Mengurangi Perilaku Bullying Kelas X

advertisement
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681
MENGURANGI PERILAKU BULLYING KELAS X-4 MELALUI PEMBERIAN
LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK ROLE PLAYING
DI SMA NEGERI 12 MEDAN TAHUN AJARAN 2012/2013
Oleh :
Dra. Robiah Flora*)
*)
Guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 12 Medan
Abstract
The problems of this research are Tutoring Service Delivery Group Role Playing Techniques in
Reducing Bullying Behavior SMA Negeri 12 North Sumatera Students Academic Year 2012/2013. This
study aims to determine whether the provision of guidance services group role playing techniques can
reduce bullying behavior in SMA Negeri 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013. Subjects in
this study 20 students of class X-4 SMA Negeri 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013. This
research is TOD. The data collection technique used was a questionnaire.
Initial test data (pre-test) cycle I gained an average 78.75 of group counseling while after
administration of role playing techniques (post-test). Cycle I gained an average 69.3, meaning that the
average student after obtaining the services of role playing techniques of group guidance is lower than
before gets (78.75 >69.3), meaning that there is a decrease in bullying behavior in kelas X-4
Academic Year 2012/2013. But the decline has not been significant. There is a weakness that occurs in
the first cycle, so the researchers conducted Cycle II. In the second cycle the average obtained (pretest) and a 56.6 second cycle in post-test Cycle II gained an average of 43.25. This means that reads
hypothesis service delivery role playing group counseling techniques can reduce bullying behavior
class X-4 in SMAN 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013 received.
Conclusions obtained in this study is the role playing group counseling techniques can reduce bullying
behavior class X-4 in SMAN 12 North Sumatera Academic Year 2012/2013.
Keywords: Bullying Behavior, Guidance engineering group Role Playing
I.
Pendahuluan
Masa remaja merupakan suatu fase
perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa. Dimana pada masa ini remaja
memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan
psikis. Remaja juga merupakan tahapan
perkembangan yang harus dilewati dengan
berbagai
kesulitan.
Dalam
tugas
perkembangannya, remaja akan melewati
beberapa fase dengan berbagai tingkat
kesulitan permasalahannya sehingga dengan
mengetahui tugas-tugas perkembangan remaja
dapat mencegah konflik yang ditimbulkan oleh
remaja dalam keseharian yang sangat
menyulitkan masyarakat. Pada masa ini juga
34
kondisi psikis remaja sangat labil. Karena
masa ini merupakan fase pencarian jati diri.
Biasanya mereka selalu ingin tahu dan
mencoba sesuatu yang baru dilihat atau
diketahuinya dari lingkungan sekitarnya, mulai
lingkungan
keluarga,
sekolah,
teman
sepermainan
dan
masyarakat.
Semua
pengetahuan yang baru diketahuinya baik yang
bersifat positif maupun negatif akan diterima
dan ditanggapi oleh remaja sesuai dengan
kepribadian masing-masing. Remaja dituntut
untuk menentukan dan membedakan yang
terbaik dan yang buruk dalam kehidupannya.
Disinilah peran lingkungan sekitar sangat
diperlukan untuk membentuk kepribadian
seorang remaja.
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681
Setiap remaja sebenarnya memiliki
potensi untuk dapat mencapai kematangan
kepribadian yang memungkinkan mereka dapat
menghadapi tantangan hidup secara wajar di
dalam lingkungannya, namun potensi ini
tentunya tidak akan berkembang dengan
optimal jika tidak ditunjang oleh faktor fisik
dan faktor lingkungan yang memadai.
Lemahnya emosi seseorang akan berdampak
pada terjadinya masalah dikalangan remaja,
misalnya bullying yang sekarang kembali
mencuat di media. Kekerasan di sekolah ibarat
fenomena gunung es yang nampak ke
permukaan hanya bagian kecilnya saja. Akan
terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat
dan berkesinambungan dari akar persoalannya.
Budaya bullying (kekerasan) atas nama
senioritas masih terus terjadi di kalangan
peserta didik. Bullying adalah suatu bentuk
kekerasan anak (child abuse) yang dilakukan
teman sebaya kepada seseorang (anak) yang
lebih ‘rendah’ atau lebih lemah untuk
mendapatkan keuntungan atau kepuasan
tertentu. Biasanya bullying terjadi berulang
kali. Bahkan ada yang dilakukan secara
sistematis. Bullying secara sederhana diartikan
sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan
untuk menyakiti seseorang atau kelompok
sehingga korban merasa tertekan, trauma dan
tidak berdaya. Perilaku bullying
yang
ditemukan di SMA Negeri 12 Medan ialah,
pelaku memalak adik kelas atau teman sebaya,
pelaku mengajak adik kelas atau teman sebaya
(korban) ke kantin dan meminta dibayarin,
pelaku megambil buku PR korban dengan
paksa, pelaku mengambil pena korban dengan
paksa, pelaku menindas dengan cara tidak
mengijinkan korban tersebut berbicara, dan
pelaku mengejek korban (berbicara kasar) hal
tersebut hampir dilakukan setiap hari. Jika
korban tidak sengaja menyenggol pelaku maka
pelaku tidak segan-segan langsung memukul
atau mendorong korban sambil berbicara kasar
kepada korban.
Bullying merupakan masalah kesehatan
publik yang perlu mendapatkan perhatian
karena orang-orang yang menjadi korban
bullying kemungkinan akan menderita depresi
dan kurang percaya diri serta akan mengalami
kesulitan dalam bergaul.
