laporan 2013 - Universitas Negeri Jakarta

advertisement
/'..:
(12
1
\_-/
LAPORAI\ PENELITIAN JURUSAN
Ekspression Protein Metallothionein on
Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridk
Caused by Bioacumulation of Heavy Metal
,\z=
strtu
Dr. Yulia lrnidayanti, M. Si
Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyara kat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
I)engan nomor kontrak : 1 7/SPK/PEI\[ELITIAN/6.FMIPA/2013
Jurusan Biologi
Fakultas Matematikadan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta
20t3
LAPORAN PENELITIAN JURUSAN
Ekspression Protein Metallothionein on
Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis
Caused by Bioacumulation of Heavy Metal
Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si
Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Dengan nomor kontrak : 17/SPK/PENELITIAN/6.FMIPA/2013
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Jakarta
2013
Ringkasan
Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling tercemar di Asia akibat limbah industri
dan rumah tangga.Pada saat ini terdapat sekitar lima juta jenis bahan kimia yang telah
diidentifikasi dan dikenal 60.000 jenis diantaranya sudah dipergunakan dan ribuan jenis
lagi, bahan kimia baru setiap tahun diperdagangkan secara bebas. Salah satu dari limbah B3
tersebut adalah logam berat.Sifat beracun dan berbahaya dari logam berat ditunjukan oleh
sifat fisik dan kimia bahan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Kontaminasi logam berat telah mengarah ketingkat polusi dan dapat menyebabkan
keacunan terhadap organisme yang hidup di laut, bahkan dapat merusak organisme sampai
pada tingkat seluler dan mungkin mempengaruhi keseimbangan ekologi. Berbagai cara
telah dilakukan untuk mengukur dampak kerusakan lingkungan, diantaranya adalah dengan
mengukur tingkat kontaminan di lingkungan, termasuk mengukur akumulasi senyawa
toksik di dalam jaringan tubuh organisme. Respon biologis atau dikenal sebagai biomarker
merupakan indikator yang sensitif tetapi perlu prediksi yang relevan. Dalam memonitor
pencemaran logam berat, analisis biota air sangat penting artinya daripada analisis air itu
sendiri. Hal ini disebabkan kandungan logam dalam air dapat berubah-ubah dan sangat
tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan kandungan logam akan lebih
kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan
lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi. Kandungan logam dalam biota air
biasanya akan selalu bertambah dari waktu ke waktu karena sifat logam yang
bioakumulatif, sehingga biota air sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran
logam dalam lingkungan perairan.
Hasil penelitian yang diperoleh menunjkkan bahwa akumulasi logam berat di pantai
muara angke, kaliadem dan panimbang, tidak terdeteksi adanya akumulasi logam berat
tetapi hasil immunodotblot menunjukkan adanya logam berat di jaringan hepatopankreas,
insang dan otot Perna viridis, melalui reaksi antigen-antibodi protein methallotionein.
Indikator protein methallotionein jaringan kerang hijau dapat dipakai sebagai indikator
pencemaran logam.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah Nya sehingga kami dapat memberikan laporan kemajuan penelitian yang
berjudul ” Ekspression Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of
Perna viridis Caused by Bioacumulation of Heavy Metal ”.
Pada kesempatan ini kami sampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Ketua Lembaga Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas
Negeri Jakarta, atas kepercayaannya mengabulkan proposal ini.
2. Ketua BPLDH yang telah memberikan data kualitas air dari tahun 2007 sampai dengan
2013 dan melakukan uji untuk uji analisis air dari Muara Angke
3. Laoratorium Sentra Bidi, yang telah membantu untuk isolasi protein
Kami menyadari bahwa laporan ini masih kurang sempurna, oleh karena itu segala kritik
dan saran yang membangun demi penyempurnaan sangat kami harapkan, agar laporan ini
menjadi lebih sempurna.
Jakarta, 27 November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Ringkasan ...................................................................................................
i
Kata Pengantar ..............................................................................
.........
ii
Daftar isi.......................................................................................
.........
iii
Halaman pengesahan ....……………...............…………..………......
1
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
6
BAB III. METODE PENELITIAN........................................................
22
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
25
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
31
HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL:
Ekspression Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis
Caused by Bioacumulation of Heavy Metal
1. Peneliti Utama
Nama
Jenis Kelamin
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan Sekarang
Jurusan /Fakultas
Perguruan Tinggi
2. Alamat Kantor
Telp/faks
3. Alamat Rumah
4. Usul Jangka Waktu Penelitian
Anggota Peneliti
5. Pembiayaan
: Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si
: Perempuan
: 196523072001122001
: Lektor/III C
: Dosen Jurusan Biologi
: Biologi/MIPA
: Universitas Negeri Jakarta
:Jalan Pemuda No. 10 Rawamangun
Jakarta 13320, INDONESIA
: + 62 21 489 4909/ +62 21 4894909
: Jl. Tebet Barat VII-C No14
: 7 bulan
:
: Rp. 12.000.000.
Jakarta, 27 November 2013
Mengetahui,
Dekan Fakultas MIPA
Universitas Negeri Jakarta
Ketua Peneliti,
( Prof. Dr. Suyono, M.Si )
NIP. 19671218 1993 03 1005
(Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si.)
NIP. 19652307 2001 12 2001
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian
(Prof. Dr.Mulyana, M. Pd)
NIP. 196408151990031001
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Peningkatan pembangunan di segala bidang hingga saat ini, selain memberi manfaat
positif, juga dapat menimbulkan manfaat negatif terhadap lingkungan. Salah satu sektor
yang berkembang dengan pesat hingga saat ini adalah peningkatan pembangunan di bidang
industri. Perkembangan industri di daerah DKI dan sekitarnya, cukup pesat. Peningkatan
jumlah industri ini akan selalu diikuti oleh pertambahan jumlah limbah, baik berupa limbah
padat, cair maupun gas. Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang beracun dan
berbahaya (B3) dan masuk ke Teluk Jakarta melalui 13 DAS (Daerah Aliran Sungai), yang
bermuara ke perairan teluk Jakarta (Lestari dan Edward, 2004).
Teluk Jakarta dengan 13 sungai yang bermuara, pada dasarnya telah mengalami
kemunduran lingkungan.Tingkat kepadatan, aktivitas masyarakat, daya dukung, begitu
juga kegiatan masyarakat yang terus meningkat, semua hasil kegiatan aktivitas tersebut
bermuara ke Teluk Jakarta. Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling tercemar di Asia
akibat limbah industri dan rumah tangga (anon, 2004), karena kandungan 13 sungai
tersebut yang sangat tinggi jumlahnya, dan kemudian terakumulasi di perairan teluk
Jakarta.
Hasil pemantauan BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah) Jakarta
terhadap 13 sistem saluran sungai di DKI Jakarta, menunjukkan kondisi kualitas air di 13
sungai itu sudah melebihi ambang batas baku mutu. Angka pencemaran tertinggi terjadi di
kawasan Jakarta Utara, dari 14.29 persen di tahun 1999, kini sudah mencapai 68.75 persen.
Pencemaran logam pun terjadi pada air tanah, seperti besi dan mangan.
Sebanyak 217 industri yang berada di sepanjang aliran Sungai Citarum, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat, disinyalir turut bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran di
Sungai Citarum yang berlanjut ke Teluk Jakarta. Ke-217 industri yang terletak di daerah
Rancaekek dan Majalaya, Kabupaten Bandung, itu diduga tidak mengoperasikan instalasi
pengolahan air limbah secara benar. Bahkan, beberapa industri diduga kuat membuang
limbahnya secara langsung ke sungai Citarum tanpa di proses di instalasi pengolahan air
limbah.
Sungai merupakan satu-satunya prasarana paling mudah bagi masyarakat untuk
melakukan berbagai aktivitas, seperti mandi cuci kakus (MCK), transportasi dan lainnya,
termasuk membuang sampah rumah tangga dan limbah industri. Dua aktivitas terakhir,
membuang sampah rumah tangga dan limbah industr, merupakan faktor utama terjadinya
pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat
serius untuk ditangani, karena merugikan lingkungandan ekosistem secara umum
Salah satu dari limbah B3 tersebut adalah logam berat. Kehadiran logam berat
sangat mengkhawatirkan, terutama yang bersumber dari pabrik atau industri. Sifat beracun
dan berbahaya dari logam berat ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia bahan, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Masuknya limbah ini, ke perairan laut telah menimbulkan
pencemaran terhadap perairan. Diperkirakan dalam sehari lebih dari 7.000 m3 limbah cair
termasuk diantaranya yang mengandung logam berat yang dibuang melalui empat sungai
yang melintasi wilayah Tangerang. Sungai-sungai tersebut bermuara ke Teluk Jakarta,
sehingga dapat meningkatkan kadar logam berat dalam air laut.
Ribuan nelayan di sekitar Cilincing, Jakarta Utara, tak bisa melaut karena air laut
Teluk Jakarta tercemar limbah kimia sehingga berwarna merah kecoklatan. Akibat
pencemaran limbah tersebut, ikan, kepiting, udang, dan bahkan kerang hijau yang sengaja
dibudidayakan nelayan mati mengambang. Air laut berwarna biru meskipun banyak
sampah plastik, kayu, dan kertas yang mengapung di laut. Air di Muara Kamal dan Dadap
Muara berwarna hitam dan kecoklatan serta tampak berminyak. Belum lagi sisa aktivitas
akibat pembangunan reklamasi yang terjadi di sepanjang pantai Teluk Jakarta yang
merusak ekosistem dan sumberdaya didalamnya.
Jadi pada dasarnya perkembangan industri di Jakarta telah menghasilkan
kontaminasi logam berat di pantai teluk Jakarta. Kontaminasi logam berat telah mengarah
ketingkat polusi dan dapat menyebabkan keacunan terhadap organisme yang hidup di laut,
bahkan dapat merusak organisme sampai pada tingkat seluler dan mungkin mempengaruhi
keseimbangan ekologi. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengukur dampak kerusakan
lingkungan, diantaranya adalah dengan mengukur tingkat kontaminan di lingkungan,
termasuk mengukur akumulasi senyawa toksik di dalam jaringan tubuh organisme. Respon
biologis atau dikenal sebagai biomarker merupakan indikator yang sensitif tetapi perlu
prediksi yang relevan.
