teori resepsi menurut wolfgang iser

advertisement
TEORI RESEPSI
MENURUT WOLFGANG ISER
Diintisarikan dan disunting oleh
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
dari Buku The Act of Reading,Theory as
Aesthetic Response (1978) halaman 20-85
1. Kritik Iser terhadap teori sastra ditujukan pada
dominasi studi sastra hanya pada wilayah-wilayah:
intensi penulis (ekspresif), sosiologi sastra, psikologi
sastra, sejarah teks sastra, atau cara dimana
sebuah teks dibangun. Akan tetapi, kritik sastra
jarang yang mengarahkan pada pandangan bahwa
teks hanya dapat memberikan arti ketika teks itu
dibaca.
2. Inti pembacaan karya sastra adalah interaksi antara
struktur (teks) dan penerima (pembacanya). Itulah
mengapa teori fenomenologi seni telah menarik
perhatian bahwa kajian terhadap karya sastra tidak
hanya menyangkut teks yang sesungguhnya, tetapi
juga tindakan-tindakan yang terkait dalam
menanggapi teks itu.
3. Teks pada hakikatnya hanya menawarkan “aspek
skematis”, yaitu pokok persoalan dari karya itu,
sementara produksi yang sengguhnya terjadi melalui
tindakan konkretisasi. Oleh sebab itu, karya sastra
memiliki dua buah kutub yang disebut kutub artistik
dan kutub estetik.
4. Kutub artistik adalah teks yang disusun oleh penulis,
dan kutub estetik adalah realisasi yang
disempurnakan oleh pembaca. Dari sudut pandang
polaritas ini, jelaslah bahwa karya sastra itu sendiri
tidak hanya dapat diidentikkan dengan teks atau
dengan konkretisasi, tetapi karya sastra harus
disituasikan di antara keduanya.
5.
Dalam karya sastra, pesan disampaikan dengan
cara pembaca menerima pesan itu kemudian
menyusunnya. Dengan asumsi ini, pembaca harus
mencari struktur yang memungkinkannya dapat
menjelaskan kondisi dasar interaksi, karena hanya
dengan cara itu, pembaca akan mampu
mendapatkan pandangan tentang pengaruh
potensial yang menyatu dalam karya itu.
6. Secara praktis, setiap struktur yang dapat dilihat
dalam fiksi memiliki dua sisi; yaitu sisi verbal dan sisi
afektif. Sisi verbal berfungsi membimbing reaksi dan
mencegah pembaca dari reaksi yang sembarangan.
Sisi afektif adalah pemenuhan yang telah dibuat
oleh struktur sebelumnya melalui bahasa teks.
7. Penjelasan apa pun tentang interaksi antara sisi
verbal dan sisi afektif harus menyatukan struktur
pengaruh (teks) dan tanggapan (pembaca). Dalam
hal ini, tugas seorang interpreter adalah
menguraikan makna potensial dari suatu teks, bukan
membatasinya dalam makna tunggal. Walaupun
pemaknaan tunggal dalam beberapa aspek tetap
dianggap penting.
8. Makna potensial suatu teks cukup sulit dipenuhi
dalam proses pembacaan. Oleh karena itu, penting
bagi seorang pembaca untuk memahami suatu
makna sebagai sesuatu yang terjadi, karena hanya
dengan cara itu pembaca akan menyadari faktorfaktor yang merupakan prakondisi komposisi dari
suatu makna.
9. Adapun interpretasi tradisional didasarkan
pada pencarian makna tunggal yang
dilakukan oleh pembaca. Akan tetapi,
konsekuensi bentuk ini cenderung
mengabaikan karakter teks sebagai suatu
kejadian dan pengalaman pembaca.
10. Makna referensial dalam konteks ini pada
awalnya bersifat estetis karena ia memberikan
sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Oleh
karena itu, sifat estetis suatu makna menjadi
diskursif (wacana), atau menurut Kant,
disebut sebagai amphibolik: yaitu pada suatu
ketika suatu teks bersifat estetis, pada waktu
yang lain ia bersifat diskursif.
11. Dalam melakukan interpretasi, pembaca
dapat menggunakan teknik pemaknaan
tunggal yang menerangkan adanya
perbedaan. Di sini makna dipahami sebagai
sebuah ekspresi, atau bahkan representasi
dari nilai-nilai yang diakui secara kolektif.
12. Pendekatan pemaknaan tunggal ini
merupakan kompilasi makna, karena
tujuannya adalah menyampaikan apa yang
dipahami sebagai pemaknaan teks yang
objektif.
13. Langkah-langkah di atas penting dilakukan karena
teori yang berorientasi pada pembaca semenjak
awal membuka kritik terhadap bentuk subjektivisme
yang terkontrol. Hobsbaum secara tegas
menunjukkan adanya perbedaan dalam teori ini. Dia
mengatakan bahwa teori-teori seni (sastra) berbeda
menurut derajat subjektivitas yang dikaitkan dengan
tanggapan penerima. Atau apa yang datang sebagai
sesuatu yang sama, berbeda menurut tingkat
objektivitas yang dikaitkan dengan karya seni.
14. Salah satu keberatan yang utama terhadap teori
estetika resepsi adalah bahwa teori ini
mengorbankan teks pada pemahaman yang
subjektif, oleh sebab itu, menolak identitasnya
sendiri.
15. Sementara itu, keberatan yang lain adalah pada
pengaruh teks sastra yang terdapat pada apa yang
disebut Wimsatt dan Beardsley sebagai “Affective
Fallacy” (kesalahan gagasan). Ini merupakan bentuk
kekacauan antara syair dan hasilnya (apakah syair
itu dan apa yang dilakukan syair itu).
