Sosiologi Pendidikan - Darno SMK N 1 Klaten

advertisement
UJIAN SMESTER TAHUN 2011
Mata Kuliah
Dosen Pengampu
: Sosiologi Pendidikam
: Dr. Tjipto Subadi, M.Si
Oleh :
DARNO
NIM. Q 100 090 217
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
Abstrak
A. Pendahuluan
Sosiologi pendidikan tersusun dari dua kata, yakni sosiologi dan pendidikan.
Secara etimologi kedua kata ini mempunyai maksud yang berbeda, namun
dalam sejarah hidup dan kehidupan manusia seiring dengan berkembangnya
budaya dan peradaban, keduanya mempunyai makna yang tak terpisahkan.
Terutama dalam system memberdayakan manusia, dimana sampai saat ini
memanfaatkan pendidikan sebagai instrument pemberdayaan tersebut11.
Beberapa pemikiran pakar mengenai sosiologi pendidikan yang dikemukakan
oleh Ahmadi (1991). Menurut George Payne, yang kerap disebut sebagai bapak
sosiologi pendidikan, mengemukakan secara konsepsional yang dimaksud
dengan sosiolgi pendidikan adalah by educational sosiologi we the science
whith desribes andexlains the institution, social group, and social processes,
that is the spcial relationships in which or through which the individual gains
and organizes experiences”. Payne menegaskan bahwa, di dalam lembagalembaga, kelompok-kelompok social, proses social, terdapatlah apa yang
dinamakan social itu individu memperoleh dan mengorganisir pengalamanpengalamannya. Inilah yang merupakan aspek-aspek atau prinsip-prinsip
sosiologisnya.
Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense
aims to reveld the connetion at all points between the cducative process and the
social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
hubungan timbal balik antara semua titik sosial dengan proses pendidikan
untuk mencapai tujuan.
Menurut E.B Reuter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk
menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya
dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari
lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian social dari tiap-tiap
individu. Jadi prinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga social itu
selalu saling pengaruh mempengaruhi (process social interaction).
F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah
ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan social yang
mempengaruhi
individu
untuk
mendapatkan
serta
mengorganisasi
pengalamannya. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakukan social serta
perinsip-perinsip untuk mengontrolnya.
E.G Payne secara spesifik memandang sosiolgi pendidikan sebagai studi yang
konfrenhensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu yang diterapkan.
Bagi Payne sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam
bidang sosiologi yang dapat dikenakan analisis sosiologis. Tujuan utamanya
ialah memberikan guru-guru, para peneliti dan orang lain yang menaruh
perhatian akan pendidikan latihan yang serasi dan efektif dalam sosiologi yang
dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam
tentang pendidikan (Nasution 1999:4)
Menurut Dictionary of Socialogy, sosiologi pendidikan ialah sosiologi yang
diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Menurut Prof. DR.S.Nasution. Sosiologi pendidikan ialah ilmu yang berusaha
untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G. Robbins, Sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang
bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan.
Dari beberapa pengertian di atas, sosiologi pendidikan dapatlah dipahami
secara sederhana sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah-
masalah pendidikan dan segala pranatanya dengan analisis atau pendekatan
sosiologis.
B. Sejarah Sosiologi Pendidikan
Sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Sosiologi
berasal dari kata “socius” yang berarti kawan atau teman dan “logis” yang berarti
ilmu. Secara harfiah sosiologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang perkawanan
atau pertemanan. Istilah sosiologi diperkenalkan pertama kali oleh August Comte
(1798-1857) pada abad ke-19. istilah ini dipublikasikan melalui tulisannya yang
berjudul “Cours de Philosophie Positive”.
Sosiologi, oleh Comte dikatakan sebagai ilmu tentang masyarakat secara ilmiah
(Faisal, tanpa tahun). Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang lahir pada saat
terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Pitirim Sorokim (dalam Soekamto,
1999) menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai:
pertama, hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala
sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, pendidikan dengan ekonomi,
agama dengan pendidikan, pendidikan dan politik. Kedua, hubungan dan pengaruh
timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial, misalnya gejala
biologis, geografis, iklim dan sebagainya. Ketiga, ciri-ciri umum semua jenis
gejala-gejala sosial.
Sosiologi dapat digolongkan pada salah satu bentuk ilmu pengetahuan (sosial) atau
social science. Oleh karena itu, Sosiologi juga mempunyai beberapa unsur pokok
yaitu :