Beberapa indikator yang biasa diukur adalah protein metalotionin, merupakan
indikator khusus terhadap logam berat di dalam jaringan; stabilitas lisosom, merupakan
indikator umum terhadap stress; hambatan asetilkolin esterase, sebagai marker terhadap
pemaparan organofoforus dan pestisida karbamat (Ukamaka et al., 2010).
Organisme mempunyai kemampuan untuk mendetoksifikasi logam. Logam berat
yang masuk ke dala tubuh akan terdistribusi sesuai dengan afinitasnya. Dalam konsentrasi
tinggi akan bersifat toksik bagi sel karena ion logam dapat bertindak sebagai oksidan dan
berikatan dengan molekul organik dan protein. Ion logam tersebut akan ditransfer ke dalam
sitoplasma sel. Di dalam sitoplasma ion logam akan berikatan dengan protein Metalotionin,
sehingga terakumulasi di dalam sel.
Dengan demikian protein Metalotionin berperan
sebagai sarana detoksifikasi karena menimbun logam.
Phylum Molusca, klas bivalvia merupakan hewan yang dapat dipakai sebagai
biomonitoring lingkungan perairan dan sebagai objek dalam penelitian ini. Beberapa dari
kelas Bivalvia, biasanya merupakan sumber bahan makanan dan banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Salah satu dari kelad tersebut adalah jenis kerang. Kerang banyak disukai
bahkan dieksport ke berbagai negara untuk dikonsumsi, karena mengandung banyak
protein dan lemak. Jenis kerang yang sering menjadi konsumsi masyarakat, yaitu kerang
hijau (Mytilus viridis), kerang darah (Anadara granosa), dan kerang bulu (Anadara
antiquata).
Jenis kerang banyak digunakan sebagai indikator pencemaran logam. Hal ini
disebabkan karena kerang dapat mengakumulasi logam dan mendetoksifikasi dibandingkan
dengan hewan air lainnya, hidupnya yang menetap, lambat untuk menghindarkan diri dari
pengaruh polusi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap logam tertentu. sifat
bioakumulatif inilah yang menyebabkan kerang harus diwaspadai bila dikonsumsi terus
menerus (Darmono, 2001).
Mengingat kemampuan dari berbagai invertebrata untuk mengakumulasi logam
berat beracun sangat bervariasi, maka spesies laut ini dapat dipakai sebagai indikator untuk
mempelajari tingkat polusi pada ekosistem perairan (George dan Olsson, 1994).
Kemampuan pengikatan ion logam sangat tergantung dari ekspresi protein metalotionin
(MTs). Ekspresi Metalotionin itu sendiri tergantung pada regulasi logam yang masuk ke
dalam tubuh (Lemoine et al., 2000). Struktur Metalotionin dan regulasi sintesis dianggap
mendasar dan merupakan bentuk adaptasi organisme terhadap keberadaan logam di
lingkungan.
Bukti sebagai kepedulian terhadap kesehatan masyarakat, tentang pencemaran
logam pada biota yang berhubungan dengan warga Jakarta, dimana masyrakat banyak yang
mengkonsumsi seafood dengan kandungan protein tinggi dan harga murah, maka dilakukan
suatu penelitian.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
Apakah polutan logam berat di Muara angke pantai utara Jawa berpengaruh terhadap
ekspresi protein Metalotionin ?
1. 3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui polusi logam berat di Muara
angke, pantai utara jawa melalui ekspresi protein Methalothionin yang terdapat pada kerang
hijau, sebagai protein bioindikator terhadap logam berat, tentunya dapat mempengaruhi
keberdaan dan distribusi kerang tersebut terhadap kelangsungan hidup hewan tersebut.
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui ekspresi protein methalotionin pada
organ-organ hepatopankreas, insang dan otot sebagai bioindikator pencemaran lingkungan.
1. 4. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat diambil
suatu hipotesis bahwa: Polusi logam berat di Muara angke pantai utara Jawa berpengaruh
terhadap ekspresi protein Metalotionin pada kerang hijau (Perna viridis)
1. 5. Pembatasan Masalah
Penelitian ini terbatas hanya pada ekpresi protein Metalotionin dari kerang hijau,
sebagai indikator pencemaran lingkungan.
1. 6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan sebagai risk assessment
kepada Pemda DKI, LSM, pihak Industri dan masyarakat dalam mengelola kegiatan
industri-industri yang ada di Jabotabek yang berwawasan lingkungan serta menerbitkan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tentang Metalotionin
Metalotionin (MTs) ditemukan pada tahun 1957 oleh margoshes dan Vallee pada
korteks ginjal kuda, sebagai protein yang terikat pada kadmium. Nama MTs disebabkan
adanya kandungan logam (metal) dan sulfur yang terikat pada protein tersebut, yang
berkontribusi melebihi 20% dari berat MTs.
MTs merupakan asam amino non aromatik dan stabil terhadap panas, non enzimatis
dengan berat molekul rendah sekitar 6-7 kDa, terdiri dari rantai polipeptida yang
mengandung 61-68 asam amino, dimana sekitar 30% dari asam amino tersebut berupa
residu sistein. Gugus tiol (-SH) merupakan bagian sangat penting dari struktur MTs karena
pada gugus, semua ion logam terikat dengan residu sistein (Coyle et al., 2002).
Protein MTs banyak ditemukan pada hewan invertebrata, terutama moluska
(Roesijadi, 1962: Engel and Brouwer, 1993; Barka, 2000; Amiard et al., 2006), dan
crustaceae, Annelida. Kelompok hewan tersebut secara ekologi merupakan kelompok
invertebrata akuatik yang sangat penting.
Karakteristik
protein MTs yang
paling penting dan mendasar terletak pada
kandungan sistein yang tinggi. Pada Mamalia terdapat 20 residu sistein (33%) dari total 61
asam amino konstitutif. Semua molekul sistein ini mempunyai afinitas yang tinggi untuk
mengikat 7 logam kadmium (Cd) atau seng (Zn). Tujuh logam Cd tersusun pada gugus
logam polinuklear yang terpisah, dimana satu gugus terdiri dari 3 logam Cd dan satu gugus
lagi terdiri dari 4 logam Cd (gambar1). Gugus 3 logam Cd membentuk struktur cincin
sikloheksana dan memerlukan 9 asam amino sistein, sedangkan gugus 4 logam Cd
membentuk struktur bicyclo dan memerlukan 11 asam amono sistein. Pada gugus 4 logam
tersusun atas 31-61 residu COOH terminus. Pengikatan logam pada setiap gugus terjadi
secara teratur, dimana pengikatan pertama dimulai pada gugus 4 logam Cd. Setelah
pengikatan tersebut jenuh, maka pengikatan selanjutnya terjadi pada gugus 3 logam Cd.
Pengikatan setiap gugus logam terjadi secara teratur, begitu pula dengan pelepasan logam.
Pelepasan logam, pertama kali terjadi pada gugus 3 logam Cd, karena gugus 3 logam lebih
labil sehingga lebih mudah melepaskan ion Cd dibandingkan dengan Cd yang terikat kuat
pada gugus 4 logam (Klaassen et al., 1999). Karakteristik MTs
pada crustacea,
mengandung 18 residu sistein dari total 58-60 asam amino pada MTs (Binz dan Kagi,
1999).
Gambar 2.1. Sifat domain MTs. 3 dan 4 atom Cd terikat masing-masing pada
domain α dan β dari MTs (Klaassen et al., 1999)
Model struktur susunan MTs dibedakan menjadi tiga macam, yaitu model Cys-Cys,
model Sys-X-Cys dan model Cys-X-Y-Cys, dimana X dan Y adalah asam amino yang
bukan sistein. Berdasarkan struktur tersebut maka terdapat 3 kelompok MTs, yaitu kelas
MTs I, kelas MTs II dan kelas MTs III. Pada kelas MTs I dijumpai pada mamalia, beberapa
moluska (tiram, oyters, lobster) dan krustase, di mana sistein terikat pada semua rantai
asam amino dari protein MTs. Kelas MTs II, jumlah sistein yang terikat pada rantai asam
amino dari MTs berkurang. Kelas MTs III, terdiri dari protein non MTs, yang dikenal
dengan nama phytochelatins (Binz dan Kagi, 1999). Metalotionin kelas I dan II mempunyai
15 famili. Tipe protein MTs pada moluska, termasuk ke dalam kelas I, famili ke 2.
Fungsi dari MTs masih diperdebatkan banyak orang. Para peneliti telah mengetahui
beberapa peran dari protein tersebut yaitu mampu mengikat logam, yang diperlukan dalam
mengontrol homeostasis logam essensial (Cu, Zn). Peran tersebut diperlukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan enzimatik dan metabolisme di dalam sel. Peran lain MTs, terlibat
dalam proses detoksifikasi terhadap kelebihan logam essensial dan non sessensial yang
terdapat di dalam tubuh. Hal ini diperlukan untuk mengatur konsentrasi intraseluler ion
logan Zn dan ion logam lainnya. Overekspresi MTs atau Sintesis protein MTs dapat
mempengaruhi transkripsi, replikasi dan sintesisi protein lainnya.
Selama lebih dari 30 tahun, jaringan dari spesies moluska telah dianalisis secara
kimia untuk mendeteksi dan memantau polutan dalam lingkungan laut. Namun, analisis
kimia, air, sedimen atau organisme, hanya memberikan pemahaman terbatas tentang
kesehatan lingkungan karena konsekuensi ekologis dari suatu polusi bersifat biologis,
bukan bersifat kimiawi (Bayne 1976). Oleh karena itu fokus saat ini telah bergeser dari
analisis kandungan logam dalam jaringan kerang menuju pengembangan biomarker untuk
pencemaran, seperti MTs.
Hewan air jenis kerang-kerangan (Bivalvia) atau jenis binatang lunak (Mollusca)
pergerakannya sangat lambat di dalam air. Mereka biasanya hidup menetap di suatu lokasi
tertentu di dasar air. Hal inilah yang mengakibatkan kerang mampu mengakumulasi logam
lebih berat dari pada hewan air lainnya, terutama pada konsentrasi yang melebihi batas
normal. Organisme air mengambil logam berat dari aliran air atau sedimen dan
memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari lingkungan.
