pelibatan mahkamah konstitusi dalam perubahan

advertisement
PELIBATAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERUBAHAN (ULANG)
UUD 1945 YANG PARTISIPATIF MELALUI KOMISI KONSTITUSI
Oleh: Ni’matul
Huda
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Email : [email protected]
Abstract
currently reappears demands change as a result of the 1945 constitution as a evaluation 10 years
after the 1945 constitution implementation after change. In this period there have been several issues
submitted to the constitutional court about the testing of individual candidates in the presidential election,
additional authority in perppu, constitutional complaint and the constitutional question by the court, the role
of legislation optimalization dpd. This paper initiated a change the 1945 constitution more participatory
through the constitutional commission more independent than the previous constitutional commission,
with a mandate to prepare draft changes the 1945 constitution. Learning from the experience of various
countries are also undergoing transition to democracy and constitutional reform, we should initiate to
engage the court in a change in 1945 constitution.
Keywords: constitutional court, participatory, constitutional commission.
Abstrak
Saat ini muncul kembali tuntutan perubahan (ulang) terhadap UUD 1945 sebagai hasil evaluasi 10 tahun
lebih implementasi UUD 1945 pasca perubahan. Dalam kurun waktu tersebut sudah ada beberapa
persoalan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pengujian tentang calon perseorangan dalam pemilihan
presiden, tambahan kewenangan Perppu, constitutional complaint dan constitutional question oleh MK,
optimlisasi peran legislasi DPD, dan lain-lain. Tulisan ini menggagas perubahan (ulang) UUD 1945 yang
lebih partisipatoris melalui Komisi Konstitusi yang lebih independen dibandingkan Komisi Konstitusi yang
sebelumnya, dengan mandat menyiapkan draft perubahan (ulang) UUD 1945. Belajar dari pengalaman
berbagai Negara yang juga mengalami transisi demokrasi dan reformasi konstitusi, ada baiknya kita
menggagas untuk melibatkan MK dalam perubahan (ulang) UUD 1945.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Partisipatif, Komisi Konstitusi
A.
Pendahuluan
Di awal tahun 2008, Pemerintah dan DPR
sepakat menyiapkan proses perubahan kelima
UUD 1945 secara menyeluruh dengan segera
membentuk panitia/komisi nasional. Kesepakatan
itu diambil dalam rapat konsultasi di Istana Negara
Jakarta, Jumat 25 Januari 2008. Konstitusi baru
hasil perubahan tersebut nantinya diharapkan
dapat digunakan pemerintahan baru hasil
Pemilu 2009. Usulan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan DPR untuk membentuk panitia/
komisi nasional yang mempersiapkan Perubahan
v UUD 1945 memunculkan sikap yang beragam di
masyarakat. Sebagian anggota MPR dan Forum
Konstitusi kurang sependapat dengan usulan
pembentukan panitia/komisi nasional tersebut.
Mereka memandang kewenangan membentuk
panitia/komisi tersebut ada pada MPR dan bukan
domain Presiden (Kompas, 31 Januari 2008). Di
sisi lain, sebagian anggota DPD dan kalangan ahli
hukum tata negara mendukung gagasan Presiden
dan DPR tersebut (Kompas, 1 Februari 2008).
Secara normatif memang kewenangan untuk
melakukan perubahan UUD 1945 ada di tangan
MPR, sehingga dipandang lebih tepat jika yang
membentuk panitia/komisi nasional tersebut
adalah MPR. Akan tetapi, usulan perubahan
konstitusi tidak harus muncul dari MPR. Setiap
warga negara yang memiliki kesadaran dan
kepedulian terhadap masa depan bangsa ini
berhak untuk mengusulkan perubahan konstitusi,
dan selanjutnya dikaji kembali oleh MPR semua
usulan yang masuk kepadanya. Semua anggota
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
5
MPR RI sudah selayaknya segera mengkaji
ulang berbagai usulan perubahan yang sudah
diwacanakan di masyarakat, DPD, maupun
berbagai pihak yang menaruh perhatian terhadap
hasil amandemen UUD 1945. Berbagai ide
penyempurnaan hasil amandemen UUD 1945
patut untuk diapresiasi secara konstruktif.
Hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan
oleh MPR tahun 1999-2002 merupakan kontribusi
positif ter hadap upa ya perbaik an sistem
ketatanegaraan Indonesia ke depan. Dengan
perubahan pasal-pasal tersebut, hasil perubahan
MPR telah berhasil meletakkan sendi-sendi checks
and balances, termasuk membatasi kekuasaan
eksekutif, MPR telah berhasil mengubah dengan
tegas tentang darimana kedaulatan diperoleh
(locus of souvereignty). MPR yang terdiri
anggota-anggota DPR dan anggota-anggota
DPD merupakan realisasi demokrasi perwakilan.
Sebagai lembaga negara, MPR hanya eksis ketika
DPR dan DPD berada dalam sidang gabungan
(joint session). Inovasi politik dan hukum melalui
perubahan UUD 1945 oleh MPR era reformasi
juga berkaitan dengan pemilihan langsung
Presiden dan Wakil Presiden.
Sejumlah kalangan masyarakat menilai
hasil Perubahan UUD 1945 oleh MPR jauh dari
memuaskan karena ‘elitis’ dan kurang partisipatif.
Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR
membuktikan, benturan kepentingan itu berpotensi
menjadi perubahan konstitusi yang ‘tambal
sulam’ dan tidak berorientasi kepentingan jangka
panjang. Ketidaksempurnaan itu disebabkan
karena dalam konteks perubahan UUD yang
komprehensif, MPR sendiri sebenarnya adalah
objek reformasi konstitusi yang seharusnya diatur
kembali kewenangannya. Perubahan konstitusi
seharusnya dilakukan oleh lembaga independen
semacam Komisi Konstitusi dan dilakukan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.
Sebagaimana diketahui, UUD 1945 telah
menentukan prosedur perubahannya dalam Pasal
37, akan tetapi tidak mengatur teknik perubahan
yang harus dilakukan apakah dengan memakai
cara Amerika Serikat atau Eropa Kontinental.
Dan juga tidak menentukan secara tegas institusi
negara yang berwenang melakukan perubahan
terhadap UUD, tetapi dari Perubahan Pertama
sampai dengan Perubahan Keempat, MPR
beranggapan bahwa dirinyalah yang paling
berwenang melakukan perubahan. Kritik atas
kewenangan MPR ini, terutama dari kalangan
yang menghendaki perubahan dilakukan oleh
sebuah Komisi Konstitusi yang independen, tetapi
dijawab oleh MPR dengan mengubah Pasal 3
UUD 1945 yang menambahkan kewenangan MPR
untuk mengubah UUD, di samping kewenangan
untuk menetapkan UUD (Perubahan Ketiga) (Ali
Mukti Fajar, 2006 : 23).
Dari hasil kajian komprehensif yang dilakukan
sejak Oktober 2003 sampai dengan April 2004
terhadap hasil perubahan UUD 1945 oleh MPR,
Komisi Konstitusi berpendapat antara lain sebagai
berikut (Komisi Konstitusi, 2004 : 122-127).
“Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil perubahan
UUD 1945 yang telah dilakukan MPR dalam
beberapa hal mengandung kontradiksi, baik
secara teoritis konseptual maupun praktek
ketatanegaraan. Meskipun perubahan terhadap
materi muatan meliputi lebih dari 50%, dan terdiri
dari 207 ayat, namun UUD 1945 masih tetap ada. Di
samping itu juga terdapat inkonsistensi substansi
baik yuridik maupun teoritik. Strukturisasi atau
sistematisasi pasal-pasal tambahan yang tidak
konsisten tersebut melahirkan inovasi politik dan
hukum dari Komisi Konstitusi. Konstitusionalisasi
yang dilakukan Komisi Konstitusi dibuktikan
dengan lahirnya pasal-pasal tambahan. Sebagai
contoh ialah pemilihan calon Presiden independen
(Pasal 6A), pemberdayaan kewenangan DPD
yang sejajar dengan DPR (Pasal 22C). Selain itu
dalam penegakkan hukum juga terjadi inovasi.