16. Fakta inilah yang menyebabkan banyaknya
persoalan estetis dalam karya sastra. Dalam hal ini,
kita dapat mengatakan bahwa teks melahirkan
‘performansi’ makna daripada perumusan maknanya
sendiri.
17. Kualitas estetika karya sastra terdapat dalam
struktur ‘performansi’nya yang sudah mendapat
tanggapan pembaca. Tanpa partisipasi pembaca
individu, maka tidak akan terjadi performansi pada
karya sastra itu.
17. Dengan demikian “Affective Fallacy” tidak dapat diaplikasikan
pada teori estetika resepsi karena teori ini berkaitan dengan
struktur ‘performansi’ yang mendahului pengaruhnya. Lebih
jauh, teori estetika resepsi melakukan pemisahan analitis
terhadap performansi dan hasil sebagai premis dasar, dan
premis ini biasanya tidak diperhitungkan ketika para pembaca
atau kritikus bertanya tentang arti suatu teks.
18. Banyak tipe pembaca yang muncul ketika kritikus sastra
membuat pernyataan tentang pengaruh karya sastra atau
tanggapan terhadap karya sastra. Dalam hal ini, terdapat dua
kategori. Pertama, ada yang disebut pembaca ‘riil’ (sejati),
yang dikenal dengan reaksinya yang terdokumentasi. Kedua,
ada yang disebut pembaca ‘hipotetis’, dengannya semua
kemungkinan aktualisasi teks dapat diproyeksikan. Kategori
yang terakhir ini seringkali dibagi menjadi apa yang disebut
sebagai “pembaca ideal” dan “pembaca kontemporer”.
19. Pembaca riil terutama muncul dalam studi
sejarah resepsi, misalnya, ketika perhatian
difokuskan pada cara dimana karya sastra
diterima oleh publik. Adapun penilaian apa
saja yang disampaikan pada karya itu juga
akan mencerminkan kode kultural yang
mengondisikan penilaian-penilaian tersebut.
20. Dalam hal ini, terdapat macam-macam tipe
pembaca ‘kontemporer’, yaitu pembaca riil
dan pembaca historis.
21. Pembaca historis dibangun dari pengetahuan sosial
dan sejarah, sedangkan pebaca riil dibangun dari
peranan pembaca yang disandarkan pada teks.
Sementara itu, hampir berlawanan secara diametris,
pembaca kontemporer menentukan pembaca ideal
yang dimaksudkan. Dalam hal ini, sulit untuk
menunjukkan dari mana pembaca ideal berasal.
Namun demikian, terdapat kecenderungan yang
mengklaim bahwa dia cenderung muncul dari
pemikiran ahli filologi atau kritik itu sendiri.
22. Seorang pembaca ideal harus memiliki kode yang
identik dengan kode yang dimiliki penulis.
Bagaimanapun juga, para penulis biasanya
menyusun kembali kode-kode yang ada di dalam
teksnya, dan pembaca ideal juga ikut memberikan
tujuan yang mendasari proses itu.
23. Selanjutnya, pembaca ideal tidak hanya memenuhi
makna yang potensial dari teks secara independen
dari situasi historisnya sendiri, tetapi juga harus
melakukannya dengan sungguh-sungguh. Pembaca
ideal tidak seperti pembaca kontemporer, yang
murni bersifat fiksi; pembaca kontemporer tidak
memiliki dasar dalam realitas, dan fakta inilah yang
membuatnya menjadi begitu berguna.
24. Keinginan untuk lepas dari kategori pembaca yang
sangat terbatas dan tradisional tersebut dapat dilihat
dalam berbagai upaya yang telah dilakukan untuk
mengembangkan kategori-kategori pembaca baru
sebagai konsep heuristik.
25. Saat ini berbagai kupasan sastra menawarkan
kategori khusus, yaitu munculnya istilah-istilah :
superreader (Riffaterre), informed reader (Fish), dan
intended reader (Wolf), masing-masing tipe ini
membawa terminologinya sendiri-sendiri.
26. Superreader Riffaterre berhubungan dengan
“kelompok informan,” yang selalu berkumpul pada
“titik simpul dalam teks”, kemudian membangun
melalui reaksi dan eksistensi “fakta yang stilistik”.
Sebagai batasan kolektif bagi berbagai pembaca
dengan kompetensi yang berbeda, superreader
memberikan laporan yang dapat dibuktikan secara
empiris untuk potensi semantik dan pragmatis dalam
pesan teks.
27. Sementara Fish memberikan gambaran informed
reader sebagai seorang pembicara yang kompeten
dengan bahasa yang dibangun oleh teks dan
memiliki pengetahuan semantik yang penuh yang
dapat membawa pembaca dewasa ke dalam tugas
pemahaman ini.
28. Pengetahuan itu termasuk pengetahuan dalam
menguasai sejumlah kamus bahasa, penyandian
kata, idiom dan dialek-dialek. Di samping itu,
seorang informed reader harus memiliki kompetensi
dalam bidang sastra.
29. Wolf, dengan intended reader, membangun kembali
gagasan pembaca yang ada dalam pikiran penulis.
Citra intended reader ini bisa mengambil bentuk
yang berbeda menurut teks yang dikaitkan.
30. intended reader bisa menjadi pembaca ideal; atau
bisa muncul sendiri melalui norma-norma dan nilainilai pembaca kontemporer, melalui individualisasi
publik, melalui penentuan sikap, atau tujuan didaktis,
atau melalui ketidakpercayaan.
31. Dengan demikian, intended reader tidak hanya
dapat menjelma dalam konsep dan konvensi bagi
publik kontemporer, tetapi juga mewujudkan
keinginan penulis untuk menghubungkan konsepkonsep tersebut dan melaksanakannya - kadangkala
hanya menggambarkannya. Lebih jauh, intended
reader menandai posisi-posisi dan sikap-sikap
tertentu pada teks.