Akumulasi melalui proses ini disebut bioakumulasi. Kemampuan organisme air dalam
menyerap (absorpsi) dan mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu
melalui saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit
(Darmono, 2001). Sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme air melalui
rantai makanan dan hanya sedikit yang diambil air. Akumulasi dalam tubuh organisme air
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan akumulasi, sifat
organisme (jenis, umur dan ukuran) dan lamanya pernapasan.
Kelompok moluska, terutama kerang, dapat bertahan hidup pada lingkungan yang
terkontaminasi oleh logam berat dan juga hewan tersebut mempunyai kemampuan untuk
mengekspresikan level logam yang berbeda beda. Kemampuan tersebut dapat tercermin
dari ekspresi protein metalotionin. Protein ini akan terekspresi karena induksi logam berat.
Sintesis Metalotionin diatur oleh gen-gen polimorfik dan diinduksi oleh banyak faktor,
seperti logam, hormon, sitokin, obat, stress fisik dan stress oksidatif. Meskipun MTs
merupakan protein sitoplasma, protein ini dapat juga diakumulasi dalam lisosom dan
selama perkembangan juga dapat terlihat di dalam inti sel. Peran MTs sebagai biomarker
pada
molusca, crustaceae dan Annelida, merupakan kunci utama adaptasi
terhadap
paparan logam, dimana memberikan kontribusi yang besar pada ekosistem muara dan
pesisir, biomassa, struktur dan fungsi ekosistem.
2.2.
Dampak Logam Berat Terhadap Kerang Hiaju
Pengembangan prosedur untuk studi eksperimen ekspresi protein MTs pada hewan
air terutama invertebrata, di Indonesia relatif masih baru. Moluska seperti kerang dan tiram
umumnya digunakan dalam program pemantauan lingkungan karena kemampuan mereka
untuk beradaptasi yang relatif tinggi terhadap bahan kimia. Pada berbagai Spesies moluska,
induksi MTs telah dipelajari secara rinci terutama pada tiram, Crassostrea virginica.
Spesies ini memiliki protein MTs (Casterline dan Yip, 1975) yang dapat mengikat logam
Cd, Cu, Zn sampai dengan 50% dari Cd selular dan hasil induksi (Roesijadi dan Klerks,
1989). Oleh karena itu, hewan moluska dapat dipakai sebagai bioindikator lingkungan.
Bioindikator memberikan informasi tentang kualitas lingkungan dan kondisi aktual dari
suatu organisme atau ekosistem. Sedangkan melalui ekspresi protein MTs dapat dipakai
sebagai biomarker yang dapat memberikan bukti terhadap paparan polutan kimia, dan
mungkin (atau tidak mungkin) juga menunjukkan efek beracun pada hewan tersebut.
Organ pada hewan moluska, yang respon terhadap logam berat diantaranya
hepatopankreas, merupakan kombinasi hati, pankreas dan usus.
Organ ini berfungsi
dalam proses metabolisme, terutama untuk absorpsi, pencernaan, penyimpanan, sekresi dan
bahkan untuk proses detoksifikasi senyawa toksik dan bahan polutan (Chaceci, 1988;
Bhavan dan Geraldine, 2000). Selain itu terdapat organ lainnya yang juga menarik untuk
diteliti yaitu insang. Insang merupakan organ tempat pelaluan polutan pertama kali masuk
kedalam tubuh. Oleh karean itu kedua organ tersebut dapat dipakai sebagai bioindikator
kerusakan lingkungan melalui biomarker ekspresi protein metalotionin.
proses penyaringan pada bivalvia masuk melalui empat sifon inkuren dan tersaring
di insang. Penyusun utama lapisan membran insang adalah epitel pipih selapis dan
berhubungan langsung dengan sistem pembuluh, dan diduga logam berat yang masuk
bersamaan dengan partikel makanan mengalami difusi melalui membran insang dan
terbawa aliran darah (Barnes, 1980). Insang bivalvia, termasuk P.viridis mempunyai mucus
atau lendir yang penyusun utamanya adalah glikoprotein. Diduga logam tersebut terikat
dengan protein menjadi metallothienin. Oleh karena sifat mukus insang yang mengalami
regenerasi, maka logam berat (termasuk kadmium) yang telah terikat pada mucus insang
turut terlepas dari tubuhnya (Overnell dan Sparla, 1990). Masih terkait dengan mekanisme
filter-feeder, aliran air laut akan berlanjut menuju ke labial palp dimana pada bagian
tersebut akan melalui
beberapa proses penyaringan dengan cilia-cilia. Partikel yang
berukuran kecil akan lolos, sementara yang berukuran besar akan dikeluarkan kembali
melalui sifon-inkuren dalam bentuk pseudofeces (Pechenik, 2000). Hal ini juga diduga
merupakan salah satu faktor menurunnya konsentrasi kadmium seiring dengan
membesarnya ukuran tubuh. Faktor ketiga terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh
Cheney (2007), dimana tiram Crassostrea sp. yang dibudidayakan di Willapa Bay
mengakumulasikan kadmium lebih banyak pada masa pertumbuhan tahun pertama dan
kedua dalam siklus hidupnya. Sementara tahun ketiga dan keempat justru mengalami
penurunan. Diduga karena adanya tingkat kejenuhan organisme tersebut dalam
mengakumulasikan kadmium. Oleh karena itu, diduga juga bahwa tingkat akumulasi logam
berat sangat bergantung pada jenis spesies. Batas asupan harian (ADI) P.viridis yang
diperoleh di Surabaya adalah ± 254 dan ± 2128 individu untuk ukuran besar dan kecil,
sedangkan di Madura adalah ± 293 dan ± 1993 individu. Selain logam berat, level MTs
pada bivalvia juga dipengaruhi oleh musim, jenis kelamin, ukuran/umur kerang (Corina et
al., 2004).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wu dan Wang (2011), menggunakan
teknik H-NMR
menunjukkan bahwa paparan Cd pada 20 mg/L dapat menyebabkan
gangguan metabolisme energi, gangguan osmolaritas dan gangguan pada fungsi sistem
saraf pada kerang hijau. Dampak lainnya yang ditimbulkan oleh paparan Cd adalah pada
jaringan otot adduktor, berupa perubahan
metabolisme, berupa peningkatan kadar
glutamin, glutamat, dan laktat serta berkurangnya asam amino rantai cabang (valin, leusin ,
isoleusin, aspartat, fenilalanin, tirosin. Jaringan otot menunjukkan mekanisme toksisitas
yang berbeda dari kelenjar pencernaan sehingga otot adduktor kurang sensitif dari pada
kelenjar pencernaan. Meskipun kurang sensitif, tetapi jaringan otot adduktor masih
menunjukkan sifat toksisitas dan organ ini masih perlu diteliti.
Peningkatan MTs oleh paparan Cd berpengaruh terhadap bioakumulasi Cu, hal ini
disebabkan MTs memiliki afinitas tinggi terhadap Cu dari pada Cd dan tidak untuk
meningkatkan bioakumulasi Zn, karena afinitas Zn rendah terhadap MTs dibandingkan
dengan Cd (Vasa´k M. 1991). Kedaan tersebut menyebakan terjadi persaingan antara
logam essensial dengan non essensial. Peran Zn di dalam tubuh yang diperlukan sebagai
antioksidan untuk
mencegah
kerusakan oksidatif
(Bray dan
Bettger, 1990), untuk
menghambat apoptosis sel yg disebabkan Cd dan menghasilkan spesies oksigen reaktif
(ROS), akan mengalami gangguan.
2.3.
Mekanisme Regulasi Protein Metalotionin
Mekanisme detoksifikasi logam berat di dalam tubuh hewan kerang terutama
dilakukan oleh organ hepatopankreas. Hal ini tidak meutup kemungkinan bahwa logam
berat juga di detoksifikasi oleh organ seperti insang dan otot. Organ tersebut merupakan
organ yang pertama kali di lalui oleh aliran air yang mengandung logam berat.
Ion logam yang masuk ke dalam tubuh adalah ion yang memang diperlukan dan penting
untuk membantu proses metabolisme di dalam tubuh. Ion logam tersebut adalah ion logam
essensial. Jika ion logam non essensial (Cd, Hg atau Ag) masuk ke dalam sel, maka
kompetisi akan terjadi di antara ion-ion logam essensial dan non essensial (Cu, Zn), untuk
memperebutkan ligan intraselular. Oleh karena itu peran dari
metaloprotein tersebut,
sebagai detoksifikasi terhadap logam non essensial yang masuk ke dalam tubuh. Regulasi
gen
Metalotionin (MTs) oleh logam berat diperantarai oleh inhibitor, yang sensitif
terhadap Zn, berinteraksi dengan faktor transkripsi aktif secara konstitutif (gambar 2.1).
Metalotionin, berperan juga sebagai antioksidan, terutama dijumpai pula pada eukariotik,
sebagai pelindung terhadap radikal bebas hidroksi. Peran sebagai antioksidan,
mekanismenya diperantarai oleh program kematian sel dan ini telah diamati bahwa ekspresi
MTs diatur oleh level oksigen disekitarnya (Thirumoorthy et al., 2007).
Gambar 2.2. Model induksi ganda MTs dan Penyelamatan terget ligan melalui
pengikatan logam yang sesuai, Cd sebagai contoh. (MTs : Metalotionin,
MRF : Metal Transkripsi faktor, MTI ; Metal Transkripsi Inhibitor) by
Roesijadi, 1996).