Bagaimana anak bisa belajar kalau dia
dalam keadaan tertekan? Bagaimana bisa
berhasil kalau ada yang mengancam dan
memukulnya setiap hari? Sehingga amat wajar
jika dikatakan bahwa bullying sangat
mengganggu proses belajar mengajar.Semua
orang bisa menjadi korban atau malah menjadi
pelaku bullying. Bullying ternyata tidak hanya
memberi dampak negatif pada korban,
melainkan juga pada para pelaku. Bullying,
ternyata berhubungan dengan meningkatnya
tingkat depresi, agresi, penurunan nilai
akademik, dan tindakan bunuh diri. bullying
juga menurunkan skor tes kecerdasan dan
kemampuan analisis para siswa. Para pelaku
bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku
kriminal, jika dibandingkan dengan anak-anak
yang tidak melakukan bullying. Bagi si korban
biasanya akan merasakan banyak emosi negatif
(marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu,
sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak
berdaya menghadapinya. Dalam jangka
panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada
munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya
tidak berharga.
Kesulitan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial juga muncul pada para
korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain
atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun
mereka masih berada di sekolah itu, mereka
biasanya terganggu prestasi akademisnya atau
sering sengaja tidak masuk sekolah, yang
paling ekstrim dari dampak psikologis ini
adalah
kemungkinan
untuk
timbulnya
gangguan psikologis pada korban bullying,
seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa
takut, depresi, ingin bunuh diri. Berbagai
perilaku menyimpang yang dilakukan peserta
didik disebabkan kurangnya pemahaman anak
terhadap nilai diri yang positif sehingga
berdampak pula pada kurangnya pemahaman
moral atau nilai yang di terimanya, seperti
akrab dengan kekerasan, kebohongan, licik dan
sebagainya yang merupakan perilaku negatif.
Dalam bertindak, bukan berarti anak tidak tau
apa yang dilakukan salah tapi pemahaman baik
buruk anak masih mengacu pada suatu tingkah
laku benar bila tidak dihukum dan salah bila
dihukum.
Diperlukan Kebijakan menyeluruh yang
melibatkan seluruh komponen sekolah mulai
dari guru, siswa, kepala sekolah sampai orang
tua murid, yang tujuannya adalah untuk dapat
menyadarkan seluruh komponen sekolah
tentang bahaya dari perilaku bullying.
Kebijakan tersebut dapat berupa program anti
35
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681
bullying di sekolah antara lain dengan cara
menggiatkan
pengawasan,
pemahaman
konsekuensi serta komunikasi yang bisa
dilakukan efektif antaralain dengan Kampaye
Stop Bullying di Lingkungan sekolah dengan
spanduk, slogan, stiker dan workshop
bertemakan stop bulying serta memberikan
layanan bimbingan kelompok melaui teknik
role playing. Semuanya dilakukan dengan
tujuan paling tidak dapat meminimalisir atau
bahkan meniadakan sama sekali perilaku
bullying di sekolah. Diharapkan dengan adanya
kebijakan itu sekolah bukan lagi tempat yang
menakutkan dan membuat trauma tapi justru
menjadi tempat yang aman dan menyenangkan
bagi siswa, merangsang keinginan untuk
belajar, bersosialisasi dan mengembangkan
semua potensi siswa baik akademik, sosial
ataupun emosinal. Sekolah dapat menjadi
tempat yang paling aman bagi anak serta guru
untuk belajar dan mengajar serta menjadikan
anak didik yang mandiri, berilmu, berprestasi
dan berakhlak mulia. Bukan malah sebaliknya
mencetak siswa-siswa yang siap pakai menjadi
tukang jagal dan preman.
Mengingat pentingnya upaya untuk
menanggulangi perilaku bullying di kalangan
siswa, maka perlu adanya solusi yang efektif
untuk menanggulanginya. Sehingga peneliti
mengambil salah satu solusi yang dapat
dilakukan ialah melalui pemberian layanan
bimbingan kelompok teknik role playing. Role
playing
dalam
penelitian
adalah
mendramatisasi
tingkah
laku
untuk
mengurangi perilaku bullying dengan cara
memainkan peran dalam sebuah cerita.
Sehingga
memungkinkan
siswa
untuk
memahami dan menafsirkan perannya masingmasing, serta pencarian solusi terhadap
masalah yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya
peneliti berperan sebagai fasilitator, serta
membantu siswa membina hubungan dengan
orang
lain,
mengembangkan
empati,
bertanggung jawab, dan mengendalikan diri.
Role playing yang dirancang bertujuan untuk
mengelola emosi siswa sehingga perilaku
bullying dapat teratasi.
Sesuai dengan batasan masalah di atas
maka dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: “ Apakah pemberian layanan
bimbingan kelompok teknik role playing dapat
mengurangi perilaku bullying di sekolah SMA
Negeri 12 Medan Tahun Ajaran 2012/2013?”.
36
Berdasarkan rumusan masalah yang telah
di kemukakan, maka tujuan utama dari
penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah
bimbingan kelompok teknik role playing dapat
mengurangi perilaku bullying di sekolah SMA
Negeri 12 Tahun Ajaran 2012/2013.
II. Tinjuan Pustaka
Menurut
Erman
Amti
(2004:98)
bimbingan adalah :“proses pemberian bantuan
yang dilakukan oleh orang ahli kepada
seseorang atau beberapa orang individu, baik
anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar
orang yang dibimbing dapat mengembangkan
kemampuan dirinya sendiri dan mandiri;
dengan memanfaatkan kekuatan individu dan
sarana yang ada dan dapat dikembangkan;
berdasarkan norma-norma yang berlaku”.
