Kajian Sosiologis tentang Strategi Ren

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Orientasi Teoritik Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah anak seorang tukang pos, lahir di Denguin, Pyrenia
Atlantik Prancis tahun 1930 dan “menutup bukunya” pada tanggal 23 Januari 2002.
Hidup dalam latarbelakang keluarga yang sederhana, serta
lingkungan sosial,
ekonomi dan politik yang keras akibat kebijakan pemerintah tentang wajib militer
yang diikutinya, turut mempengaruhi pandangan, sikap dan tingkah laku Bourdieu
dalam berteori.
Selain itu, eksistensialisme Jean Paul Sartre dan strukturalisme Claude LeviStrauss juga cukup mempengaruhinya ketika menempuh pendidikan.1 Dalam
perkembangannya Bourdieu lebih tertarik pada Levi-Strauss dengan mengambarkan
dirinya sebagai “strukturalis lugu”.2 Seorang Strukturalis lugu inilah yang kemudian
dikenal sebagai salah satu dari sosiolog dunia.
Sebagai reaksi atas eksis strukturalisme, Bourdieu melontarkan kritiknya
bahwa, “saya berniat untuk mengembalikan aktor di dunia nyata yang telah sirna di
tangan Levi-Strauss dan para strukturalis lain…yang memandang aktor sebagai
epifenomena struktur”3. Dengan kata lain, Bourdieu berusaha mengintegrasikan
1
Mengenai Biografi Bourdieu dapat di baca dalam: George Ritzer and Douglas J. Goodman,
Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ketiga, 2009), 578-579; Haryatmoko,
Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, NovemberDesember, 2003), 6; Lihat juga, Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif
Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 41-47
2
Richard Jenkins, Pierre Bourdieu, (London: Routledge, 1992), 17
3
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi…, Ibid. 579; Lihat juga, Fauzi
Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol…, Ibid. 62
18
eksistensialisme Sartre dengan strukturalisme Levi-Strauss. Dalam hal fakta sosial,
Bourdieu juga cukup dipengaruhi oleh Durkheim. Ia menempatkan Saussure, LeviStraus, Durkheim dan Marxis dalam kelompok objektivis, sekaligus mengkritik
mereka, karena baginya tokoh-tokoh tersebut mengabaikan proses konstruksi sosial
yang digunakan aktor untuk memersepsi, memikirkan dan mengonstruksi strukturstruktur ini dan selanjutnya mulai bertindak atas dasar tersebut.
Pengintegrasian itu disebutnya sebagai strukturalisme genetik.4 Strukturalisme
genetik merupakan analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari
analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang
sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul struktur
sosial itu sendiri. Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam
lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model Marxis
yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dikatakan menjadi
infrastruktur ekonomi. Pierre Bourdieu mengemukakan pandangan bahwa lingkup
sosial dibentuk dari beragam ranah yang otonom, seperti budaya, politik, gender,
seni, dan tidak hanya ekonomi yang mendefinisikan model-model dominasi.
Strukturalisme genetik yang dikemukan oleh Bourdieu ini, bagi penulis
menarik untuk digunakan sebagai “kaca mata” dalam melakukan analisis strukturstruktur mental individu yang dikategorikan sebagai nuhu duan dalam rangka
mendapatkan pemahaman mereka tentang dominasi yang dilakukan oleh kelompok
marvutun. Analisis seperti itu, sekaligus akan mendapatkan gambaran tentang apakah
mereka terdominasi oleh mel-mel, ataukan mereka terjebak dengan cara berpikir
4
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Ibid. 579-580
19
mereka sendiri yang lebih loyal terhadap tatanan sosial budaya yang sudah terbentuk
sebagai tradisi yang harus diterima begitu saja dan tidak perlu dipertanyakan.
Dengan demikian, cara atau strategi memengaruhi dominasi tergantung dari
bagaimana mereka memandang dominasi itu. Dalam konteks seperti ini maka,
teorisasi Bourdieu yang mencoba mendamaikan “oposisi absurd antara individu dan
masyarakat”5 dengan cara berpikir rasonal6 bahwa struktur objektif dan representasi
subjektif, aktor dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara
timbal-balik (dualitas)7 menjadi bermakna. Cara berpikir rasional ini menjadi penting
digunakan untuk menginterpretasi tatanan sosial masyarakat Kei guna membuka
ruang bagi setiap aktor untuk memperebutkan modal-modal dalam ranah, tanpa
dibatasi oleh statusnya sebagai ren-ren atau iri-iri.
Bourdieu memang terinspirasi dari Marx ketika berbicara tentang tatanan
sosial melalui paradigma dominasi, namun ia kemudian membedakan dirinya dari
Marx ketika mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis yang terkait dengan
budaya. Berpedoman pada Weber, Bourdieu kemudian mengembangkan apa yang
disebut tindakan bermakna. Tindakan manusia terkait dengan reaksi atau perilaku
orang lain. Legitimasi kekuasaan Weber, oleh Bourdieu digunakan untuk
5
Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, (Cambridge:
Polity Press, 1990), 31
6
David Swartz memandang bahwa metode rasional-yang ditawarkan Bourdieu merupakan
alat dasar untuk mendorong keterputusan epistemologis dengan bentuk pengetahuan subjektivis dan
objektivis. Lihat Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (Chicago & London: The
University of Chicago Press, 1997), 62
7
Bourdieu sepakat dengan gagasan Giddens mengenai dualitas (duality). Kalau dualisme
merujuk pada pertentanan antara dua unsur – agen dan pelaku, tindakan dan struktur- yang tak bisa
dipertemukan, sedangkan dualitas mengandung pengertian adanya hubungan timbal-balik antar kedua
unsur tersebut. Anthony Giddens, Central Problem in Social Theoty, (Berkeley & Los Angeles:
University of Callifornia Press, 1997), 53; Lihat juga B. Herry Priyono, Anthony Giddens: Suatu
Pengantar, (Jakarta: KPG, 2002), 3
20
menjelaskan mekanisme-mekanisme dominasi, bahwa yang dikuasai menerima dan
merasa solider dengan yang menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan
yang ada. Jadi, ada semacam persetujuan dari pihak yang dikuasai.