Pada (gambar 2.2) menjelaskan regulasi dan fungsi MTs di dalam tubuh. MTs
promotor memiliki banyak elemen respon yang mengatur transkripsi, yaitu 1) Metal
Response Elements (MRE), diaktifkan oleh Metal-Responsive Transcription Factor (MTF-
1) setelah mengikat Zn, yang berasal dari pool Zn, 2) Glucocorticoid Response Elements
(GRE); 3) elemen yang diaktifkan oleh STAT (Signal Transducers and Activators of
Transcription) protein melalui sinyal sitokin, dan 4) Antioksidan (atau elektrofil)
Gambar 2.2. Ikhtisar regulasi dan fungsi Metallothionein (MTs)
Respon Elemen (ARE) yang aktif terhadap teaksi redoks. Metilasi dapat mengurangi
ekspresi beberapa sel tumor. Pool Zn seluler dipengaruhi oleh asupan seng makanan dan
aktivitas transport Zn da berfungsi sebagai sumber Zn terikat MT. Zn mengikat MT
menunjukkan stabilitas termodinamika tinggi dan juga labilitas kinetik tinggi. Apo MT
(thionein) dan Zn7 MTs berfungsi sebagai penyumbang Zn, secara bergantian. Apo MT
lebih cepat terdegradasi dari Zn7 MT. Berbagai site koordinasi seng pada protein
memberikan kesempatan level MTs seluler untuk mempengaruhi berbagai proses utama,
termasuk regulasi gen, proliferasi sel dan diferensiasi, transduksi sinyal dan apoptosis, serta
pengaruh kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh stres oksidatif dan elektrofil (Davis and
Cousins, 2000). MTs dapat meningkatkan serapan Cd dan / atau mengurangi pelepasan Cd
oleh kerang (Liu dan Wang, 2011.a.b)
Cu dapat di lepas secara eksponensial dan diperkirakan tergantung dari waktu
paruh jaringan. Waktu paruh Cu di dalam insang 9, 5 dan di kelenjar pencernaan serta
jaringan lainnya sekitar 14 hari. Cu yang terikat pada senyawa termostabil terlepas lebih
cepat 4-7 hari di semua jaringan daripada yang terikat pada senyawa termolabil 7-18 hari.
Menariknya, MT dengan cepat 7 dan 18 hari, hal ini menunjukkan bahwa protein MTs
aktif terlibat dalam penghapusan logam ini, melalui kompleks Cu-MT setelah turnover
secara simultan. Mekanisme turnover methallothionin sangat tinggi dibandingkan dengan
kecepatan sintesisnya (Ng et al., 2007).
Pelepasan Cu, yang lebih cepat daripada pelepasan Cd (Serafim dan Bebianno,
2007a) dan Zn (Serafim dan Bebianno, 2007b). Pelepasan tersebut terjadi melalui 2 jalur
degradasi MT berbeda. Kompleks Cu-MT diangkut ke vesikula dan dilepas oleh excytosis
(da Silva dan Williams, 2001), cara ini lebih pendek untuk waktu paruh Cu dibandingkan
dengan logam lain. Cara kedua melalui transfer kompleks Cu-MT ke lisosom, diperkirakan
waktu paruh Cu adalah 10-12 hari. Sementara cara kedua tidak dapat terjadi pada kompleks
Cd-MTs karena Cd terikat oleh MTs sangat kuat dibanding dengan logam lainnya sehingga
waktu paruhnya mencapai 4 bulan ( Serafim dan Bebianno, 2009).
2.4.
Distribusi Logam Berat di dalam Tubuh Hewan
Tingkat pencemaran laut di Indonesia masih sangat tinggi. Pencemaran berat
terutama terjadi di kawasan laut sekitar dekat muara sungai dan kota-kota besar. Tingkat
pencemaran laut ini telah menjadi ancaman serius bagi laut
Logam-logam beracun yang terdapat dalam air dan sedimen ekosistem pantai yang
tercemar ini, berpeluang masuk ke dalam tubuh hewan seafood seperti : kerang, kepiting,
udang dan ikan. Informasi tentang adanya kandungan logam-logam beracun dalam seafood
bercangkang (shellfish) yaitu kerang-kerangan dan udang-udangan sudah banyak
dilaporkan oleh para peneliti di berbagai wilayah didunia.
Daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada
spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu
untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi. Toksisitas pada spesies biota dibedakan
menurut kriteria sebagai berikut : biota air, biota darat, dan biota laboratorium. Sedangkan
toksisitas menurut lokasi dibagi menurut kondisi tempat mereka hidup, yaitu daerah
pencemaran berat, sedang, dan daerah nonpolusi. Umur biota juga sangat berpengaruh
terhadap daya toksisitas logam, dalam hal ini yang umurnya muda lebih peka. Daya tahan
makhluk hidup terhadap toksisitas logam juga bergantung pada daya detoksikasi individu
yang bersangkutan, dan faktor kesehatan sangat mempengaruhi (Palar, 1994).
Pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur
komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi.
Organisme air sangat dipengaruhi oleh keberadaan logam berat di dalam air,terutama pada
konsentrasi yang melebihi batas normal. Organisme air mengambil logam berat dari badan
air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-1000 kali lebih besar dari
lingkungan. Akumulasi melalui proses ini disebut bioakumulasi. Kemampuan organisme
air dalam menyerap (absorpsi) dan mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa
cara, yaitu melalui saluran pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan
kulit (Darmono, 2001). Sebagian besar logam berat masuk ke dalam tubuh organisme air
melalui rantai makanan dan hanya sedikit yang diambil air. Akumulasi dalam tubuh
organisme air dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, kemampuan
akumulasi, sifat organisme (jenis, umur dan ukuran) dan lamanya pernapasan.
Dalam moluska air, insang merupakan organ yang berhadapan langsung untuk
penyerapan logam terlarut, di mana logam terikat MTs , dimasukkan ke dalam lisosom, dan
dilepas ke plasma darah di bagian basalnya dan beredar ke hemosit. Namun, serapan
partikulat logam terutama dicapai melalui saluran pencernaan oleh endositosis , logam
lanjut ditransfer pertama yang lisosom dan kemudian ke badan sisa , terutama di sel-sel
pencernaan dari kelenjar pencernaan .
.
Gambar 2.3. Skema distribusi total Cu (Cu-pools) di antara fraksi tubuh (EPF : extrapallial
fluid; HML : hemolymph; GHL : gonads, heart, and labial palps;LP : labial
palps; F: feces; U: urine) pada A. anatina setelah paparan Cu melalui air
panah hitam (rute ke jantung) and panah abu-abu (rute dari jantung ke organ
lain) b. panah putih (rute ke jantung) and garis berat/abu-abu (rute dari
jantung ke organ lain). Panah garis berat/putih menunjukkan rute balik Cu
( Marigo´ mez et al. (2002).
Selain itu , logam dapat terakumulasi selektif dalam jenis sel tertentu. Sebagai ligan
pools berbeda dari sel ke sel, logam yang berbeda dapat disimpan dalam tipe sel yang
berbeda. Kelas "a" logam terlokalisasi dalam sel dengan butiran terdiri dari karbonat,
oksalat, fosfat, dan sulfat (donor oksigen), sedangkan "b" logam yang terkait dengan jenisjenis sel kaya sulfur dan nitrogen ligan (donor sulfur). Dalam moluska, donor oksigen
terjadi pada sel kalsium jaringan ikat dan sel basofilik, sedangkan donor sulfur yang hadir
dalam sel pencernaan, podocytes, nephrocytes, dan rhogocytes. Hemosit, yang merupakan
sistem yang paling relevan untuk transportasi logam antara jaringan, bergerak di sekitar
tubuh dan dapat menembus jaringan dan menghilangkan logam dari media dalam untuk
terakumulasi dalam lisosom sebagai produk nondigested. Rhogocytes juga berpartisipasi
dalam mobilisasi logam, akumulasi, dan pelepasan
2.5. Nilai Ekonomis Kerang Hijau (Perna viridis)
Kerang merupakan sumber bahan makanan yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat, karena mengandung protein dan lemak. Jenis kerang yang sering menjadi
konsumsi
masyarakat, yaitu kerang hijau (Mytilus viridis), kerang darah (Anadara
granosa), dan kerang bulu (Anadara antiquata) (Suwignyo, 2005). Kerang Hijau juga
merupakan salah satu sumber mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti besi (Fe),
fosfor (P) , Flour (F), iodium (I), kalsium (Ca), Kalium (K), seng (Zn), selenium (Se) dan
lain – lain. Kandungan mineral tersebut lebih mudah diserap tubuh. Mengkonsumsi
kerang secara teratur berarti mendapat asupan kalsium yang memadai, sehingga kita dapat
terhidar dari penyakit Osteoporosis dan menambah vitalitas tubuh.
Kerang hijau ini merupakan jenis kerang yang banyak dicari orang, karena dijadikan
kuliner yang menggoda selera. Kerang merupakan salah satu jenis seafood yang paling
banyak digemari dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini lebih didasarkan karena kerang
mudah didapatkan dan harganya juga terjangkau oleh lapisan golongan masyarakat pada
umumnya. Namun, untuk ekspor, Indonesia masih kalah dengan negara-negara lain karena
di dalam kerang hijau di Indonesia terindikasi racun logam berat. Cukup tingginya
konsumsi kerang ini berpengaruh pada serapan kandungan logam yang terdapat pada
kerang oleh masyarakat yang mengkonsumsinya. Kerang, remis dan tiram sering
digunakan untuk menguji tingkat polusi lingkungan. (Ibrahim et al., 1995).
Kerang hijau khususnya yang berasal dari teluk Jakarta terbukti mengadung logam
berat yang dapat membayakan tubuh bila dikonsumsi. Selama ini, kerang hijau yang berada
di perairan Teluk Jakarta, telah mengonsumsi logam berat yang berasal dari limbah industri
yang ada di sekitar Teluk Jakarta. Sehingga efek yang ditimbulkan jika makanan yang
mengandung logam berat itu dikonsumsi akan cepat berpengaruh pada tubuh. Efek
tersebut antara lain, pelambatan pada pertumbuhan dan perkembangan, kanker, kerusakan
pada organ, kerusakan mental, dan pada kasus yang ekstrim adalah kematian.
Kerang pada umumnya merupakan pemakan partikel dasar, plankton serta bahan
organik pada dasar endapan yang di filter melalui mekanisme cillia insang (Raymon, 1976).