Pengetahuan (knowledge)

Tersusun secara sistematis

Menggunakan pemikiran

Dapat dikontrol atau dikritisi oleh orang lain
kenyataan sosial menunjukkan suatu perubahan yang terjadi begitu cepat dalam
masyarakat. Perubahan sosial yang cepat tersebut terjadi di abad ke-19, sebagai
akibat revolusi industri di Inggris. Akibat perubahan tersebut menurut Mc Kee
(dalam Faisal, tanpa tahun) menyebabkan terjadinya apa yang dinamakian
keterkejutan intelektual kelompok cerdik pandai yang salah satu diantaranya
adalah para sosiolog.
Lester F. Ward dapat dikatakan sebagai pencetus gagasan timbulnya studi baru
tentang Sosiologi Pendidikan. Gagasan tersebut muncul dengan idenya tentang
evolusi sosial yang realistik dan memimpin perencanaan kehidupan pemerintahan
(Vembriarto, 1993). John Dewey (1859-1952) secara formal dikenal sebagai tokoh
pertama yang melihat hubungan antara pendidikan struktur masyarakat dari bentuk
semulangan yang masih bersahaja. Secara formal, pada tahun 1910 Henry Suzzalo
memberi kuliah Sosiologi Pendidikan di Teachers College University Columbia
(Vembriarto, 1993). Pada tahun 1913, Emlie Durkheim telah memandang
pendidikan sebagai suatu “social thing” (Ikhtiar sosial). Payne (1928) menjelaskan
bahwa Sosiologi Pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi
alat (mean) untuk mendeskripsikan dan menjelaskan institusi, kelompok sosial, dan
proses sosial yang merupakan hubungan sosial di dalamnya individu memperoleh
pengalaman yang terorganisasi.
Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya untuk menelaah berbagai
macam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan
sejumlah konsep-konsep umum. Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin
ilmu yang masih muda dan belum banyak berkembang. Atas dasar tersebut
dikalangan para ahli Sosiologi Pendidikan timbul beberapa kecendrungan yang
berbeda yaitu :

Golongan yang terlalu menitikberatkan pandangan pendidikan daripada
sosiologinya

Golongan Applied Educational (Sociology) terutama terdiri atas ahli-ahli
sosiologi yang memberikan dasar pengertian sosial kultural untuk
pendidikan

Golongan yang terutama menitikberatkan pandangan teoritik
Tujuan Sosiologi Pendidikan

Sosiologi Pendidikan dalam perkembangannya mempunyai beberapa tujuan
praktis, diantaranya adalah :

Memberikan analisis terhadap pendidikan sebagai alat kemajuan sosial.

Merumuskan tujuan pendidikan

Sebagai sebuah bentuk aplikasi Sosiologi terhadap pendidikan

Menjelaskan proses pendidikan sebagai proses sosialisasi

Memberikan pengajaran Sosiologi bagi tenaga-tenaga kependidikan dan
penelitian pendidikan

