JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010 - E

advertisement
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
KAJIAN TEORITIS KONTRUKSI EPISTEMOLOGI FEMINISME
I Ketut Martana
Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Sahid
Staf Pengajar Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika
Abstract
Feminist movement constitute effort to free female from subordinate, wrongful conduct,
effect man dominate. Feminism movement tries to create fairer condition for female. According to
movement feminimisme, the difference gender constitutes a cultural sosial construction, where do ever
female be positioned as party that poor and over a barrel than man. Its appearance is this movement
have evoked anxiety to study feminism epistemology problem. How is principle and female study
method and how feminism movement view to reputed modern epistemology more sides man.
Keywords : epistemology, feminism
I. PENDAHULUAN
Munculnya
diskriminasi
yang
merendahkan kaum perempuan berserta
seluruh pemikiran dan pengalamannya
bukanlah hal yang baru, hal ini telah terjadi
ratusan tahun yang lalu bahkan lebih dimana
laki-laki pada saat itu mulai membangun
kekuatan dan kekuasaannya sebagai supremasi
laki-laki yang disebut Patriarki. Perjalanan
sejarah dan kebudayaan yang panjang telah
menempatkan kaum perempuan sebagai
subordinate kaum laki-laki akal budinya telah
dibentuk untuk melawan perempuan dan hal
ini telah menghasilkan ketidakadilan dan
penindasan terjadap kaum perempuan (Lubis,
2006). Dalam karyanya A Discourse on
Political Economy (1755), filsuf Jean Jacques
Rousseau secara konsisten memandang
perempuan sebagai makhluk
inferior dan
tersubordinasi. Tujuan hidup mereka hanya
untuk melayani laki-laki, karena itu mereka
tidak mungkin atau tidak dapat menjadi
pemimpin.
(Azis,
2007).
Penempatan
perempuan sebagai makhluk kelas dua dan
subordinat jelas merupakan suatu eksploitasi
dan penindasan.
Permainan dominasi laki-laki atas
perempuan dalam konsep modernitas dalam
hal ini penguasaan laki-laki tehadap
perempuan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu
pertama, bersumber dari pola ekonomi yaitu
unsur yang bersumber pada pola produksi
masyarakat , kedua bersumber pada nilai
sosial yaitu unsur-unsur yang bersumber pada
rumusan-rumusan sosial tentang hubungan
antara laki-laki dan perempuan secara biologis,
ketiga adalah unsur ideologis yaitu unsur yang
bersumber pada rumusan-rumusan sosial
tentang bagaimana laki-laki dan perempuan
harus berhubungan dalam struktur sosial.
Modernisasi merupakan perangkap yang
dibesarkan dalam ruang publik, modernisasi
adalah ruang yang telah diciptakan untuk
memungkinkan orang untuk mengejar
kemaslahatan hidup, desakan modernitas
menciptakan obsesi untuk memiliki material
karena di dalam modernitas ada kehendak
kapitalisme dalam masyarakat. Dalam
perkembangannya
bahwa
komoditas
kapitalisme akan membentuk modernitas
dalam kelas-kelas sosial termasuk didalamnya
kelas-kelas kelamin atau gender. Konstruksi
kelas sebagai konsekwensi logis dari kapitalis
telah menciptakan adanya rasialisme dan
kelompok inferioritas yang diperkuat dengan
wacana yang sengaja dibentuk dari media yang
merupakan salah satu representasi kapitalisme
dari sekian banyak representasi yang ada
sekaligus
sebagai
tanda
berkuasanya
modernitas. Bahwa kapitalisme mengharapkan
media untuk mereproduksi wacana dan dari
kuasa wacana media yang diproduksi, maka
modernitas memperbesar pengaruhnya atas
berbabagai problema sosail, politik, ekonomi
dan kebudayaan. Media sebagai pusat
artikulasi kepentingan kaptalisme akan sangat
berpengaruh bagi pertumbuhan ekonomi dan
kebudayaan yang menyebabkan pengaruh
modernitas semakin besar dalam realitas
sosial. Sistem kelas yang ada dalam paham
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
kapitalis dimanfaatkan untuk melakukan
proses
dehumanisasi
perempuan
dan
menempatkannya
sebagai
objek
bagi
kepentingan kapitalisme, hal ini seperti
diungkapkan oleh Asmaeny Azis bahwa
evolusi material kapitalisme akan membawa
perubahan-perubahan
bagi
posisi-posisi
kesederajatan lelaki dan perempuan yang
substansial. Perempuan akan menjadi korban
dari perkembangan kapitalis sementara lakilaki merupakan pihak yang diuntungkan dalam
perkembangan kapitalis tersebut ( 2007)
Dari hal ini dapatlah dipahami bahwa
penempatan wanita sebagai mahkluk nomor
dua dan melekatkan nilai-nilai inferioritas
terhadapnya merupakan bentukan sosial
budaya (konstruksi sosial) bukan dikodratkan
oleh Tuhan. Kesadaran akan kodrat perempuan
yang tidak boleh berperan aktif diruang publik
dianggap bukanlah hal yang sebenarnya dan
steriotip bahwa wanita hanyalah makhluk yang
lemah, emosional dan hanya cocok sebagai ibu
rumah tangga dianggap merupakan buatan
atau
kontruksi
kepentingan-kepentingan
tertentu untuk menindas. Pemilik kepentingankepentingan itu tidak lain adalah kaum lelaki
yang selalu berusaha untuk menempatkan
wanita pada posisi subordinat. Menurut
pendapat Mary Wollstonecraft bahwa wanita
memiliki kapasitas akal budi yang sama
dengan laki-laki, karena itu wanita harus
diberikan hak-hak yang sama dengan laki-laki.