Fungsi insang yang selain untuk pernafasan juga untuk menangkap makanan yang mana
sifat ini dikenal dengan ciliary feeder (Barnes, 1974). Selama makan, kerang menyaring
sejumlah besar air. Bila lingkungan perairan tersebut tercemar oleh logam berat, maka
logam tersebut juga akan diserap oleh kerang masuk ke dalam jaringan tubuhnya. Cara
hidup kerang ini menyebabkan kerang sangat berpotensi mengakumulasikan senyawa
pencemar yang terdeposisi di pantai yang tercemar (Whitten, et al., 1996).
Kerang Hijau (Perna viridis) adalah moluska yang mempunyai cangkang yang
simetris. Panjang cangkangnya lebih dari dua kali lebarnya, termasuk binatang lunak
(Moluska) yang hidup di laut terutama pada daerah litoral, memiliki sepasang cangkang
(bivalvia), berwama hijau egak kebiruan. insangnya berlapis-lapis (Lamelii branchia) dan
berkaki kapak (Pelecypoda) serta menempel pada benda-benda keras dengan bantuan
benang byssus yang dihasilkan oleh kelenjar kaki. Kerang hijau adalah "suspension
feeder", dapat berpindah-pindah tempat dengan menggunakan kaki dan benang "byssus",
hidup dengan baik pada perairan dengan kisaran kedalaman 1 m sampai 7 m, memiliki
toleransi terhadap perubahan salinitas antara 27-35 per mil (Power et al., 2004). Di
Indonesia jenis ini ditemukan melimpah pada bulan Maret hingga Juli pada areal pasang
surut dan subtidal, hidup bergerombol dan menempel kuat dengan menggunakan benang
byssusnya pada bendabenda keras seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras.
Kerang hijau memiliki sebaran yang luas yaitu mulai dari laut India bagian barat hingga
Pasifik Barat, dari Teluk Persia hingga Filipina, bagian utara dan timur Laut China, Taiwan
hingga Indonesia (Carpenter et al., 1998).
2. 5. Diskripsi dan Sistematika Kerang Hijau (Perna viridis)
Kerang yang dipilih pada penelitian ini
adalah kerang hijau, Perna viridis
(Linnaeus). Tempat hidup kerang hijau terutama di lingkungan a muara sampai daerah
payau dengan salinitas optimal sekitar 27 sampai 33 ppt, suhu antara 26 sampai 32°C dan
sering rentan terhadap pencemaran pesisir. Kerang hijau tahan hidup pada kekeruhan dan
polusi. Distribusi yang luas, ketersediaan sangat mudah dan mudah untuk menanganinya
sehingga hewan ini dipakai dalam penelitian, industri dan budidaya.
Kerang adalah salah satu hewan lunak (Mollusca) kelas Bivalvia atau Pelecypoda.
Secara umum bagian tubuh kerang dibagi menjadi lima, yaitu (1) kaki (foot byssus), (2)
kepala (head), (3) bagian alat pencernaan dan reproduksi (visceral mass), (4) selaput
(mantle) dan (5) cangkang (shell). Pada bagian kepala terdapat organorgan syaraf sensorik
dan mulut. Warna dan bentuk cangkang sangat bervariasi tergantung pada jenis, habitat dan
makanannya (Setyono, 2006).
Kerang hijau (Perna viridis) termasuk dalam kelas bivalvia atau pelecypoda. Barnes
(1974) mengatakan bahwa bentuk kaki pelecypoda merupaka pelebaran dari bagian tubuh
yang berbentuk pipih lateral seperti kapak kecil, disebut pelecypoda. Memiliki dua
cangkang yang tipis dan simetris yang dapat dibuka tutup; dengan umbo yang melengkung
ke depan. Memiliki persendian yang halus dengan beberapa gigi yang sangat kecil.
Cangkang Perna viridis berbentuk segitiga lonjong dengan garis-garis pertumbuhan pada
cangkang bagian luar yang jelas, dimana pada Perna viridis dewasa memiliki bysus yang
kuat untuk menempel.
Cangkang terdiri dari tiga lapisan, yakni: a) lapisan luar tipis, hampir berupa kulit
dan disebut periostracum, yang melindungi b) lapisan kedua yang tebal, terbuat dari
kalsium karbonat; dan c) lapisan dalam terdiri dari mother of pearl, dibentuk oleh selaput
mantel dalam bentuk lapisan tipis. Lapisan tipis ini yang membuat cangkang menebal saat
hewannya bertambah tua.
Bentuk cangkang kerang hijau agak meruncing pada bagian belakang, berbentuk
pipih pada bagian tepi serta dilapisi periostrakum pada bagian tengah cangkang (Gambar
2). Pada fase juvenil, cangkang berwarna hijau cerah dan pada fase dewasa warna mulai
memudar dan menjadi coklat dengan tepi cangkang berwarna hijau (Siddall, 1980).
Sedangkan pada bagian dalam cangkang berwarna hijau kebiruan. Memiliki garis ventral
cangkang yang agak cekung dan keras serta memiliki ligamen yang menghubungkan kedua
cangkang kanan dan kiri.
Klasifikasi Perna viridis Linnaeus 1758 adalah sebagai berikut:
Filum (Phylum)
: Moluska
Kelas (Class)
: Bivalvia
Sub klas (Sub Class)
: Lamellibranchiata
Bangsa (Ordo)
: Anisomyria
Induk suku(Superfamily)
: Mytilacea
Suku (Family)
: Mytilidae
Anak suku (Sub family)
: Mytilinae
Marga (Genus)
: Perna
Jenis (species)
: Perna viridis
Kerang hijau hidup pada perairan estuari, teluk dan daerah mangrove
substrat pasir lumpuran serta salinitas yang tidak terlalu
dengan
tinggi. Umumnya hidup
menempel dan bergerombol pada dasar substrat yang keras, yaitu batu karang, kayu,
bambu atau lumpur keras dengan bantuan bysus. Kerang hijau tergolong dalam
organisme/hewan sesil yang hidup bergantung pada ketersediaan zooplankton, fitoplankton
dan material yang kaya akan kandungan organik. Benih kerang hijau akan menempel pada
kedalam 1,50-11,70 meter di bawah permukaan air pada saat pasang
Gambar 2.4. Cangkang kerang hijau (Perna viridis)
tertinggi.
Cara makan maka kerang hijau termasuk dalam kelompok suspension feeder,
artinya untuk mendapatkan makanan, yaitu fitoplankton, detritus, diatom dan bahan
organik lainnya yang tersuspensi dalam air adalah dengan cara menyaring air tersebut
(Cappenberg, 2008).
2.6. Sekilas Teluk Jakarta
Sebuah teluk yang merupakan letak Kota Jakarta. Batas teluk ini antara 106.40 dan
1070, garis bujur. Teluk ini dilindungi oleh pulau-pulau kecil jenis pulau karang, karena
jumlahnya banyak disebut Kepulauan Seribu. Batas geografis Teluk
Jakarta di sebelah barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan
Tanjung Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu.
Batas geografis Teluk Jakarta terletak pada 5°48’30” - 6°10’30” Lintang Selatan
(LS) dan 106°33’ - 107°03’ Bujur Timur (BT). Secara geografis Teluk Jakarta sebelah
barat berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung
Karawang, dan di sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu
(Agnitasari, 2006).
Teluk Jakarta sebagai pintu gerbang masuk ibukota, peranannya sangat besar bagi
perkembangan perekonomian Indonesia. Berbagai sektor telah memanfaatkan wilayah ini,
baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor-sektor industri, pertambangan,
perhubungan, perdagangan kependudukan dan pertanian serta pariwisata. Kegiatan
berbagai sektor yang tidak terkendali tentunya akan mengakibatkan menurunnya kualitas
perairannya.
Menurut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD DKI
Jakarta) tahun 2004 total produksi sampah domestik di DKI Jakarta sekitar 6000 ton/hari,
dimana sekitar 85% dari jumlah tersebut mampu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) sementara 15% sisanya tercecer di selokan, sungai, lahan kosong dan jalan-jalan.
Bahan-bahan organik dan pencemar lain yang berada di kolom perairan akan turun ke dasar
perairan (sedimen), sehingga kondisi seperti ini akan mempengaruhi keanekaragaman
mikroorganisme, vertebrata dan invertebrata yang hidup di dasar perairan (Millero dan
Sohn, 1992).
Teluk Jakarta merupakan teluk dengan panjang pantai kurang lebih 38 km.
Perairan ini termasuk perairan semi tertutup dan merupakan daerah pertemuan 13 aliran
sungai yaitu, 3 sungai besar (Sungai Citarum, Sungai Bekasi dan Sungai Ciliwung) dan 10
sungai kecil (Sungai Kamal, Cengkareng Drain, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai
Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol dan Sungai
Pesanggrahan). Air sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta sudah mengalami pencemaran,
baik yang diakibatkan oleh limbah domestik, limbah industri dan limbah rumah sakit serta
sampah padat yang dibuang ke sungai. Keadaan ini mengakibatkan
Teluk Jakarta tercemar bahan organik hingga 10 km dari pantai (Kemitraan Indonesia,
2006). Kondisi ini tentu akan mengakibatkan menurunnya kualitas perairan dan yang
paling menderita akibat menurunnya kualitas perairan terutama adalah sektor pertanian
(sub sektor perikanan) yaitu dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas
sumberdaya perikanan.Muara Angke memiliki luas daerah sebesar 25, 35 Ha dengan
jumlah penduduk sebesar 2724 jiwa (tahun 1991), dan meningkat menjadi 5328 jiwa
(mengalami kenaikan 51% pada tahun 1995) (Murwanto, 2000).Muara Angke juga
merupakan salah satu wilayah yang perairannya sudah tercemar oleh logam berat
(Rochyatun, 2007). Logam berat yang terdapat dalam perairan tersebut yaitu; logam timbal
Pb. Logam berat adalah elemen kimiawi metalik dan metaloida, memiliki bobot atom, dan
bobot jenis yang tinggi, yang dapat bersifat racun bagi tubuh (SNI 7387, 2009).
Pencemaran laut oleh bahan kimia kian marak. Hal ini berdampak buruk
pada flora maupun fauna yang menghuninya. Seperti yang tejadi baru -baru ini di perairan
utara Jakarta, walaupun pihak Kantor Lingkungan Hidup Daerah (KLHD) Jakarta Utara
belum bisa memastikan dari mana asal pencemaran yang telah membunuh ratusan di
wilayah tersebut.