Mekanisme dominasi yang dikemukakan Bourdieu di atas, mirip dengan
realitas yang terjadi pada masyarakat Ohoi Ohoiwait. Bahwa kedudukan mel dan ren
bersiat fungsional, namun dalam prakteknya terdapat kontradiksi akibat kelompok
mel-mel memaksakan kepentingannya, mendominasi dan meminggirkan kelompok
ren (nuhu duan) bahkan oleh beberapa kalangan, nuhu duan dikatakan telah punah,
tetapi realitasya beberapa orang yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun masih
tetap mengklaim diri sebagai nuhu duan karena mereka adalah keturunan raja.8
2.2. Konsep Habitus, Field dan Strategi
Dalam
pergulatannya
tentang
kekerasan
simbolik,
Bourdieu
juga
mengungkapkan bahwa bahasa digunakan sebagai “kuda tunggangan”9 dalam
mengcapai kekuasaan individu atau kelompok tertentu. Perbincangan mengenai
bahasa juga mensyaratkan adanya pengetahuan yang ingin diwujutkan dalam realitas
konkrit, tujuan yang melekat dalam bahasa bisa berupa kepentingan politik. Dengan
teknik yang lebih halus, bahasa digunakan untuk merayu, membujuk orang untuk
patuh secara sukarela. Kekuasaan simbolik ini muncul dalam sistem kasta pada
masyarakat Kei. Misalnya, berdasarkan sejarah lisan (tom) yang ada pada masyaakat
ini, dikatakan bahwa penerimaan para pendatang dilakukan dalam suasan
8
Tidak semua rumah atau orang yang bermarga ini dapat mengklaim dri mereka sebagai nuhu
duan. Golongan mel marvutun juga ada yang bermarga Rahaningmas dan Notanubun.
9
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol…, Ibid. 81-82
21
kekeluargaan (ren sebagai kakak dan mel sebagai adik)10 namun dalam
perkembangannya berubah menjadi mel-mel adalah orang-orang bangsawan,
pintar/pandai, dan kaya, karena itu harus memimpin dan berkuasa atas ren-ren yang
adalah “orang kelas dua”, bodoh dan tidak kaya. Inilah yang dimaksudkan dengan
oposisi biner.
Selain itu, khusus di ohoi Ohoiwait, kedatangan marga Rahayaan dan
Renwarin dari desa Watlaar dan desa Haar disertai dengan munculnya larangan
(tomtoma) yang dibuat oleh leluhur penduduk asli bahwa para imigran ini tidak
dibolehkan untuk menikah dengan penduduk asli karena “asal-usulnya” belum
diketahui. Namun dalam perkembangannya tomtoma itu berubah menjadi ren
dilarang kawin dengan mel karena ren adalah kelas bawah (rendah) dan mel adalah
kelas atas (bangsawan). Perubahan makna ini terjadi karena
marvutun telah
berkuasa.11 Dalam konteks seperti ini, maka bahasa memiliki keterkaitan dengan
lingkungan sosial (field) sebagai ranah pertarungan kuasa, karena itu bahasa bisa
bertujuan sebagai alat untuk memperoleh dan melestarikan kekuasaan.
2.2.1. Tom-Tad Sebagai Bentuk Habitus
Sejarah lisan dalam bahasa Kei diartikan sebagai tom. Tom pada masyarakat
ini berfungsi sebagai rujukan terhadap isu-isu yang berhubungan dengan siapa yang
berkuasa dan siapa yang dikuasai. Dalam hubungannya dengan kepemilikikan, tom
10
Lihat uraian F.A.E. van Wouden, Tipe of Social Structure in Eastern Indonesia, (The HagueMartinus Nijhoff, 1968), 136.
11
Wawancara dengan Reinhard Rahaningmas di Surabaya, pada tanggal 28 Desember 2010; juga
dengan Kanar El Rahaningmas, Louis Notanubun, Christian Kudubun, Yeheskia Kudubun dan Anton
Notanubun, di desa Ohoiwait tanggal 19-23 Januari 2011.
22
memberikan jawaban terhadap pertanyaan siapa memiliki apa, dimana, dan kapan.
Dengan ciri seperti ini, maka habitus - tom dapat berguna sebagai sumber penggerak
tindakan.
Konsep habitus sebenarnya berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan
merupakan ciptaan asli Bourdieu. Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan
(habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata
pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga
menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu, seperti yang ditemukan
Aristoteles mengenai ada (being).12
Sedangkan George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2009), yang
menguraikan pemikiran Bourdieu mengungkapkan bahwa habitus dapat dimaknai
sebagai “akal sehat” (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam
struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini,
habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif, habitus memungkinkan orang untuk
memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia
sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor.
Demikian pula tom pada masyarakat Kei ketika direproduksi secara terus-menerus
seperti saat sekarang ini telah menjadi sejarah yang tidak seragam dan hampir tidak
diketahui bagaimana ujung-pangkalnya.
12
Uraian ini dapat dlihat pada penjelasan mendalam dari Bagus Takwin yang mengkaji pengertian
habitus-nya Bourdieu melalui pelacakan atas pemikiran Aristoteles. Bagus Takwin, “Habitus:
Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup” dalam buku Resistensi Gaya Hidup: Teori dan
Realitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006),35-54
23
Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang
dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem
disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang
kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah
merupakan hasil dari suatu habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan
hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang
kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan
berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus menghasilakan perbedaan
gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan yang diperoleh dari pengalaman individu
dalam berinteraksi. Pola yang terinternalisasi tersebut mencakup berbagai prinsip
klasifikasi, Bourdieu mengatakan:
Habitus are also classificatory schemes, principles of
classification, principle of vision on division, different tastes.
They make distinction between with is good and what is bad,
what is right and what is wrong, between what is distinguished
and what is vulgar…13
Skema kalasifikasi seperti ini, menjadi berguna digunakan dalam penelitian
yang dilakukan penulis, mengingat realitas masyarakat Kei yang terklasifikasi
menjadi tiga golongan yakni, mel-mel, ren-ren, dan iri-iri. Kalsifikasi masyarakat Kei
yang kemudian dikenal dengan kasta tersebut tentunya memiliki bentuk tom
tersendiri, karena itu, teori habitus akan cukup berguna untuk menganalisis
reproduksi tom yang dimiliki oleh kelompok-kelompok ini, khususnya tom kelompok
Nuhu Duan/ ren-ren.