31.Superreader menunjukkan konsep teks yang
berfungsi untuk mengetahui “fakta stilistik”
yang menunjukkan kepadatan pesan teks
yang disandikan.
32. Informed reader menunjukkan konsep
peningkatan ‘pengetahuan’ pembaca, dan
juga kompetensinya, melalui pengamatan diri
dalam hubungannya dengan rangkaian reaksi
yang diberikan dalam teks.
33. Intended reader menunjukkan konsep
rekonstruksi, penyingkapan disposisi historis
publik pembaca yang menjadi tujuan penulis.
34. Meskipun demikian, dengan semua perbedaan
tujuannya, tiga konsep tersebut memiliki persamaan
umum; ketiga konsep itu melihat konsep itu sendiri
sebagai alat untuk mengetahui batasan-batasan (i)
linguistik struktural, (ii) gramatika transformasional
generatif, atau (iii) sosiologi sastra dengan
mengenalkan tokoh pembaca.
35. Tanggapan yang diperoleh melalui karya sastra
harus diakui adanya pembaca sebelumnya yang
memiliki karakter dan situasi historisnya sendiri,
yang seperti ini disebut dengan implied reader.
36. Implied reader mewujudkan semua predisposisi
yang diperlukan oleh karya sastra. Sebagai
konsekuensinya, implied reader menanamkan
konsep dasarnya pada struktur teks.
37.Terdapat dua aspek dasar yang saling
berhubungan pada konsep ini: yaitu peran
pembaca sebagai struktur tekstual, dan peran
pembaca sebagai tindakan terstruktur.
38. Struktur tekstual dan tindakan terstruktur
berhubungan dengan tujuan dan pemenuhan
proses dinamis dalam teks. Hal ini berangkat
dari postulat penerimaan teks yang
diprogramkan sebagai “Rezeptionsvorgabe”
(penokohon yang terstruktur).
37. Konsep implied reader adalah model transendental
yang memungkinkan pengaruh terstruktur dari teks
sastra dapat dijelaskan. Konsep ini menunjukkan
peran pembaca dalam batas-batas struktur tekstual
dan tindakan terstruktur.
38. Konsep implied reader menawarkan cara untuk
menjelaskan proses dimana struktur tekstual diubah
melalui aktivitas-aktivitas ideasional ke dalam
pengalaman personal.
39. Konsep implied reader memungkinkan pembaca
untuk menjelaskan pengaruh dan tanggapan
terstruktur pada teks-teks sastra dan munculnya
pertanyaan apakah teori tanggapan estetis dapat
atau tidak dapat melepaskan referensi terhadap
psikologi.
40. Pada dasarnya terdapat dua teori tanggapan karya sastra
yang berangkat dari dasar psikoanalisis: teori Holland dan
Lesser. Baik Holland maupun Lesser menggunakan
terminologi psikoanalitis sebagai konsep yang dimurnikan
dan sebagai konsekuensinya lebih banyak menghalangi daripada membantu usaha menjelaskan reaksi terhadap karya
sastra. Norman Holland menjelaskan tujuan studinya sebagai
berikut:
“Pertama, saya bermaksud membicarakan tentang kesusastraan terutama
sebagai sebuah pengalaman. Saya menyadari bahwa seseorang bisa
berbicara kesusatraan sebagai bentuk komunikasi, sebagai ekspresi, atau
sebagai sebuah artefak. Bagaimanapun juga, untuk tujuan yang khusus
buku ini, kesusastraan merupakan pengalaman dan lebih jauh, sebuah
pengalaman tidak terputus oleh pengalaman lain ... Seseorang dapat
menganalisis kesusastraan secara objektif, tetapi bagaimana atau
mengapa gambaran dan struktur yang diulang membentuk tanggapan
subjektif seseorang ? Itu pertanyaan yang perlu dijawab dalam buku ini.
Saya harus lebih mempercayakan dari pada menekankan tanggapan
saya sendiri, tetapi saya tidak bermaksud untuk menegaskan bahwa
mereka ‘benar’ atau bersifat kanonik bagi yang lain. Saya hanya berharap
bahwa jika saya dapat menunjukkan bagaimana tanggapan saya muncul,
maka orang lain dapat melihat bagaimana tanggapan itu. Sehubungan
dengan kebanyakan penelitian psikoanalisis, maka kita harus bekerja dari
sejarah kasus, dan dalam situasi ini, berangkat dari teks sebagai objek
bagi pengalaman kita. Saya memilih psikoanalitis” (30-40).
41. Perhatian utama Holland adalah pengalaman yang
dipengaruhi oleh kesusastraan. Namun jika seseorang hanya
mengambil teks sebagai pengalaman yang diprogramkan,
maka teks tersebut masih harus dikomunikasikan sebelum
mereka mengambil tempat dalam pikiran pembaca.
42. Dalam usahanya untuk membuat kesusastraan mudah
dimasuki analisis ‘objektif’, Holland tampaknya mengabaikan
perbedaan antara pengalaman estetis dan pengalaman
sehari-hari. Penjelasan Holland mengabaikan cara dimana
‘pengalaman’ dikomunikasikan, dan bagaimanapun juga hasil
yang didapatkan cenderung merugikan daripada
menguntungkan. Bagi Holland, makna adalah proses
dinamis; semua ceritera - dan semua kesusastraan memiliki cara pemaknaan dasarnya; mereka mengubah
fantasi bawah sadar yang dapat ditemukan melalui
psikoanalisis makna sadar yang ditemukan melalui
interpretasi konvensional.
43. Menurut teori Holland, jika teks-teks sastra – apa
pun alasannya - mempertahankan makna riil
tersembunyi di bawah tabir sejarah atau distorsi
sosial, maka kita harus menggunakan metode
psikoanalisis untuk menyingkap makna ini. Dengan
kata lain, pemahaman teks sastra hanya dapat
sempurna melalui psikoanalisis.