Hal ini terbukti yang selain dari Polri, juga diatur
Kejaksaan dan Ombudsman (Pasal 24 D,E,F),
pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
secara langsung (Pasal 18 ayat (4)), asas retroaktif
dalam kasus HAM berat (Pasal 28I), penyandang
cacat (Pasal 34) dan kemerdekaan Pers yang
dijamin dan diatur dalam undang-undang,
keterlibatan rakyat dalam perubahan UUD 1945
dan Komisi Konstitusi (Pasal 37 ayat (7)).
Tiadanya kerangka acuan atau naskah
akademik dalam melakukan perubahan UUD
1945 merupakan salah satu sebab timbulnya
inkonsistensi teoritis dan konsep dalam mengatur
materi muatan UUD. Hal ini juga berlaku terhadap
prosedur perubahan UUD yang tidak melibatkan
rakyat. Metode participatory yang dipergunakan
oleh kebanyakan negara-negara modern, perlu
digunakan dalam melakukan perubahan terhadap
UUD.”
Belakangan diketahui bahwa hasil Komisi
Konstitusi yang dilaporkan kepada Badan Pekerja
MPR ternyata kurang mendapat respon positif,
bahkan kabarnya hasil kajian Komisi Konstitusi
“ditolak” oleh MPR. Karena Komisi Konstitusi
dinilai telah melampaui tugasnya yang mestinya
hanya melakukan pengkajian secara komprehensif
Perubahan UUD 1945 hasil karya MPR, tetapi
malah mengusulkan perubahan terhadap hasil
Perubahan UUD 1945 (Ni’matul Huda, 2008 : 225).
Rupanya antara Badan Pekerja (BP) MPR
dengan Komisi Konstitusi terjadi perbedaan
6
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
tafsir mengenai arti “pengkajian komprehensif
Perubahan UUD 1945”. Komisi Konstitusi memberi
makna yang luas, yaitu tidak hanya mencakup halhal seputar hasil Perubahan UUD 1945 yang telah
dilakukan oleh MPR sebanyak empat tahap, tetapi
juga mencakup pemikiran filosofis para founding
fathers ketika membuat rumusan naskah UUD
dalam sidang BPUPKI dan PPKI, sehingga hasil
Komisi Konstitusi terdiri atas Naskah Akademik
Hasil Pengkajian Perubahan UUD 1945 (Buku
I) dan Usulan Perubahan Pasal-pasal UUD
1945 (Buku II) (Ali Mukti Fajar, 2006 : 63-64).
Sementara itu, menurut BP MPR pengkajian secara
komprehensif berarti melakukan kajian terhadap
Perubahan UUD 1945, bukan melakukan kegiatan
untuk membuat usulan perubahan terhadap
Perubahan UUD 1945. Hasil Komisi Konstitusi
diharapkan lebih mengarah kepada bagaimana
mengimplementasikan Perubahan UUD 1945,
antara lain dalam bentuk gagasan-gagasan ilmiah
mengenai agenda pembentukan UU organik
sebagai perangkat hukum pelaksanaan UUD 1945
agar dapat operasional dan memberi manfaat
dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan
negara.
Belak angan muncul k embali tuntutan
perubahan (ulang) terhadap UUD 1945 sebagai
hasil evaluasi 10 tahun lebih implementasi UUD
1945 pasca perubahan. Dalam kurun waktu
tersebut sudah ada beberapa persoalan yang
diajukan ke Mahkamah Konstitusi pengujian
tentang calon perseorangan dalam pemilihan
presiden, tambahan kewenangan pengujian
Perppu, constitutional complaint dan constitutional
question oleh MK, optimalisasi peran legislasi
DPD, dan lain-lain. Tulisan ini ingin menggagas
perubahan (ulang) UUD 1945 yang lebih
partisipatoris melalui Komisi Konstitusi yang lebih
independen dibandingkan Komisi Konstitusi yang
sebelumnya, dengan mandat menyiapkan draf
perubahan (ulang) UUD 1945.
Sejak perubahan (ketiga) UUD 1945 telah
lahir lembaga baru yang menjalankan fungsi
k ek uasaan k ehak iman di luar Mahk amah
Agung, yakni Mahkamah Konstitusi. Pasal
24C UUD 1945 memberikan mandat penuh
kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah
belum pernah memutus pembubaran partai
politik dan memberikan putusan mengenai
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Sejak kehadirannya, ekspektasi masyarakat
sangat tinggi terhadap Mahkamah Konstitusi,
khususnya dalam pengajuan pengujian undangundang terhadap UUD 1945. Berbagai putusan
progresif juga sudah ditorehkan dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia melalui Mahkamah
Konstitusi. Selain sebagai pengawal konstitusi
(the guardian of the constitution) Mahkamah
Konstitusi juga berfungsi sebagai penafsir
konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
Belajar dari pengalaman berbagai negara
yang juga mengalami transisi demokrasi dan
reformasi konstitusi, ada baiknya kita menggagas
untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam
perubahan (ulang) UUD 1945. Di samping itu,
perjalanan + 11 tahun reformasi konstitusi adalah
waktu yang cukup untuk mengkaji ulang sistem
yang kita terapkan saat ini.
Adapun permasalahan yang diajuk an
dalam penelitian ini: pertama, apa urgensi
pelibatan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan
perubahan (ulang) UUD 1945 yang partisipatif
melalui Komisi Konstitusi? Kedua, bagaimana
model pelibatan Mahkamah Konstitusi dalam
perubahan (ulang) UUD 1945 yang partisipatif
melalui Komisi Konstitusi?
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
B. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka (library research).
Objek penelitiannya adalah urgensi pelibatan
Mahkamah Konstitusi dalam amandemen
(ulang) UUD 1945 yang partisipatif melalui
Komisi Konstitusi. Data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang berupa
bahan-bahan hukum yang terdiri dari, bahan
hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat
mengikat berupa Undang-Undang Dasar 1945.
Di samping itu, juga digunakan bahan hukum
sekunder, yang terdiri dari buku-buku literatur,
jurnal, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya
yang berhubungan dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini pengumpulan bahan
hukum dilakukan dengan cara studi dokumen,
yaitu mengkaji, menelaah dan mempelajari
bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan
penelitian ini berupa hasil-hasil kajian komprehensif
Komisi Konstitusi mengenai perubahan UUD
7
1945. Penelitian ini menggunakan pendekatan
konsep (conceptual approach) dan perbandingan
(comparative approach), (Johny Ibrahim, 306 : 313)
untuk menganalisis urgensi pelibatan Mahkamah
Konstitusi dalam perubahan dan menemukan
model pelibatan Mahkamah Konstitusi dalam
perubahan (ulang) UUD 1945 dengan melihat
praktek di beberapa negara.
Pembaharuan UUD di dunia ini terutama tidak
ditentukan oleh tata cara resmi (formal) yang harus
dilalui. Tata cara formal (fleksibel) tidak serta merta
memudahkan terjadinya perubahan UUD. Begitu
pula sebaliknya, tata cara formal yang dipersukar
(rigid) tidak berarti perubahan UUD tidak akan
atau akan jarang terjadi. Faktor utama yang
menentukan perubahan UUD adalah berbagai
(pembaharuan) keadaan di masyarakat. Dorongan
demokratisasi, pelaksanaan paham negara
kesejahteraan (welfare state), perubahan pola dan
sistem ekonomi akibat industrialisasi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi
kekuatan (forces) pendorong pembaharuan.
Jadi, masyarakatlah yang menjadi pendorong
utama pembaharuan UUD. Demikian pula
peranan UUD itu sendiri. Hanya masyarakat yang
berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati
dan menjunjung tinggi UUD (konstitusi pada
umumnya), yang akan menentukan UUD tersebut
akan dijalankan sebagaimana mestinya (Jimly
Ashiddiqie, 2006 : 14-15).
Wheare pernah mengingatkan, mengapa
konstitusi perlu ditempatkan pada kedudukan yang
tinggi (supreme), supaya ada semacam jaminan
bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati
dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak
dan diubah begitu saja secara sembarangan.
Perubahannya harus dilakukan secara hikmat,
penuh kesungguhan dan pertimbangan yang
mendalam (K.C Wheare, 1975 : 7). Sasaran yang
ingin diraih dengan jalan mempersulit perubahan
konstitusi antara lain: a) agar perubahan konstitusi
dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak
serampangan dan dengan sadar (dikehendaki);
dan b) agar rakyat mendapat kesempatan
untuk menyampaikan pandangannya sebelum
perubahan dilakukan (Jimly Ashiddiqie, 2006 : 83).