Menurut Gadza, 1978 (dalam Prayitno dan
Erman Amti, 1994:309) “mengemukakan
bahwa bimbingan kelompok di sekolah
merupakan
kegiatan informasi
kepada
sekelompok siswa untuk membantu mereka
menyusun rencana dan keputusan yang tepat.
Gadza juga mengemukakan bahwa “bimbingan
kelompok diselenggarakan untuk memberikan
informasi yang bersifat personal, vokasional,
dan social.
Damayanti, (2012:40-41) mengungkapkan
bimbingan kelompok adalah salah satu teknik
dalam bimbingan konseling untuk memberikan
bantuan kepada peserta didik/siswa yang
dilakukan oleh seorang pembimbing/konselor
melalui kegiatan kelompok yang berguna
untuk mencegah berkembangnya masalahmasalah yang dihadapi anak.
Pengertian role playing
Role
Playing
merupakan
metode
bimbingan konseling kelompok
yang
dilakukan secara sadar dan diskusi tentang
peran dalam kelompok. Di dalam kelas, suatu
masalah diperagakan secara singkat sehingga
siswa dapat mengenali tokohnya.
Dalam bidang pendidikan (termasuk
bimbingan dan konseling), role playing
merupakan model pembelajaran di mana
individu (siswa) memerankan situasi yang
imajinatif dengan tujuan untuk membantu
tercapainya
pemahaman
diri
sendiri,
meningkatkan
keterampilan-keterampilan
(termasuk keterampilan problem solving),
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681
menganalisis perilaku, atau menunjukkan pada
orang lain bagaimana perilaku seseorang atau
bagaimana seseorang harus berperilaku
http://paul(Arjanto,
2011
dalam
arjanto.blogspot.com/2011/06/
permainanperan-role-playing-model.html).
Dalam teknik role playing berakar pada
dua dimensi yaitu dimensi pribadi dan sosial.
Dimensi pribadi membantu anak menemukan
makna dari lingkungan sosial yang bermanfaat
bagi dirinya dan belajar memecahkan masalah
pribadi yang sedang dihadapi dengan bantuan
kelompok sosial. Dari dimensi kelompok atau
sosial, yaitu teknik role playing memberikan
peluang kepada anak untuk bekerjasama dalam
menganalisis situasi sosial terutama mengenai
hubungan antar pribadi.
Muhibbin Syah (2010:193) mengungkapkan
“bermain peran merupakan upaya pemecahan
masalah, khususnya yang bertalian dengan
kehidupan sosial melalui peragaan tindakan.
Proses pemecahan masalah tersebut dilakukan
melalui tahapan-tahapan:
1). identifikasi/pengenalan masalah,
2). uraian masalah,
3). pemeranan/peragaan tindakan,
4). diskusi dan evaluasi”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan,
pengertian
role
playing
ialah
mendramatisasikan tingkah laku untuk
mengembangkan konsep diri siswa menjadi
positif dan meningkatkan stabilitas emosional
siswa.
Dengan
dramatisasi,
siswa
berkesempatan melakukan, menafsirkan dan
memerankan suatu peranan tertentu. Melalui
role playing, siswa diharapkan memiliki
kesempatan untuk mengembangkan seluruh
pikiran dan minatnya dan juga perilakunya
yang negatif menjadi positif, emosinya yang
meledak-ledak menjadi halus dan tidak
emosian, siswa yang tidak dapat berempati
menjadi dapat bersikap empati, yang kurang
bertanggung jawab menjadi bisa lebih
bertanggung jawab, siswa yang kendali dirinya
lemah dapat menjadi terkendali, siswa yang
interpersonal skillnya rendah bisa menjadi
bagus.
Menurut shaftel & shaftel (dalam
Muhibbin Syah, 2010:193-195), ada sembilan
langkah yang perlu ditempuh dalam
melaksanakan model bermain peran, yaitu:
1. Memotivasi kelompok, dalam merangsang
minat siswa terhadap kegiatan bermain
peran, guru perlu menawarkan masalah
yang baik. Masalah-masalah yang baik
harus memiliki kriteria sebagai berikut.
• Masalah-masalah itu aktual
• Masalah itu berkaitan dengan
kehidupan siswa
• Masalah itu merangsang rasa ingin
tahu siswa
• Masalah itu bersifat problematika dan
memungkinkan terpakainya berbagai
alternatif pemecahan
2. Memilih pemeran (pemegang peranan /
aktor). Pada tahap kedua ini, bersamasama para siswa, guru mendiskusikan
gambaran karakter-karakter yang akan
diperankan. Seusai karakter-karakter ini
disepakati, selanjutnya guru menawarkan
peran-peran tersebut kepada siswa yang
layak. Dalam hal ini guru dapat juga
menggunakan jasa satu dua orang siswa
yang dianggap cakap untuk memilih siapasiapa saja yang pantas menjadi aktor ”X”,
aktor “Y”, dan seterusnya.
3. Mempersiapkan
pengamat.
Dalam
melangsungkan model bermain peran
diperlukan adanya pengamat yang diambil
dari kalangan siswa sendiri. Pengamat ini
sebaiknya terlibat dalam cerita yang
dimainkan. Agar seorang pengamat
merasa terlibat, ia perlu diberi penjelasan
mengenai tugas-tugasnya. Tugas-tugas ini
meliputi:
• Menilai sejauh mana kecocokan peran
yang dimainkan dengan masalah yang
sesungguhnya.
• Menilai sejauh mana efektifitas
perilaku yang ditunjukkan pemeran.