Menjelaskan peranan pendidikan di masyarakat

Menjelaskan pola interaksi di sekolah dan antara sekolah dengan
masyarakat
C. Peletak Dasar Sosiologi
1. Ibnu Khaldun
2. Auguste Comte
Aguste Comte [1798-1857] adalah seorang filosof Perancis yang
menjelaskan evolusi peradaban manusia dalam tiga tahapan, yaitu :
teologi, metafisik dan positivisme. Teori Positivisme, mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan diperoleh hanya melalui pengamatan mendalam
terhadap realitas fakta. Pemikiran Comte ini telah menumbuhkan
komitmen pada Durkheim untuk selalu menganalisis seluruh fenomena
sosial secara ilmiah.
3. Emilie Durkhem
David Emile Durkheim, lahir tanggal 15 April 1858 lahir di kota Epinal
ibu kota bagian Vosges, Lorraine, Prancis bagian timur. bersama dengan
Max Weber, diakui disebut sebagai Bapak Fase Teori Sosiologi Modern
yang paling utama.
Durkheim keturunan Yahudi, dan beberapa dari nenek moyangnya adalah
rabbi (guru), Pendeta Agama Yahudi, yang bekerja di Prancis sejak tahun
1784. Sesungguhnya Durkheim diharapkan menjadi seorang rabbi,
mengikuti jejak ayahnya, namun pada kehidupan selanjutnya ia beralih
perhatian
pada
pendidikan,
filsafat
dan
sosiologi.
Sesudah mendapatkan pendidikan dasar dan lulus dengan gemilang,
Durkheim melanjutkan studinya di Paris, mempersiapkan diri masuk di
École Normale Superiéur, di mana nanti ia menemukan sahabat-sahabat
yang setia sepanjang hayatnya. Suasana akademik yang bertingkat tinggi
yang meliputi École Normale Superiéur itu, dengan mahasiswa pilihan,
membangkitkan jiwa Durkheim secara penuh, untuk aktif berdiskusi,
mengajukan argumentasi-argumentasi yang bernada politik, moral dan
filsafati. Filsuf yang sangat berpengaruh pada Durkheim adalah A. Comte
(Bapak Sosiologi). Pengaruh Comte pada Durkheim adalah bersifat
formatif.
Durkheim membangun suatu kerangka berfikir yang luas untuk
memberikan analisis sistem sosial yang tetap penting bagi sosiologi dan
sejumlah disiplin ilmu lain yang berkaitan, khususnya antropologi hingga
saat ini. Bahkan orang-orang yang pada dasarnya tidak sependapat
dengannya tetap memandang Durkheim sebagai kerangka acuan utama.
Beberapa karya utama Emile Durkheim diantaranya The Division of
Labour in Society (1893), The Rules of Sociological Method (1895),
Suicide (1897) dan diakhiri dengan The Elementary Forms of The
Religious Life (1912) serta sejumlah artikel, monografi dan beberapa
makalah
serta
dipublikasikan
Sosiologi
materi
dalam
Durkheim
kuliahnya
bentuk
yang
telah
buku
diterjemahkan
berbahasa
dan
Inggris.
ditandai oleh tegangan antar ilmu pengetahuan,
kesusilaan, politik dan ideologi. Banyak dari pekerjaan ilmiahnya
menampilkan perubahan moral dengan tujuan umumnya adalah untuk
menggambarkan kondisi yang stabil ditengah-tengah masyarakat modern.
Pribadi Durkheim dapat dikatakan aneh. Dengan wajah yang tampak
dingin dan keras, hati sanubarinya sangat halus. Kematian sahabatnya,
Victor Hommay, akibat bunuh diri sangat memukul perasaan Durkheim,
hingga ide tentang bunuh diri ini nanti menjadi salah satu unsur dalam
teorinya tentang masyarakat. Durkheim meninggal pada 15 November
1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor.
Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi
kehidupan bersama antara sesama manusia, sesuatu yang berada di atas
segala-galanya. Ia bersifat menentukan dalam perkembangannya. Hal-hal
yang paling dalam jiwa manusia pun berada di luar diri manusia sebagai
individu, misalnya kepercayaan keagamaan, kategori alam pikir, kehendak,
bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal tersebut bersifat sosial dan terletak
dalam masyarakat.
Masyarakat adalah suatu realitas yang bersifat sui generis, memiliki ciriciri khusus yang tidak ditemukan kesamaannya di seluruh mayapada ini.
Pengertian “masyarakat” yang dimaksud Durkheim dan peranannya yang
dimainkan dalam menganalisis tindakan-tindakan kemanusiaan, orang
harus melepaskan diri dari pengertian abstrak dan orang harus lebih
melihatnya
dari
penggunaan
perspektif
masyarakat
itu.
Masyarakat merupakan sumber dan dasar segala-galanya yang di dalamnya
individu sama sekali tidak mempunyai arti dan kedudukan. Hal-hal seperti
kejahatan, sakit jiwa, kesusilaan, kompetisi, ekonomi, undang-undang dan
sebagainya, semuanya diterangkan berdasarkan prioritas masyarakat.
Masyarkat itu ada tidak tergantung pada anggota-anggota, melainkan
terdiri sebagai suatu struktur adat istiadat, kepercayaan, sebagai suatu
lingkungan hidup terorganisasi. Sebagaimana tampak dengan jelas setiap
individu itu lahir dan hidup dalam satu lingkungan, berbicara satu bahasa,
memiliki satu lembaga dan tanpa persetujuan si individu sejak waktu yang
sangat dini dalam hidupnya, lingkungan telah membuktikannya dan
memaksanya mengikuti arah tertentu. Meskipun dalam bahasa Prancis