Hal ini merupakan kritik terhadap pandangan
Rossenau yang menyatakan bahwa rasionalitas
laki-laki memiliki kapasitas akal budi untuk
menguasai seluruh kehidupan manusia. (
Lubis, 2006).
Penindasan
terhadap
kaum
perempuan inilah selanjutnya menjadi
perhatian dan merupakan tema sentral yang
menjadi sorotan dalam kajian gerakan dan
teori-teori feminisme. Lebih lanjut Mansour
Fakih
menyebutkan ketidakadilan gender
yang dialami perempuan meliputi hal-hal
sebagai berikut :
a. Marjinalisasi perempuan baik dirumah
tangga, ditempat kerja maupun di bidang
kehidupan bermasyarakat lainnya.
b. Subordinasi terhadap perempuan karena
adanya anggapan bahwa perempuan itu
irasional, emosiaonal, maka ia tidak
c.
d.
e.
memimpn dan oleh karena itu harus
ditempatkan pada posisi yang tidak
penting ;
Steriotip
yang
merugikan
kaum
perempuan, misalnya asumsi bahwa
perempuan bersolek dalam rangka
memancing perhatian lawan jenisnya,
maka setiap ada kasus kekerasan seksual
atau pelecehan seksual selalu dikaitkan
dengan label ini. Masyarakat punya
kecenderungan menyalahkan perempuan
sebagai korban perkosanaan akibat
stereotip tadi.
Berbagai bentuk kekerasan menimpa
perempuan baik fisik maupun psikologis
karena anggapan bahwa perempuan lemah
dibandingkan laki-laki sehingga laki-laki
leluasa melakukan kekerasan terhadap
perempuan;
Pembagian kerja secara seksual yang
merugikan kaum perempuan misalnya
perempuan hanya cocok
dengan
pekerjaan domistik, oleh sebab itu tidak
pantas melakukan pekerjaan public seperti
laki-laki akibatnya perempuan terkurung
dalam ruang dan wawasan yang sempit (
Ardianto; 2007)
Pergerakan
kaum
feminisme
hakekatnya tidak hanya berhenti pada masalah
termarginalisaskannya peranan perempuan
dalam kontek sosial. Kaum feminisme juga
masuk kedalam wilayah epistemologi sains
yaitu untuk membongkar ideologi sains yang
sangat patriarchal. Sains modern dianggap
merupakan respresentasi dari kaum laki-laki
yang dipenuhi nafsu untuk melakukan
eklopitasi terhadap alam, dan alam merupakan
representasi dari kaum
perempuan yang
lemah, pasif dan tak berdaya. Dengan relasi
patriarchal ini, sains modern merupakan
repleksi dari sifat maskulinitas dalam
memproduksi pengetahuan yang cenderung
eksploitatif dan destruktif.
Berdasarkan uraian diatas menarik
perhatian penulis untuk lebih memahami
tentang bagaimana perkembangani teori
feminisme dan dekontruksi perkembangan
pemikiran teori dan gerakan feminisme dalam
upaya menciptakan adanya kesataraan dari
sudut pandang para kaum feminis sehingga
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
secara kritis dapat menciptakan situasi yang
lebih baik dalam hubungan yang ada antara
laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial
dan budaya
serta ilmu pengetahuan (
emansipatoris).
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Feminisme
Pemaknaan istilah feminisme yang ada
ditengah-tengah masyarakat tidaklah tunggal
melainkan kompleks. Definisi feminisme
berubah-ubah sesuai dengan perbedaan
perbedaan realitas sosiokulural yang melatar
belakangi lahirnya faham tersebut dan akibat
adanya perbedaan tingkat kesadaran, persepsi
serta tindakan yang dilakukan oleh feminis itu
sendiri.
