang telah
diakreditasi oleh National Association of Testing Authorities (NATA). Untuk
efisiensi biaya produksi, pada tahun 2007 PT. Mecoindo kemudian mengajukan
permohonan akreditasi ke KAN untuk laboratorium kalibrasinya. Laboratorium
ini bertugas untuk melakukan pengujian akurasi (kalibrasi) dari setiap meter air
dan meter listrik yang diproduksinya.
24
Dengan akreditasi laboratoriumnya oleh KAN, produksi PT. Mecoindo tidak lagi
memerlukan sertifikat kalibrasi dari Actaris, Pty. Australia, karena KAN adalah
badan akreditasi yang telah diakui sebagai penandatangan perjanjian saling
mengakui untuk akreditasi laboratorium kalibrasi di Asia Pacific maupun internasional, sebagaimana NATA juga merupakan badan akreditasi yang menjadi
penandatangan perjanjian saling mengakui tersebut. Pengakuan kompetensi
laboratorium kalibrasi ini tentunya dapat diperoleh setelah KAN dan NATA
memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk persyaratan kompetensi badan
akreditasi yang ditetapkan oleh organisasi kerjasama akreditasi regional (di Asia
Pasifik – APLAC) dan internasional (ILAC). Dengan sertifikat kalibrasi yang
dilakukan oleh PT. Mecoindo sendiri, yang telah mendapat pengakuan formal
dari KAN, diharapkan pula hasil-hasil kalibrasi tersebut digunakan sebagai basis
penentuan kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal negara-negara lain.
Namun demikian, untuk penggunaannya di Indonesia sendiri, sertifikat kalibrasi
yang diberikan oleh laboratorium kalibrasi PT. Mecoindo (yang telah
diakreditasi oleh KAN) belum dapat digunakan sebagai dasar penentuan
kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal di Indonesia, karena peraturan
perundang-undangan kemetrologian yang sedang berlaku di wilayah RI belum
memuat ketentuan yang memungkinkan hal tersebut. Ironisnya dalam kasus ini,
hasil kalibrasi yang diberikan oleh PT. Mecoindo dapat digunakan sebagai
pendorong daya saing produknya untuk dipasarkan di negara lain. Namun
sebaliknya untuk pemasaran produknya di dalam negeri, PT. Mecoindo masih
harus melakukan proses tambahan yang tentu saja membutuhkan investasi
tambahan untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan regulasi metrologi legal
nasional. Karena belum diakuinya proses-proses kalibrasi di dalam peneraan
yang dilakukan oleh lembaga metrologi legal nasional, maka sertifikat
kesesuaian dengan persyaratan metrologi legal nasional tersebut belum dapat
digunakan sebagai landasan keberterimaan produk untuk diterima di negara lain.
Berdasarkan fakta di atas, maka yang perlu menjadi konsiderans penataan peraturan
perundang-undangan kemetrologian nasional adalah permasalahan-permasalahan yang
mungkin timbul dari tidak harmonisnya persyaratan dan kompetensi metrologi legal
nasional dengan persyaratan metrologi legal negara lain, dan koordinasi antara kegiatan
metrologi legal, metrologi industri, metrologi ilmiah, serta standardisasi dan akreditasi.
Di samping permasalahan daya saing, saat ini akibat kurangnya koordinasi antara
departemen dan lembaga pemerintah yang berkepentingan dengan kemetrologian, untuk
meter air, Departemen Pekerjaan Umum juga berencana menetapkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) wajib untuk meter air, yang dalam penerapannya akan menjadi duplikasi
dengan kegiatan uji tipe yang dilakukan oleh otoritas metrologi legal nasional. Bila hal ini
terjadi, maka produsen meter air nasional yang masih dapat digolongkan sebagai usaha
kecil dan menengah akan mendapat beban tambahan lagi untuk melakukan kegiatan
25
sejenis yang diterapkan oleh regulator lain. Dilihat dari sisi pemilihan sebagai lokasi basis
produksi hal ini akan menjadi sangat tidak menarik, karena untuk berproduksi di
Indonesia harus dilakukan duplikasi investasi untuk memenuhi persyaratan oleh regulator
yang berbeda. Lebih parah lagi, bila dua regulator nasional tersebut sama-sama
menggunakan skema yang tidak harmonis dengan skema internasional, maka produk
yang diproduksi di Indonesia masih memerlukan pengujian tambahan di tiap-tiap negara
tujuan ekspor sesuai persyaratan di setiap negara tujuan ekspor tersebut. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini mutlak diperlukan penataan peraturan perundangundangan kemetrologian yang dapat mengakomodasi dan mengoordinasikan segala aspek
kegiatan kemetrologian di Indonesia.
(iii) Daya Saing sebagai Lokasi Basis Produksi
Data statistik yang diterbitkan oleh IEC menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2004,
Indonesia berada dalam 10 besar dalam kategori negara yang dipilih sebagai lokasi pabrik
produk elektroteknik di dunia. Dalam tahun 2003 terdapat 1327 lokasi pabrik dan
kemudian pada tahun 2004 menurun menjadi 1280. Pada tahun 2005, jumlah pabrik di
Indonesia meningkat menjadi 1325, tetapi peningkatan ini tidak cukup untuk
mempertahankan posisi Indonesia dalam 10 besar, karena jumlah pabrik produk
elektroteknik di negara lain bertambah dengan laju peningkatan yang jauh lebih pesat.
Sebagai ilustrasi, di negara tetangga kita Thailand, pada tahun 2003 tercatat 1320 lokasi
pabrik, dan 1552 pada tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 1881 pada tahun 2005. Di
Malaysia juga tercatat peningkatan jumlah pabrik produk elektroteknik secara konsisten,
yaitu 1881 pada tahun 2003, 1923 pada tahun 2004, dan 2117 pada tahun 2005. Data
statistik IEC sampai dengan Desember 2006 menunjukkan posisi Malaysia dan Thailand
masih bertahan di 10 besar dengan jumlah pabrik 2376 di Malaysia, dan 2261 di
Thailand, sedangkan jumlah lokasi pabrik di Indonesia sudah tidak tercatat lagi di posisi
10 besar. Bila kita melihat data statistik tersebut, negara-negara yang tercatat di posisi 10
besar merupakan negara-negara yang tercatat memiliki sistem metrologi yang harmonis
dengan sistem metrologi yang dikembangkan di tingkat internasional, yaitu China,
Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, China Taipei, Thailand, AS, dan Brazil.
Harus diakui bahwa pemilihan suatu negara untuk menjadi lokasi pabrik dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk dalam hal ini faktor politik dan keamanan. Namun demikian,
terdapat ilustrasi yang menunjukkan bahwa sistem metrologi juga berkontribusi terhadap
hal ini, bila secara umum faktor biaya produksi menjadi faktor utama pemilihan lokasi
pabrik. Kalibrasi peralatan yang digunakan dalam proses produksi merupakan proses
yang berkontribusi secara rutin terhadap biaya produksi, karena kalibrasi merupakan
sebuah proses yang harus dilakukan secara rutin dalam interval tertentu untuk menjaga
konsistensi mutu produk. Bila infrastruktur metrologi industri di sebuah negara belum
mendapat pengakuan internasional (dalam hal ini, bila kompetensi laboratorium kalibrasi
di negara tersebut belum memperoleh pengakuan internasional), maka secara rutin
pabrik-pabrik tersebut harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mendatangkan
26
pelaksana kalibrasi dari laboratorium kalibrasi negara-negara yang kompetensi
laboratorium kalibrasinya telah diakui.
Kita tentunya telah mengenal produk-produk elektronik LG dan Samsung yang
berbasis di Korea. Sampai dengan tahun 2003 untuk lokasi pabriknya di
Indonesia LG dan Samsung harus secara rutin mendatangkan teknisi kalibrasi
dari laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh Korean Laboratory
Accreditation Scheme (KOLAS) untuk mengalibrasi peralatan yang digunakan di
dalam proses produksinya. Bahkan, untuk menjaga konsistensi mutu produk,
untuk jenis peralatan tertentu diperlukan kalibrasi dengan interval 2 (dua) kali
per tahun. Setelah KAN memperoleh pengakuan dari APLAC dan ILAC untuk
memberikan pengakuan formal kompetensi laboratorium kalibrasi pada akhir
tahun 2003, LG dan kemudian Samsung membentuk laboratorium kalibrasi
untuk lokasi pabriknya di Indonesia yang kemudian mengajukan akreditasi ke
KAN, sedemikian hingga kontribusi biaya kalibrasi terhadap biaya produksi
dapat ditekan, karena tidak diperlukan lagi proses kalibrasi eksternal yang harus
didatangkan dari negara asalnya.
Perlu dicatat, bahwa lembaga yang melaksanakan kegiatan metrologi ilmiah (pengelolaan
standar pengukuran nasional) tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan internasional yang
diperlukan untuk memperoleh pengakuan internasional karena adanya tunggakan iuran
tahunan kepada BIPM dari tahun 1993 sampai dengan 2002. Akibatnya, pengakuan
terhadap sistem akreditasi laboratorium kalibrasi (pengakuan kompetensi pelaku
metrologi industri) tidak dapat dicapai oleh Indonesia. Pada awal tahun 2003, setelah
pemerintah RI melunasi kewajibannya, barulah kemudian Pusat Penelitian Kalibrasi,
Instrumentasi dan Metrologi (Puslit KIM) LIPI, yang telah berpartisipasi dalam kegiatan
metrologi regional dalam forum APMP, dapat memulai aktivitasnya dalam forum BIPM.
Dengan segala keterbatasannya, pada akhir tahun 2003 kegiatan metrologi ilmiah RI
dianggap cukup untuk memenuhi persyaratan awal yang diperlukan untuk memperoleh
pengakuan sistem akreditasi laboratorium kalibrasi.
1.1.4 Latar Belakang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada era globalisasi, salah satu faktor penting penentu daya saing bangsa adalah
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Penguasaan iptek itu sendiri baru
akan dapat dicapai oleh sebuah bangsa melalaui penelitian, pengembangan dan penerapan
teknologi secara berjenjang dan berkesinambungan. Melalui penguasaan iptek, suatu
bangsa akan mampu mengembangakan inovasi-inovasi teknologi untuk memperoleh nilai
tambah bagi komoditas nasional yang menyebabkan komoditas nasionalnya memiliki
karakteristik yang lebih baik dari komoditas bangsa lain. Dalam sejarah perkembangan
iptek, penemuan pesawat terbang oleh Wright bersaudara merupakan salah satu inovasi
yang kemudian membawa pengaruh besar ke peradaban dunia. Inovasi berupa penemuan
pesawat terbang pada tahun 1903 ini ternyata telah mencatat peran dari kegiatan
27
pengukuran untuk mengatasi hambatan inovasi pada awal abad 20 tersebut, yang
kemudian diilustrasikan di pengantar dari laporan Assessment of US Measurement System
2006 sebagai berikut:
"Dalam percobaan menerbangkan pesawat terbang rancangannya, Wright
bersaudara menemui kenyataan bahwa sayap pesawat terbang yang dirancang
berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Otto Liliental, ahli terbang layang
paling terkemuka pada saat itu, tidak dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan
karena gaya angkat yang dihasilkan oleh rancangan berdasarkan data tersebut
hanya 1/3 dari besarnya gaya angkat yang diharapkan, yang menurut Wright
bersudara disebabkan oleh kesalahan data-data pengukuran. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, Wright bersaudara kemudian merancang sebuah timbangan
untuk mengukur gaya angkat aerodinamis sayap dengan berbagai profil yang
berbeda. Berdasarkan data-data pengukuran gaya angkat yang diperoleh,
kemudian Wright bersaudara merancang sayap dan baling-baling pesawat yang
kemudian tercatat sebagai pesawat terbang pertama di dunia yang dapat
dikendalikan dan terbang dengan mesin, dan lebih berat dari pesawat terbang
layang yang sebelumnya ada."
Catatan penelitian Wright bersaudara tersebut menggambarkan secara nyata bahwa akibat
pengukuran dapat terjadi hambatan inovasi terciptanya pesawat terbang. Di Amerika
Serikat, keterbatasan kemampuan pengukuran juga telah dicatat sebagai hambatan inovasi
untuk teknologi nano (nano-technology) di luar rangkaian terintegrasi (integrated circuit
– IC). Hal ini disampaikan oleh Mark L Schattenburg dari Space Nanotechnology
Laboratory – Center for Space Research – Massachusetts Institute of Technology dalam
National Nanotechnology Initiative Workshop on Instrumentation and Metrology for
Nanoterchnoloty di National Institute of Standards and Technology, Gaithersburg,
Maryland 27-29 Januari, 2004. Dalam Workshop tersebut disimpulkan bahwa:
"infrastruktur metrologi dan lithografi AS pada saat ini tidak memadai untuk
pengembangan nanoteknologi non-IC, sehingga diperlukan pembiayaan dari
pemerintah untuk mengembangkan teknologi nano-lithografi dan nano-metrologi
untuk teknologi nano non-IC, yang mencakup pengembangan resolusi dan drift
mikroskop dengan teknologi berkas atom, sinar-X, holografi elektron atau SW
nanotubes, serta pengembangan nanometer scale optical encoders"
Pemerintah Amerika Serikat menghabiskan dana yang cukup besar untuk asesmen sistem
metrologi nasionalnya pada tahun 2006 karena melihat semakin banyak negara-negara
lain yang meningkatkan investasi penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan
produk inovatif, serta negara-negara pesaing industrinya yang memperkuat posisi sistem
metrologi dan standardisasinya dalam percaturan internasional. Jepang telah menetapkan
penguatan infrastruktur pengukuran sebagai prioritas rencana strategis pengembangan
Iptek tahun 2006-2010. Kerajaan Inggris bahkan telah terlebih dahulu menetapkan
program National Measurement System (NMS) sebagai salah satu program utama Iptek
tahun 1999-2004, yang kemudian diperpanjang 2004-2009 [41]. China, dalam rangka
28
mendorong peran negaranya dalam pengembangan Iptek nanoteknologi menetapkan
program pengembangan standar pengukuran nasional yang diperlukan untuk pengukuran
nanoskala.
Terkait dengan peran pengukuran dalam inovasi Iptek ini, Masyarakat Eropa pada tahun
2006 telah mempersiapkan pengaturan kelembagaan regional dan ketentuan legalnya
untuk pelakanaan projek Implementing Metrology in European Research Area (IMERA),
yang fokus pada koordinasi dan pengembangan kekuatan lembaga-lembaga metrologi
nasional di kawasan Eropa untuk dapat secara bersama-sama melaksanakan penelitian
metrologi yang dapat digunakan untuk mendukung inovasi Iptek Eropa dalam bersaing
dalam pasar global [42]. Dengan pertimbangan usaha-usaha yang dilakukan oleh para
pesaing industri AS dalam pengembangan sistem metrologi untuk peningkatan inovasi
Ipteknya, program Assessment on US Measurement System yang dilaksanakan dalam
tahun 2006 berhasil mengidentifikasi sekitar 300 kasus keterbatasan kemampuan sistem
pengukuran nasional AS yang menjadi faktor penghambat inovasi-inovasi yang
diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saing produk AS di pasar
global. Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai disiplin ilmu, dan untuk memberikan
solusi penyelesaian kasus pengukuran sebagai penghambat inovasi Iptek ini, NIST
sebagai lembaga pengelola standar pengukuran nasional AS ditunjuk sebagai leading
institute.
Kondisi ini sangat berbeda dengan program pengembangan Iptek di Indonesia. Sementara
negara-negara maju memosisikan metrologi sebagai infrastruktur dasar yang harus
dikembangkan untuk mendukung peningkatan inovasi nasional melalui pengembangan
Iptek, di dalam Agenda Riset Nasional RI 2006 – 2009 belum terlihat adanya koordinasi
kegiatan metrologi secara jelas dan juga belum terlihat adanya agenda penelitian nasional
untuk pengembangan standar pengukuran nasional yang diperlukan untuk mendukung
produk-produk unggulan Indonesia di pasar global. Beberapa komponen penelitian
pengukuran atau metrologi yang termuat dalam Agenda Riset Nasional antara lain
sebagai berikut [43]:




pengembangan teknologi pengukuran dan pengujian mutu pangan
pengembangan instrumen pengukuran langsung bumi dan antariksa dengan teknologi
penginderaan jauh
kesiapan regulasi, infrastruktur metrologi legal, tata niaga dan iklim investasi dalam
pemanfaatan Iptek untuk tujuan komersial
peningkatan peran metrologi dan pengujian untuk penerapan SNI
Dari butir-butir agenda riset nasional terkait dengan pengukuran dan metrologi tersebut,
tampak dengan jelas bahwa peran metrologi secara holistik sebagai infrastruktur dasar
Iptek belum dipahami dengan baik oleh berbagai pihak di negeri ini. Agenda riset
pengembangan teknologi pengukuran secara sektoral, sebagai contoh pengujian mutu
pangan, belum dapat menyelesaikan permasalahan daya saing produk pangan nasional,
bila teknologi pengukuran tersebut tidak mampu memberikan hasil pengukuran yang
29
ekivalen dengan pengukuran di negara-negara lain. Hasil-hasil pengukuran baru dapat
diakui setara dengan hasil pengukuran negara lain bila hasil pengukuran tersebut
tertelusur ke standar pengukuran nasional yang setara dan dikelola oleh lembaga
pengelola standar pengukuran nasional yang kompetensinya memenuhi prasyarat
pengakuan internasional. Demikian pula, konteks pernyataan peningkatan peran
metrologi untuk penerapan SNI seakan-akan menimbulkan kesan bahwa kegunaan
metrologi semata-mata adalah untuk penerapan SNI, sedangkan di pihak lain metrologi
legal dinyatakan berperan lebih luas dalam pemanfaatan Iptek untuk tujuan komersial.
Bila kita kembali ke filosofi sistem metrologi yang saat ini disepakati secara
internasional, kegiatan metrologi dimulai dari kegiatan para ilmuwan yang mewakili
berbagai bangsa di forum CIPM dan komite konsutatifnya untuk bidang-bidang
pengukuran spesifik yang mengelaborasi berbagai penelitian tentang realisasi standar
pengukuran dan kemudian menetapkan rekomendasi tentang definisi-definisi satuan dasar
dan satuan turunan dalam Sistem Satuan SI. Definisi satuan yang merupakan kesimpulan
dari dunia penelitian internasional ini kemudian direalisasikan oleh lembaga-lembaga
metrologi nasional di berbagai negara, dan kemudian lembaga-lembaga ini mengadakan
kegiatan pembandingan atau uji banding di antara mereka untuk menentukan nilai acuan
pengukuran internasional (key comparison reference values – KCRV) yang kemudian
digunakan sebagai dasar penilaian kesetaraan antar standar pengukuran nasional dan
kompetensi lembaga metrologi nasional.
Setelah standar pengukuran dan kompetensi pengelolanya dapat dibuktikan dan diakui
setara dengan sistem internasional, kemudian setiap negara membentuk jaringan kalibrasi
yang terdiri atas laboratorium-laboratorium kalibrasi di negara tersebut untuk mendiseminasikan nilai dari standar pengukuran dan kompentensi lembaga metrologi nasional ke
berbagai pihak yang melakukan pengukuran, baik itu industri, penelitan maupun sektorsektor lain dalam bangsa itu. Di dalam masyarakat tentunya terdapat kegiatan-kegiatan
pengukuran yang dapat memengaruhi kepentingan masyarakat, kesehatan, keselamatan
dan keamanan masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Untuk aspek-aspek
perlindungan masyarakat dan lingkungan ini, kesepakatan internasional dalam WTOTBT mengijinkan setiap negara menerapkan aturan-aturan tentang ketelitian alat ukur
yang boleh digunakan untuk kegunaan tersebut, yang secara internasional, kesetaraan
regulasi alat ukur dan proses pengukuran ini dikoordinasikan oleh OIML.
Dengan ilustrasi yang dikutip dari penelitian dan laporan kegiatan kemetrologian negara
lain, serta agenda riset nasional terkait dengan kemetrologian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kegiatan metrologi lainnya belum tercakup dan bahkan belum disadari dalam
penyusunan Agenda Riset Nasional, yang ditujukan untuk peningkatan inovasi dalam
mendukung daya saing nasional melalui Iptek. Hal ini disebabkan oleh peraturan
perundang-undangan tentang kemetrologian di Indonesia yang ada saat ini, terutama UU
Metrologi Legal. Padahal, kegiatan metrologi di luar metrologi legal memiliki cakupan
lebih luas dan memiliki pemangku kepentingan yang sangat luas, dan merupakan
30
prasyarat dasar untuk keberterimaan sistem pengukuran yang diperlukan dalam integrasi
ekonomi nasional dalam pasar global.
Peran pengukuran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan pernah dinyatakan oleh
Lord Kelvin – ilmuwan besar pada masa lalu yang namanya diabadikan sebagai satuan
dasar pengukuran temperatur – dan Steve CHU – pemenang Nobel fisika tahun 1996
dengan pernyataan berikut:
"when you can measure what you are speaking about, and express it in numbers,
you know something about it; but when you cannot express it in numbers, your
knowledge is of a meagre and unsatisfactory kind. It may be the beginning of
knowledge, but you have scarcely, in your thoughts, advanced to the stage of
science" (Lord Kelvin)
"accurate measurement is at the heart of physics, and in my experience new physics
begins at the next decimal place" (Steve CHU, Nobel Laureate, 1997)
1.1.5 Landasan Yuridis
Di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa "melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum" merupakan bagian dari tujuan negara Republik Indonesia. Dalam bagian
sebelumnya, telah terdapat berbagai bukti yang dapat menunjukkan bahwa kegiatan
kemetrologian memegang peranan penting untuk melindungi kepentingan negara,
keselamatan, keamanan dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora fauna dan
lingkungan hidup. Di sisi lain kegiatan kemetrologian juga merupakan pondasi untuk
membangun daya saing nasional, yang diperlukan untuk memajukan kesejahteraan
umum.
Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 menyatakan bahwa "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, bewawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Kegiatan kemetrologian
diperlukan untuk perlindungan kepentingan umum dan di lain pihak untuk membangun
daya saing. Perlindungan kepentingan umum dilakukan oleh pemerintah melalui
penetapan berbagai regulasi metrologi legal, yang bila tidak dianalisis dengan baik dapat
menghambat fungsi metrologi untuk membangun daya saing. Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945
ini hendaknya digunakan sebagai acuan dalam penataan peraturan perundang-undangan
kemetrologian sedemikian hingga peraturan perundang-undangan kemetrologian yang
ditetapkan memberikan takaran yang pas untuk mengembangkan perekonomian nasional
berdasarkan UUD 1945
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia – WTO mengesahkan Agreement Establishing The World Trade
Organization. Dengan adanya undang-undang ini berarti Indonesia telah menyatakan
31
akan menaati semua aturan dan perjanjian yang dikeluarkan oleh WTO, termasuk TBT
dan Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). Kesepakatan-kesepakatan di dalam
forum WTO ini kemudian mensyaratkan pembentukan infrastruktur mutu nasional
(national quality infrastructure) oleh negara-negara yang berkehendak untuk
berpartispasi dan mengambil keuntungan dalam pasar global. Salah satu elemen penting
dalam infrastruktur mutu nasional tersebut adalah metrologi. Sistem metrologi berfungsi
untuk menjamin kehandalan dan ketertelusuran pengukuran ke definisi satuan dalam
Sistem Satuan SI yang diperlukan dalam proses produksi, proses pengujian produk,
pengembangan mutu produk dan juga sertifikasi.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen antara lain
mengatur tentang pengertian barang; kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu
barang dan/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; larangan bagi pelaku usaha untuk memroduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/ atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan, tidak sesuai dengan mutu, tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal; Pelaku usaha dilarang menawarkan, memromosikan,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang
tersebut telah memenuhi standar mutu; pelaku usaha dilarang mengelabui konsumen yang
berkaitan dengan mutu. Undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan kepada
konsumen melalui penerapan standar yang ditentukan. Meskipun UU ini tidak
menyebutkan secara eksplisit tentang metrologi, mutu yang dimaksud dalam UU ini tidak
akan dapat dicapai bila pemerintah tidak mengembangkan kebijakan metrologi nasional
yang memadai. Dari sisi produsen, metrologi diperlukan untuk memastikan proses
pengukuran dalam produksi barang/jasa dapat memenuhi persyaratan pengukuran yang
diperlukan untuk mencapai mutu yang dipersyaratkan oleh regulator. Dari sudut pandang
pemerintah, pengukuran diperlukan dalam proses pengujian untuk memastikan bahwa
barang/jasa yang dipasarkan di masyarakat secara konsisten memenuhi persyaratan mutu
yang ditetapkan untuk perlindungan konsumen.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan mengatur pengamanan
makanan dan minuman untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan kesehatan sehingga membahayakan
kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan.
Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan
lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan persyaratan. Pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan atau kemanfaatan. Dalam
pelaksanaannya masih diperlukan koordinasi antara berbagai departemen terkait,
misalnya dalam hal-hal yang terkait dengan pengawasan produk industri makanan dan
minuman, produk makanan dan minuman hasil pertanian, pemeliharaan masalah
lingkungan, dan lain sebagainya. Terkait dengan kesehatan, kegiatan kemetrologian
32
diperlukan secara langsung untuk memastikan kebenaran diagnosis berdasarkan hasil
pengukuran peralatan medis, dan secara tidak langsung untuk memastikan ukuran-ukuran
yang diperlukan untuk proses pembuatan produk farmasi baik di pabrik obat-obatan,
makanan, maupun peracikan obat di apotik.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran menyebutkan bahwa
setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan
keselamatan, keamanan dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat,
serta perlindungan terhadap lingkungan hidup, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000. Dalam peraturan pemerintah ini dinyatakan bahwa
sistem dan komponen sumber radiasi harus dirancang dan dibuat sesuai dengan standar
yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Badan Pengawas. Dengan adanya Undangundang Nomor 10 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 maka
sudah ada aturan tentang standar yang khusus berkaitan dengan ketenaganukliran.
Standar ini pada dasarnya mengadopsi standar internasional yang berlaku di bidang
ketenaganukliran. Secara internasional kegiatan ketenaganukliran diatur dengan
ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam forum IAEA, yang sepenuhnya memahami
pentingnya kegiatan kemetrologian. Ini dapat ditunjukkan dengan adanya Nota
Kesepahaman antara IAEA dengan BIPM, posisi IAEA sebagai organisasi internasional
anggota BIPM, serta penyelenggaraan uji banding standar-standar acuan dosis dan radiasi
pengion antar lembaga-lembaga ketenaganukliran nasional secara rutin. Keterlibatan
dalam dan pengakuan IAEA terhadap kegiatan kemetrologian internasional dengan
sendirinya mensyaratkan setiap negara anggota IAEA untuk mengembangkan sistem
metrologi nasional yang selaras dengan sistem metrologi internasional yang
dikembangkan oleh BIPM.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha
dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan, penanggulangan
pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan peraturan pemerintah.
Pelaksanaannya masih memerlukan koordinasi antar instansi mengingat masalah
lingkungan hidup mencakup berbagai sektor yang saling terkait, antara lain sektor
pertambangan dan energi, sektor kesehatan, sektor industri, dan lain sebagainya. Peran
proses pengukuran dalam pengelolaan lingkungan hidup terlihat dengan nyata khususnya
di wilayah DKI Jakarta dengan penggunaan gas analyzer oleh bengkel-bengkel uji emisi
kendaraan bermotor untuk menjamin mutu udara. Tujuan untuk menjamin mutu udara di
wilayah DKI Jakarta sebenarnya tidak dapat dijamin bila tidak terdapat aturan-aturan
yang diperlukan untuk memastikan kebenaran hasil pengukuran karakteristik gas buang
kendaraan bermotor. Terkait dengan kegiatan kemetrologian, seharusnya pengawasan
terhadap penggunaan gas analyzer ini menjadi bagian yang diatur dalam ketentuanketentuan legal metrologi. Dalam pengelolaan lingkungan hidup juga diperlukan berbagai
jenis bahan acuan bersertifikat sebagai acuan pengukuran berbagai parameter lingkungan
33
yang seharusnya dapat disediakan oleh pemerintah melalui penataan kelembagaan
kemetrologian nasional.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi antara lain menyatakan
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip yang salah satunya
adalah pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Persyaratan teknis perangkat telekomunikasi diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah (PP). Standar-standar yang disusun pada umumnya merupakan pengadopsian
standar internasional oleh pemerintah tanpa melalui proses konsensus di antara pihakpihak yang berkepentingan. Secara umum sebuah standar hanya akan dapat diterapkan
dengan baik bila terdapat acuan pengukuran yang sama, dan acuan pengukuran yang
sama di sebuah negara perlu dijamin oleh pemerintah dengan sistem metrologi nasional
yang memiliki payung hukum yang kuat untuk digunakan sebagai acuan dan berlaku
mengikat bagi semua pihak pemangku kepentingan.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Pengawasan Ilmu Pengetahuan (Sinasiptek) menyebutkan bahwa
Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat, bangsa dan negara serta keseimbangan
tata kehidupan manusia dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk
melaksanakannya, Pemerintah mengatur perizinan bagi pelaksanaan kegiatan penelitian,
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berisiko tinggi dan
berbahaya dengan memperhatikan standar nasional dan ketentuan yang berlaku secara
internasional, karena risiko yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan tersebut sering menjadi
perhatian internasional dan baku mutunya dituangkan ke dalam standar. Pengertian
standar dalam Undang-undang Sinasiptek ini sudah sejalan dengan pengertian standar
konsensus yang memerlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. UU ini juga
tidak memuat secara eksplisit tentang perlunya pengembangan ilmu kemetrologian dalam
Sinasiptek, namun demikian, dalam beberapa hal dan telah dinyatakan dalam laporan
formal oleh berbagai negara, seringkali kegiatan kemetrologian yang kurang memadai
dapat menjadi penghambat inovasi iptek.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan antara lain mengatur
tentang keselamatan ketenagalistrikan yang meliputi standardisasi, pengamanan instalasi
tenaga listrik dan pengamanan pemanfaat tenaga listrik. Instalasi tenaga listrik harus
didukung oleh peralatan dan lengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang
ketenagalistrikan; Setiap pemanfaat tenaga listrik yang diperjualbelikan wajib memiliki
tanda keselamatan. Pembinaan dan pengawasan umum meliputi antara lain tercapainya
standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan. UU Nomor 20 Tahun 2002 ini
menggantikan UU Nomor 15 Tahun 1985.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, telah ditindaklanjuti dengan
penyerahan tugas pelaksanaan kegiatan metrologi legal kepada pemerintah daerah.
Implementasi proses pendelegasian wewenang ini sampai saat ini belum dapat berjalan
34
dengan baik. Hal ini di antaranya disebabkan UU kemetrologian utama di wilayah RI
belum memuat ketentuan-ketentuan yang diperlukan tentang wewenang pemerintah pusat
dan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi kemetrologian.
Uraian dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, yang dimulai dari ketentuanketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan peraturan perundangundangan tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia, dan undang-undang yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menunjukkan bahwa implementasi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan tersebut memerlukan kegiatan kemetrologian sebagai prasyarat untuk mencapai
tujuan penetapan peraturan perundang-undangan, meskipun kegiatan kemetrologian tidak
disebutkan secara eksplisit. Kebutuhan akan adanya sistem metrologi nasional yang kuat,
yang mampu memberikan pondasi bagi implementasi peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh berbagai departemen dan lembaga pemerintahan tersebut, dengan
sendirinya memerlukan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua
pemangku kepentingan, yang dipayungi oleh sebuah UU kemetrologian yang mencakup
seluruh aspek kegiatan kemetrologian dan berlaku mengikat bagi seluruh pemangku
kepentingan kegiatan kemetrologian.
1.2 CAKUPAN NASKAH AKADEMIK
Naskah akademik ini tidak lain adalah sebuah dokumen perihal perlunya penataan
peraturan perundang-undangan kemetrologian dalam rangka peningkatan daya saing
nasional. Penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian ini dipandang perlu
karena sistem metrologi pada saat ini telah menjadi sebuah sistem yang diharmonisasikan
secara internasional sebagai infrstruktur dasar untuk memfasilitasi perdagangan global
dalam kerangka WTO-TBT, yang merupakan salah satu perjanjian internasional yang
telah diratifikasi oleh pemeritah Republik Indonesia dalam Undang-Undang RI No. 7
Tahun 1994 tentang "Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)". WTO-TBT merupakan
sebuah perjanjian dalam kerangka WTO yang mendorong terciptanya aliran komoditas
secara bebas dalam pasar global dengan memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
tersebut. Sebagai salah satu negara anggota WTO yang telah meratifikasi WTO-TBT,
tentunya Indonesia perlu untuk meningkatkan daya saingnya, sedemikian hingga
komoditas dari Indonesia dapat menjadi bagian dari komiditas internasional yang dapat
mengalir secara bebas dalam pasar global.
Naskah akademik ini memuat identifikasi dan elaborasi permasalahan yang timbul dari
implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian yang berlaku saat ini di
wilayah RI, penjelasan atas permasalahan substansi peraturan perundang-undangan
kemetrologian yang menyebabkan kurang efektifnya sistem metrologi nasional dalam
mendukung daya saing, serta rekomendasi atau solusi yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan mengatasi permasalahan yang menyebabkan kurang efektifnya fungsi
sistem metrologi nasional, khususnya untuk mendukung daya saing nasional dalam pasar
35
global, yang diharapkan dapat digunakan sebagai landasan penulisan pasal demi pasal
peraturan perundang-undangan kemetrologian utama yang diperlukan untuk mengatur
sistem metrologi nasional secara efektif dan efisien. Naskah Akademik ini disusun
dengan sistematika sebagai berikut:
1. Pendahuluan, yang mencakup latar belakang filosofis, historis, sosio-ekonomi,
iptek dan yuridis yang kelak dapat digunakan sebagai acuan konsiderans
penyusunan UU kemetrologian utama. Bagian ini juga memuat proses dan
metodologi penyusunan naskah akademik ini.
2. Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian: sebuah kajian
tentang praktik internasional, mencakup paparan tentang pengembangan
peraturan perundang-undangan kemetrologian sesuai dengan rekomendasi
internasional dan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional negara
lain sebagai pembanding terhadap peraturan perundang-undangan kemetrologian
nasional Indonesia.
3. Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional: analisis kritis tentang
substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981, mencakup paparan kekuatan
dan kelemahan UU No. 2 Tahun 1981 sebagai peraturan perundang-undangan
terkait kemetrologian tertinggi yang saat ini berlaku di wilayah RI, dan analisis
terhadap implementasi ketentuan-ketentuan UU No. 2 Tahun 1981 ke dalam
peraturan perundangan-undangan di bawahnya.
4. Penataan Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional: sebuah
kebutuhan untuk meningkatkan daya saing nasional, mencakup paparan tentang
dasar-dasar pemikiran perlunya penataan peraturan perundang-undangan
kemetrologian nasional.
5. Cakupan Usulan Penataan Perundang-Undangan Kemetrologian Nasional,
mencakup penjelasan tentang usulan penyempurnaan UU Kemetrologian yang
dapat digunakan sebagai landasan Penataan Perundang-Undangan Kemetrologian
Nasional secara menyeluruh yang diperlukan dalam penguatan dan
penyempurnaan sistem metrologi nasional untuk meningkatkan daya saing
bangsa.
6. Pustaka, memuat dokumen-dokumen internasional dan juga berbagai peraturan
perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar penulisan naskah akademik
ini.
Daftar singkatan-singkatan dan istilah-istilah ditampilkan di bagian akhir naskah ini.
1.3 PROSES DAN METODOLOGI PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Kegiatan penyusunan naskah akademik ini merupakan salah satu kegiatan dalam Program
Riset Kompetitif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bidang X Otonomi Daerah,
Konflik dan Daya Saing. Oleh karena itu latar belakang utama yang disajikan dalam
36
naskah akademik penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian ini adalah
kontribusi kegiatan kemetrologian untuk mendorong daya saing nasional, khususnya
dalam kerangka perdagangan global sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati
secara internasional dalam kerangka WTO-TBT. Aktivitas penelitian ini secara
kelembagaan dilaksanakan oleh Puslit KIM-LIPI, dengan peneliti utama Dr. Husein
Avicenna Akil, dengan peneliti dan pembantu peneliti dari yang berasal dari Puslit KIMLIPI sendiri, yaitu Drs. Dede Erawan, M.Sc., Agustinus Praba Drijarkara, M.Eng. dan
Dwi Kirana Yuniasti, SH., dan Dadang Rustandi, ST, serta peneliti dari BSN, yaitu Dr.
Sunarya dan Donny Purnomo, ST.
Penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini dimulai dengan kajian awal berupa
studi literatur terhadap dokumen-dokumen internasional dan kompilasi pengetahuan dan
pengalaman peneliti mengenai sistem metrologi nasional dalam kaitannya dengan
perannya untuk memfasilitasi partisipasi Indonesia dalam pasar global melalui
peningkatan daya saing produk. Hasil kajian awal ini kemudian digunakan sebagai latar
belakang naskah akademik penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian.
Setelah itu dilanjutkan dengan identifikasi dan analisis implementasi peraturan
perundang-undangan terkait dengan kemetrologian yang diberlakukan di wilayah RI dan
analisis terhadap substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian serta
pembandingannya dengan rekomendasi internasional tentang peraturan perundangundangan kemetrologian dan peraturan perundang-undangan kemetrologian negara lain.
Hasil analisis substansi dan analisis komparatif ini kemudian didiskusikan dalam 2 (dua)
kali focus group discussion (FGD). FGD ke-1 dilakukan untuk memverifikasi hasil kajian
awal dari tim peneliti serta memperoleh masukan secara langsung dari peserta FGD
tentang implementasi peraturan perundang-undangan serta kegiatan kemetrologian yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang diwakili oleh peserta FGD. Pada FGD ke-2, tim peneliti
menyajikan hasil analisis substansi dan analisis komparatif kepada wakil dari pemangku
kepentingan yang diundang dalam FGD serta mengemukakan konsep penataan peraturan
perundang-undangan kemetrologian guna memperoleh masukan dari peserta FGD untuk
kemudian dituangkan dalam Naskah Akademik ini.
Berkaitan dengan kurang disadarinya peran kegiatan kemetrologian dalam aktivitas
pemangku kepentingan metrologi dan juga kurang dikenal dan kurang dipahaminya
konsep pengaturan kegiatan kemetrologian yang sejauh ini telah menjadi ketentuanketentuan yang disepakati di tingkat regional maupun internasional, FGD juga digunakan
oleh tim peneliti untuk menginformasikan perkembangan sistem metrologi internasional
yang telah dipublikasikan dalam berbagai dokumen dan rekomendasi internasional.
Penyusunan naskah akademik ini sendiri dimulai setelah pelaksanaan FGD ke-2, setelah
tim peneliti memperoleh masukan dari berbagai pihak tentang model penataan
perundang-undangan kemetrologian yang akan dituangkan di dalam naskah akademik
serta informasi-informasi tambahan tentang kegiatan kemetrologian yang dilakukan atau
terkait dengan pemangku kepentingan metrologi yang diwakili oleh para peserta FGD.
37
II. PENGEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMETROLOGIAN
sebuah kajian terhadap praktik-praktik internasional
Peran metrologi terhadap mutu dapat dilihat dengan mudah dengan rangkaian pernyataanpernyataan berikut:







tidak ada produk "bermutu" tanpa proses "pengendalian mutu"
tidak ada proses "pengendalian mutu" tanpa "pengukuran"
tidak ada "pengukuran" yang benar tanpa "kalibrasi"
tidak ada "kalibrasi" yang diakui tanpa "akreditasi laboratorium kalibrasi"
tidak ada "akreditasi laboratorium kalibrasi" tanpa jaminan "ketertelusuran
pengukuran"
tidak ada "ketertelusuran pengukuran" tanpa realisasi "standar pengukuran"
tidak ada realisasi "standar pengukuran" tanpa "metrologi"
Produk bermutu dalam rangkaian pernyataan di atas dapat diberi makna sebagai produk
yang berdaya saing tinggi dan mampu menembus pasar global maupun sebagai produk
yang tidak merugikan atau merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, keselamatan,
kesehatan dan keamanan warga negara, fauna, flora, dan lingkungan hidupnya. Dua
alternatif makna produk bermutu dari perspektif sebuah bangsa, sejalan dengan logika
keterkaitan rangkaian kata-kata di atas, menunjukkan posisi kegiatan kemetrologian
sebagai pondasi dalam membangun daya saing dalam pasar global dan juga dalam
perlindungan kepentingan negara dan konsumen dalam artian yang luas.
Bagian ini akan memberikan pokok-pokok pikiran pengembangan peraturan perundangundangan kemetrologian dengan didasarkan pada rekomendasi internasional tentang
peraturan perundang-undangan kemetrologian OIML D 1: “Elements of Law on Metrology”. Beberapa bagian penting dari Undang-Undang Kemetrologian yang berlaku di
beberapa negara dibahas secara khusus untuk memberikan gambaran tentang adopsi
sistem metrologi internasional ke dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian
negara lain yang dapat digunakan sebagai pembanding terhadap peraturan perundangundangan kemetrologian yang saat ini berlaku di wilayah Republik Indonesia.
Penjelasan tentang pengembangan peraturan perundang-undangan kemetrologian dalam
bagian berikut disusun berdasarkan sistematikan sebuah Undang-Undang Kemetrologian
yang terdiri atas: latar belakang dan lingkup peraturan perundangan-undangan kemetro38
logian, otoritas kegiatan kemetrologian, lembaga-lembaga kemetrologian, satuan
pengukuran dan standar pengukuran, serta metrologi legal.
2.1 LATAR BELAKANG DAN LINGKUP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMETROLOGIAN
Dari tinjauan lebih jauh terhadap perkembangan sistem perdagangan global sebagaimana
dibahas dalam latar belakang naskah akademik ini, tampak bahwa sistem metrologi telah
diakui menjadi prasyarat untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam pasar global, dalam
arti untuk menjadikan komoditas nasional sebagai komoditas yang mampu bersaing dan
juga melindungi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dengan memanfaatkan
peluang yang diberikan oleh WTO-TBT. Oleh karena fungsi infrastruktur metrologi
nasional yang harmonis sebagai infrastruktur dasar untuk memfasilitasi implementasi
pasar global, sebuah negara perlu untuk mengembangkannya sejalan dengan
perkembangan sistem metrologi internasional. Konsiderans WTO-TBT antara lain
menyatakan bahwa perjanjian tersebut dibuat untuk:
"Menghindarkan hambatan teknis terhadap perdagangan internasional yang
mungkin timbul dalam penetapan regulasi teknis dan standar, termasuk yang
berkaitan dengan persyaratan penandaan, serta prosedur penilaian kesesuaian
dengan regulasi teknis dan standar yang ditetapkan oleh negara anggotanya "
Meskipun demikian butir lain dari konsiderans WTO-TBT memberikan hak bagi negara
anggotanya untuk menetapkan aturan-aturan yang diperlukan untuk kepentingan
nasionalnya dengan pernyataan:
"Bahwa sebuah negara tidak dilarang untuk mengambil tindakan yang diperlukan
dalam menjamin mutu produk ekspornya, untuk perlindungan kehidupan manusia,
fauna, flora, dan lingkungan hidupnya atau untuk mencegah praktik-praktik yang
merugikan negaranya, pada tingkat yang dianggap memadai, yang tidak diterapkan
dengan cara yang dapat menyebabkan diskriminasi perlakuan terhadap negara
anggota lainnya yang tidak dapat dibenarkan untuk kondisi yang sama untuk
menyamarkan hambatan terhadap perdagangan internasional"
Berdasarkan konsiderans WTO-TBT tersebut sudah selayaknya penetapan peraturan
perundang-undangan kemetrologian nasional dilakukan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan internasional terkait dengan metrologi dan juga harus memastikan bahwa
ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak menghilangkan kesempatan bagi negara untuk
berpartisipasi dan memperoleh pengakuan secara internasional dalam skema-skema
saling mengakui di tingkat regional maupun internasional terkait dengan kegiatan
kemetrologian. Dengan mengacu pada rekomendasi internasional OIML D1, sebuah
infrastruktur metrologi nasional hendaknya terdiri atas:

perangkat hukum yang mencakup undang-undang dan peraturan tentang metrologi
39






suatu otoritas pemerintah yang bertanggungjawab atas kebijakan metrologi nasional
dan koordinasi antar departemen/lembaga terkait dengan metrologi (selanjutnya
disebut otoritas metrologi nasional)
satu atau lebih lembaga yang bertugas dalam tingkat nasional melaksanakan
kebijakan metrologi
sistem standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan pengukuran
sistem sukarela untuk mengakreditasi laboratorium, lembaga sertifikasi dan lembaga
inspeksi
struktur untuk mendiseminasikan pengetahuan dan kompetensi metrologi
pelayanan jasa kepada perindustrian dan perekonomian dalam bidang metrologi
Peran penting kegiatan kemetrologian dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara, terlihat dengan jelas melalui penetapan kebijakan metrologi nasional melalui
sebuah undang-undang oleh hampir semua negara di dunia. Negara-negara maju seperti
Prancis, Kerajaan Inggris, Amerika Serikat dan Jerman telah mengembangkan UU
kemetrologian modern sejak masa Revolusi Industri, dan melakukan pengembangan
sistem metrologi yang kemudian digunakan sebagai dasar-dasar sistem metrologi
internasional dan digunakan secara luas dalam percaturan internasional. Hal ini juga telah
disadari oleh pemerintah Hindia Belanda, yang telah menetapkan UU kemetrologian yang
telah berevolusi menjadi wujudnya yang berlaku di wilayah RI saat ini yaitu UU No. 2
Tahun 1981 dan sampai saat ini belum mengalami perubahan.
Semakin menguatnya tekanan bagi negara-negara berkembang untuk dapat bertahan dan
mengambil keuntungan dari sistem perdagangan global yang disepakati dalam kerangka
WTO, telah mendorong berbagai negara-negara sedang berkembang untuk menyesuaikan
UU kemetrologiannya dengan kecenderungan sistem metrologi internasional. Hal ini
tempak dari latar belakang penetapan UU kemetrologian ataupun revisi UU
kemetrologian di berbagai negara didasarkan pada berbagai aspek kepentingan bangsa,
sebagaimana dapat dilihat dari konsiderans revisi UU kemetrologian Vietnam dan
Slovenia sebagai berikut:
Vietnam – Ordinance on Measurement 1999