Dari sampel yang diambil di dua lokasi, di wilayah Kali Baru, Kecamatan
Cilincing, dan daerah di dekat proyek BKT, Marunda, Kecamatan Cilincing, ditemukan
setidaknya ada empat indikasi pencemaran yang tingkatnya sudah jauh diatas batas Baku
Mutu. Diantaranya adalah Asam Amonia, Nitrat, Chemical Oxygen Demand (COD), dan
Biological Oxygen Demand (BOD).Untuk jumlah kandungan Amonia per liter air laut, di
Kali Baru terdapat sebanyak 1,25 miligram, dan di Marunda sebanyak 0,50 miligram.
Jumlah keduanya sudah melebihi batas normal yang hanya 0,3 miligram per
liter.Sementara untuk Nitrat, di Kali Baru ditemukan sebanyak 0,1 miligram per litar, dan
di Marunda 0,05 miligram per liter. Jumlah ini jauh diatas ambang batas normal sebesar
0,008 miligram per liter.
Pencemaran juga ditemukan melalu penelitian berdasarkan kebutuhan oksigen
biologis (BOD), dan kebutuhan oksigen kimia (COD). Jika BOD dan COD menurut
standar baku mutu seharusnya hanya 10 sampai 20 miligram per liter air laut, di Kali Baru
dan Marunda masing masing sebanyak 45,40, dan 44,70 miligram per liter. Untuk COD, di
Kali Baru dan Marunda masing-masing sebesar 128,83, dan 98,08 miligram perliter.
Jadi memang sudah jelas bahwa di Jakarta Utara memang sudah terjadi
pencemaran. Pencemaran ini tentunya berdampak pada biota yang hidup di laut. Oleh
karena itu akan dilakukan penelitian terhadap hewan yang hidup disekitar pantat teluk
Jakarta, sebagai dampak polutan yang dibawa melalui 13 sungai. Hewan yang dipilih pada
penelitian ini adalah jenis kerang, yang mempunya ketahanan hidup terhadap lingkungan
tercemar dan biasa dipakai sebagai indikator kerusakan lingkngan melalui ekspresi protein
pengikat logam berat, yaitu Metalotionin. Penelitian kajian di bidang molekular terhadap
lingkungan masih jarang dan bahkan belum banyak dilakukan di Indonesia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah studi quasi eksperimental di laboratorium
(Steel dan Torrie, 1989). Dalam rangka membuktikan hipotesis, strategi penelitian secara
garis besar yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perhitungan kandungan protein total dengan maestrospektrofotometri
2. Pengamatan ekspresi protein Metalotionin secara immunodotblot dan densitometri
3.2.Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah kerang hijau (Perna viridis) yang diperoleh dari
3 tempat yaitu Muara angke, Panimbang dan Kaliadem. Pengambilan sampel secara acak
(random). Sampel pada penelitian berjumlah masing masing 5 ekor, kemudian insang, otot
dan organ hepatopankreas disimpan dalam larutan freezer suhu 20ºC untuk persiapan
immunodotblot dan densitometri, menggunakan antigen-antibodi
3.3.Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di pantai utara jawa, yaitu Muara angke, Panimbang dan Kaliadem.
Semua sampel dianalisis di laboratorium Universitas negeri Jakarta, Waktu penelitian
mulai bulan April sampai dengan bulan November 2013.
3.4.Tahap Pelaksanaan Penelitian
Isolasi protein
Kerang hijau (Perna viridis) diperoleh dari 3 wilayah yaitu Muara angke,
Panimbang dan Kaliadem. Insang, otot dan organ hepatopankreas diisolasi kemudian
disimpan dalam Cell Lytic M Reagent untuk uji protein. Organ tersebut ditimbang
sebanyak 50 mg kemudian dihancurkan dengan alat penghancur jaringan, di sentrifugasi.
Setelah terjadi pemisahan, larutan protein dipisah dari debris dan disimpan dalam -20oC.
Penentuan Kandungan Protein
Penentuan kadar protein total menggunakan alat Maestrospektrofotometri. Protein
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan konsentrasi proteinnya 100 µg/µl. Agar
semua konentrasinya sama dilakukan penambahan larutan akuades.
Immunodotblot dan Densitometri
Konsentrasi protein yang digunakan pada teknik immunodotblot sebesar 100 µg/µl.
Membran Nitroselulosa yang digunakan dalam penelitian ini, disterilisasi dan direndam
dalam larutan protein sampel otak dengan konsentrasi yang sudah ditentukan di atas.
Protein pada semua membran nitrosellosa, pada insang, hepatopankreas dan otot, dibloking
dalam 5%
skim milk, semalaman pada suhu 4°C. Membran tersebut kemudian
ditambahkan Anti bodi Metallothionin yang telah dilarutkan dalam PBST 20X.
Perendaman dengan Goat-anti mouse HRP dilakukan semalaman. Deteksi ikatan antigen
dan antibodi dilakukan dengan merendam di dalam larutan AEC. Membran akan berwarna
merah, bila terjadi ikatan antara antigen dan antibodi.
Pengukuran serapan warna
dilakukan dengan teknik densitometri, dengan mengukur serapan warna pada membran
nitroselulosa, menggunakan adobe photoshop. Data serapan hasil
pengukuran di uji
dengan uji t berpasangan pada α 0.05 dengan membandingkan dengan kontrol.
Pengukuran Berat, Panjang, lebar dan Tebal Kerang
Perhitungan berat dilakukan pada kerang hijau yang berasal dari daerah Panimbang,
Muara Angke dan Kali Adem.
Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruhi bioakumulasi logam berat pada tubuh kerang hijau
(Perna viridis), pada daerah Muara angke, Panimbang dan Kaliadem,
immunodotblot dari protein Metalotionin dengan reaksi antigen dan antibodi
melalui
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Immunodotblot Protein Metallotionin pada organ Insang, otot dan
Hepatopankreas
Berdasarkan data hasil uji kualitas air di Muara Angke dari tahun 2011 sampai
dengan 2012 menunjukkan bahwa kandungan logam berat seperti kadmium, timbal,
tembaga dan raksa tidak terdeteksi, tetapi kandungan seng pada air pasang dan surut masih
di dalam standar yang tidak begitu mengkhawatirkan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengukuran kualitas air di muara angke
pada tahun November 2013, juga menunjukkan tidak adanya kandungan logam berat
kadmium, timbal, tembaga. Kemungkinan juga tidak terdeteksi atau karena kandungan
logam berat terlarut dan mengendap di sedimen. Oleh karena itu bioindikator kelarutan
logam berat di perairan tidak dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran (tabel 1 dan
tabel 2)
Tabel 1. Hasil Uji kualitas air laut dari Muara Angke tahun 2013
No
1
2
3
4
5
6
Parameter
Timah Hitam
Kadmium
Tembaga
Nikel
Kromium
Air Raksa
Satuan
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Hasil Uji
*
*
*
*
*
*
Matoda
P3O LIPI 1997
P3O LIPI 1997
P3O LIPI 1997
P3O LIPI 1997
P3O LIPI 1997
SNI 19-6964.2-2003
Tabel 2. Hasil Uji kualitas air laut dari Panimbang tahun 2013
No
1
2
3
4
5
6
Parameter
Timah Hitam
Kadmium
Tembaga
Nikel
Cromium
Air Raksa
Ket: * tidak terdeteksi
Satuan
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Mg/L
Hasil Uji
*
*
*
*
*
*
Matoda
SNI 19-6964.2-2003
P3O LIPI 1997
P3O LIPI 1997
SNI 19-6964.2-2003
P3O LIPI 1997
P3O LIPI 1997
Masuknya limbah ke perairan laut, telah menimbulkan pencemaran. Akibat
pencemaran limbah tersebut, ikan, kepiting, udang, dan bahkan kerang hijau yang sengaja
dibudidayakan nelayan mati mengambang. Kontaminasi logam berat telah mengarah
ketingkat polusi dan dapat menyebabkan keacunan terhadap organisme yang hidup di laut,
bahkan dapat merusak organisme sampai pada tingkat seluler dan mungkin mempengaruhi
keseimbangan ekologi. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengukur dampak kerusakan
lingkungan, diantaranya adalah dengan mengukur tingkat kontaminan di lingkungan,
termasuk mengukur akumulasi senyawa toksik di dalam jaringan tubuh organisme. Respon
biologis atau dikenal sebagai biomarker merupakan indikator yang sensitif tetapi perlu
prediksi yang relevan. Dalam memonitor pencemaran logam berat, analisis biota air
sangat penting artinya daripada analisis air itu sendiri. Hal ini disebabkan kandungan logam
dalam air dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada
musim hujan kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada
musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi.
Kandungan logam dalam biota air biasanya akan selalu bertambah dari waktu ke waktu
karena sifat logam yang bioakumulatif, sehingga biota air sangat baik digunakan sebagai
indikator pencemaran logam dalam lingkungan perairan.
Pengembangan prosedur untuk studi eksperimen ekspresi protein MTs pada hewan
air terutama invertebrata, di Indonesia relatif masih baru. Moluska seperti kerang dan tiram
umumnya digunakan dalam program pemantauan lingkungan karena kemampuan mereka
untuk beradaptasi yang relatif tinggi terhadap bahan kimia.
Oleh karena itu, hewan
moluska dapat dipakai sebagai bioindikator lingkungan. Bioindikator
memberikan
informasi tentang kualitas lingkungan dan kondisi aktual dari suatu organisme atau
ekosistem. Sedangkan melalui ekspresi protein MTs dapat dipakai sebagai biomarker yang
dapat memberikan bukti terhadap paparan polutan kimia, dan mungkin (atau tidak
mungkin) juga menunjukkan efek beracun pada hewan tersebut.