• Menilai sejauh mana penghayatan
pemeranan terhadap tokoh (peran
yang dimainkan).
4. Mempersiapkan tahapan peranan. Dalam
bermain peran tidak diperlukan adanya
dialog-dialog khusus seperti dalam
sinetron, sebab apa yang dibutuhkan para
siswa aktor itu adalah dorongan untuk
berbicara dan bertindak secara kreatif dan
spontan. Walaupun begitu, garis besar
adegan yang akan dimainkan perlu
disusun secara tertulis. Selanjutnya,
sebagai pendukung suksesnya permainan,
lokasi tempat bermain peran seperti ruang
kelas, aula, lapangan terbuka perlu
37
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681
5.
6.
7.
8.
9.
38
dilengkapi dengan sarana-sarana yang
dibutuhkan oleh cerita yang hendak
dimainkan.
Pemeranan, setelah segala sesuatunya
siap, para aktor mulai memainkan peran
masing-masing secara spontan sesuai
denagn garis besar dan tahapan-tahapan
yang telah ditentukan. Berapa lama sebuh
role playing dimainkan dilihat dari
kompleksitas situasi masalah yang
diperankan.
Diskusi dan evaluasi, seusai semua peran
dimainkan, diskusi dan evaluasi perlu
diadakan. Dalam hal ini guru bersama para
aktor dan pengamat hendaknya melakukan
pertukaran pikiran dalam rangka menilai
bagian-bagian-bagian peran mana yang
belum sempurna dimainkan.
Pengulangan pemeranan, dari diskusi dan
evaluasi biasanya muncul gagasan baru
mengenai
alternatif-alternatif
lain
pemeranan. Alternatif-alternatif tersebut
kemudian digunakan untuk memainkan
lagi topik cerita bermain peran secara
lebih baik. Dalam pengulangan peran
dimungkinkan
berubahnya
sebuah
karakter peran yang berakibat berubahnya
peran-peran lainnya. Kejadian seperti ini
bukan masalah, karena dalam kehidupan
sehari-hari hal-hal yang sama (perubahan
tersebut) juga biasa terjadi di tengahtengah masyarakat.
Diskusi dan evaluasi ulang, tahapan ini
dimaksudkan untuk mengkaji kembali
hasil pemeranan ulang pada langkah
ketujuh. Diskui dan evalusi pada tahap ini
berlangsung seperti diskusi dan evaluasi
pada tahap keenam. Namun, dari diskusi
dan evaluasi ulangan ini diharapkan akan
muncul
strategi-strategi
pemecahan
masalah yang lebih jelas. Dari diskusi dan
evaluasi ulangan ini juga diharapkan
timbul kesepakatan yang bulat mengenai
strategi tertentu untuk memecahkan
masalah yang tertuang dalam bermain
peran.
Membagi pengalaman dan menarik
generalisasi,
tahapan
terakhir
ini
dilaksanakan untuk menarik faidah pokok
yang terkandung dalam bermain peran,
yakni membantu para siswa memperoleh
pengalaman-pengalaman
baru
yang
berharga melalui aktifitas interaksi dengan
orang lain.
Perilaku Bullying
Perilaku identik dengan tingkah laku,
akhlak, budi pekerti, dari keempat pengertian
diatas pada dasarnya mempunyai makna sama
yaitu perbuatan yang terlihat dalam kenyataan.
Dengan kata lain perilaku merupakan
keseluruhan tabiat dan sifat seseorang yang
tercermin dalam ucapan dan tindak tanduknya.
(Amirrasa,
2013
dalam
http://amirrasabou.blogspot.com/2013/04/peng
ertian-perilaku.html).
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena
school bullying mulai mendapat perhatian
peneliti, pendidik, organisasi perlindungan,
dan tokoh masyarakat. Pelopornya adalah
Professor Dan Olweus dari University of
Begen yang sejak 1970-an di Skandinavia
mulai memikirkan secara serius tentang
fenomena bullying di sekolah, yang kemudian
di sebut dengan istilah school bullying. Kata
bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari
kata bull yang berarti banteng yang senang
menyeruduk kesana kemari. Istilah ini
akhirnya diambil untuk menguraikan suatu
tindakan destruktif. Berbeda dengan negara
lain seperti Norwegia, Finlandia, dan Denmark
yang menyebut bullying dengan istilah
mobbing atau mobbning. Istilah aslinya berasal
dari bahasa Inggris, yaitu mob yang
menekankan bahwa biasanya mob adalah
kelompok orang yang anonim dan berjumlah
banyak serta terlibat kekerasan.
Dalam bahasa Indonesia, secara etimologi
kata bully berarti penggertak, orang yang
mengganggu orang yang lemah. Istilah
bullying dalam bahasa Indonesia bisa
menggunakan menyakat (berasal dari kata
sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat.
Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan
merintangi orang lain.
Secara terminologi menurut Tattum
(dalam Ardy Wiyani, 2012:12) bullying adalah
“..... the willful, concious desire to hurt
another and put him/her under stress” (“......
sengaja, secara sadar ingin melukai orang lain
atau membuat orang lain tertekan”).
Kemudian, Dan Olweus (dalam Ardy
Wiyani, 2012:12) juga mengatakan hal serupa
bahwa bullying adalah perilaku negatif yang
mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681
nyaman/terluka dan biasanya terjadi berulangulang, repeated during successive encounters
(dilakukan berulang kali).