13
Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, (Stanford-Calif: Stanford University Press, 1990), 53
24
Berdasarkan uraian di atas, maka definisi habitus yang dikemukakan
Bourdieu dapat diformulasikan menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan
representasi. Hal ini mencakup beberapa prinsip, diantaranya: pertama, habitus
mencakup dimensi kognitif dan afektif yang terejewantahkan dalam sistem
disposisi.14 Kedua, habitus merupakan proses dialektika dari “struktur-struktur yang
dibentuk (structured structure) dan “struktur-struktur yang membentuk” (structuring
structure). Karena itu, disatu sisi habitus berperan membentuk kehidupan sosial,
namun disisi lain habitus juga dibentuk oleh kehidupan sosial.15 Dalam konteks
seperti ini, Ritzer mengungkapkan bahwa habitus dapat bermakna sebuah proses
“dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas.16
Prinsip
ketiga,
habitus
dilihat
sebagai
produk
sejarah.
Bourdieu
mengemukakan “the habitus, the product of history, produces individual and
collective practices, and hence history, in accordance whit the schemes engendered
by history.17 Dengan demikian, habitus merupakan hasil pembelajaran dan sosialisasi
individu maupun kelompok, terkadang pengaruh masa lalu. Prinsip keempat, habitus
bekerja di bawah aras kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan
instrospektif atau kontrol oleh keinginan aktor.
14
Disposisi adalah hasil dari tindakan yang mengorganisir, menurut suatu makna yang dekat
dengan makna kata-kata seperti struktur; ia juga menunjukkan way of being (cara mengada), keadaan
kebiasaan (terutama kebiasaan tubuh), dan secara khusus menunjukkan predisposition, tendency,
propensity, atau inclination. Bourdieu, dalam H. Barnard, ”Bourdieu dan Etnografi: Refleksivitas,
Politik, dan Praksis”, di dalam Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes (Ed.), (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu
(terj.), (Yogyakarta: Jalasutra,1990), 81; lihat juga Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed),
(Habitus x modal) + Ranah = Praktik, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), 13
15
George Ritzer, Modern Sociological Theory, (The McGraw-Hill Companies INC, 1996), 405
16
Ibid
17
Ibid. 404
25
Kebanyakan masyarakat yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai adat
(termasuk masyarakat Kei) akan selalu menerima suatu tradisi sebagai yang terberi,
pesan-pesan leluhur sebagai yang selalu benar dan tidak perlu diperdebatkan.
Fenomena seperti ini akan terus hidup kerena dibungkus dalam bahasa yang halus
(bujukan dan rayuan), seolah-olah semua baik adanya, namun dibalik itu terdapat
kekuasaan simbolik yang dimanfaatkan/dipaksakan oleh mereka yang memiliki
kuasa.
Walupun demikian, habitus juga memberikan strategi bagi individu untuk
mengatasi berbagai situasi yang terus berubah, lewat pengalaman-pengalaman masa
lalu, karena itu, habitus berfungsi sebagai matriks persepsi, apersepsi, dan tindakan.
Berdasarkan itu, maka dapat dikatakan bahwa sebuah tindakan tidak selamanya
dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan pada aturan, namun habitus turut memberi
arah (pendorong selakigus penghambat) bagi individu untuk bertindak. Dengan
demikian, habitus memberi keleluasan bagi aktor untuk berimprovisasi, bebas, dan
otonom.
Teori ini mencoba mengatasi dualisme kebebasan dan determinisme. Di satu
pihak teori ini tidak lepas dari suatu bentuk determinisme yang seakan-akan
memenjara tindakan-tindakan dalam pembatas-pembatas; dipihak lain teori ini
memberi peluang bagi konsep individu otonom, bebas dan rasional. Setiap orang
dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan, namun kebiasaan
tindakan tidak bekerja seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan
strategis dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Pierre Bourdieu sendiri menyatakan,
26
“Sebagai sistem skema pendorong yang diperoleh, habitus memungkinkan kreatifitas
pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan yang terpatri dalam pembatasan yang
melekat pada kondisi khas produksinya. Habitus mencoba mengatasi determinisme
dan kebebasan, pengkondisian dan kreativitas, kesadaran dan ketidaksadaran, atau
individu dan masyarakat.18”
2.2.2. Ohoi Sebagai Field19 Pertarungan Kuasa
Ohoi menurut perspektif masyarakat Kei adalah suatu pemukiman atau
kampung.20 Namun sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1979 oleh Pemerintah Orde
Baru, Ohoi kemudian berubah nama menjadi desa, atau beberapa Ohoi disatuakn
menjadi satu desa. Karena itu, di desa Ohoiwait terdapat beberapa Ohoi yakni Ohoi
Tanan, Ohoi Ren, dan Ohoi Uun, selain itu ada juga Mataholat dan Wetuar namun
hanya memiliki satu kepala desa. Di dalam ohoi-ohoi inilah hidup secara bersama
komunitas masyarakat yang golongkan sebagai mel, ren, dan iri. Dalam konteks
seperti ini, maka Ohoi dikatakan sebagai arena pertarungan kuasa antara nuhu duan,
dan marvutun, sesuai dengan habitus yang mendasari praktek-praktek yang
terstruktur dan terpadu secara objektif. Dengan model konsep ruang seperti ini
memungkinkan untuk dapat menganalisis posisi kelompok-kelompok, hubunganhubungan mereka, dan kecenderungan mereproduksi tatanan sosial.21
18
Haryatmoko, 2003. Ibid, 11
Kata field dalam bahasa Prancis berarti champ. Dalam bahasa Indonesia bisa berupan ranah,
arena atau lingkungan.
20
J. P. Rahail, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta:
Yayasan Sejati. 1983), 9
21
Walaupun demikian, ketiga Ohoi itu tidak mewakili ketiga kelas sosial yakni mel, ren, dan iri.
Karena itu, mel, ren, dan iri dalam konteks ini dapat juga dikatakan sebagai ranah (field), sebagai
mikrokosmos mandiri dalam makrokosmos social (Ohoi). Bandingkan Haryatmoko, 2003. Ibid, 14.
19
27
Karena itulah, pembahasan habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah
perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan
hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang
secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang
menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh
struktur ranah. Bourdieu melihat arena sebagai suatu tempat pertempuran, “arena juga
merupakan arena perjuangan”22 Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di
dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan
simbolis.