digunakan kata societe dan dalam bahasa Inggris society, masyarakat bagi
Durkheim berakar pada kata Latin communitas, bukan societas.
Durkheim mengajukan tesis bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang
hidup atau dinamik dan merupakan tempat kedudukan kehidupan moral. Ia
bukan robot mekanik dan bukan pula sebuah organisme yang dibatasi oleh
tubuh dan organ tubuh serta segala kemungkinan yang ada dari
lingkungannya. Benang merahnya menunjukkan secara dialektiks bahwa
suatu fenomena baik sosiologis maupun psikologis, relatif bebas dari
matriksnya, dengan pengertian dapat disebut sebagai Essay dalam
Spritualisme Sosiologis.
Seandainya saya di tanya tentang apa sebenarnya yang menjadi pokok
permasalahan bahasan Durkheim dalam sosiologinya itu dan apa pula garis
pemikirannya, maka akan saya jawab: Yang dibahas oleh Durkheim adalah
hubungan antara Rata-rata (Average), Normal dan Ideal serta konsepsinya
tentang Syntesis Kreatif. Pertama, yang average ini membatasi pokok
bahasan sosiologi; sedang yang kedua atau yang normal menunjukkan
indeks utama sistem sosial Durkheim. Kedua faham ini tidak dapat
dipisah-pisahkan. Keduanya timbul dari konsepsi tertentu mengenai pokok
bahasan
dan
merupakan
bagian
dari
metodologi
yang
sama.
Rata-rata, Normal dan Ideal
Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki dan kesulitan memperoleh
bacaan tentang Emile Durkheim. Pada bagian ini penulis mencoba
menelusuri benang merah hubungan antara Rata-rata, Normal dan Ideal.
Individu menurut konsep Durkheim adalah homodupleks, mengandung
unsur saya dan kita. Ini adalah dua hal yang berbeda, bukan suatu sintesis
yang berakar pada konsepsinya tentang masyarakat dan kekuatan-kekuatan
penggerak yang terdapat di masyarakat tersebut.
Dalam penelitian beliau tentang bunuh diri (Suicide). Durkheim
mengkritik sosiologi ahli statistik asal Belgia Quelete, karena ia
menjelaskan kerutinan perilaku tertentu yang dihubungkan dengan masingmasing masyarakat dengan mempostulasikan suatu “manusia rata-rata”,
yakni sebuah tipe kepribadian khas setiap masyarakat, dan tipe ini
dijumpai dalam mayoritas individu.
Pengetahuan akan perilaku manusia rata-rata ini didapat dengan membalik
proses yaitu dari mayoritas ke individu sehingga kerutinan diatribusikan
dalam bentuk perilaku individu. Tipe kepribadian ini dijumpai dalam ratarata individu. Rata-rata dan prototipe adalah satu.
Kalau begitu bagaimanakah pendapat Durkheim sendiri mengenai masalah
keseragaman sosial atau social uniformity dan peranan individu dalam
pembentukan keseragaman tersebut?
Durkheim mengatakan bahwa suatu gejala sosiologis berhubungan
generalitasnya dapat mempunyai dua bentuk. Sesuatu yang umum dalam
seluruh species: yang umum ini dijumpai setidaknya dalam sebagian besar
“individu”. Diantara kedua istilah yang berdekatan ini terdapat beberapa
variasi. Sedang variasi lain adalah perkecualian. Dan bahwa setiap
penyimpangan dari bentuk standart ini akan berbahaya sekali (bisa
menyebabkan kematian). Di sini perilaku yang sering terulang tidak saja
disamakan dengan perilaku normal tetapi juga merupakan pertanda
perilaku yang sehat.
Negarawan sendiri tidak dianjurkan merencenakan sesuatu yang lebih
baik, suatu yang ideal bagi masyarakat di hari mendatang cukuplah
mempertahankan apa adanya saja, jika keadaan ini dipandang sebagai
keadaan masyarakat yang “umum = rata-rata = normal = sehat/ideal”
Ini mirip pendekatan klinis dokter yang dalam hal mendiagnosis keadaan
organisme yang sedang ia tangani ia membandingkan dengan kondisi
organisme yang sedang ditanganinya itu dengan kondisi rata-rata
organisme dari usia dan jenis kelamin yang sama dengan menggunakan
kriteria tingkat frekuensi keadaan rata-rata sebagai tolok ukur normalitas
dan kesehatan.
Jika gejala sosial tertentu adalah normal dan umum bagi masyarakat
tertentu maka mau tidak mau seseorang harus menerima gejala itu dan
tidak dapat menerima gejala lainnya jika ia tidak bersedia merubah sistem
sosial dan kondisi-kondisi eksistensinya. Pada tingkat analisis ini
“desirability” mempunyai konotasi nilai guna yang artinya: “Sesuatu itu
dilakukan dalam masyarakat tertentu karena ada gunanya”
Sintesis tidak saja membebaskan individu dari ikatannya yang telalu dekat
kepada masyarakat tetapi juga membebaskan orang dari fungsi pengaruh
dari sebab dan dunia ide dari aspek-aspek materil morfologinya. Kita dapat
mengatakan bahwa kreasi membebaskan kreator dari ciptaannya maupun
ciptaan itu dari ciptaannya jika pencipta dan ciptaannya itu dipandang
sebagai konsep parlementer yang pengertian penuhnya hanya dapat
dipahami
bila
keduanya
dilihat
dalam
kaitan
satu
sama
lain.
Beberapa contoh yang dikatakan Durkheim sebagai “sifat-sifat kreatif”
yang akan lenyap antara lain krisis besar yang dialami Kristen, Reformasi,