Sebagai suatu gerakan atau faham
feminisme mempunyai sejarah yang cukup
panjang yakni dimulai dari barat sejak abad ke
17 atau sekitar tahun 1960an dimana disebut
sebagai pemikiran feminisme gelombang
pertama dan setelah tahun 60-an disebut
sebagai pemikiran feminisme gelombang
kedua yang memiliki dampak besar dan
popularitas secara meluas pada kajian wanita
dengan
berdirinya
studi-studi
wanita
diperguruan tinggi. Istilah feminisme pada
umumnya
diartikan
sebagai
idiologi
pembebasan perempuan karena yang melekat
dalam semua pendekatannya adalah keyakinan
bahwa perempuan mengalami ketidak adilan
karena jenis kelamin (gender). Menurut
2. Jenis Aliran Feminisme
Jenis aliran atau gerakan feminisme
dalam sejarah perkembangannya dikenal
cukup banyak yang masing-masing-masing
berbeda karakteristiknya, yang disebabkan
oleh perbedaan asumsi dasar, pengalaman dan
prespektif paradigmanya dalam memandang
persoalan yang menyebabkan terjadinya
ketimpangan gender antara laki-laki dan
perempuan. Bahwa para kaum feminis sendiri
memiliki perbedaan satau sama lain dalam
melakukan pembagian atau pengelompokan
aliran-aliran feminisme yang ada. Dari sekian
banyak jenis aliran yang ada maka ada
beberapa diantara menjadi arus utama dan
membawa pengaruh yang cukup luas yaitu :
a. Feminisme Liberal
Naomi Wolf feminisme adalah sebuah teori
yang mengisahkan harga diri pribadi dan harga
diri seluruh kaum perempuan ( Kasiyan, 2008)
Namun berbagai penafsiran terhadap gerakan
feminisme yang berkembang dimasyarakat
cenderung ditafsirkan secara negatif. Adanya
persepsi bahwa gerakan feminisme bersifat
anti keluarga, anti laki-laki, khusus untuk
kaum dan kelas menengah atas atau bahkan
lesbianisme.
Terkait
dengan
adanya
pandangan ini Naomi Wolf mempertegas
pendapatnya
bahwa konsep feminisme
sebenarnya adalah menempatkan laki-laki dan
perempuan setara sebagai manusia lengkap
dengan nilai-nilai yang dilekatkan. Oleh
karenanya kaum perempuan yang kelewat
antusias memperjuangkan hak-hak mereka,
tetapi menimbulkan penindasan baru terhadap
lelaki, justru sebenarnya merekalah telah
melanggar komitmen feminisme ( Kasiyan.
2008). Mansour Fakih juga memberikan suatu
penegasan terkait dengan stigma yang ada
dimasyarakat menyangkut gerakan feminisme
bahwa feminisme bukanlah perjuangan kaum
peremuan dihadapan laki-laki, melainkan lebih
merupakan
perjuangan
dalam
angka
menstransformasikan sistem dan struktur yang
tidak adil, menuju sistem yang adil baik bagi
perempuan maupun bagi laki-laki. Dengan
kata lain hakekat feminisme adalah gerakan
transformasi sosial kearah penciptaaan struktur
yang secara fundamental baru dan lebih baik
bagi
kehidupan
bersama
(2001).
Kaum
feminis
liberal
mendasari
gerakannya pada prinsip – prinsip liberal
yakni semua orang diciptakan dengan
hak-hak yang sama dan setiap orang harus
mempunyai kesempatan yang sama untuk
memajukan
dirinya.
Aliran
ini
menyatakan bahwa kebebasan dan
kesamaan berakar dari rasionalitas dan
pemisahan antara dunia privat dan publik.
Akar ketertindasan dan keterbelakangan
pada perempuan ialah karena disebabkan
oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
perempuan harus mempersiapkan dirinya
untuk bisa bersaingi dan tidak tergantung
pada laki-laki.
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
b.
c.
Feminisme Radikal
Aliran ini beranggapan bahwa faktor
utama yang menjadi sebab pembagian
kerja secara seksual adalah system
patriarchal. Gerakan ini diilhami oleh
Kate Millet dengan bukunya sexual politik
(1970), Millet mengungkapkan bahwa
hubungan laki-laki dan perempuan
didalam masyarakat merupakan hubungan
politik,karena makna istilah politik
merupakan hubungan yang didasarkan
pada struktur kekuasaan, suatu sistem
masyarakat yaitu kelompok manusia
dikendaikan oleh kelompok manusi lain
dimana dalam struktur kekuasaan dimana
laki-laki
memegang
kendali
atas
perempuan ( Kasiyan, 2008) Feminimis
radikal berpendapat bahwa ketertindasan
yang dialami kaum perempuan bersumber
dari seksualitas dan system gender. Agar
wanita terbebas dari berbagai penindasan
maka masyarakat yang berstruktur
patriakhis harus di ubah. ( Lubis, 2006).
Feminisme Marxis
Asumsi gerakan ini menekankan bahwa
ketidakadilan gender dalam masyarakat
lebih disebabkan oleh penindasan kelas
dalam hubungan produksi ekonomi, oleh
karena
itu
persoalan
penindasan
perempuan, selalu diletakan dalam
kerangka kritik terhadap kapitalisme. Bagi
kaum feminis aliran Marxis penindasan
perempuan merupakan kelanjutan dari
sistem eksploitatif yang bersifat kultural.
Karena itu mereka tidak menganggap
sistem patriarki sebagai permasalahan
melainkan system kapitalis ( Kasiyan,
2008:91).
3. Epistemologi Feminis dan Paradigma
Konstruktivisme
Tuntutan dari gerakan feminisme,
terutama terjadi pada gelombang ke dua (pasca
tahun 60-an)
adalah upaya pembebasan
perempuan
dari
dominasi
laki-laki,
membebaskan diri dari diskriminasi serta
membebaskan diri dari kesewenang-wenangan
yang dilakukan oleh kaum lelaki. Untuk itu
perlu adanya suatu perubahan terhadap cara
berfikir dari kaum perempuan, dimana
d.
Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis berjuang untuk
penghapusan sistem pemilikan. Lembaga
perkawinan yang melegalisir pemilikan
pria atas harta dan pemilikan suami atas
istri harus dihapuskan seperti juga ide
Marx
yang
menginginkan
suatu
masyarakat tanpa kelas tanpa pembedaan
gender. Feminisme sosialis menuntut
keadilan atas kelas berjouisi (pemilik
modal) untuk tidak membedakan mereka
dalam berbagai pembagian sumbersumber ekonomi dari kaum laki-laki.
e.
Feminisme Postmodern
Postmodernisme adalah nihilisme sosial,
yang dibangun diatas pesimisme terhadap
berbagai persoalan dalam modernitas.
Bahwa feminis postmodern adalah mereka
yang kecewa atas bangunan modernisme
yang telah mengalienasi perempuan dalam
ruang publik dan kontruksi sosial,
ditambah premis kapitalis yang begitu
antusias menciptakan ketergantungan dan
mengekploitasi perempuan sebagai alat
untuk kepentingan modal dan pasar.
f.
Feminisme Postkolonial
Aliran ini berakar dari penolakan
universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di
negara dunia ketiga berbeda dengan
perempuan yang berlatar belakang dari
dunia yang maju. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat
karena selain mengalami penindasan
berbasis gender mereka juga mengalami
penindasan antar bangsa, suku ras dan
agama.
berbagai ingatan yang ditanamkan melalui
ilmu pengetahuan yang ada yang dikonstruksi
oleh pihak yang berkepentingan dalam hal ini
kaum laki-laki telah menempatkan wanita
sebagai objek dan subordinat. Hal ini sejalan
dengan pandangan Germaine Greer bahwa
perlu adanya perubahan cara berfikir, adanya
nilai-nilai baru serta cara-cara hubungan yang
sejajar (transformasi kultural) yang akan
membawa pada kekebasan perempuan dari
budaya yang patriarkis ( Lubis . 2006)
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
Bahwa gerakan gelombang kedua
feminisme membawa perubahan dalam aspek
epistemologi filsafat dan praktek akademi
penelitian barat. Menurut Robinson Studi
wanita lahir sebagai bidang kajian yang
popular dan dikontruksi diatas kesadaran
bahwa
perempuan sebelumnya diabaikan
dalam ilmu pengetahuan. Wanita dan masalah
perempuan tidak tampak kepermukaan dan
dianggap menyimpang dari jalur keilmiahan (
Lubis. 2006). Studi tentang wanita mengkritisi
kecenderungan ilmu pengetahuan yang
menurut pandangan kaum feminis bersifat
androsentris /phallosentris
yang artinya
bahwa ilmu pengetahuan telah menempatkan
pengalaman dan kepentingan kaum laki-laki
sebagai hal yang utama dan bersifat
universalitas
yang
mewakili
semua
pengalaman dan kepentingan lainnya dalam
hal ini kepentingan kaum perempuan. Kaum
feminisime memberikan kritik terhadap ilmu
pengetahuan tradisional
yang diwakili oleh
pandangan Fancis Bacon dan kawan-kawan,
menurut Bacon
tujuan ilmu adalah
penguasaan manusia terhadap alam. Ilmu
harus mempunyai kegunaan praktis dan
menambah superioritas manusia terhadap alam
semesta. (Maksum, 2008). Hal ini menurut
Merchan sangat bertentangan dengan tujuan
filsafat klasik bahwa tujuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern (bersifat eksploitatif)
berbeda
dengan
tujuan
filsafat
dan
pengetahuan klasik yang berupaya memahami
alam, menekan kebijaksanaan dan menjaga
keselarasan alam. (Lubis; 2006). Bahwa
eksplotasi terhadap semesta alam dalam ilmu
pengetahuan menurut pandangan Bacon
memiliki keselarasan dengan eksploitasi
terhadap perempuan. Kritik terhadap ilmu
pengetahuan yang cenderung berpihak kepada
laki-laki juga disampaikan oleh Virginia
Woolf yang mengemukakan bahwa ilmu
pengetahuan bukannya tanpa seks ; ia adalah
laki-laki, bapak yang berpengaruh pula.
(Lubis. 2006). Bahwa ilmu pengetahuan sosial
yang dikontruksi leh kaum laki-laki dalam
pandangan kaum feminis sangat seksis karena
terdistorsi oleh prasangka kaum laki-laki
terhadp
perempuan.
Sandra
Harding
menegaskan dalam hal ini bahwa wanita tidak
dapat dipahami berdasarkan paradigma
tradisonal yang umumnya dibentuk dan
dikonstruksi oleh paradigma laki-laki.
Selanjutnya harus adanya suatu perumusan
ulang terhadap tradisi intelektual yang
dikontruksi berdasarkan prasangka seksis,
yaitu
membangun
teori-teori
feminis
berdasarkan pengalaman kaum perempuan dan
dari perspektif perempuan itu sendiri. (Lubis.