40
to make measurement uniform and accurate so as to contribute to ensuring
social justice, protecting the legitimate rights and interests of all organizations
and individuals,
to raise products and goods quality,
to thriftily use of natural resources, materials and energy,
to ensure safety,
to protect people’s health and environment,
to enhance state management efficiency and
to create favorable conditions for international exchange
Slovenia – Metrology Act 2000
to assure accurate and internationally compatible measurements, the system of units
of measurement; measurement standards; measuring instruments; the validity of
documents and marks of conformity of foreign origin; supervision of quantities and
marking of products; and metrological supervision; as well as the competence and
responsibilities of the Standards and Metrology Institute of the Republic of Slovenia
(hereinafter SMIS).
Sebagaimana telah dibahas dalam latar belakang Naskah Akademik ini, cakupan kegiatan
kemetrologian yang pada awalnya lebih banyak fokus pada pengaturan alat ukur dalam
perdagangan, sejalan dengan perkembangan jaman telah meluas ke berbagai aspek
kehidupan, yang bila melihat pada perkembangan sistem metrologi di Uni Eropa
kemudian dikelompokkan menjadi metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi
legal. Pengaturan ketiga aspek kegiatan kemetrologian tersebut secara sinergis diharapkan
mampu memosisikan metrologi sebagai pondasi untuk berbagai tujuan yang
melatarbelakangi penetapan kebijakan metrologi nasional.
2.2 OTORITAS KEGIATAN KEMETROLOGIAN
Sebuah infrastruktur nasional tentunya memerlukan pengorganisasian kewenangan yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin keefektifan dan
efisiensi fungsi infrastruktur yang telah dibuat. Sebagaimana infrastruktur negara lainnya,
infrastruktur metrologi nasional memerlukan pengaturan administratif oleh pemerintah
untuk:
menentukan kebijakan metrologi nasional,
 menetapkan dan memelihara infrastruktur metrologi yang memadai, dan
 menetapkan regulasi serta penegakan hukumnya

Tugas-tugas teknis terkait dengan kegiatan kemetrologian dapat dilakukan oleh lembaga
spesialis maupun lembaga-lembaga lainnya baik lembaga pemerintah, semi pemerintah
maupun swasta yang tidak secara langsung berada dalam struktur lembaga pemerintah
tersebut, yang melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah serta melaporkannya kepada pemerintah. Untuk memastikan bahwa tugas dan
kewenangan pemerintah terkait dengan kegiatan kemetrologian dapat dilaksanakan
dengan baik diperlukan sebuah otoritas metrologi nasional (central metrology authority)
yang memiliki tugas untuk menangani kebijakan metrologi nasional secara terintegrasi
(mencakup kegiatan metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi legal) dengan
misi:

mempelajari kebutuhan metrologi di tingkat nasional, serta orientasi dan prioritas
kebijakan metrologi nasional, sebagai contoh dengan sebuah komite konsultatif yang
terdiri dari para ahli yang mewakili berbagai sektor kehidupan berbangsa dan
bernegara;
41








mengelaborasi dan menyiapkan kebijakan metrologi nasional yang perlu ditetapkan
oleh pemerintah;
mengoordinasikan kegiatan dari berbagai departemen dan lembaga pemerintah yang
terkait dengan kemetrologian untuk memastikan konsistensi kebijakan dan tindakan
pemerintah;
menetapkan regulasi metrologi legal nasional;
berkoordinasi dengan sistem akreditasi dan standardisasi nasional;
memastikan keterwakilan negara dalam organisasi serta forum-forum metrologi
regional dan internasional;
memfasilitasi pengakuan internasional terhadap sistem dan kelembagaan metrologi
nasional;
mengoordinasikan kegiatan seluruh lembaga metrologi legal, termasuk kegiatan
metrologi legal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
memberikan informasi secara transparan kepada masyarakat tentang sistem metrologi
nasional
Otoritas metrologi nasional bertanggung jawab untuk memastikan konsistensi regulasi
kemetrologian dan implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian, serta
memastikan bahwa fungsi-fungsi berikut dapat dilakukan oleh setiap pihak terkait:








42
penjaminan bahwa alat ukur yang digunakan dalam perdagangan, kesehatan,
keselamatan, penegakan hukum dan perlindungan lingkungan sesuai dengan maksud
penggunaannya, dipasang dengan tepat, akurat dan dipelihara oleh pemilik atau
pemakainya;
pencegahan kecurangan dalam penimbangan atau pengukuran berbagai komiditi,
dalam iklan layanan, dalam ukuran barang dalam keadaan terbungkus, serta dalam
penjualan, pembelian dan penukaran berdasarkan proses pengukuran;
peningkatan harmonisasi regulasi kemetrologian yang diterapkan oleh pemerintah
daerah
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan konsumen melalui adopsi
persyaratan metrologi legal untuk menjamin kompetisi yang adil dan seimbang antara
penjual dan pembeli;
perlindungan kepentingan masyarakat dengan menetapkan dan menerapkan
persyaratan kemetrologian alat ukur yang digunakan dalam pelayanan kesehatan,
keselamatan, penegakan hukum dan perlindungan lingkungan;
jaminan ketertelusuran hasil pengukuran melalui proses yang diakui dan diterima
secara internasional;
penyediaan standar pengukuran yang diperlukan oleh berbagai pihak;
pembebasan dari ketentuan peraturan perundang-undangan kemetrologian atau
rehulasi lainnya bila diperlukan untuk memelihara praktik komersial yang baik.
Supaya UU kemetrologian tersebut dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien
untuk memenuhi kebutuhan semua aspek di negaranya, negara-negara tersebut juga
menetapkan otoritas metrologi dalam UU kemetrologiannya sebagai pemegang kebijakan
metrologi nasional yang mencakup atau mengoordinasikan seluruh kegiatan
kemetrologian yang dilakukan di berbagai sektor di negara tersebut. Contoh-contoh
penetapan otoritas metrologi di dalam UU kemetrologian dapat diuraikan sebagai berikut.
Vietnam Ordinance on Measurement 1999
Chapter VII State Management Over Metrology
Article 26:
The government shall exercise unified state management over metrology throughout
the country.
The ministry of science, technology and environment shall be answerable to the
government for the state management over metrology.
The organization, tasks and power of the state management agency on metrology
under the ministry of science, technology and environment shall be defined by the
government.
Article 27:
The ministries, ministrial-agencies and egencies attached to the government shall
within the ambit of their tasks and powers, have to coordinate with the ministry of
science, technology and environment in exercising the state management over
metrology
South Africa Measurement Unit and Measurement Standard Act 2006
Chapter 5: Board of National Metrology Institute and its Composition
10.(1) The Board of the National Metrology Institue consists of:
(a) not less than seven and not more than 12 members appointed by the minister (of
trade and industry)
(b) the CEO appointed in terms of section 18 by virtue of his or her office
(c) not more than two senior managers of the NMI appointed by the minister as
executive members of the board.
(2) When Appointing the members of the board the minister must ensure that those
members:
(a) are broadly representative of the demographics of the country including with
regard to gender and disability; and
(b) have sufficient knowledge, experience or qualification relating the function of
the NMI
43
Slovenia Metrology Act 2000
Article 4:
The technical and their related administrative as well as organizational assignments
in the field of metrology, which are laid down in this and other acts, shall be
performed by the Standards and Metrology Institute of the Republic of Slovenia
(hereinafter referred to as "SMIS")
Article 5:
The minister in charge of metrology shall set up a Metrology Board which shall
operate as consulting body for metrolog. Its assignment shall be in particular to:
– function as a technical body;
– advice in identifying the metrology needs of the Republic of Slovenia;
– propose scientific and training activities in the field of metrology.
Australia National Measurement Act 1960 – ammendment 2004:
Chapter 18 Metrological functions
(1) The Secretary (of the Department of Industry, Tourism and Resources) has
metrological functions of the Commonwealth.
(2) Those functions include, but are not limited to, the following:
(a) adopting the International System of Units, and developing and adopting
additional units of measurement for use in Australia;
(b) realising units of measurement through the development and maintenance
of standards of measurement, reference materials and reference
techniques;
(c) assisting industry, scientific organisations and government to develop and
utilise measurement techniques, including by technology transfer;
(d) promoting best practice in measurement in industry and the scientific and
wider community, including by training;
(e) providing measurement services to industry, scientific organisations and
government, including by:
i.measuring physical, chemical and biological quantities; and
ii.providing calibration services; and
iii.examining and approving patterns for measuring instruments;
(f) providing expertise in support of Australia’s measurement standards and
conformance infrastructure;
(g) promoting uniformity in national trade measurement policy and practice,
including through work with Commonwealth, State and Territory agencies;
(h) facilitating international trade to the extent that it is affected by
measurement;
(i) fulfilling Australia’s international obligations with respect to
measurement;
(j) conducting research in support of the functions mentioned above
44
(3) The fact that the Secretary has the functions mentioned in this section does not
limit the power of the Commonwealth to charge fees for things done in
performing those functions.
Penetapan ortoritas metrologi di sebuah negara yang diuraikan di atas menunjukkan
bahwa posisi serta bentuk dari otoritas metrologi itu sendiri dapat disesuaikan dengan
pengaturan sistem pemerintahan di negara tersebut, sebagai contoh:
Vietnam memberikan kewenangan penetapan kebijakan kemetrologian kepada
Kementrian Teknologi dan Lingkungan,
 Australia memberikan kewenangan penetapan kebijakan kemetrologian kepada
Kementrian Industri, Pariwisata dan Sumberdaya,
 Afrika Selatan memberikan kewenangan penetapan kebijakan kemetrologian kepada
Menteri Perdagangan dan Industri, dan
 Slovenia memberikan kewenangan tersebut kepada Standards and Metrology
Institute of the Republic of Slovenia.

Namun demikian, meskipun setiap negara yang dicontohkan di atas meletakkan
kewenangan pada departemen atau lembaga pemerintah yang berbeda-beda, terlihat
dengan jelas bahwa fungsi-fungsi otoritas metrologi yang direkomendasikan oleh OIML
D1 diadopsi dalam UU kemetrologian di negara-negara tersebut.
2.3 LEMBAGA-LEMBAGA KEMETROLOGIAN
Untuk mengimplementasikan kebijakan metrologi nasional yang ditetapkan oleh otoritas
metrologi, OIML D 1 merekomendasikan agar pemerintah menetapkan satu lembaga atau
lebih dengan misi:






menetapkan, memelihara, dan secara berkelanjutan meningkatkan standar
pengukuran dan mendiseminasikan satuan pengukuran sesuai dengan kebutuhan
negara;
bertindak sebagai wakil pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
metrologi (ilmiah) internasional untuk mengusahakan kesetaraan standar pengukuran
nasional;
memberikan saran dan dukungan yang diperlukan oleh pemerintah, industri,
perdagangan dan masyarakat dalam permasalahan terkait pengembangan ilmu dan
teknologi metrologi;
memberikan dasar kemetrologian yang kuat kepada sistem akreditasi nasional;
memberikan pertimbangan teknis dan dukungan yang diperlukan oleh pemerintah,
industri, perdagangan dan masyarakan dalam permasalahan terkait metrologi legal;
melaksanakan kegiatan teknis dan koordinasi kegiatan metrologi legal, khususnya
untuk pengujian dan persetujuan tipe, dan memastikan koordinasi teknis dan
dukungan teknis pada peneraan awal, peneraan ulang, inspeksi alat ukur dan
pengawasan pasar;
45

bertindak sebagai wakil pemerintah untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
organisasi internasional metrologi legal
Misi lembaga-lembaga kemetrologian tersebut memerlukan pelaksanaan tugas-tugas yang
secara garis besar dapat dibagi menjadi tugas-tugas kemetrologian umum dan tugas-tugas
metrologi legal sebagai berikut.

46
Tugas-tugas umum kemetrologian:

menetapkan sistem satuan nasional, sejauh mungkin berdasarkan Sistem Satuan
SI,

merealisasikan dan memelihara standar pengukuran nasional dan
mendiseminasikan satuan ukuran nasional,

mengembangkan kompetensi ahli-ahli metrologi untuk dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, serta memberikan pelatihan berkelanjutan kepada ahli-ahli
metrologi tersebut untuk memastikan rencana regenerasi yang diperlukan dalam
pemeliharaan standar pengukuran nasional,

memfasilitasi pendirian laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis
kemetrologian, termasuk pengendalian lingkungan dan peralatan yang diperlukan
oleh laboratorium kalibrasi,

mengarahkan penelitian-penelitian yang diperlukan dalam peningkatan standar
pengukuran nasional untuk memenuhi kebutuhan pengukuran nasional,

memberikan transfer pengetahuan ilmu kemetrologian yang diperlukan oleh
industri,

melakukan kajian secara reguler terhadap kebutuhan masyarakat terkait dengan
pengembangan standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan ukuran
nasional,

menjadi acuan nasional untuk sistem akreditasi laboratorium, dalam hal
kompetensi teknis kemetrologian dan standar pengukuran,

memberikan pertimbangan teknis kepada pemerintah mengenai permasalahan
kemetrologian,

memastikan partisipasi secara efektif dalam kegiatan kemetrologian
internasional, khususnya dalam Konvensi Meter melalui CIPM dan BIPM serta
kegiatan metrologi ilmiah regional,

memberikan pelayanan kalibrasi untuk menjamin ketertelusuran pengukuran di
laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi nasional sesuai
dengan persyaratan ILAC, dan ketertelusuran pengukuran di laboratorium
metrologi legal sesuai persyaratan OIML,

memberikan konsultasi kepada lembaga nasional yang relevan, industri atau
masyarakat umum terkait dengan permasalahan-permasalahan kemetrologian dan
pentingnya pengukuran,

memberikan pelatihan teknis kemetrologian,


mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kemetrologian.
Tugas-tugas metrologi legal:

melaksanakan studi dan membuat usulan persyaratan regulasi teknis terhadap
berbagai jenis alat ukur,

melakukan kajian secara reguler tentang kebutuhan regulasi metrologi legal di
masyarakat,

memperkerjakan petugas metrologi yang kompeten untuk melaksanakan
tugasnya serta mempersiapkan regenerasi petugas metrologi legal dengan baik,

menerbitkan sertifikat persetujuan tipe nasional yang memenuhi OIML
Certification System for Measuring Instruments dan persyaratan OIML Mutual
Acceptance Arrangement.
Untuk memastikan tugas-tugas kemetrologian dapat berjalan secara efektif dan efisien,
pada prinsipnya diperlukan lembaga yang melaksanakan tugas-tugas kemetrologian secara umum dan lembaga yang melaksanakan tugas-tugas metrologi legal. Dalam perkembangan sistem metrologi internasional, lembaga yang melaksanakan tugas-tugas umum
kemetrologian (dengan titik berat kegiatan metrologi ilmiah) dikenal dengan istilah
lembaga metrologi nasional atau national metrology institute (NMI), sedangkan yang
melaksanakan tugas-tugas metrologi legal dapat disebut sebagai lembaga metrologi legal
nasional atau national legal metrology institute (NLMI). Lembaga metrologi nasional
merupakan organisasi ilmiah, yang bersama-sama dengan organisasi standardisasi, badan
akreditasi dan lembaga penilaian kesesuaian membentuk infrastruktur mutu nasional yang
bersifat sukarela, sedangkan lembaga metrologi legal nasional merupakan bagian dari
pemegang kewenangan pemerintah untuk mengembangkan dan menetapkan regulasiregulasi teknis yang berkaitan dengan kegiatan kemetrologian.
Lembaga metrologi nasional (NMI) dapat terdiri dari satu laboratorium standar atau lebih,
yang dapat merupakan bagian dari lembaga ilmiah atau perguruan tinggi, yang bertanggungjawab untuk melaksanakan menetapkan, memelihara, dan secara berkelanjutan
meningkatkan standar pengukuran dan mendiseminasikan satuan pengukuran sesuai
dengan kebutuhan negara; bertindak sebagai wakil pemerintah untuk berpartisipasi aktif
dalam kegiatan metrologi (ilmiah) internasional untuk mengusahakan kesetaraan standar
pengukuran nasional; memberikan saran dan dukungan yang diperlukan oleh pemerintah,
industri, perdagangan dan masyarakan dalam permasalahan terkait pengembangan ilmu
dan teknologi metrologi; dan memberikan dasar kemetrologian berupa ketertelusuran
pengukuan yang kuat kepada sistem akreditasi nasional. Bila kompetensi untuk
pelaksanaan tugas pengelolaan standar pengukuran nasional terdistribusi pada beberapa
lembaga, pemerintah harus menetapkan satu lembaga metrologi nasional utama untuk
mengoordinasikan kegiatan yang diperlukan untuk mengemban tanggung jawab sebuah
lembaga metrologi nasional. Lembaga metrologi nasional ini kemudian bertindak untuk
mewakili pemerintah dalam organisasi metrologi (ilmiah) internasional, dalam hal ini
47
sebagai anggota CIPM dan di Asia Pasifik mewakili pemerintah dalam keanggotaan di
APMP.
Pada awalnya, tugas-tugas lembaga metrologi nasional umumnya diberikan kepada
lembaga pemerintah. Namun demikian, akhir-akhir ini beberapa negara kemudian
menetapkan kebijakan lain dengan memberikan tugas-tugas lembaga metrologi nasional
kepada badan usaha milik negara (sebagai contoh, SIRIM Berhad di Malaysia) atau
bahkan dikontrakkan secara penuh kepada perusahaan swasta (sebagai contoh, National
Physical Laboratory (NPL) – Inggris). Alasannya adalah perlunya tingkat kebebasan
manajemen dari sebuah NMI yang memadai untuk pengoperasian lembaga berbasis
penelitian secara efektif dan efisien yang juga memberikan layanan kepada masyarakat.
Kebijakan ini dilakukan untuk memungkinkan proses manajemen dan finansial dalam
kegiatan NMI yang membutuhkan tingkat kebebasan yang mendekati pengoperasian
perusahaan swasta. Meskipun tugas lembaga metrologi nasional tidak diberikan kepada
lembaga pemerintah, seluruh pembiayaan kegiatannya selalu bersumber dari anggaran
pemerintah.
Di negara-negara industri maju, kecenderungan yang terjadi adalah menetapkan
wewenang, fungsi dan tugas lembaga metrologi nasional ke dalam satu lembaga,
khususnya untuk pengelolaan standar pengukuran nasional besaran-besaran dasar. Hal ini
disebabkan bahwa dalam pengembangan standar pengukuran nasional untuk besaranbesaran turunan selalu diperlukan penelitian bersama antar pengelola standar pengukuran
besaran dasar, sehingga bila pengelolaan standar pengukuran besaran dasar dilakukan
oleh lembaga yang berbeda dapat menimbulkan kesulitan terkait dengan hubungan formal
antar lembaga. Sebagai contoh, pengembangan standar pengukuran besaran turunan
"tekanan" akan memerlukan diseminasi dari standar pengukuran standar besaran dasar
"massa" dan "panjang", oleh karena itu pengelolaan standar pengukuran nasional untuk
semua besaran dasar di sebuah lembaga dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi
pengelolaan dan pengembangan standar pengukuran nasional. Namun demikian, lembaga
yang mengembangkan semua besaran dasar ini, yang dapat disebut sebagai lembaga
metrologi nasional utama, hendaknya diberi kewenangan untuk mendelegasikan
kewenangannya tersebut kepada lembaga lain terkait dengan pengembangan standarstandar pengukuran yang diperlukan untuk sektor tertentu. Pengelolaan standar
pengukuran nasional untuk besaran-besaran radiasi pada umumnya dikelola oleh lembaga
yang bertanggungjawab dengan pengembangan teknologi nuklir di negara tersebut,
demikian pula pengembangan bahan acuan bersertifikat (certified reference material –
CRM) untuk bidang-bidang yang berbeda didelegasikan kepada lembaga lain yang
memiliki kompetensi yang sesuai dan memadai. Secara umum sebuah lembaga metrologi
nasional dapat memiliki beberapa struktur yang mungkin diterapkan, antara lain:


48
sebuah lembaga pemerintah yang memiliki dan menjalankan laboratoriumnya sendiri;
sebuah lembaga swasta yang memiliki dan mengoperasikan laboratoriumnya sendiri,
di bawah kewenangan pemerintah dengan mempertimbangkan persaingan nasional
yang sehat dan keamanan nasional;

sebuah lembaga pemerintah yang mengoordinasikan kegiatan lembaga pemerintah
dan/atau lembaga swasta lainnya.
Untuk memastikan bahwa pemerintah dapat melaksanakan tugas "perlindungan
konsumen" terhadap penggunaan alat ukur, diperlukan pengembangan dan penetapan
regulasi teknis terhadap pengukuran yang dilaksanakan oleh lembaga metrologi legal
nasional. Lembaga metrologi legal nasional bertanggungjawab untuk menetapkan
spesifikasi teknis metrologi legal, menerbitkan persetujuan tipe alat ukur, dan melakukan
koordinasi teknis kepada departemen atau lembaga pemerintah lainnya yang
berkepentingan untuk menetapkan dan mengimplementasikan regulasi metrologi legal
yang dapat mencakup regulasi-regulasi tentang pengukuran, alat ukur dan barang dalam
keadaan terbungkus yang ditetapkan oleh berbagai departemen atau lembaga pemerintah
sesuai dengan cakupan tugas dan wewenangnya. Untuk menjamin harmonisasi regulasi
metrologi legal nasional dengan sistem metrologi legal internasional pemerintah perlu
menetapkan sebuah lembaga metrologi legal nasional utama sebagai wakil Indonesia di
dalam organisasi metrologi legal internasional (OIML) dan regional (APLMF), yang
kemudian mengoordinasikan kegiatan metrologi legal di tingkat nasional. Terkait dengan
kegiatan legal metrologi, OIML D1 juga telah mengidentifikasi sistem pemerintahan
federal atau sistem pemerintahan sejenis yang memberikan kewenangan kepada negara
bagian atau pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan yang berlaku di negara
bagian atau daerah dalam kerangka kebijakan pemerintahan nasional. Oleh karena itu
OIML D1 juga memperkenalkan konsep local metrology authorities (otoritas metrologi
lokal).
Di dalam OIML D1, konsep local metrology authorities ini dapat berwujud implementasi
kegiatan kemetrologian oleh:



kantor daerah dari pemerintah pusat;
negara bagian dalam negara federal;
organisasi di tingkat daerah atau provinsi, atau pemerintah daerah yang ditetapkan
melalui hasil pemilihan umum.
Negara-negara kecil mungkin tidak memerlukan otoritas metrologi lokal ini karena
implementasi kegiatan kemetrologian di seluruh wilayah negara dapat ditangani oleh
otoritas metrologi pusat (central metrology authorities). Namun demikian untuk negara
yang memiliki wilayah luas dan pemerintahannya dibagi-bagi ke dalam pemerintahan
negara bagian, atau propinsi, maka kegiatan pengujian dan persetujuan tipe, peneraan
awal alat ukur, peneraan ulang alat ukur, dan pengendalian barang dalam keadaan
terbungkus dapat dilakukan oleh otoritas metrologi lokal atau lembaga yang ditunjuk oleh
otoritas metrologi lokal. Untuk memastikan harmonisasi regulasi metrologi legal di
seluruh wilayah negara, misi dari otoritas metrologi lokal hendaknya mencakup:

mengimplementasikan peraturan perundang-undangan kemetrologian di wilayah
pemerintahannya;
49




mengidentifikasi cakupan regulasi metrologi legal yang diimplementasikan di
wilayah pemerintahannya;
mengarahkan dan mengimplementasikan sistem pengendalian legal kemetrologian di
wilayah pemerintahannya;
mendukung pengembangan infrastruktur kemetrologian di wilayah pemerintahannya;
melaksanakan investigasi untuk memastikan kesesuaian regulasi metrologi legal yang
diberlakukan di wilayah pemerintahannya dengan kebijakan metrologi nasional
Kebijakan serta implementasi kebijakan oleh lembaga metrologi lokal harus
dikoordinasikan dengan baik oleh otoritas metrologi untuk menjamin harmonisasi
implementasi peraturan perundang-undangan kemetrologian di seluruh wilayah negara.
Karena pada umumnya, dalam sistem pemerintah negara bagian atau otonomi daerah,
lembaga metrologi lokal tidak secara langsung berada di dalam kewenangan otoritas
metrologi nasional maupun lembaga metrologi legal nasional, peraturan perundangundangan kemetrologian harus mencakup ketentuan tentang koordinasi kegiatan otoritas
metrologi lokal, yang sebagai contoh dapat mencakup:




sertifikasi yang dapat diterima oleh otoritas metrologi nasional atau lembaga
metrologi legal nasional harus diterima oleh otoritas metrologi lokal;
peralatan ukur, prosedur pengukuran dah hasil pengukuran yang dapat diterima oleh
sebuah otoritas metrologi lokal harus dapat diterima oleh otoritas metrologi lokal
lainnya;
tidak terdapat perbedaan persyaratan atau interpretasi persyaratan antar otoritas
metrologi lokal, otoritas metrologi nasional atau lembaga metrologi legal nasional
dapat meminta otoritas metrologi lokal untuk merevisi persyaratan atau interpretasi
persyaratan bila terdapat bukti penyimpangan persyaratan atau interpretasi
persyaratan dengan yang berlaku secara umum di seluruh wilayah pemerintahan
nasional
otoritas metrologi lokal harus terwakili dalam forum otoritas metrologi nasional dan
harus menerima kesepakatan yang dicapai dalam forum otoritas metrologi nasional.
Pengalaman dari berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa terkait dengan kegiatan
kemetrologian, fungsi esensial pemerintahan dalam menetapkan kebijakan ekonomi dan
sosial, mendukung industri dan menetapkan regulasi sangat bergantung pada kompetensi
teknis kemetrologian. Kompetensi teknis kemetrologian yang diperlukan ini dapat
diperkuat bila kebijakan kemetrologian di sebuah negara dapat mengintegrasikan atau
paling tidak mengoordinasikan kegiatan teknis dengan kegiatan yang diwajibkan oleh
regulasi dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengalaman ini, direkomendasikan untuk membangun sinergi antara metrologi ilmiah dan metrologi legal,
khususnya dalam proses penetapan persyaratan teknis untuk regulasi baru, serta untuk
pengujian dan persetujuan tipe.
50
Untuk mengimplementasikan rekomendasi ini beberapa negara maju kemudian
menggabungkan metrologi legal dan metrologi ilmiah dalam satu lembaga. Namun
demikian praktik penggabungan sebagaimana diterapkan oleh negara-negara maju
tersebut akan sulit dilakukan oleh negara-negara yang sedang berkembang. Oleh karena
itu paling tidak peraturan perundang-undangan kemetrologian seyogyanya menetapkan
koordinasi yang baik antara lembaga metrologi nasional (yang bertanggungjawab untuk
kegiatan metrologi ilmiah) dan lembaga metrologi legal.
Beberapa alasan utama perlunya sinergi antara metrologi ilmiah dan metrologi legal
adalah: lingkup baru metrologi legal dan teknologi baru yang berkembang pada alat-alat
ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal memerlukan penguasaan pengetahuan
ilmiah kemetrologian yang lebih baik; di sisi lain perkembangan persyaratan dalam
regulasi metrologi legal dapat menuntut pengembangan standar pengukuran nasional
yang lebih baik dan modern oleh lembaga metrologi nasional. Oleh karena itu
menggabungkan lembaga metrologi ilmiah dan metrologi legal, atau paling tidak
mengoordinasikan kegiatan tersebut melalui otoritas metrologi nasional, dapat
menciptakan manajemen sumber daya dan memfasilitasi kebijakan metrologi nasional
yang lebih koheren
2.4 SATUAN PENGUKURAN DAN STANDAR PENGUKURAN
2.4.1 Satuan Pengukuran
Dalam kerangka integrasi ekonomi nasional ke dalam sebuah sistem global, yang
ketentuan-ketentuannya disepakati secara internasional dalam kerangka WTO agreement,
kesesuaian antarinfrastruktur standar, metrologi, akreditasi dan mutu dengan sendirinya
menjadi prasyarat yang tidak dapat ditolak oleh setiap negara yang menghendaki untuk
dapat mengambil manfaat dari ratifikasinya terhadap pembentukan WTO. Harmonisasi
dan integrasi sistem metrologi dalam sejarahnya merupakan sistem pertama yang
diorganisasikan secara internasional dalam peradaban modern, melalui Konvensi Meter
dan pembentukan BIPM pada tahun 1875. Kebutuhan harmonisasi satuan pengukuran di
tingkat internasional tersebut digerakkan oleh keperluan industri massal yang mulai
berkembang sejak revolusi industri pada tahun 1790. Adopsi satuan yang harmonis di
tingkat internasional menjadi semakin kuat setelah Konferensi Umum Ukuran dan
Timbangan (CGPM) melakukan adopsi Sistem Internasional untuk satuan, yang
merupakan sistem satuan yang konvergen dan diterima oleh negara-negara
penandatangan konvensi meter, yang didasarkan pada tujuh satuan dasar beserta
definisinya seperti dalam tabel di bawah ini.
Besaran
Massa (mass)
Satuan
Dasar
kilogram
Simbol
kg
Definisi
adalah satuan massa; yang sama dengan massa
international prototype of the kilogram
51
Besaran
Satuan
Dasar
Simbol
Definisi
Panjang
(length)
meter
(metre)
m
adalah panjang lintasan yang dilalui oleh cahaya di
dalam vakum dalam interval waktu (1/299 792 458)
sekon
Waktu (time)
sekon
(second)
s
adalah lamanya 9 192 631 770 periode radiasi yang
berhubungan denga transisi antara dua hyperfine
levels dari ground state atom caesium-133 (Cs133)
Arus listrik
(electric
current)
ampere
A
adalah arus konstan, yang bila dipelihara dalam dua
konduktor lurus paralel dengan panjang tak hingga,
dan diameter yang bisa diabaikan, dan diletakkan
berjarak 1 meter (antar dua konduktor tersebut) di
dalam vakum, akan menghasilkan gaya sebesar (2 x
10-7) newton per meter panjang di antara dua
konduktor tersebut
Suhu termodinamik (thermodynamic
temperature)
kelvin
K
satuan temperatur termodinamik, adalah 1/273,16
bagian dari temperatur termodinamik titik tripel air
Jumlah zat
(amount of
substance)
mol
(mole)
mol
adalah jumlah zat dari sebuah sistem yang terdiri dari
unsur dasar sebanyak jumlah atom yang terdapat
dalam 0,0012 kg karbon 12 (C12). Bila mol
digunakan, unsur dasar harus dinyatakan dan dapat
berupa atom, molekul, ion, elektron, partikel lain, atau
kelompok tertentu dari partikel tersebut.
Intensitas
cahaya
(luminous
intensity)
kandela
(candela)
cd
adalah intensitas cahaya, pada arah tertentu, dari
sebuah sumber yang memancarkan radiasi
monokromatis dengan frekuensi (540 × 1012) Hz dan
yang memiliki intensitas radiasi sebesar (1/683) watt
per steradian pada arah tersebut
Untuk memenuhi kebutuhan pengukuran di berbagai sektor, ketujuh besaran dasar
tersebut kemudian nilainya dihubungkan ke berbagai besaran turunan yang merupakan
fungsi dari besaran-besaran dasar tersebut. Untuk memastikan bahwa adopsi sistem
satuan SI tersebut tidak menjadi penghambat bagi berbagai kegiatan pengukuran di saat
itu, CGPM menetapkan beberapa jenis satuan turunan, yang terdiri dari:




Satuan turunan yang dinyatakan sebagai fungsi dari satuan dasar;
Satuan turunan yang dinyatakan dengan nama khusus;
Satuan di luar sistem satuan SI yang dapat digunakan bersama dengan satuan-satuan
di dalam sistem satuan SI
Satuan di luar sistem satuan SI yang dapat diterima untuk digunakan dalam bidang
tertentu dan nilainya ditentukan melalui eksperimen
Dengan sistem satuan dasar dan satuan turunan sebagaimana dijelaskan di atas, untuk
satuan-satuan di luar sistem satuan SI, CGPM kemudian menetapkan faktor konversi
untuk setiap satuan tersebut, sehingga satuan-satuan tersebut kemudian dapat digunakan
secara harmonis dan konvergen dengan sistem satuan SI. Dengan ketentuan CGPM
52
tersebut, sampai saat ini satuan-satuan di luar sistem satuan SI, seperti knot, feet, psi, bar,
inch, dan satuan-satuan lainnya masih tetap dapat digunakan dalam sektor-sektor yang
memerlukannya, namun demikian semua satuan tersebut dapat dikonversikan ke dalam
satuan SI, baik satuan dasar maupun satuan turunan melalui konstanta yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan internasional. Pada awalnya di dalam sistem satuan SI dikenal
adanya satuan tambahan yang terdiri dari sudut bidang (radian) dan sudut ruang
(steradian), tetapi klasifikasi satuan tambahan ini kemudian berdasarkan ketetapan CGPM
dihilangkan dari sistem satuan SI, dan dimasukkan ke dalam besaran turunan, karena
satuan-satuan ini dapat diturunkan dari satuan dasar meter. Definisi-definisi satuan di
dalam sistem ini juga beberapa kali mengalami revisi karena dorongan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan industri yang menyebabkan definisi yang
ditetapkan sebelumnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan penelitian yang makin
meningkat.
Satuan Dasar
Satuan
Turunan
Satuan Turunan dengan nama dan simbol spesifik
Gambar 5. Hubungan antara satuan dasar SI dan satuan turunannya
Untuk dapat mengintegrasikan ekonominya, dalam arti membuat kondisi yang
memungkinkan hasil-hasil pengukuran yang telah terintegrasi dalam suatu komoditas
dapat diterima dalam pasar global, sebuah negara harus mengadopsi sistem satuan SI,
sedemikian hingga setiap pihak pelaku pengukuran dan para pemangku kepentingan
kegiatan pengukuran mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam sistem satuan SI. Di
dalam kerangka pasar global telah ditetapkan definisi-definisi terkait dengan satuan
53
pengukuran, yang ditetapkan di dalam International Vocabulary of Standard and General
Terms in Metrology (VIM), yang antara lain memuat definisi berikut:
satuan ukuran (unit of measurement): besaran tertentu yang ditetapkan dan
diadopsi melalui konvensi, di mana besaran lain dari jenis yang sama dibandingkan
untuk menyatakan besarnya secara relatif terhadap besaran tersebut [VIM 1.7],
satuan dasar pengukuran (base unit of measurement): satuan ukuran dari besaran
dasar di dalam sistem besaran tertentu [VIM 1.13],
besaran dasar (base quantity): suatu jenis besaran, di dalam sistem besaran, yang
secara konvensional dianggap secara fungsional saling bebas satu sama lain [VIM
1.3],
satuan turunan (derived unit of measurement): satuan dari besaran turunan di
dalam sistem satuan tertentu [VIM 1.14],
besaran turunan (derived quantity): besaran, yang dapat dinyatakan dalam bentuk
atau fungsi dari besaran turunan [VIM 1.4].
Pada saat pemerintah suatu negara mengadopsi sistem satuan SI sebagai sistem satuan di
negaranya, maka adopsi sistem tersebut perlu mempertimbangkan definisi-definisi yang
telah disepakati secara interanasional dan juga mempertimbangkan sifat dinamis dari
sistem itu sendiri yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini,
masih terdapat satu satuan dasar yang didefinisikan sebagai sebuah barang yang dikelola
di BIPM, Prancis yaitu massa, yang dari hasil analisis para ilmuwan di dunia telah
menjadi hambatan dari berbagai proses penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu CGPM
merekomendasikan penelitian-penelitan tentang perubahan definisi massa menjadi
definisi yang terkait dengan konstanta alam, sehingga definisi tersebut dapat direproduksi
oleh siapa pun dan di mana pun di dunia ini, dan tingkat ketelitian yang dapat dicapai
oleh definisi tersebut secara otomatis akan semakin meningkat dengan semakin telitinya
kemampuan pengukuran yang dapat dicapai dalam perkembangan ilmu pengukuran.
2.4.2 Standar Pengukuran Nasional
Karena tujuan dari adopsi sistem satuan SI adalah untuk mengharmoniskan hasil-hasil
pengukuran di seluruh dunia, maka definisi-definisi satuan tersebut harus direalisasikan
dalam bentuk fisik, yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengukuran yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Definisi-definisi satuan yang didasarkan pada konstanta
alam memungkinkan realisasi definisi tersebut oleh lembaga pengelola standar
pengukuran nasional setiap negara Konvensi Meter, sedemikian hingga pencapaian
tingkat ketelitian dari definisi satuan tersebut dapat menjadi penelitian internasional yang
dilakukan oleh berbagai negara. Sejalan dengan pengembangan sistem metrologi
internasional, maka definisi-definisi terkait dengan standar pengukuran juga telah
menjadi kesepakatan internasional, sedemikian hingga definisi yang harmonis ini dapat
memfasilitasi penelitian lintas negara dan juga pertukaran hasil-hasil pengukuran secara
54
langsung maupun hasil pengukuran yang telah terintegrasi dalam komoditas yang
diperdagangkan dalam pasar global. Definisi-definisi utama terkait dengan standar
pengukuran yang telah disepakati oleh berbagai organisasi internasional dan dimuat di
dalam VIM antara lain adalah sebagai berikut:
Standar Ukuran (standard of measurement): bahan ukur, alat ukur atau sistem
pengukuran yang ditujukan untuk menetapkan, merealisasikan, menyimpan atau
mereproduksi sebuah satuan atau lebih nilai dari sebuah besaran yang digunakan
sebagai acuan [VIM 6.1]
Standar pengukuran primer (primary standard of measurement): standar yang
ditunjuk atau diterima secara luas memiliki mutu kemetrologian tertinggi yang
nilainya diterima tanpa acuan ke standar lain dari besaran yang sama [VIM 6.4]
Standar pengukuran sekunder (secondary standard of measurement): standar
pengukuran yang nilai dan ketidakpastiannya ditetapkan melalui kalibrasi terhadap
standar pengukuran primer dari jenis besaran yang sama [VIM 6.5]
Standar pengukuran nasional (national standard of measurement): standar
pengukuran yang berdasarkan keputusan nasional sebagai acuan pengukuran di
negara tersebut [VIM 6.3]
Definisi-definisi ini kemudian digunakan secara luas dan diadopsi oleh berbagai negara
sedemikian hingga infrastruktur metrologi di negara tersebut dapat berintegrasi dengan
sistem metrologi internasional dan dimanfaatkan untuk kepentingan nasionalnya. Sesuai
dengan kebutuhan pengukuran di sebuah negara, setelah melakukan adopsi sistem satuan
SI, negara itu perlu menetapkan standar pengukuran nasionalnya sebagai acuan untuk
berbagai proses pengukuran yang dilakukan di negara tersebut. Standar pengukuran yang
diperlukan oleh suatu negara tentunya tidak hanya mencakup standar pengukuran untuk
besaran-besaran dasar, tetapi juga standar-standar untuk besaran turunan. Tingkat
ketelitian standar pengukuran nasional tentunya dapat berbeda-beda sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan pengukuran di negara tersebut. Negara-negara maju yang
memiliki penguasaan Iptek sangat tinggi dan memiliki infrastruktur industri yang
memerlukan pengukuran dengan tingkat ketelitian tinggi, pada umumnya menetapkan
standar pengukuran primer sesuai dengan definisinya dalam sistem satuan SI sebagai
standar nasionalnya. Sedangkan negara-negara sedang berkembang, yang belum
memerlukan tingkat ketelitian pengukuran yang tinggi, dapat menetapkan standar
pengukuran sekunder sebagai standar nasionalnya yang secara rutin dikalibrasikan ke
pengelola standar pengukuran nasional negara lain yang memiliki standar primer.
Pada awal harmonisasi satuan pengukuran yang terjadi di abad ke-19, standar pengukuran
didefinisikan sebagai barang yang dibuat oleh atau atas nama BIPM dan dikelola oleh
BIPM. Standar pengukuran internasional yang pertama kali dibuat adalah prototipe
kilogram internasional dan prototipe meter internasional. Prototipe kilogram internasional
sampai saat ini masih menjadi definisi satuan kilogram, sedangkan prototipe meter
55
internasional saat ini telah ditinggalkan karena mengacu pada barang yang bersifat
makro; hal ini tidak memungkinkan dilakukannya pengkuran di tingkat nano (misalnya
dalam pembuatan nano-IC yang diperlukan dalam industri elektronik).
Upaya untuk memberikan jaminan kepada semua pelaku dan pemangku kepentingan
metrologi di sebuah negara, dan untuk memastikan bahwa standar pengukuran nasional
yang dimiliki oleh negara tersebut selalu dapat dimutakhirkan sesuai dengan kebutuhan
ketelitian pengukuran di negara tersebut, tentu saja memerlukan biaya. Maka itu,
penetapan standar pengukuran nasional ini memerlukan ketetapan hukum dari
pemerintah. Namun demikian, dalam proses tersebut hendaknya diperhatikan perlunya
penyesuaian-penyesuaian jenis standar pengukuran yang diakibatkan oleh peningkatan
kebutuhan negara tersebut. Oleh karena itu ketentuan hukum tentang standar pengukuran
nasional hendaknya ditetapkan sedemikian hingga proses penyesuaian terhadapnya dapat
dilakukan dengan cepat untuk mengantisipasi kebutuhan.
Ketentuan tentang penetapan standar pengukuran nasional dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang proses revisinya memerlukan investasi biaya dan waktu yang
signifikan akan dapat menjadi faktor penghambat daya saing, karena semua tindakan di
luar ketentuan hukum yang telah berlaku adalah pelanggaran UU. Hal ini dapat menimpa
sebuah standar baru dengan tingkat ketelitian yang dibutuhkan, tetapi belum dapat
digunakan untuk melayani kebutuhan nasional, karena peraturan perundang-undangan
yang ada masih menetapkan standar lain, yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan
industri di negara tersebut.
Kepastian hukum dari standar pengukuran nasional juga tidak hanya mencakup standar
pengukuran nasional untuk besaran-besaran dasar saja. Sesuai dengan definisinya di
dalam sistem satuan SI, meskipun secara matematis satuan turunan dapat dinyatakan
sebagai fungsi dari satuan dasar, realisasi definisi satuan turunan akan memerlukan
realisasi dalam bentuk sebuah standar yang spesifik yang tidak bisa dilakukan hanya
dengan menghubungkan standar-standar satuan dasar yang telah ada. Standar primer
pengukuran yang dimaksud dalam definisinya di VIM bukan hanya merupakan realisasi
satuan dasar, tetapi setiap besaran turunan juga mempunyai standar primer, dan sebuah
negara harus mampu mengidentifikasi kebutuhan pengukuran di negaranya sedemikian
hingga standar-standar yang diinvestasikan oleh negara tersebut akan bermanfaat bagi
kebutuhan berbagai pihak di negara tersebut.
Telah menjadi praktik umum secara internasional bahwa pengadaan standar pengukuran
nasional dilakukan oleh negara, namun demikian untuk memastikan kebenaran
pengukuran di seluruh tingkat ketelitian sesuai dengan kebutuhan di negara itu tidak
dapat hanya dicukupi dengan standar pengukuran nasional saja. Untuk memastikan
kebenaran pengukuran di semua tingkatan tersebut, diperlukan laboratorium-laboratorium
kalibrasi yang memiliki standar-standar pengukuran sekunder maupun standar-standar
kerja yang diperlukan untuk mendiseminasikan nilai standar pengukuran nasional ke
seluruh kegiatan pengukuran di negara tersebut. Tentu saja kompetensi laboratoriumlaboratorium ini harus dijamin melalui akreditasi laboratorium kalibrasi yang telah
56
mendapatkan pengakuan internasional melalui skema saling mengakui di organisasi
kerjasama akreditasi regional/internasional.
Telah menjadi keniscayaan bahwa untuk dapat mengintegrasikan suatu sistem
pengukuran nasional sebagai bagian dari sistem pengukuran global yang menjadi
prasyarat untuk mengintegrasikan perekonomian negara ke dalam perdagangan global,
maka standar-standar pengukuran yang telah direalisasikan oleh lembaga pengelola
standar pengukuran nasional setiap negara harus dapat dijamin kesetaraannya di tingkat
regional maupun internasional. Dengan kata lain, bagi sebuah negara tidak cukup hanya
memiliki standar pengukuran nasional yang jenisnya sama dengan standar pengukuran
nasional yang dimiliki oleh negara lain. Di dalam sistem pengukuran global, untuk
menjamin ekivalensi atau kesetaraan antarstandar pengukuran nasional telah
dikembangkan skema saling mengakui yang dikenal dengan CIPM MRA, yang bertujuan
untuk:
(1) menetapkan kesetaraan standar pengukuran nasional yang dipelihara lembaga
metrologi nasional;
(2) membangun pengakuan timbal balik terhadap sertifikat kalibrasi dan pengukuran
yang diterbitkan oleh lembaga metrologi nasional; dan
(3) karena itu, menciptakan landasan teknis yang mantap bagi pemerintah dan pihakpihak lain untuk menjalin kesepakatan yang lebih luas berkaitan dengan perdagangan
internasional dan regulasi.
Tujuan-tujuan dari CIPM MRA diharapkan dapat dicapai melalui berbagai proses yang
harus dilalui oleh lembaga metrologi nasional setiap negara, yang meliputi:
(1) perbandingan utama internasional (international key comparisons) dalam pengukuran
antarlembaga pengelola standar pengukuran nasional, atau program serupa di tingkat
regional (regional key comparisons) yang terkait dengan perbandingan utama
internasional; di kawasan Asia-Pasifik, program tersebut dikoordinasikan oleh
APMP.
(2) perbandingan pelengkap internasional (international supplementary comparisons)
dalam pengukuran antarlembaga pengelola standa pengukuran nasional; dan
(3) pembuktian penerapan sistem mutu laboratorium dan kompetensi teknis lembaga
pengelola standa pengukuran nasional; untuk anggota APMP, proses ini dapat
ditempuh dengan pilihan:
(a) akreditasi pihak ketiga (third-party accreditation) untuk sistem mutu berdasarkan
ISO/IEC 17025 (atau ekivalen) dengan menggunakan badan akreditasi yang telah
menerapkan ISO Guide 58 dan telah diterima dalam ILAC MRA atau APLAC
MRA, serta menggunakan asesor teknis yang disetujui Panitia Teknis APMP;
atau
(b) sertifikasi ISO 9001 dan penilaian oleh technical peers yang disetujui Panitia
Teknis APMP; atau
57
(c) penilaian oleh suatu tim yang terdiri atas pakar sistem mutu dan technical peers,
yang diorganisasikan melalui APLAC atau suatu badan akreditasi yang diakui.
Tujuan CIPM MRA dan juga proses untuk mencapai tujuan CIPM MRA yang telah
disepakati secara internasional tersebut menunjukkan bahwa setelah memiliki standar
pengukuran yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi standar pengukuran nasional,
masih harus ditempuh proses-proses lain. Proses ini bisa jadi lebih berat dari proses
pembelian standar itu sendiri, sebelum standar pengukuran nasional tersebut diakui setara
dengan standar pengukuran nasional negara lain dan dapat menjadi bagian yang
terintegrasi ke dalam sistem metrologi internasional. Untuk memperoleh pengakuan
bahwa standar pengukuran nasionalnya ekivalen, sebuah lembaga pengelola standar
pengukuran nasional harus mengikuti proses uji banding yang diorganisasikan dan
dievaluasi oleh organisasi metrologi regional dan internasional sehingga terdapat bukti
kuantitatif yang menunjukkan bahwa standar pengukuran nasional yang dikelolanya
mampu menghasilkan nilai yang ekivalen dengan yang dihasilkan oleh negara lain atau
ekivalen dengan hasil pengukuran yang disepakati sebagai acuan internasional.
Uji
Banding
SIM
Uji
Banding
Euramet
BIPM
Uji Banding
Komite Konsultatif CIPM
Uji
Banding
APMP
Uji Banding
Regional
Lain
Uji Banding
Regional Lain
NMI yang ikut uji banding BIPM atau Komite Konsultatif
NMI yang ikut uji banding BIPM atau Komite Konsultatif dan regional
NMI yang ikut uji banding regional saja
NMI yang tidak ikut uji banding BIPM, Komite Konsultatif maupun
regional, tetapi melakukan uji banding bilateral
Gambar 6. Skema uji banding antarlembaga metrologi nasional di dunia. SIM = Sistema
Interamericano de Metrologia, organisasi metrologi regional di Benua Amerika.
58
Pengakuan terhadap ekivalensi standar pengukuran nasional di atas kemudian masih
harus dilanjutkan lagi dengan suatu proses untuk membuktikan bahwa lembaga pengelola
standar pengukuran nasional ini memiliki kompetensi yang setara dengan lembaga
pengelola standar pengukuran negara lain, sehingga mampu memberikan hasil pengukuran yang kebenarannya setara dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh negara
lain. Pengakuan terhadap kesetaraan hasil pengukuran yang dilakukan oleh lembaga
pengelola standar pengukuran nasional inilah yang dalam kerangka WTO-TBT baru
dapat dianggap sebagai kegiatan metrologi ilmiah yang dapat digunakan sebagai sumber
kebenaran pengukuran yang dapat dipercaya oleh negara-negara anggota WTO lainnya.
Dalam proses pembandingan standar pengukuran nasional tersebut, bisa saja suatu
standar pengukuran nasional di suatu lembaga pengelola standar pengukuran nasional
dinilai belum ekivalen dengan standar pengukuran nasional negara lain, menurut para ahli
metrologi yang disepakati secara internasional bahwa. Dalam kasus tersebut, lembaga
pengelola standar tersebut harus melakukan berbagai proses penelitian dan proses
peningkatan kompetensi personel, sedemikian hingga lembaga tersebut mampu
merealisasikan nilai standar pengukuran nasional yang ekivalen dengan negara lain
berdasarkan standar pengukuran yang dimilikinya. Penelitian-penelitian ini tentunya
dapat berimplikasi perubahan tata-cara pengelolaan dan kalibrasi standar pengukuran
nasional yang dinamis. Oleh karena itu sebuah lembaga pengelola standar pengukuran
nasional haruslah sebuah lembaga yang memiliki kemampuan penelitian yang tinggi,
sedemikian hingga faktor-faktor penyebab perbedaan yang diidentifikasi dari hasil
perbandingan internasional dapat diidentifikasi dan ditentukan solusinya.
Proses untuk memperoleh pengakuan antarstandar pengukuran nasional dan kompetensi
lembaga pengelola standar pengukuran nasional, yang dikoordinasikan oleh CIPM,
mutlak harus dipenuhi oleh setiap negara yang berkehendak mengintegrasikan dan
mengambil manfaat dari pasar global. Bahkan, partisipasi dalam skema pengakuan
timbal-balik CIPM MRA merupakan salah satu rekomendasi yang ditetapkan oleh APEC
kepada negara-negara anggotanya sebagai proses yang harus ditempuh dalam rangka
mempersiapkan implementasi pasar bebas di kawasan Asia Pasifik. Pentingnya posisi
standar pengukuran nasional dan juga lembaga pengelola standar pengukuran nasional ini
tentunya menjadi alasan yang kuat untuk memasukkannya ke dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan kemetrologian, sehingga negara tersebut memiliki lembaga yang
menjadi pusat pengembangan ilmu kemetrologian yang dapat dimanfaatkan untuk semua
sektor kehidupan termasuk dalam rangka pengembangan daya saing nasional. Sebuah
lembaga pengelola standar pengukuran nasional, atau dalam praktik internasional sering
disebut sebagai lembaga metrologi nasional menurut rekomendasi internasional OIML
D1 hendaknya memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
 menetapkan, memelihara dan secara berkelanjutan meningkatkan standar pengukuran
nasionalnya dan mendiseminasikan satuan pengukuran sesuai dengan kebutuhan
negara dan memastikan partisipasinya dalam kegiatan internasional yang berkaitan
dengan pengelolaan standar pengukuran nasionalnya
59
 memberikan masukan dan dukungan kepada pemerintah, industri, perdagangan dan
masyarakat mengenai masalah-masalah kemetrologian
 memberikan dasar kemetrologian yang kuat untuk mendukung sistem standardisasi
dan akreditasi nasional
 memberikan masukan dan dukungan teknis sepada pemerintah, industri, perdagangan
dan masyarakat mengenai pengembangan ilmu kemetrologian yang diperlukan di
seluruh sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
 mengusahakan keberterimaan standar pengukuran nasional yang dikelolanya serta
kompetensinya dalam mengelola standar pengukuran nasional sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh organisasi metrologi ilmiah internasional maupun
regional.
Tugas dan fungsi yang harus dijalankan oleh lembaga metrologi nasional di atas dapat
dijalankan oleh satu atau lebih laboratorium standar, yang dapat menjadi bagian dari
universitas atau lembaga penelitian. Di negara-negara sedang berkembang, karena
lingkup ilmu metrologi yang demikian luasnya, tanggung jawab pengelolaan standar
pengukuran nasional untuk besaran/satuan yang berbeda dapat dibagi kepada lembagalembaga yang memiliki kompetensi relevan dengan standar pengukuran yang dikelolanya
yang kemudian dikoordinasikan oleh sebuah lembaga metrologi utama. Di negara maju,
pengelolaan standar pengukuran nasional dipusatkan di sebuah lembaga, misalnya
National Institute of Standards and Technology (NIST) di AS. Hal ini diikuti juga oleh
beberapa negara industri baru seperti Korea Selatan yang memusatkan pengelolaan
standar pengukuran untuk semua besaran di Korea Research Institute of Standards and
Sciences (KRISS). Di Jerman, Physikalisch-Technische Bundesanstalt (PTB) yang
memiliki kompetensi untuk mengelola sebagian besar standar pengukuran nasional
menjadi lembaga metrologi nasional utama, sedangkan untuk standar-standar kimia PTB
memberikan kontrak kepada Bundesanstalt für Materialforschung und -prüfung (BAM).
Di Inggris, UK Department of Trade and Industry menyerahkan tanggung jawab
pengelolaan standar pengukuran nasional melalui kontrak dengan National Physical
Laboratory yang merupakan lembaga swasta sebagai laboratorium metrologi nasional
utama yang kemudian berkoordinasi dengan LGC Ltd. untuk pengelolaan standar kimia
dan TUV NEL khusus untuk bidang pengukuran aliran.
2.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran
Pengembangan sistem pengukuran global pada dasarnya ditujukan untuk mencapai
ketertelusuran pengukuran di seluruh dunia, sedemikian hingga hasil-hasil pengukuran
langsung, maupun hasil-hasil pengukuran yang terintegrasi ke dalam karakteristik
komoditas, dapat diterima oleh seluruh negara di dunia yang melakukan pertukaran
komoditas maupun bertransaksi langsung antarnegara berdasarkan hasil-hasil
pengukuran. Oleh karena itu kesetaraan standar pengukuran nasional dan kompetensi
lembaga pengelola standar pengukuran nasional baru memberikan jaminan bahwa standar
pengukuran nasional negara tersebut setara dengan standar pengukuran negara-negara
60
lain, dan kompetensi lembaga pengelola standar pengukuran nasionalnya dalam
memelihara dan mendiseminasikan nilai-nilai dari standar pengukuran nasional setara
dengan kompetensi lembaga serupa di negara-negara lain. Di dalam suatu negara,
kebutuhan pengukuran yang tertelusur merupakan kebutuhan yang sangat besar, mulai
dari kegiatan pengukuran dalam penelitian yang membutuhkan akurasi sangat tinggi,
kegiatan pengukuran di industri, sampai kepada kegiatan pengukuran sederhana yang
dilakukan dalam pembelian beras dan buah-buahan di pasar tradisional, sehingga
lembaga pengelola standar pengukuran nasional tidak akan mampu untuk melayani
seluruh kebutuhan ketertelusuran pengukuran tersebut.
Untuk dapat memastikan ketertelusuran pengukuran di semua tingkat ketelitian
pengukuran dan di semua sektor kehidupan berbangsa dan negara diperlukan sistem
diseminasi satuan pengukuran dan standar pengukuran nasional. Untuk menjalankan
proses diseminasi nilai standar nasional, melalui rantai kalibrasi standar alat ukur sampai
dengan proses pengukuran yang dilakukan di tingkat produksi maupun transaksi di pasar
tradisional, diperlukan kompetensi di bidang metrologi. Kompetensi metrologi nasional
untuk memastikan ketertelusuran pengukuran nasional tentunya memerlukan penguasaan
ilmu metrologi, yang mencakup ilmu-ilmu pengukuran dan ilmu-ilmu pendukungnya
serta proses yang diperlukan untuk menjamin ketertelusuran pengukuran tersebut.
Telah dijelaskan di dalam pendahuluan bahwa akumulasi pengembangan ilmu metrologi,
karena pentingnya peran ilmu ini dalam integrasi ekonomi global, pada umumnya setelah
mencapai tahapan tertentu yang disepakati akan didokumentasikan dalam bentuk
pedoman atau standar yang perlu diacu untuk memastikan keberterimaan hasil
pengukuran tersebut di pasar global. Lembaga pengelola standar pengukuran nasional
tentunya merupakan lembaga yang akan selalu melakukan penelitian-penelitian tentang
pengelolaan dan diseminasi pengukuran dan selalu berkomunikasi dengan lembagalembaga pengelola standar pengukuran nasional negara lain serta komite-komite
konsultatif yang beranggotakan ahli-ahli metrologi yang diakui di tingkat internasional.
Oleh karena itu, lembaga pengelola standar pengukuran nasional ini dapat dikatakan
sebagai pusat kompetensi dan penguasaan ilmu-ilmu kemetrologian.
Diseminasi satuan dan standar pengukuran dilakukan oleh laboratorium kalibrasi,
sedangkan kalibrasi di dalam VIM didefinisikan sebagai berikut:
Kalibrasi: serangkaian kegiatan untuk menghubungkan, dalam kondisi tertentu,
antara nilai suatu besaran yang ditunjukan oleh alat ukur, sistem pengukuran atau
nilai yang dinyatakan oleh bahan ukuran atau bahan acuan dengan nilai terkait
yang direalisasikan dengan standar pengukuran [VIM 6.11]
Kalibrasi merupakan kegiatan yang diperlukan untuk membentuk rantai perbandingan
tidak terputus yang diawali dari standar pengukuran nasional sampai ke seluruh proses
pengukuran di semua tingkatan dan semua bidang. Kompetensi laboratorium kalibrasi
dapat diakui secara formal melalui proses akreditasi, dan dalam kerangka WTO-TBT,
pengakuran kompetensi laboratorium kalibrasi dapat digunakan untuk memfasilitasi
61
integrasi dalam perdagangan global bila laboratorium kalibrasi tersebut diakreditasi oleh
badan akreditasi yang telah diakui kesetaraan kompetensinya dalam skema saling
mengakui antarlaboratorium kalibrasi regional (APLAC – di lingkungan Asia Pasifik)
dan internasional (ILAC). Kegiatan kalibrasi perlu dilakukan baik untuk alat ukur
maupun peralatan lain yang memiliki fungsi pengukuran yang digunakan di industri, di
dalam layanan kesehatan, di dalam transaksi perdagangan, di dalam penelitian dan
berbagai bidang lainnya. Kegiatan tera atau verifikasi untuk memastikan kesesuaian
dengan persyaratan metrologi legal pun hanya dapat dilakukan dengan baik bila
karakteristik kemetrologian alat ukur yang dibandingkan dengan persyaratan metrologi
legal bersumber dari proses kalibrasi yang dilakukan secara kompeten.
BIPM - CGPM
Realisasi definisi satuan
lembaga metrologi nasional –
pada umumnya negara maju
Lembaga Metrologi Nasional (negara
berkembang – termasuk Indonesia)
Definisi
Kelvin
Fixed P oint:
Zn, Al (Australia)
Fixed P oint
H2O, Sn, Zn (INA)
Standard
Thermoresistance
Thermometer
(4 0 0 0 C ~ 1 0 0 0 0C )
Laboratorium kalibrasi
Standar industri/perusahaan
Pengguna akhir alat ukur
Industrial Thermoresistance
Thermometer (4 0 0 0C ~ 1 0 0 0 0C )
Termocouple Thermometer
(4 0 0 0 C ~ 1 0 0 0 0C )
ketidakpastian
pengukuran
Gambar 7: Contoh hirarki standar satuan ukuran untuk besaran suhu.
Kalibrasi pada dasarnya merupakan kegiatan sukarela, yang perlu dilakukan oleh pemilik
atau pengguna peralatan untuk memastikan kebenaran alat ukur yang digunakannya.
Berdasarkan hasil kalibrasi tersebut, pemilik atau pengguna alat ukur dapat memutuskan
kelayakan alat ukur tersebut untuk digunakan sesuai tujuannya, atau memastikan bahwa
alat ukur yang digunakan tersebut memenuhi persyaratan kemetrologian yang ditetapkan
oleh regulasi metrologi legal tentang alat ukur atau pengukuran. Oleh karena itu kegiatankegiatan kemetrologian yang secara internasional untuk pengelolaan standar pengukuran
nasional dikelola oleh BIPM, untuk metrologi legal oleh OIML dan untuk akreditasi
laboratorium kalibrasi oleh ILAC harus dikoordinasikan dengan baik, sehingga
ketertelusuran pengukuran dapat dijamin di semua tingkatan dan bidang pengukuran yang
62
diperlukan oleh suatu negara. Seperti diketahui, lingkup kegiatan dari ketiga organisasi
internasional tersebut dan juga organisasi regional yang relevan dengannya tidak tumpang
tindih, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Dengan demikian, untuk memastikan
ketertelusuran pengukuran, maka organisasi atau lembaga-lembaga di tingkat nasional
yang terlibat di dalam proses diseminasi tersebut (yang masing-masing berafiliasi kepada
tiga organisasi internasional dan regional terkait) sudah seharusnya diatur sedemikian
hingga tidak tumpang tindih, melainkan bersifat saling melengkapi untuk menjalankan
fungsi-fungsi yang relevan dengan kewenangannya.
2.5 METROLOGI LEGAL
2.5.1 Lingkup Kegiatan Metrologi Legal
Metrologi legal mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan persyaratan legal
terhadap pengukuran, satuan pengukuran, alat ukur dan metode pengukuran. Kegiatan ini
dilakukan oleh atau atas nama otoritas pemerintah untuk menjamin tingkat kredibilitas
hasil pengukuran yang layak pada area yang diwajibkan oleh pemerintah. Metrologi legal
bukanlah sebuah disiplin di dalam metrologi, melainkan merupakan aplikasi ilmu
kemetrologian untuk memperoleh ketertelusuran dan acuan yang tepat dan dapat berlaku
untuk setiap besaran yang tercakup dalam kegiatan kemetrologian yang diatur dengan
perundangan-undangan dan regulasi. Pada saat ini cakupan kegiatan metrologi legal dapat
dilihat secara komprehensif dalam penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh Organisasi
Internasional Metrologi Legal (OIML) maupun organisasi metrologi legal regional atau
nasional, yang antara lain memberikan penjelasan sebagai berikut:
Metrologi Legal: bagian dari metrologi berkaitan dengan persyaratan berdasarkan
undang-undang dan pengukuran tertentu, satuan pengukuran, alat ukur dan metode
pengukuran yang dilakukan oleh lembaga yang kompeten (International Vocabulary
of Terms in Legal Metrology/VML 1.2)
Metrologi Legal: cabang metrologi yang terkait dengan implementasi regulasi
untuk memastikan tingkat kredibilitas hasil pengukuran yang tepat bila terdapat
konflik kepentingan atau bila hasil pengukuran yang salah dapat berpengaruh
negatif terhadap individu atau masyarakat [44]
Regulasi Metrologi Legal perlu diterapkan oleh pemerintah, khususnya bila
terdapat konflik kepentingan terhadap hasil pengukuran sehingga memerlukan
campur tangan wasit yang netral, metrologi legal diperlukan bila kekuatan di pasar
tidak teratur dan/atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang, sehingga
diperlukan pengaturan tentang satuan ukuran, tentang hasil pengukuran maupun
tentang alat ukur [OIML D1]
Penjelasan-penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa ketentuan metrologi legal
merupakan bagian dari regulasi teknis, dalam hal ini regulasi teknis terhadap alat ukur,
proses pengukuran, hasil pengukuran atau ukuran barang dalam keadaan terbungkus.
63
Karena merupakan bagian dari regulasi teknis, maka penetapan regulasi metrologi legal
harus memenuhi kerangka penetapan regulasi teknis yang diatur dalam Article 2.2 WTOTBT sebagai berikut:
Para anggota harus menjamin bahwa regulasi teknis tidak disiapkan, diadopsi atau
diterapkan dengan suatu pandangan atau dengan pengaruh menciptakan hambatan
yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. Untuk maksud ini,
regulasi teknis tidak boleh lebih membatasi daripada yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan-tujuan yang dapat dilegitimasi dengan mempertimbangkan resiko
yang diakibatkannya bila tidak dipenuhi. Tujuan-tujuan penetapan regulasi teknis
yang dapat dilegitimasi adalah, atas nama persyaratan keamanan negara,
perlindungan dari praktik curang, perlindungan kesehatan manusia, perlindungan
kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan. Dalam menilai
resiko-resiko tersebut, elemen-elemen pertimbangan tersebut mencakup informasi
ilmiah dan teknis yang tersedia, teknologi proses terkait atau tujuan akhir
penggunaan produk. [WTO agreement on TBT article 2.2]
Definisi metrologi legal dalam VML dan juga penjelasan-penjelasan tentang praktik
metrologi legal internasional, sebagaimana dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa
kegiatan metrologi legal dapat mencakup berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Cakupan kegiatan metrologi legal itu sendiri, yang diawali
dengan metrologi perdagangan (trade metrology), sejalan dengan perkembangan
peradaban telah berkembang ke berbagai sektor lain, yang ditujukan untuk perlindungan
setiap warga negara dan masyarakat secara keseluruhan, misalnya penegakan hukum,
kesehatan, keselamatan dan perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah harus
memberikan perhatian khusus pada hasil pengukuran khususnya bila terdapat potensi
konflik kepentingan terhadap hasil pengukuran terebut, sehingga memerlukan intervensi
wasit yang tidak memihak. Metrologi legal khususnya diperlukan bila kekuatan pasar
tidak cukup terorganisir atau tidak cukup kompeten atau tidak seimbang. Metrologi legal
umumnya mencakup pengaturan berkaitan dengan satuan pengukuran, hasil pengukuran
(misalnya barang dalam keadaan terbungkus) dan terhadap alat ukur. Pengaturan tersebut
meliputi kewajiban hukum berkaitan dengan hasil pengukuran dan alat ukur, dan juga
pengendalian legal yang dilakukan oleh atau atas nama pemerintah. Secara umum,
kegiatan metrologi legal ditujukan untuk memberikan jaminan kemetrologian (metrological assurance), dengan definisi sebagai berikut:
jaminan kemetrologian (metrological assurance): semua regulasi, piranti teknis dan
kegiatan yang diperlukan yang digunakan untuk memastikan kredibilitas hasil
pengukuran di dalam lingkup metrologi legal (VML 1.3)
Sesuai dengan tujuannya, kegiatan metrologi legal yang dilaksanakan oleh pemerintah
dan mencakup berbagai kegiatan yang dalam praktik internasional metrologi legal disebut
dengan pengendalian legal kemetrologian, dengan definisi sebagai berikut:
64
pengendalian legal kemetrologian (legal metrological control): keseluruhan
kegiatan metrologi legal yang berkontribusi terhadap jaminan kemetrologian, yang
terdiri dari pengendalian legal terhadap alat ukur, pengawasan kemetrologian dan
keahlian kemetrologian (VML 2.1)
Definisi dalam VML 2.1 di atas, memberikan gambaran bahwa, berdasarkan kesepakatan
dalam forum OIML, jaminan kemetrologian dalam penggunaan alat ukur baru dapat
diberikan oleh pemerintah suatu negara bila pengendalian legal kegiatan kemetrologian
yang dilakukan telah mencakup:
 pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments),
 pengawasan kemetrologian (metrological supervision), dan
 keahlian kemetrologian (metrological expertise)
yang masing-masing memiliki definisi yang telah disepakati oleh masyarakat metrologi
legal internasional, sebagai berikut:
pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments):
istilah generik yang digunakan secara global untuk menetapkan kegiatan legal
dimana alat ukur dapat menjadi obyek kegiatan tersebut, sebagai contoh:
persetujuan tipe (type approval), verifikasi (verification) (VML 2.2)
pengawasan kemetrologian (metrological supervision): kegiatan pengendalian
terhadap pembuatan, impor, instalasi, penggunaan, pemeliharaan dan perbaikan
alat ukur, yang dilakukan untuk memeriksa bahwa peralatan tersebut digunakan
dengan benar sesuai dengan undang-undang dan regulasi kemetrologian (VML 2.3)
keahlian kemetrologian (metrological expertise): semua kegiatan dengan fungsi
untuk memeriksa dan menunjukkan, sebagai contoh untuk menyatakan di dalam
pengadilan bahwa kondisi alat ukur dan untuk menentukan sifat-sifat
kemetrologiannya, di antara yang lain dengan mengacu pada persyaratan
perundang-undangan yang relevan (VML 2.4)
Karena tujuan akhir dari metrologi legal adalah untuk memberikan kepercayaan terhadap
hasil pengukuran dengan pengaturan legal, kebutuhan dan persyaratan hasil pengukuran
harus dipertimbangkan sebelum menetapkan persyaratan terhadap alat ukur. Metrologi
legal dapat mencakup empat kegiatan utama:
 menetapkan persyaratan legal;
 pengendalian atau penilaian kesesuaian produk atau kegiatan yang tercakup dalam
regulasi;
 pengawasan produk dan kegiatan yang tercakup di dalam regulasi; dan
 memberikan infrastruktur yang memadai untuk memastikan ketertelusuran dari
pengukuran atau alat ukur yang tercakup di dalam regulasi
65
Regulasi metrologi legal dapat ditetapkan terhadap proses pengukuran, terhadap alat
ukur, dan terhadap ukuran barang dalam keadaan terbungkus yang perlu dikendalikan dan
diawasi oleh negara untuk kepentingan persyaratan keamanan negara, perlindungan dari
praktik curang, perlindungan kesehatan manusia, perlindungan kehidupan atau
kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan. Sejalan dengan perkembangan
peradaban dan pengetahuan umat manusia, metrologi legal dan juga OIML yang pada
awalnya hanya mencakup kegiatan metrologi dalam transaksi perdagangan berdasarkan
alat ukur (trade metrology) kemudian berkembang pada transaksi-transaksi lain, yang
bergantung pada alat ukur, dengan kondisi transaksi yang tidak seimbang, sebagai
contoh:
 perhitungan waktu untuk pulsa telepon, mengingat pelanggan tidak mempunyai
kapasitas untuk memastikan kebenaran perhitungan pulsa telepon yang harus
dibayarnya;
 penggunaan alat-alat ukur dalam diagnosis kesehatan dalam pelayanan kesehatan,
karena pasien tidak mempunyai kapasitas untuk memastikan kebenaran penunjukan
alat ukur yang digunakan sebagai dasar diagnosis kesehatannya;
 penggunaan gas analyzer untuk memeriksa kandungan zat beracun dalam gas buang
kendaraan bermotor untuk memastikan mutu udara yang tidak membahayakan
kehidupan;
 penggunaan alat-alat ukur untuk inspeksi kelaikan terbang pesawat udara untuk
menjamin keselamatan masyarakat pengguna pesawat terbang;
 penggunaan alat-alat ukur untuk memastikan kebenaran alat ukur volume minyak
bumi dan gas alam yang digunakan oleh operator minyak asing untuk memastikan
bahwa negara memperoleh bagi hasil yang sesuai dengan volume minyak bumi dan
gas alam yang dihasilkan;
 penggunaan alcohol breath analyzer oleh kepolisian untuk memeriksa kondisi
pengemudi kendaraan bermotor untuk meningkatkan jaminan keselamatan di jalan
raya;
 penggunaan argometer (taxi-meter) yang digunakan sebagai dasar transaksi
pembayaran oleh pengguna jasa transportasi taksi;
 penggunaan jembatan timbang untuk memastikan bahwa bobot mati kendaraan
angkutan yang melewati jalan raya tidak melebihi kapasitas bobot yang mampu
ditanggung oleh struktur jalan yang ada;
 penggunaan timbangan dalam peracikan obat di apotik, yang bila terdapat kesalahan
dapat membahayakan kesehatan bahkan nyawa konsumen,
dan masih banyak proses-proses pengukuran lain yang perlu diatur dalam regulasi
metrologi legal nasional sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Di samping perkembangan
cakupan proses pengukuran, perkembangan teknologi menyebabkan perlunya
pengembangan keahlian kemetrologian (metrological expertise) yang diperlukan untuk
mengantisipasi perkembangan teknologi alat ukur, yang bila tidak mampu diadaptasi oleh
66
regulasi metrologi legal yang ada dapat menyebabkan lemahnya fungsi pemerintah dalam
kegiatan metrologi legal. Contohnya:
 perkembangan teknologi perekaman dan adjustment meter air dan meter bahan bakar
yang saat ini dapat dilakukan dari jarak jauh baik dengan memanfaatkan sinyal radio
maupun sinyal telepon selular;
 perkembangan teknologi kedokteran, yang membutuhkan penguasaan ilmu yang
melandasi pengoperasian peralatan tersebut untuk memastikan kebenaran ukuran,
baik ukuran dosis (sebagai contoh, sinar-X) yang akan diberikan kepada pasien,
maupun ukuran gejala tubuh (sebagai contoh, electrocardiograph, electromyograph)
yang digunakan untuk mendiagnosis kesehatan pasien.
Perkembangan cakupan kegiatan metrologi legal, sebagaimana dijelaskan di atas,
menunjukkan bahwa kegiatan metrologi legal dalam implementasinya dapat menjadi
bagian dari lingkup kegiatan regulator yang berasal dari beberapa departemen atau
lembaga pemerintah yang berbeda sesuai dengan tugas dan fungsi departemen atau
lembaga pemerintah tersebut. Demikian juga, semakin luasnya cakupan dan kebutuhan
kegiatan metrologi legal ini mendorong otoritas metrologi legal di berbagai negara untuk
menetapkan kebijakan yang memungkinkan pendelegasian wewenang ke pihak-pihak
swasta.
Secara umum kerangka kerja sistem pengendalian legal kemetrologian yang dapat
digunakan dalam berbagai situasi yang ada pada saat ini hendaknya mencakup
pengendalian terhadap:




alat ukur yang dipasarkan (at the market stage);
alat ukur pada saat digunakan dalam pelayanan (in service);
karakteristik kemetrologian barang dalam keadaan terbungkus; dan
kegiatan komplementer lainnya yang diperlukan untuk meningkatkan jaminan
kemetrologian
2.5.2 Implementasi Kegiatan Metrologi Legal
Dalam rekomendasi internasional OIML D 9: Principles of Metrological Supervision,
struktur pengendalian legal kemetrologian dapat digambarkan secara skematik seperti
dalam Gambar 8.
Metrological assurance sebagai tujuan utama kegiatan metrologi legal hanya dapat
dicapai bila pemerintah mengimplementasikan legal metrological control secara efektif
dan efisien. Implementasi legal metrological control di suatu negara diawali dengan
pengendalian kemetrologian terhadap alat ukur yang dipasarkan (measuring instruments
at the market stage), yang mencakup:
 evaluasi tipe dan persetujuan tipe alat ukur;
 persyaratan instalasi alat ukur;
67
 verifikasi (peneraan) awal di lokasi pembuatan alat ukur;
 verifikasi (peneraan) awal di lokasi penggunaan alat ukur; dan
 persyaratan kondisi lingkungan dalam penggunaan alat ukur.
P engawas an
Sis tem M utu
P enges ahan
Sis tem M utu
Sistem Mutu
Pengawasan legal
UTTP dan BDKT
Uji tipe
Tera awal dan tera ulang
Pengawas an ukuran BKDT
Pros edur penilaian kes es uaian
Kontrol
Metrologi Legal
Pengawasan
Kemetrologian
Keahlian
Kemetrologian
P engawas an
P as ar
P engawas an
Lapangan
A lat U T T P
dan BDKT
di pas ar
A lat U T T P
yang digunakan
Fungs i P engawas an
Fungs i P enyeliaan
Bidang P enyeliaan
Gambar 8: Skema pengendalian legal kemetrologian. UTTP: Alat Ukur, Timbang, Takar dan
Perlengkapannya. BDKT: Barang Dalam Keadaan Terbungkus.
Dalam sistem metrologi legal tradisional, kegiatan-kegiatan di atas dilakukan oleh
petugas metrologi legal pemerintah dan pihak pembuat atau pengguna alat ukur tersebut
dibebani biaya pelaksanaan kegiatan. Sistem ini, dalam praktik internasional metrologi
legal disebut dengan restrictive system, yaitu pemerintah memegang tanggung jawab
untuk memastikan bahwa proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi
legal dan peralatan ukur yang digunakan di dalam proses tersebut memenuhi persyaratanpersyaratan kemetrologian yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bila strategi intervensi
68
pemerintah dilakukan dengan restrictive system, sebagian besar tanggung jawab untuk
memenuhi persyaratan legal dari pabrik pembuat diambil alih oleh petugas metrologi
legal yang melakukan kegiatan penilaian dan membuat keputusan yang diperlukan dalam
proses pengendalian. Dari sudut pandang konsumen sistem ini ideal, tetapi membebani
pabrik pembuat dari sisi keuangan maupun logistik.
Pemilihan strategi juga bergantung pada besarnya tanggung jawab dari keseluruhan
proses yang dapat ditanggung oleh petugas metrologi legal. Bila sumber daya
kemetrologian terbatas, yang tampak menjadi kasus di seluruh dunia, strategi intervensi
terbatas oleh pemerintah dalam proses penggunaan alat ukur hendaknya dipilih oleh
pemerintah. Dalam mengimplementasikan regulasi metrologi legal, hendaknya pabrik
pembuat peralatan dan juga pengguna peralatan diposisikan untuk memegang salah satu
penanggung-jawab dalam mencapai tujuan kegiatan metrologi legal.
Sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi dunia, kemudian berkembang sistem baru
yang dikenal dengan balanced system untuk mengimplementasikan kegiatan metrologi
legal di berbagai negara. Sistem ini didasarkan pada dan memanfaatkan berbagai skema
penilaian kesesuaian yang berkembang sejalan dengan perkembangan berbagai
kesepakatan antar negara dalam forum WTO dan berbagai organisasi pendukungnya:
 evaluasi tipe dan persetujuan tipe dilakukan oleh lembaga yang kompeten (lembaga
penilaian kesesuaian yang diakreditasi atau di-peer-review) dengan pengakuan timbal
balik yang luas terhadap sertifikat persetujuan tipe atau laporan pengujian di tingkat
internasional maupun regional (sebagai contoh OIML Mutual Acceptance
Arrangement, European Union Global Approach, ILAC Mutual Recognition
Arrangement, dan sebagainya);
 verifikasi awal dilakukan oleh pembuatnya (di pabrik) didasarkan pada asesmen
terhadap sistem manajemen mutunya oleh lembaga yang kompeten (lembaga
sertifikasi sistem manajemen mutu yang telah diakreditasi dengan lingkup yang
sesuai dengan jenis alat ukur yang diverifikasi), dengan proses asesmen yang
dipusatkan pada kesesuaian setiap alat ukur yang diproduksi;
 bila alat ukur tertentu memerlukan verifikasi awal di lokasi penggunaannya,
verifikasi awal dilakukan oleh lembaga pihak ketiga yang kompeten (diakreditasi
untuk lingkup yang relevan);
 bila persetujuan tipe tidak dapat dilakukan atau tidak berkontribusi besar terhadap
perlindungan kepentingan umum, regulasi metrologi legal hanya mempersyaratkan
verifikasi (peneraan) awal.
Bila pemerintah suatu negara memilih untuk menerapkan balanced system, kegiatan
metrologi legal harus dilengkapi dengan kegiatan pengawasan pasar, yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah, khususnya bila sistem pemerintahan di negara tersebut yang
memungkinkan persaingan antar lembaga penilaian kesesuaian. Dengan melibatkan
pembuat atau pengguna alat dalam verifikasi alat ukur, maka tanggung-jawab terhadap
segala kerugian yang terjadi sebagai akibat alat ukur yang telah diverifikasi tersebut,
69
melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat diberikan kepada pembuat
atau pengguna alat ukur.
Kegiatan evaluasi dan persetujuan tipe (type approval), merupakan bentuk kegiatan prapasar (pre-market) terhadap alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal.
Kegiatan ini dilakukan terhadap sampel dari tipe yang sama – yang diajukan untuk
memperoleh persetujuan tipe – yang diberikan oleh pembuatnya. Dalam mengembangkan
regulasi tentang type aprroval, pemerintah perlu mempertimbangkan kelemahankelemahan dari sistem ini, antara lain:
 terdapat kemungkinan bahwa pabrik mengirimkan peralatan yang telah diuji secara
ekstensif di laboratoriumnya sendiri (yang biasa disebut sampel "gold-plated"), yang
bila praktik ini tersebar luas, peralatan yang diuji oleh otoritas metrologi legal untuk
memperoleh persetujuan tipe mungkin kurang mewakili peralatan yang sedang
dipasarkan;
 pabrik pembuat peralatan dapat memberikan tekanan kepada lembaga metrologi legal
untuk melakukan pengujian dalam waktu yang sesingkat mungkin. Demikian pula
bila verifikasi (peneraan) awal dilakukan oleh pabrik, keabsahannya dapat
dikompromikan dengan perjalanan logistik yang panjang (seperti transportasi atau
pengiriman ke luar negeri) atau perubahan sifat yang disebabkan pengaruh eksternal
selama transportasi (seperti interferensi elektromagnet, kondisi lingkungan, dan
sebagainya).
Dengan mempertimbangkan kelemahan dari kegiatan pre-market, beberapa negara
menerapkan sebuah sistem yang meminimalkan peran pemerintah dalam kegiatan premarket. Dalam hal ini, pemerintah dapat menerima hasil verifikasi (peneraan) awal yang
dilakukan oleh pabrik, sampai tindakan pengawasan pasca-pasar (post-market) yang
dilakukan oleh atau atas nama pemerintah terhadap produk alat ukur tersebut dengan jelas
dapat menunjukkan unjuk kerja yang tidak dapat memenuhi persyaratan kemetrologian
dalam regulasi metrologi legal. Strategi pengendalian pasca pasar ini didasarkan pada
gagasan bahwa peran metrologi legal adalah untuk menjamin akurasi proses pengukuran
bagi penggunanya dengan lebih memberikan penekankan pada pengawasan daripada
pemberian layanan langsung. Bahkan bila pengawasan tersebut hanya dilakukan di lokasi
penggunaan alat ukur, hal ini dapat menempatkan tanggung jawab penjaminan akurasi
alat pada pengguna dan pembuatnya yang dianggap memiliki keuntungan yang cukup
untuk memelihara akurasi pengukuran.
Untuk memperkuat implementasi metrologi legal dalam mencapai tujuannya, peraturan
perundang-undangan kemetrologian harus memuat ketentuan tentang penerapan sanksi
hukum kepada pembuat atau pengguna alat ukur bila ditemukan alat ukur yang
dinyatakan memenuhi persyaratan ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan. Strategi post-market surveillance di titik-titik penggunaan alat ukur dipandang
akan dapat memberikan proteksi yang kuat kepada masyarakat, sebagai pihak yang paling
lemah dalam proses pengukuran tersebut.
70
Di dalam implementasi kegiatan metrologi legal, pengawasan pasca-pasar terhadap alat
ukur digolongkan dalam kegiatan pengawasan kemetrologian (metrological supervision).
Sesuai dengan definisinya, kegiatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa peralatan
ukur yang digunakan dalam proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi
legal yang ditetapkan oleh pemerintah dengan alasan kepentingan persyaratan keamanan
negara, perlindungan dari praktik curang, perlindungan kesehatan manusia, perlindungan
kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan digunakan dengan benar
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan regulasi kemetrologian yang berlaku di
negara tersebut.
Kegiatan metrological supervision difokuskan pada pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap alat-alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal, pada
saat alat tersebut digunakan dalam proses-proses pengukuran yang diatur oleh
pemerintah. Karena bagian yang paling berpengaruh terhadap kepentingan umum dalam
penggunaan alat ukur adalah proses pengukuran pada saat alat ukur tersebut dalam
pelayanan, maka memberikan perhatian lebih terhadap penggunaan alat ukur dipandang
merupakan strategi metrologi legal yang paling efektif untuk mencapai tujuannya. Salah
satu bentuk pengawasan kemetrologian terhadap alat ukur yang dikendalikan secara legal
adalah tera ulang (subsequent verifications) yang dilakukan oleh lembaga yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan untuk melakukan
pengawasan kemetrologian.
Di Amerika Serikat, kegiatan metrologi legal difokuskan pada peneraan ulang
(subsequent verification). Peralatan ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal
diverifikasi (atau diinspeksi) dengan periode tertentu yang ditentukan oleh otoritas
pemerintah di tingkat nasional (federal government) atau pemerintah daerah (state
government). Untuk pelaksanaan peneraan ini, pemilik atau pengguna peralatan tidak
dibebani biaya dengan alasan bahwa pemilik atau pengguna alat hendaknya tidak
mensubsidi kegiatan pemerintah yang dilaksanakan untuk melindungi kepentingan
umum, termasuk di dalamnya terkait dengan kegiatan kemetrologian. Dengan
mengimplementasikan strategi ini, pemilik atau pengguna peralatan sepenuhnya
bertanggungjawab untuk memelihara kesesuaian peralatannya dengan regulasi metrologi
legal. Istilah subsequent verification dalam implementasi regulasi metrologi legal di
Amerika merupakan kombinasi dari kegiatan peneraan dan pengawasan. Kelemahan dari
sistem yang diimplementasikan di Amerika ini adalah kebergantungan pembiayaan
terhadap anggaran pemerintah, sehingga keefektifan kegiatan metrologi legal dapat
terpengaruh bila terjadi pemotongan anggaran. Kelebihan yang dapat diperoleh dari
model Amerika ini adalah terjaminnya imparsialitas petugas dalam membuat keputusan.
Negara-negara maju Eropa, yang dipelopori oleh Jerman dan negara-negara Eropa
berbahasa Jerman, menerapkan sistem metrologi legal yang serupa dengan sistem
Amerika. Beberapa perbedaannya antara lain mencakup penetapan interval peneraan
ulang yang tidak ditetapkan dalam regulasi teknis, melainkan direncanakan berdasarkan
hasil analisis otoritas metrologi legal terhadap kondisi yang ada di lapangan. Otoritas
71
metrologi legal dalam sistem ini dapat berupa lembaga pemerintah atau pihak swasta
yang ditunjuk oleh pemerintah. Tidak terdapat ketentuan yang menetapkan periode
inspeksi untuk setiap alat ukur; periode inspeksi atau peneraan ulang alat ukur bergantung
pada hasil inspeksi tahunan dan analisis resiko penggunaan alat ukur. Pemilik atau
pengguna peralatan sepenuhnya bertanggungjawah untuk memastikan kesesuaian
peralatannya dengan regulasi metrologi legal dan bebas untuk mengambil segala tindakan
yang diperlukan untuk memelihara kesesuaian dengan regulasi metrologi legal.
Kegiatan lain yang sangat penting dalam lingkup metrologi legal adalah pengendalian
kemetrologian terhadap barang dalam keadaan terbungkus (BDKT). Hal ini didorong
oleh kecenderungan penjualan barang yang semakin banyak menggunakan kemasan
dengan ukuran tertentu. Harga yang harus dibayar oleh pembeli BDKT sangat
dipengaruhi oleh ukuran barang dalam setiap kemasan, dan transaksi tersebut dapat
dianggap tidak seimbang, karena pembeli secara umum tidak memiliki sistem maupun
piranti untuk memastikan kebenaran ukuran BDKT. Sesuai dengan tujuan kegiatan
metrologi legal, diperlukan kegiatan pengendalian BDKT oleh otoritas metrologi legal
yang bertindak atas nama pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.
Pengendalian kemetrologian terhadap BDKT hendaknya dilakukan berdasarkan penilaian
terhadap sistem manajemen mutu pihak yang melakukan pengemasan yang secara khusus
ditujukan pada kesesuaian sistem dengan persyaratan regulasi pengemasan.
Selain asesmen terhadap sistem manajemen mutu pada saat pengemasan, diperlukan
kegiatan pengawasan pasar terhadap ukuran BDKT. Contohnya dapat dilihat Uni Eropa
(EU), sebagai salah satu wilayah pasar bebas yang akan segera disusul dengan ASEAN
single market pada tahun 2015 dengan tujuan utama memperlancar aliran komoditas di
seluruh negara dalam cakupan wilayah pasar bebas tersebut. Di EU, pengawasan BDKT
menggunakan tanda "e-mark" yang didasarkan pada sistem sukarela sebagai tanda bahwa
BDKT tersebut telah memenuhi regulasi BDKT di Uni Eropa. Dari sudut pandang
pembeli BDKT, sistem yang dikembangkan oleh EU ini dianggap dapat dimanfaatkan
oleh pembuat untuk mengatur satu jalur produksi yang memenuhi regulasi BDKT untuk
ekspor, tetapi di lain pihak, jalur produksi lain yang ditujukan untuk pasaran domestik
ukurannya dikurangi. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan oleh pabrik karena
perkembangan instrumentasi pengemasan yang memungkinkan pengaturan ukuran secara
halus, terlebih bila regulasi BDKT hanya didasarkan pada kekurangan terbesar yang
diijinkan.
Dalam menerapkan regulasi kemetrologian untuk BDKT pemerintah harus
mempertimbangkan regulasi-regulasi lain yang berlaku untuk isi BDKT tersebut; sebagai
contoh, regulasi tentang batas kandungan zat berbahaya untuk produk makanan, regulasi
tentang obat-obatan, dan regulasi lainnya yang mungkin telah diterapkan oleh departemen
atau lembaga pemerintah lainnya terhadap karakteristik barang yang dikemas. Dalam
kondisi seperti ini, hendaknya lembaga metrologi legal nasional melakukan koordinasi
dengan departemen atau lembaga pemerintah terkait lainnya sehingga pengendalian
kemetrologian terhadap BDKT dapat dimasukkan menjadi salah satu ketentuan dalam
72
regulasi yang berlaku untuk karakteristik barang yang dikemas. Dalam hal penerapan
pengendalian dan pengawasan ukuran produk dalam keadaan terbungkus ini, pemerintah
federal Amerika Serikat memberikan contoh yang sangat baik dengan mendelegasikan
kewenangan pengendalian pengawasan ukuran dan kegiatan metrologi legal lainnya
kepada regulator terkait, sebagai contoh:
 US Department on Agriculture untuk kegiatan metrologi legal terkait dengan ekspor
produk pertanian dan peternakan,
 US Food and Drugs Administration untuk keselamatan dan pelabelan produk farmasi,
dan
 US Trade Commission untuk pengawasan pernyataan terkait dengan ukuran dalam
label dan iklan.
Setiap wilayah hukum harus menetapkan cara untuk melakukan pengukuran yang dapat
digunakan di pengadilan atau untuk memutuskan silang pendapat yang menjadi hak
berbagai lembaga. Proses pengukuran secara keseluruhan harus dicakup dalam ketentuan
ini, bukan hanya alat ukur itu sendiri. Hal ini dapat dipandang sebagai perluasan dari
keahlian kemetrologian. Kompetensi teknis dari lembaga-lembaga yang melakukan
pengukuran resmi dapat ditunjukkan dengan akreditasi atau asesmen pada bagian dari
otoritas metrologi. Meskipun bidang-bidang yang tercakup dalam kegiatan metrologi
legal ini dapat diatur secara terpisah oleh berbagai departemen atau lembaga pemerintah,
hendaknya hubungan antara lembaga metrologi legal nasional dengan departement atau
lembaga pemerintah lain yang melakukan kegiatan metrologi legal diatur dalam peraturan
perundang-undangan kemetrologian.
Sebagaimana dinyatakan dalam bagian sebelumnya, sistem pengendalian kemetrologian
terhadap alat ukur dalam penggunaannya sangat bergantung pada verifikasi (tera) ulang
secara periodik. Oleh karena itu penetapan periode tera untuk alat ukur yang dicakup
dalam regulasi mutlak diperlukan dalam penerapan regulasi metrologi legal. Penetapan
interval peneraan ini pada umumnya ditetapkan berdasarkan pengalaman sebelumnya
atau saran berdasarkan pengalaman negara lain, tidak didasarkan pada pengujian jangka
panjang terhadap alat ukur. Lebih jauh lagi, hampir semua pemangku kepentingan lebih
menyukai periode yang lebih panjang dan dapat berusaha keras untuk memperolehnya.
Hal ini meningkatkan kebutuhan untuk memverifikasi keabsahan interval tersebut dan
juga membuat regulasi metrologi legal menjadi lebih ketat bila terdapat banyak kasus
pelanggaran dalam penggunaan alat ukur tertentu.
Pembahasan kebijakan metrologi nasional dalam naskah akademik ini telah memberikan
penjelasan tentang kemungkinan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab
pemerintah dalam bidang kemetrologian kepada pemerintah daerah atau pemerintah
negara bagian, sesuai dengan konsep central metrology authority – local metrology
authorities serta pembagian sentralisasi dan desentralisasi kewenangan dalam bidang
kemetrologian. Dalam implementasinya, sesuai dengan kerangka integrasi ekonomi
global WTO-TBT, pemerintah sangat berkepentingan dengan penetapan regulasi
73
metrologi legal, dan sebagian besar tugas, kewenangan maupun tanggungjawab
pemerintah yang didelegasikan kepada pemerintah daerah atau negara bagian dalam
bidang metrologi adalah untuk mengimplementasikan kegiatan metrologi legal.
Dalam sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat, laboratorium metrologi (legal)
milik pemerintah negara bagian merupakan tulang punggung infrastruktur pengukuran
metrologi legal di Amerika. Di Amerika, NIST merupakan sebuah lembaga yang mengintegrasikan fungsi lembaga metrologi nasional dan lembaga metrologi legal nasional.
Metode-metode primer yang digunakan dalam pengelolaan standar pengukuran nasional
di NIST dapat didiseminasikan dengan baik sampai ke peralatan yang digunakan dalam
peneraan, inspeksi dan pengawasan melalui laboratorium-laboratorium metrologi (legal)
milik pemerintah negara bagian. Setiap negara bagian di Amerika Serikat mengembangkan laboratorium metrologi legal, khususnya untuk massa, panjang dan volume.
Untuk memastikan kompetensi laboratorium metrologi legal tersebut dalam
mendiseminasikan standar-standar yang dipeliharanya ke dalam standar-standar kerja
yang digunakan dalam peneraan dan inspeksi atau pengawasan, laboratorium metrologi
legal milik pemerintah negara bagian diakreditasi untuk melakukan kalibrasi sederhana
(uji toleransi) dan/atau kalibrasi oleh NIST melalui National Voluntary Laboratory
Accreditation Programme (NVLAP). Pelatihan dan kualifikasi petugas metrologi legal
setiap negara bagian dilakukan oleh NIST, dalam kegiatan yang dikoordinasikan oleh
Office of Weight and Measures (OWM).
Melalui pengembangan sistem kemetrologian yang dipusatkan di NIST ini, meskipun
kegiatan metrologi legal didelegasikan kepada pemerintah negara bagian, sistem
metrologi legal di Amerika Serikat mampu untuk beradaptasi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam berbagai proses pengukuran yang
tercakup dalam regulasi metrologi legal. Karena regulasi-regulasi metrologi legal
ditetapkan oleh pemerintah negara bagian, pada awal implementasinya timbul
permasalahan antarnegara bagian karena ketidakseragaman persyaratan kemetrologian
terhadap proses pengukuran, alat ukur maupun barang dalam keadaan terbungkus. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, kemudian dibentuklah National Conference of Weight
and Measures (NCWM) yang dikelola oleh NIST yang merupakan konferensi nasional
wakil-wakil otoritas metrologi lokal negara bagian dan wakil-wakil industri untuk
mendiskusikan permasalahan dan perkembangan kegiatan metrologi legal di seluruh
wilayah Amerika Serikat.
Konsep integrasi lembaga metrologi legal ke dalam lembaga metrologi nasional yang
telah digunakan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1905 ini, pada saat ini diterapkan juga
oleh:
–
74
Jepang melalui National Metrology Institute of Japan-Advance Institute of Science
and Technology (NMIJ-AIST);
–
Australia sejak tahun 2004 dengan mengintegrasikan National Measurement
Laboratory – Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (
NML-CSIRO), National Analytical Reference Laboratory (NARL), Australian
Government Analytical Laboratory (AGAL) dan National Standard Commission (
NSC) ke dalam National Measurement Institute of Australia (NMIA) – Ministry of
Industry, Tourism and Resources;
–
Singapura melalui National Measurement Centre dan Office of Weight and Measures
dalam SPRING;
–
Malaysia yang mengintegrasikannya ke dalam badan usaha milik negara yang
melakukan tugas-tugas sertifikasi, perumusan standar, pengembangan standar
pengukuran nasional, dan metrologi legal, yaitu SIRIM Berhad.
2.5.3 Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal
Petugas metrologi legal adalah personel yang ditunjuk oleh negara atau pemerintah
daerah, atau dengan status legal setara, yang bertanggungjawab untuk melaksanakan
berbagai tugas yang ditetapkan dalam kerangka kerja penerapan hukum dan peraturan
perundang-undangan metrologi legal. Sesuai dengan lingkup kegiatan metrologi legal,
diperlukan kualifikasi khusus untuk petugas metrologi legal yang melaksanakan peneraan
(verifikasi), inspeksi dan pengawasan di bidang metrologi.
Petugas metrologi legal hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang:




regulasi metrologi legal yang berlaku
prinsip-prinsip metrologi secara umum, termasuk di dalamnya piranti lunak yang
digunakan sebagai bagian dari sistem pengukuran;
prinsip-prinsip konstruksi dan pengoperasian berbagai instrumen dimana petugas
metrologi legal tersebut dinyatakan kompeten untuk melakukan peneraan
prinsip-prinsip sistem manajemen mutu, akreditasi dan sertifikasi yang terkait dengan
kegiatan metrologi legal
Berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dikuasainya, seorang petugas legal
metrologi hendaknya kompeten untuk:
 mengidentifikasi cabang-cabang regulasi legal metrologi;
 melaksanakan pengukuran kondisi lingkungan pada tingkat akurasi yang diperlukan;
 melakukan analisis statistik terhadap data-data pengukuran berdasarkan pengambilan
sampel dan dapat memberikan kesimpulan yang benar;
 melakukan kalibrasi dengan mempertimbangkan kondisi eksternal yang
memengaruhi alat ukur dan akurasi yang diperlukan
 mengidentifikasi jenis pengukuran atau alat ukur yang tidak tercakup dalam regulasi
metrologi legal;
75
 mampu mengidentifikasi jenis-jenis produk akhir yang tidak menjadi obyek regulasi
teknis tentang karakteristik produk dan komponen-komponen yang memengaruhi
proses produksinya.
Untuk memastikan bahwa semua petugas metrologi legal memiliki pengetahuan dan
kompetensi yang diperlukan, Dokumen Internasional OIML D 14: Training and
qualification of legal metrology personnel memberikan rekomendasi tentang modulmodul yang hendaknya diberikan dalam pelatihan petugas metrologi legal, yang meliputi:
prinsip-prinsip legal dan administratif kegiatan metrologi legal;
 prinsip-prinisip metrologi umum;
 pengujian dan verifikasi berbagai jenis alat ukur yang menjadi obyek regulasi
metrologi legal, termasuk di dalamnya evaluasi ukuran-ukuran barang dalam keadaan
terbungkus;
 manajemen mutu, akreditasi dan sertifikasi.

2.5.4 Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal
Sesuai dengan definisinya, kegiatan metrologi legal dapat didefinisikan secara sederhana
sebagai aspek kegiatan kemetrologian yang didasarkan pada regulasi teknis yang
ditetapkan oleh pemerintah terhadap pengukuran, alat ukur dan/atau barang dalam
keadaan terbungkus dengan pertimbangan perlindungan kepentingan negara,
keselamatan, kesehatan dan keamanan warga negara serta perlindungang lingkungan
hidup termasuk kelestarian flora dan fauna. Oleh karena itu, harus terdapat penegakan
hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran regulasi metrologi legal. Terkait dengan
peraturan perundang-undangan kemetrologian, harus terdapat larangan-larangan dan
sanksi hukum yang disebabkan oleh:
 menjual, menawarkan atau memamerkan untuk dijual barang-barang yang memiliki
ukuran atau jumlah lebih kecil dari yang dinyatakan, sesuai dengan batasan-batasan
di dalam regulasi teknis, tentunya dengan mempertimbangkan variasi statistiknya;
 mengambil lebih dari jumlah atau ukuran yang dinyatakan bila, sebagai pembeli,
memiliki piranti untuk mengukur jumlah atau ukuran yang diterimanya;
 menyatakan ukuran atau jumlah dengan berbagai cara yang dihitung atau
dimaksudkan untuk memberikan kesalahan pemahaman atau merugikan orang lain;
 memberikan pernyataan menyesatkan tentang harga dari berbagai komoditas atau jasa
yang dijual, ditawarkan atau dipamerkan atau diiklankan berdasarkan ukuran atau
jumlah, atau menyatakan harga dengan berbagai cara dengan maksud menipu orang
lain;
 memberikan pernyataan menyesatkan tentang mutu produk yang digunakan untuk
menentukan harga produk;
 tidak memenuhi persyaratan registrasi untuk impor alat ukur atau barang dalam
keadaan terbungkus yang tercakup dalam regulasi metrologi legal;
76
 tidak memenuhi persyaratan kemetrologian yang ditetapkan untuk sistem pengukuran
pada saat pemasangan, penjustiran atau pemeliharaannya;
 tidak dapat menunjukkan rekaman-rekaman karakteristik kemetrologian yang
diberikan oleh pabrik atau importir alat ukur atau barang dalam keadaan terbungkur
yang dapat membuktikan pemenuhan terhadap karakteristik kemetrologian yang
ditetapkan dalam regulasi metrologi legal;
 tidak dapat memenuhi tindakan perbaikan yang diminta atau diinstruksikan oleh
petugas metrologi legal;
 melarang atau menghalangi petugas metrologi legal dalam menjalankan tugasnya
untuk memastikan kesesuaian alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus dengan
persyaratan kemetrologian yang telah ditetapkan
 memberikan tanda atau segel kesesuaian pada alat ukur atau barang dalam keadaan
terbungkus yang tidak memenuhi persyaratan;
 menolak atau tidak dapat memberikan justifikasi terhadap hasil pengukuran yang
dipublikasikan dalam iklan atau bentuk komunikasi publik lainnya;
 memberikan hasil pengukuran yang menyesatkan dalam iklan atau bentuk
komunikasi publik lainnya;
 menggunakan satuan-satuan atau simbol-simbol ukuran yang tidak sesuai dengan
satuan pengukuran yang ditetapkan;
 tidak melakukan atau mendokumentasikan pengukuran yang dipersyaratkan oleh
regulasi metrologi legal;
 tidak memenuhi persyaratan kemetrologian (termasuk ketertelusuran) dalam proses
pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal;
 menawarkan atau menjual atau memasang peralatan yang tidak memenuhi regulasi
metrologi legal pada proses-proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi
metrologi legal;
 menggunakan peralalatan yang belum melalui proses pengendalian legal pada prosesproses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi legal;
 melepas atau merusak segel atau tanda dari berbagai alat ukur atau hasil pengukuran
tanpa memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam regulasi metrologi legal.
Dalam melaksanakan kegiatan metrologi legal, lembaga metrologi legal dapat menerima
biaya pelayanan untuk kegiatan yang dilakukan. Dalam kondisi seperti ini hendaknya
ditetapkan prosedur pembayaran dan juga jumlah biaya yang harus dibayarkan oleh
pemilik, pengguna atau pembuat alat. Biaya yang diperoleh dari kegiatan metrologi legal
tersebut hendaknya dapat digunakan oleh lembaga metrologi legal untuk
mengembangkan fasilitas dan sumber daya manusia serta sumber daya lain yang
diperlukan untuk melaksanakan kegiatannya. Ketentuan-ketentuan tentang pembiayaan
ini harus ditaati oleh semua lembaga, baik lembaga metrologi legal nasional, lembaga
metrologi legal lokal di bawah otoritas metrologi lokal, maupun lembaga-lembaga swasta
77
maupun pemerintah pihak ketiga yang menerima delegasi tugas dan kewenangan untuk
melaksanakan kegiatan yang tercakup dalam regulasi metrologi legal.
Untuk dapat menegakkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap pelanggaran regulasi
kemetrologian dan juga meminta kontribusi finansial dalam bentuk pembayaran biaya
kegiatan metrologi legal dari pengguna, pemilik, atau pembuat alat, pemerintah harus
dapat memberikan informasi secara transparan tentang ketentuan-ketentuan di dalam
regulasi metrologi legal, termasuk di dalamya jenis proses pengukuran, jenis alat ukur
dan atau barang dalam keadaan terbungkus, persyaratan kemetrologiannya, dan
ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan dalam regulasi metrologi legal. Lembaga
metrologi legal memiliki tanggungjawab untuk memublikasikan informasi yang
diperlukan untuk memberikan justifikasi tentang relevansi dan kehandalan hasil
pengukuran kepada publik. Warga negara atau pemangku kepentingan lainnya hendaknya
diberi kesempatan untuk mengakses hasil pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah
atau diberikan kepada pemerintah, yang berkaitan dengan kesehatan, keselamatan umum,
lingkungan dan ekonomi negara, sejauh publikasi informasi ini tidak menyebabkan
praduga kepada warga negara, perusahaan atau organisasi lainnya.
Dalam kaitannya dengan konsekuensi hukum dan pembiayaan dalam implementasi
kegiatan metrologi legal ini, pemerintah harus mampu memberikan sumber yang
independen dan imparsial yang dapat memberikan pertimbangan tentang keabsahan,
kredibilitas dan kehandalan informasi kemetrologian yang diberikan oleh pemerintah,
yang hendaknya sejauh mungkin mendayagunakan infrastruktur metrologi lain yang telah
dikembangkan dalam sistem metrologi nasional
78
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMETROLOGIAN
NASIONAL
analisis kritis terhadap substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981
Hasil identifikasi terhadap peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia yang
berkaitan dengan kegiatan kemetrologian diberikan dalam daftar peraturan perundangundangan terkait kemetrologian pada Lampiran 1 dari Naskah Akademik ini. Berdasarkan
hasil identifikasi tersebut, peraturan perundang-undangan kemetrologian dengan kekuatan
hukum tertinggi di wilayah RI adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal. Undang-undang merupakan ketentuan hukum
tertinggi di Republik Indonesia setelah Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.
Dalam implementasinya undang-undang harus diacu dalam pembentukan sebuah sistem
yang diperlukan di wilayah Republik Indonesia dan memerlukan berbagai peraturan
perundang-undangan dengan kekuatan hukum di bawah UU, termasuk peraturan
pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri, dan peraturan lain di bawahnya.
Kajian tentang peraturan perundang-undangan kemetrologian yang dituangkan dalam
Naskah Akademik ini didasarkan pada hipotesis bahwa "lemahnya institutional
framework metrologi yang kemudian menyebabkan lemahnya government efficiency—
sebagai faktor pendorong utama penguatan state capacity untuk memacu daya saing
nasional—disebabkan oleh peraturan perundangan di bidang metrologi yang belum
sejalan dengan perkembangan metrologi global". Sistem metrologi nasional merupakan
sebuah sistem yang diharapkan dapat memberikan pondasi untuk membangun daya saing
nasional sesuai dengan posisi sistem metrologi sebagai salah satu pilar utama untuk
menembus pasar global. Sistem metrologi nasional tentunya didasarkan pada sekumpulan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan kemetrologian. UU
kemetrologian seharusnya menjadi landasan tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar
dan Ketetapan MPR untuk mengimplementasikan sistem metrologi nasional. Karena pada
saat ini telah terdapat UU yang secara khusus mengatur salah satu kegiatan
kemetrologian, yaitu UU No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal, maka UU tersebut
digunakan sebagai fokus analisis peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional.
UU No. 2 Tahun 1981 memuat beberapa ketentuan yang telah ditindaklanjuti melalui
peraturan pemerintah, keputusan presiden, maupun peraturan perundang-undangan di
bawahnya untuk mengimplementasikannya. UU No. 2 Tahun 1981 disusun dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab I: Ketentuan Umum;
79
Bab II: Satuan-Satuan;
Bab III: Standar-Standar Satuan;
Bab IV: Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya;
Bab V: Tanda Tera;
Bab VI: Barang Dalam Keadaan Terbungkus;
Bab VII: Perbuatan Yang Dilarang;
Bab VIII: Ketentuan Pidana;
Bab IX: Pengawasan dan Penyidikan;
Bab X: Aturan Peralihan;
Bab XI: Ketentuan Penutup
Ketentuan Umum UU No. 2 Tahun 1981 memberikan definisi-definisi terkait dengan
kegiatan kemetrologian yang digunakan dalam UU. UU ini secara singkat juga telah
memberikan pengaturan tentang kegiatan METROLOGI ILMIAH, yaitu pada Bab II
tentang Satuan-Satuan dan Bab III tentang Standar-Standar Satuan. Sedangkan
ketentuan lain di dalam UU No. 2 Tahun 1981, mulai dari Bab IV sampai dengan Bab IX
memuat ketentuan-ketentuan yang rinci tentang kegiatan METROLOGI LEGAL.
Bagian ini akan memberikan paparan tentang hasil analisis terhadap substansi dari
ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981. Untuk memudahkan pembandingan
antara substansi UU No. 2 Tahun 1981 dengan praktik internasional pengembangan
peraturan perundang-undangan kemetrologian, sistematika bagian ini disusun sesuai
dengan sistematika bagian II dari Naskah Akademik ini, yang terdiri dari latar belakang
dan lingkup peraturan perundangan-undangan kemetrologian, otoritas kegiatan
kemetrologian, lembaga-lembaga kemetrologian, satuan pengukuran dan standar
Pengukuran, serta metrologi legal. Analisis terhadap implementasi atau aturan
pelaksanaan dari ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981, dalam bentuk Peraturan
Pemerintah maupun Keputusan Presiden diberikan dalam pembahasan pasal-pasal UU
No. 2 Tahun 1981 yang terkait dengan aturan pelaksanaannya
3.1 LATAR BELAKANG DAN LINGKUP UNDANG-UNDANG KEMETROLOGIAN
Peraturan perundang-undangan tertinggi yang berlaku di Indonesia pada saat ini yang
terkait dengan kemetrologian adalah UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 1981 tentang
Metrologi Legal. Dengan mengacu pada cakupan kegiatan kemetrologian di tingkat
internasional, secara eksplisit tampak bahwa peraturan undang-undang kemetrologian
yang berlaku di wilayah RI baru mencakup salah satu aspek implementasi kegiatan
kemetrologian yang berkembang dalam sistem metrologi internasional. Metrologi legal,
bila dikaitkan dengan organisasi spesialis regional yang dikembangkan dalam lingkup
APEC, baru mencakup partisipasi Indonesia dalam kegiatan APLMF dan di tingkat
internasional baru mencakup partisipasi Indonesia dalam kegiatan OIML. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun dalam praktiknya Indonesia diwakili oleh Puslit KIMLIPI di forum APMP dan BIPM, peraturan perundang-undangan yang ada belum
memayungi partisipasi Indonesia dalam forum APMP dan BIPM tersebut.
80
Hal lain yang menunjukkan bahwa UU No. 2 Tahun 1981 dikembangkan hanya untuk
memayungi aspek metrologi legal juga termuat di dalam konsideransnya, yang secara
eksplisit memuat pertimbangan sebagai berikut sebagai latar belakang penyusunan UU:
Menimbang:
 bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya jaminan dalam
kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam
pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;
 bahwa pengaturan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
sebagaimana ditetapkan, dalam Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175
perlu diganti, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
perekonomian dan kemajuan teknologi, serta sesuai dengan Sistem
Internasional untuk satuan (SI);
 bahwa untuk mencapai tujuan sebagai dimaksud di atas perlu mengaturnya
dalam suatu Undang-undang tentang Metrologi Legal.
Mengingat:
 Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara.
Dari konsiderans menimbang (a) UU No. 2 Tahun 1981, terlihat bahwa landasan filosofis
penyusunan UU No. 2 Tahun 1981 adalah:
jaminan kebenaran pengukuran,
 ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan,
metode pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya.