UUD yang baik selalu menentukan sendiri
prosedur perubahan atas dirinya sendiri.
Perubahan yang dilakukan di luar prosedur yang
ditentukan itu bukanlah perubahan yang dapat
dibenarkan secara hukum (verfassung anderung).
Inilah prinsip negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat) dan prinsip negara
demokrasi yang berdasarkan atas hukum
(constitutional democracy) yang dicita-citakan
oleh para pendiri republik kita. Di luar itu, namanya
bukan ‘rechtsstaat’, melainkan ‘machtsstaat’ yang
hanya menjadikan pertimbangan ‘revolusi politik’
sebagai landasan pembenar yang bersifat ‘post
factum’ terhadap perubahan dan pemberlakuan
suatu konstitusi (Jimly Ashiddiqie, 2001).
Menurut Sri Soemantri, apabila dipelajari
secara teliti mengenai sistem perubahan
konstitusi di berbagai negara, paling tidak ada dua
sistem yang sedang berkembang yaitu renewel
(pembaharuan) dianut di negara-negara Eropa
Kontinental dan amandement (perubahan) seperti
dianut di negara-negara Anglo Saxon. Sistem yang
pertama ialah, apabila suatu konstitusi dilakukan
perubahan (dalam arti diadakan pembaharuan),
maka yang diberlakukan adalah konstitusi yang
baru secara keseluruhan. Di antara negara yang
menganut sistem ini misalnya: Belanda, Jerman,
dan Perancis. Sistem yang kedua ialah, apabila
suatu konstitusi diubah (diamandemen), maka
konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata
lain hasil amandemen tersebut merupakan bagian
atau dilampirkan dalam konstitusinya. Sistem ini
dianut oleh negara Amerika Serikat (Sri Soemantri,
1987 : 81).
Menurut Wheare, perubahan UUD akibat
dorongan kekuatan (forces) yang terjadi dapat
berbentuk: pertama, kekuatan-kekuatan yang
kemudian melahirkan perubahan keadaan
(circumstances) tanpa mengakibatkan perubahan
bunyi yang tertulis dalam UUD, melainkan terjadi
perubahan makna. Suatu ketentuan UUD diberi
makna baru tanpa mengubah bunyinya. Kedua,
kekuatan-kekuatan yang melahirkan keadaan
baru itu mendorong perubahan atas ketentuan
UUD, baik melalui perubahan formal (formal
amandement), putusan hakim, hukum adat
maupun konvensi (K.C Wheare, 1975 : 67-136).
Ada hal-hal prinsip yang harus diperhatikan
dalam perubahan UUD. Menurut Bagir Manan,
perubahan UUD berhubungan dengan perumusan
kaidah konstitusi sebagai kaidah hukum negara
tertinggi. Dalam hal ini, terlepas dari beberapa
kebutuhan mendesak, perlu kehati-hatian,
baik mengenai materi muatan maupun caracara perumusan. Memang benar, penataan
kembali UUD 1945 untuk menjamin pelaksanaan
konstitusionalisme dan menampung dinamika
baru di bidang politik, ekonomi, sosial, dan
lain-lain. Tapi, jangan sekali-kali perubahan itu
semata-mata dijadikan dasar dan tempat untuk
menampung berbagai realitas kekuatan politik
yang berbeda dan sedang bersaing dalam SU
MPR (Bagir Manan, 1999 : 45).
8
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
Juga hendaknya berhati-hati dengan caracara merumuskan kaidah UUD. Selain harus
mudah dipahami (zakelijk), juga menghindari
kompromi bahasa yang dapat menimbulkan
multitafsir yang dapat disalahgunakan di kemudian
hari (Bagir Manan, 1999 : 45). Sri Soemantri
menegaskan, dalam mengubah UUD harus
ditetapkan dulu alasan dan tujuannya. Jika hal itu
sudah disepakati, baru dapat dipikirkan langkah
selanjutnya berdasarkan alasan dan tujuan
perubahan itu. Misalnya, selama ini UUD terkesan
terlalu berorientasi pada eksekutif. Karena itu,
ditentukanlah bahwa tujuan dari perubahan UUD
adalah untuk membatasi kekuasaan eksekutif.
Kemudian apa yang dilakukan untuk membatasi
kekuasaan eksekutif? Itu harus dipikirkan masakmasak. Misalnya, kontrol terhadap eksekutif harus
diperkuat. Itu berarti kedudukan legislatif mesti
diperkuat. Jadi, kita harus kembali pada alasan
dan tujuan dari perubahan itu. Misalnya tujuannya
adalah mewujudkan negara demokrasi, maka kita
harus berbicara mengenai sistem pemerintahan
(Sri Soemantri, 2001 : 14).
1. Paradigma Perubahan UUd
Reformasi politik dan ekonomi yang
bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan
tanpa diiringi oleh reformasi hukum. Tetapi
reformasi hukum yang menyeluruh juga
tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh
agenda reformasi ketatanegaraan yang
mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya
‘constitutional reform’ yang tidak setengah
hati (Jimly Ashiddiqie, 2001 : 15).
Perubahan konstitusi dipengaruhi oleh
seberapa besar badan yang diberikan
otoritas melakukan perubahan memahami
tuntutan perubahan dan seberapa jauh
kemauan anggota badan itu melakukan
perubahan. Perubahan konstitusi tidak
hanya bergantung pada norma perubahan,
tetapi lebih ditentukan oleh kelompok elite
politik yang memegang suara mayoritas di
lembaga yang mempunyai kewenangan
melakukan perubahan konstitusi. Lembaga
yang mempunyai kewenangan melakukan
perubahan harus berhasil membaca arah
perubahan yang dikehendaki oleh masyarakat
yang diatur secara kenegaraan.
Dalam setiap perubahan konstitusi
terdapat paradigma perubahan yang harus
dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma
perubahan itu menjadi “politik hukum”
perubahan konstitusi. Kesulitannya perubahan
yang diinginkan oleh masyarakat politik
tidak senantiasa sama dengan substansi
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
perubahan yang diinginkan oleh anggota
lembaga yang mempunyai kewenangan
melakukan perubahan konstitusi (Ali Mukti
Fajar dkk, 2004 : 39).
Perubahan konstitusi harus didasarkan
pada paradigma perubahan agar perubahan
terarah sesuai dengan kebutuhan yang
berkembang di masyarakat. Paradigma
ini digali dari kelemahan sistem bangunan
konstitusi lama, dan dengan argumentasi
diciptakan landasan agar dapat menghasilkan
sistem yang menjamin stabilitas pemerintahan
dan memajukan kesejahteraan rakyat (Ali
Mukti Fajar dkk, 2004 : 85).
Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan
prinsip-prinsip penting yang mendasar atau
jiwa (gheist) perubahan konstitusi. Nilai dan
prinsip itu dapat digunakan untuk menyusun
telaah kritis terhadap konstitusi lama dan
sekaligus menjadi dasar bagi perubahan
konstitusi atau penyusunan konstitusi baru.
Di samping persoalan paradigma dalam
perubahan konstitusi, juga perlu diperhatikan
aspek teoritik dalam perubahan konstitusi
yang akan mencakup masalah prosedur
perubahan, mekanisme yang dilakukan,
sistem perubahan yang dianut, dan substansi
yang akan diubah (Ali Mukti Fajar, 2003 : 64).
Perubahan UUD 1945 yang pertama
sampai dengan keempat jelas bersifat
mendasar dan mencakup materi yang
sangat banyak, sehingga telah mengubah
sistematika, baik perumusan formalnya
maupun sistematika berpikir UUD 1945.
Dengan demikian, Perubahan UUD 1945
sudah tidak dapat lagi disebut menggunakan
tradisi Amerika Serikat yang dijadikan rujukan
dalam rangka pelaksanaan perubahan UUD
1945. Oleh karena itu, sebaiknya, teknik
dan prosedur yang diacu oleh ketentuan
Pasal 37 UUD 1945 itu haruslah dipahami
dalam pengertian model tradisi Eropa, bukan
Amerika Serikat (Bagir Manan, 2003 : 232).