Renaisanse dan Revolusi Perancis, perstiwa-peristiwa tertentu “karena
keadaan yang berbeda-beda” menghidupkan larangan-larangan sosial.
Intensitas kehidupan sosial mengambil bentuk pertemuan privat dan publik
yang berlangsung terus menerus di antara para anggotanya. Semakin besar
intensitas kehidupan sosial maka semakin besarlah kemungkinan bahwa
dari kumpulan ide-ide ini akan muncul ide-ide baru yaitu suatu cerminan
yang dimurnikan dari momen historis yang unik ini.
Menurut Durkheim apa yang dipelajari oleh sosiolog, bukanlah kekuatankekuatan sosial iu sendiri tetapi tanda-tanda eksternal melalui mana
kekuatan sosial tersebut menjadi tampak.
Setelah membaca dan mencoba menelaah ide-ide Durkheim tentang
masyarakat, moral dan religi, dapatlah dikritisi bahwa ide-ide tersebut
memilki kekuatan dan kelemahannya.
Makluk manusia itu mengembangkan aktivitas religi tidak karena ia
kagum terhadap kekuatan-kekuatan alam, juga tidak karena ia mempunyai
perasaan bahwa di belakang kegaiban alam ada suatu kekuatan sakti, juga
tidak karena ia mempunyai di dalam pikirannya bayangan-bayangan
abstrak tentang suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di
dalam alam, tetapi karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan yang
timbul di dalam alam jiwa manusia karena pengaruh suatu rasa sentimen
kemasyarakatan.
Sentimen kemasyarakatan itu berupa kompleks perasaan-perasaan yang
mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya terhadap
masyarakat dan disebabkan karena manusia merasakan kekuasaan dari
padan anggapan-anggapan kolektif kepada segala kelakuan di dalam
hidupnya. Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi
keagamaan, yang sebaliknya merupakan pangkal dari segala kelakukan
keagamaan manusia, yaitu tidak selalu berkobar-kobar di dalam alam jiwa
manusia. Apabila tidak dipelihara maka sentimen kemasyarakatan itu
menjadi lemah dan latent.
D. Teori Sosiologi Makro
1. Teori Struktural Fungsional
Melihat masyarakat sebagai sistem yang senantiasa dalam keadaan
seimbang. Proses sosial bersifat kontinew dengan mengembangkan
keselarasan.
Tokoh Talcot Person dan Robert K. Merton
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori
stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert
Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami
kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya
bermakna historis. Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai
dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut
dengan AGIL. 1. Adaptation (adaptasi). 2. Goal attainment (pencapaian
tujuan). 3 Integration (integrasi), 4. Latency (pemeliharaan pola).
Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton
Postulat tentang kesatuan masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa
semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah
fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu
oleh masyarakat. Postulat tentang fungsionalisme universal, bahwa seluruh
bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi
positif. Postulat tentang indispensability, bahwa semua aspek masyarakat
yang sudah baku tidak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga
mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya
masyarakat sebagai satu kesatuan.
2. Teori Konflik
Perbedaan cara pandang dan kepentingan masyarakat yang sangat
kompleks menyebabkan terjadinya pertentangan dan perubahan proses
sosial yang identik dengan proses perjuangan yang terus-menerus menuju
sasaran.
Mengasumsikan sebuah konflik dalam masyarakat tercipta dengan adanya
keinginan-keinginan untuk berkompetisi antar individu dan kelompok.
Konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial
Hasilnya: masyarakat senantiasa ada dalam perubahan yang terus-menerus.
Konflik terjadi karena sesuatu yang berharga dalam masyarakat tidak
terdistribusi secara merata dan adil. Beberapa ahli berpendapat: sebelum
sistem ekonomi dan politik masyarakat berubah, reformasi pendidikan tidak
akan terwujud. Konflik Menunjuk pada perjuangan yang dilakukan setiap
anggota masyarakat untuk mempertahankan, meningkatkan, dan menjaga
posisi sosial mereka. Konflik bukanlah proses destruktif (merusak).
3. Teori Marxian
Peletak dasar bagi teori konflik pada kesenjangan dan eksploitasi terhadap
kondisi sosial para pakerja. Kelompok “si kaya” dan “si miskin” yang
bersaing dalam masyarakat merupakan situasi ketegangan yang ajeg, yang
dapat mengarah pada kemungkinan adanya perlawanan.
Karl marx merupakan salah satu penganut aliran marxisme. Ia adalah
keturunanYahudi yang dilahirkan di Jerman pada tahun 1818 dan
meninggal dunia pada tahun 1883.
Karl marx mengemukakan pendapatnya tentang manusia, bahwa manusia
baginya adalah seseorang yang tidak berarti apa-apa. Arti manusia
dikaitkan dengan masyarakat. Masyarakat harus berkembang, dan