Pengertian field (s) diuraikan dalam tulisan Jenkins dari hasil wawancara Loic
Wacquant dengan Bourdieu, sebagai berikut:
...A field, in Bourdieu’s sense, is a social arena within which struggles or
manoeuvers take place over specific resources or stakes and access to
them. Fields are defined by the stakes which are at stake – cultural
goods (life-style), housing, intellectual, distinction (education),
employment, land, power (politics), social class, prestige, or whatever –
and may be of differing degrees of specificity and concreteness. Each
field, by virtue of its defining content, has a different logic and takenforgranted structure of necessity and relevance which is both the product
and producer of the habitus which is specific and appropriate to the
field. [bolds added] 23
Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi, lingkup
hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja
tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, Bourdieu
mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai. Dalam
pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial, karena itu field
22
23
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, 2009. Ibid, 582-583
Jenkins, R. (1992) Pierre Bourdieu, (London dan New York: Routledge, 1992), 84
28
merupakan wadah untuk mewujudkan habitus.24 Namun, menurutnya dominasi ini
sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku.
Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya
perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh
akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan
Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1)
Modal terakumulasi melalui investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain
melalui warisan; (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan
yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. 25
Konsep “modal” meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi, namun
dipakai Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubunganhubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal itu,
Bourdieu memberikan konstruksi teoritiknya terhadap modal sebagai berikut:
“…capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only
produces its effects in the field in which it is produced and reproduced,
each of the properties attached to class is given its value and efficacy by
the specific laws af each field”26
Ide Bourdieu tentang modal seperti ini, lepas dari pemahaman tradisi Marxian
dan juga konsep ekonomi formal. Konsep ini mencakup kemampuan melakukan
24
Dalam konteks ini misalnya pengorganisasian marga dengan fungsi dan perannya masingmasing.
25
Dikutip oleh Haryatmoko dari Patrice Bonnewitz, Premieres Lecons sur la Sociologie de Pierre
Bourdieu (1998). Lihat essay Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Pengasa, (Jurnal Basis,
No. 11-12, Tahun 2003), 11
26
Dikutip oleh Fauzi Fashri dari Pierre Bourdieu, Distinction, (London: Routledge, 1984), Lihat
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol. Ibid, 97
29
kontrol terhadap masa depan diri sendiri
dan orang lain. Pemetaan itu tidak
berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu lingkup pembedaan atas
dasar kepemilikan modal-modal dan komposisi modal-modal tersebut. Dengan
pendekatan ini, maka setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah,
tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas-kelsa lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, modal-modal tersebut dapat digolongkan
menjadi: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah,
buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah
digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya; (2) Modal budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual
yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga.
Misalnya kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda
budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga
sertifikat (gelar keserjanaan); (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang
dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang
memiliki kuasa; dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status,
otoritas, dan legitimasi.27
Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua
dimensi. Pertama, dimensi vertikal, hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku
– yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya – dengan mereka yang
27
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol…, Ibid, 98-100; Ritzer, Teori…, 2009. Ibid, 583584; dan Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan…, 2003. Ibid, 11-13. Bandingkan juga dengan Robert
M.Z. Lawang, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar, (Depok: FISIP UI Press,
2004), 7-27
30
miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini
dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan
mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan
melihat pemisahan antara keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal.
Model pembagian kelas tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat
diramalkan yang memungkinkan perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat.
Secara lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit
kemungkinannya menikah dengan orang yang berasal dari kelas bawah. 28 Pertama,
karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu; kedua, seandainya
mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah saling memahami karena
perbedaan latarbelakang budaya atau habitus mereka.
2.2.3. Strategi
Apabila dalam ranah terjadi kompetisi antar pemain untuk memenangkan
pertandingan, maka penggunaan strategi diperlukan. Startegi ini diperlukan untuk
mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal dalam
kaitannya dengan hirarhki kekuasaan. Menurut Bourdieu strategi yang dipakai oleh
pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam
posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya
diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankan status quo, maka mereka
yang didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main dan posisiposisnya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial.
28
Hal ini tampak dalam masyarakat Kei, misalnya larangan kawin campur antara tiga kelas yang
ada.
31
Meski mengarahkan tindakan, strategi bukan semata-mata hasil dari suatu
perencanaan yang sadar dan terdeterminasi secara mekanis strategi merupakan
produk intuitif dari pemahaman para pelaku terhadap aturan-aturan permainan dalam
lintasan peristiwa atau pada ruang dan waktu tertentu. Strategi berperan sebagai
manuver para pelaku untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena
pertarungan. Perjuangan mendapatkan pengakuan, otoitas, modal dan akses atas
posisi-posisi kekuasaan terkait dengan strategi yang digunakan para pelaku.
Bourdieu menggolongkan strategi yang digunakan pelaku menjadi 5 (lima)
jenis strategi, yakni:
a) Strategi investasi bologis. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu kesuburan
dan pencegaha. Strategi kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah
keturunan untuk menjamin transmisi modal dengan cara membatasi
jumlah
anak.
Sementara
strategi
pencegahan
bertujuan
untuk
mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar
dari penyakit.
b) Strategi suksesif, strategi ini ditujukan untuk menjamin pengalihan harta
warisan antar generasi, dengan menekankan pemborosan seminimal
mungkin.
c) Strategi edukatif, strategi ini berupaya menghasilkan pelaku sosial yang
layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial, serta mampu
memperbaiki jenjang hierarki. Ditempu lewat jalur pendidikan, baik
secara formal maupun informal.