Menurut Bambang Widjojanto, sejak
awal sudah dapat diduga, arah dan substansi
perubahan tidak akan mendasar guna
mengabdi secara utuh pada kedaulatan
rakyat serta membangun sistem kekuasaan
yang demokratis dengan cara membenahi
carut-marutnya sistem kekuasaan (Bambang
Widjojanto, 2002 : 198). Menurut Denny
Indrayana, pentingnya melembagakan
proses reformasi konstitusi di luar institusi
politik konvensional didasarkan beberapa
alasan. Reformasi konstitusi yang terjadi
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
9
sejalan dengan pergolakan politik akibat
transisi dari pemerintahan otoriter, sarat
benturan kepentingan politik antara kelompok
status quo, yang masih membawa dan
m e m p e r t a h a nk a n s e ma n g a t o t o r i t e r,
dengan kelompok reformis yang berusaha
menuju ke negara demokratis (Guillermo
O’Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence
Whitehead, 1986 : 178).
Lebih lanjut Denn y Indra yana
menyatakan, reformasi konstitusi yang
tidak dilepaskan dari konflik politik, dengan
menyerahkannya semata-mata kepada
lembaga perwakilan rakyat seperti MPR,
akan cenderung terkontaminasi dengan
virus kompromi politik jangka pendek yang
biasanya menjadi solusi pragmatis dari konflik
politik transisi. Oleh karena itu, akan lebih baik
bila proses reformasi konstitusi diserahkan
pada lembaga profesional yang independen
dan non partisan sebagaimana Komisi
Konstitusi (Guillermo O’Donnel, Philippe C.
Schmitter dan Laurence Whitehead, 1986 :
178).
Hal senada juga dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie, yang mengatakan para anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak
memiliki kesempatan waktu yang memadai
untuk terlebih dahulu memperdebatkan
secara mendalam (Jimly Ashiddiqie, 2001 :
10). Kalaupun pilihan-pilihan konseptual yang
didasarkan atas pertimbangan akademis yang
matang sudah dipikirkan oleh anggota Majelis,
suasana dan dinamika yang mempengaruhi
proses pembahasan rancangan perubahan
itu juga sangat dipengaruhi oleh kepentingankepentingan yang terlibat di dalamnya.
Keadaan ini menyebabkan pilihan-pilihan
yang menyangkut kebenaran akademis
seringkali terpaksa dikesampingkan oleh
pilihan-pilihan yang berkenaan dengan
kebenaran politik. Untuk itu, yang sebaiknya
merancang penyusunan kembali naskah
akademik Undang-Undang Dasar adalah
sebuah Panitia UUD yang dibentuk tersendiri,
yang dapat dinamakan Komisi Konstitusi atau
Panitia Penyusunan Undang-Undang Dasar.
Kritik tajam juga dilontarkan oleh Mukthie
Fadjar, yang mengatakan dalam melakukan
perubahan-perubahan terhadap UUD 1945
tersebut ternyata sejak semula MPR memang
tidak memiliki visi dan misi yang jelas
yang disepakati dan dirumuskan secara
tegas, atau dengan kata lain tidak memiliki
paradigma perubahan yang diinginkan
dengan perubahan konstitusi, sehingga
10 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
menuai banyak kritik baik dalam proses
maupun dalam substansi, dan bahkan
secara ekstrim ada dua kubu pendapat
yang berhadapan secara diametral, yaitu
yang menilai MPR telah ‘kebablasan’ dalam
melakukan perubahan terhadap UUD 1945
sehingga harus dihentikan, dan yang lain
menganggap MPR tidak mampu atau ‘kacau
balau’ dalam melakukan perubahan sehingga
diharapkan “melempar handuk” menyerahkan
tugas perubahan atau bahkan penyusunan
konstitusi baru kepada sebuah Komisi
Konstitusi yang independen, sedangkan MPR
hanya sebagai filternya saja (Ali Mukti Fajar,
2003 : 59-60).
2.
Urgensi Pelibatan MK dalam Perubahan
(ulang) UUd 1945
Salah satu hasil amandemen (ketiga)
UUD 1945 adalah lahirnya Pasal 24C ayat
(1) yang menghadirkan lembaga baru
bernama Mahkamah Konstitusi (MK). MK
secara konstitusional ditentukan memiliki
4 (empat) kewenangan, yaitu: (1) menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
(3) memutus pembubaran partai politik;
(4) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Kewenangan tersebut
adalah dalam tingkat pertama dan terakhir
dan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final, yaitu langsung mempunyai kekuatan
hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum
untuk mengubahnya. Selain wewenang itu,
berdasarkan Pasal 24C ayat (2) jo Pasal
7B, Mahkamah Konstitusi juga berkewajiban
untuk memeriksa, mengadili dan memutus
mengenai pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak
final karena tunduk pada (subject to) putusan
MPR, lembaga politik yang berwenang
memberhentikan Presiden (Pasal 7A). Jadi
berbeda dengan di Amerika Serikat yang
mendahulukan proses politik daripada proses
hukum (Ni’matul Huda, 2004 : 195-200).
Meskipun MK bukan lembaga parlemen,
tetapi UUD 1945 telah melimpahk an
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
kewenangan yang sangat signifikan kepada
MK sebagai pengawal k onstitusi (the
guardian of the constitution) terkait dengan
empat wewenang dan satu kewajiban yang
dimilikinya. Hal itu membawa konsekuensi
MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi
(the sole interpreter of the constitution).
Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip
demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi
adalah melindungi hak asasi manusia yang
dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi
hak konstitusional warga negara. Oleh karena
itu MK juga berfungsi sebagai pengawal
demokrasi (the guardian of the democracy),
pelindung hak konstitusional warga negara
(the protector of the citizen’s constitutional
rights) serta pelindung hak asasi manusia (the
protector of human rights) (Ni’matul Huda,
2004 : 28).
Mekanisme peradilan konstitusi
(constitution adjudication) itu sendiri
merupakan hal baru yang diadopsikan ke
dalam sistem konstitusional Indonesia dengan
dibentuknya MK. Peradilan konstitusional itu
dimaksudkan untuk memastikan bahwa
UUD sungguh-sungguh dijalankan atau
ditegakkan dalam kegiatan penyelenggaraan
negara sehari-hari. Pengujian terhadap
lembaga lain oleh lembaga yang berbeda
apak ah yang bersangk utan sungguhsungguh melaksanakan UUD atau tidak
merupakan mekanisme yang sama sekali
baru. Sebelumnya memang tidak dikenal
dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia.
Kewenangan konstitusional MK ini
adalah perwujudan prinsip checks and
bala nce s yan g mene m patk an sem ua
lembaga-lembaga negara dalam kedudukan
setara, sehingga dapat saling kontrol-saling
imbang dalam praktek penyelenggaraan
negara. Keberadaan MK jelas merupakan
langkah progresif untuk mengoreksi kinerja
antar lembaga negara khususnya dalam
proses pendewasaan politik berbangsa
dan bernegara. Melalui proses peradilan di
MK, bangsa Indonesia telah meneguhkan
tekad untuk menyelesaikan segala bentuk
sengketa dan konflik politik melalui jalur
hukum. Kita harus mulai mendisiplinkan diri
menyelesaikan segala perselisihan pendapat
mengenai pelaksanaan agenda demokrasi
melalui jalan hukum dan konstitusi.
Setiap undang-undang yang telah
disahkan pada pokoknya telah mencerminkan
kehendak mayoritas rakyat Indonesia, karena
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
DPR dan Presiden yang telah membahas
dan men yetujuin ya ber sama memang
mendapatkan mandat langsung dari rakyat
untuk menjalankan tugasnya membentuk
dan mengesahkan undang-undang. Akan
tetapi, undang-undang hanya mencerminkan
kehendak politik DPR bersama Presiden, yang
belum tentu sama dengan kehendak seluruh
rakyat yang berdaulat. Kehendak seluruh
rakyat tercermin dalam Undang-Undang
Dasar sebagai produk MPR sebagai lembaga
permusyawaratan rakyat, bukan tercermin
dalam UU yang hanya mencermink an
kehendak politik DPR bersama Presiden
(Jimly Ashiddiqie, 2004 : 15).