perkembangan masyarakat disebut sebagai sejarah. Menurut Marx yang
menjadi dorongan perkembangan masyarakat adalah yang menjadi
dorongan jalan sejarah yaitu kekuatan materia yang ada di dalam
masyarakat itu. Konsep ini juga memperjelas bahwa Marx sangat
membedakan antara manusia dengan binatang. Perbedaan ini terletak pada
cara atau usaha dalam mencapai keperluan hidupnya. Manusia dalam
mencapai keperluan hidupnya harus mencari dan menggunakan alat
(Poedjawijatna, 1983:168).
Asumsi dasar pemikiran Karl Marx adalah bahwa kepentingan manusia
adalah untuk mempertahankan materi. Pandangan Marx yang agak ekstrem
determinase sosial atas tingkah laku individu, bahwa manusia pada
hakekatnya mengejar kepentingannya sendiri. Marx percaya bahwa
manusia memiliki potensi untuk menjadi egois atau tidak egois bergantung
dari sifat hubungan-hubungan tempat ia lahir atau dimana ia berada (Mof,
1997:1).
Menurut Marx (dalam Lawang, 1986:120) kehidupan individu dan
masyarakat kita didasarkan pada asas ekonomi. Antara lain berarti bahwa
institusi-instritusi politik, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, seni,
keluarga, dan sebagainya, bergantung pada tersedianya sumber-sumber
ekonomi. Hal ini berarti juga bahwa institusi-institusi ini tidak dapat
berkembang dengan tuntutan-tuntutan system ekonomi. Pendirian dan
pemeliharaan perpustakaan dan museum sebagai tempat menyimpan
ciptaan-ciptaan budaya, berhasilnya suatu tim atletik, terwujudnya suatu
kebijakan politik, kesenangan keluarga dalam suatu perjalanan liburan,
suatupenelitian seorang ilmuwan, semua ini dan kegiatan lain yang tidak
terbilang jumlahnya tidak dapat dilaksanakan tanpa sumber materiil yang
diperoleh lewat kegiatan ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi Karl
Marx berorientasi pada materi. Karl marx tidak mengakui adanya
kebebasan individu, tetapi kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite
yang mengatas namakan rakyat banyak. Paham ini menurt saya kurang
cocok apabila dimplikasikan pada pendidikan di Indoneia karena paham
yang dianut Karl Marx berbeda dengan paham yang dianut Indonesia yaitu
pancasila.
Oleh karena itu, pandangan Karl Marx tidak sesuai apabila diterapkan di
Indonesia, karena Indonesia menganut filosofi manusia yang memandang
manusia secara utuh. Bahkan Indonesia telah jelas-jelas menolak
pandangan atau pendirian materialisme. Hal tersebut tertuang dalam
pandangan hidup Pancasila yang dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945,
dan GBHN yang dituangkan dalam Tap. No. IV/MPR/1973 dan
IV/MPR/1978 dengan poin-poin pendirian sebagai berikut:
 Kita menolak pendirian materialisme, yang menganggap manusia sebagai
materi semata-mata.
 Kita juga tidak dapat menerima visi Plato dengan dualismenya.
 Pendapat Aristoteles bahwa jiwa manusia akan musnah pada saat kematian
manusia tidak sesuai dengan pendapat kita.
Kita menegaskan bahwa manusia itu makhluk pribadi sekaligus makhluk
sosial, manusia itu makhluk jasmani maupun rohani (Budiman, dkk. 1986:124).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat menentang
pendapat Karl Marx. Bahkan pendapat Karl Marx apabila diterapkan pada
pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang
tertuang di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bab II pasal 3.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi
Karl Marx sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia, khususnya dibidang
pendidikan. Sebab, tujuan pendidikan di Indonesia bukan untuk memperoleh
material belaka tetapi untuk membentuk manusia seutuhnya yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
E. Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)
1. Teori Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata
pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi fenomenologi bertujuan
untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman
beserta maknanya.
Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi
Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam
kesadaran subjek. Fenomenologi memiliki peran dan posisi dalam banyak
konteks, diantaranya sebagai sebuah studi filsafat, sebagai sikap hidup dan
sebagai sebuah metode penelitian.
Fokus Penelitian Fenomenologi
Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah
fenomena. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan
memaknai pengalamannya.
Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi
Teknik “utama” pengumpulan data: wawancara mendalam dengan subjek
penelitian. Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi
partisipan, penulusuran dokumen, dan lain-lain.
Tahap-Tahap enelitian Fenomenologi
Pra-penelitian
Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti
Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian
Proses Penelitian Fenomenologi