Menurut Roland (dalam Ardy Wiyani,
2012:12) definisi bullying ialah “long standing
violence,
physical
or
psychological,
perpetrated by an individual or group directed
against an individual who can not defend
himself or herself” (kekerasan terus menerus,
baik secara fisik maupun psikologi yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok
yang ditujukan terhadap seseorang yang tidak
bisa membela darinya).Jadi, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya bullying adalah perilaku
negatif yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang dapat merugikan
orang lain.
Contoh perilaku bullying antaralain
mengejek, menyebarkan rumor, menghasut,
mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi),
mengancam, menindas, memalak, atau
menyerang
secara
fisik
(mendorong,
menampar, atau memukul). Perilaku bullying
merupakan learned behaviors karena manusia
tidak terlahir sebagai penggertak dan
pengganggu yang lemah. Bullying merupakan
perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara
sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepele pun
jika dilakukan secara berulang kali pada
akhirnya dapat menimbulkan dampak serius
dan fatal. Dengan membiarkan atau menerima
perilaku bullying, kita berarti memberikan
bullies power kepada perilaku bullying,
menciptakan interaksi sosial tidak sehat dan
meningkatkan budaya kekerasan. Interaksi
sosial yang tidak sehat dapat menghambat
pengembangan potensi diri secara optimal
sehingga memandulkan budaya unggul.
Dan Olweus pada, 1993 dalam (Ardy
Wiyani, 2012:13) mendefinisikan bullying
yang mengandung tiga unsur mendasar dari
perilaku bullying sebagai berikut.
• Bersifat menyerang (agresif) dan
negatif.
• Dilakukan secara berulang kali.
• Adanya ketidakseimbangan kekuatan
antara pihak yang terlibat.
Dan Olweus (dalam Ardy Wiyani,
2012:13) mengidentifikasikan dua subtipe
bullying, yaitu perilaku secara langsung
(Direct bullying), misalnya penyerangan secara
fisik dan perilaku secara tidak langsung
(Indirect bullying), misalnya pengucilan secara
sosial. Underwood, Galen,Paqutte, 2001
(dalam Ardy Wiyani, 2012:13), mengusulkan
istilah Sosial Aggression untuk perilaku
menyakiti secara langsung. Bentuk bullying
tidak langsung, seperti pengucilan atau
penolakan secara sosial, lebih sering digunakan
oleh perempuan daripada laki-laki. Sementara
anak laki-laki menggunakan atau menjadi
korban tipe bullying secara langsung, misalnya
penyerangan secara fisik.
Menurut Ardy Wiyani (2013:20) bullying
adalah suatu bentuk kekerasan anak (child
abuse) yang dilakukan oleh teman sebaya
kepada seseorang (anak) yang lebih rendah
atau lebih lemah untuk mendapatkan
keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya
bullying terjadi berulang kali. Bahkan ada
yang dilakukan secara sistematis.
Sementara child abuse menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization)
(dalam Ardy Wiyani 2012:20) adalah seluruh
bentuk perlakuan buruk, baik secara fisik,
emosional dan/atau seksual, penelantaran atau,
perlakuan lalai maupun eksploitasi terhadap
anak.
Dalam kasus bullying, ketidakseimbangan
kekuatan antara pelaku bullying dan korbannya
menghalangi keduanya untuk menyelesaikan
konflik mereka sendiri sehingga perlu
kehadiran pihak ketiga. Sebagai contoh, anak
kecil yang mendapat perlakuan bullying dari
teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa.
Dalam konteks school bullying, pihak ketiga
tersebut adalah guru, sebagai orang dewasa
atau orangtua yang sedang membimbing
pertumbuhan fisik dan psikis mereka.
Berdasarkan definisi diatas, dapat
disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku
agresif dan negatif seseorang atau sekelompok
orang
secara
berulang
kali
yang
menyalahgunakan
ketidakseimbangan
kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya
(korban) secara mental atau secara fisik. Jika
hanya kadang-kadang, biasanya tidak dianggap
sebagai bullying, kecuali jika sangat serius.
Misalnya, kekerasan fisik atau ancaman
kekerasan fisik yang membuat korban merasa
tidak
aman
secara
permanen.
Ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku
bullying dan target (korban) bisa bersifat nyata
maupun bersifat perasaan. Contoh yang
bersiafat real berupa ukuran badan, kekuatan
fisik, gender (jenis kelamin), dan status sosial.
39
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681
Contoh yang bersifat perasaan, misalnya
perasaan lebih superior dan kepandaian
berbicara atau pandai bersilat lidah. Unsur
ketidakseimbangan kekuatan inilah yang
membedakan bullying dengan bentuk konflik
lain. Dalam konflik antara dua orang yang
kekuatannya sama, masing-masing memilki
kemampuan untuk menawarkan solusi dan
kompromi untuk menyelesaikan masalah.
Fenomena Bullying
Salah satu fenomena yang menyita
perhatian di dunia pendidikan zaman sekarang
adalah kekerasan di sekolah, baik yang
dilakukan oleh guru terhadap siswa, maupun
oleh siswa terhadap siswa lainnya. Maraknya
aksi tawuran dan kekerasan (bullying) yang
dilakukan oleh siswa di sekolah yang semakin
banyak menghiasi deretan berita di halaman
media cetak maupun elektronik menjadi bukti
telah tercabutnya nilai-nilai kemanusiaan.
Tentunya kasus-kasus kekerasan tersebut tidak
saja mencoreng citra pendidikan yang selama
ini dipercaya oleh banyak kalangan sebagai
sebuah tempat di mana proses humanisasi
berlangsung, tetapi juga menimbulkan
sejumlah pertanyaan, bahkan gugatan dari
berbagai
pihak
yang
semakin kritis
mempertanyakan esensi pendidikan di sekolah
dewasa ini.