Hasil kesepakatan dalam forum politik
di DPR yang ditentukan berdasarkan prinsip
‘rule by majority’ tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai dan norma keadilan yang
lebih tinggi derajatnya yang terkandung
dalam konstitusi. Karena itu, meskipun
mayoritas rakyat menghendaki sesuatu norma
hukum yang mengikat untuk umum diatur
dalam suatu undang-undang, jika lembaga
pengawal Undang-Undang Dasar yang
bernama Mahkamah Konstitusi menilainya
dalam proses peradilan sebagai hal yang
bertentangan dengan konstitusi, maka norma
hukum yang bersangkutan dapat dinyatakan
tidak boleh mengikat untuk umum. Suara
mayoritas berdasarkan prinsip demokrasi
betapapun juga tidak boleh mengabaikan
prinsip-prinsip nomokrasi, meskipun hanya
didukung oleh minoritas suara. Karena pada
akhirnya, suara minoritas keadilan itulah
yang sungguh-sungguh mencerminkan
suara seluruh rakyat yang berdaulat (Jimly
Ashiddiqie, 2004 : 15).
Selama hampir 10 (sepuluh) tahun
berdirinya, MK telah menjalankan dan
melaksanakan tiga macam perkara yang
menjadi kewenangannya, yaitu menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Mahkamah belum pernah memutus
pembubaran partai politik dan memberikan
putusan mengenai pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
11
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Seb ag ai le mb ag a neg ar a pr oduk
reformasi, MK menjadi tumpuan ekspektasi
masyarakat yang menginginkan terjadinya
perbaikan dalam bidang penegakan hukum.
Sejauh ini MK telah merespons harapan
publik tersebut melalui proses peradilan yang
bersih dan putusan yang menjunjung tinggi
prinsip keadilan (Moh Mahfud MD, 2009 : vii).
Terkait dengan penegakan prinsip keadilan
ini, MK mengedepankan keadilan substantif,
yaitu keadilan yang lebih didasarkan pada
kebenaran material daripada kebenaran
formal-prosedural. Dengan kata lain, apa
yang secara formal-prosedural benar bisa
saja disalahkan jika secara material dan
substansinya melanggar keadilan. Sebaliknya
apa yang secara formal-prosedural salah
bisa saja dibenarkan jika secara material dan
substansial sudah cukup adil.
MK menekankan perlunya keadilan
substantif untuk menghindari munculnya
putusan yang mengabaikan rasa keadilan
sebagaimana kerap ditemukan dalam putusan
pengadilan pada masa lalu. Terobosan
hukum tersebut perlu dilakukan untuk
menggairahkan penegakan hukum dalam
masyarakat (Moh Mahfud MD, 2009 : vii).
Diakui sudah banyak kemajuan-kemajuan
yang dicapai oleh institusi kehakiman ini.
MK sudah membuktikan sebagai institusi
hukum yang dapat dipercaya dan terhormat
(reliable and honoured court) di Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya putusanputusan MK yang sangat progresif dan dapat
menjadi acuan hukum bagi percepatan
reformasi hukum di Indonesia.
Meskipun MK sudah sangat produktif
memeriksa dan memutus perkara judicial
review, tidak sedikit masyarakat yang sering
terusik oleh beberapa putusan MK yang
dipandang kontroversial, yakni putusanputusan dalam pengujian Undang-Undang
yang bersifat ultra petita, bahkan ada kesan
MK bukan hanya bertindak sebagai negative
legislator tetapi juga sudah memasuki area
positive legislator.
Semula putusan MK hanya sekedar
menyatakan suatu norma atau undangundang bertentangan terhadap UndangUndang Dasar, kemudian berkembang
dengan memberikan tafsir suatu norma atau
undang-undang yang diuji agar memenuhi
syarat konstitusionalitas sehingga tidak
terhindarkan MK membuat norma baru.
Dalam beberapa putusannya MK telah
12 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
melakukan pengujian atas produk legislasi
sehingga norma atau undang-undang yang
diuji memenuhi syarat konstitusionalitas.
Putusan MK memberi tafsir (petunjuk, arah,
dan pedoman serta syarat bahkan membuat
norma baru) yang dapat diklasifikasi sebagai
putusan konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) dan putusan inkonstitusional
bersyarat (conditionally unconstitutional)(
Hamdan Zoelva, 2011).
Jik a tafsir yang ditentuk an dalam
putusan MK dipenuhi maka suatu norma
atau undang-undang tetap konstitusional
sehingga dipertahankan legalitasnya. Adapun
jika tafsir yang ditentukan dalam putusan
MK tidak dipenuhi maka suatu norma hukum
atau undang-undang menjadi inkonstitusional
sehingga harus dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat
(Hamdan Zoelva, 2011).
Dari uraian di atas, dengan melihat
posisi strategis MK sebagai pengawal
konstitusi (the guardian of the constitution),
penafsir konstitusi (the sole interpreter of
the constitution), pengawal demokrasi (the
guardian of the democracy), pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector
of the citizen’s constitutional rights) serta
pelindung hak asasi manusia (the protector
of human rights), kiranya sudah tepat jika MK
dilibatkan dalam proses perubahan konstitusi
yang partisipatif oleh Komisi Konstitusi.
Apalagi konstitusi (UUD 1945 hasil perubahan
ulang) tersebut nantinya akan dipergunakan
oleh MK untuk menguji UU yang dibuat oleh
DPR dan Pemerintah.
3.
Alternatif Model Perubahan Konstitusi
Sebelum dilakukan amandemen
terhadap Pasal 37 UUD 1945, mekanisme
perubahan UUD 1945 sangatlah sederhana
pengaturannya. Untuk mengubah UUD
sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah
anggota MPR harus hadir. Putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya
2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.
Akan tetapi, setelah adanya amandemen
UUD 1945, mekanisme perubahan UUD
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37
UUD 1945 nampak semakin dipersulit. Hal
itu terbukti dari gagalnya usulan amandemen
ulang yang diusung oleh DPD RI selama ini
karena tidak tercapainya quorum MPR. Pasal
37 UUD 1945 hasil amandemen menentukan
sebagai berikut.
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
a.
b.
c.
d.
e.
Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat
diagendakan dalam sidang MPR apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3
dari jumlah anggota MPR
Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya.
Untuk mengubah pasal-pasal UUD,
Sidang MPR dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal
UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen
ditambah satu anggota dari seluruh
anggota MPR.
Khusus mengenai bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan.
Pasal 37 tersebut membuka ruang
dimunculkannya usul perubahan dan tidak
membatasi siapa yang menyusun draf usulan
perubahannya. Meskipun pembatasanpembatasan quorum MPR tersebut dalam
prakteknya bisa menjadi kendala tersendiri
jika usulan perubahan tidak didukung oleh
mayoritas anggota MPR.
A d a k ek h aw a t i r a n d a r i s e j u m l a h
kalangan, kalau amandemen UUD kembali
diserahkan kepada MPR maka akan terjadi
conflict of interest sebagaimana yang sudah
terjadi pada amandemen pertama s/d
keempat (1999-2002). Untuk itu diusulkan
dibentuknya lembaga independen yang dipilih
oleh rakyat – semacam Badan Konstituante
(Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
dan UUD Sementara 1950) yang dibentuk
khusus untuk melakukan perubahan UUD
atau yang banyak digunakan di berbagai
negara dengan sebutan Komisi Konstitusi.
Dalam sejarah ketatanegaraannya,
Pemerintah Indonesia pernah memiliki Badan
Konstituante ketika berlakunya Konstitusi RIS
1949 dan UUD Sementara 1950 yang diberi
mandat khusus untuk melakukan penyusunan
UUD. Dalam Pasal 186 Konstitusi RIS
ditegaskan, “Konstituante (Sidang Pembuat
UUD) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi
RIS yang akan menggantikan Konstitusi
sementara ini.” Kemudian dalam Pasal 187
KRIS ditegaskan: (1) Rancangan Konstitusi
dibuat oleh Pemerintah dan dengan amanat
Presiden disampaikan kepada Konstituante
untuk di musyawarahkan, demi sidang
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
itu berapat. (2) Pemerintah menjaga,
supaya rancangan Konstitusi berdasarkan
pembangunan RIS dari negara-negara sesuai
dengan kehendak rakyat, sebagai yang
akan dinyatakan dengan cara demokrasi
menurut yang ditetapkan dalam Pasal 43
sampai dengan 46. (3) Berkenaan dengan
menjalankan yang ditetapkan dalam pasalpasal yang tersebut dalam ayat yang lalu,
Undang-Undang Federal akan mengadakan
tindakan-tindakan yang perlu, sehingga
pernyataan suara rakyat yang diperlukan
diperoleh dalam satu tahun sesudah Konstitusi
ini mulai berlaku.