Melakukan wawancara dengan subjek penelitian dan merekamnya.
Analisis Data Fenomenologi
a.
Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara ke dalam tulisan.
b.
Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa
prakonsepsi.
c.
Tahap Horizonalization: menginventarisasi pernyataan-pernyataan
penting yang relevan dengan topik.
d.
Tahap
Cluster
of
Meaning:
rincian
pernyataan
penting
itu
diformulasikan ke dalam makna, dan dikelompokkan ke dalam tematema tertentu. (Textural description, Structural description)
e.
Tahap deskripsi esensi: mengintegrasikan tema-tema ke dalam
deskripsi naratif.
2. Teori Interaksi Simbolis
Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang
berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama
di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya
George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup
sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action
theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber
(1864-1920).
Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber
namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang
dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh,
berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu
mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam
penampilan (Mulyana,2002).
Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi
beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan
dramaturgis dan etnometodologi, diilhami pandangan filsafat, khususnya
pragmatisme dan behaviorisme.
Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles
Peirce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati
tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita
bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan
pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.
Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui
berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita
ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan
pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara
aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus
dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).
Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton
Chooley , John Dewey, William I. Thomas dikenal sebagai perintis
interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead dikenal sebagai ilmuwan yang paling
populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini.
Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara
sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead
kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul
Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead, kemudian
mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah
terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa
“the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to
each other.”
Asumsi Teori
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat
tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan
tiga tema besar, yakni: (1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2)
Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu dan
masyarakat.
Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa:
- Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang
diberikan orang lain pada mereka.
- Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia
- Makna dimodifikasi dalam proses interpretif.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang
berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian
mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan
sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar.
1. Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang
terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia
pahami tentang obyek atau orang tersebut.
1. Languange (Bahasa): The source of meaning
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial.
Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui
penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itulah
teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi
nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan
dengan obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis
Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai
sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan
adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana.
Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat.
Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung
pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme
simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
1. Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other
Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of
symbol is modified by his or her own thought processes.” Interaksionisme
simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead
menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses
menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri
ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai
situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa
dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah
software untuk bisa mengaktifkan mind.
Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah
pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang
unik untuk memerankan orang lain (take the role of the other). Sebagai
contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang
tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering
menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan
meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan
bertindak sebagaimana orang itu akan bertindak.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari
bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk
mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. Merujuk
pada pendapat Mead self (diri) adalah proses mengkombinasikan I dan me. I adalah
kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak
terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the lookingglass dari reaksi orang lain.
Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik
yang terus menerus—mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya.
Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep
dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang,
obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi
dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
Interaksi simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blummer dalam
lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert
12
Mead (gurunya Blummer) yang kemudian di modifikasi oleh Blummer untuk
tujuan tertentu.
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada
cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang
mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh
yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak
yang terlibat dalam interaksi sosial. (Mulyana, 2003 : 71)
Menurut teoritis interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol . Mereka tertarik pada
cara manusia menggunakan symbol-simbol yang merepresentasikan apa yang
mereka maksudkan untuk sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan
penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat
dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku
manusia pada dasarnya adalah produk dari interprestasi mereka atas dunia
sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau
ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau structural. Alih-alih,
perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu
mendefinisikan situasi yang ada.(Mulyana, 2003 :71)
Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbolsimbol
berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi,
khususnya melalui mekanisme isyarat vocal (bahasa), meskipun teorinya bersifat
umum. Isyarat vokal yang potensial menjadi seperangkat symbol yang
13
membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna
dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap symbol
adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi
fisik dari alat-alat indranya.
Dalam bukunya Deddy Mulyana, dengan judul Metodologi Penelitian
Kualitatif suatu simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu
membangkitkan pada individu yang menyampaikannya, respons yang sama
seperti yang juga akan muncul pada individu yang dituju .
Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blummer mengacu pada tiga
premis utama, yaitu :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarakana makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain,
dan
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang
berlangsung. (Kuswarno, 2008 : 22)
3. Teori Etnografi
F. Penutup
Sosiologi ialah pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara
sesame manusia ( individu dan individu ), antara individu dengan
kelompok, serta sifat perubahan-perubahan dalam lembaga-lembaga dan
ide-ide
sosial.
Latar belakang timbulnya sosiologi pendidikan ialah disebabkan karena
masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial itu
menimbulkan cultural lag. Cultural lag ini merupakan sumber masalah
sosial dalam masyarakat. Masalah sosial itu di alami oleh dunia pendidikan.
Lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya kemudian ahli sosiologi
menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk memecahkan masalah itu,
maka
lahirlah
sosiologi
pendidikan.
Aliran-aliran besar dalam sosiologi antara lain yaitu struktural fungsionalis,
analitis, modernisasi international, positivistik.
Daftar Pustaka
Download