32
d) Strategi investasi ekonomi, hal ini merupakan upaya mempertahankan
atau meningkatkan berbagai jenis modal, yaitu akumulasi modal ekonomi
dan modal sosial. Investasi modal sosial bertujuan melanggengkan dan
membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek maupun
panjang. Agar langgeng kelangsunganya, hubungan-hubungan sosial
diubah dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang bertahan lama, seperti
melalui pertukaran uang, perkawinan, pekerjaan dan waktu, dan
e) Strategi investasi simbolik, strategi ini merupakan upaya melestarikan dan
meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui
reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan
property mereka, dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk
diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Misalnya pewarisan
nama keluarga.29
Kemampuan melakukan reproduksi sosial tergantung pada kemampuan
menentukan
dan
menggunakan
meningkatkan/menambah
jenis
strategi
dan
untuk
besarnya
mempertahankan
modal,
tujuannya
dan
untuk
mempertahankan atau memperbaiki posisi sosial–keluarga menjadi basis strategi
pokok. Jadi, keluarga menjadi tempat yang straegis bagi akumulasi modal dalam
berbagai jenis dan tempat pewarisan antargenerasi. Dengan demikian, memiliki
ikatan hubungan yang erat dalam keluarga besar akan cukup menguntungkan karena
bukan hanya disatukan oleh habitus, tetapi juga oleh solidaritas kepentingan, baik
29
Uraian lebih lengkap tentang pola-pola strategi ini, dapat dilihat dalam, Fauzi Fashri,
Penyingkapan Kuasa Simbol... Ibid, 103-104
33
dalam hal modal ekonomi maupun modal simbolik dan terutama modal sosial.30
Pandangan ini memiliki kesamaan dengan konsep yang dikemukakan oleh Fukuyama
bahwa, hubungan kekerabatan di dalam keluarga yang lebih erat meningkatkan modal
sosial.31
2.3. Teori Hegemoni
Antonio Gramsci dikenal sebagai pemikir besar yang lahir dari situasi politik
yang menyengsarakan, dan meninggal tanggal 27 April 1937 pada usia 46 tahun juga
dalam kesengsaraan. Bahkan ironisnya, kekuasaan fasis yang menindas membuatnya
tidak pernah melihat seperti apa wajah anak bungsunya.32 Pada tahun 1934, dia
menulis sebuah makalah yang bertajuk On the Margins History: History of the
Subaltern Social Group, dalam tulisan ini Gramsci memopulerkan konsep subaltern.
Subaltern bermakna of inferior rank, yang berkedudukan di bawah atau golongan
terpinggir, manusia kecil yang tidak berkuasa. Istilah ini sebenarnya berarti perwira
di bawah kapten, kemudian berkembang kepada makna orang tertindas, deskripsi
tentang pelbagai kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki
kesedaran kelas.33
30
Dalam hal ini misalanya, pengamatan yang pernah dilakukan oleh penulis tahun 2007
menunjukan bahwa kelompok marvutun dari desa Ohoiwait sampai dengan saat ini kebanyakan
terkonsentrasi di kota Tual,dan Kab. Maluku Tenggara, sebab beberap posisi penting dalam
pemerintahan dipegang oleh mereka yang berasal dari golongan ini. Sedangkan kelompok ren-ren
kebanyakan memilih untuk keluar dari Maluku Tenggara, sebab mereka berpikir bahwa “percuma saja
ikut tes CPNS di Tual, karena pasti tidak akan lolos”.
31
Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social
Order, (New York: Touchstone, 2000), 36-37
32
Lihat uraian Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), 42-54
33
Nyoman Kutha Ratna. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2005), 189
34
Dalam pengertian Gramsci, subaltern merujuk kepada kelompok masyarakat
yang tertakluk secara hegemoni di bawah kelas pemerintah. Seterusnya istilah ini
digunakan dalam kajian pascakolonial yang merujuk kepada semua golongan
terpinggir dari segi kelas, usia, kasta, gender, perjawatan dan sebagainya 34 Di India,
dalam persejarahan arus perdana, lazimnya hanya elit politik yang diberi kedudukan
sebagai pelakar sejarah sedangkan rakyat kecil terpinggir lantaran kedudukan mereka
dalam hierarki paling rendah tidak diberi hak untuk melakar sejarah mereka–mereka
tunduk pada wacana dominan. Kesedaran bahawa golongan subaltern juga patut
dinobatkan sebagai pelakar sejarah kemerdekaan membawa kelompok intelektual di
India mempromosikan pengajian subaltern.35
Konsep subaltern ini akan digunakan sebagai alat analisis untuk membedah
sistem kasta pada masyarakat Kei, sebab dalam pemberlakuan sistem kasta ini telah
membagi masyarakat dalam tiga golongan yakni mel-mel (pendatang); ren-ren
(penduduk asli); dan iri-iri (pembantu). Pembagian ini dipahami sebagai warisan
leluhur yang harus diterima, namun dalam perkembangannya sistem kasta yang pada
awalnya bersifat fungsional kemudian mengalami perubahan menjadi mel berkuasa
atas ren. Khususnya di desa Ohoiwait, golongan ren-ren pada umumnya tidak
memiliki posisi dalam struktur pemerintahan adat, bahkan oleh beberapa pihak
diwacanakan keturunan penduduk asli, pendiri woma telah punah. Dalam realitasnya,
kelompok/golongan ren-ren dan iri-iri dapat dikategorikan sebagai golongan
34
Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin. Postā€Colonial Studies: The Key Concepts,
(London and New York: Routledge 2000), 215-216
35
Ibid. 16-17
35
subaltern dalam pandangan Gramsci, sebab keduanya berada dalam posisi
terdominasi dan tereksploitasi oleh golongan mel marvutun.
Dalam sistem kasta di Kei, pemegang kekuasaan baik pemerintahan maupun
adat adalah mereka yang dikategorikan sebagai mel, dan mereka adalah mel
pendatang (mel marvutun). Hal ini dikarenakan, ada konsensus dengan para
pendatang ini untuk hidup saling mengatur dalam kehidupan bersama. Namun dalam
perkembangan kemudian mengalami perubahan menjadi mel berkuasa atas ren, dan
atas
otoritas
(kekuasaan)
yang
dimiliki
mel-mel
(pendatang)
kemudian
mengidentifikasi diri sebagai bangsawan, dir’u (pemuka), wawaat (pembicara) dan
ham wang (pembagi). Sementara penduduk asli tetap dengan gelar asalnya yakni tuan
tan (tuan tanah).36 Hegemoni yang dilakukan oleh mel marvutun ini menjadi wacana
dominan (heterodoxa dalam bahasa Bourdieu) yang diterima, dan memperkuat posisi
mereka dalam mereproduksi toom masyarakat Kei. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa konsensus mungkin merupakan titik-tolak hegemoni.37
2.3.1.