2006:).
Harding selanjutnya menyebut
epistemology feminisnya sebagai “feminis
standpoint”. Pemikiran tentang feminis
standpoint ini dipengaruhi oleh analisis model
Marxis
untuk
mengungkapkan
bias
(androsentris, kelas, gender), kepentingan
serta kekuasaan yang terselubung untuk
disingkap dan disadari. Marx menyatakan
menolak ilmu pengetahuan bebas nilai seperti
yang dikemukakan oleh kaum positivis
(modern) dengan menyatakan bahwa ada
kepentingan kelas dan konstruksi idiologi
kapitalis dalami lmu pengetahuan barat. Dalam
epistemology standpoint kepentingan dan
kuasa dan relasi yang tidak humanistis
didekontruksikan sehinga relasi yang lebih
humanis terhadap sesame dan alam dapat
diciptakan. (Lubis, 2006). Menurut Harssock
asumsi-asumsi yang terkandung dalam konsep
dan struktur epistemologis feminis standpoint
yang secara khusus bukan hanya melihat
dualisme : mind-body, ideal-material, sosialnatural, self-other seebagai bentuk solipsisme,
akan tetapi melihatnya sebagai dua hal yang
lebih dialektis daripada dualis. Epistemologis
standpoint melihat sudut pandang proletariat
dan kritik kapitalis sebagai dua hal yang
memungkinkan bagi penemuan aktivitas
kehidupan itu sendiri (Lubis. 2006). Menurut
FoxKeller dan Harraway bahwa ilmu
pengetahuan tidak mungkin obyektif murni
akan tetapi dipengaruhi oleh masyarakat
dengan berbagai tuntutan dan sejarahnya. Ilmu
pengetahuan selalu situated knowledge (
pengetahuan yang tersituasikan /terbatasi) dan
bukan kebenaran tungga secara ilmiah
“terbukti”. (Lubis. 2006)
Dalam perkembangannya konstruksi
epistemologi dan riset feminis merupakan
penyempurnaan dari teori kritis mazhab
Frankfurt dengan memasukan konsep ilmu dan
kepentingan serta idiologi dalam analisinya
mengenai masalah gender. Bahwa didalam
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
mengembangkan teorinya pendekatan feminis
tidak menerima pendekatan positivis atau
fungsionalis karena beberapa pertimbangan
berikut :
a. Pendekatan
positivis
menekankan
penemuan kebenaran universal dengan
metode verifikasi.
b. Komitmennya pada obyektivitas dan
netralitas peneliti
c. Klasifikasinya yang dikotomis serta
penekanannya pada prinsip kausalitas
d. Pandangan-pandangannya yang ahistoris
e. Tidak melihat pemakaian bahasa sebagai
medium untuk menyampaikan pemikiranpemikiran, konsep-konsep dan teori
(Ollenburger&Helen A Moore, dalam
Lubis . 2006).
Epistemologi
feminis
justru
mempertimbangkan faktor ras, etnis, sosialbudaya dan historis dalam mengkonstruksi
epistemologinya. Menurut Janet Chavetz
seperti dikutip oleh Ollenburger & Haelen A
Moore memberikan beberapa unsur yang
terdapat dalam teori sosiologi feminis yaitu :
a. Masalah jenis kelamin sentra dalam
semua teori
b. Hubungan jenis kelamin tidak dipandan
sebagai masalah.
c. Hubungan jenis kelamin tidak dipandang
sebagai alamiah dan kekal
d. Kriteria sosiologi feminis dapat digunakan
untuk menentang atau mengubah status
quo yang merugikan atau merendahkan
perempuan (Lubis. 2006)
Pengalaman
perempuan
serta
kehidupannya
merupakan
dasar
bagi
pengetahuan feminis yang bersumber pada
epistemologi standpoint dengan berdasarkan
hal inilah memungkinkan timbulnya studi
feminis yang berdasarkan konteks pengalaman
hidup sosial-budaya tertentu. Dimana masingmasing penelitian yang dilakukan akan
memberikan dampak pada perkembangan
teori-teori feminisme sesuai dengan konteks
4. Metodologi Studi Perempuan
Dalam studi perempuan paradigma
positivsme dengan metode emperis kuantitatif
secara umum dianggap tidak tepat diterapkan
sebagai metode untuk penelitian. Paradigma
positivisme
dianggap
terlalu
diwarnai
jamannya,
sekaligus juga mempengaruhi
bagaimana para peneliti atau pendekatanpendekatan feminis melakukan analisis atas
kedudukan wanita didalam masyarakat dalam
studi wanita yang dilakukan. Menurut Naomi
Black bahwa pengalam pribadi dan nialai-nilai
subjektif individu yang menjadi pertimbangan
dalam
peneltian
perempuan
dengan
mengemukakan adanya keterkaitan antara ilmu
pengetahuan dengan politik, ilmu pengetahuan
dengan kepentingan serta kehidupan seharihari. Kebenaran teori daam perspektif ini
adalah bila teori-teori yang dikemukankan
dapat
meningkatkan
kesadaran
kaum
perempuan
serta
kemampuan
emansipatorisnya (Lubis. 2006).