44. Bagi Holland, pemaknaan psikoanalisis merupakan
fondasi dasar yang harus dipahami oleh pembaca
jika dia menyadari bagaimana fantasi bawah sadar
dapat diubah menjadi makna sadar. Holland
berasumsi bahwa proses komunikasi ini dijamin oleh
beberapa korespondensi antara struktur tekstual dan
disposisi yang terkait dengan pembaca.
45. Menurut Holland, kesusastraan memiliki pengaruh
pembebasan “ .... dalam analisis terakhir semua seni
... merupakan kesenangan. “ Kesenangan ini
terutama dihasilkan melalui suatu solusi yang
ditawarkan kepada kita dan yang harus
berhubungan dengan harapan pembaca.
46. Teori kedua dikemukakan O. Lesser dalam karyanya
yang berjudul Fiction and the Unconscious.
Kepentingan teori emosi dibuktikan secara sama
dalam karya ini. Menurut Lesser, kesusastraan
memberikan pembebasan, tetapi pembebasan ini
hanya dapat dirasakan jika karya itu memberikan
makna kepuasan yang berbeda pada waktu yang
sama.
48. Di sini Lesser membangun sebuah model
komunikasi yang akan memudahkannya
menjelaskan pembebasan yang terjadi pada
pembaca, dan untuk tujuan ini dia menggunakan
alat psikoanalisis. Untuk membuka pembaca pada
dunia fiksi, maka karya itu harus menarik superego,
ego, dan id.
49. Semua komponen jiwa itu harus digerakkan. Bagi
Lesser, sebuah karya seni akan berarti sebanding
dengan intensitas dimana dia melibatkan semua
komponen kejiwaannya.
50. Jika seseorang berusaha memahami pengaruh
karya sastra dalam batas-batas teori emosi, maka
hubungan antara teks dan pembaca akan tampak
relatif memihak. Bagaimanapun juga, terdapat
interaksi tertentu antara teks dan pembaca yang
gagal disesuaikan dengan pola yang sederhana ini.
51. Dalam menghadapi persoalan yang muncul dari dua
hubungan dasar ini, Lesser biasanya berusaha menjelaskan
hubungan antara teks dan pembaca: teks sastra
dilambangkan dengan “overdetermination” dan sikap
pembaca dengan “analogizing”. Bilamana teks yang
‘overdetermined’ ini mungkin mengartikan sesuatu yang
berbeda pada pembaca yang berbeda, maka pemaknaan
yang berbeda tersebut tidak hanya muncul dari
overdeterminasi, tetapi dari meningkatnya derajat
indeterminasi.
52. Overdeterminasi menghasilkan derajat makna yang berbeda,
tetapi hal ini menciptakan kebutuhan pembaca untuk
berhubungan dengan tingkatan tersebut. Dalam hal ini,
terdapat kepentingan overdeterminasi teks: tidak hanya
kualitas tekstual yang diberikan, tetapi struktur yang
memungkinkan pembaca menerobos kerangka konvensi
biasa, sehingga memudahkan mereka merumuskan
kerangka yang bebas dengan teks.
53. Setiap model tekstual melibatkan keputusan
heuristik tertentu. Model tidak bisa disamakan
dengan teks sastra itu sendiri, melainkan hanya
membuka alat akses terhadapnya. Dimana pun kita
menganalisis teks, kita tidak pernah berhubungan
dengan teks yang murni dan sederhana, tetapi tidak
bisa dipungkiri kita menggunakan kerangka
refesensi yang khusus dipilih untuk analisis kita.
54. Literature umumnya dipandang sebagai tulisan fiksi,
dan istilah fiksi yang sesungguhnya menunjukkan
bahwa kata-kata pada halaman yang dicetak tidak
berarti menunjukkan realitas tertentu dalam dunia
empiris, tetapi menunjukkan sesuatu yang tidak
diberikan. Dengan dalih ini, fiksi dan realitas selalu
diklasifikasikan sebagai lawan teori, dan oleh sebab
itu, timbul kebingungan ketika seseorang berusaha
mendefinisikan ‘realitas’ kesusasteraan.
55. Menurut kerangka referensi apakah yang digunakan,
yang pertama disebut sebagai autonomous dan
yang kedua disebut heteronomous. Jika fiksi dan
realitas dihubungkan, maka hubungan itu bukan
dalam batasan pertentangan, melainkan hubungan
komunikasi karena fiksi adalah alat yang
menyampaikan kepada kita sesuatu yang
berhubungan dengan realitas.
56. Jika pembaca dan teks sastra adalah partner dalam
proses komunikasi, dan bila apa yang
dikomunikasikan merupakan suatu nilai, maka
perhatian utama kita tidak selamanya adalah makna
dari teks itu, melainkan pengaruh yang
ditimbulkannya.
57. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada dua
bidang dasar yang saling bergantung: pertama,
pertemuan antara teks dan realitas; kedua, antara
teks dengan pembaca, dan dalam hal ini dibutuhkan
cara untuk menunjukkan pertemuan tersebut jika
seseorang mengukur keefektifan fiksi sebagai alat
komunikasi. Perhatian dalam kajian ini selanjutnya
ditujukan pada hal-hal yang pragmatis dari
kesusasteraan --- pragmatis dalam pengertian
Morris menghubungkan tanda-tanda teks dengan
“interpretant” (sesuatu yang diinterpretasikan).
58. Penggunaan pragmatis tanda-tanda selalu
melibatkan beberapa macam manipulasi. Istilah
seperti ‘interpreter’, ‘interpretant’, konvensi’ adalah
istilah-istilah pragmatis, sementara istilah-istilah
semiotik yang jelas seperti ‘tanda’, ‘bahasa’,
‘kebenaran’, dan ‘pengetahuan’ memiliki komponen
pragmatis yang penting.