Hegemoni : Bagaimana Bentuknya
Hidup di bawah tekanan dan arogansi fasisme Benito Mussolini membuat
Gramsci harus berpikir keras (bahkan dalam penjara sekalipun) untuk mengembagkan
sebuah pemikiran praksis - upaya mencari hubungan antara teori dan praktek dalam
36
Sejarah lisan yang berkembang di desa Ohoiwait tentang konsensus untuk saling
menjaga/mengatur hidup bersama itu adalah mencakup dua hal, yakni: ngarihi tna-nai dan ngeran taltal (pembicara dan perlengkapan perang, diatur bersama), sejarah lisan inipun masih perlu
ditelusuri/dikaji sebab ham wang dan dir’u sepertinya juga telah diambil alih. Demikian juga dengan
posisi tuan tan yang saat ini dipegang oleh mereka yang bermarga Rahayaan. Jadi pertanyaannya
apakah beralihnya posisi-posisi dalam adat itu merupakan pemberian atau “diambil” oleh mel
marvutun karena kecerdikannya?
37
Bandingkan uraian Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci…, Ibid. 124-128
36
Marxisme. Salah satu hasil dari “racikan” yang dilakukan oleh Gramsci tersebut
adalah hegemoni. Hegemoni dalam bahasa Yunani disebut eugemonia, yang
merupakan bentuk dominasi dari Negara Kota (polis) seperti Athena dan Sparta
terhadap negara-negara lain, posisi kedua negara ini selalu dominan. 38 Dalam konteks
saat ini misalnya dapat diamati posisi dominan Amerika Serikat (sebagai pemimpin
dunia) terhadap negara-negara lain, atau dalam kaitan dengan tema penelitian ini,
maka golongan mel marvutun dalam masyarakat Kei merupakan kelompok yang
mendominasi kedua kelompok lainnya. Dominasi disini bukan dalam pengertian
jumlah (kuantitas), namun karena mereka berada pada posisi atas (pemimpin) dalam
pemerintahan adat, dan berdampak sampai pada ranah politik (negara–pemerintahan).
Hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci dapat ditemukan dalam uraiannya
tentang basis supremasi klas, sebagai berikut:
The supremacy of social group manifest itself in two ways, as ‘domintion’
and as ‘intellectual and moral leaderhip’A social group dominates
antagonistic group, which it tends to ‘liquidate’, or to subjugate perhaps
even by armed force; it leads kindred and allied groups. A social group
can, indeed must, already exercise ‘leadership’ before winning
govermeltal power (this indeed is one of the principal conditions for the
winning of such power); its subsequently becomes dominant when it
exercises power, but even if it holds it firmly in its grasp, it must continue
to ‘lead’ as well39
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa Gramsci menekankan
dua hal dalam konsep hegemoninya, yakni masalah kepemiminan (direction) dan
dominasi (dominance). Kaitannya dengan tema penelitian yang akan dilakukan
38
Lihat Heru Hendarto, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci; dalam Diskursus Kemasyarakatan
dan Kemanusiaan, (Tim Redaksi Driyarkara, Jakarta : Gramedia, 1993), 73
39
Antonio Gramsci, Selectoions From The Prison Notebooks, Quintin Hoare and Nowell Smith
(ed.), (New York: International Publisher, 1976), 57-58 dalam Nezar Patria & Andi Arief, Antonio
Gramsci…, Ibid. 117-118
37
adalah soal konsensus awal tentang siapa yang memiliki kemampuan/kecakapan
dalam berbicara (ngarihi tna-nai atau wawaat) diberi tanggungjawab untuk mengatur
kehidupan agar tercipta harmoni dalam masyarakat. Dengan demikian tatanan sosial
(sistem kasta) yang masyarakat Kei waktu itu bersifat terbuka dalam artian
mengakomodir individu-individu yang mempunyai kecakapan dalam berbicara
maupun memimpin. Dalam perkembangannya sistem kasta ini menjadi tertutup sebab
dalam realitasnya posisi seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh gologannya
dalam kasta. Kecakapan dalam artian tingkat pendidikan telah menjadi “nomor
sepatu”.
Merujuk pada uraian yang dilakukan oleh Nesar Patria & Andi Arief bahwa
hubungan kedua konsep (direction dan dominance) mengisyaratkan tiga hal, yakni: 1)
dominasi dijalankan atas seluruh musuh, dan kepemimpinan dilakukan kepada
segenap sekutu-sekutu; 2) kepemimpinan adalah suatu prakondisi untuk menaklukan
aparatus negara, atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemeritahan; dan 3) sekali
kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi klas ini, baik pengarahan
ataupun dominasi, terus berlanjut. Ketiga “kesimpulan” yang dilakukan oleh Patria &
Andi mempunyai kemiripan dengan sistem kasta pada masyarakat Kei seperti yang
telah diuraikan di atas. Konsep ini dianggap tepat untuk digunakan sebagai alat
analisis.
Menurut Gramsci, cara menciptakan hegemoni adalah melalui institusi yang
ada dalam masyarakat yang menentuan secara langsung atau tidak langsung strukturstruktur kognitif dari masayakat. Dengan demikian, hegemoni pada hakekatnya
38
adalah cara/proses penggiringan (mempengaruhi) orang lain untuk mempercayai
wacana dominan dalam kerangka yang ditentukan oleh mereka yang berkuasa.
Pengaruh dari ‘roh’ ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan
semua relasi sosial. Strategi mempengaruhi seperti ini hampir tidak dapat disadari
oleh orang yang dipengaruhi sebab tanpa kekerasan. Tujuannya adalah terwujudnya
rasa simpati40 yang berujung ada dukungan atau legitimasi dari orang atau kelompok
yang dipengaruhi. Jadi, hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat memalui
mekanisme konsensus ketimbang penindasan. Karena itu, Gramsci selalu mengaitkan
konsensus dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai
penerimaan aturan sosiopolitis ataupun aspek-aspek aturan yang lain.41
2.4.
Teori Tindakan Komunikatif
Orientasi teoritik Habermas bertujuan menggagas syarat-syarat yang
memungkinkan sebuah komunikasi bebas distorsi. Pelbagai syarat yang beralas pada
komitmen kesaling-pemahaman dan bukan semata-mata efisiensi atau efektifitas.
Selain itu, Habermas juga menawarkan sebuah alternatif metodologi bagi ilmu-ilmu
sosial. Metodologi yang bukan hanya melukiskan realitas sosial secara behavioral
melainkan menangkap distorsi ideologis di balik itu dan mengatasinya. Berbekal
40
Simpati merupakan proses seseorang merasa tertarik untuk memahami atau bekerjasama dengan
orang lain. Pengaruh dari rasa ini biasanya lebih mendalam dan tahan lama, karena itu simpati menjadi
dasar hubungan persahabatan. Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1990).