Lebih jauh Richardson dan Taylor
menyusun lima metode feminis sebagaimana
dikemukakan Judit Coo dan Mary Margaret
Fonow sebagai berikut :
a. Memperkenalkan
adanya
pengaruh
gender, ketimpangan gender dalam semua
kegiatan sosial manusia.
b. Menyingkapkan bagaimana hubungan
gender dengan sistem lain yang
mempengaruhi perbedaan, seperti ras,
kelas sosial, etnis, umur dan lain
sebagainya. Ada pengalaman dan harapan
yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan antara kelas, ras kulit putih
dan kulit hitan dan kulit berwarna
c. Meningatkan dan menyebarkan kesadaran
(conciousness rissing) yang diyakini dapat
membantu
memperkecil
atau
menghilangkan ketidakadilan/penindasan
terhadap kaum perempuan
d. Memikirkan dan mengubah pandangan
dualisme antara sipeneliti dengan obyek
yang diteliti dengan pandangan yang
dialogis, partisipatif.
e. Menekankan perlunta pemberdayaan dan
transformasi yang secara tidak langsung
teah menimbulkan berbagai kritik.
semangat maskulinitas dan mengabaikan
perspektif feminis. Pengkajian feminis lebih
tepat jika menggunakan paradigma teori kritis
atau konstruktivis dengan menggunakan
metode
hermeneutika,
semiotika,
fenomenologi, riset partisipatif atau metode
kualitatif dengan berbagai variasinya. Alasan
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
yang dapat diajukan karena metode-metode ini
mengakui adanya peran dan pengaruh konteks
sosial-budaya terhadap ilmu pengetahuan,
karena itu dimungkinkan dikonstruksi teori
yang berspektif feminis.
Metode yang dialogis/dialektis yang
mengakui hubungan dialogis antara subyek
dengan obyek yang diteliti (teks atau
responden) dianggap lebih tepat untuk ilmu
yang mengaitkan teori dan praksis. Studi
perempuan bukan bertujuan menemukan
hukum-hukum universal, menekukan teori
yang obyektif dan terverifikasi melalui
Paradigma/teori
Positivis
/
postpositivist
Constructivis
Feminist
Etnic
Marxist
Cultural studies
laboratorium, tetapai lebih bertujuan kepada
memahami situasi-kondisi sosial budaya kaum
perempuan. Dengan mengetahui realitas sosial
badaya perempuan lalu diupayakan untuk
memberikan pencerahan dan mengemansipasi
kondisi itu kearah kondisi yang diharakan, hal
ini berarti teori tidak terlepas dari praksis dan
kepentingan masyarakat. (Lubis, 2006).
Adapun
perbedaan
antara
paradigma
konstruktivis , feminis, etnic dan Marxis dan
studi kultural yang merupakan paradigma
intrepretive dapat dilihat dalam tabel 1berikut :
Tabel 1. Intrepretive Paradigm
Kreteria
Bentuk Teori
Internal, validitas eksternal
Logica-deductive,
ilmiah, grounded
Keterpercayan,
kredibilitas,
dapat Formal-Substantif
ditransfer, konfirm abilitas
Lokal, pengalaman hidup, dialog,
kepedulian, akuntabilitas, ras, kelas,
gender, refleksivitas, praxis, perasaan,
didasarkan fakta nyata.
Afrosentris, pengalaman hidup, dialog,
keprihatinan, akuntabilitas, ras, kelas,
gender
Teori emansipatoris,dapat difalsifikasi,
dialogis,ras, kelas, gender.
Kritis, Standpoint
Praksis budaya, Teks sosial, subjektif
Kritisme Sosial
Tipe narasi
Laporan ilmiah
Interpretasi,Studi
kasus
,
etnografik,fiksi
Esei, hitoris, tulisan
eksperimentasi.
Standpoint, kritis,
historis
Esei, cerita, drama
Historis-kultural,
ekonomis
Historis, ekonomis,
analisis
sosial
budaya
Teori
budaya
sebagai kritik.
Sumber : ( Lubis. 2006).
Keempat paradigma diatas kecuali
positivisme
masing-masing
membahas
permasalahan ontologi yang relatif sama dan
tinjauan dari prespektif dan tujuan yang
berbeda. Selanjutnya untuk mengetahui
Asumsi dasar
perbedaan antara
paradigma
positivis,
interpretatif dan feminis dapat dilihat dalam
tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Perbandingan Paradigma Positivis,Interpretatif dan Feminis
Positivis
Interpretatif
Feminis
Fenomena / fakta Fenomena
sosial Ada kuasa & kepentingan yang
sosial
dapat dkonstruksi
dari mengendalikan / mempengaruhi
diobservasi, objektif, pemaknaa simbolik yang fenomena sosial dan tingkah laku
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
bebas bias peneliti.
Sumber
evidensi /fakta
Metode
Kecenderungan
arah penelitian
Tingkat
partisipasi
Pengaruh
terhadap
partisipasi
Fakta
yang
tersingkap melalui
prosedur peneltian
yang terstandarisasi
dan bebas konteks.