59. Sifat pragmatis bahasa telah dijadikan fokus filsafat
bahasa biasa. Hal ini telah mengembangkan konsep
yang, kendatipun tidak dimaksudkan untuk
diterapkan dalam fiksi, namun dapat berfungsi
sebagai dasar pijakan kajian tentang sifat pragmatis
dari teks-teks sastra.
60. Teori tindak-bicara yang lahir dari filsafat bahasa
biasa merupakan usaha untuk menjelaskan faktorfaktor yang merupakan kondisi bagi keberhasilan
atau kegagalan komunikasi linguistik. Faktor-faktor
tersebut juga menyangkut bacaan fiksi, yang
merupakan tindakan linguistik dalam pengertian
yang melibatkan pemahaman teks, atau apa yang
hendak disampaikan teks, dengan menetapkan
hubungan antara teks dengan pembaca. Studi ini
dimaksudkan untuk menguji faktor-faktor tersebut di
samping menjelaskan proses dimana realitas dapat
dihasilkan melalui sarana bahasa.
61. Tindakan bicara sebagai unit komunikasi, tidak
hanya mengatur tanda-tanda, tetapi juga kondisikondisi cara dimana tanda-tanda tersebut diterima.
Tindakan bicara bukan hanya kalimat, tetapi juga
ungkapan linguistuik dalam situasi atau konteks
tertentu, dan melalui konteks inilah mereka
mengambil maknanya. Pendeknya, tindakan bicara
adalah unit-unit komunikasi linguistik yang
dengannya kalimat-kalimat ditempatkan dan
mengambil makna sesuai dengan pemakaiannya.
62. J.L. Austin dalam karyanya yang berjudul, How to
Do Thing with Words, membedakan dua bentuk
dasar ungkapan linguistik, yang disebut “konstantif”
dan “performatif”. Yang pertama membuat
pernyataan tentang fakta dan harus diukur pada
kriteria kebenaran atau kesalahan, dan yang kedua
menghasilkan tindakan yang dapat diukur pada
standar keberhasilan atau kegagalan.
63. Menurut Austin, ungkapan konstantif adalah
kebenaran atau kesalahan itu sendiri, dengan
demikian saling bergantung terhadap situasi apa
pun dan bebas dari semua konteks pragmatis. Jika
suatu tindakan linguistik berhasil, maka terdapat
kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi, dan
kondisi-kondisi tersebut merupakan dasar bagi
tindakan bicara itu sendiri.
64. Ungkapan pasti menimbulkan konvensi yang berlaku
bagi penerima dan pembicara. Aplikasi konvensi
harus terkait dengan suatu situasi - dengan kata
lain, harus diatur melalui prosedur-prosedur yang
diterima. Akhirnya, keinginan partisipan untuk terlibat
dalam tindakan linguistik harus sebanding dengan
tingkatan dimana situasi atau konteks tindakan
ditentukan.
65. Menurut Austin, apa yang disebut sebagai ungkapan
konstantif adalah bahwa kita melakukan abstraksi
dari illocutionary, aspek tindakan bicara, dan kita
mengkonsentrasikan pada locutionary, pandangan
korespondensi dengan fakta-fakta yang terlampau
sederhana. Adapun yang dimaksud dengan
ungkapan performatif adalah bahwa kita menyertai
sebanyak mungkin kekuatan ungkapan illocutionary,
dan abstrak dari dimensi korespondensi dengan
fakta.
66. Menurut definisi yang terbatas ini, ungkapan
performatif hanya menunjukkan satu aspek sentral
dari tindakan linguistik, yaitu kualitas
produktivitasnya. Kualitas tidak dapat diidentifikasi
dalam korespondensi dengan fakta-fakta, melainkan
pada dasarnya diabstraksikan darinya.
67. Austin memandang ungkapan puitis sebagai ungkapan
yang kosong karena ungkapan ini tidak menghasilkan
tindakan bahasa. Bahasa literatur menyerupai model
tindakan illocutionary, tetapi memiliki fungsi yang
berbeda. Keberhasilan tindakan linguistik tergantung
pada resolusi indeterminasi melalui cara konvensi,
prosedur-prosedur, dan jaminan kesungguhan. Bentuk
kerangka referensi dalam tindakan berbicara tersebut
dapat dipecahkan dalam konteks tindakan.
68. Austin mengeluarkan bahasa sastra dari analisisnya
atas dasar bahwa dari sudut pandang pragmatis
bahasa sastra adalah bahasa yang kosong; bahasa
yang mendapatkan fungsinya melalui pemakaian yang
terkontrol. Bagi Austin pembicaraan sastra juga
merupakan pembicaraan yang kosong karena tidak
dapat melahirkan konvensi dan prosedur-prosedur
yang diterima, dan karena pembicaraan sastra tidak
berhubungan dengan konteks situasi yang dapat
menstabilkan makna ungkapannya. Dengan kata lain,
pembicaraan sastra kekurangan prakondisi dasar bagi
suatu tindakan linguistik.
69. Kita telah mengetahui bahwa bahasa fiksi memiliki banyak
sifat tindakan illocutionary, namun demikian kita sama sekali
belum berhubungan dengan rinci salah satu bagian
komponen utama dari semua ungkapan linguistik, yaitu
konteks situasional. Semua ungkapan memiliki tempat dalam
situasi yang muncul darinya dan dikondiskan olehnya.
Pembicaraan tanpa situasi, praktis tidak dapat dipahami,
kecuali mungkin sebagai sebuah gejala dari beberapa
macam gangguan mental.