Walaupun demikian, rasa simpati dapat saja berujung pada bentuk dominasi, jika rasa itu
dimanfaatkan oleh orang kita simpatik. Contohnya, yang telah diuraikan pada Bab 1, bahwa
diterimanya para pendatang oleh penduduk asli didasarkan atas rasa persahabatan atau kekeluargaan.
Karena itu panggilan kepada para pendatang ini adalah adik (mel-mel) dan penduduk asli adalah kakak
(ren-ren), namun hal ini kemudian berujung pada mel memerintah ren; mel adalah kelas atas, dan ren
adalah kelas bawah.
41
Badingkan dengan Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci…, Ibid. 120-125
39
khazanah sosiologi, filsafat analitik dan hermeneutik yang cukup kaya, Habermas pun
merumuskan sebuah hermeneutika kritis42. Metodologi yang sangat kritis baik
terhadap pendekatan positivis maupun pendekatan hermeneutis itu sendiri. Keduanya
dituduh Habermas sukar melepaskan diri dari belenggu konservatisme. Belenggu
yang menjadi musuh utama semangat Pencerahan Barat yang bertopang pada
rasionalitas manusia.
Dengan paradigm komunikasi, Habermas menempuh jalan konsensus dengan
sasaran terciptanya ’’demokrasi radikal“ yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi
dalam lingkup ’’komunikasi bebas penguasa.“ Dalam konteks ini perjuangan kelas
dan pandangan klasik, revolusi politis diganti dengan ’’perbincangan rasional’’
dimana argumen-argumen berperan sebagai unsur emansipatoris.43 Dalam arti inilah
perjuangan kelas tidak lagi merupakan praksis revolusioner untuk saling
menyingkirkan, melainkan sebuah usaha menciptakan situasi saling berargumentasi
secara dialogal dan komunikatif.
Masyarakat komunikatif dalam pandangan Habermas bukanlah masyarakat
yang melakukan kritik lewat revolusi dan kekerasan melainkan lewat argumentasi.
Argumentasi dibedakan menjadi dua macam yakni diskursus dan kritik. Diskursus
dilakukan untuk mencapai konsensus rasional atas klaim kebenaran (diskursus
teoretis), dan untuk mencapai konsensus atas klaim ketepatan (diskursus praktis),
42
Hermeneutika kritis ini, menurut Habermas harus mempertanyakan keabsahan tradisi. Lihat,
Donny Gahral Adian, Hermeneutik kritis Jurgen Habermas, Makalah ini disusun guna disampaikan
dalam diskusi yang diadakan IIIT (The International Institute of Islamic Thought Indonesia) tanggal 29
April 2003, http://www.dilibrary.net/images/topics/habermas.pdf diunduh 20 Oktober 2010.
43
Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,
Yogyakarta: Kanisius, 1990), 84.
40
selanjutnya diskursus untuk mencapai konsensus tentang klaim kompherensibilitas
disebutnya sebagai diskursus eksplikatif. Sedangkan terhadap “kritik” dibedakan
dalam dua bentuk yakni kritik estetis (norma-norma sosial yang objektif) dan kritik
terapeutis.44 Hal ini berkaitan dengan penyingkapan penipuan - dari masing-masing
pihak yang berkomunikasi.
Menurut Habermas masyarakat ideal bukanlah seperti yang dicita-citakan
Karl Marx sebagai masyarakat sosialis, Habermas memberikan ciri normatif
masyarakat ideal adalah bentuk masyarakat komunikatif yang bebas dari dominasi.
Masyarakat yang demikian selalu mengedepankan perbincangan rasional. Karena
itulah dalam masyarakat komunikatif perjuangan kelas dalam pandangan klasik, oleh
Habermas diganti dengan perbincangan rasional. Logika ini berkaitan dengan konsep
tentang rasio, tindakan dan masyarakat, dan bagian-bagian yang penting dari konsep
tersebut adalah lebenswelt, sistem dan diskursus.
2.4.1. Lebenswelt dan Sistem
Habermas mengembangka konsep lebenswelt (dunia kehidupan - solidaritas)45
sebagai pelengkap untuk konsep tindakan komunikatif. Dalam praksis komunikasi
sehari-hari klaim-kalim kesahihan diandaikan begitu saja, karena klaim-klaim
tersebut merupakan bagian dari hal-hal yang secara cultural kebenarannya tidak
dipersoalkan. Dunia kehidupan (lebenswelt) yang diciptakan dengan model ini, akan
menciptakan harmoni sosial yang menghindari konflik, sebab pengetahuan bersama
44
Lihat Francisco Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan
‘Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2009), 25-37
45
Lebenswelt ini menurut penulis mempunai kemiripan dengan konsep habitus yang
dikemukakan oleh Pierre Bourdieu.
41
yang terbentuk bersifat pa-reflektif, tidak dipersoalkan dan implisit. Menurut
Habermas, hubungan yang baik antara lebenswelt dan tindakan komunikatif akan
berujung pada pencapaian konsensus karena berlaku sebagai basis bersama para
pelaku tindakan komunikatif.46
Dalam pemahamannya, konsep lebenswelt tidak hanya digunakan sebagai
konsep dalam teori komunikasi, namun juga ditempatkan sebagai konsep sosiologi
yang di pasangkan dengan “System” Penggunaannya dalam sosiologi berarti bahwa
lebenswelt juga berfungsi sebagai konsep dasar teori sosial. Karena itu, pasangan
konsep ini berfungsi menjelaskan dua aspek integrasi sosial yang disebutnya sebagai
“kosep dua tingkat”. Yakni dilihat dari perspektif para peserta, bahwa masyarakat
tampak
sebagai
“jaringan
kerjasama-kerjasama
yang
dimungkinkan
lewat
komunikasi” – memungkinkan integritas dan stabilitas sebuah masyarakat, dihasilkan
bersama oleh para aktor sosial; dan dilihat dari perspektif para pengamat, masyarakat
memperihatkan dirinya sebagai “jaringan fungsional dari rentetan tindakan” –
tindakan ini seolah-olah terjadi secara mekanis – di luar intensi para aktor.47 Disinilah
masyarakat muncul sebagai sistem.48
Sistem sebagai akar dunia-kehidupan (lebenswelt), namun pada akhirnya ia
tetap akan melahirkan strukturnya sendiri, yang meliputi keluarga, sitem peradilan,
negara dan ekonomi. Struktur-struktur ini tumbuh semakin mandiri, ketika
bersimbiosis dalam kekuasaan, dan pada akhirnya mereka semakin memiliki
46
Lihat Francisco Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 39
Jurgen Habermas, The Theory of Communiative Action. Vol. 2, Lifeworld and System: A
Criigue of Functionalist Reason, (Boston: Beacon Press, 1987a), 223
48
Bandingkan juga dengan uraian yang dilakukan George Ritzer and Douglas J. Goodman, .