Hasil
konsultasi
Komisi
Nasional
Perlindungan Anak dengan anak-anak di 18
provinsi di Indonesia pada 2007 (dalam Ardy
Wiyani, 2012:17) memperlihatkan bahwa
sekolah juga bisa menjadi tempat yang cukup
berbahaya bagi anak-anak, jika ragam
kekerasan di situ tidak diantisipasi. Bahkan,
Hironimus Sugi dari Plan International (dalam
Ardy Wiyani, 2012:17) menyimpulkan, kasus
kekerasan terhadap anak-anak di sekolah
menduduki peringkat kedua setelah kekerasan
pada anak-anak dalam keluarga. Padahal, jika
siswa-siswa kerap menjadi korban kekerasan,
mereka dapat memilki watak keras di masa
depan. Hal ini secara kolektif akan berdampak
buruk terhadap kehidupan bangsa.
Fenomena bullying telah lama menjadi
bagian dari dinamika sekolah. Umumnya orang
lebih mengenalnya dengan istilah-istilah
seperti penggencetan, pemalakan, pengucilan,
intimidasi, dan lain-lain. Istilah bullying
sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup
berbagai bentuk penggunaan kekuasaan atau
40
kekuatan untuk menyakiti oranglain sehingga
korban merasa tertekan, trauma, dan tak
berdaya.
Terminologi bullying mengacu pada
penggunaan kekuasaan atau kekuasaan atau
kekuatan untuk menyakiti seseorang atau
sekelompok orang sehingga korban merasa
tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
Bullying merupakan perilaku verbal atau
perilaku fisik yang dimaksudkan untuk
mengganggu orang lain yang lebih lemah.
Bullying adalah suatu bentuk kekerasan anak
(child abuse) yang dilakukan oleh teman
sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih
lemah untuk mendapatkan keuntungan atau
kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi
berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan
secara sistematis. Sementara child abuse
menurut organisasi kesehatan dunia (World
Health Organization) adalah seluruh bentuk
perlakuan buruk, baik secara fisik, emosional
dan/atau seksual, penelantaran atau, perlakuan
lalai maupun eksploitasi terhadap anak.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas,
kekerasan (bullying) seolah-olah sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan anak-anak di zaman yang penuh
persaingan ini. Kiranya, perlu dipikirkan
mengenai resiko yang di hadapi anak, dan
selanjutnya dapat dicarikan jalan keluar untuk
memutus rantai kekerasan yang saling
berkelindan tanpa habis-habisnya. Tentunya,
berbagai pihak bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup anak, karena anak-anak
juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh
negara, orang tua, guru, dan masyarakat.
Diperlukan komitmen bersama dan langkah
nyata untuk mencegah perilaku bullying. Pihak
sekolah masih sangat terbatas dalam
menyikapi dan menangani bullying. sedangkan
di pihak orang tua siswa, masih belum banyak
yang mengetahui tentang bullying beserta
dampak yang ditimbulkan. Dampak negatif
yang disebabkan oleh bullying telah
menyebabkan pentingnya bagi kita untuk
mengenali perilaku ini.
Sumber School Bullying
Dalam penelitiannya mengenai fenomena
bullying di SD Negeri di Semarang, Siswati
dan Costrie Ganes Widayanti (dalam Ardy
Wiyanti, 2012:57) mengungkapkan:
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681
“beberapa respon yang ditunjukkan
oleh subjek yang menjadi korban bullying
dipengaruhi oleh pengalaman dan proses
belajar yang dilakukan oleh subjek
sehingga subjek akan bereaksi pada
perilaku bullying yang dilakukan oleh
teman-temannya.
Beberapa
subjek
menyatakan penolakannya saat diminta
untuk melakukan suatu tindakan tertentu
kepada pelaku bullying dan ada pula yang
merasa tidak berdaya sehingga memilih
untuk menuruti permintaan pelaku. Adanya
learned helplessness pada subjek yang
memenuhi permintaan pelaku tersebut
mengakibatkan siklus bullying terusmenerus terjadi sehingga subjek terus
berada dalam kondisi tertekan dan takut
apabila mereka akan mengalami suatu hal
yang buruk apabila menolak untuk
mengikuti permintaan pelaku”.
Ardy Wiyani, (2012:57) mengungkapkan:
“pelaku bullying antara lain adalah kakak
kelas, di mana hal ini sesuai dengan
pengertian bullying yaitu bahwa pelaku
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
sehingga mereka dapat mengatur orang lain
yang dianggap lebih rendah. Korban yang
sudah merasa menjadi bagian dari
kelompok
dan
ketidakseimbangan
pengaruh atau kekuatan lain akan
mempengaruhi intensitas perilaku bullying
ini”.
Semakin subjek yang menjadi korban tidak
bisa menghindar atau melawan, semakin sering
perilaku bullying terjadi. Selain itu, pelaku
bullying dapat juga dilakukan oleh teman
sekelas; baik yang dilakukan perseorangan
maupun kelompok. Sementara berdasarkan
penelitian lainnya disimpulkan bahwa jika
subjek menghargai dirinya dengan baik maka
ia dapat menghindari dirinya dari dampak
tindakan bullying. Faktor-faktor berikut juga
berpotensi menjadi sasaran tindakan bullying,
yakni:
(1). siswa baru di sekolah,
(2). latar belakang sosial-ekonomi,
(3). latar belakang budaya atau agama,
(4). warna kulit atau warna rambut,
(5). faktor intelektual.