70. Lebih jauh, pembicaraan hampir selalu ditujukan kepada si
alamat - biasanya dalam usaha untuk menstabilkan faktorfaktor variabel yang dibiarkan terbuka oleh situasi yang
sesungguhnya. Usaha untuk mencapai si alamat melalui cara
tindakan illocutionary dan perlocutionary dibentuk dengan
pilihan kata-kata, sintaksis, intonasi, dan tanda-tanda
linguistik lain, demikian juga kerangka referensi, proposisi,
dan predikasi ungkapan.
71. Bahasa fiksi menggambarkan suatu susunan simbol,
karena dalam istilah Ingarden bahasa fiksi tidak
berhubungan dengan realitas, dan dalam istilah
Austin bahasa fiksi tidak memiliki konteks situasi.
72. Simbol bahasa sastra tidak menunjukkan realitas
empiris apa pun, namun demikian mereka memiliki
fungsi representatif. Ini berarti bahwa pembicaraan
sastra menggambarkan pembicaraan biasa karena
pembicaraan sastra menggunakan model simbolik
yang sama. Dalam istilah yang sederhana, kita
dapat mengatakan bahwa bahasa fiksi memberikan
instruksi terhadap bangunan situasi dan juga bagi
produksi objek imajinasi.
73. Charles Morris menggambarkan tanda-tanda dalam
kesusastraan dan seni sebagai tanda-tanda yang
berhubungan dengan ikon (patung/gambar). Dengan cara
ini dia menekankan referensi sendiri terhadap tanda-tanda
tersebut. Akan tetapi, referensi sendiri tidak sama dengan
kemampuan untuk mandiri karena kemampuan mandiri
akan berarti tidak ada kemungkinan cara akses terhadap
seni atau kesusastraan. Oleh sebab itu, Morris
mengemukakan bahwa ikon dipandang sebagai
representasi keseluruhan dari objek yang ditunjuk.
74. Selanjutnya, dijelaskan bahwa semua bentuk dialog dan
komunikasi menghadapi resiko kegagalan yang kontinyu.
Kendatipun teks-teks sastra memadukan konvensi yang
dapat memberikan suatu tingkatan dasar yang umum
antara teks itu sendiri dan pembaca, namun konvensi
tersebut cenderung diatur sedemikian rupa sehingga
validitasnya dipersoalkan.
75. Susunan baru dari norma-norma lama merupakan salah
satu dari resiko itu dan resiko yang lain terdapat pada
fakta bahwa teks sastra tidak memiliki situasi konkret
yang dirujuk. Bahkan, kurangnya situasi yang ada
melahirkan dua tingkat indeterminasi: (i) antara teks dan
pembaca, (ii) antara teks dan realitas.
76. Pembaca dipaksa untuk mengurangi indeterminasi ini dan
membangun rangka situasi yang meliputi diri mereka
sendiri dan teks yang dikaji. Jika kita memandang
hubungan antara teks dan pembaca sebagai jenis sistem
regulasi sendiri, maka kita dapat menegaskan teks itu
sendiri sebagai suatu rangkaian dari impuls tanda-tanda
yang diterima oleh pembaca.
77. Interaksi yang dinamis antara teks dan pembaca memiliki
karakter kejadian, yang membantu menciptakan kesan
bahwa kita terlibat di dalam sesuatu yang riil. Kesan ini
bersifat paradoks sepanjang teks fiksi tidak menunjukkan
realitas tertentu dan tidak memberikan realitas terhadap
kemungkinan derajat disposisi pembaca.
. 78. Kejadian-kejadian merupakan paradigma realitas
dimana mereka menentukan suatu proses, bukan
hanya sebuah kesatuan yang luas. Setiap kejadian
menggambarkan titik pertemuan dari berbagai
lingkungan, tetapi lingkungan juga mengubah
kejadian secepat lingkungan melahirkan bentuk.
79. Teks dan pembaca bertemu melalui cara dari suatu
situasi yang tergantung pada realisasinya. Jika
komunikasi sastra sukses, maka harus
menghasilkan semua komponen yang diperlukan
untuk pembangunan situasi, karena hari ini tidak
memiliki eksistensi di luar karya sastra.
80. Repertoire terdiri dari semua batas wilayah yang
familiar dengan teks. Ini bisa jadi dalam bentuk
referensi terhadap karya-karya pertama atau
terhadap norma-norma historis atau terhadap
seluruh kultur darimana teks tersebut muncul.
80. Fakta realitas ini dijadikan rujukan memiliki dua
implikasi: (i) sesungguhnya realitas ditimbulkan,
bukan ditentukan oleh halaman cetak, (ii) bahwa
unsur-unsur tersebut yang dipilih sebagai referensi
tidak dimasukkan hanya menjadi sebuah replika.
Sebaliknya, keberadaannya dalam teks biasanya
berbentuk transformasi dan berciri integral dari suatu
proses komunikasi secara keseluruhan.
81. Konvensi-konvensi, norma-norma dan tradisi-tradisi
mengambil tempat dalam repertoire sastra yang
sangat luas. Akan tetapi, ada beberapa bentuk yang
mengurangi atau memodifikasi semuanya itu karena
mereka telah dihilangkan dari konteks dan
fungsinya.
82. Determinasi repertoire melengkapi titik pertemuan
antara teks dan pembaca, tetapi sebagai komunikasi
selalu menyampaikan beberapa hal yang baru,
jelasnya titik pertemuan tidak dapat terdiri
sepenuhnya dari batas wilayah yang familiar.
82. Repertoire terdiri dari pilihan norma-norma dan
kiasan serta pertanyaan-pertanyaan yang muncul
sehubungan dengan prinsip-prinsip yang mengatur
pemilihan ini.
83. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa hubungan antara
literatur dan sistem pengaturan menghasilkan fokus
situasi historis yang berbeda darimana mereka
muncul dan juga ketepatan historis relasional
ketepatan dari reaksi fiksi terhadap realitas. Contoh
khusus dari suatu karya yang berhubungan
langsung dengan sistem yang ada adalah karya
Sterne yang berjudul Tristram Shandy, yang
berhubungan dengan empirisme Locke. Bagi Locke,
hubungan ide menunjukkan unsur dasar dalam
akses manusia terhadap pengetahuan sebagaimana
kombinasi data yang menghasilkan keluasan dan
konsolidasi pengetahuan
84. Selanjutnya, hubungan ide merupakan salah
satu ciri dominan dari sistem pemikiran
empiris. Persoalan yang mendasari hubungan
ide adalah ketergantungannya pada prinsip
kesenangan dan kesusahan --- kendatipun
Locke sendiri memandang prinsip-prinsip
apriori yang ada tidak selalu valid. Jika
pengetahuan dapat diandalkan, maka
seseorang harus mampu mengarahkan
hubungan ide, dengan kata lain, pengetahuan
ini akan bebas dari pengaruh manusia. Dalam
Tristram Shandy, hubungan ide menjadi idee
fixe, yang menuntut rekodifikasi dasar sistem
empiris secara keseluruhan.
85. Suatu kesusasteraan tidak selalu harus merujuk
secara langsung kepada sistem pemikiran yang
berlaku saat itu. Karya Fielding’s Tomes Jones
adalah contoh dari pendekatan yang lebih tidak
langsung. Di sini penulis mengakui tujuannya adalah
untuk membangun gambaran hakikat manusia dan
gambaran ini memadukan repertoire yang diambil
dari kebanyakan sistem pemikiran yang berbeda.
86. Berbagai norma dipresentasikan sebagai prinsip
atau dasar pedoman di balik perilaku sebagian
besar karakter yang penting. Pertentangan antara
karakter mengubah norma mereka masing-masing
ke dalam perspektif yang berbeda darimana
seseorang melihat satu norma pertama kali dan
kemudian dilanjutkan dengan norma yang lain.
86. Dari perspektif perubahan tersebut, terdapat satu ciri umum :
semua norma mengurangi hakikat manusia pada prinsip
tunggal. Dengan demikian, mengeluarkan semua
kemungkinan yang tidak sesuai dengan prinsip itu. Pembaca
dengan sendirinya mempertahankan pandangan baik
terhadap apa yang digambarkan norma dan apa yang
dibutuhkan dalam representasi.
87. Dalam hal ini, repertoire suatu novel dapat dikatakan memiliki
suatu organisasi horisontal, dalam pengertian bahwa
repertoire memadukan dan meningkatkan norma sistem yang
berbeda dimana kehidupan riil dipertahankan terpisah satu
sama lain.
88. Dengan kombinasi norma yang selektif ini, repertoire
menawarkan informasi tentang sistem darimana gambaran
tentang hakikat manusia disusun. Norma-norma individu
dengan sendirinya harus dinilai kembali pada tingkatan yang
di dalamnya hakikat manusia tidak dapat dikurangi menjadi
prinsip tunggal yang keras dan tepat, melainkan harus
ditemukan dalam semua potensinya, melalui berbagai
macam kemungkinan yang telah dikeluarkan dari normanorma tersebut.
88. Kesusasteraan secara alami dapat memberikan
fungsi yang berbeda dalam konteks sejarah. Tome
Jones berhubungan dengan defisiensi dalam sistem
pemikiran yang ada, dan Tristram Shandy bersandar
pada dasar pengetahuan manusia yang tidak stabil
seperti yang dipahami oleh salah satu sistem
tertentu. Repertoire teks sastra tidak hanya terdiri
dari norma-norma sosial dan budaya, tetapi juga
memadukan unsur-unsur, dan bahkan seluruh tradisi
kesusastraan masa lalu yang bercampur dengan
norma-norma tersebut.
89. Dikatakan bahwa perbandingan dari campuran itu
membentuk dasar perbedaan antara berbagai
macam sastra. Terdapat teks-teks yang memberikan
penekanan penuh pada faktor-faktor empiris
tertentu, sehingga meningkatkan proporsi normanorma ekstra tekstual dalam repertoire.
90. Kiasan-kiasan sastra yang menyatu dalam repertoire
dikurangi dengan cara yang sama seperti halnya
norma-norma, bukan hanya bersifat imitasi. Jika
fungsi norma-norma yang digabung mengakibatkan
defisiensi sistem yang ada, maka fungsi kiasan
sastra membantu memberikan jawaban terhadap
persoalan-persoalan yang timbul akibat defisiensi
tersebut. Unsur-unsur yang berbeda dari repertoire
sastra memberikan petunjuk dialog antara teks dan
pembaca.
91. Petunjuk–petunjuk tersebut sangat penting dalam
pandangan fungsi teks secara keseluruhan dalam
memberikan jawaban, dan semakin kompleks
persoalan-persoalan yang dijawab, maka semakin
banyak petunjuk yang berbeda.
92. Norma-norma sosial dan budaya yang membentuk
suatu situasi perlu diatur sedemikian rupa sehingga
dalih pemilihannya dapat disampaikan kepada
pembaca. Namun, karena hal ini tidak bisa
disampaikan secara eksplisit, maka harus ada
sarana untuk mengeneralisasi repertoire, dan di sini
terdapat fungsi khusus dari kiasan-kiasan sastra.
93. Norma-norma sosial dan kiasan sastra yang
merupakan dua unsur dasar repertoire diambil dari
dua sistem yang cukup berbeda: pertama, dari
sistem pemikiran historis, kedua dari reaksi
kesusastraan masa lalu terhadap persoalanpersoalan historis.