Organ pada hewan moluska, yang respon terhadap logam berat diantaranya
hepatopankreas, merupakan kombinasi hati, pankreas dan usus. Organ ini berfungsi
dalam proses metabolisme, terutama untuk absorpsi, pencernaan, penyimpanan, sekresi dan
bahkan untuk proses detoksifikasi senyawa toksik dan bahan polutan (Chaceci, 1988;
Bhavan dan Geraldine, 2000). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh ternyata
ditemukan adanya pencemaran di daerah muara angke, kali adem dan panimbang, Hal
tersebut ditunjukkan oleh hasil immunodotblot pada organ hepatopankreas, insang dan otot
(gambar 4.1; 4.2; 4.3). Adanya logam berat pada tubuh hewan kerang hijau (Perna viridis)
yang ditunjukkan dengan warna merah pada kertas membran. Ini berarti terjadi ikatan
antigen dan antibodi metallothionein dengan logam berat. Mengenai jenis logam berat yang
terikat pada protein tersebut, belum dideteksi. Yang pasti
logam berat kadmium
mempunyai kemampuan untuk mengikat protein metallothionein lebih besar dari pada
logam Zn, sebagai logam essensial. Peran metallothionein sebagai protein yang terlibat
dalam metabolisme sangat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi
organisme. Peran sebagai protein reservoir dari logam seng dan tembaga sehingga protein
ini dapat mengembalikan fungsi yang tepat untuk ikatan protein- logam yang sebelumnya
tidak aktif dan menjadi aktif
setelah berikatan dengan logam (fungsi logam sebagai
kofaktor enzim). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metallothionein terlibat dakam
pertukaran ion logam essensial dan non essensial (Klaassen, 2001 dan Plaa,2007)
Gambar 4.1. Hasil Immunodotblot protein Methalotionin pada kerang Hijau (Perna
viridis) di Muara Angke (1,2,3 : organ insang; 4,5,6 : organ otot; 7,8,9 :
organ hepatopankreas)
Gambar 4.2. Hasil Immunodotblot protein Methalotionin pada kerang Hijau (Perna
viridis) di Kali adem (1,2,3 : organ insang; 4,5,6 : organ otot; 7,8,9 :
organ hepatopankreas)
Gambar 4.3. Hasil Immunodotblot protein Methalotionin pada kerang Hijau (Perna
viridis) di Panimbang (1,2,3 : organ insang; 4,5,6 : organ otot; 7,8,9 :
organ hepatopankreas)
Selain itu terdapat organ lainnya yang juga menarik untuk diteliti yaitu insang.
Insang merupakan organ tempat pelaluan polutan pertama kali masuk kedalam tubuh. Oleh
karean itu kedua organ tersebut dapat dipakai sebagai bioindikator kerusakan lingkungan
melalui biomarker ekspresi protein metallothionein. Diduga logam berat yang masuk
bersamaan dengan partikel makanan mengalami difusi melalui membran insang dan
terbawa aliran darah (Barnes, 1980). Insang bivalvia, termasuk P.viridis mempunyai mucus
atau lendir yang penyusun utamanya adalah glikoprotein. Diduga logam tersebut terikat
dengan protein menjadi metallothionein. Oleh karena sifat mukus insang yang mengalami
regenerasi, maka logam berat (termasuk kadmium) yang telah terikat pada mucus insang
turut terlepas dari tubuhnya (Overnell dan Sparla, 1990). Masih terkait dengan mekanisme
filter-feeder, aliran air laut akan berlanjut menuju ke labial palp dimana pada bagian
tersebut akan melalui
beberapa proses penyaringan dengan cilia-cilia. Partikel yang
berukuran kecil akan lolos, sementara yang berukuran besar akan dikeluarkan kembali
melalui sifon-inkuren dalam bentuk pseudofeces (Pechenik, 2000). Hal ini juga diduga
merupakan salah satu faktor menurunnya konsentrasi kadmium seiring dengan
membesarnya ukuran tubuh. Faktor ketiga terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh
Cheney (2007), dimana tiram Crassostrea sp. yang dibudidayakan di Willapa Bay
mengakumulasikan kadmium lebih banyak pada masa pertumbuhan tahun pertama dan
kedua dalam siklus hidupnya. Sementara tahun ketiga dan keempat justru mengalami
penurunan. Diduga karena adanya tingkat kejenuhan organisme tersebut dalam
mengakumulasikan kadmium. Oleh karena itu, diduga juga bahwa tingkat akumulasi logam
berat sangat bergantung pada jenis spesies (Corina et al., 2004).
Hasil penelitian yang telah dilakukan, tidak dapat membedakan konsentrasi logam
berat pada organ insang, namun hanya dapat dideteksi melalui serapan warna pada kertas
membran cellulosa. Hasil immunodotblot tersebut kemudian di lakukan densitometri ntuk
mengukur kadar serapan warna (tabel 1).
Tabel 1. Hasil Pengukuran Densitometri protein methalotionin Pada Organ
hepatopankreas, Insang dan otot di wilayah Panimbang, Muara angke dan
Kaliadem
No
1
2
3
Rata-rata
Insang
160.63
172.89
204.60
179.37
1
2
3
153.22
196.94
218.35
189.50
1
2
3
131.71
216.57
190.97
179.75
PANIMBANG
No
Otot
4
143.09
5
161.34
6
221.31
175.25
MUARA ANGKE
6
139.21
7
201.57
8
217.5
186.093
KALIADEM
4
197.97
5
245.22
6
240.16
227.78
No
7
8
9
Hepatopankreas
155.73
154.95
208.03
172.90
7
8
9
147.50
210.75
233.69
197.31
7
8
9
157.52
206.11
220.64
194.76
Pada tabel terlihat bahwa pada jaringan otot di daerah Kaliadem relatif lebih besar
dari pada di daerah panimbang dan muara angke. Namun demikian ketiga wilayah tersebut
terpapar oleh logam berat dan yang paling tercemar di wilayah Kaliadem. Jaringan otot
menunjukkan mekanisme toksisitas yang berbeda dari kelenjar pencernaan sehingga otot
adduktor kurang sensitif dari pada kelenjar pencernaan. Meskipun kurang sensitif, tetapi
jaringan otot adduktor masih menunjukkan sifat toksisitas dan organ ini masih perlu diteliti.
Toksisitas pada organ otot di Kali adem, menunjukkan peningkatan serapan logam berat
yang relaif sangat tinggi dibandingkan dengan dua daerah lainnya. Hal ini menunjukkan
methallotionein berpengaruh terhadap bioakumulasi logam berat non essensial (kadmium),
karena afinitas Zn rendah terhadap MTs dibandingkan dengan Cd (Vasa´k M. 1991).
Kedaan tersebut menyebakan terjadi persaingan antara logam essensial dengan non
essensial. Peran Zn di dalam tubuh yang diperlukan sebagai antioksidan untuk mencegah
kerusakan oksidatif (Bray dan Bettger, 1990), untuk menghambat apoptosis sel yg
disebabkan Cd
dan menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS), akan mengalami
gangguan. Effek toksisitas di dalam tubuh suatu jenis organisme tergantung pada jumlah
adanya zat tersebut pada bagian yang rentan di dalam tubuh (Pala,2007 dan Soemirat,,
2005). Logam berat sebagai senyawa toksik dapat terakumulasi pada jaringan tubuh
terutama pada insang, hati, ginjal otot serta tulang. Meskipun logam berat tidak dapat
terdeteksi pada air di muara angke, panimbang dan kali adem, tidak dapat dipungkiri logam
berat telah terdeteksi pada organ hepatopankreas, insang dan otot.
Sifat toksisitas logam berat dan dampaknya bagi hewan akuatik tersebut juga
dipengaruhi suhu, pH, Salinitas dan oksigen terlarut dan
Suhu sebagai faktor fisik
lingkungan bukan bekerja mempengaruhi reaksi senyawa logam berat di lingkungan
perairan melainkan aktivitas mikroba biota air terhadap logam berat (Argawala,2006;
Babich dan Stotzky, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Anon., 2004, Environemntal Watch, Catatan Peristiwa Kerusakan Lingkungan, Forum
Pengendali Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta
Amiard, J. C., Amiard-Triquet, C., Barka, S., Pellerin, J., Rainbow, P. S., 2006,
Metallothionein in Aquatic invertebrates: Their Role in Metal Detoxification and
their Use as Biomarkers, Aquatic Toxicology, 76:160-202.
Bhavan, P. S.,Geraldine, P., 2000, Histopathology of Hepatopancreas and Gill of the
Prawn Macrobrachium malcomsonii Exposed to Endosulfan, Aquat. Toxicol,
50:331-339.
Binz, P. A., Kagi, J. H. R., 1999, Metallothioneine: Molecular evolution Calssification.
In: Klaassen, C., (ed), metallothionein IV, Birkhauser Verlag Basel, pp.7-13.
Barnes R. D. 1980. Invertebrate Zoology. Saunders Collage. Fourth Edition.
Barnes, R.D. 1974. Invertebrata Zoologi. 3rd Edition. W.B. Saunder Comp.Philadelphia:
870 pp.
Caceci, T., Neck, K. F., Lewis, D. H., Sis, R. F., 1988, Ultrastructure og the
Hepatopancreas of the Pasific white shrimp, Penaeus vannamei (Crustacea:
Decapoda), J. Mar. Bio. Assoc, UK 68, 323-337.
Connell, D.W., and G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencermaran
(Terjemahan). Penerbit UI Press, Jakarta.
Cappenberg, H. A. W., 2008, Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau, Oseana, Volume
XXIII, Nomor l : 33-40.
Carpenter, K. E., dan Niem, H. V., 1988, The living marine reaources of the Western
Central Pasific. Seaweeds, coral, bivalvia and gastropods. Vol. 1. Rome FAO: 686
pp.
Casterline JL, Yip G. The distribution and binding of cadmium in oyster, soybean, and rat
Liver and kidney., Arch Environ. Contam Toxicol 3:319-329 (1975).
Coyle P, Philcox JC, Carey LC, 2002, Rofe AM: Metallothionein: The multipurpose
protein. Cell Mol Life Sci, 59, 627-647.
Darmono, 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Cetakan I. Jakarta: Universitas
Indonesia. Hal. 47, 104-105, 137.