Selanjutnya dalam Pasal 188 KRIS
ditentukan: (1) Konstituante dibentuk dengan
jalan memperbesar DPR yang dipilih menurut
Pasal 111 dan Senat baru yang ditunjuk
menurut Pasal 97, dengan anggota-anggota
luar biasa sebanyak jumlah anggota luar
biasa itu dipilih ataupun ditunjuk atau diangkat
dengan cara yang sama sebagai anggota
biasa. Pemerintah mengadakan persediaan,
sekadar perlu dengan mufakat dengan
daerah-daerah bagian, untuk menjamin
supaya anggota-anggota luar biasa DPR
dan Senat dipilih, diangkat ataupun ditunjuk
pada waktunya. (2) Rapat gabungan DPR
dan Senat, keduanya dengan jumlah anggota
dua kali lipat, itulah Konstituante. (3) Ketua
DPR ialah Ketua Konstituante, Ketua Senat
ialah Wakil Ketua. (4) Yang ditetapkan dalam
Pasal 87, 93, 94 ayat (3) dan (4), 95 dan 105,
berlaku demikian juga bagi Konstituante.
(5) Rapat-rapat Konstituante terbuka bagi
umum, kecuali jika dianggap perlu oleh
Ketua menutup pintu ataupun jika sekurangkurangnya 25 anggota menuntut hal itu.
Di dalam Pasal 189 KRIS ditegaskan:
(1) Konstituante tidak dapat bermufakat atau
mengambil keputusan tentang rancangan
Konstitusi baru, jika pada rapatnya tidak
hadir 2/3 dari jumlah anggota sidang. (2)
Konstituante berhak mengadakan perubahanperubahan dalam rancangan Konstitusi.
Konstitusi baru berlaku, jika rancangannya
telah diterima dengan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah suara anggota yang hadir
dan kemudian disahkan oleh Pemerintah.
(3) Apabila Konstituante sudah menerima
rancangan Konstitusi, maka dikirimkannya
rancangan itu kepada Presiden untuk
disahkan oleh Pemerintah. Pemerintah harus
mengesahkan rancangan itu dengan segera.
Pemerintah mengumumkan Konstitusi itu
dengan keluhuran. (4) Kepada tiap-tiap
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
13
negara bagian akan diberikan kesempatan
menerima Konstitusi. Dalam hal suatu negara
bagian tidak menerima Konstitusi itu, maka
negara itu berhak bermusyawarah tentang
suatu perhubungan khusus dengan RIS dan
kerajaan Nederland.
Demikian pula ketika Konstitusi RIS
diganti dengan UUD Sementara 1950,
Konstituante (Sidang Pembuat UUD) kembali
diatur. Di dalam Pasal 134 UUDS 1950
ditegaskan “Konstituante (Sidang Pembuat
UUD) bersama-sama dengan pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan UUD RI
yang akan menggantikan UUD Sementara
ini.” Pasal ini ramai diperdebatkan dalam
Konstituante untuk menentukan penafsiran
autentik dari kata-kata “bersama-sama
dengan” yang terdapat dalam pasal pertama,
karena kata-kata tersebut tidak menjelaskan
batas-batas peran pemerintah (Adnan
Buyung Nasution, 1995 : 35). Konstituante
menentukan bahwa kata-kata “bersamasama dengan” seharusnya ditafsirkan
dalam kaitannya dengan Pasal 137 ayat
(3) yang berbunyi: “Apabila Konstituante
sudah menerima rancangan UUD, maka
dik ir imk ann ya r an can g an itu k epada
Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah.
Pemerintah mengesahkan rancangan itu
dengan segera. Pemerintah mengumumkan
UUD itu dengan keluhuran.”
Pasal ini menunjukkan bahwa peran
pemerintah baru mulai sesudah Konstituante
menyetujui rancangan undang-undang
dasar. Karena itu, melalui tafsiran sistematis,
Konstituante menyimpulkan bahwa peran
pemerintah sangat terbatas, tidak lebih dari
mensahkan dan mengumumkan undangundang dasar baru yang seluruhnya dibuat oleh
Konstituante. Pasal terakhir ini menetapkan
bahwa sesudah rancangan undangundang dasar disetujui oleh Konstituante,
pemerintah harus segera mensahkan dan
mengumumkannya “dengan keluhuran”
(Adnan Buyung Nasution, 1995 : 35).
Selanjutnya Pasal 135 menentukan
sebagai berikut: “(1) Konstituante terdiri dari
sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan
berdasarkan atas perhitungan setiap 150.000
jiwa penduduk WNI mempunyai seorang
wakil. (2) Anggota-anggota Konstituante
dipilih oleh WNI dengan dasar umum dan
dengan cara bebas dan rahasia menurut
aturan-aturan yang ditetapkan dengan
UU. (3) Ketentuan-ketentuan dalam Pasal
58 berlak u buat Konstituante dengan
pengertian bahwa jumlah-jumlah wakil
14 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
itu dua kali lipat.” Ketentuan-ketentuan di
dalam UUDS 1950 di atas menegaskan
kedudukan Konstituante sebagai satusatunya badan yang berwenang menyusun
UUD, sebagai forum bagi wakil-wakil rakyat
yang dipilih secara langsung dalam pemilihan
yang bebas dan rahasia dengan tujuan
merancang undang-undang dasar baru.
Menarik disimak pengakuan Presiden
Soekarno pada waktu pelantikan anggota
Konstituante tanggal 10 November 1956, yang
secara tersirat mengakui akan mandat dan
wewenang tunggal Badan Konstituante sebagai
berikut (Adnan Buyung Nasution, 1995 : 36).
“Kita bukan tidak punya konstitusi, malah
dengan konstitusi yang berlaku sekarang,
kita sudah mempunyai tiga konstitusi…
Tapi semua konstitusi (1945, 1949, dan
1950) dari yang nomor satu sampai dengan
nomor tiga itu adalah bersifat sementara.
Dan semua konstitusi itu bukanlah hasil
permusyawaratan antara anggota-anggota
sesuatu konstituante yang dipilih langsung
oleh rakyat dalampemilihan umum yang
bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu
adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat
Pemerintah. Tetapi sesuatu negara hukum
yang demokratis menghendaki sebagai syarat
mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh
tangan rakyat sendiri.”
Walaupun Badan Konstituante telah
terbentuk dan sudah melakukan mandatnya
untuk menyiapkan konstitusi baru yang akan
menggantikan UUD 1945, tetapi suasana
politik ketika itu tidaklah mendukung kinerja
Badan Konstituante untuk menyelesaikan
tugas besar yang disandangnya. Kerja
Badan Konstituante justru dihentikan dengan
tragis oleh Pemerintah karena Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
yang memerintahkan untuk membubarkan
Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.
Sejarah berulang ketika hasil amandemen
UUD 1945 ‘digugat’ oleh masyarakat karena
hasilnya belum optimal. Masyarakat menuntut
agar hasil amandemen UUD 1945 dikaji
ulang dan disempurnakan oleh lembaga
yang independen di luar MPR. Pada Sidang
Tahunan MPR RI 2002, Minggu 11 Agustus
2002 pukul 01.30 dini hari, seluruh fraksi
sepakat untuk membentuk Komisi Konstitusi
dengan landasan hukum Ketetapan MPR,
yakni Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
Pembentukan Komisi Konstitusi dengan
mandat mengkaji secara komprehensif UUD
1945 dan perubahannya.
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
Untuk menindaklanjuti perintah dari
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tersebut,
dalam Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003
lahir Keputusan MPR RI No. Iv/MPR/2003
tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan,
dan Keanggotaan Komisi Konstitusi. Di dalam
Pasal 1 Keputusan MPR RI No. Iv/MPR/2003
ditegaskan bahwa tugas Komisi Konstitusi
adalah melak uk an pengkajian secara
komprehensif terhadap UUD 1945 dalam
waktu 7 (tujuh) bulan (Krishna Harahap, 2004,
155). Secara etimologis, pengkajian secara
komprehensif dapat diartikan mempelajari,
menyelidiki, menguji, menelaah, memikirkan
secara luas dan lengkap tentang Perubahan
UUD 1945.
Dalam melaksanakan tugasnya Komisi
Konstitusi berwenang untuk, (1)Memperoleh
selur uh bahan dan ris alah mengenai
Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945;
(2)Memperoleh penjelasan mengenai latar
belakang dan proses Perubahan UUD Negara
RI Tahun 1945 dan anggota Badan Pekerja
MPR RI; (3)Melakukan penelitian dan analisis
hasil Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.