94. Norma-norma dan skema yang dipilih untuk
repertoire ini jarang sama satu dengan yang lain.
Biasanya dua unsur repertoire tidak sama satu sama
lain secara tepat dalam derajat kefamiliarannya.
95. Repertoire teks sebagai pengirim dan pembaca sebagai
penerima juga akan mengalami kesimpangsiuran, dan unsurunsur umum merupakan prakondisi yang penting bagi
sirkulasi ini. Bagaimanapun juga komunikasi sastra berbeda
dengan bentuk komunikasi lain dimana unsur-unsur dari
repertoire pengirim yang familiar dengan pembaca melalui
aplikasinya dalam situasi kehidupan yang riil, kehilangan
validitasnya ketika ditransplantasikan kedalam teks sastra.
Tingkatan repertoire kemungkinan mengalami
kesimpangsiuran dan hal ini dapat membantu pembaca
merumuskan kriteria bagi pengaruh teks sastra.
96. Dua konsekuensi yang berhubungan erat mucul dari fakta
bahwa fungsi komunikasi repertoire masuk ke dalam fokus
tema. Pertama, kurangnya hubungan referensi yang
melahirkan perbedaan antara berbagai unsur, dan ini hanya
dapat dipenuhi dengan imajinasi pembaca. Kedua, hubungan
yang berbeda yang dikemukakan melalui gaya perubahan
yang kontinyu dari imajinasi, perubahan konsep ini tetap
merupakan struktur komunikasi intersubjektif.
97. Novel ini mencerminkan aturan-aturan yang mengatur
komunikasinya sendiri. Pembaca disadarkan dari ciri-ciri
dasar model pemahanannya: selektifitas poros, tergantung
pada perspektif. Lebih jauh perubahan-perubahan gaya
secara terus-menerus, masing-masing dibatasi pada
perspektifnya sendiri, yang menunjukkan tingkatan
pemahaman dan interpretasi pembaca.
98. Makna pragmatis adalah makna terapan: makna ini
memungkinkan teks sastra memenuhi fungsi sebagai
jawaban dengan melahirkan dan menyeimbangkan defisiensi
sistem yang telah melahirkan persoalan. Hal ini membuat
pembaca bereaksi terhadap realitasnya sendiri, sehingga
realitas yang sama ini dapat dibentuk kembali.
99. Dalam pandangan Iser, tugas kritikus bukan menerangkan
teks sebagai objek, melainkan lebih menerapkan efeknya
kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang mengilhami
beraneka ragam kemungkinan pembacaan.
100. Istilah “pembaca” dapat dibagi menjadi
“pembaca implisit” dan “pembaca nyata”.
“Pembaca implisit” adalah pembaca yang
dicipta sendiri oleh teks untuk dirinya dan
menjadi “jaringan kerja struktur yang
mengundang jawaban”, yang mempengaruhi
pembaca untuk membaca dalam cara
tertentu.
101. “Pembaca nyata” adalah citra mental
tertentu dalam proses pembacaan;
bagaimanapun juga, citraan itu akan secara
tak terhindarkan diwarnai oleh “persediaan
pengalaman yang ada”.
102.`Konsep Iser tentang pembaca implisit ini dapat dilihat pada
cerita Tom Jones Fielding yang menghadirkan dua pelaku
yang berbeda, yang pertama tokoh protagonis yang bernama
Allworthy (manusia sempurna), yang kedua adalah tokoh
antagonis yang bernama Kapten Blifil (si munafik), Squire
Western (nafsu yang memerintah), Square (kecocokan abadi
benda-benda), Thwackum (pikiran manusia sebagai wadah
ketidakadilan), Sophia (idealitas kecenderungan alami).
Masing-masing norma menyatakan nilai tertentu dengan
mengorbankan yang lain, dan masing-masing cenderung
menjanjikan citra kodrat manusia kepada suatu prinsip atau
perspektif yang tunggal.
103.Perjalanan pembaca melalui buku itu merupakan sebuah
proses penyesuaian yang terus-menerus. Kita menyimpan
dalam pikiran kita harapan-harapan tertentu, berdasarkan
pada ingatan kita pada pelaku-pelaku dan peristiwa-peristiwa,
dan ingatan-ingatan itu ditransformasikan selama kita
menjelajahi teks itu. Apa yang kita tangkap ketika kita
membaca hanya serangkaian titik pandangan yang berubah,
bukan sesuatu yang tetap dan sepenuhnya berarti pada tiap
titik.
104.Pandangan teoretik Iser tentang sastra tampak
fenomenologis : pengalaman pembacaan pembaca ada di
pusat proses sastra. Dengan memecahkan kontradiksi sudut
pandang yang berkembang dari teks itu atau dengan mengisi
“kesenjangan” di antara sudut-sudut pandang dengan
bermacam-cara, pembaca menyerap teks itu ke dalam
kesadaran mereka dan membuatnya menjadi pengalaman
mereka sendiri. Tampaknya ada juga teks yang menyediakan
perangkat istilah yang dapat diaktualisasikan artinya oleh
pembaca, “gudang pengalaman” pembaca sendiri akan ambil
bagian dalam proses itu.
105.Kesadaran pembaca yang ada akan membuat penyesuaianpenyesuaian terhadap kedalaman tertentu agar dapat
menerima dan memproses sudut pandang asing yang
dihadirkan teks ketika pembacaan terjadi. Situasi ini
menghasilkan kemungkinan bahwa “pandangan dunia”
pembaca sendiri mungkin dimodifikasi sebagai suatu
penghayatan, perjanjian, dan pelaksanaan unsur-unsur teks
yang sebagian tidak ditentukan. Kita dapat belajar sesuatu
dari pembacaan. Pembacaan memberi kesempatan kepada
kita untuk merumuskan sesuatu yang tidak dirumuskan.
Download