Bila perlindungan kepentingan umum yang dimaksud dalam konsiderans ini adalah
"mencegah kerugian", maka konsiderans penetapan UU ini secara tidak langsung telah
ditujukan secara spesifik kepada definisi "metrologi legal". Karena bila pihak yang
bertransaksi memiliki kemampuan yang setara untuk memastikan kebenaran "produk"
yang dijual dan di pihak lain mampu memastikan kebenaran "produk" yang dibeli, dan
"produk" tersebut memang hanya digunakan oleh "pembeli", haruskah "perlindungan"
kepada pembeli seperti ini menjadi suatu kegiatan yang "diwajibkan" oleh pemerintah
terhadap "pembeli" untuk menerakan alat ukur yang digunakan untuk memastikan
"produk" yang dibeli? Dalam konteks ini, dapat dipandang bahwa secara menyeluruh,
pasal-pasal di dalam UU ini lebih menekankan "kewajiban" yang harus dipenuhi oleh
pemilik alat ukur, dapat dikatakan bahwa regulasi yang diberikan "kurang berimbang",
bila dikaitkan dengan kebutuhan pengukuran di masa sekarang dan akan datang.
Ketentuan lain di dalam UU, yang menegaskan bahwa sesuai judulnya, cakupan UU No.
2 Tahun 1981 adalah hanya kegiatan metrologi legal, adalah definisi metrologi dan
metrologi legal yang dicantumkan dalam ketentuan umum UU, sebagai berikut:
81
Pasal 1(a)
Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas;
Pasal 1 (b)
Metrologi Legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metodametoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan
peraturan berdasarkan Undang-Undang yang bertujuan melindungi kepentingan
umum dalam hal kebenaran pengukuran;
Pembedaan definsi metrologi dan metrologi legal yang diberikan dalam Pasal 1(a) dan
Pasal 1(b) UU No. 2 Tahun 1981 mempertegas bahwa cakupan UU No. 2 Tahun 1981
adalah kegiatan metrologi legal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1(b).
3.2 OTORITAS KEGIATAN KEMETROLOGIAN
Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1981 dinyatakan bahwa menteri yang bertanggung
jawab adalah Menteri Perdagangan, dan sesuai dengan judul UU, hal ini mengandung
makna bahwa Menteri Perdagangan adalah otoritas metrologi legal sesuai dengan
ketentuan di dalam UU. Di sisi lain, kegiatan metrologi lainnya, yang di Indonesia
dikenal sebagai Metrologi Teknik, sesuai dengan Peraturan Pemeritah RI No. 102 Tahun
2000 merupakan salah satu lingkup dalam kegiatan Standardisasi Nasional, yang
merupakan tanggung jawab dari Badan Standardisasi Nasional, sesuai dengan Keputusan
Presiden No. 13 Tahun 1997, yang kemudian diperbaharui dengan Keppres No. 166
Tahun 2000 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen yang kemudian diperbaharui
dengan Keppres 103 Tahun 2001.
Untuk membantu tugas dan fungsi BSN terkait dengan Standar Nasional Satuan Ukuran,
kemudian dibentuklah Komite Standar Nasional Satuan Ukuran (KSNSU) dengan
Keppres No. 79 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi sebagai sebuah komite yang
bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada Kepala BSN terkait dengan
Standar Nasional Satuan Ukuran yang beranggotakan para pakar teknis yang
membidangi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan standar untuk
satuan ukuran. Berdasarkan 2 (dua) ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981, kemudian
PP No. 102 Tahun 2000 dan Keppres 79 Tahun 2001, pada dasarnya di Indonesia telah
dikenal kegiatan metrologi legal dan kegiatan metrologi teknik, dan keduanya telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian ketentuan yang ada belum cukup
memayungi kegiatan kemetrologian sebagaimana direkomendasikan dalam praktik
internasional, dan juga otoritas kemetrologian yang diperlukan sebagai penentu kebijakan
metrologi nasional secara komprehensif sebagaimana direkomendasikan dalam praktik
internasional belum ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan
berlaku di wilayah RI.
Dengan mengacu pada tugas dan keanggotaan KSNSU sebagaimana dinyatakan dalam
Keppres No. 79 Tahun 2001, dan juga konsiderans penetapan Keppres yang acuan
utamanya adalah amanah dalam PP 102 Tahun 2000, terlihat jelas bahwa KSNSU adalah
82
komite di dalam lingkup "metrologi teknik" yang secara khusus memberikan
pertimbangan-pertimbangan kepada BSN mengenai pengelolaan Standar Nasional Satuan
Ukuran, atau sebagai Lembaga Pembina Standar Nasional Satuan Ukuran yang
diamanahkan oleh UU No. 2 Tahun 1981 yang kemudian tugasnya diberikan kepada
Dewan Standardisasi Nasional melalui Keppres 7 Tahun 1989 dan berubah menjadi
Badan Standardisasi Nasional melalui Keppres 13 Tahun 1997. Tetapi di dalam Keppres
tentang DSN maupun BSN tersebut, Pengelolaan Teknis Ilmiah SNSU dilimpahkan lagi
kepada unit kerja di lingkungan LIPI yang bergerak di bidang metrologi. Berdasarkan
urutan ini, maka otoritas metrologi, sebagaimana direkomendasikan di dalam OIML D1,
di Indonesia belum ditetapkan, karena dari urutan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang ada:
 KSNSU merupakan bagian dari Pengelolaan Standar Pengukuran Nasional, bukan
komite konsultatif penentu kebijakan metrologi nasional. Demikian pula DSN, yang
kemudian tugasnya dilanjutkan oleh BSN, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada juga merupakan bagian dari pengelolaan SNSU, sebagaimana
dijelaskan dalam tugas dan fungsinya sesuai dengan Keppres pendiriannya, bukan
merupakan otoritas metrologi yang berwenang menentukan arah dan tujuan sistem
metrologi nasional secara komprehensif.
 Menteri Perdagangan, yang dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1981 ditetapkan
sebagai menteri yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan UU tersebut, dengan
sendirinya juga merupakan menteri yang bertanggungjawab untuk lingkup kegiatan
metrologi legal, sesuai dengan konsiderans, cakupan dan judul UU tersebut.
Di luar kegiatan metrologi legal (UU No. 2 Tahun 1981) dan metrologi teknik (PP No.
102 Tahun 2000), di Indonesia dikenal pula metrologi radiasi yang menjadi bagian dari
kegiatan ketenaganukliran yang diatur dengan UU No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, dengan kewenangan pengawasan pada Badan Pengawas Tenaga
Nuklir Nasional (Bapeten). Ketentuan-ketentuan lain menyangkut kegiatan kemetrologian
terkait dengan penggunaan alat ukur untuk keperluan medis diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 363/PER/IV/1998 tentang wajib kalibrasi peralatan medis, yang
bila dilihat dari landasan yuridis di dalam peraturan menteri tersebut tidak mengacu pada
UU No. 2 Tahun 1981, meskipun kegiatan tersebut bila ditinjau dari praktik internasional
kemetrologian merupakan bagian dari kegiatan metrologi legal.
Dengan mengacu pada cakupan kegiatan metrologi legal dalam praktik internasional,
yang secara eksplisist mencakup jaminan keselamatan, maka kalibrasi alat ukur yang
digunakan dalam inspeksi dan sertifikasi kelaikan terbang secara filosofis juga
merupakan kegiatan metrologi legal, yang kewenangan dan tanggung jawabnya ada pada
Departemen Perhubungan RI c.q. Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU). Terkait
dengan peningkatan jaminan keselamatan dalam penerbangan, DSKU telah menerbitkan
surat edaran No. DSKU/341/STD/2006 tentang kalibrasi alat ukur dan peralatan
produksi/kerja terkait dengan sertifikasi kelaikan udara, untuk memastikan kebenaran dari
proses inspeksi dan sertifikasi kelaikan udara. DSKU mewajibkan bengkel sertifikasi dan
83
perbaikan pesawat untuk mengalibrasi alat ukur dan alat produksinya di laboratorium
yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. Hal ini merupakan kebijakan yang
sangat positif karena Departemen Perhubungan menggunakan sumber daya yang
kemampuannya dalam melakukan akreditasi diakui di tingkat internasional (dalam hal ini
KAN) untuk menjamin kompetensi laboratorium kalibrasi alat ukur dan alat kerja terkait
dengan sertifikasi dan kelaikan udara. Namun demikian, karena ketiadaaan payung
hukum yang memayungi koordinasi antar pemangku kepentingan metrologi, maka
kebutuhan ini belum dapat dicukupi oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi
maupun lembaga pengelola standar pengukuran nasional yang ada, karena selama ini
belum pernah dilakukan identifikasi terhadap kebutuhan kalibrasi terkait dengan
sertifikasi kelaikan udara.
Hal yang sama sebenarnya juga terjadi dengan ketentuan wajib kalibrasi peralatan medis
yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan yang sampai saat ini belum dapat
dilaksanakan secara efektif karena ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk
menerapkan aturan tersebut belum diidentifikasi sebelum penetapannya, dan bahkan
sampai saat ini, 9 tahun setelah penetapan Peraturan Menteri Kesehatan, rumah sakit,
puskesmas dan juga penyedia layanan kesehatan lainnya masih kebingungan mencari
laboratorium kalibrasi yang memiliki kemampuan untuk mengalibrasi semua jenis
peralatan yang dicakup dalam Peraturan Menteri Kesehatan.
3.3 LEMBAGA-LEMBAGA KEMETROLOGIAN NASIONAL
Lembaga kemetrologian yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah Lembaga
Pembina Standar (Pengukuran) Nasional, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11
sebagai berikut:
[1] Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini
dibina oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu.
[2] Susunan organisasi dan tata kerja lembaga tersebut dalam Ayat (1) Pasal ini
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Sebagaimana dijelaskan dalam analisis pada Pasal 8 di atas, ketentuan dalam Pasal 11 ini
merupakan ketentuan yang sangat positif dan sangat relevan bila dikaitkan dengan
perkembangan kebutuhan pengukuran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pengukuran, satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam ketentuan pasal ini
adalah maksud dari pernyataan "dibina". Secara praktik, standar nasional perlu untuk
direalisasikan, dipelihara ketertelusurannya dan ekivalensinya dengan standar nasional
negara-negara lain, serta didiseminasikan secara kompeten untuk memastikan kebenaran
pengukuran di seluruh sektor kehidupan bernegara.
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10 UU ini sebenarnya telah
diimplementasikan dengan penerbitan beberapa peraturan pemerintah dan keputusan
presiden, yaitu:
84
PP No. 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional Satuan Ukuran
yang memberikan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 2 Ayat 2: Penetapan susunan Standar-standar untuk satuan ukuran dilakukan
oleh Dewan Standardisasi Nasional
Pasal 3: Penetapan, pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian Standar Nasional
untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Dewan Standardisasi Nasional
Pasal 4: Standar Nasional untuk Satuan Ukuran harus ditempatkan dalam ruangan
khusus yang memenuhi persyaratan teknis tertentu dan dikelola oleh para tenaga
ahli yang berhak, dengan bidangnya
Pasal 6: Dewan Standardisasi Nasional adalah Dewan yang dibentuk dengan
Keppres untuk mengoordinasi, mensinkronisasi dan membina kegiatan
Standardisasi di Indonesia, termasuk lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 Ayat 2 UUML
Pasal 7: Ketentuan lebih lanjut mengenai Metrologi Legal yang merupakan
pelaksana Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri yang bertanggungjawab di
bidang metrologi legal setelah mendengan pertimbangan Dewan Standardisasi
Nasional.
Keppres 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional
memberikan ketentuan sebagai berikut:
menimbang:
a. bahwa berdasarkan UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal diperlukan
suatu Lembaga yang berfungsi membina standar nasional untuk satuan
ukurannya
BAB II KEDUDUKAN, TUGAS POKOK dan FUNGSI
Pasal 4: tugas pokok dewan ialah:
b. menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai
kebijaksanaan nasional di bidang standardisasi dan pembinaan standar
nasional untuk satuan ukuran
Pasal 5:....................., Dewan mempunyai fungsi:
b. menyusun dan menetapkan kebijakan tentang pembinaan standar nasional
untuk satuan ukuran
e. membina kegiatan dan kerjasama antar instansi teknis di bidang standardisasi
termasuk standar nasional untuk satuan ukuran
k. menetapkan susunan turunan-turunan dari standar nasional untuk satuan
ukuran
l. menetapkan, mengurus, memelihara dan membina standar nasional untuk
satuan ukuran
m. menetapkan tata cara kalibrasi standar nasional untuk satuan ukuran
BAB III SUSUNAN ORGANISASI
85
Pasal 14
Ayat 3: Pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan
oleh salah satu pusat di lingkungan LIPI yang bertugas di bidang metrologi
Keberadaan Dewan Standardisasi Nasional ini kemudian digantikan oleh Badan
Standardisasi Nasional melalui
Keppres 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional
yang memberikan ketentuan sebagai berikut terkait dengan Standar Nasional Satuan
Ukuran
Bagian Keempat – Deputi Penerapan Akreditasi dan Kerjasama Internasional
Pasal 12
g. Penetapan dan koordinasi laboratorium laboratorium uji standar dan
laboratorium metrologi selaku laboratorium acuan
h. Penyiapan, penetapan, pengurusan, pemeliharaan dan pembinaan standar
nasional untuk satuan ukuran
i. Penyiapan penetapan susunan turunan dari standar nasional untuk satuan
ukuran
j. Peyiapan tata cara kalibrasi standar nasional untuk satuan ukuran
Pasal 22:
Ayat 1: untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi BSN, Kepala BSN dibantu
oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran, yang selanjutnya disebut
KSNSU
Ayat 2: tugas KSNSU adalah memberikan pertimbangan dan saran kepada kepala
BSN dalam standar nasional untuk satuan ukuran
Pasal 24:
pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran dilakukan oleh
salah satu unit kerja di lingkungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
yang bertugas di bidang Metrologi
sebagai salah satu Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Landasan hukum Badan
Standardisasi Nasional ini diperbaharui lagi sebagai bagian dari Keppres No. 103 Tahun
2001 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang tidak memuat ketentuan yang
eksplisit mengenai Standar Nasional Satuan Ukuran.
Pada saat ini peraturan perundang-undangan yang memayungi kegiatan standardisasi
nasional adalah:
PP No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional
yang memuat ketentuan berikut terkait dengan Standar Nasional Satuan Ukuran:
86
Pasal 4:
Ayat 4: Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang
Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional
untuk Satuan Ukuran
Ayat 5: Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (4) mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada
Badan Standardisasi Nasional mengenai Standar Nasional untuk Satuan Ukuran
Ayat 6: Badan Standardisasi Nasional, Komite Akreditasi Nasional dan Komite
Standar Nasional untuk Satuan Ukuran sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), (2)
dan (4) dibentuk dengan Keputusan Presiden
Untuk menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 4 PP 102 Tahun 2000, kemudian dibentuk
Komite Standar Nasional (KSNSU).
Keppres 79 Tahun 2001 tentang Komite Standar Nasional Satuan Ukuran
memuat ketentuan sebagai berikut:
BAB III: PENGELOLAAN TEKNIS ILMIAH STANDAR NASIONAL UNTUK
SATUAN UKURAN
Pasal 6:
Ayat 1: Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi KSNSU, diadakan
pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran
Ayat 2: Pengelolaan teknis ilmiah standar nasional untuk satuan ukuran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dilaksanakan oleh unit kerja di lingkungan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bertugas di bidang metrologi.
Perkembangan peraturan perundang-undangan terkait dengan Lembaga "Pembina"
Standar Nasional Satuan Ukuran sebagaimana dijelaskan di atas memperlihatkan sebuah
perkembangan yang kemudian tidak cukup untuk memayungi kegiatan sebuah lembaga
pengelola standar (ukuran) nasional, yang dalam terminologi modern dikenal dengan
National Metrology Institute (NMI) dengan beberapa pertimbangan berikut.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam PP 2 Tahun 1989, Keppres 7 Tahun
1989, dan Keppres 13 Tahun 1997, lembaga yang dimaksud sebagai pembina Standar
Nasional Satuan Ukuran yang dinyatakan dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 adalah
Dewan Standardisasi Nasional, yang kemudian ditransformasikan menjadi Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Di dalam PP dan Keppres tersebut, dinyatakan dengan
jelas bahwa DSN dan kemudian BSN adalah lembaga yang salah satu fungsinya adalah
pelaksana amanah Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981, namun demikian hal dalam Keppres
103 Tahun 2001 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen, pada bagian yang
mengatur BSN tidak dapat ditemukan secara eksplisit tugas BSN sebagai "pembina
SNSU" sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981
87
Namun demikian, di dalam PP 102 Tahun 2000 masih dinyatakan bahwa "tugas BSN
terkait SNSU dilaksanakan oleh KSNSU", dan kemudian diamanahkan supaya KSNSU
dibentuk melalui Keputusan Presiden. Artinya, sesuai dengan Pasal 11 UU No. 2 Tahun
1981 yang mengamanahkan "pembina SNSU dibentuk melalui Keppres" kemudian
berdasarkan ketentuan dalam PP 102 dibentuklah KSNSU melalui Keppres 79 Tahun
2001. Kemudian dapat dijelaskan di sini bahwa bila diperhatikan di dalam peraturan
perundang-undangan yang dijelaskan di atas, baik DSN, BSN maupun KSNSU kemudian
menyerahkan lagi tugas pengelola SNSU ini kepada pihak lain melalui pernyataan
"pengelolaan teknis ilmiah SNSU dilakukan oleh unit kerja di lingkungan LIPI yang
bergerak di bidang metrologi".
Dari rincian kronologis di atas, tampak bahwa "pembina SNSU" telah disempitkan
artinya sebagai penentu kebijakan, bukanlah sebuah national metrology institute
sebagaimana dimaksud dalam kaidah sistem metrologi modern. Dan "pembina SNSU" ini
kemudian melimpahkan tugas pengelolaan teknis SNSU kepada lembaga lain yaitu: "unit
kerja di bawah LIPI yang bergerak di bidang metrologi". Bila dihubungkan dengan tugas
pokok dan fungsi LIPI, maka tidak terdapat tugas pokok dan fungsi terkait dengan
pengelolaan teknis ilmiah SNSU ini, yang seharusnya meliputi realisasi, pemeliharaan,
diseminasi dan pemeliharaan pengakuan internasional terhadap SNSU. Sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi LIPI, maka Puslit KIM-LIPI sebagai unit kerja di bawah LIPI
yang bergerak di bidang metrologi memiliki beberapa fungsi yang salah satu di antaranya
adalah penelitian di bidang metrologi.
Hal inilah yang kemudian menyulitkan terwujudnya sebuah national metrology institute
yang dapat berfungsi dengan baik di Indonesia, karena sebagai sebuah national
metrology institute, penelitan dan pengembangan ilmu pengukuran hanyalah salah satu
tugas pokok dan fungsi dari sebuah national metrology institute .
Di dalam Naskah Akademik tentang Lembaga Metrologi Nasional Indonesia yang
disusun oleh tim yang dibentuk oleh KSNSU, Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981
direkomendasikan untuk ditindaklanjuti dengan pembentukan sebuah lembaga metrologi
nasional melalui keputusan presiden dengan tanggung jawab, tugas pokok dan fungsi
yang memadai untuk menjalankan fungsi national metrology institute sesuai dengan
kaidah sistem metrologi modern, yaitu sebuah lembaga yang menjadi pusat
pengembangan metrologi nasional yang dapat memberikan jaminan kebenaran
pengukuran nasional di segala sektor yang memperoleh pengakuan secara internasional.
Pengelolaan SNSU oleh berbagi lembaga yang kemudian dikoordinasikan oleh sebuah
lembaga "pembina SNSU" oleh tim penyusun naskah akademik lembaga metrologi
nasional dianggap tidak efektif, karena dalam perkembangannya realisasi dari tujuh
besaran dasar dalam Sistem Internasional satuan menjadi saling berkaitan satu sama lain,
demikian juga perkembangan realisasi besaran turunannya menjadi tidak dapat
dipisahkan antar turunan dari setiap besaran dasar. Sebagai contoh, tekanan merupakan
besaran turunan yang direalisasikan sebagai fungsi dari massa dan panjang, dan lain
sebagainya. Terlebih lagi bila KSNSU yang ada pada saat ini difungsikan sebagai
88
lembaga pembina SNSU yang bertugas mengoordinasikan kegiatan metrologi, akan
menjadi tidak efektif karena KSNU dalam Keppres 79 Tahun 2001 adalah sebuah komite
yang bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada kepala BSN terkait dengan
KSNSU, bukan sebuah komite yang ditugaskan untuk mengoordinasikan kegiatan
metrologi nasional atau pengelolaan SNSU.
Satu hal penting yang perlu dicatat dalam peraturan perundangan yang ada adalah lingkup
dari setiap peraturan itu sendiri. Keppres 79 Tahun 2001 ditetapkan sebagai aturan
pelaksanaan PP 102 Tahun 2000, yaitu bagian dari implementasi kegiatan Standardisasi
Nasional. Di dalam PP 102 Tahun 2000 sendiri, secara eksplisit dinyatakan bahwa
lingkup kegiatan "standardisasi" adalah "metrologi teknik", standar, pengujian dan mutu.
Dengan kata lain "metrologi legal" bukan merupakan kegiatan yang terkait dengan
"standardisasi", atau "metrologi teknik" dan "metrologi legal" merupakan kegiatan yang
dipisah oleh peraturan perundang-undangan yang ada, yang potensial menimbulkan
ketidakharmonisan atau bahkan konflik antara kegiatan "metrologi legal" dan "metrologi
teknik" di lapangan.
3.4 SATUAN PENGUKURAN DAN STANDAR PENGUKURAN
3.4.1 Satuan Pengukuran
UU No. 2 Tahun 1981 memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang satuan
pengukuran. Beberapa pasal yang dipandang dapat menimbulkan permasalahan dalam
implementasi ketentuan UU untuk mengharmoniskan satuan pengukuran nasional dengan
penggunaan sistem satuan SI oleh berbagai pihak adalah Pasal 1(g), Pasal 2 dan Pasal 7
(a,b,c).
Pasal 1 (g)
satuan dasar ialah satuan yang merupakan dasar dari satuan-satuan suatu besaran
yang dapat diturunkan menjadi satuan turunan;
Dari penjelasan terhadap definisi terkait di dalam VIM 1993 (yang dijelaskan dalam
pendahuluan bagian ini), terlihat bahwa definisi di dalam UU No. 2 1981 Pasal 1 (g) tidak
konsisten dengan definisi yang telah disepakati oleh masyarakat metrologi internasional
yang didokumentasikan di dalam VIM.
Pasal 2
Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan
menggunakan satuan-satuan SI.
Pasal 7
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan:
a) satuan-satuan turunan dari satuan-satuan dasar baik mengenai besaranbesaran, satuan-satuan maupun lambang-lambang satuannya;
89
b) satuan-satuan tambahan baik mengenai besaran-besaran, satuan-satuan
maupun lambang-lambang satuannya;
c) satuan-satuan lain yang berlaku dengan ketentuan-ketentuan dalam
pemakaiannya.
Bila diinterpretasikan sesuai teks, Pasal 2 bisa menyebabkan penggunaan satuan non-SI,
yang secara internasional disepakati digunakan untuk sektor tertentu (sebagai contoh:
nautical mile, knot, feet, dll. yang sering digunakan dalam navigasi laut dan udara)
menjadi pelanggaran terhadap UU ini.
Istilah satuan tambahan yang dinyatakan dalam Pasal 7 (b) sudah tidak digunakan lagi
dalam sistem SI. Di dalam ketentuan dari CGPM yang dinyatakan di dalam SI Brochure
edisi ke-8 tahun 2006, dan juga pada SI Brochure edisi ke-7 tahun 1998, tidak terdapat
lagi klasifikasi "satuan tambahan". Satuan "radian" dan "steradian" yang pada awalnya
diklasifikasikan sebagai "satuan tambahan" telah diputuskan oleh CGPM menjadi bagian
dari "satuan turunan", karena "radian" dapat dinyatakan sebagai turunan dari satuan
panjang, yaitu m/m, demikian juga "steradian" dapat dinyatakan sebagai turunan dari
satuan panjang m2/m2.
Dengan adanya amanah dari UU ini, bahwa satuan tambahan ditetapkan dengan peraturan
pemerintah, maka bila pemerintah tidak menetapkan hal-hal terkait satuan tambahan
artinya pemerintah telah melanggar hukum karena tidak melaksanakan amanah yang diberikan dalam UU ini. Namun, bila pemerintah menetapkan hal-hal terkait dengan satuan
tambahan dengan peraturan pemerintah, artinya pemerintah menetapkan sebuah ketentuan
yang tidak sejalan dengan perkembangan sistem metrologi yang telah disepakati secara
internasional dan digunakan sebagai landasan dalam berbagai kegiatan internasional di
sektor perdagangan, penelitian, ilmu pengetahuan, teknologi,dan sebagainya
Ketentuan dalam Pasal 7 (c) membuka kemungkinan penggunaan satuan-satuan lain di
luar SI, namun hal ini sebenarnya sudah tertutup dengan Pasal 2, yang menyatakan
"Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan
satuan-satuan SI" artinya bila PP menetapkan penggunaan satuan di luar SI, akan terjadi
pelanggaran terhadap Pasal 2 UU ini, dengan kata lain terjadi inkonsistensi pengaturan
tentang penggunaan satuan.
3.4.2 Standar Pengukuran Nasional
UU No. 2 Tahun 1981 memuat ketentuan-ketentuan berikut yang mengatur tentang
standar pengukuran. Beberapa pasal yang dipandang dapat menimbulkan permasalahan
dalam implementasi ketentuan UU untuk mengharmoniskan satuan pengukuran nasional
dengan penggunaan sistem satuan SI oleh berbagai pihak adalah ketentuan-ketentuan
berikut dan masalah yang dapat timbul dari ketentuan tersebut diberikan dalam
penjelasan di bawah kutipan setiap ketentuan.
Pasal 1 (i)
90
standar satuan: suatu ukuran yang sah dipakai sebagai dasar pembanding;
Di dalam kamus istilah metrologi yang telah disepakati oleh masyarakat metrologi
internasional (VIM) tidak dikenal istilah "standar satuan (standard of units)" sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 1 (i) UU No. 2 Tahun 1981. Definisi dari istilah-istilah
terkait dengan satuan pengukuran yang disepakati dalam VIM telah dijelaskan dalam
pendahuluan dari bagian ini.
Pasal 1 (j)
standar induk satuan dasar: standar satuan yang diterima dari Biro Internasional
untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai Standar Nasional atau
Standar Tingkat Satu
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada saat ini dari ketujuh
satuan dasar yang dikenal, hanya terdapat satu standar internasional yang dipelihara oleh
BIPM dalam bentuk sebuah artifak (benda) dan pengadaannya dilakukan oleh BIPM,
yaitu International Prototype of Kilogram yang dipelihara oleh BIPM. Salinan dari
Standar Internasional tersebut yang dimiliki oleh setiap anggota Konvensi Meter
dikalibrasi ulang secara periodik oleh BIPM.
Untuk satuan lainnya, CGPM menetapkan definisi satuan yang kemudian direalisasikan
oleh lembaga metrologi nasional yang mempunyai kemampuan memadai. Realisasi
definisi satuan dalam sistem satuan SI ini dikenal dengan "Standar Pengukuran Primer
(Primary Standard of Measurement)" yang digunakan sebagai "Standar Nasional" oleh
negara-negara yang mampu merealisasikannya.
Bagi negara-negara yang tidak mampu merealisasikan definisi satuan (standar primer),
"Standar Nasional" tersebut ditetapkan sesuai dengan kebutuhan ketelitian pengukuran di
negara tersebut, dan kemudian "Standar Nasional" tersebut kemudian dikalibrasikan ke
lembaga metrologi nasional negara lain yang memiliki standar primer.
Oleh karena itu, istilah "Standar Induk Satuan Dasar" yang digunakan dalam Pasal 1 (j)
UU No. 2 Tahun 1981 ini sudah tidak relevan dengan perkembangan metrologi saat ini.
Demikian pula definisinya sebagai "standar satuan yang diterima dari Biro Internasional
untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai Standar Nasional atau Standar
Tingkat Satu" juga menjadi tidak relevan lagi, karena pada saat ini BIPM hanya
mengelola standar satuan massa, sedangkan untuk standar lainnya, setiap negara dapat
merealisasikan sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh CGPM. Kemudian,
kesetaraan antara standar-standar yang direalisasikan oleh setiap negara tersebut
dipelihara melalui "international key comparison" antarlembaga pengelola standar
nasional (yaitu lembaga metrologi nasional). Istilah "Standar Induk Satuan Dasar" juga
tidak dikenal di dalam VIM. Di dalam acuan istilah dan definisi ini, tingkatan standar
pengukuran tertinggi yang diterima secara internasional dinyatakan dengan "standar
pengukuran primer (primary standard of measurement)", yang didefinisikan sebagai:
91
standar yang ditunjuk atau diterima secara luas memiliki mutu kemetrologian tertinggi
yang nilainya diterima tanpa acuan ke standar lain dari besaran yang sama.
Pernyataan istilah Standar Induk Satuan Dasar beserta definisinya di dalam UU No. 2
Tahun 1981 merupakan ketentuan umum yang tidak dapat diimplementasikan sejalan
dengan perkembangan saat ini, karena BIPM tidak lagi bertindak sebagai penyedia
standar primer pengukuran. Ketentuan dan istilah tersebut masih berlaku hanya dalam
kasus standar massa, yang pada saat ini juga telah direkomendasikan oleh CGPM untuk
didefinisikan ulang dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pasal 8
Standar-standar induk untuk satuan-satuan dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 Undang-undang ini disebut Standar Nasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pernyataan dalam Pasal 8 ini dapat mengandung pengertian bahwa "standar nasional
(ukuran)" yang diatur atau ditetapkan oleh pemerintah hanya "standar ukuran" untuk
tujuh satuan dasar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3, yaitu meter, kilogram,
sekon, amper, kelvin, kandela, mol.
Sistem Internasional satuan sebenarnya terdiri atas "satuan dasar" dan "satuan turunan";
"satuan dasar" adalah satuan untuk "besaran dasar" dan "satuan turunan" adalah satuan
untuk "besaran turunan". Istilah-istilah satuan dasar, satuan turunan, besaran dasar dan
besaran turunan telah didefinisikan di dalam VIM 1993 sebagaimana dijelaskan dalam
pendahuluan dari bagian ini.
Untuk menjamin ketertelusuran pengukuran yang diperlukan oleh berbagai sektor
kehidupan bernegara, termasuk perdagangan, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun
sektor lainnya, sebuah negara perlu untuk dapat menyediakan "standar (ukuran) nasional"
sesuai kebutuhannya baik berupa standar (ukuran) primer maupun standar (ukuran)
dengan tingkat ketelitian di bawahnya untuk satuan dasar maupun satuan turunan yang
diperlukan untuk mendukung kebutuhan nasional. Dengan demikian, sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan variasi produk nasional,
maupun kebutuhan perdagangan, standar (ukuran) nasional yang dibutuhkan oleh sebuah
negara juga bersifat dinamis baik dari sisi jenis, maupun tingkat ketelitiannya. Dengan
kondisi seperti ini, pengaturan yang terlalu mengikat, seperti penetapan atau penunjukan
standar (ukuran) untuk satuan dasar, dan bahkan penetapan satuan turunan melalui
Peraturan Pemerintah dapat menghambat perkembangan sistem metrologi nasional untuk
merespons perkembangan kebutuhan metrologi.
Sebagai ilustrasi nyata, dalam kasus besaran turunan "energi listrik" yang diukur
dengan kWh meter, Direktorat Metrologi sebagai otoritas tertinggi legal
metrologi memiliki sebuah kWh meter dengan tingkat ketelitian tertentu, yang
bila dihubungkan dengan Pasal 9 UU ini merupakan acuan legal berdasarkan
92
hukum untuk pengukuran "energi listrik" di bidang metrologi legal. Namun
demikian dalam perkembangannya, Balai Diklat Metrologi memiliki "kWh
meter" dengan tingkat ketelitian lebih baik daripada kWh meter yang dimiliki
oleh Direktorat Metrologi. Bahkan kemudian sebuah pabrik kWh meter
multinasional yang memiliki basis produksi di Indonesia bahkan memiliki kWh
meter standar yang tingkat ketelitiannya lebih tinggi dibanding yang dimiliki
oleh Balai Diklat Metrologi. Dengan kondisi ini, untuk memenuhi "hukum" yang
ditetapkan dengan UU maka kWh meter yang dimiliki oleh Balai Diklat
Metrologi maupun oleh pabrik kWh meter tersebut harus mengacu pada kWh
meter di Direktorat Metrologi. Namun, karena pengadaan kWh meter, khususnya
di pabrik kWh meter tersebut dibeli untuk memenuhi persyaratan mutu yang
ditetapkan oleh pembelinya di luar negeri, maka kalibrasi atau tera yang
dilakukan oleh Direktorat Metrologi tentunya tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan pabrik untuk mencapai tingkat mutu produksi yang dikehendaki. Bila
hal ini terjadi maka pabrik harus mengeluarkan duplikasi investasi yang
diperlukan untuk "mematuhi UU" dan di pihak lain untuk "memenuhi mutu
produk yang akan diekspor". Bila hal ini terjadi dalam skala besar, maka sebuah
industri multinasional akan berpikir ulang untuk memutuskan menanamkan
investasi di Indonesia. Di satu pihak, bila ternyata pabrik tersebut hanyalah satusatunya pabrik yang membutuhkan ketelitian setinggi kWh meter standarnya,
maka akan merupakan pemborosan bagi negara bila harus melakukan investasi
"kWh meter" standar dengan ketelitian yang lebih tinggi dari standar pabrik
tersebut.
Pertimbangan lain yang perlu dikaji tentang ketentuan Pasal 8 ini adalah sifat dari definisi
satuan dalam Sistem Internasional satuan: karena definisi yang ditetapkan oleh CGPM
tersebut tidak bersifat kekal, definisi dapat berubah sesuai kebutuhan pengukuran
internasional. Sebagai contoh, pada masa penetapan UU ini, standar primer panjang
adalah prototipe meter platinum 1 meter yang disimpan di BIPM yang salinannya
diberikan kepada negara-negara anggota Konvensi Meter sebagai standar nasional.
Kemudian ilmu pengetahuan, teknologi dan kebutuhan pengukuran berubah sedemikian
rupa sehingga definisi panjang dihubungkan dengan panjang gelombang stabilized
helium neon laser. Bahkan, saat ini di dalam diskusi Consultative Committe on Length di
BIPM dengan kebutuhan nano-length measurement, telah diteliti kemungkinan untuk
meredefinisi meter dengan besaran optik. Bila Standar (ukuran) Nasional ditetapkan
dengan PP, maka setiap perubahan definisi satuan akan memerlukan perubahan PP –
yang di negara kita ini memerlukan waktu dan investasi yang tidak kecil – dan dengan
amanah penetapan PP melalui UU, maka kegiatan penelitian di Indonesia yang bertujuan
menyesuaikan diri dengan ilmu dan teknologi serta merespons kebutuhan pengukuran dan
kemudian menggunakannya sebagai acuan pengukuran nasional dapat menjadi sebuah
pelanggaran hukum terhadap persyaratan yang ditetapkan dengan UU.
93
Isu yang paling mutakhir di dalam masyarakat metrologi internasional adalah redefinisi
kilogram, yang kemudian setelah dianalisis oleh Consultative Committee di BIPM akan
memengaruhi definisi satuan dasar lainnya yang dalam realisasinya terhubung dengan
definisi kilogram, yaitu ampere, mol dan kandela, serta realisasi dari besaran turunan
massa seperti gaya, densitas, tekanan, dan sebagainya. Dalam UU yang saat ini berlaku,
ketetapan mengenai "standar (ukuran) nasional" ini ditetapkan melalui sebuah PP yang
menunjuk pada sebuah "benda/artifak" yang dimiliki oleh Indonesia (demikian juga tata
cara pengurusan, pemakaian, pemeliharaan "benda/artifak" tersebut ditetapkan dengan PP
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8). Maka, bila terjadi perubahan definisi atau
perubahan standar (ukuran) nasional karena kebutuhan ketelitian pengukuran di tingkat
nasional, PP tersebut harus diubah supaya pengukuran yang dilakukan tidak melanggar
hukum. Hal ini menjadi tidak efisien karena tentunya kebutuhan ketelitian pengukuran di
industri yang berhubungan erat dengan daya saingnya tidak dapat menunggu proses
perubahan PP tersebut.
Ketentuan lain di dalam UU ini, yaitu:
Pasal 3 Ayat (2):
Definisi yang berlaku bagi satuan-satuan dasar seperti tersebut pada Ayat (1) pasal
ini adalah definisi terbaru yang ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran
dan Timbangan
Pasal 11 Ayat (1)
Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini dibina
oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu.
Kedua ayat di atas merupakan ketentuan UU yang sangat baik untuk dapat merespons
kebutuhan tanpa melalui pengaturan yang sangat ketat sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU ini. Dengan mengacu pada Pasal 3 Ayat 1, maka dalam
kegiatan metrologi nasional, definisi satuan dasar (bahkan satuan turunan) secara
otomatis berubah bila terdapat ketetapan CGPM mengenai definisi satuan, dan secara
otomatis pula setiap pihak yang membutuhkan ketelitian tertentu didasarkan pada definisi
terbaru mendapat kebebasan untuk memperoleh ketertelusuran pengukurannya sesuai
dengan definisi terbaru yang ditetapkan oleh CGPM, bila perlu dengan memanfaatkan
standar (ukuran) yang dimiliki dan diacu oleh infrastruktur metrologi nasional negara
lain. Kemudian dengan mengacu pada Pasal 11 Ayat (1), yaitu dengan menyerahkan
tugas "membina" kepada sebuah lembaga pemerintah yang kuat, yang dibentuk dengan
keputusan presiden, maka kebutuhan pengukuran nasional harus dianalisis oleh lembaga
tersebut, dan kemudian lembaga tersebut yang bertanggung jawab untuk menyiapkan
segala sesuatu tentang standar (ukuran) nasional yang dibutuhkan untuk mendukung daya
saing bangsa, tentunya sesuai dengan kebutuhan pengukuran di negeri ini. Hal ini
merupakan cara yang sangat efektif untuk memberikan dukungan ketertelusuran
pengukuran untuk semua sektor kehidupan, dan perkembangan teknologi pengukuran,
dengan ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1)
94
akan dapat bergerak lebih dinamis untuk meresponse kebutuhan ketelitian pengukuran
yang dibutuhkan secara nasional.
Pasal 9
Tatacara pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian Standar Nasional yang
dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
"Standar Ukuran Nasional (national measurement standard)", di dalam VIM
didefinisikan sebagai "standar yang diakui melalui keputusan nasional untuk bertindak, di
dalam sebuah negara, sebagai basis untuk menetapkan nilai dari standar lain dari besaran
terkait.
Karena fungsinya sebagai basis penetapan nilai besaran terkait, standar nasional
merupakan standar yang nilainya harus dapat didiseminasikan ke standar-standar lain
yang tingkat ketelitiannya lebih rendah. Dalam perkembangannya, standar nasional,
terutama bagi negara-negara maju, merupakan realisasi dari definisi satuan yang
ditetapkan oleh CGPM sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang digerakkan oleh perkembangan kebutuhan ketelitian pengukuran untuk besaranbesaran tertentu. Dengan demikian tatacara pengurusan, pemeliharaan, pemakaian dan
tentunya diseminasi standar nasional ke standar dengan tingkat ketelitian lebih rendah
merupakan sebuah proses yang dinamis, yang terus berubah dipengaruhi oleh
perkembangan kebutuhan ketelitian pengukuran di berbagai sektor kehidupan. Hal ini
akan sulit dilakukan bila hal-hal tersebut harus diikat dengan ketentuan atau ketetapan
pemerintah dalam PP yang secara ketat mengatur tatacara pengurusan, pemeliharaan,
pemakaian dan tentunya diseminasi standar nasional.
Penjelasan di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut: pada saat ini pengakuan terhadap
kesetaraan standar nasional antarnegara diperoleh melalui proses uji banding antar
pengelola standar nasional. Bila dalam sebuah proses uji banding, ternyata hasil
pengukuran yang dilakukan oleh pengelola standar nasional ternyata menunjukkan hasil
yang berbeda dengan hasil pengukuran yang menjadi kesepakatan dalam proses uji
banding, tentunya diperlukan perubahan tatacara pengurusan, pemeliharaan, pemakaian
dan tentunya diseminasi standar nasional. Bila tata-cara yang dijalankan oleh pengelola
standar nasional telah ditetapkan di dalam PP, maka perubahan tersebut, yang dilakukan
untuk menjamin kesetaraan dengan kesepakatan internasional, akan menjadi sebuah
pekerjaan yang melanggar hukum, dalam hal ini pelanggaran terhadap PP yang menjadi
amanah UU ini. Namun demikian bila perubahan tersebut tidak dilakukan, maka standar
nasional menjadi tidak dapat diakui setara dengan kesepakatan internasional.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa implementasi Pasal 9 UU ini dapat menjadi
hambatan bagi pengelola standar nasional untuk memperoleh pengakuan internasional
yang merupakan dasar partisipasi negara di dalam pasar global, mengingat proses revisi
peraturan perundang-undangan termasuk PP di negara kita ini adalah sebuah proses yang
tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak singkat.
95
Pasal 10
Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan dari UU ini memberikan informasi sebagai berikut:
"Turunan-turunan langsung dari standar satuan ditujukan untuk menghindari
pemakaian tidak terbatas atas Standar Nasional dan sekurang-kurangnya satu dari
Meter Standar dan Kilogram Standar yang setingkat lebih rendah, dari Standar
Nasional diserahkan kepada instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan
Metrologi Legal untuk kepentingan umum."
yang dapat diinterpretasikan bahwa Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 10
UU ini mengatur standar ukuran yang memiliki ketelitian satu tingkat lebih rendah dari
standar nasional.
Ketentuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 1989 Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, yang di dalamnya menetapkan
tingkatan standar ukuran sebagai berikut:
Pasal 2
Ayat 1: Standar-standar untuk satuan ukuran mempunyai susunan sebagai berikut:
Standar Tingkat I atau Standar Nasional
Standar Tingkat II
Standar Tingkat III
Standar Tingkat IV
Standar Kerja
Ayat 2: Penetapan susunan Standar-standar untuk satuan ukuran dilakukan oleh
Dewan Standardisasi Nasional
Pengaturan ini menyebabkan pemerintah harus menetapkan hirarki standar ukuran mulai
dari standar nasional sampai dengan standar kerja yang digunakan oleh berbagai pihak,
karena di dalam UU ini maupun PP 2 Tahun 1989 tidak dijelaskan lingkup penerapan
ketentuan ini. Hal ini tentunya dapat dikatakan tidak akan dapat dilaksanakan, dengan
kata lain ketentuan dalam UU ini akan selalu dilanggar oleh pemerintah maupun pihak
mana pun karena kebutuhan tiap pelaku metrologi tentunya berbeda-beda, demikian juga
jenis standar juga akan selalu berkembang mengikuti kebutuhan ketelitian pengukuran
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila kemudian pemerintah
menetapkan jenis-jenis standar tertentu sebagai standar tingkat II, tingkat III, tingkat IV
dan standar kerja, hal ini akan sangat menyulitkan bila pada suatu saat karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuat sebuah standar yang
memiliki ketelitian di antara standar tingkat I dan tingkat II. Dengan pengaturan hal ini di
dalam UU, maka penggunaan standar baru yang seharusnya dibutuhkan oleh
penggunanya menjadi perbuatan melanggar hukum.
96
Demikian pula mengenai standar kerja: alat ukur yang memiliki ketelitian berbeda
tentunya membutuhkan standar dengan ketelitian yang berbeda untuk pelaksanaan
kalibrasinya. Bila jenis standar kerja ditetapkan oleh pemerintah, maka hal ini akan
menutup kemungkinan bagi berbagai pihak untuk menggunakan standar kerja sesuai
dengan kebutuhannya. Dalam hal ini bila jenis standar kerja yang ditetapkan oleh
pemerintah jauh lebih teliti dari ketelitian yang seharusnya dibutuhkan oleh pemakainya,
maka pengadaan standar kerja sesuai dengan ketetapan pemerintah akan merupakan
pemborosan bagi penggunanya. Sebaliknya, bila jenis standar kerja yang ditetapkan oleh
pemerintah memiliki tingkat ketelitian yang lebih rendah dari kebutuhan penggunanya
maka ketentuan ini akan menutup kemungkinan bagi pengguna alat ukur untuk
menggunakan standar kerja sesuai dengan kebutuhannya.
Oleh karena itu pengaturan mengenai tingkatan standar semestinya tidak perlu diatur oleh
pemerintah, karena penjelasan di atas. Dalam hal ini diperlukan pengaturan yang lebih
fleksibel, sedemikian hingga setiap pihak yang membutuhkan standar ukuran dalam
berbagai tingkatan sesuai dengan kebutuhannya dapat memberikan jaminan kebenaran
pengukuran dengan tetap sesuai dengan ketentuan hukum yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan yang ada.
3.4.3 Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran
Dalam UU No. 2 Tahun 1981, ketentuan tentang Standar Pengukuran hanya mencakup
ketentuan-ketentuan terkait dengan Standar Pengukuran Nasional (dinyatakan sebagai
Standar Nasional Satuan Ukuran dalam UU). Di dalam UU No. 2 Tahun 1981, ketentuan
tentang standar pengukuran nasional baru terbatas pada ketentuan-ketentuan tentang
Standar Nasional Satuan Ukuran, dan bahkan lebih terbatas lagi, standar nasional satuan
ukuran untuk tujuh besaran dasar. Meskipun Pasal 9 UU No. 2 Tahun 1981 menyatakan
bahwa Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, penjelasan pasal ini tidak
mencerminkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mendiseminasikan satuan
pengukuran dan standar pengukuran. Ketentuan selanjutnya dalam UU No. 2 Tahun 1981
sepenuhnya mengatur tentang metrologi legal. Ketentuan UU yang hanya memberikan
penjelasan tentang metrologi legal, yang disepakati secara internasional melalui regulasi
teknis untuk pengukuran, alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus tentu saja tidak
dapat memayungi berbagai kegiatan kemetrologian yang tumbuh karena tuntutan
kebutuhan pasar secara sukarela, seperti dalam proses produksi, penelitian, penilaian
kesesuaian, akreditasi laboratorium dan berbagai keperluan lainnya. Terdapat bukti pula
yang disampaikan oleh beberapa pengusaha swasta maupun BUMN, bahwa hasil-hasil
kalibrasi oleh laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi, yang secara internasional
diakui, tidak dapat diterima oleh otoritas metrologi legal nasional karena kegiatan
kalibrasi tersebut tidak ada ketentuannya di dalam UU.
Kembali memperhatikan landasan filosofis kegiatan kemetrologian, yang tidak hanya
ditujukan untuk penerapan regulasi teknis metrologi legal, tetapi juga ke semua aktivitas
97
pengukuran yang dilakukan secara sukarela, khususnya bila hasil-hasil pengukuran
tersebut digunakan sebagai dasar keberterimaan dalam percaturan internasional, dapat
dikatakan di sini bahwa UU No. 2 Tahun 1981 tidak memuat ketentuan-ketentuan yang
diperlukan untuk memastikan terwujudnya ketertelusuran pengukuran bagi seluruh
pemangku kepentingan kemetrologian. Lebih jauh lagi, dengan memperhatikan perlunya
penguasaan ilmu-ilmu kemetrologian yang telah disepakati secara internasional dan
didokumentasikan dalam bentuk rekomendasi, standar atau pedoman internasional, untuk
mendiseminasikan satuan pengukuran dan standar pengukuran, terlihat dengan jelas
bahwa perundang-undangan kemetrologian yang berlaku di wilayah RI di semua
tingkatannya belum mencakup pentingnya pengembangan ilmu kemetrologian, termasuk
di dalamnya pengembangan dan pengelolaan standar pengukuran nasional dan ilmu-ilmu
pendukungnya.
3.5 METROLOGI LEGAL
UU No. 2 Tahun 1981 telah memiliki pengaturan yang komprehensif tentang sebagian
kegiatan metrologi legal, yaitu peneraan alat ukur, alat takar dan perlengkapannya, yang
diatur dalam Bab IV: "Alat Ukur, Takar Timbang dan Perlengkapannya", Bab V: "Tanda
Tera" serta Bab VI: "Barang Dalam Keadaan Terbungkus". Pengaturan kegiatan
metrologi legal ini juga telah dilengkapi dengan ketentuan tentang Penegakan Hukum
yang diatur dalam Bab VII: "Perbuatan yang Dilarang", Bab VIII: "Ketentuan Pidana"
dan Bab IX: "Pengawasan dan Penyidikan". Dalam hal ketentuan-ketentuan mengenai
kegiatan metrologi legal, diperlukan perhatian khusus terhadap ketentuan dalam UU No.
2 Tahun 1981 untuk meningkatkan keefektifan kegiatan metrologi legal dalam melindungi kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan masyarakat, pemerintah dan pelaku
usaha, tentunya dengan cara yang tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pelaku
usaha untuk meningkatkan daya saing produknya di pasar global. Ketentuan-ketentuan
dalam UU No. 2 Tahun 1981 yang memerlukan perhatian khusus tersebut adalah:
BAB IV: Alat Ukur, Takar Timbang dan Perlengkapannya
Pasal 12
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar,
timbang dan perlengkapannya yang:
(a) Wajib ditera dan ditera ulang;
(b) dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya; syaratsyaratnya harus dipenuhi.
Pasal 13
Menteri mengatur tentang:
(a) pengujian dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya;
(b) pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang;
(c) tempat-tempat dan daerah-daerah dimana dilaksanakan tera dan tera ulang
alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis-jenis tertentu.
98
BAB VII: Perbuatan yang Dilarang
Pasal 25
Dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh
memakai:
(a) ....
(b) alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain
daripada yang dimaksud dalam atau berdasarkan Undang-undang ini;di
tempat usaha; di tempat untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk
kepentingan umum; di tempat melakukan penyerahan-penyerahan; di tempat
menentukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran atau
timbangan.
Dalam Naskah Akademik ini, ketentuan tersebut di atas dianalisis secara khusus, karena
di dalam implementasinya melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya serta
dalam praktik terdapat bukti bahwa ketentuan tersebut tidak mampu memosisikan
kegiatan metrologi legal sesuai dengan definisinya maupun kaidah internasional praktik
kegiatan metrologi legal.
Pasal 12 dari UU No. 2 Tahun 1981 merupakan ketentuan pertama yang dalam hal ini
dapat dipandang sebagai ketentuan tentang lingkup kegiatan metrologi legal yang
berkaitan dengan peralatan ukur – yang diatur dalam Undang-Undang. Secara eksplisit
Pasal 12 hanya memberikan ketentuan bahwa jenis alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya yang "wajib tera/tera ulang" dan dapat dibebaskan dari "tera/tera ulang"
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pernyataan ini dengan sendirinya memiliki
implikasi bahwa yang dimaksud kegiatan metrologi legal terhadap peralatan ukur yang
diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah hanya mencakup tera dan tera ulang.
Dengan mengacu pada cakupan kegiatan metrologi legal, dalam hal ini tentang jaminan
kemetrologian yang seharusnya mencakup hal-hal yang telah didefinisikan di dalam
VML sebagaimana dijelaskan di atas, terlihat jelas bahwa tera dan tera ulang yang
dinyatakan pada Pasal 12 UU No. 2 1981 baru mencakup satu bagian kecil dari
"pengendalian legal terhadap alat ukur" yaitu verifikasi (verification), yang di dalam
VML didefinisikan sebagai:
Verifikasi alat ukur (verification of measuring instruments): didefinisikan sebagai
prosedur (selain persetujuan tipe) yang mencakup pemeriksaan dan penandaan
dan/atau penerbitan sertifikat verifikasi, yang menyatakan dan memberikan
konfirmasi bahwa alat ukur yang diperiksa sesuai dengan persyaratan yang
dinyatakan di dalam perundang-undangan (VML 2.13)
Bila "tera" di dalam UUML dimaksudkan sebagai kegiatan "verifikasi (menurut OIML
VML)", sedangkan di dalam definisi verifikasi dinyatakan secara eksplisit bahwa
verifikasi adalah "prosedur, selain type approval", kita bisa melihat bahwa di dalam
UUML belum terdapat pengaturan tentang "uji tipe", yang setara dengan kegiatan
"sertifikasi produk untuk alat ukur".
99
Terkait dengan peran metrologi untuk meningkatkan daya saing, metrologi legal
seharusnya dapat berkontribusi dalam hal penerapan regulasi teknis untuk mencegah alat
ukur yang memiliki mutu rendah atau membahayakan pemakainya, serta menyiapkan
infrastruktur teknis yang setara dengan infrastruktur teknis metrologi legal negara lain.
Dengan demikian, pemenuhan terhadap persyaratan metrologi legal yang ditetapkan oleh
pemerintah sekaligus dapat menjadi paspor bagi produk alat ukur dalam negeri untuk
dapat diperdagangkan di pasar global. Dalam hal ini, kegiatan metrologi legal yang perlu
untuk dikembangkan adalah persetujuan tipe (type approval), yang secara teoritis maupun
praktis belum diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981.
Ketentuan dalam Pasal 12 UU No. 2 Tahun 1981 ini dalam penerapannya
diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 Tentang Wajib dan
Pembebasan untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur,
Takar, Timbang dan Perlengkapannya (UTTP). Dari analisis terhadap isi PP No. 2 Tahun
1985 ini diperlukan perhatian terhadap beberapa ketentuan berikut, karena ketentuanketentuan tersebut pada saat diimplementasikan menyebabkan kurang efektifnya peran
kegiatan metrologi legal dalam melindungi kepentingan umum maupun dalam
mendukung daya saing produk nasional, yang tentunya diharapkan akan mendorong
kemajuan ekonomi nasional.
BAB II UTTP YANG WAJIB DITERA DAN DITERA ULANG
Pasal 2
UTTP yang secara langsung atau tidak langsung digunakan atau disimpan dalam
keadaan siap pakai untuk keperluan menentukan hasil pengukuran, penakaran, atau
penimbangan untuk:
(a) kepentingan umum;
(b) usaha;
(c) menyerahkan atau menerima barang;
(d) menentukan pungutan atau upah;
(e) menentukan produk akhir dalam perusahaan;
(f) melaksanakan peraturan perundang-undangan;
wajib ditera dan ditera ulang.
Ketentuan tentang wajib tera dan tera untuk peralatan ukur yang ditetapkan dalam Butir
(a) sampai dengan (f) Pasal 2 PP No. 2 Tahun 1985 tersebut di atas secara eksplisit
mewajibkan semua alat ukur dalam semua kegiatan diverifikasi oleh lembaga yang
bertanggung jawab dalam kegiatan metrologi legal. Cakupan jenis peralatan yang wajib
tera dan tera ulang ini jauh lebih luas daripada cakupan kegiatan metrologi legal yang
direkomendasikan dalam berbagai dokumen internasional, yang oleh OIML dinyatakan
bahwa kegiatan metrologi legal seharusnya ditujukan untuk memastikan mutu dan
kredibilitas pengukuran yang berkaitan dengan pengendalian oleh pemerintah,
pengukuran dalam perdagangan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan.
100
Dengan kata lain, metrologi legal diperlukan sebagai penengah atau wasit dalam transaksi
business to customer: bila pelanggan atau masyarakat tidak punya cukup piranti atau
kekuatan untuk memastikan ukuran dari sesuatu yang diterimanya, maka pemerintah
harus campur tangan untuk melindungi pelanggan atau masyarakat. Hal ini tentu sangat
berbeda dengan kondisi transaksi busines to business, dalam hal kedua belah pihak
memiliki piranti untuk memastikan, baik kebenaran ukuran yang dijual maupun
kebenaran ukuran yang diterima. Dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
kehidupan berbangsa dan negara, mutlak diperlukan pertumbuhan ekonomi yang
memadai, dan kata kunci yang diperlukan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
adalah daya saing produk nasional dalam pasar global, dalam cakupan definisi produk
yang luas baik produk barang, jasa maupun sumber daya manusia yang dapat diterima
dalam pasar global.
Peran metrologi dalam mendorong daya saing dapat diilustrasikan dengan baik dengan
mengambil contoh produk barang atau komoditas ekspor. Telah diketahui secara umum
bahwa untuk dapat menghasilkan komoditas ekspor yang dapat diterima oleh negara
pembeli, komoditas tersebut harus memenuhi syarat-syarat mutu yang ditetapkan oleh
negara pembeli dan tidak dimungkiri bahwa syarat-syarat mutu tersebut pada umumnya
didasarkan pada hasil pengukuran terhadap karakteristik komoditas. Komoditas tentunya
dihasilkan oleh suatu tempat usaha, dalam hal ini pabrik, dan untuk memastikan bahwa
produk akhir dapat diterima oleh calon pembeli, pengusaha atau produsen pasti memiliki
mekanisme penilaian produk akhir. Mengacu pada Pasal 12 PP No. 2 Tahun 1985, alat
ukur yang digunakan di tempat usaha dan penentuan produk akhir wajib untuk ditera dan
ditera ulang. Maka, pemerintah atau lembaga yang ditunjuk untuk bertindak atas nama
pemerintah melakukan proses peneraan yang bermuara pada keputusan alat ukur layak
dipakai atau tidak.
Penentuan oleh atau atas nama pemerintah bahwa alat ukur layak pakai atau tidak layak
pakai untuk produksi atau proses penentuan karakteristik produk akhir mengandung
konsekuensi bahwa pemerintah mengambil tanggung jawab tentang kebenaran alat ukur
di berbagai proses produksi. Hal ini menjadi pengaturan yang tidak efektif atau tidak
efisien mengingat bila ternyata komoditas yang diproduksi dengan melibatkan peralatan
ukur yang dinyatakan layak pakai dan karakteristik akhirnya telah ditentukan menggunakan alat ukur yang dinyatakan layak pakai oleh pemerintah, tetapi kemudian ternyata
produk tersebut ditolak oleh negara pembeli, dan ternyata penyebabnya adalah kesalahan
pada alat ukur yang dinyatakan layak pakai tersebut, maka pengusaha dapat menuntut
pemerintah karena kesalahan dalam penentuan layak pakai atau tidaknya peralatan.
Dalam proses produksi, pemilihan alat ukur yang diperlukan dalam proses produksi dan
juga alat ukur yang diperlukan dalam penentuan karakteristik akhir produk tentunya
sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk yang diinginkan atau ditetapkan oleh calon
pembeli. Jenis dan macam komoditas yang potensial sangat bervariasi mulai dari produk
agro, produk mekanik, produk kimia, farmasi, dan berbagai macam lainnya. Dengan
sendirinya, karakteristik alat ukur yang diperlukan juga sangat bervariasi, yang menjadi
101
sangat tidak efektif bila karakteritik alat ukur yang digunakan untuk setiap jenis produk
harus ditetapkan dan dinilai kelayakannya oleh negara. European Directive on NonAutomatic Weighing Instruments, yang menjadi dokumen wajib yang harus diacu oleh
semua negara anggota Uni Europa, memberikan contoh yang baik tentang cakupan alat
ukur yang harus dikendalikan oleh pemerintah, sebagai berikut:
Article 1 (2): Dalam directive ini timbangan non-otomatis dibedakan menjadi 2
(dua) kategori:
(a) untuk penentuan massa dalam transaksi komersial; untuk penentuan massa
dalam perhitungan tarif, pajak, bonus, penalti, upah, ganti rugi, atau jenis
pembayaran lainnya; untuk penentuan massa dalam penerapan perundangan,
regulasi atau pendapat tenaga ahli dalam pengadilan; untuk penentuan massa
dalam penimbangan pasien, racikan obat di apotik, pemeriksaan kesehatan,
laboratorium farmasi; untuk penentuan harga berdasarkan massa dalam
penjualan langsung atau pengemasan barang dalam keadaan terbungkus;
(b) timbangan selain yang digunakan untuk kategori (a)
Article 2 (2): negara anggota harus menjamin bahwa alat ukur tidak boleh
digunakan untuk fungsi-fungsi termasuk kategori yang dinyatakan dalam Article 1
(2) (a) kecuali telah memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam directive ini.
Ketentuan dalam EU directive ini memberikan kewajiban bagi pemerintah negara-negara
Eropa untuk mengendalikan penggunaan timbangan non-otomatis yang digunakan dalam
kegiatan yang dinyatakan pada Article 1(2) Point (a), sedangkan untuk yang tidak
tercakup dalam Point (a) maka pengendaliannya menjadi domain sukarela atau menjadi
tanggung jawab pemakainya sendiri. Artinya sebuah timbangan jenis tertentu, bila
digunakan untuk kegiatan peracikan obat di apotik harus dikendalikan oleh pemerintah
dan dalam hal ini harus ditera dan ditera ulang. Sebaliknya, bila timbangan dari jenis
yang sama digunakan dalam penimbangan komponen kendaraan bermotor untuk
keperluan ekspor yang harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemilik merek
kendaraan bermotor, hal itu menjadi tanggung jawab pemiliknya sendiri untuk
memastikan bahwa timbangan tersebut akan mampu memastikan persyaratan massa
komponen yang ditetapkan oleh pemilik merek.
PP No. 2 Tahun 1985 sebenarnya telah mengatur juga tentang jenis-jenis alat yang dapat
dibebaskan dari tera ulang atau dibebaskan dari tera dan tera ulang dengan ketentuan
sebagai berikut:
BAB III UTTP YANG DIBEBASKAN DARI TERA ULANG
Pasal 5
(1) UTTP yang digunakan untuk pengawasan (kontrol) di dalam perusahaan atau
tempat-tempat yang ditetapkan oleh Menteri, dapat dibebaskan dari tera ulang.
102
(2) Untuk memperoleh pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1),
pemilik atau pemakai UTTP yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan
tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
BAB IV UTTP YANG DIBEBASKAN DARI TERA DAN TERA ULANG
Pasal 8
UTTP yang khusus diperuntukkan atau dipakai untuk keperluan rumah tangga
dibebaskan dari tera dan tera ulang.
Bila ketentuan ini diterapkan, khususnya Pasal 5, maka ketentuan ini dapat memberikan
beban tambahan yang tidak perlu bagi pemilik alat ukur, yang seharusnya bisa dihindari
bila cakupan tentang jenis alat ukur yang harus dikendalikan oleh pemerintah telah
ditetapkan dengan jelas sebagaimana dicontohkan dalam EU Directive, sedemikian
hingga tidak diperlukan proses-proses tertentu yang justru menyebabkan proses tambahan
yang tidak membawa nilai tambah dari produk yang diharapkan memiliki daya saing
yang memadai.
Barang Dalam Keadaan Terbungkus (pre-packaged goods) diatur dalam BAB VI UU No.
2 Tahun 1981 dengan ketentuan sebagai berikut:
BAB VI BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS
Pasal 22
(1) Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual, ditawarkan
atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan pada bungkus atau pada
labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai:
(a) nama barang dalam bungkusan itu;
(b) ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan
atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7
Undang-undang ini;
(c) jumlah barang dalam bungkusan itu jika barang itu dijual dengan
hitungan
(2) Tulisan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) pasal ini harus dengan angka
Arab dan huruf latin disamping huruf lainnya dan mudah dibaca.
Pasal 23
(1) Pada tiap bungkus atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undangundang ini wajib dicantumkan nama dan tempat perusahaan yang
membungkus.
(2) Semua barang yang dibuat atau dihasilkan oleh perusahaan yang dalam
keadaan tidak terbungkus dan diedarkan dalam keadaan terbungkus, maka
perusahaan yang melakukan pembungkusan diwajibkan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang ini serta menyebutkan
nama dan tempat kerjanya.
Pasal 24
103
Pengaturan mengenai barang-barang dalam keadaan terbungkus sesuai Pasal 22
dan Pasal 23 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Sebagai ketentuan umum di dalam peraturan perundang-undangan utama, ketentuan
dalam UU No. 2 Tahun 1981 yang mengatur tentang barang dalam keadaan terbungkus
dapat dipandang cukup memadai. Namun demikian dalam implementasinya perlu untuk
mempertimbangkan pelaksana pengendalian maupun pengawasan dari BDKT ini, karena
sebuah barang dapat menjadi obyek dari berbagai macam regulasi yang diatur oleh
regulator yang berbeda. Sebagai contoh, makanan atau bahan makanan dalam keadaan
terbungkus tentunya selain harus menjamin ukuran (massa atau volume) juga harus
memenuhi regulasi yang terkait dengan kandungan zat-zat atau bahan tertentu yang bila
berlebih dapat membahayakan masyarakat yang mengonsumsinya.
Regulasi tentang kandungan zat-zat kima dalam makanan di Indonesia saat ini menjadi
tanggung jawab Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM), sehingga para produsen
wajib untuk memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh BPOM melalui proses administratif
dan teknis tertentu. Dalam praktik, proses sertifikasi dan perijinan tentunya memerlukan
biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen, bila kemudian terkait dengan implementasi
peraturan perundang-undangan kemetrologian. Pengendalian dan pengawasan ukuran dari
produk yang sama tersebut diterapkan secara kaku untuk harus dilakukan oleh regulator
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pengawasan ukuran barang dalam keadaan
terbungkus dan hal ini dapat memberikan beban biaya tambahan bagi produsen, yang bila
terkait dengan produk ekspor dapat menambah komponen biaya yang kemudian
diperhitungkan sebagai harga jualnya. Dalam kaitannya dengan daya saing, tentunya
harga yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh penerapan regulasi oleh pemerintah ini,
dapat menyebabkan turunnya daya saing produk barang dalam keadaan terbungkus.
104
IV. PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMETROLOGIAN NASIONAL
sebuah kebutuhan untuk meningkatkan daya saing bangsa
Pada saat ini, peran metrologi sebagai dasar sistem standar dan penilaian kesesuaian
terlihat tidak optimal, bahkan dalam beberapa aspek sering terjadi duplikasi yang dapat
menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan metrologi.
Penyebab utama lemahnya institutional framework metrologi disebabkan oleh kurang
sinerginya aturan-aturan terkait dengan metrologi – yang merupakan kegiatan lintas
disiplin dan lintas lembaga – yang diterapkan oleh regulator. Sebab utama dari lemahnya
institutional framework metrologi yang kemudian menyebabkan lemahnya governement
efficiency - sebagai faktor pendorong utama penguatan state capacity untuk memacu daya
saing nasional - adalah peraturan perundangan di bidang metrologi yang belum sejalan
dengan perkembangan metrologi global, sehingga secara otomatis menghambat
keberterimaan internasional terhadap sektor-sektor lain yang mendasarkan diri pada
metrologi. OIML D 1: Elements of Law on Metrology memberikan rekomendasi tentang
infrastruktur metrologi nasional, yang terdiri dari:
(a) perangkat hukum yang mencakup undang-undang dan peraturan tentang metrologi
(b) suatu otoritas pemerintah yang bertanggungjawab atas kebijakan metrologi nasional
dan koordinasi antar departemen/lembaga terkait dengan metrologi (selanjutnya
disebut otoritas metrologi nasional)
(c) satu atau lebih lembaga yang bertugas dalam tingkat nasional melaksanakan
kebijakan metrologi
(d) sistem standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan pengukuran
(e) sistem sukarela untuk mengakreditasi laboratorium, lembaga sertifikasi dan lembaga
inspeksi
(f) struktur untuk mendiseminasikan pengetahuan dan kompetensi metrologi
(g) pelayanan jasa kepada perindustrian dan perekonomian dalam bidang metrologi
Elemen pertama dari sebuah infrastruktur metrologi nasional adalah seperangkat
peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk memberikan payung hukum dan
landasan pengoperasian sistem metrologi nasional. Sejalan dengan rekomendasi dari
OIML D 1 dan hipotesis penelitian yang mendasari penyusunan Naskah Akademik ini,
pada Bagian II dan III telah dijelaskan secara berturut-turut tentang praktik internasional
pengembangan peraturan perundang-undangan kemetrologian dan kajian terhadap
substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981 yang sampai saat ini masih merupakan
105
satu-satunya peraturan perundang-undangan utama yang memuat ketentuan tentang
kegiatan kemetrologian.
Hasil kajian terhadap UU No. 2 Tahun 1981 menunjukkan bahwa meskipun judul dan
latar belakang UU ini adalah METROLOGI LEGAL, UU ini telah memberikan amanah
yang harus ditindaklanjuti tentang pelaksanaan kegiatan METROLOGI ILMIAH yang
mencakup satuan pengukuran dan standar pengukuran termasuk lembaga pengelola
standar pengukuran nasional melalui ketentuan yang diberikan dalam Bab II tentang
Satuan-Satuan dan Bab III tentang Standar-Standar Satuan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada saat penetapannya UU No. 2 Tahun 1981 merupakan sebuah UU yang cukup
lengkap sebagai landasan bagi pemerintah untuk melaksanakan kewenangannya terkait
dengan kegiatan metrologi, yaitu untuk menetapkan regulasi-regulasi teknis terkait
dengan proses pengukuran dan alat ukur yang diperlukan untuk mengatur ketertiban
umum. Namun demikian sejalan dengan pergeseran sistem ekonomi nasional yang
mengarah ke dalam sebuah sistem ekonomi pasar, yang dipertegas dengan ratifikasi the
Agreement on Establishing WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994, terdapat beberapa
kelemahan sistem metrologi nasional yang bersumber dari:


kelemahan substansi peraturan perundang-undangan kemetrologian utama yang
sedang berlaku di wilayah RI, yaitu UU No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal;
dan
kelemahan implementasi UU No. 2 Tahun 1981, yang bersumber dari pelaksanaan
ketentuan-ketentuan UU ke dalam aturan pelaksanaannya.
4.1 KELEMAHAN SUBSTANSI UU NO. 2 TAHUN 1981
Berdasarkan analisis kritis terhadap substansi dan implementasi UU No. 2 Tahun 1981
yang telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, terdapat beberapa kelemahan substansi
UU No. 2 Tahun 1981 yang dapat menyebabkan kurang efektifnya sistem metrologi
nasional untuk bertindak sesuai dengan posisinya sebagai pondasi untuk membangun
daya saing bangsa. Kelemahan-kelemahan substansi dari UU tersebut dapat diuraikan
sebagaimana penjelasan di bawah ini
4.1.1 Latar Belakang dan Lingkup Kegiatan Kemetrologian
Latar belakang penyusunan UU No. 2 Tahun 1981, sebagaimana dinyatakan dalam
konsiderans menimbang UU tersebut, hanya mencakup pertimbangan yang diperlukan
oleh negara untuk mengatur kegiatan metrologi legal. Hal ini diperkuat juga dengan
pembedaan definisi metrologi pada Ketentuan Umum UU Pasal 1 (a) dengan definisi
metrologi legal pada Pasal 1 (b). Meskipun Bab II tentang Satuan-Satuan dan Bab III
tentang Standar-Standar Satuan memuat ketentuan yang berkait dengan kegiatan
METROLOGI ILMIAH, ketentuan yang ada hanya menunjukkan bahwa kegiatan
pengelolaan standar pengukuran nasional diatur oleh ketentuan lain di luar pengelolaan
kegiatan METROLOGI LEGAL di wilayah RI. Ketentuan lain dalam UU No. 2 Tahun
1981, mulai Bab IV sampai dengan Bab XI sepenuhnya mengatur tentang dua aspek
106
kegiatan METROLOGI LEGAL, yaitu peneraan alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya, dan pengendalian barang dalam keadaan terbungkus serta ketentuanketentuan penegakkan hukum untuk kegiatan metrologi legal. Secara substansial, UU ini
belum mencakup kegiatan yang METROLOGI INDUSTRI/TERAPAN yang diperlukan
untuk membangun rantai ketertelusuran pengukuran bagi seluruh pelaku dan pengguna
hasil pengukuran di wilayah RI, serta persyaratan yang diperlukan untuk menjamin
kompetensi lembaga-lembaga kemetrologian.
4.1.2 Prinsip Dasar Kegiatan Kemetrologian
Ketentuan umum dari sebuah UU memuat definisi-definisi yang diperlukan untuk
melaksanakan UU tersebut. Ketentuan umum dari UU No. 2 Tahun 1981 Pasal 1 (a)
sampai dengan (t) memberikan definisi-definisi terkait dengan kegiatan kemetrologian
yang diperlukan untuk menginterpretasikan dan mengimplementasikan UU No. 2 Tahun
1981. Beberapa definisi yang diberikan di dalam ketentuan umum UU No. 2 Tahun 1981
secara substansial telah tidak sesuai lagi dengan definisi-definisi yang pada saat ini
digunakan oleh masyarakat kemetrologian internasional. Definisi-definisi tersebut
meliputi:




Pasal 1 (b) tentang metrologi legal memberikan definisi yang telah tidak sesuai
dengan Vocabulary of Legal Metrology (VML),
Pasal 1 (f) tentang satuan sistem internasional, Pasal 1 (g) tentang satuan dasar, Pasal
1 (i) tentang standar satuan memberikan definisi yang tidak sesuai dengan definisi
yang diberikan dalam International Vocabulary of Basic and General Terms in
Metrology (VIM),
Pasal 1 (j) tentang standar induk satuan dasar memuat istilah yang tidak digunakan
lagi dalam Sistem Internasional Satuan, dan definisinya "sebagai standar satuan yang
diterima dari Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai
Standar Nasional atau Standar Tingkat Satu" merupakan ketentuan yang tidak dapat
diimplementasikan lagi, kecuali untuk standar ukuran massa, karena saat ini BIPM
tidak lagi bertindak sebagai penyedia standar pengukuran nasional, melainkan pada
kegiatan yang diperlukan untuk menjamin realisasi standar pengukuran nasional yang
dilakukan oleh lembaga metrologi nasional dari berbagai negara,
Pasal 1 (p) tentang tempat usaha memberikan definisi yang dapat menyebabkan
kesalahan implementasi kegiatan metrologi legal, dan ketentuan inilah yang saat ini
dalam implementasinya seringkali menjadi penyebab konflik antara laboratorium
kalibrasi dengan pelaksana kegiatan metrologi legal serta penyebab duplikasi
investasi pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan menjamin ketertelusuran
pengukurannya dengan kewajiban berdasarkan UU No. 2 Tahun 1981.
4.1.3 Otoritas Kegiatan Kemetrologian
Penjelasan UU no. 2 Tahun 1981 menyatakan bahwa "menteri yang bertanggungjawab
terhadap implementasi UU ini adalah Menteri yang bertanggung-jawab dalam bidang
107
perdagangan". Hal ini sejalan dengan perkembangan kegiatan metrologi legal pada saat
penyusunan UU ini, dimana regulasi teknis terhadap proses pengukuran dan alat ukur,
serta fokus kegiatan OIML bertitik berat pada penyusunan rekomendasi-rekomendasi
untuk proses pengukuran dan alat ukur dalam perdagangan. Sejalan dengan
perkembangan kegiatan metrologi legal dan juga fokus kegiatan OIML yang semakin
meluas tentunya diperlukan keterlibatan dari berbagai departemen dan lembaga
pemerintah lainnya yang berkepentingan dengan kegiatan kemetrologian sebagai bagian
dari otoritas kemetrologian nasional untuk menetapkan berbagai kebijakan kemetrologian
di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, ketentuan dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 tentang lembaga pembina
standar nasional satuan ukuran, telah ditindaklanjuti dengan PP No. 2 Tahun 1989
Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran, Keppres No. 7 Tahun 1989 Tentang Dewan
Standardisasi Nasional, Keppres No. 13 Tahun 1997 Tentang Badan Standardisasi
Nasional, PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional, dan Keppres No. 79
Tahun 2001 Tentang Komite Standar Nasional Satuan Ukuran, yang bertugas untuk
memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN tentang Standar Nasional Satuan
Ukuran, sedangkan pengelolaan teknis ilmiah standar nasional satuan ukuran,
berdasarkan Keppres 79 Tahun 2001 didelegasikan kepada unit kerja di bawah LIPI yang
bergerak di bidang metrologi. Kegiatan untuk mengimplementasikan Pasal 11 UU No. 2
Tahun 1981 ini di Indonesia dikenal dengan kegiatan METROLOGI TEKNIK.
Disamping otoritas kemetrologian yang secara langsung terkait dengan implementasi
ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 di atas, terdapat pula kegiatan METROLOGI
RADIASI yang pengawasannya menjadi tanggung-jawab Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (BAPETEN) sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1997 dan pengelolaan standar
pengukuran radiasi yang menjadi tanggung jawab Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) c.q Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR).
Otoritas lain terkait dengan kemetrologian adalah Departemen Kesehatan yang melalui
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 363/MENKES/PER/IV/1998 menetapkan pengujian
dan kalibrasi alat kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan yang sampai saat ini belum
bisa diimplementasikan secara efektif untuk memastikan kebenaran pengukuran yang
diperlukan dalam pelayanan kesehatan. Demikian pula dengan kegiatan pengukuran
cuaca dan geofisika yang dilaksanakan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG),
serta pengukuran untuk keperluan inspeksi dan perawatan pesawat di bawah kewenangan
Departemen Perhubungan c.q Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKU). Sampai
saat ini, BMG sebagai penanggungjawab pengukuran cuaca di wilayah RI dan juga
lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bergerak di bidang penerbagan
seringkali masih harus mengalibrasikan peralatannya secara langsung ke laboratorium
kalibrasi di luar negeri, sebagai akibat belum tersedianya standar-standar pengukuran
nasional terkait dengan bidang tersebut.
Perkembangan kegiatan kemetrologian di wilayah RI saat ini tampak kurang
terkoordinasi dengan baik, baik dari sisi ketersediaan standar pengukuran nasional,
108
ketersediaan laboratorium kalibrasi yang kompeten, serta penetapan regulasi teknis
tentang proses pengukuran dan alat ukur untuk berbagai bidang aplikasi kemetrologian.
Hal ini dapat disebabkan oleh cakupan Otoritas Kemetrologian sesuai dengan UU No. 2
Tahun 1981 yang baru mencakup Otoritas untuk kegiatan metrologi legal. Kurangnya
koordinasi antara kegiatan metrologi yang bersifat sukarela, yang dilakukan oleh
laboratorium kalibrasi yang telah diakreditasi oleh KAN dengan pelaksana kegiatan
metrologi legal seringkali menyebabkan konflik dan bahkan menyebabkan kerugian bagi
pelaku usaha.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara pusat dan daerah dalam
pelaksanaan kegiatan metrologi legal sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah. Penyusunan dan penetapan UU No. 2 Tahun 1981 ini dilakukan jauh
sebelum munculnya wacana otonomi daerah, sehingga belum mengakomodasi hubungan
antara pusat dan daerah dalam kegiatan kemetrologian. Hal ini menyebabkan kegiatan
metrologi legal di daerah, meskipun telah diatur melalui Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No. 731/MPP/Kep/10/2002 tentang Pengelolaan Kemetrologian dan
Pengelolaan Laboratorium Kemetrologian, kemudian Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan No. 633/MPP/Kep/10/2004 tentang Pedoman Penilaian Laboratorium
Metrologi Legal, serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
634/MPP/Kep/10/2004 tentang Pedoman Pengelolaan Laboratorium Metrologi Legal,
belum dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan kegiatan metrologi
legal.
4.1.4 Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional
Lembaga Kemetrologian yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981 adalah Lembaga
Pembina Standar Nasional Satuan Ukuran sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) dan (2).
Ketentuan ini bila tidak dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8, 9 dan 10 merupakan
ketentuan yang sejalan dengan perkembangan sistem metrologi internasional, di mana
setiap negara membentuk Lembaga Metrologi Nasional yang sepenuhnya bertanggungjawab untuk mengelola standar pengukuran nasional.
Namun demikian bila dikaitkan dengan tugas lembaga ini untuk mengelola standar induk
satuan dasar sesuai dengan Pasal 8, dan definisi standar induk satuan dasar dalam Pasal 1
(j) maka ketentuan dalam Pasal 11 ini menjadi tidak dapat diimplementasikan, kecuali
untuk standar pengukuran massa, karena BIPM saat ini bukan lagi bertindak sebagai
penyedia standar pengukuran nasional bagi negara-negara anggota Konvensi Meter. Bila
ketentuan ini tetap digunakan untuk pembinaan standar pengukuran massa, hal ini dapat
menjadi penghambat dari proses yang diperlukan bila definisi standar massa diubah
sesuai dengan kesepakatan CGPM diharapkan dapat terlaksana pada tahun 2011.
Lebih jauh lagi bila dihubungkan dengan Pasal 9 yang menyatakan bahwa prosedur (tatacara) pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian standar nasional satuan ukuran ditetapkan
melalui Peraturan Pemerintah, maka lembaga ini menjadi tidak berwenang untuk
melakukan dan mengembangkan prosedur dan metode yang diperlukan untuk menjamin
109
kesetaraan dan pengakuan masyarakat internasional terhadap standar pengukuran
nasional RI.
Sedangkan pemegang wewenang dan tanggung-jawab kegiatan Metrologi Legal, sesuai
dengan lingkup dan penanggung-jawab UU No. 2 Tahun 1981, adalah Departemen
Perdagangan, sebagai departemen yang pada saat ini bertanggung-jawab dalam kegiatan
perdagangan. Untuk melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya terkait dengan kegiatan
metrologi legal, di dalam struktur Departemen Perdagangan dibentuk Direktorat
Metrologi yang selama ini mewakili keanggotaan RI dalam forum APLMF dan OIML
4.1.5 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran
Ketentuan-ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 terkait dengan adopsi satuan
ukuran, sebagaimana analisis dalam bagian sebelumnya, bersifat terlalu mengikat dan
dapat menghambat proses-proses yang diperlukan untuk beradaptasi dengan
perkembangan Sistem Internasional Satuan. Ketentuan-ketentuan tentang satuan
pengukuran yang secara substansial tidak sesuai lagi dengan perkembangan Sistem
Internasional Satuan, atau menghambat penggunaan satuan pengukuran yang diperlukan
oleh sektor tertentu atau kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
antara lain:
ketentuan dalam Pasal 2 yang membatasi penggunaan satuan legal sesuai Sistem
Internasional Satuan menjadi penggunaan satuan SI,
 ketentuan dalam Pasal 7 (b) tentang satuan tambahan yang sudah tidak digunakan
lagi dalam klasifikasi satuan berdasarkan Sistem Internasional Satuan,
 ketentuan dalam Pasal 5 yang menyebutkan secara rinci perkalian atau pembagian
dalam Sistem Internasional Satuan yang dapat menyebabkan pembatasan perkalian
atau pembagian satuan yang dapat digunakan di wilayah RI,
 Ketentuan dalam Pasal 7 (c) membuka kemungkinan penggunaan satuan-satuan lain
di luar SI, merupakan ketentuan yang inkonsisten dengan ketentuan dalam Pasal 2,
yang menyatakan "Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal,
dengan menggunakan satuan-satuan SI" artinya bila PP menetapkan penggunaan
satuan di luar SI, akan terjadi pelanggaran terhadap Pasal 2 UU ini, dengan kata lain
terjadi inkonsistensi pengaturan tentang penggunaan satuan.
Sedangkan berkaitan dengan standar pengukuran, khususnya standar pengukuran
nasional, ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 1981 memiliki kelemahan sebagai
berikut:



110
istilah Standar Induk Satuan Dasar dalam Pasal 1 (j) merupakan istilah yang tidak
pernah digunakan dalam sistem pengukuran global,
definisi Standar Induk Satuan Dasar dalam Pasal 1 (j) sudah tidak relevan lagi dengan
fungsi BIPM pada saat ini, karena kecuali untuk massa standar pengukuran primer
sebagai realisasi definisi satuan dalam Sistem Internasional Satuan pada saat ini dapat
dikembangkan oleh tiap-tiap lembaga pengelola standar pengukuran nasional, dan





definisi standar massa sebagai realisasi kilogram pun pada saat ini direkomendasikan
oleh CGPM untuk diubah menjadi definisi berdasarkan tetapan alamiah,
ketentuan dalam Pasal 8 yang mengamanahkan penetapan standar induk satuan dasar
melalui Peraturan Pemerintah dapat menghambat pengembagan standar pengukuran
nasional yang diperlukan untuk mengantisipasi kebutuhan ilmu pengetahuan,
teknologi dan inovasi,
ketentuan dalam Pasal 8 yang hanya mengatur pengelolaan standar induk satuan
dasar dapat menyebabkan pembatasan kegiatan pengelolaan standar pengukuran
nasional hanya pada tingkat standar pengukuran untuk besaran dasar,
ketentuan dalam Pasal 9 yang mengamanahkan penetapan tata cara pengurusan dan
pemeliharaan standar pengukuran nasional melalui peraturan pemerintah akan
membatasi riset pengembangan metode realisasi dan diseminasi standar pengukuran
nasional oleh lembaga metrologi nasional, dan tidak relevan lagi dengan
pengembangan sistem pengukuran global yang didasarkan pada kemampuan lembaga
metrologi nasional untuk merealisasikan dan mendiseminasikan standar pengukuran
nasional,
ketentuan dalam Pasal 10 yang mengamanahkan penetapan susunan turunan dari
standar induk satuan dasar melalui peraturan pemerintah telah tidak relevan lagi,
karena diseminasi standar pengukuran nasional baik untuk besaran dasar maupun
besaran turunan dalam sistem metrologi modern didasarkan pada kompetensi
lembaga metrologi nasional dan kompetensi laboratorium kalibrasi yang diakreditasi,
ketentuan dalam Pasal 11 merupakan ketentuan yang sangat relevan dengan sistem
pengukuran global namun demikian ketentuan dalam Pasal 11 ini dapat menjadi tidak
efektif karena ketentuan-ketentuan lain yang diberikan dalam Pasal 8, 9 dan 10.
4.1.6 Metrologi Legal
Secara eksplisit, UU No. 2 Tahun 1981 hanya mengatur salah satu aspek kegiatan
metrologi legal, yaitu kegiatan tera awal, tera ulang dan pengendalian barang dalam
keadaan terbungkus. Bila "tera" di dalam UU No. 2 Tahun 1981 dimaksudkan sebagai
kegiatan "verifikasi (menurut OIML VML)", sedangkan di dalam definisi verifikasi
dinyatakan secara eksplisit bahwa verifikasi adalah "prosedur, selain type approval", kita
bisa melihat bahwa di dalam UU No. 2 Tahun 1981 belum terdapat pengaturan tentang
"uji tipe", yang setara dengan kegiatan "sertifikasi produk untuk alat ukur".
Terkait dengan peran metrologi untuk meningkatkan daya saing, metrologi legal
seharusnya dapat berkontribusi dalam hal penerapan regulasi teknis untuk mencegah alat
ukur yang memiliki mutu rendah atau membahayakan pemakainya, serta menyiapkan
infrastruktur teknis yang setara dengan infrastruktur teknis metrologi legal negara lain.
Dengan demikian, pemenuhan terhadap persyaratan metrologi legal yang ditetapkan oleh
pemerintah sekaligus dapat menjadi paspor bagi produk alat ukur dalam negeri untuk
dapat diperdagangkan di pasar global. Dalam hal ini, kegiatan metrologi legal yang perlu
111
untuk dikembangkan adalah persetujuan tipe (type approval), yang secara teoritis maupun
praktis belum diatur dalam UU No. 2 Tahun 1981.
Ketentuan lain tentang metrologi legal yang diberikan dalam UU No. 2 Tahun 1981 pada
saat ini menjadi tidak dapat diimplementasikan secara efektif karena perubahan sistem
pemerintahan desentralisasi dan dekonsentrasi yang dianut pada saat perumusan UU
tersebut saat ini telah berubah dengan sistem otonomi daerah. Dengan implementasi
otonomi daerah, pada saat ini kegiatan metrologi legal di daerah menjadi kurang
terkoordinasi dan dalam beberapa hal tidak konsisten antara derah satu dengan yang lain
karena perbedaan kepentingan antar daerah. Hal ini disebabkan dalam UU No. 2 Tahun
1981 belum dimuat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan koordinasi dan harmonisasi
implementasi kegiatan metrologi legal oleh setiap pemerintah daerah didasarkan pada
ketentuan metrologi legal nasional
4.2 KELEMAHAN IMPLEMENTASI UU NO. 2 TAHUN 1981
Beberapa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden yang dapat dipandang sebagai
implementasi langsung dari UU No. 2 Tahun 1981 adalah:
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan untuk Ditera
dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat Bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan
Perlengkapannya (UTTP), sebagai tindak lanjut dari Pasal 12 UU No. 2 Tahun 1981,
 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1987 tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan
dan Satuan Lain yang Berlaku, sebagai tindak lanjut dari Pasal 7 UU No. 2 Tahun
1981,
 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional Satuan Ukuran,
sebagai tindak lanjut dari Pasal 8, 9 dan 10 UU No. 2 Tahun 1981,
 Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, berkaitan
dengan KSNSU sebagai lembaga pembina Standar Nasional Satuan Ukuran,
 Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional (DSN),
sebagai tindak lanjut dari Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981,
 Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional
(BSN), sebagai lembaga yang menggantikan DSN yang melaksanakan amanat Pasal
11 UU No. 2 Tahun 1981,
 Keputusan Presiden No. 79 Tahun 2001 tentang Komite Standar Nasional Satuan
Ukuran (KSNSU), sebagai Komite yang memberikan pertimbangan dan saran kepada
BSN terkait dengan tugas-tugas untuk melaksanakan amanah Pasal 11 UU No. 2
Tahun 1981.
Dalam Bagian 3 dari Naskah Akademik ini telah diuraikan secara rinci tentang
kelemahan implementasi UU No. 2 Tahun 1981 melalui Peraturan Pemerintah dan
Keputusan Presiden tersebut di atas. Ketentuan-ketentuan di dalam PP No. 2 Tahun 1985
secara umum mengatur masalah regulasi pengukuran secara kaku, sehingga implementasi
dari PP ini dalam beberapa hal dapat menyebabkan proses administratif yang cukup