Dalam melaksanakan tugasnya Komisi
Konstitusi berpedoman pada Pembukaan
UUD Negara RI Tahun 1945, dan melakukan
pengkajian secara transparan dengan
melibatkan masyarakat luas. Di samping
itu, dalam melakukan pengkajian, Komisi
Konstitusi terikat kepada kesepakatan
dasar PAH I MPR yang menyatakan: 1.
Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. 2.
Tetap mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 3. Mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil. 4. Penjelasan
UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif
dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam
pasal-pasal. 5. Perubahan dilakukan dengan
cara “adendum”.
Susunan Komisi Konstitusi terdiri atas
anggota dan pimpinan yaitu seorang Ketua,
dua orang Wakil Ketua, seorang Sekretaris
dan seorang Wakil Sekretaris masing-masing
merangkap sebagai anggota, yang dipilih
dari dan oleh anggota. Komisi Konstitusi
bertanggungjawab kepada MPR RI melalui
Badan Pekerja MPR RI.
Anggota Komisi Konstitusi diisyaratkan
memiliki wawasan kebangsaan dan sikap
kenegarawanan serta memiliki kemampuan
untuk melakukan pengkajian UUD
Negara RI Tahun 1945. Anggota Komisi
Konstitusi berjumlah 31 (tiga puluh satu)
orang dipilih oleh Badan Pekerja MPR
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
RI, yang pemilihannya dilakukan secara
transparan dan partisipatif dan ditetapkan
oleh Pimpinan MPR RI. Anggota Komisi
Konstitusi ditetapkan selambat-lambatnya
60 (enam puluh) hari setelah Keputusan ini
ditetapkan. Masa kerja Komisi Konstitusi
adalah 7 (tujuh) bulan terhitung sejak tanggal
penetapan Anggota Komisi Konstitusi.
Dalam merumuskan hasil pengkajian
tidak dilakukan pemungutan suara. Seluruh
hasil kajian tersebut disampaikan oleh
Komisi Konstitusi kepada Badan Pekerja
MPR RI, untuk selanjutnya dilaporkan dalam
sidang terakhir MPR RI periode 1999-2004.
Komisi Konstitusi yang dibentuk oleh MPR
ternyata tidak diberi tugas dan kewenangan
yang signifikan untuk menyempurnakan
hasil perubahan UUD 1945 yang masih
carut-marut. Lahirnya Keputusan MPR
No. Iv/MPR/2003 belum cukup menjawab
keresahan masyarak at terhadap hasil
yang diperoleh MPR dalam melakukan
perubahan UUD 1945. Keputusan MPR
tersebut hanyalah ‘ikhtiar setengah hati’ dari
MPR dalam merespon tuntutan kekecewaan
masyarakat terhadap hasil perubahan UUD
1945. Atau kelahiran Komisi Konstitusi
sesungguhnya tidak dikehendaki oleh MPR,
karena MPR berpendapat bahwa penetapan
dan perubahan UUD adalah monopoli MPR
(Ni’matul Huda, 2007 : 213).
Kegagalan demi kegagalan badan atau
komisi yang mendapatkan mandat untuk
menyiapkan perubahan konstitusi yang
dialami oleh Indonesia menjadi pelajaran
yang sangat berharga bagi perjalanan
ketatanegaraan Indonesia. Untuk itu, perlu
untuk melakukan komparasi dengan beberapa
negara mengenai model perubahan konstitusi
yang dipraktekkan oleh negara-negara lain
yang bisa dijadikan acuan dalam melakukan
perubahan (ulang) UUD 1945. Misalnya
dengan melihat pengalaman negara lain
yang telah sukses membentuk Komisi
Konstitusi untuk menyiapkan perubahan
konstitusi. Pengalaman Filipina yang di bawah
Corazon Aquino membentuk constitutional
commission, Thailand yang membuat
constitutional drafting Assembly, dan Afrika
Selatan membentuk constitution Assembly,
yang menunjukkan bahwa penyerahan
perubahan konstitusi kepada lembaga
semacam Komisi Konstitusi, akan lebih
menjamin suksesnya reformasi konstitusi.
1.
Popular Ratification of Constitution
Model ini langsung melibatkan
masyarakat pemilih. Darimana pun
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
15
lembaga legislatif memperoleh masukan
atas rancangan perubahan konstitusi,
atau konstitusi baru sama sekali, tetapi
dok umen itu h ar us m e ndapatk an
persetujuan masyarakat pemilih
(Referendum – Korea Selatan, 1987
dan Plebisit di Philipina, 1987) (Bambang
Widjojanto, 2002 : 212).
2.
constitutional convention (Bambang
Widjojanto, 2002 : 212).
a. Lembaga legislatif menyiapkan
rancangan perubahan konstitusi
lalu mengundang r apat besar
(konvensi) yang dihadiri utusan
daerah-daerah. Utusan Daerah
ini khusus dipilih di daerah guna
menghadiri konvensi. Para utusan
ini membahas, menolak, mengubah,
dan menyetujui rancangan yang
disiapkan lembaga legislatif Cara ini
diadopsi dalam Konstitusi Philipina
1987 (Article XVII Section 3).
b. K o n v e n s i y a n g m e n y i a p k a n
rancangan untuk disodorkan
kepada lembaga legislatif (Model
Amerika Serikat ketika mengubah
Articles of confederation 1777 dan
menggantinya dengan Konstitusi
AS). Rancangan hasil konvensi
k onstitus i di sodor k an k epada
Kongres AS, dan diratifikasi negaranegara bagian (1787-1790).
3.
constitutional Initiatives (Swiss, 1892)
(Bambang Widjojanto, 2002 : 212-213).
Pola ini diadopsi di Swiss sejak tahun
1892, yang kemudian diikuti banyak
negara bagian di Amerika Serikat. Cara
ini mengasumsikan kepedulian politik
warga negara yang terhitung tinggi,
tradisi baca tulis yang telah maju, sarana
dan prasarana komunikasi memadai,
jumlah penduduk tidak banyak, dan
wilayah negara tidak menjadi hambatan.
Cara ini bukan dimaksudkan untuk
menyusun konstitusi baru, tetapi hanya
unt uk men gh a si lk an a ma nd em en
konstitusi. Dibedakan menjadi 2: (a)
Unformulated (gagasan kepada lembaga
legislatif agar mengubah konstitusi,
(b) Formulated initiatives (rumusan
amandemen konstitusi).
4.
constitutional Assembly (Afrika Selatan)
Mandat kepada anggota
c onstitutional As se mbl y ( Majeli s
Kon stitu si) ada lah me nghad ir k an
konstitusi baru. Sebelum dilakukan
16 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
reformasi konstitusi, ditetapkan
dulu Interim constitution (Konstitusi
Se m en ta r a) . I nt er i m c on st i tu t io n
mencantumkan 34 prinsip-prinsip dasar
(constitutional principles) yang harus
dijadikan patokan penyusunan konstitusi
baru, menyangkut konsep dasar konstitusi
demokratis (kemandirian kekuasaan
kehakiman, perlindungan HAM dan
sistem kontrol antar lembaga negara).
Interim constitution menentukan
bahwa hasil akhir konstitusi constitutional
Assembly sebelum disahkan menjadi
UUD ha r u s m en d ap a t k an pr o s e s
sertifikasi lebih dahulu dari Mahkamah
Ko n st i t u si . M a hk am a h K on s t it u s i
memeriksa apakah konstitusi yang
disiapkan constitutional Assembly
bertentangan atau tidak dengan
constitutional principles yang ada dalam
Interim constitution. Hasilnya, setelah
dua kali diajukan barulah constitutional
Assembly memberikan sertifikasi (Jimly
Ashiddiqie, 2006 : 283) .
5.
c onstitutional d r afting As se mbl y
(Thailand), (Jimly Ashiddiqie, 2006 :
179-180)
Reformasi konstitusi oleh lembaga
khusus itulah yang menjadi salah
satu penentu keberhasilan Thailand
melahirkan konstitusi baru yang akhirnya
disebut T he p eo ple c onstitution .