Teori Sosiologi…, Ibid. 591-595
47
42
kemampuan untuk mngendalikan dunia-kehidupan. Hubungannya dengan proses
pencapaian konsensus mulai berkurang dan justru membatasi terjadinya proses
tersebut di dalam lebenswelt.49 Kaitannya dengan mel dan ren di desa Ohoiwait
cukup jelas, dimana ketika konsensus awal yang dilakukan atas dasar solidaritas kini
berubah menjadi dominasi mel terhadap ren. Hal ini bisa terjadi karena ‘uang dan
kuasa’ (yang dalam bahasa Bourdieu disebut modal) akan selalu dipakai oleh aktor
untuk memertahankan tatanan sosial (sistem) yang menguntungkan mereka sehingga
hubungan antara sistem dan lebenswelt dalam realitasnya seakan hilang.50 Dengan
demikian, konsep lebenswel dan sistem dianggap tepat untuk disandingkan dengan
konsep habitus Bourdieu sebagai alat analisa.
2.4.2. Diskursus dan Komunikasi Sehari-hari
Diskursus adalah bentuk refleksi tindakan komunikatf. Maksudnya diskursus
adalah kelajutan tindakan komunikatif dengan memakai sarana lain, yakni sarana
argumentatif.51 Jika demikian dapat dikatakan bahwa diskursus menandai suatu
bentuk komunikasi modern di mana orang tidak begitu saja menerima sesuatu dengan
pemahaman-pemahaman yang berkembang lewat tradisi, melainkan pertama-tama
meguji hal itu dengan pertimbangan rasional. Dalam kaitannya dengan penelitian ini,
maka mel-mel dan ren-ren perlu didekati secara rasional untuk menggambarkan dan
49
Habermas menyebut “solidaritas” (lebenswelt), “uang” dan “kuasa” (System) sebagai tiga
komponen integrasi masyarakat. Lihat F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 41
50
Dalam konteks ini Habermas menerima teori rasionalisasi dari Max Weber. “Hilangnya
hubungan antara sistem dan lebenswelt, bersangkutan dengan evolusi sosial atau modernisasi yang
disebut Weber rasionalisasi. Habermas berpendapat bahwa sebelum proses rasionalisasi ini, terdapat
identitas antara lebenswelt dan sistem yang dalam masyarakat tradisional tentu saja masih sederhana
dan sedikit terdiferensiasi.
51
Jurgen Habermas, The Theory of Communiative Action. Vol. 1, Reason and the
Rationalization of Society, (Boston: Beacon Press, 1984), 37-38
43
mempertanyakan kesahihan dan ketepatan posisi-posisi tersebut dalam tatanan sosial
masyarakat Kei, khususnya masyarakat desa Ohoiwait.
Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang
bersifat rasional sejauh alasnnya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif.
Penjelasan dan pemberian alasan dengan demikian merupakan ciri dasar dari klaimklaim kesahihan yang bersifat rasional. Secara umum kenyataan ini membedahkan
dua bentuk komunikasi yakni, ‘komunikasi naif’ dan ‘komunikasi reflektif’. Dalam
komunikasi sehari-hari individu menggunakan komunikasi naif, bentuk komunikasi
ini tidak mempersoalkan secara khusus alasan-alasan maupun kejelsan-kejelasan dari
pernyataan-pernyataan – kebenaran dari klaim-klaim kesahihan itu diandaikan begitu
saja. Bentuk komunikasi ini sebenarnya menarik, jika konsensus awal antara ren-ren
(kakak) dan mel-mel (adik) pada masyarakat Kei masih tetap dipertahankan, namun
permasalahannya konsensus awal yang berdasar pada solidaritas itu telah berubah
maknanya sehingga bentuk ‘komunikasi reflektif’ perlu digunakan.
Konsekuensi logis dari penggunaan komunikasi reflektif dalam arti tertentu
akan memutuskan pemahaman rutin tentang lebenswelt. Dalam hal ini, aktor
kemudian harus menafsirkan, menegaskan atau membenarkan sesuatu. Karena itu,
komunikasi sehari-hari yang begitu saja saling menukar informasi menjadi
kehilangan sifat naifnya, karena pertukaran informasi pada tahap ini harus diikuti
oleh pemberian alasan dan penjelasan.52
Bentuk
komunikasi
dengan
klaim-klaim
kesahihan
sebagai
objek
problematisasinya itulah yang disebut Habermas sebagai “diskursus” di dalam
52
Bandingan uraian F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 43-44
44
diskursus sepenggal lebenswelt (dunia-kehidupan) kehilangan citranya sebagai
pengetahuan-latarbelakang, karena setelah dijadikan tema komunikasi, pengetahuanlatarbelakng ini berubah menjadi pengetahuan-latardepan yang bersifat eksplisit –
karena telah dipertanyakan klaim kesahihannya. Dengan demikian, diskursus
memiliki tujuan untuk mencapai sebuah konsensus intrsubjektif melalui percakapanpercakapan.
Menurut uraian F. Budi Hardiman (2009), dalam karya-karya yang lebih
lanjut, Habermas tidak lagi berbicara tentang kritik. Dalam karya Habermas yang
berjudul Faktizitat und Geltung (1993) atau “Fakta dan Kesahian” dikatakan bahwa
“keterikatan pada konteks tidak lagi merupakan ciri krtik, melainkan merupakan ciri
diskursus (politis-etis)”. Jadi ada pergeseran pemikiran Habermas, yang nampaknya
terus berusaha mencocokkan teori-teorinya dengan dinamika real perkembangan
masyarakat dan teori-teori sosial, yang tetap konsisten adalah pembedaan yang
dilakukan Habermas antara diskursus teoritis dan diskursus praktis.53 Sementara
dalam diskrsus teoritis orang mempermasalahkan klaim kebenaran pernyataanpernytaan teoritis-empiris, dalam diskursus praktis orang mempersoalkan klaim
ketepatan.
53
Lihat uraian F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif… Ibid. 45
45
Download