112
panjang. PP No. 10 Tahun 1987 secara eksplisit dari judulnya menyatakan tentang Satuan
Tambahan, yang sudah tidak digunakan lagi sebagai katogori satuan dalam Sistem
Internasional Satuan. PP No. 2 Tahun 1989 memberikan hirarki Standar Nasional Satuan
Ukuran sebagai Standar tingkat I sampai dengan Standar tingkat IV, yang mewajibkan
pemerintah untuk menetapkan dan mendeifinisikan setiap standar pengukuran di wilayah
RI sesuai dengan ketentuan di dalam PP, sedangkan perkembangan mutakhir tentang
ketertelusuran pengukuran lebih menekankan kepada kompetensi lembaga yang
melakukan diseminasi standar sedangkat tingkat ketelitian dari setiap standar bergantung
pada kebutuhan pelaku atau pengguna hasil pengukuran.
PP No. 102 Tahun 2000, Keppres No. 7 Tahun 1989, Keppres No. 13 Tahun 1997 dan
Keppres No. 79 Tahun 2001 yang merupakan implementasi dari Pasal 11 UU No. 2
Tahun 1981 memuat ketentuan yang mempersempit istilah Lembaga Pembina Standar
Nasional Satuan Ukuran sebagai sebuah Komite Standar Nasional Satuan Ukuran yang
bertugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN tentang Standar Nasional
Satuan Ukuran, sedangkan tugas-tugas BSN terkait dengan pengelolaan standar nasional
satuan ukuran itu sendiri didelegasikan lagi kepada unit kerja di bawah LIPI yang
bergerak di bidang metrologi. Ketentuan bertingkat di dalam Keppres ini dapat dipandang
sebagai ketentuan yang kurang dapat memberikan wewenang bagi pengelola teknis
ilmiah standar nasional satuan ukuran untuk mengembangkan standar-standar pengukuran
nasional sesuai dengan kebutuhan ketertelusuran pengukuran nasional. Namun demikian,
meskipun peraturan pemerintah dan keputusan presiden terkait dengan lembaga pembina
standar nasional satuan ukuran ini dikembalikan lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 11
UU no. 2 Tahun 1981, hal ini masih belum bisa menjadi landasan pengembangan standar
pengukuran nasional yang dinamis sesuai dengan kebutuhan nasional, karena di dalam
UU No. 2 Tahun 1981 sendiri tanggung jawab lembaga pembina standar pengukuran
nasional hanya terbatas pada pembinaan terhadap standar induk satuan dasar, sedangkan
perkembangan perdagangan, industri maupun iptek memerlukan standar-standar
pengukuran untuk satuan dasar, satuan turunan maupun bahan acuan bersertifikat sebagai
standar pengujian produk. Lebih jauh lagi sesuai dengan ketentuan di dalam UU No. 2
Tahun 1981 sendiri, lembaga pembina standar nasional satuan ukuran harus menerapkan
PP tentang tata cara pengurusan standar pengukuran nasional, yang tentunya tidak efektif
dan efisien mengingat tata cara tersebut bersifat dinamis dan memerlukan perubahanperubahan sesuai kebutuhan untuk mencapai kesetaraan dengan standar pengukuran
nasional lain di seluruh dunia maupun untuk mencapai tingkat ketelitian yang lebih baik
untuk merespon kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di luar ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan implementasi langsung untuk
melaksanakan amanah UU No. 2 Tahun 1981, masih terdapat berbagai ketentuan lain
sebagaimana dinyatakan dalam daftar di Lampiran 1 dari Naskah Akademik ini, yang
implementasinya tidak bisa dilaksanakan dengan baik karena belum memperoleh payung
hukum yang kuat mengenai keterkaitannya dengan sistem metrologi nasional.
113
4.3 PENATAAN UNDANG-UNDANG KEMETROLOGIAN SEBAGAI SEBUAH KEBUTUHAN
Dapat dipahami bahwa kurang efektifnya fungsi sistem metrologi nasional dapat
disebabkan oleh kelemahan peraturan perundang-undangan maupun oleh implementasi
dari peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam
kaitannya dengan tata urutan peraturan perundang-undangan kemetrologian nasional,
terdapat pula kemungkinan bahwa kurang efektifnya sistem tidak disebabkan oleh
Undang-Undang, tetapi disebabkan oleh penetapan aturan-aturan di bawah UndangUndang yang kurang atau tidak sesuai dengan amanah yang diberikan dalam UndangUndang. Namun demikian uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat kelemahankelemahan substansi di dalam UU No. 2 Tahun 1981 sebagai satu-satunya UU
kemetrologian yang saat ini berlaku di wilayah RI, sedemikian hingga dapat disimpulkan
bahwa penataan sistem metrologi nasional hanya dapat dilakukan bila dilakukan
perubahan terhadap UU kemetrologian utama yang diharapkan dapat memberikan payung
hukum untuk pengoperasian sebuah sistem metrologi nasional yang sejalan dengan sistem
pengukuran global. Terlebih lagi dengan perkembangan sistem ekonomi pasar, tentunya
diperlukan sebuah sistem metrologi nasional yang fleksibel dan adaptif terhadap berbagai
kebutuhan pengukuran nasional, khususnya untuk meningkatkan daya saing nasional,
yang harus didasarkan pada UU Metrologi Nasional yang sesuai dengan rekomendasi
internasional tentang Peraturan Perundang-Undangan Kemetrologian.
114
V. USULAN PENATAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMETROLOGIAN NASIONAL
cakupan substansi Undang-Undang Metrologi Nasional dan
pertimbangan implementasi penataan
Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa revisi UU No. 2 Tahun 1981 Tentang
Metrologi Legal menjadi UU Tentang Metrologi dipandang sebagai prasyarat penataan
sistem metrologi nasional. Hal ini disebabkan, secara de-facto beberapa elemen sistem
metrologi nasional telah melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kerangka sistem
metrologi internasional, tetapi elemen-elemen tersebut masih belum dapat digerakkan
secara efektif dan efisien untuk membentuk sebuah sistem metrologi nasional yang dapat
digunakan sebagai pondasi pengembangan daya saing bangsa.
5.1 POKOK-POKOK REVISI UNDANG-UNDANG KEMETROLOGIAN
Cakupan UU Metrologi Nasional yang diharapkan menjadi pengganti UU No. 2 Tahun
1981 Tentang Metrologi Legal dapat dipandang sebagai revisi terhadap isi UU tersebut,
dengan pokok-pokok revisi yang diuraikan di bawah ini. Dengan memasukkan pokokpokok revisi yang didasarkan pada isi UU No. 2 Tahun 1981 ini diharapkan akan dapat
disusun sebuah UU Metrologi Nasional yang lengkap sejalan dengan perkembangan
sistem pengukuran global. Pokok-pokok tersebut adalah:

mengubah lingkup dan latar belakang penyusunan peraturan perundang-undangan
kemetrologian;

menambahkan ketentuan tentang otoritas kemetrologian nasional yang mewakili
berbagai departemen dan lembaga pemerintah pemangku kepentingan kegiatan
kemetrologian;

memperjelas ketentuan tentang lembaga-lembaga kemetrologian nasional yang
meliputi lembaga metrologi nasional untuk melaksanakan kegiatan metrologi ilmiah
pengembangan standar pengukuran nasional dan pengembangan ilmu kemetrologian,
memungkinkan partisipasi laboratorium kalibrasi untuk melaksanakan kegiatan
metrologi industri/terapan yang telah diakui kompetensinya untuk membentuk rantai
ketertelusuran pengukuran nasional, serta lembaga metrologi legal nasional yang
bertanggungjawab menetapkan dan mengharmonisasikan regulasi teknis tentang
pengukuran dan alat ukur;
115

memuat ketentuan-ketentuan metrologi ilmiah tentang adopsi satuan pengukuran dan
pengembangan standar pengukuran nasional yang fleksibel sesuai dengan normanorma yang ditetapkan oleh BIPM, yang memungkinkan pengembangan standar
pengukuran nasional dan ilmu kemetrologian untuk menjadi pondasi bagi berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara;

menambahkan ketentuan-ketentuan yang memberikan kesempatan kepada pihak
swasta yang memenuhi persyaratan kompetensi tertentu untuk melaksanakan
kegiatan metrologi industri yang berperan untuk menciptakan rantai ketertelusuran
pengukuran ke seluruh pihak pelaku dan pengguna hasil pengukuran bagi prosesproses pengukuran dan jenis-jenis alat ukur yang tidak diatur dalam regulasi teknis
metrologi legal;

memperluas ketentuan-ketentuan tentang metrologi legal sesuai dengan
perkembangan kegiatan metrologi legal yang diharmonisasikan oleh OIML, yang
mencakup kegiatan pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring
instruments), pengawasan kemetrologian (metrological supervision), dan pengembangan keahlian kemetrologian (metrological expertise) bagi petugas pelaksana
kegiatan metrologi legal;

menambahkan ketentuan-ketentuan tentang metrologi legal yang memungkinkan
partisipasi pihak ketiga, baik pemerintah maupun swasta untuk bertindak sebagai
pelaksana kegiatan metrologi legal setelah memenuhi persyaratan-persyaratan
kompetensi tertentu dan ditunjuk oleh otoritas atau lembaga yang memiliki
wewenang dalam kegiatan metrologi legal, sesuai dengan konsep balanced system;

memperjelas hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan kegiatan metrologi legal sesuai dengan kerangka otonomi daerah
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan PP No. 38 Tahun
2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan;

menambah ketentuan-ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk menetapkan
regulasi metrologi legal secara transparan dan melaksanakan penegakan hukum
secara imparsial.
5.2 USULAN CAKUPAN SUBSTANSI UNDANG-UNDANG METROLOGI NASIONAL
Berdasarkan uraian dalam bagian sebelumnya, direkomendasikan bahwa UU No. 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal direvisi menjadi sebuah Undang-Undang Metrologi
Nasional yang mencakup semua aspek kegiatan kemetrologian sejalan dengan
perkembangan sistem pengukuran global dengan pokok-pokok revisi sebagaimana
diuraikan di atas. Untuk mewujudkan revisi atau penggantian payung hukum kegiatan
kemetrologian nasional, dalam bagian ini akan diuraikan tentang cakupan substansi
Undang-Undang Metrologi Nasional yang diharapkan mampu menggerakkan sistem
metrologi nasional sebagai pondasi pengembangan daya saing bangsa. Usulan cakupan
116
substansi dalam Naskah Akademik ini didasarkan pada Rekomendasi Internasional
tentang UU kemetrologian, perkembangan sistem pengukuran global dan pengalamanpengalaman negara lain dalam merumuskan UU metrologi nasionalnya untuk dapat
mengintegrasikan diri ke dalam percaturan global.
5.2.1 Lingkup dan Latar Belakang Undang-Undang Kemetrologian
Mengacu kepada pemahaman tentang metrologi secara filosofis pada seluruh aspeknya,
dan juga perkembangan sistem metrologi yang direkomendasikan oleh berbagai
organisasi internasional serta kebijakan metrologi negara-negara lain, maka kegiatan
kemetrologian adalah infrastruktur dasar yang diperlukan untuk:








menjamin keadilan sosial,
melindungi hak dan kepentingan seluruh lembaga dan masyarakat,
meningkatkan mutu produk nasional,
menghemat penggunaan sumber daya alam, material dan energi,
menjamin keselamatan dan keamanan,
melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan,
meningkatkan efisiensi pemerintah, dan
menciptakan kondisi yang kondusif untuk pertukaran internasional.
Lembaga Metrologi
Pengguna metrologi
Jaringan kalibrasi
Industri manufaktur dan
lainnya
Realisasi satuan
Laboratorium
kalibrasi
Perdagangan
Pengadaan dan
pemeliharaan standar
nasional satuan ukuran
Akreditasi
laboratorium
Diseminasi
Pusat kepakaran dalam
bidang pengukuran
Regulasi dan
spesifikasi
Peraturan
Pemerintah
Metrologi Legal
Kesehatan dan Keselamatan
Perlindungan Lingkungan
Ilmu Pengetahuan
Komunikasi
Transportasi
Penerapan peraturan
pemerintah
Pembangkitan dan
penyaluran energi
Jasa survei dan navigasi
Dinas Militer
Gambar 9. Hubungan antara lembaga metrologi nasional dengan penggunanya
117
Oleh karena itu faktor-faktor tersebut hendaknya menjadi pertimbangan dalam penataan
sistem metrologi nasional, dan untuk memastikan bahwa pengaturan tentang metrologi
yang ditetapkan oleh pemerintah mampu memberikan landasan bagi perkembangan daya
saing bangsa di seluruh aspeknya, maka konsideran pembuatan peraturan perundangundangan kemetrologian perlu diperluas, sedemikian hingga pada saat penyusunan, pasalpasal konsiderans di luar pemberian "perlindungan" juga dipertimbangkan, terutama
berkaitan dengan "efisiensi", "keefektifan" dan "peningkatan daya saing", yang
diharapkan dapat memberikan multiplication effect dari penetapan UU kemetrologian
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam penetapan peraturan perundang-undangan telah menjadi good practice untuk
mengatur ketentuan-ketentuan yang lebih umum pada peraturan perundang-undangan
dengan kekuatan hukum yang lebih tinggi, dan kemudian rincian pelaksanaan UU ini
diturunkan ke dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan kekuatan hukum di
bawahnya. Berkaitan dengan kegiatan kemetrologian ini tentunya diperlukan sebuah UU
yang mengatur aspek-aspek umum kegiatan kemetrologian (dalam hal ini mencakup
metrologi ilmiah, metrologi industri dan metrologi legal) sebagai peraturan perundangundangan tertinggi berkaitan dengan kemetrologian, yang tentu saja dalam
penyusunannya telah mempertimbangkan seluruh aspek yang diharapkan dari sebuah
ketentuan tentang kegiatan kemetrologian.
Perluasan cakupan UU tentang kemetrologian ini dapat dilakukan dengan memperluas
cakupan UU kemetrologian yang ada. Dalam hal ini, UU No. 2 Tahun 1981 diperluas
cakupannya dan disesuaikan dengan latar belakang penataan sistem metrologi nasional
menjadi sebuah UU Metrologi. Cakupan yang diatur adalah semua aspek kegiatan
kemetrologian yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, dan dalam penyusunannya harus mempertimbangkan peran kegiatan
kemetrologian yang selain untuk melindungi kepentingan umum, juga memiliki peranperan lain yang sangat penting, terutama dalam peningkatan daya saing nasional dalam
integrasi ekonomi nasional ke dalam sistem pasar global yang tentunya diharapkan
membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Sejalan dengan
perkembangan aspek-aspek kemetrologian dalam kelompok metrologi ilmiah
(pengembangan standar pengukuran dan ilmu kemetrologian), metrologi industri (praktik
kemetrologian dalam sektor sukarela atas dasar kebutuhan konsumen dan proses produksi
barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumen) dan metrologi legal
(penetapan dan implementasi regulasi kemetrologian terkait dengan kepentingan umum,
perlindungan kesehatan, keamanan dan keselamatan negara, warga negara, dan
lingkungan hidup), maka peraturan perundang-undangan kemetrologian tertinggi di
wilayah RI hendaknya mencakup ketentuan-ketentuan yang diperlukan sebagai landasan
hukum ketiga aspek kegiatan kemetrologian tersebut.
118
5.2.2 Otoritas dan Lembaga-Lembaga Kemetrologian Nasional
Untuk memastikan bahwa UU yang mengatur kegiatan kemetrologian tersebut dapat
menjawab seluruh permasalahan yang melatarbelakangi penyusunannya, tentunya
penerapan UU tersebut harus diorganisasikan oleh sebuah lembaga yang atas nama
pemerintah berwewenang untuk menetapkan kebijakan metrologi nasional. Dengan
mempertimbangkan filosofi kegiatan kemetrologian sebagai kegiatan dasar yang
melandasi berbagai kegiatan yang mungkin dilakukan oleh berbagai pemangku
kepentingan yang dapat berasal dari berbagai departemen atau lembaga pemerintah dan
juga masyarakat konsumen maupun pelaku usaha, maka penentu kebijakan metrologi
nasional ini hendaknya dapat mewakili berbagai pemangku kepentingan kegiatan
kemetrologian dan memiliki wewenang berdasarkan UU untuk menjalankan misi dan
fungsi sebuah otoritas metrologi nasional sebagaimana direkomendasikan oleh OIML D1.
Contoh-contoh dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian negara lain yang
dikutip di atas menunjukkan dengan jelas bahwa di dalam UU metrologi mereka, negaranegara tersebut menetapkan sebuah otoritas metrologi (central metrology authority –
berdasarkan OIML D1), yang diberi kewenangan untuk menetapkan kebijakan metrologi
nasional dan juga mengoordinasikan kegiatan metrologi nasional. Bila mengacu pada
praktik di Eropa yang diadopsi oleh banyak negara di dunia, hal ini mencakup kegiatan
metrologi ilmiah (pengelolaan standar pengukuran nasional), metrologi industri
(pelaksanaan kalibrasi untuk mendukung industri, Iptek dan sektor sukarela lainnya), dan
metrologi legal. Sesuai dengan rekomendasi di dalam OIML D1 dan juga contoh
ketentuan tentang otoritas metrologi di negara-negara lain, maka dalam UU
kemetrologian diperlukan ketetapan tentang pemberian wewenang kepada otoritas
metrologi nasional untuk melaksanakan tugas-tugas sebagaimana direkomendasikan
dalam OIML D1. Secara spesifik, otoritas metrologi nasional tersebut perlu
diwujudkan dalam bentuk sebuah Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND)
yang dapat diberi nama Badan Metrologi Nasional (BMN).
Berkaitan dengan telah adanya KSNSU, maka BMN sebagai perwujudan otoritas
metrologi (yang diusulkan sebagai solusi dari permasalahan sistem metrologi nasional
yang ada) dapat dikembangkan dengan merevisi kewenangan tugas, fungsi dan keanggotaan KSNSU. Dengan adanya otoritas metrologi yang menjadi sentral penentuan
kebijakan metrologi nasional, diharapkan aset-aset kemetrologian yang telah dimiliki oleh
negara kita pada saat ini dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk
menggerakkan kegiatan kemetrologian yang dapat mendukung daya saing dan juga dapat
melindungi kepentingan Indonesia dalam integrasi ekonomi global. Ketentuan dan
penetapan central metrology authority perlu dituangkan ke dalam UU kemetrologian
yang merupakan revisi dari UU kemetrologian yang ada saat ini.
Untuk memastikan implementasi kegiatan kemetrologian nasional secara efisien,
peraturan perundang-undangan kemetrologian harus memuat ketentuan-ketentuan tentang
lembaga-lembaga yang kemudian memegang wewenang dan tanggung jawab dalam
pelaksanaan kebijakan metrologi nasional yang ditetapkan oleh otoritas metrologi. Sesuai
119
dengan rekomendasi di dalam OIML D1, lembaga-lembaga utama pelaksana kegiatan
kemetrologian dikenal dengan nama lembaga metrologi nasional dan lembaga metrologi
legal nasional. Dalam praktik yang dilakukan di beberapa negara yang telah merevisi
sistem metrologi nasionalnya, fungsi lembaga metrologi nasional dan lembaga metrologi
legal nasional ini disatukan ke dalam lembaga yang menjadi otoritas metrologi nasional.
Maka, dalam revisi UU kemetrologian ini, kedua fungsi tersebut dapat dimasukkan
sebagai bagian dari Badan Metrologi Nasional yang diusulkan.
Dengan mempertimbangkan konvergensi antara kegiatan metrologi ilmiah dan metrologi
industri, penggabungan fungsi-fungsi lembaga metrologi nasional sebagai pelaksana
kegiatan metrologi ilmiah dan fungsi-fungsi lembaga metrologi legal nasional ke dalam
sebuah lembaga atau badan dapat dipandang sebagai solusi terbaik untuk
mengharmoniskan kegiatan kemetrologian nasional dan untuk menghindari duplikasi
investasi terkait dengan pengembangan standar-standar pengukuran nasional. Ketentuan
tentang kelembagaan ini hendaknya menetapkan lembaga tersebut lengkap dengan
wewenang, tugas dan tanggung jawabnya yang diperlukan untuk mengimplementasikan
sistem metrologi nasional yang selaras dengan sistem metrologi di tingkat internasional.
Pengembangan standar pengukuran nasional oleh lembaga metrologi nasional merupakan
kegiatan yang memerlukan investasi negara dalam jumlah besar. Oleh karena itu
ketentuan dalam UU kemetrologian harus dapat memastikan bahwa investasi standar
pengukuran nasional hanya dilakukan melalui lembaga tersebut, dan dapat digunakan
oleh semua pihak untuk memastikan ketertelusuran hasil pengukuran di tingkat nasional.
Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari duplikasi investasi pemerintah yang dapat
membebani anggaran belanja secara tidak beralasan. Terkait dengan perkembangan
cakupan ilmu metrologi yang tidak pernah berhenti berkembang, lembaga atau badan
metrologi ini hendaknya diberikan kewenangan juga untuk mendelegasikan tugas dan
tanggung-jawabnya untuk mengembangkan standar pengukuran untuk keperluan spesifik
seperti pengembangan bahan acuan bersertifikat kepada lembaga lain yang memiliki
kompetensi dan memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh lembaga atau badan
metrologi tersebut.
UU Metrologi Nasional hendaknya juga memuat ketentuan yang mendorong partisipasi
pihak swasta dalam menjamin ketertelusuran pengukuran. Khususnya, di sektor metrologi
industri, yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan kalibrasi sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang dikembangkan oleh organisasi kerjasama akreditasi
laboratorium di tingkat regional (APLAC) dan tingkat internasional (ILAC).
Laboratorium kalibrasi yang diakreditasi ini dalam sistem metrologi nasional dapat
dipandang sebagai salah satu elemen kelembagaan yang dapat dikembangkan oleh
berbagai pihak dengan memenuhi persyaratan-persyaratan kompetensi yang ditetapkan
dalam standar nasional. Elemen kelembagaan ini pada saat ini telah ada dan secara defacto telah dilaksanakan oleh laboratorium-laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN).
120
Terkait dengan perkembangan cakupan kegiatan metrologi legal, yang akan memerlukan
investasi pemerintah dalam jumlah besar bila seluruhnya dilaksanakan oleh pemerintah,
ketentuan mengenai metrologi legal di dalam UU kemetrologian hendaknya
memungkinkan pendelegasian wewenang pemerintah sampai dengan tingkatan tertentu
kepada laboratorium-laboratorium kalibrasi yang kompeten dan telah diakreditasi oleh
badan akreditasi yang diakui oleh APLAC maupun ILAC. Mengenai jaminan kompetensi
ini, badan akreditasi Indonesia, yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN) telah diakui
kompetensinya oleh APLAC maupun ILAC untuk melaksanakan akreditasi laboratorium
kalibrasi, sehingga laboratorium kalibrasi yang pada saat ini telah diakreditasi oleh KAN
dapat dipandang sebagai salah satu aset kelembagaan yang dapat digunakan dalam
mengimplementasikan peraturan perundang-undangan kemetrologian di Indonesia.
5.2.3 Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran
A. Satuan Pengukuran
Kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai satuan pengukuran merupakan
ketentuan-ketentuan yang bersifat dinamis, yang secara nyata tampak dengan penerbitan
The SI Brochure oleh BIPM secara periodik. Oleh karena itu proses adopsi Sistem
Internasional satuan di dalam UU kemetrologian hendaknya ditetapkan secara generik
bahwa Indonesia me ngadopsi segala ketentuan dalam Sistem Internasional satuan.
Ketentuan-ketentuan rinci mengenai Sistem Internasional satuan kemudian dapat
ditetapkan dalam bentuk adopsi The SI Brochure sebagai standar (dokumen) nasional,
dalam hal ini SNI, yang kemudian ditetapkan oleh central metrology authority sebagai
landasan regulasi satuan pengukuran yang legal digunakan di Indonesia. Ketentuan
generik untuk mengadopsi Sistem Internasional Satuan ini banyak dilakukan di dalam
UU kemetrologian di berbagai negara, sebagai contoh:

"The State of the Socialist Republic of Vietnam accepted the International
System of Units (abbreviated as the SI system of units according to
international practices)" [Vietnam Ordinance on Measurement 1999: article 5]

Legal Measuring Unit is The unit of the International System (the SI system of
unit) used for the purposes of measurement [Jordan Standard and Metrology
Law 2002]

The only units of measurement to be used throughout Malaysia shall be the
units known as the International System of Units, comprises base units, derived
units, units may be used in conjunction with the base and derived units...
[Malaysia Weight and Measure Act]

The SI system of Units shall be used in the Republic of Slovenia [Slovenia
Metrology Act 2000]
Adopsi Sistem Internasional Satuan di dalam UU beberapa negara lain seperti dalam
contoh di atas, yang juga digunakan oleh berbagai negara lainnya, mengandung makna
121
bahwa negara-negara tersebut menerima penggunaan segala ketentuan yang ada dalam
Sistem Internasional Satuan, yang secara periodik dipublikasikan di dalam The SI
Brochure. Ketentuan-ketentuan teknis, yang terlalu rinci seperti SI-prefixes yang dimuat
dalam UU No. 2 Tahun 1981, hendaknya dikeluarkan dari ketentuan-ketentuan dalam UU
kemetrologian. Untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam UU kemetrologian yang terkait dengan satuan pengukuran dapat diimplementasikan dengan benar
sesuai dengan yang diperlukan, diperlukan penjelasan tentang definisi-definisi terkait
satuan pengukuran yang selaras dengan definisi-definisi yang telah disepakati secara
internasional. Oleh karena itu dalam perumusan UU kemetrologian yang diperlukan
sebagai dasar penataan sistem metrologi nasional, diperlukan kajian istilah dan definisi
berdasarkan VIM edisi termutakhir.
B. Standar Pengukuran Nasional
Tingkat ketelitian pengukuran sangat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sedemikian hingga sebagaimana dijelaskan di pendahuluan dan analisis
permasalahan mengenai standar pengukuran nasional, definisi standar pengukuran dapat
berubah, demikian juga realisasi dari definisi standar pengukuran yang sama dapat
berubah, bila dipandang realisasi yang sebelumnya sudah tidak mampu memenuhi
kebutuhan ketelitian pengukuran. Dalam hal ini ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (2) UU No.
2 Tahun 1981:
"Definisi yang berlaku bagi satuan-satuan dasar seperti tersebut pada Ayat (1)
pasal ini adalah definisi terbaru yang ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk
Ukuran dan Timbangan"
dapat dipandang sebagai ketentuan yang sangat baik untuk tetap diadopsi di dalam UU
kemetrologian, dan dengan sendirinya mewajibkan otoritas metrologi nasional dan
lembaga metrologi nasional untuk selalu memonitor perkembangan ilmiah definisidefinisi satuan dalam Sistem Internasional satuan. Demikian juga dengan ketentuan
dalam Pasal 11 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 1981:
"Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini
dibina oleh suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu."
yang mengamanahkan perlu ditetapkannya lembaga pengelola standar pengukuran
nasional, juga merupakan ketentuan yang tetap harus diadopsi dalam UU kemetrologian.
Namun demikian hendaknya ketentuan ini dimodifikasi, sehingga ketentuan di dalam UU
kemetrologian secara eksplisit mengarah pada perlunya suatu lembaga metrologi
nasional, sebagai lembaga utama yang memiliki tanggung jawab ilmiah terhadap
pengembangan standar pengukuran nasional. Karena sifat dinamis dari definisi dan
realisasi standar pengukuran, maka lembaga metrologi nasional sebagaimana dimaksud
dalam UU kemetrologian hendaknya memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk
mengembangkan realisasi standar pengukuran nasional dan juga mengembangkan
prosedur-prosedur pengelolaan teknis yang diperlukan untuk memperoleh pengakuan
122
kesetaraan terhadap standar pengukuran yang dikelolanya dan juga pengakuan kesetaraan
kompetensinya di tingkat regional dan internasional. Lembaga metrologi nasional
hendaknya memiliki wewenang juga untuk merekomendasikan daftar standar pengukuran
nasional untuk ditetapkan oleh Otoritas Metrologi Nasional. Terkait dengan hal ini,
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8, 9 dan 10 UU No. 2 Tahun 1981 yang mengamanahkan penetapan standar pengukuran nasional, tata cara penggurusan, pemeliharaan
dan pemakaian standar pengukuran nasional, dan susunan turunan standar pengukuran
nasional melalui peraturan pemerintah, dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah
dijelaskan dalam analisis permasalahan, hendaknya tidak dimuat lagi di dalam UU
kemetrologian.
Ketentuan-ketentuan generik tentang standar pengukuran nasional dan pengelolaannya
yang hendaknya dimuat di dalam UU kemetrologian adalah:


Standar pengukuran nasional adalah standar pengukuran yang memiliki tingkat
ketelitian tertinggi di wilayah RI yang digunakan sebagai acuan untuk menjamin
ketertelusuran pengukuran di seluruh wilayan RI;
Standar pengukuran nasional dikelola oleh sebuah lembaga metrologi nasional yang
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk:

menetapkan sistem satuan nasional, sejauh mungkin berdasarkan Sistem
Internasional Satuan,

merealisasikan dan memelihara standar pengukuran nasional dan
mendiseminasikan satuan ukuran nasional,

mengembangkan kompetensi ahli-ahli metrologi untuk dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, serta memberikan pelatihan berkelanjutan kepada ahli-ahli
metrologi tersebut untuk memastikan rencana regenerasi yang diperlukan dalam
pemeliharaan standar pengukuran nasional,

memfasilitasi pendirian laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis
kemetrologian, termasuk pengendalian lingkungan dan peralatan yang diperlukan
oleh laboratorium kalibrasi,

mengarahkan penelitian-penelitian yang diperlukan dalam peningkatan standar
pengukuran nasional untuk memenuhi kebutuhan pengukuran nasional,

memberikan transfer of knowledge ilmu kemetrologian yang diperlukan oleh
industri,

melakukan kajian secara reguler terhadap kebutuhan masyarakat terkait dengan
pengembangan standar pengukuran nasional dan diseminasi satuan ukuran
nasional,

menjadi acuan nasional untuk sistem akreditasi laboratorium, dalam hal
kompetensi teknis kemetrologian dan standar pengukuran,

memberikan pertimbangan teknis kepada pemerintah mengenai permasalahan
kemetrologian,
123
memastikan partisipasi secara efektif dalam kegiatan kemetrologian
internasional, khususnya dalam Konvensi Meter melalui CIPM dan BIPM serta
kegiatan metrologi ilmiah regional,

memberikan pelayanan kalibrasi untuk menjamin ketertelusuran pengukuran di
laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh lembaga akreditasi nasional sesuai
dengan persyaratan ILAC, dan ketertelusuran pengukuran di laboratorium
metrologi legal sesuai persyaratan OIML,

memberikan konsultasi kepada lembaga nasional yang relevan, industri atau
masyarakat umum terkait dengan permasalahan-permasalahan kemetrologian dan
pentingnya pengukuran,

memberikan pelatihan teknis kemetrologian,

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kemetrologian.
Bila diperlukan, lembaga metrologi nasional dapat mendelegasikan tugasnya dalam
mengembangkan standar pengukuran nasional kepada lembaga yang memiliki
kompetensi dan fasilitas yang memadai, dan mendaftarkan lembaga tersebut sebagai
Designated Institute (DI) dalam skema CIPM MRA.


C. Diseminasi Satuan Pengukuran dan Standar Pengukuran
Pada bagian analisis permasalahan, telah dijelaskan bahwa UU No. 2 Tahun 1981 sama
sekali tidak memuat ketentuan tentang diseminasi satuan pengukuran dan standar
pengukuran. Satu ketentuan yang terkait dengan diseminasi standar pengukuran adalah
ketentuan dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 1981:
"Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah"
yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 2 Tahun 1989 Tentang Standar Nasional
Satuan Ukuran. Ketentuan ini secara eksplisit memberikan tanggung jawab kepada
pemerintah untuk menetapkan standar pengukuran sampai di tingkat pelaksanaan dan
menetapkan hirarki standar pengukuran secara kaku yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan sistem pengukuran global.
Sesuai dengan skema sistem pengukuran global, diseminasi satuan pengukuran dan
standar pengukuran pada dasarnya ditujukan untuk membentuk rantai ketertelusuran
pengukuran. Rantai ketertelusuran pengukuran dapat dibentuk untuk menghubungkan
hasil-hasil pengukuran dengan definisi satuan dalam Sistem Internasional Satuan melalui
kegiatan kalibrasi alat-alat ukur dan standar mulai dari kegiatan kalibrasi oleh lembaga
metrologi nasional, secara berurutan sampai dengan kalibrasi peralatan produksi dan
peneraan alat ukur sesuai dengan regulasi metrologi legal. Untuk memperoleh pengakuan
dalam sistem pengukuran global, kompetensi pelaksana kalibrasi (yang dikenal sebagai
laboratorium kalibrasi) harus diakreditasi oleh badan akreditasi yang telah memperoleh
pengakuan internasional setelah melalui berbagai proses yang diperlukan sebagai
persyaratan untuk menandatangani APLAC/ILAC MRA.
124
Dalam tingkat implementasi, Komite Akreditasi Nasional (KAN) telah memperoleh
pengakuan dalam APLAC/ILAC MRA dalam sistem akreditasi laboratorium kalibrasi di
tingkat regional/internasional. Namun demikian belum terdapat ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengintegrasikan sistem
akreditasi laboratorium kalibrasi KAN dan sistem metrologi nasional. Karena kompetensi
laboratorium kalibrasi sangat menentukan kehandalan sistem metrologi nasional, maka
UU kemetrologian yang akan digunakan sebagai dasar penataan sistem metrologi
nasional harus memuat ketentuan-ketentuan yang menghubungkan antara pelaksana
kegiatan kemetrologian dengan sistem akreditasi laboratorium kalibrasi yang
dilaksanakan oleh KAN.
5.2.4 Kegiatan Metrologi Legal
Sesuai dengan berbagai definisi metrologi legal yang disepakati dalam forum
internasional, kegiatan metrologi legal merupakan kegiatan penetapan regulasi teknis
terhadap proses pengukuran, alat ukur dan ukuran barang dalam keadaan terbungkus yang
ditujukan untuk perlindungan kepentingan dan keamanan negara, keselamatan, keamanan
dan kesehatan warga negara, serta kelestarian lingkungan hidup. Penetapan regulasi
teknis terhadap proses pengukuran, alat ukur serta ukuran barang dalam keadaan
terbungkus ini tentunya harus sejalan dengan batasan-batasan penetapan regulasi teknis
lain yang disepakati dalam forum WTO.
A. Lingkup Kegiatan Metrologi Legal
Hasil studi terhadap rekomendasi internasional dan ketentuan-ketentuan terkait dengan
kegiatan metrologi legal serta analisis terhadap isi UU 2 Tahun 1981 menunjukkan bahwa
sejalan dengan berbagai kesepakatan internasional dan perkembangan sistem metrologi
legal di tingkat internasional diperlukan berbagai penyesuaian terhadap ketentuanketentuan metrologi legal dalam UU No. 2 Tahun 1981. Penyesuaian ketentuan tersebut
harus dimulai dari ketentuan tentang definisi metrologi legal, karena definisi yang
digunakan dalam UU No. 2 Tahun 1981 telah tidak sesuai lagi dengan definisi metrologi
legal yang disepakati secara internasional.
Selanjutnya, untuk memastikan kesesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati internasional dalam WTO-TBT, yang mencakup regulasi metrologi legal
sebagai komponen regulasi teknis dalam kerangka WTO, UU kemetrologian harus
memastikan bahwa regulasi metrologi legal ditetapkan oleh pemerintah, melalui sebuah
lembaga metrologi legal nasional, untuk keperluan:




persyaratan keamanan negara,
perlindungan dari praktik curang,
perlindungan kesehatan dan keamananmanusia,
perlindungan kehidupan atau kesehatan hewan atau tumbuhan atau lingkungan.
125
Kesesuaian dengan batasan-batasan regulasi teknis tersebut di atas memerlukan revisi
terhadap ketentuan jenis alat ukur yang tercakup dalam regulasi metrologi legal, di mana
ketentuan di dalam UU No. 2 Tahun 1981 dan PP No. 2 Tahun 1985 memberikan
implementasi yang terlalu luas, terutama terkait dengan definisi tempat usaha dalam
ketentuan umum UU No. 2 Tahun 1981. Ketentuan tentang jenis alat ukur yang perlu
dimasukkan di dalam UU kemetrologian hendaknya merupakan ketentuan generik yang
sejalan dengan kerangka WTO-TBT dan dapat digunakan sebagai dasar penetapan
regulasi metrologi legal oleh lembaga metrologi legal nasional. Proses pengukuran dan
jenis alat ukur lain yang digunakan di luar untuk keperluan tersebut di atas hendaknya
merupakan kegiatan kemetrologian sukarela yang kesesuaiannya dengan persyaratan
menjadi tanggung jawab dan wewenang dari pemilik atau pengguna alat ukur terkait.
Regulasi metrologi legal, yang menjadi ketentuan pelaksanaan UU kemetrologian,
hendaknya memberikan ketentuan yang jelas berdasarkan jenis alat ukur yang digunakan
untuk proses-proses pengukuran yang perlu diatur dengan alasan yang sesuai dengan
landasan penetapan regulasi teknis dalam WTO-TBT dan rekomendasi internasional
OIML D1. Perlu diperhatikan bahwa penetapan regulasi metrologi legal hanya dengan
pernyataan jenis alat ukur harus dihindari karena satu jenis alat yang sama dengan
karakteristik sama dalam proses tertentu dapat digolongkan dalam domain sukarela, tetapi
dalam proses lain harus tercakup dalam regulasi metrologi legal. Contoh penetapan
cakupan alat ukur yang diregulasi sesuai dengan EU Directive telah dijelaskan dalam
analisis permasalahan metrologi legal pada Naskah Akademik ini.
B. Implementasi Kegiatan Metrologi Legal
Untuk menjamin bahwa kegiatan metrologi legal di tingkat nasional dapat mencapai
tujuan-tujuan kegiatan metrologi legal yang telah disepakati secara internasional, UU
kemetrologian harus menetapkan cakupan kegiatan metrologi legal yang meliputi:
pengendalian legal terhadap alat ukur (legal control of measuring instruments):
evaluasi dan persetujuan tipe alat ukur, verifikasi (peneraan) awal dan ulang,
pengendalian kemetrologian terhadap BDKT,
 pengawasan kemetrologian (metrological supervision): pengawasan terhadap alat
ukur dan BDKT (di pasaran), pengawasan alat ukur yang sedang digunakan dalam
proses pengukuran, dan
 keahlian kemetrologian (metrological expertise).
Sejalan dengan ketentuan-ketentuan di dalam WTO-TBT dan juga rekomendasi
internasional OIML D1, maka kegiatan penilaian kesesuaian yang diperlukan dalam
kegiatan metrologi legal harus dapat dijamin kompetensinya sesuai dengan persyaratan
kompetensi yang ditetapkan oleh organisasi kerjasama akreditasi regional maupun
internasional. Tindak lanjut dari persyaratan kompetensi pelaksana penilaian kesesuaian
ini, pada saat ini diperlukan kesesuaian dengan:


126
ISO/IEC 17025 untuk pengujian dan kalibrasi,


ISO/IEC Guide 65 (yang segera direvisi menjadi ISO/IEC 17065) untuk lembaga
sertifikasi produk, dan
ISO/IEC 17020 untuk lembaga inspeksi.
Sebagaimana diuraikan dalam bagian Kebijakan Metrologi Nasional dari Naskah
Akademik ini, kegiatan metrologi legal di Indonesia harus dikoordinasikan oleh lembaga
atau badan metrologi yang dimaksud dalam bagian otorita dan lembaga-lembaga
kemetrologian naskah akademik ini, yang diberi tugas berdasarkan UU untuk:





melaksanakan studi dan membuat usulan persyaratan regulasi teknis terhadap
berbagai jenis alat ukur dan barang dalam keadaan terbungkus;
melakukan kajian secara reguler tentang kebutuhan regulasi metrologi legal di
masyarakat;
mempekerjakan petugas metrologi yang kompeten untuk melaksanakan tugasnya
serta mempersiapkan regenerasi petugas metrologi legal dengan baik;
menerbitkan sertifikat persetujuan tipe nasional yang memenuhi OIML Certification
System for Measuring Instruments dan persyaratan OIML Mutual Acceptance
Arrangement;
mengoordinasikan dan memastikan kesesuaian kegiatan metrologi legal yang
dilaksanakan oleh lembaga metrologi lokal dengan regulasi metrologi legal nasional.
Kegiatan metrologi legal dalam implementasinya akan selalu berkembang dan terdapat
kemungkinan bahwa regulasi metrologi legal diperlukan oleh berbagai departemen atau
lembaga pemerintah di luar lembaga atau badan metrologi. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang juga akan memengaruhi teknologi pengukuran yang
diadopsi oleh pemakai alat ukur (yang diregulasi) akan memerlukan pemutakhiran
regulasi metrologi legal dan juga pemutakhiran sistem yang diperlukan untuk memastikan
kesesuaian dengan regulasi metrologi legal. Oleh karena itu UU kemetrologian
hendaknya memberikan kesempatan yang luas bagi lembaga atau badan metrologi untuk
menjalankan fungsi-fungsi metrologi legal yang memberikan kemungkinan untuk:



mendelegasikan tugasnya kepada lembaga pihak ketiga, baik lembaga pemerintah,
swasta maupun pemerintah daerah melalui penunjukan yang didasarkan pada
kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas kemetrologian yang
didelegasikan kepada pihak lain, dengan bukti kompetensi yang sejalan dengan
sistem penilaian kesesuaian internasional yang telah mengembangkan sistem
pengakuan timbal-balik untuk akreditasi lembaga penilaian kesesuaian,
mengoordinasikan berbagai departemen dan/atau lembaga pemerintah lainnya dalam
penyusunan atau penetapan regulasi teknis terkait dengan pengukuran, alat ukur,
maupun barang dalam keadaan terbungkus,
menetapkan regulasi metrologi legal yang diperlukan oleh dan berlaku mengikat bagi
berbagai departemen atau lembaga pemerintah lainnya.
127
Dalam implementasi kegiatan metrologi legal, UU kemetrologian hendaknya menganut
balanced system untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi pemerintah yang memiliki
keterbatasan anggaran. Balanced system yang dimaksud di sini adalah sistem metrologi
legal yang memungkinkan:




evaluasi tipe dan persetujuan tipe dilakukan oleh lembaga yang kompeten (lembaga
penilaian kesesuaian yang diakreditasi atau di-peer-review) dengan pengakuan
timbal-balik yang luas terhadap sertifikat persetujuan tipe atau laporan pengujian di
tingkat internasional maupun regional (sebagai contoh OIML Mutual Acceptance
Arrangement, European Union Global Approach, ILAC Mutual Recognition
Arrangement, dan sebagainya);
verifikasi awal dilakukan oleh pembuatnya (di pabrik) didasarkan pada asesmen
terhadap sistem manajemen mutunya oleh lembaga yang kompeten (lembaga
sertifikasi sistem manajemen mutu yang telah diakreditasi dengan lingkup yang
sesuai dengan jenis alat ukur yang diverifikasi), dengan proses asesmen yang
dipusatkan pada kesesuaian setiap alat ukur yang diproduksi;
bila alat ukur tertentu memerlukan verifikasi awal di lokasi penggunaannya,
verifikasi awal dilakukan oleh lembaga pihak ketiga yang kompeten (diakreditasi
untuk lingkup yang relevan);
bila persetujuan tipe tidak dapat dilakukan atau tidak berkontribusi besar terhadap
perlindungan kepentingan umum, regulasi metrologi legal hanya mempersyaratkan
verifikasi (peneraan) awal.
Peran pemerintah dalam kegiatan metrologi legal hendaknya lebih difokuskan pada
kegiatan metrological supervision yang mencakup inspeksi dan pengawasan alat ukur
pada saat digunakan dalam proses pengukuran yang tercakup dalam regulasi metrologi
legal, serta pengawasan pasar terhadap barang dalam keadaan terbungkus.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan hak bagi daerah untuk
menetapkan kebijakan-kebijakan (termasuk metrologi legal) yang diberlakukan di
daerahnya. Hal ini harus menjadi perhatian dalam perumusan UU kemetrologian, karena
penetapan regulasi metrologi legal yang tidak selaras antara daerah satu dan daerah
lainnya dapat menjadi penghambat aliran barang antar daerah, yang tentunya tidak
dikehendaki dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu
UU kemetrologian harus memberikan batasan-batasan yang seseuai dengan konsep
otoritas metrologi lokal (local metrology authorities) yang diberikan dalam rekomendasi
internasional OIML D1, yang telah dibahas pada bagian Kebijakan Metrologi Nasional
dari Naskah Akademik ini.Untuk memastikan implementasi regulasi metrologi legal
secara harmonis di seluruh wilayah RI, penetapan kebijakan dan koordinasi
pelaksanaannya harus tetap menjadi kewenangan lembaga metrologi legal nasional yang
diorganisasikan oleh pemerintah pusat.
128
C. Kualifikasi Personel Pelaksana Kegiatan Metrologi Legal
Untuk memastikan kompetensi personel pelaksana kegiatan metrologi legal, peraturan
perundang-undangan kemetrologian perlu memberikan tugas dan kewenangan kepada
lembaga metrologi legal nasional untuk mengembangkan program pendidikan petugas
metrologi legal. Kualifikasi personel pelaksana kegiatan metrologi legal ini harus berlaku
secara nasional dan mewajibkan pemerintah daerah untuk mengikutsertakan petugas
metrologi legalnya dalam program pendidikan petugas metrologi legal yang dilaksanakan
oleh lembaga metrologi legal nasional. Harmonisasi kualifikasi dan tingkat kompetensi
petugas metrologi legal di tingkat nasional mutlak diperlukan untuk memastikan
keseragaman implementasi metrologi legal di seluruh wilayah RI.
Perkembangan teknologi pengukuran yang diaplikasikan pada alat-alat ukur yang
tercakup dalam regulasi metrologi legal tentunya menuntut penguasaan ilmu-ilmu
pengukuran yang mutakhir oleh para petugas metrologi legal. Lembaga metrologi
nasional, sebagai representasi negara dalam berbagai forum ilmiah kemetrologian,
hendaknya berkontribusi secara aktif dalam pengembangan kompetensi petugas metrologi
legal melalui keterlibatannya dalam pengembangan kurikulum pendidikan petugas
metrologi legal. Koordinasi antara lembaga metrologi legal nasional dan lembaga
metrologi nasional dalam pengembangan kualifikasi dan program pendidikan petugas
metrologi legal ini hendaknya diakomodasi dan diatur dengan baik dalam peraturan
perundang-undangan kemetrologian. Secara umum rekomendasi yang diberikan dalam
OIML D14 hendaknya digunakan sebagai acuan dalam pengembangan kompetensi dan
kualifikasi petugas metrologi legal nasional.
D. Penegakan Hukum dan Pembiayaan Kegiatan Metrologi Legal
Sebagai bagian dari regulasi teknis, kegiatan metrologi legal tentunya memerlukan
pengawasan dan penegakan hukum. Sanksi-sanksi yang mungkin timbul akibat
pelanggaran terhadap regulasi metrologi legal dapat membawa konsekuensi finansial bagi
pembuat atau pengguna alat ukur yang melakukan pelanggaran terhadap regulasi tersebut.
Untuk memastikan implementasi regulasi metrologi legal secara efektif dan efisien,
peraturan perundang-undangan kemetrologian harus memberikan batasan-batasan yang
jelas tentang cakupan kegiatan metrologi legal. Regulasi-regulasi tersebut hendaknya
dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat, sehingga semua pihak yang
berkepentingan dapat melakukan segala usaha yang diperlukan untuk memenuhi
persyaratan-persyaratan yang ditetapkan di dalam regulasi. Kewajiban bagi lembaga
metrologi legal nasional untuk memublikasikan regulasi-regulasi yang ditetapkan dan
juga informasi-informasi terkait dengan kegiatan metrologi legal secara transparan
hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan.
5.3 SARAN UNTUK IMPLEMENTASI
Dalam mengimplementasikan penataan peraturan perundang-undangan kemetrologian
yang diusulkan dalam Naskah Akademik ini ke dalam proses penataan sistem metrologi
129
nasional diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu, khususnya terkait dengan
berbagai aset nasional yang secara de facto telah melaksanakan kegiatan kemetrologian di
tingkat nasional dan juga telah mewakili Indonesia dalam berbagai forum metrologi
regional dan internasional. Investasi negara yang telah dilakukan, baik dalam bentuk
kelembagaan maupun investasi peralatan maupun sumber daya manusia yang telah
dilakukan oleh pemerintah dalam pengembangan sistem metrologi selama ini hendaknya
didayagunakan sebaik-baiknya dalam proses penataan sistem metrologi nasional. Oleh
karena itu tim penyusun Naskah Akademik ini menyampaikan beberapa butir penting
tentang aset nasional dan investasi nasional yang hendaknya digunakan untuk
mengimplementasikan penataan perundang-undangan kemetrologian nasional, yang
antara lain meliputi butir-butir di bawah ini.
 Pemerintah Indonesia, melalui Keputusan Presiden Republiki Indonesia No. 79
Tahun 2001, telah menetapkan pembentukan Komite Standar Nasional Satuan
Ukuran (KSNSU). Lembaga ini dapat digunakan sebagai embrio pembentukan
otoritas metrologi nasional, dengan melakukan berbagai penyesuaian wewenang,
tugas, tanggung jawab dan keanggotaan dari komite ini.
 Partisipasi Republik Indonesia dalam forum metrologi ilmiah regional APMP telah
diwakili oleh Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (Puslit KIM-LIPI) sejak tahun 1980-an, termasuk partisipasinya dalam berbagai uji banding di tingkat Asia Pasifik. Hal ini hendaknya
dipertimbangkan pula oleh pemerintah dalam penetapan lembaga metrologi nasional.
 Republik Indonesia telah menjadi anggota tetap Konvensi Meter sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda, bahkan Indonesia telah memiliki salinan prototipe
internasional meter dan kilogram yang pada waktu itu dikelola oleh lembaga yang
saat ini adalah Direktorat Metrologi, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri,
Departemen Perdagangan. Prototipe meter pada saat ini memang telah tidak
digunakan lagi sebagai definisi meter, sedangkan prototipe kilogram saat ini masih
digunakan sebagai definisi kilogram, yang saat ini di tingkat internasional sedang
diupayakan redefinisinya menjadi definisi yang berdasarkan konstanta alam. Namun
demikian aset nasional, khususnya prototipe kilogram ini hendaknya tetap
dipertimbangkan dalam pengembangan standar pengukuran nasional.
 Implementasi Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1981 telah dilakukan oleh pemerintah
dengan pembentukan Dewan Standardisasi Nasional melalui Keputusan Presiden No.
7 Tahun 1989 yang kemudian berubah menjadi Badan Standardisasi Nasional melalui
Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997, yang merupakan lembaga pemerintah
dengan tugas membantu presiden dalam pengembangan kebijakan Standardisasi
Nasional, yang mencakup Metrologi Teknik, Standar, Pengujian dan Mutu sesuai
dengan PP No. 102 Tahun 2000. Meskipun cakupan Standardisasi Nasional dalam PP
102 Tahun 2000 khususnya metrologi teknik dapat dipandang tidak sejalan dengan
perkembangan infrastruktur Standardization, Quality, Accreditation and Metrology,
yang mencakup kegiatan metrologi secara keseluruhan, infrastruktur dan
130
kelembagaan standardisasi yang ada hendaknya tetap dipergunakan dalam
menetapkan hubungan antara kegiatan kemetrologian, standardisasi dan akreditasi.
 Sebagai tindak lanjut pembentukan DSN, BSN, dan KSNSU di mana ketentuan
dalam Keppres 7 Tahun 1989, Keppres 13 Tahun 1997 dan Keppres 79 Tahun 2001
memberikan amanah kepada unit kerja di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia yang bergerak di bidang metrologi untuk melakukan Pengelolaan Teknis
Ilmiah Standar Pengukuran Nasional; dalam hal ini, unit kerja tersebut adalah Puslit
KIM-LIPI. Pada tahun 2004 Puslit KIM-LIPI telah menandatangani CIPM MRA, dan
sejak 2004 secara terus menerus berpartisipasi dalam berbagai proses yang
diperlukan untuk memperoleh pengakuan kesetaraan standar-standar pengukuran
yang dikelolanya dalam skema CIPM MRA. Pada saat ini proses-proses tersebut
telah menghasilkan pengakuan melalui publikasi dalam Lampiran C – CIPM MRA
untuk standar-standar pengukuran kelistrikan (tegangan, arus dan tahanan DC), massa
dan besaran turunannya (tekanan hidrolik dan standar massa), dan temperatur
(termokopel dan platinum resistance). Pengakuan yang telah diperoleh ini hendaknya
tetap dapat dipertahankan dalam penetapan lembaga metrologi nasional melalui
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan kemetrologian karena proses untuk
memperoleh pengakuan tersebut merupakan proses yang panjang dan tidak mudah.
Gambar 10: Sampul dokumen CIPM MRA. Indonesia yang diwakili Puslit KIM-LIPI telah
menjadi penandatangan dokumen ini sejak 2004.
 Pada tahun 2005, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan investasi berupa
pembelian standar pengukuran primer untuk besaran dasar dan turunan yang
berdasarkan analisis dibutuhkan secara nasional dengan menggunakan dana pinjaman
131
dari Islamic Development Bank (IDB). Peralatan-peralatan tersebut direalisasikan
pengadaannya di Puslit KIM-LIPI pada tahun 2007 – 2008. Standar-standar tersebut,
beserta seluruh pendukung material maupun sumber daya manusia yang
mengelolanya, hendaknya menjadi pertimbangan utama pada saat merealisasikan
tugas-tugas lembaga metrologi nasional melalui UU kemetrologian utama. Perlu
menjadi perhatian bahwa di negeri ini masih sedikit para ilmuwan yang
berkecimpung di bidang metrologi, oleh karena itu para pengelola standar
pengukuran yang telah dimiliki bangsa ini yang telah memperoleh berbagai pelatihan
dan pengalaman dalam kegiatan kemetrologian internasional merupakan aset utama
yang harus didayagunakan sebagai sumber daya utama dalam pengembangan
lembaga metrologi nasional.
 Direktorat Metrologi–Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri–Departemen
Perdagangan sampai saat ini telah berperan sebagai wakil Indonesia dalam kegiatankegiatan metrologi legal regional (APLMF) dan internasional (OIML). Peran
Direktorat Metrologi ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan lembaga
metrologi legal nasional yang juga memiliki fungsi dan kewenangan untuk
menetapkan regulasi metrologi legal nasional dan mengoordinasikan kegiatan
metrologi legal yang diregulasikan oleh berbagai departemen atau lembaga
pemerintah lainnya.
 Karena Puslit KIM-LIPI tidak mempunyai kompetensi dalam bidang metrologi kimia
dan metrologi radiasi, selama ini bidang-bidang tersebut ditangani oleh Pusat
Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K-LIPI) untuk metrologi
kimia, dan Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga
Nuklir Nasional (PTKMR-Batan) untuk metrologi radiasi. Kedua unit kerja tersebut
telah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan uji banding antarlaboratorium di AsiaPasifik, namun secara formal belum mempunyai status resmi sebagai lembaga yang
ditunjuk untuk bidang-bidang pengukuran tersebut. Kompetensi ini hendaknya
dipertahankan dan dimanfaatkan dalam pembentukan Badan Metrologi Nasional
yang diusulkan.
132
PUSTAKA
[1]
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Satu Naskah (perubahan 4), Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI, 2002
[2]
Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal, 1981
[3]
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
[4]
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia – WTO
[5]
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran
[6]
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
[7]
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
[8]
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
[9]
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan
dan Pengawasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinasiptek)
[10] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan
[11] Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
[12] Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 1985 Tentang Wajib dan Pembebasan untuk Ditera
dan/atau Ditera Ulang serta Syarat-Syarat bagi Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan
Perlengkapannya
[13] Peraturan Pemerintah RI Nomor 10 Tahun 1987 Tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan
dan Satuan Lain yang Berlaku
[14] Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Standar Nasional Satuan Ukuran
[15] Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional
[16] Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional
[17] Keputusan Presiden RI Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standardisasi Nasional
[18] Keputusan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2001 tentang Komite Akreditasi Nasional
[19] Keputusan Presiden RI Nomor 79 Tahun 2001 tentang Komite Standar Nasional Satuan
Ukuran
[20] Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IV/1998 Tentang Pengujian dan
Kalibrasi Alat Kesahatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan
[21] International Vocabulary of Basic and General Terms in Metrology, ISO, BIPM, IEC,
IUPAP, IUPAC, OIML, 1993
[22] Vocabulary of Legal Metrology, OIML, 2001
[23] CIPM-MRA: "International Committee on Weight and Measure-Mutual Recognition
Arrangement",
133
[24] The SI Brochure, 7th edition, 2006
[25] OIML-B10.1 International Organization on Metrology Legal – Mutual Acceptance
Arrangement, OIML 2004
[26] OIML D1: Element of Law on Metrology, OIML,2004
[27] OIML D9: Principles of Metrological Supervision, OIML 2004
[28] OIML D 14: Qualification of Legal Metrology Personnel, OIML
[29] National Measurement Act 1960, Government of Australia, 2004
[30] Naskah Akademik tentang Lembaga Metrologi Nasional di Indonesia, KSNSU, BSN, Puslit
KIM-LIPI, Direktorat Metrologi, Puslit Kimia LIPI, Puslitbang KRBiN BATAN, 2005
[31] An Agreement on Technical Barrier to Trade, World Trade Organization, 2004
[32] International Organization on Legal Metrology – Metre Convention – International Laboratory Accreditation Press Release, OIML-BIPM-ILAC, 2003
[33] Metrology in Short, Euromet Project No. 595, EU, October 2001
[34] Building Corresponding Technical Infrastructures to Support Sustainable Development and
Trade in Developing Countries and Countries in Transition, Joint Committee on
Coordination of Assisstance to Developing Countries in Metrology Accreditation and
Standardization – JCDCMAS, 2004
[35] Evolving Needs for Metrology in Trade, Industry and Society and the Role of BIPM, Bureau
Internationale des Poids et Mesures - BIPM, 2007
[36] Standard, Conformity Assessment and Developing Countries, Sherry M Stephenson, Trade
Unit of Organization of American States, May 1997
[37] The Answer to Global Quality Challange: A National Quality Infrastructure, Clemens
Sanetra, Rocio M Marban, Physikalisch Technische Bundesantalt (PTB), Organization of the
American States, Sistema Interamericano De Metrologia, 2006
[38] An Assessment of United States Measurement System, NIST, 2006
[39] For Good Measure: The Making of Australia’s Measurement System, Jan Todd, Allen &
Unwin Publishing, Australia, 2004
[40] Vietnam Ordinance on Measurement, Government of Socialist Republic of Vietnam, 1999
[41] National Measurement System Project, UK Departement of Trade and Industry, 2004
[42] Implementing metrology in Euroean research area, National Conference of Standard
Laboratory International – NCSLI 2005
[43] Agenda riset nasional – Dewan Riset Nasional 2006
[44] Regional Workshop for Latin American Countries on the agreement on technical barriers to
trade, Panama City 20-22 July 2004
[45] Jordania: Standards and Metrology Law for the Year 2000
[46] Afrika Selatan: Measurement Units and Measurement Standards Act, 2006
[47] Republik Slovenia: Metrology Act Ur. I. Rs No. 22/00
[48] Thailand: National Metrological System Development Act, B.E. 2540 (1997)
134
[49] Australia: National Measurement Act 1960 (with amendments up to Act No. 27 of 2004)
[50] Surat Edaran Direktur Sertifikasi dan Kelaikan Udara No. DSKU/0141/STD/2006 tentang
Kalibrasi Alat Ukur dan Peralatan Produksi atau Kerja terkait dengan Fasilitas Perawatan
Pesawat Udara
[51] Agreement on Technical Barrier to Trade, World Trade Organization, 1995
[52] Agreement on Establishing the World Trade Organization, 1995
[53] Revision of International Document No. 16: Principles of Assurance of Metrological
Control, First Committee Draft, OIML, 2007
[54] Memorandum of Understanding between the CIPM and the ILAC, 2001
[55] Memorandum of Understanding between the OIML and the ILAC, 2006
135
Lampiran 1. Daftar Peraturan Perundang-undangan Terkait Pengukuran
I. Peraturan Perundang-undangan Utama
UU No. 2/1981 Tentang Metrologi Legal
II. Umum
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
136
UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen
UU No. 10/1961 Tentang Barang
UU No. 2/1966 Tentang Higiene
UU No. 3/1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan
UU No. 3/1984 Tentang Perindustrian
UU No. 15/1985 Tentang Ketenagalistrikan
UU No. 23/1992 Tentang Kesehatan
UU No. 7/1994 Tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
UU No. 9/1995 Tentang Usaha Kecil
UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 10/1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 Tentang Perbankan
UU No. 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP No. 10/1987 Tentang Satuan Turunan, Satuan Tambahan dan Satuan Lain yang
Berlaku
PP No. 120/2001 Tentang Satuan Ukuran
SK 61/MPP/Kep/2/1998 Tentang Penyelenggaraan Kemetrologian
SK 251/MPP/Kep/6/99 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 61/MPP/Kep/2/1998 Tentang Penyelenggaraan Kemetrologian
SK 29/DJPDN/Kp/XII/98 Tentang Rincian dan Syarat-syarat Teknis Khusus UTTP
Metrologi Legal
SK 753/MPP/Kep/11/2002 Tentang Standardisasi dan Pengawasan Standar Nasional
Indonesia
SK 635/MPP/Kep/10/2004 Tentang Tanda Tera
SK 636/MPP/Kep/10/2004 Tentang Ketentuan Izin Perbaikan UTTP
SK 637/MPP/Kep/10/2004 Tentang Ketentuan UTTP Asal Impor
SK 638/MPP/Kep/10/2004 Tentang UTTP yang Memerlukan Penanganan Khusus
24. SK 640/MPP/Kep/10/2004 Tentang Pegawai yang Berhak Menera dan Menera Ulang
UTTP
III. Pemisahan Peranan Direktorat Metrologi dan Lembaga Tera Daerah
1. SK 731/MPP/Kep/10/2002 Tentang Pengelolaan Kemetrologian dan Pengelolaan
Laboratorium Kemetrologian
2. SK 30/DJPDN/Kp/XI/99 Tentang Pedoman Pengelolaan Standar dan Laboratorium
Metrologi Legal
3. SK 01/M-DAG/Per/3/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Perdagangan
4. SK 27/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium
Standar Nasional Satuan Ukuran
5. SK 28/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengujian
UTTP
6. SK 29/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Standardisasi
Metrologi Legal
7. SK B/2039/M.PAN/10.2005 Perihal Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Lingkungan Direktorat Metrologi
IV. Syarat-syarat Teknis Khusus (SSTK)
SK 920/Dimet-1/III/1997
Tentang SSTK Meter Air
Tentang SSTK Meter Arus Minyak
Tentang SSTK Meter Arus Gas
Tentang SSTK Truk Tanki
Tentang SSTK Kereta Tanki
Tentang SSTK Tanki Penyimpanan Tetap
Tentang SSTK Meter Arus LPG
V. W-H Meter
SK 34A/KPB/II/1988 dan 0147/A.K/098M.PE/1988 Tentang Peneraan Alat-alat Ukur
dan Perlengkapannya yang Dipergunakan pada Usaha Ketenagalistrikan
VI. Truk Tanki
SK 639/MPP/Kep/10/2004 Tentang KST Tanki Ukur Mobil
VII. Barang Dalam Keadaan Terbungkus
1. UU No. 7/1996 Tentang Pangan
137
2. PP No. 69/1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
3. SK 705/MPP/Kep/11/2003 Tentang Persyaratan Teknis Industri Air Minum dalam
Kemasan dan Perdagangannya
4. SK 31/DJPN/Kp/XI/99 Tentang Pedoman Pengawasan Barang dalam Keadaan
Terbungkus (BDKT)
5. SK 634/MPP/Kep/9/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang
dan/atau Jasa yang Beredar di Pasar
VIII. Pengembangan Sumber Daya Manusia
1. SK 482/MPP/Kep/11/2000 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan
Pelatihan Fungsional Penera di Lingkungan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan
2. SK 34/M-DAG/Per/12/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan
Pelatihan Metrologi
3. SK B/2004/M.PAN/10/2005 Perihal Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis Departemen Perdagangan
IX. Lembaga Tera Daerah
1. SK 32/DJPDN/Kep/XI/99 Tentang Pedoman Pembinaan Pos Ukur Ulang
2. SK 633/MPP/Kep/10/2004 Tentang Pedoman Penilaian Laboratorium Metrologi
Legal
3. sSK 634/MPP/Kep/10/2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Laboratorium Metrologi
Legal
138
Biografi Penyusun
Dr. Husein A. Akil
Lahir pada tanggal 11 April tahun 1956 di Garut, lulus dari Fisika
Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) akhir tahun 1983 dan
langsung bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) di Pusat Penelitian Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi
(Puslit KIM) yang saat itu masih bernama Lembaga Instrumentasi
Nasional (LIN). Tahun 1988-1990 melanjutkan studi Master of
Science (M.Sc) di bidang Acoustical Engineering dari University
of Salford (Manchester, UK). Tahun 1991-1996 melanjutkan studi
PhD di University of Liverpool dengan mengambil bidang
keahlian Sound Propagation in Large Industrial Buildings.
Kembali ke Puslit KIM-LIPI, sejak tahun 1997 hingga tahun 2000 menjabat Kepala
Laboratorium Akustik dan Vibrasi. Sejak tahun 2001 hingga akhir tahun 2003 menjabat
Kepala Bidang Instrumentasi. Kemudian sejak akhir tahun 2003 tersebut sampai sekarang
menjabat Kepala Pusat. Jabatan fungsional saat ini adalah Peneliti Utama IVD (d/h Ahli
Peneliti Madya) pada bidang kepakaran Metrologi Akustik.
Kegiatan dalam organisasi profesi antara lain adalah Pendiri Himpunan Akustik dan
Vibrasi Indonesia (HAVI). Sekretaris Himpunan Instrumentasi Indonesia (HimII) dan
anggota dewan editor majalah ilmiah Instrumentasi serta menjadi salah satu yang merintis
majalah ilmiah tersebut terakreditasi baik oleh DIKNAS maupun oleh LIPI. Sejak tahun
2004 hingga 2007 menjadi anggota Dewan Pengurus Masyarakat Standardisasi Nasional
(Mastan). Sejak tahun 2005 hingga 2007 menjadi anggota Komisi Manajemen Teknis
Perumusan Standar (MTPS)-BSN (Badan Standardisasi Nasional), dan sejak tahun 2007
hingga sekarang menjadi anggota Komisi Manajemen Teknis Penilaian Kesesuian
(MTPK)-BSN. Di tingkat internasional, sejak tahun 2006 sampai sekarang terpilih
menjadi anggota Executive Committee (EC) di APMP.
139
Drs. Dede Erawan, M.Sc.
Lahir di Tasikmalaya, 22 Agustus 1957. Pendidikan dasar dan
menengah ditempuh di Tasikmalaya dan Singaparna, sebelum
melanjutkan ke ITB dalam bidang fisika. Pendidikan pascasarjana
diperoleh di Western Illinois University dengan gelar M.Sc.
Memulai karir di Puslit KIM-LIPI sebagai staf di Laboratorium
Suhu, hingga kemudian menjadi Kepala Balai Pengembangan Sistem
Kalibrasi dan Metrologi (yang kemudian berubah menjadi Bidang
Metrologi) dari tahun 1998 hingga 2007, dan saat ini menjadi Kepala
Bidang Kalibrasi. Mempunyai banyak pengalaman sebagai anggota
delegasi Puslit KIM-LIPI dalam pertemuan antarlembaga metrologi
di APMP maupun di BIPM. Selain di Puslit KIM-LIPI, juga aktif di KAN sebagai asesor
laboratorium kalibrasi. Juga pernah menjadi asesor untuk laboratorium yang diakreditasi
oleh NATA, Australia.
Donny Purnomo, ST.
Lahir pada tanggal 15 Januari 1975 di Bojonegoro, menempuh
pendidikan sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan
Teknik Fisika tahun 1993 s.d 1998. Setelah terlibat dalam
beberapa kegiatan terkait dengan pemrograman dan instrumentasi
medik, kegiatan kemetrologian dikenal pada saat mulai bekerja di
Laboratorium Gaya dan Massa, Puslit KIM-LIPI pada tahun 2000.
Pada pertengahan tahun 2001 mulai bekerja dalam kegiatan
standardisasi dan akreditasi di Pusat Akreditasi Laboratorium dan
Lembaga Inspeksi BSN, khususnya terlibat dalam kegiatan
sekretariat KAN bidang Akreditasi Laboratorium Kalibrasi. Sejak
tahun 2003 mulai berpartisipasi dalam Asia Pacific Laboratory Accreditation Cooperation
(APLAC) Technical Meeting. Menjadi anggota APLAC Proficiency Testing Committee
sejak tahun 2004 sampai sekarang, dan dipercaya sebagai koordinator program Uji
Banding Antar Laboratorium Kalibrasi Regional yang diselenggarakan oleh APLAC
untuk bidang pengukuran massa pada tahun 2006 dan bidang pengukuran volume pada
tahun 2007. Dalam APLAC Technical Meeting 2007, mulai aktif sebagai anggota
APLAC Technical Committee. Sampai saat ini secara aktif terlibat dalam penyusunan
berbagai kebijakan dan pedoman KAN, khususnya terkait dengan kalibrasi dan metrologi,
nara sumber dalam workshop maupun seminar tentang laboratorium kalibrasi, metrologi
legal, serta sistem metrologi, dan sebagai instruktur dalam pelatihan-pelatihan sistem
manajemen mutu laboratorium dan ketidakpastian pengukuran untuk laboratorium
kalibrasi dan laboratorium uji di BSN maupun lembaga lainnya.
140
Agustinus Praba Drijarkara, M.Eng.
Lahir di Bogor, 7 Desember 1971. Menamatkan pendidikan dasar
dan menengah di Sekolah Regina Pacis Bogor. Melanjutkan
pendidikan tinggi dalam bidang electrical engineering di
Universitas Wollongong, Australia dengan beasiswa dari
pemerintah Indonesia dalam program STAID-BPPT. Setelah tamat
pada tahun 1995, mulai bekerja di Puslit KIM-LIPI sebagai staf
peneliti di Laboratorium Metrologi Dimensi. Pada tahun 1997-1999
melanjutkan studi di universitas yang sama dan mendapatkan gelar
M.Eng (Hons). Tahun 2001 ditunjuk menjadi Kepala Subbidang
Dimensi, yang kemudian berubah nama menjadi Subbidang
Metrologi Panjang hingga saat ini.
Beberapa pelatihan di bidang metrologi dijalani di Australia, Thailand, Taiwan dan Turki.
Menjadi contact person untuk Puslit KIM-LIPI di Technical Committee for Length di
APMP. Selain menjadi peneliti juga menjadi pengajar dalam kursus-kursus, antara lain
metrologi dimensi, ketidakpastian pengukuran dan sistem mutu laboratorium. Selain di
Puslit KIM-LIPI, aktivitasnya yang lain adalah sebagai asesor teknis (sejak 2002) dan
kemudian sebagai asesor kepala (sejak 2007) untuk akreditasi laboratorium kalibrasi yang
diselenggarakan KAN.
Dwi Kirana Yuniasti, SH.
Lahir pada tanggal 13 Juni 1981 di Jakarta, lulus sebagai Sarjana
Hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 2003.
Semasa kuliah, aktif di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh
Pusat Penelitian Peranan Wanita, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Semakin mendalami dunia hukum ketika pada tahun 2003 tidak lama
setelah lulus, bergabung di Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MKRI) sampai dengan tahun 2005. Pada pertengahan
tahun 2006, mulai aktif bekerja di Puslit KIM-LIPI dengan jabatan
fungsional Kandidat Perancang Peraturan Perundang-undangan.
Berbagai dokumen kontrak, dokumen hukum maupun opini hukum
telah dihasilkan sebagai bagian dari pekerjaannya. Selain mengurusi masalah hukum,
juga mengurusi hubungan internasional Puslit KIM-LIPI dengan negara lain sebagai
International Relationship Officer Puslit KIM-LIPI yang membuatnya mengenal lebih
jauh mengenai metrologi. Sampai saat ini, masih aktif dalam berbagai seminar mengenai
ilmu hukum dan perundangan-undangan dan berbagai kegiatan perancangan peraturan
perundang-undangan, baik yang diprakarsai oleh LIPI maupun pihak lain.
141
Dadang Rustandi, ST.
Lahir di Garut, 11 November 1960. Tamat dari STM Pembangunan
Bandung. Bergabung dengan Lembaga Instrumentasi Nasional
(kemudian menjadi Puslit KIM-LIPI) tahun 1985. Kemudian
meneruskan studi S1 di Universitas Nasional Jakarta. Bidang
keahliannya adalah instrumentasi dan kontrol dan mempunyai
banyak pengalaman dalam proyek-proyek perekayasaan. Pada saat
penyusunan buku ini, menjabat Kepala Subbidang Instrumentasi
Industri.
Dr. Sunarya
Lahir pada tanggal 24 November tahun 1949 di Boyolali,
menyelesaikan pendidikan sarjana Farmasi dari UGM pada tahun
1974 dan pendidikan Apoteker di UGM bulan Januari 1976.
Pendidikan Post Graduate diselesaikan di UK pada tahun 1984
dan Ph.D pada tahun 1987 dalam bidang Food Science. Memulai
karir di Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP),
sampai menjabat sebagai Kepala BBPMHP tahun 1987 s.d 1998. Sejak tahun 1998
menjabat Direktur Penerapan Standar dan Akreditasi Laboratorium Badan Standardisasi
Nasional sampai dengan tahun 2002. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai
Deputi Penerapan Standar dan Akreditasi Badan Standardisasi Nasional dan Sekretaris
Komite Akreditasi Nasional. Tahun 2004 sampai sekarang sebagai Sekretaris Jenderal
Masyarakat Standardisasi. Dalam CODEX Alementarius Commission secara aktif
berpartisipasi sebagai anggota Executive Committee. Pada saat ini aktif menghadiri
berbagai workshop atau seminar di bidang standardisasi baik sebagai nara sumber,
pembicara ataupun peserta di tingkat Nasional maupun internasional. Sejak tahun 2005
hingga sekarang menjadi anggota Komisi Manajemen Teknis Perumusan Standar
(MTPS)-Badan Standardisasi Nasional, dan sejak tahun 2007 hingga sekarang menjadi
Ketua Komisi Manajemen Teknis Penilaian Kesesuian (MTPK)-Badan Standardisasi
Nasional.
142
Indeks Alfabetis
AGAL, Australian Government Analytical
Laboratory................................................... 74
APEC, Asia Pacific Economic Cooperation..... 3
APLAC, Asia Pacific Laboratory Accreditation
Cooperation................................................... 4
APLMF, Asia Pacific Legal Metrology Forum 4
APMP, Asia Pacific Metrology Programme.....4
Bapeten, Badan Pengawas Tenaga Nuklir
Nasional....................................................... 83
BDKT, barang dalam keadaan terbungkus..... 72
BIPM, Bureau International des Poids et
Mesures..........................................................6
BIPM, Bureau Internationale des Poids et
Mesures..........................................................4
BMN, Badan Metrologi Nasional................. 119
BPOM, Badan Pemeriksa Obat dan Makanan
................................................................... 104
BSN, Badan Standardisasi Nasional............... 15
BV, Bureau Veritas......................................... 15
CGPM, Conférence Générale des Poids et
Mesures........................................................51
CIPM, Comité International de Poids et Mesure
....................................................................... 7
CRM, certified reference material.................. 48
Cubit................................................................12
DSKU, Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara83
DSN, Dewan Standardisasi Nasional..............15
E-mark.............................................................72
EUROMET, European Community melalui
European Collaboration in Measurement
Standards; sekarang menjadi Euramet...........5
European Directive on Non-Automatic
Weighing Instruments................................102
Hari Metrologi Dunia......................................14
IAEA, International Atomic Energy Agency....7
IAF, International Accreditation Forum....... 4, 6
IEC, International Electrotechnical Committe..4
ILAC, International Laboratory Accreditation
Cooperation................................................... 4
IMERA, Implementing Metrology in European
Research Area..............................................29
Infrastruktur metrologi..................................2, 3
Infrastruktur mutu nasional.............................31
ISO, International Organization on
Standardization.............................................. 4
ITC, International Trade Centre........................6
ITU-T, Telecommunication Standardization
Bureau of International Telecommunication
Union............................................................. 6
JCDCMAS, Joint Committee on Coordination
of Assisstance to Developing Countries in
Metrology, Accreditation and Standardization
....................................................................... 6
K 46.................................................................15
Kalibrasi.......................................................... 20
KAN, Komite Akreditasi Nasional................. 23
Kesetaraan.........................................................3
Ketertelusuran pengukuran............................... 3
KOLAS, Korean Laboratory Accreditation
Scheme.........................................................27
KSNSU, Komite Standar Nasional Satuan
Ukuran......................................................... 15
Lembaga Pembina SNSU................................15
LG................................................................... 27
LIPI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia..15
LMN, lembaga metrologi nasional........... 15, 20
Lord Kelvin..................................................... 31
LPND, Lembaga Pemerintah Nondepartemen
................................................................... 119
Metrik, Satuan Sistem Metrik......................... 15
Metrologi...........................................................3
Metrologi ilmiah......................................... 5, 10
143
Metrologi industri......................................... 5, 9
Metrologi legal..............................................5, 8
NARL, National Analytical Reference
Laboratory................................................... 74
NATA, National Association of Testing
Authorities................................................... 24
NCSLi, National Conference of Standards
Laboratory..................................................... 7
NCWM, National Conference of Weight and
Measures......................................................74
NIST, National Institute of Standard and
Technology.................................................. 18
NLMI, national legal metrology institute....... 47
NMI, national metrology institute...................47
NMIA, National Measurement Institute of
Australia – Ministry of Industry, Tourism and
Resources.....................................................74
NMIJ-AIST, National Metrology Institute of
Japan – Advance Institute of Science and
Technology.................................................. 74
NML-CSIRO, National Measurement
Laboratory – Commonwealth Scientific and
Industrial Research Organisation.................74
NSC, National Standard Commission.............74
NVLAP, National Voluntary Laboratory
Accreditation Programme............................74
OIML D1, International Document OIML D1. 6
OIML, Organisation Internationale de
Metrologie Legale..........................................4
Ordonansi Tera................................................14
Otoritas metrologi legal.................................. 20
Otoritas metrologi nasional.............................40
OWM, Office of Weight and Measures.......... 74
P2K-LIPI, Pusat Penelitian Kimia, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia......................132
PAC, Pacific Accreditation Cooperation.......... 4
Panitia Induk untuk Meter dan Kilogram....... 15
PASC, Pacific Area Standard Conference........ 4
Pengelolaan standar pengukuran nasional...... 20
Naskah Akademik 20080211b.odt
144
Pengelolaan teknis ilmiah standar pengukuran
nasional........................................................ 15
Pertamina........................................................ 15
PTKMR-Batan, Pusat Teknologi Keselamatan
dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir
Nasional..................................................... 132
Puslit KIM, Pusat Penelitian Kalibrasi,
Instrumentasi dan Metrologi........................27
Samsung.......................................................... 27
Satuan non-SI..................................................90
Satuan tambahan............................................. 90
SI Brochure..................................................... 90
SI, Sistem Internasional Satuan.................. 2, 15
SIM, Sistema Interamericano de Metrologia.. 58
Sinasiptek, Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Pengawasan Ilmu
Pengetahuan.................................................34
SNSU, Standar Nasional Satuan Ukuran........ 15
SPBU, stasiun pengisian bahan bakar umum..15
Undang-undang metrologi di dunia.................. 6
UNIDO, United Nations Industrial
Development Organization............................6
UTTP, Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang dan
Perlengkapannya........................................100
UUML, Undang-Undang Metrologi Legal atau
UU No. 2 Tahun 1981................................. 15
VIM, International Vocabulary of Basic and
General Terms in Metrology......................... 3
VML, International Vocabulary of Terms in
Legal Metrology/......................................... 63
WHO, World Health Organization................... 7
WMO, World Meteorogical Organization........ 7
WSSD, World Summit on Sustainable
Development..................................................6
WTO-TBT, World Trade Organization
Agreement on Technical Barrier to Trade1, iii
WTO, World Trade Organization..................... 1
X 27.................................................................15
145
Download