Berdasarkan penelitian Bernstein dan
Watson (dalam Ardy Wiyani, 2012:56)
disimpulkan bahwa karakteristik eksternal
korban sasaran tindakan bullying adalah
cenderung lebih kecil atau lebih lemah
daripada teman sebayanya. Dengan kata lain,
ukuran badan lebih besar, terutama di antara
anak laki-laki cenderung mendominasi teman
sebaya berbadan lebih kecil.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas
dapat kita siapkan cara untuk mengurangi
kemungkinan atau pencegahan agar tidak
menjadi sasaran tindakan bullying. Pertama,
bantulah anak kecil dan remaja menumbuhkan
self-esteem (harga diri) yang baik. Anak berself esteem baik akan bersikap dan berpikir
positif,
menghargai
dirinya
sendiri,
menghargai orang lain, percaya diri, optimis,
dan berani mengatakan haknya. Kedua,
mempunyai banyak teman. Bergabung dengan
grup berkegiatan positif atau berteman dengan
siswa yang sendirian. Ketiga, kembangkan
keterampilan sosial untuk menghadapi
bullying, baik sebagai sasaran atau sebagai
saksi, dan bagaimana mencari bantuan jika
mendapat perlakuan bullying.
III. Metodelogi Penelitian
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di SMA
Negeri 12 Medan, Jln. Cempaka No. 75
P.Helvetia Medan.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Agustus sampai dengan bulan Desember
2012.
B. Subyek Penelitian
Yang menjadi subyek Penelitian ini adalah
kelas X-4 SMA Negeri 12 Medan Tahun
Pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 30 siswa.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan
untuk mengetahui perilaku bullying siswa
adalah angket. Menurut Arikunto (2009:102),
angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan
kepada orang lain dengan maksud agar orang
yang diberi tersebut bersedia memberikan
respons sesuai dengan permintaan pengguna.
Angket digunakan oleh peneliti karena dapat
mengumpulkan data yang banyak dalam waktu
41
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681
yang relatif singkat, dibandingkan
teknik-teknik lain.
Angket
yang
digunakan
berpandukan pada skala Likert,
dimodifikasi. Masing-masing item
mempunyai alternatif jawaban dalam
dan skor sebagai berikut:
Tabel 1. Skala Likert
Item positif
Jawaban
Skor
Selalu
4
Biasanya
3
Jarang
2
Tidak pernah
1
dengan
adalah
yang
angket
bentuk
Item negatife
Jawaban
Skor
Selalu
1
Biasanya
2
Jarang
3
Tidak
4
pernah
D. Jenis dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini dirancang dalam bentuk
penelitian tindakan kelas yang berlangsung
sebanyak beberapa periode, dan masingmasing periode terdiri atas beberapa siklus.
Proses dari masing-masing siklus mengikuti
tahapan-tahapan sebagai berikut:
(1) rencana tindakan,
(2) pelaksanaan tindakan,
(3) pemantauan, dan
(4) Refleksi.
IV. Hasil Dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Kegiatan untuk mengetahui kondisi awal
siswa dilakukan dengan pengumpulan data
melalui pemberian angket untuk 46 siswa di
kelas X-4 SMA Negeri 12 Medan. Setelah
angket terkumpul maka dilakukan analisis
terhadap angket. Pengumpulan data ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi awal
perilaku bullying dimiliki siswa. Berdasarkan
hasil angket diperoleh 30 siswa yang memiliki
perilaku bullying yang tinggi. Tiga puluh siswa
tersebut dikumpulkan
untuk dilakukan
bimbingan. Hasil pengumpulan data awal
disajikan dalam lampiran.
A.
Data Siklus I
Setelah semua perangkat yang diperlukan
untuk Siklus I tersusun dalam diskusi bersama
pembimbing penelitian yang merupakan fase
perencanaan Siklus I, maka peneliti
melaksanakan pembimbingan Siklus I sebagai
tahap tindakan Siklus I.
42
Dalam tahap refleksi Siklus I dan
perencanaan Siklus II peneliti melakukan
pertemuan
diskusi
kembali
untuk
mengidentifikasi kelemahan Siklus I dan
aktivitas belajar yang perlu diperbaiki serta
merancang
tindakan
perbaikan
pada
perencanaan Siklus II.
Pre-test Siklus I
Pre-test diberikan untuk menjaring
responden yang memiliki perilkau bullying.
Berdasarkan data dari hasil pre-test diambil 20
responden yang memiliki skor tertinggi
perilaku bullying. Dari 20 responden didapat
skor tertinggi 85 dan skor terendah 73, dengan
rata-rata (M) = 78,75. Hasil perhitungan data
pretest yang diperoleh dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pre-test Siklus I
No
1
Statistik
N
Kelas Eksperimen
20
2
Rata-rata
78,75
3
Maksimum
85
4
Minimum
73
Post-test Siklus I
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian dengan jumlah responden 20 orang
terdapat skor tertinggi 75 dan skor terendah 64,
dengan rata-rata (M) = 69,3. Hasil perhitungan
data post-test yang diperoleh dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3. Hasil Post-test Siklus I
No
Statistik
Kelas
Eksperimen
20
1
N
2
Rata-rata
3
Maksimum
75
4
Minimum
64
69,3
Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3, rata-rata
data Pre-test lebih tinggi dari pada rata-rata
data Post-test. Jadi, ada penurunan perilaku
bullying siswa. Tetapi penurunan yang terjadi
hanya sedikit saja.
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 2086-9681
B.