Cara pengumpulan
data
yang
terstruktur, terukur,
& terkontrol ketat.
Contoh:
survei,
eksperimen,
laboratorium
,
observasi
terstruktur
dan
skala rating
Pendekatan
kuantitatif, erklaren,
verifikasi, prediksi
tingkah laku melalui
hubungan kausalitas
dan assosiasi
Subjek
penelitian
menjawab
pertanyaan spesifik
dalam
bentuk
respon
yang
terhormat
Subjek/peneliti
&
obyek yang diteliti
tidak
saling
mempengaruhi
(netral)
dapat terlihat dari tingkah
laku manusi dan bahasa.
Realitas
beragam,
kompleks, terdiri dari
berbagai
perspektif,
subyektif.
Pemaknaan dieroleh dari
perspektif, pengalaman
dan tingkah laku dalam
konteks sosial budaya.
Semi struktural. Observasi
dan pertanyaan terbuka
memungkinkan partisipasi
untk
mengekspesikan
pikiran dan tingkah laku
secara alamiah. Contoh:
wawancara
mendalam,
riset partisipatif, studi
kasus.
Studi
kualitatif,
memahami tingkah laku
manusi dalam konteksnya
Partisipasi,
pertanyaan
terbuka, spontan, dan
natural
seseorang.
Realitas
bersifat
terkonstruksi dan negosiable.
Perbedaannya tergantung pada
konteks sosial budaya dan kuasa.
Kuasa kontrol dan faktor faktor
kontekstual yang dapat diketahui
dari pendapat ersonal / kelompok
sebagai refleksi berbagai versi dari
realitas
Observasi partisipatoris, dialog
terarah,
memungkinkan
dua
kelompok
(dominan-marjinal)
mengemukakan
pendapat,
pengalaman dan keinginan
Contoh:
penelitian
partisipatoris,mendengar
aktif,
reflektif mengupayakan perubahan
dan menghilangkan hambatan
pesonal politis.
Studi feminis mencari pemahaman
dari pengaruh gender terhadap
sikap & tingkah laku, termasuk
perbedaan kuasa dan kontrol
dalam
kerangka
perubahan
/emansipasi sosial
Partisipan memiliki kebebasan
dalam
mengarahkan
proses
pengumpulan data dan dalam
menentukan tindakan selanjutnya.
Partisipan
menyadari Pemberdayaan dan emansipasi.
peran
keterlibatannya Hasil penelitian mengarahkan aksi
dalam proses penelitian. untuk perubahan sosial.
Memperoleh pemahaman
sesuai dengan perspektif
& tingkah laku sesuai
topik penelitian
Sumber : ( Lubis. 2006)
Menurut Liz Stanley bahwa riset pada studi
perempuan mengalami perubahan mendasar
dari riset sosiologi pada tahun 1980, hal ini
terlihat dari empat aspek yang saling
berkaitan, yaitu ;
1. Pergeseran sudut pandang pria ke sudut
pandang perempuan
2.
3.
Pergeseran dari metode ilmu-ilmu
pengetahuan alam kemetode ilmu-ilmu
pengetahuan sosial-budaya.
Dialog feminis dan wacana persahabatan;
yakni dialog yang bersahabat untuk
membangkitkan
nilai-nilai
dan
pengalaman feminsi serta penelitian yang
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
bersudut pandang bersahabat
Epistemologi yang mempertimbangkan
aspek lokal, sosial dan kedudukan
5.
Metode
Dekontruksi
dan
Postfeminisme
Sebagaimana dengan ilmu pengetahuan
lain yang terkait dengan konstruksi sosial
maka teori-teori feminisme dan konsep gender
memiliki pemikiran yang sama dapat di
konstruksi
kembali
(dekontruksi)
dan
diarahkan untuk menjadi lebih baik.
Dekontruksi merupakan buah pemikiran dari
Jacques Derrida, Dekontruksi dilandasi oleh
sebuah kecenderungan pengingkaran terhadap
apa
yang
disebut
Derrida
sebagai
Logosentrisme yang berakar didalam tradisi
filsafat dan pemikiran barat. Menurut Derida
Logosentrisme adalah salah satu karakter
dominan filsafat barat yang bersandar secara
kuat pada pengkalsifikasian dunia berdasarkan
pada sistem pembedaan yang kaku, yang kerap
disebut sebagai oposisi biner. Dimana ada
kecenderungan mengorganisasikan dunia
berdasarkan dua kategori yang saling
berlawanan satu sama lain. contohnya adalah
jiwa/tubuh,
maskulin/feminim,
transeden/imanen dan sebagainya. Elemen
yang satu kemudian dianggap superior
dibandingkan dengan elemen yang lain
sehingga dianggap sebagai muara semua
kebenaran.
Dekontruksi adalah sebentuk
penyangkalan terhadap disposisi teoritis
logosentrisme dan sistem biner yang
diciptakannya.