Davis, S. R. and Cousins, R. J., 2000, Metallothionein Expression in Animals: A
Physiological Perspective on Function, J. Nutr. 130: 1085–1088, 2000
Fowler, B. A., Hildebrand, C. E., Kojima, Y., Webb, M., 1987, Nomencelature of
Metallothioneins, In: Kagi, J. H. R., Kojima, Y., (Eds), Metallothionein II,
Birhauser Verlag, Basel, pp 19-22.
George, S.G., and Olsson, P.E. (1994). Metallothioneins as indicators of trace metal
pollution. In: Biomonitoring of Coastal Waters and Estuaries, 151–171.
H.P. Hutagalung, In: B. Watson, K. S. Ong, Vigers (Eds.), Proceedings. of ASEANCANADA Midterm TechnicalReview Converence of Marine Science,
Singapore, 1995, p.273.
J. H. R. Kagi, 1991, Overview of Metallothionein, Methods Emzimol, 205:613-626.
J. Pavicic, M. Skreblin, I. Kteger, M. Tusek-Znidaric dan P. Stegner, 1994, Embrio-larval
tolerance of Mytilus galloprovincialis, exposed to the elevated Sea Water Metal
Concentrations I. Toxic effect of Cd, Zn, dan Hg in Relation to the Metallothionein
level, Com. Biochem. Physiol. 107C(2): 249-257.
Kemitraan Indonesia. 2006. Pencemaran Teluk Jakarta capai Radius 60 km.
http://www.inawater.com/news/wmview.php?ArtID=390.
Klaassen, S. D., 2001, Csarett and Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons, 6th
Ed. Mc. Graw Hill, New York.
Lestari dan Edward, 2004, Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut
dan Sumberdaya Perikanan (Studi kasus kematian Massal Ikan-ikan di Teluk
Jakarta), Makara Sains, Vol 8 (2): 52-58.
Liu F dan Wang W-X. 2011. Differential roles of metallothionein-like proteins in cadmium
uptake and elimination by the scallop Chlamys nobilis. Environ Toxicol Chem
30:738–746.].
Liu F dan Wang W-X. 2011. Metallothionein-like proteins turnover, Cd and Zn biokinetics
in the dietary Cd-exposed scallop Chlamys nobilis. Aquat Toxicol 105:361–368.]
M. J. Bebiano dan W. J. Langston, 1998, Cadmium and Metallothionein turnover in
Defferent Tissues of The Gastropod Littorina litorrea, Talanta, 46: 301-313.
M. A. Serafim, R. M. Company, M. J. Bebiano dan W. J. Langston, 2002, Effect of
Temperature and Size on Metallothionein Syntesis in the Gill of Mytilus
galloprovincialis Exposed to Cadmium, Marine Environ. Res, 54: 361-365.
Mackay, E. A., Dunbar, B., Davidson, I., Fothergill, J. E., 1990, Polymorphism of
Cadmium-induced Mussel metallothionein, Experentia, 46, A36.
Mackay, E. A., Overnell, J., Dunbar, B., Davidson, I., Hunzizer, P. E., Kagi, J. H. R.,
Fothergill, J. E., 1993, Complete amino acid Sequences of five dimeric and
Monomeric Forms of Metallothionein From the Edible Mussel Mytilus edulis, Eur.
J. Biochem.
Marigo´ mez, I., M. Soto, M.P. Cajaraville, E. Angulo, and L. Giamberini. 2002. Cellular
and subcellular distribution of metals in molluscs. Microscopy Research and
Technique 56: 358–392.
Millero, F. J. dan M. L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press. USA.
Palar, 2008, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Cetakan IV. Jakarta:Rineka
Cipta. Hal. 23, 25, 53.
Plaa G. L.2007, Introduction to Toxicology: occupational and Enviromental. In Katzung
B. G. (Ed): Basic and Clinical Pharmacology, 10th Ed (International Ed), Boston,
New York: Mc Graw Hill, P. 958-970.
Power, A.J., Walker, R.L., Payne, K. and Hurley, D. , 2004. First occurrence of the
nonindigenous green mussel, Perna viridis in coastal Georgia, United States.
Journal of Shellfish Research, 23:741-744.
Roesijadi, G., 1980, Influence of Copper on the Clam Protothaca staminea:Effects on Gill
and occurrence of Copper-Binding Proteins, Biol. Bull. 158(2):233-247.
Roesijadi, G., 1981, The Significance of Low Molecular Weight, metallothionein-like
proteins in Marine Invertebrates: Current Status, Mar. Environ. Res, 4(3):167-179.
Roesijadi, G., 1986, Mercury-binding proteins from the Marine Mussel, Mytilus edulis,
Environ. Health Perspect, 65:45-48.
Roesijadi, G., 1992, Metallothioneins in Metal regulation and Toxicity in Aqatic Animals,
Aquat. Toxicol, 22:81-114.
Roesijadi G, Klerks P. A kinetic analysis of Cd-binding to metallothionein and other
intracellular ligands in oyster gills. J Exp Zool 251:1-12 (1989).
Roesijadi, G., 1994, Metallothionein Induction as a Measure of Response to Metal
Exposure in Aquatic Animals, Environmental Health Perspectives, Volume 102,
Supplement 12, pp 91-95.
Santosa, B. 2009, The Influence of Zinc Suplementation to Kidney Tubulus Damage, and
Inteference Hematopoesis System of Rat (Rattus Nuvergucus) Which Feeding
Tawas. Tesis, Pasca Sarjana UNDIP
Siddall, S.E. 1980. A clarification of the genus Perna (Mytilidae). Bull. Mar. Sci., 30 (4):
858-870.
Soares, T. M., Cautinho, D. A., Lacerda, L. D., Moraes, M. O., dan Robelo, M. F., 2011,
Mercury Acuumulation and Metallothionein Expression From Aquafeeds by
Litopenaeus Vannamei Boone, 1931 under Intensive Aquaculture Conditions, Braz.
J. Bio, Vol. 71, pp. 131-137.
S. Yatim, S. Surtipanti, S. Syamsu, E. Lubis, Majalah Batan No.12 (1979)
Suwignyo. (2005). Avertebrata Air. Jilid I. Jakarta:Penebar Swadaya.Broom, M. J., 1985.
The biology and culture of marine bivalve molluscs of the genus Anadara. In:
ICLARM Studies and Reviews. International Center for Living Aquatic Resources
Management, Manila. P. 37.
Thirumoorthy, N., K. T. Manisenthil Kumar, A. Shyam Sundar, L. Panayappan, Malay
Chatterjee, 2007, An overview Metallothionein, World J of Gastroenterol,
13(7):993-996.
Ukamaka, A. M., 2010, Metallothionein Induction in Edible Mangrove Periwinkles,
Tympanotonus fuscatus var radula and Pachhymelania aurita Exposed to Oily Drill
Cuttings, Journal Americana Science, 6 (2):
PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut
Sains.kompas.com/read/2010/05/16/12472626/Pencemaran.Laut.Indonesia.Masih.T
inggi
Yulianto, B. et al., Penelitian Tingkat Pencemaran Logam Berat di Pantai utara Jawa
Tengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah.
WU, H and WANG, W. X., 2011, Tissue-Specific Toxicological Effects of
Cadmium in Green Mussels (Perna viridis): Nuclear Magnetic Resonance-Based
Metabolimics Study, Environmental Toxicology and Chemistry, Vol. 30, No. 4, pp.
806–812, 2011
Vasa´k M. 1991, Metal removal and substitution in vertebrate and invertebrate
metallothioneins. Methods Enzymol 205:452–45
Bray TM dan Bettger WJ. 1990. Free Radical Bio Med 8:281–291.
Curtis, D.K., Jie Liu dan Supratim Choudhuri, 1999, Metallothionein: An Intracellular
Protein to Protect Against Cadmium Toxicity, Annu. Rev. Pharmacol. Toxicl,
39:267-294.
T.Y.T. Ng, P. S. Rainbow, Amiard-Triquet, C., Amiard, j. C., Wang, W. X., 2007,
Metallothionin Turnover, Cytosolic Distribution and The Up take of Cd by The
Green Mussel Perna viridis, 84:153-161.
Serafim, A. dan M.J. Bebianno, 2009, Metallothionein role in the kinetic model of copper
accumulation and elimination. in the clam Ruditapes decussatus Environmental
Research 109: 390–399
Reinhard dallinger, Burkhard berger, peter hunziger, jeremias H. R, Kgi, 1979, Metallo
thionein in snail Cd and Cu Metabolim, Nature, 388 (237-238),
Corina, M., Ciocan, Jeanette, M. R, 2004, Cadmium Induction of Metallothionein Isoforms
in Juvenile and Adult Mussel(Mytilus edulis), Environ. Sci Technol, 38:10731078.
Lampiran 1. Foto wilayah Pengambilan Sampel Penelitian
Kerang di Kaliadem
Bagan di Panimbang
Kerang di Muara Angke
Kerang diari Bagan Panimbang
HALAMAI\ PENGESAHAN
frDft:
F"r-trrssion Protein Metallothionein on Hepatopancreas, Gill and Muscle of Perna viridis
f,red br}' Bioacumulation of Heavy Metal
L
nEreliti Utama
Im
Dr. Yulia Irnidayanti, M. Si
Icnis Kelamin
Perempuan
196523072001 122001
Lektor/III C
Dosen Jurusan Biologi
XP
h&t/Golongan
I*m
Sekarang
Biologi/MIPA
.husan/Fakultas
ftrytrruan Tinggi
Universitas Ne geri Jakarta
:Jalan Pemuda No. 10 Rawamangun
J akarta, I 3 320, INDONE S IA
A AMKantor
L'st Jmgka Waktu Penelitian
+ 622t 489 49091 +6221 4894909
Jl. Tebet Barat VII-C No14
7 bulan
-{nggota Peneliti
Femb,iayaan
Rp. 12.000.000.
TeIptfrrc
-{lmd
5-
Rumah
J
akarla, 27 Novemb er 2013
".=-_
Ketua Peneliti,
MIPA
---"r
Jakarta
ft-w
(Or. Vutia trmaavantr. tvl. Sn
NrP. 19652307 2001 12 200t
8 1993 03 1005
'
' ', ,,,:ti,
'';:.'ri,i :l:'i:i_' ;r ':
"'
NrP. 1964081 5 199003 1001
Download