Data Siklus II
Dalam tahap refleksi Siklus I dan
perencanaan Siklus II peneliti melakukan
pertemuan
diskusi
kembali
untuk
mengidentifikasi kelemahan Siklus I dan yang
perlu diperbaiki serta merancang tindakan
perbaikan. Hasil dari perilaku bullying yang
didapat masih belum mencapai target yang
diinginkan, serta terdapat beberapa kelemahan
pada siklus I, yaitu:
1. Peserta didik masih kurang mengeluarkan
pendapatnya
pada
saat
bimbingan
berlangsung, hal tersebut membuat
kegiatan bimbingan dalam pengungkapan
masalah kurang maksimal sehingga
pengatasan
masalahnya
juga
tidak
maksimal.
2. Pada siklus I terdapat kelemahan siswa
belum mampu jujur atau bertindak seperti
keadaan yang sebenarnya. Ada sebagian
siswa yang masih takut jika peneliti
mengetahui kelakuannya selama ini,
kurangnya keterbukaan.
Setelah didapat kendala pada siklus I
maka peneliti berdiskusi dengan pendamping
untuk melakukan perbaikan pada siklus II,
perbaikan yang dibuat ialah,
1. Dalam kegiatan bimbingan peneliti lebih
mendalam
lagi
menjelaskan
azas
kerahasiaan yang ada dalam kegiatan
tersebut agar peserta didik tidak tahu
kelakuan atau rahasianya diketahui pihak
luar terkecuali peserta bimbingan saja.
2. Dan jika masih sulit bagi peserta didik
untuk
mengeluarkan
pendapatnya,
mengeluarkan solusi yang menurutnya
benar maka peneliti menyiapkan media
kertas bagi masing-masing peserta didik
agar peserta didik dapat menuliskan semua
pendapatnya dalam kertas tersebut
sehingga peneliti paham dasar masalah
yang dibahasa sehingga pemecahan
masalahnya lebih tepat dan maksimal
dengan melakukan konseling individual.
Pre-test Siklus II
Setelah siklus I berakhir, maka peneliti
menyusun kembali proses bimbingan yang
akan dilakukan agar penurunan perilaku
bullying siswa sesuai denagn yang diharapkan.
Peneliti kembali menyebarkan angket untuk
mengetahui tingkat perilaku bullying siswa.
Dari 20 responden didapat skor tertinggi 67
dan skor terendah 50, dengan rata-rata (M) =
56,6. Hasil perhitungan data pretest yang
diperoleh dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 4. Hasil Pre-test Siklus II
No
Statistik
1
N
2
Rata-rata
3
Maksimum
4
Minimum
Kelas
Eksperimen
20
56,6
67
50
Post-test Siklus II
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian dengan jumlah responden 20 orang
terdapat skor tertinggi 57 dan skor terendah 36,
dengan rata-rata (M) = 43,25. Hasil
perhitungan data post-test yang diperoleh dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Hasil Post-test Siklus I
No
Statistik
1
N
2
Rata-rata
3
Maksimum
4
Minimum
Kelas
Eksperimen
20
43,25
57
36
Berdasarkan tabel 4 dan tabel 5, rata-rata
data Pre-test lebih tinggi dari pada rata-rata
data Post-test. Jadi, ada penurunan perilaku
bullying siswa. Tetapi penurunan yang terjadi
hanya sedikit saja.
Pembahasan
Jika dilihat dari hasil perhitungan rata-rata
telah diketahui bahwa pada test Siklus I
perilaku bullying siswa berada pada rata-rata
69,3. Setelah diberikan layanan bimbingan
kelompok teknik role playing Siklus II
diperoleh rata-rata. Tampak bahwa rata-rata
perilaku bullying siswa lebih rendah setelah
diberikan perlakuan bimbingan kelompok
teknik role playing, dengan selisih 26,05.
Dengan demikian dinyatakan layanan
bimbingan kelompok teknik role playing
mempunyai kontribusi terhadap penurunan
43
Jurnal Saintech Vol. 06 - No.02-Juni 2014 ISSN No. 206-9681
perilaku bullying
2012/2013.
siswa
tahun
pelajaran
V. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa layanan bimbingan kelompok teknik
role playing dapat mengurangi perilaku
bullying siswa di kelas X-4 SMA Negeri 12
Medan Tahun Ajaran 2012/2013.
Daftar Pustaka
Amirrasa,
2013.
http://amirrasabou.blogspot.com/2013/0
4/pengertian-perilaku.html) (diakses 16
Mei 2013)
Arikunto, S. 2009. Manajemen Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
http://paulArjanto,
2011.
arjanto.blogspot.com/2011/06/permaina
n-peran-role-playing-model.html.
(diakses 14 Februari 2013).
Damayanti, N. 2012. Buku Pintar Panduan
Bimbingan Konseling. Yogyakarta:
Araska.
Fakultas Ilmu Pendididkan. 2013. Pedoman
Penulisan
Skripsi.
Medan
FIP
Universitas Negeri Medan.
Syah,
M. 2010. Psikologi Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Natawidjaja, R. 1987. Pendekatan Pendekatan
dalam Penyuluhan Kelompok.. Jakarta:
P2LPTK Depdikbud.
Wiyani, A. 2012. Save Our Children from
School Bullying. Jogjakarta: Ar-ruzz
Media.
Prayitno & Erman Amti. 1994. Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
P2LPTK Depdikbud.
Prayitno & Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta
44
Tri, M. S. 2012. Efektifitas Bimbingan
Kelompok melalui Teknik Role Playing
untuk Menangani Perilaku Bullying.
Bandung:
Universitas
Pendidikan
Indonesia.
Download