Sebutan itu begitu melekat karena hasil
reformasi konstitusi yang dipelopori
constitutional drafting Assembly amat
berbeda dengan lima belas konstitusi
Thailand sebelumnya yang begitu elitis
dan amat dipengaruhi kekuatan militer.
constitutional drafting Assembly
beranggotakan 76 orang perwakilan
provinsi dan 23 orang dari berbagai
perguruan tinggi di Thailand, khususnya
mempersiapkan rancangan konstitusi
dan menyebarluaskannya kepada rakyat
Thailand. Sosialisasi dilakukan secara
amat terbuka dengan memperbanyak
public hearing yang diselenggarakan
oleh cabang-cabang constitutional
drafting Assembly di daerah-daerah
untuk menyaring sebanyak mungkin
aspirasi rakyat Thailand.
Melalui proses reformasi konstitusi
di constitutional drafting Assembly
inilah akhirnya tahun 1997 The people
constitution disahkan parlemen Thailand
dan dianggap sukses mengakhiri krisis
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
konstitusi yang sudah berlangsung
lebih dari 65 tahun sejak berlakunya
konstitusi pertama Thailand (1932)
hingga konstitusinya yang ke lima belas
(1997).
Dengan melihat kembali desain
Komisi Konstitusi yang pernah dibentuk
oleh MPR dengan kewenangan
yang sangat ‘minim’, ke depan, perlu
dibentuk Komisi Konstitusi yang diberi
mandat untuk melakukan amandemen
(ulang) yang melibatkan MK untuk
penyempurnaan hasil akhirnya. Komisi
Konstitusi yang akan dibentuk harus
diberi kewenangan yang signifikan
sebagaimana yang dipraktekkan di
beberapa negara yang telah sukses
menyusun konstitusi baru. Di samping
itu, Komisi Konstitusi wajib steril dari
keanggotaan partai politik. Keikutsertaan
partai politik dalam perubahan konstitusi,
akan menyebabkan hasil perubahan
konstitusi tidak maksimal.
Larangan aktifnya partai politik
dalam Komisi Konstitusi dapat didasarkan
pada filosofi eksisnya konstitusi yang
amat bertolak belakang dengan partai
politik. Filosofi konstitusi adalah untuk
membatasi penguasa dan kekuasaan
negara. Sebaliknya, filosofi partai politik
adalah untuk merebut dan menguasai
sebanyak mungkin posisi penguasa
dan kekuasaan negara. Karena filosofi
yang amat berbeda itu, maka proses
perubahan konstitusi harus dipisahkan
dari partai politik agar tidak menimbulkan
conflict of interest.
Bagaimana pelibatan MK dalam
perubahan (ulang) UUD 1945? MK
tidak dilibatkan sejak perumusan awal
draf perubahan UUD. Perumusan draf
perubahan (ulang) serta penyebaran atau
pun penyerapan aspirasi masyarakat
ter hadap dr af tersebut dilak uk an
oleh Komisi Konstitusi. Apabila draf
perubahan (ulang) sudah disetujui
oleh masyarakat, Komisi Konstitusi
wajib meminta pendapat MK apakah
draf perubahan tersebut bertentangan
atau tidak dengan prinsip-prinsip yang
disepakati oleh MPR sebelum dilakukan.
Apabila MK memandang draf tersebut
sudah sesuai dengan prinsip-prinsip
kenegaraan Indonesia, barulah draf
tersebut diajukan kepada MPR untuk
dimintakan persetujuan.
Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
Sebagaimana yang dipraktekkan
di Afrika Selatan, hasil akhir konstitusi
yang disiapkan oleh Komisi Konstitusi
(constitutional Assembly) sebelum
disahkan menjadi UUD harus
mendapatkan proses sertifikasi lebih
dahulu dari Mahkamah Konstitusi.
Mah k amah K on st it u si mem er i k sa
apakah konstitusi yang disiapkan Komisi
Konstitusi bertentangan atau tidak dengan
constitutional principles yang ada dalam
Interim constitution. Hasilnya, setelah
dua kali diajukan barulah constitutional
Assembly memberikan sertifikasi.
Untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam penyusunan konstitusi
ataupun perubahan (ulang) UUD 1945,
dapat berkaca dari model yang dilakukan
oleh constitutional drafting Assembly
di Thailand. Sosialisasi draf konstitusi
dilakukan secara amat terbuka dengan
memperbanyak public hearing yang
diselenggarakan oleh cabang-cabang
c on st it ut i on a l d r aft i ng As se mbl y
di daerah-daerah untuk menyaring
sebanyak mungkin aspirasi rak yat
Thailand.
d.
Simpulan
Dari uraian analisis atas permasalahan dalam
penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut.
pertama, Mahkamah Konstitusi perlu dilibatkan
dalam perubahan UUD 1945 karena UUD 1945
akan dijadikan sebagai batu uji oleh MK dalam
melakukan wewenangnya menguji undangundang, sehingga perlu memberikan penilaian
apakah secara substantif materi muatan konstitusi
antar pasalnya sinkron, tidak overlapping, dan
lain-lain. Kedua, bentuk pelibatan MK dalam
hal memberikan sertifikasi atas draf yang sudah
disusun oleh Komisi Konstitusi dan setelah
mendapatkan persetujuan mayoritas rakyat.
Sehingga draf perubahan konstitusi yang sudah
mendapat sertifikasi dari MK tinggal disahkan
oleh MPR.
Untuk itu ke depan, perlu dibentuk Komisi
Konstitusi yang independen dan kredibel untuk
melakukan perubahan (ulang) UUD 1945 agar
menjadi lebih sempurna. Di samping itu, dalam
melakukan perubahan perlu melibatkan partisipasi
masyarakat sebanyak mungkin input dihimpun
dan melibatkan MK dalam proses sertifikasinya.
MPR tidak lagi diberi kewenangan untuk merubah
UUD, tetapi cukup diserahkan kepada Komisi
Konstitusi, MPR tinggal mengesahkan draf yang
sudah mendapatkan sertifikasi dari MK.
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
17
daftar Pustaka
A. Mukthie Fadjar, reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi paradigmatik, In-TRANS, Malang, 2003.
A. Mukthie Fadjar dan Harjono (editor), pembaharuan Ketatanegaraan Melalui perubahan Konstitusi,
In-TRANS, Malang, 2004.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas
Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.
Bagir Manan, Teori dan politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Bambang Widjojanto dkk. (Editor), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar
Harapan,Jakarta, 2002.
Guillermo O’Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead (Editor), Transition from Authoritarian
rule: prospect for democracy, 1986.
Hamdan Zoelva, “Mekanisme checks and Balances Antar Lembaga negara (Pengalaman dan Praktik
Di Indonesia)”, makalah disampaikan pada Simposium Internasional “Negara demokrasi
Konstitusional”, yang diselenggarakan dalam rangka ulang tahun ke-8 Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, Selasa 12 Juli 2011.
Jimly Asshiddiqie, “Telaah Akademis Atas Perubahan UUD 1945”, Jurnal demokrasi & HAM, vol. 1, No.
4, September-November 2001.
, “Konsolidasi Materi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”, Kuliah Perdana Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 13 September 2001.
Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, dkk., gagasan Amandemen UUd 1945 dan pemilihan presiden
Secara Langsung, Sebuah dokumen Historis, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2006.
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayumedia, Malang,
2006.
K.C. Wheare, Modern constitution, Oxford University Press, New York – Toronto – London, Third
Impression, 1975.
Komisi Konstitusi, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi tentang perubahan
UUd Negara republik Indonesia Tahun 1945, MPR RI, Jakarta, 2004.
Krisna Harahap, Konstitusi republik Indonesia Sejak proklamasi Hingga reformasi, PT Grafitri Budi
Utami, Jakarta, 2004.
Mahkamah Konstitusi RI, “Menuju Peradilan Modern & Terpercaya”, Laporan Tahunan Mahkamah
Konstitusi rI, Jakarta, 2006.
Ni’matul Huda, politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap dinamika perubahan UUd 1945,
Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
, Lembaga Negara dalam masa Transisi demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007.
, UUd 1945 dan gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.
Sri Soemantri M., prosedur dan Sistem perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987.
Forum Keadilan, No.30, 31 Oktober 1999
Forum Keadilan, No. 14, 8 Juli 2001.
Kompas, 31 Januari 2008.
Kompas, 1 Pebruari 2008.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
18 Yustisia Vol.2 No.2 Mei - Agustus 2013
Pelibatan Mahkamah Konstitusi Dalam ...
Download