Dekonstruksi
merupakan
sebuah proses pengambilan jarak dan
differance, yakni proses permainan tanda dan
makna dalam bahasa, sehingga memunculkan
pebedaan tanda dan makna yang tak berhingga
dan tanpa batas dimana dalam proses
permainan itu tidak dapat ditemukan adanya
kebenaran absolut. Dekontruksi atas oposisi
biner berarti menghancurkan hirarkhi yang ada
dengan mengaburkan batas diantara keduanya.
Tahap berikutnya adalah mereka memproduksi
berbagai bentuk pemahaman nihilisme ( Reza
A Watimena dalam Muji Sutrisno, 2007).
Dekontruksi adalah membongkar strukturstruktur metafisis dan retoris yang bermain
dalam teks, bukan untuk menolak atau
menyingkirkan struktur tersebut melainkan
mendeskripsikannya kembali dengan cara lain.
kaum perempuan.
4.
Cara
mendeskripsikanya
dengan
memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci
transedental yang akan membuka pintu
gerbang jalan kebenaran tapi digunakan
sebagai alatnya si pemikir alat yang positif.
Dekontstruktivisme adalah sebuah cara
berfikir yang senantiasa menantang kita untuk
menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa
membedakan sesuatu tanpa menilai dan tanpa
memutuskan dan dekontruksi merupakan salah
satu konsep kunci dari postmodern ( Maksum,
2008).
Konsep feminisme di era 80-an
mendapatkan kritikan baik secara internal dan
eksternal kaum feminisme terkait dengan
kelemahan dan kekurangan pemikiran
feminisme gelombang ke dua, hasilnya adalah
menculnya aliran pemikiran postfeminis yang
menggunakan
pendekatan
dekontruksi.
Munculnya postfeminisme berkaitan dengan
perubahan kesadaran kaum perempuan sejalan
dengan perubahan masyarakat posindustri.
Kelahiran aliran postfeminis mendapatkan
tentangan dari Hartsck yang menganggap teori
postmodern
dapat melemahkan dan
meruntuhkan kajian perempuan, alasannya
yang digunakan adalah penolakan Lyotard
terhadap metanarasi, maka jika diikuti akan
menghilangkan metanarasi (ras, gender,
ketidakadilan, dominasi pria, eksploitasi )
yang digunakan sebagai konsep penting dalam
kajian perempuan. ( Lubis, 2006). Namun
dari pemikiran feminisme yang dibangun
haruslah disadari tidak luput dari berbagai
masalah. Bahwa feminisme sebagai diskursus
yang muncul dipermukaan tentunya tidak
terlepas dari kekacauan narasi-narasi yang
dibangun sebagai landasan epistemologis
feminimisme yang lebih banyak terjebak
kedalam wilayah binary oposition. Posisi yang
menempatkan perempuan sebagai WE dan
laki-laki sebagai Others telah membuat
feminisme jatuh pada eksistensialis dan
idiologis. Konsep yang digunakan dalam
kajian feminisme gelombang kedua seperti
identias,seksualitas,
perbedaan,patriarki
penindasan kembali dipertanyakan dan
dikoreksi melalui aliran Postfeminisme.
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
Postfeminisme berusaha untuk keluar dari
hegemoni, memberi ruang bagi kajian dan
suara peremuan yang termarjinalkan, kaum
perempuan
yang
terkoloni,
diaspora,
feminisme lokal, pribumi, perempuan lokan
serta kaum subaltern. Postfeminise menolak
pandangan teori sebagai respresentasi yang
obyektif (antiesensialisme)
III. KESIMPULAN
bersifat eksploitatif.
Teori
kritis,
poststrukturalis
dekontruksionis dan postmodern memberikan
dasar epistemologi bagi kajian perempuan.
Teori dan konsep yang dikemukakan teori
kritis,
mazhab
Frankfrut,
postmodern
bermanfaat bagi pemikiran epistemologi
feminis sebagai pondasi dasar bagi kaum
peneliti dibidang kajian perempuan, seperti
Sandra Harding, Carolyn Merchan, Virginia
Woolf dan lain-lainya.
Menempatkan
postmodern dalam kajian perempuan memang
tidak semua ahli bisa menerimanya.
Postmodernisme dianggap bisa memperlemah
keberadaan teori feminis terutama terkait
dengan penolakan metanarasi (dominasi pria,
rasisme,gender,
ketidak
adilan)
akan
meruntuhkan narasi feminis.
Bila paradigma
modern yang
positivistik menekankan pada tuntutan
obyektivitas dan adanya netralitas atau
pemisahan secara tegas antara objek yang
diteliti dengan peneliti maka efistemologis
feminis lebih cocok dengan pendekatan dan
metode yang bersifat dialogis, partisipatif
dengan tidak memisahkan antara teori dan
praksis. Postfeminisme muncul sebagai kritik
atas aliran pemikiran feminisme gelombang ke
dua.
Ketertindasan dan suborninasi
yang
dirasakan
kaum
perempuan
bukanlah
disebabkan oleh kodratnya tetapi terjadi
karena adanya konstruksi sosial – budaya yang
memang sengaja diciptakan oleh pihak yang
berkepentingan
yaitu kaum laki-laki.
Ketertindasan perempuan bukan saja dalam
ramah domestik (rumah tangga) dan publik
juga
terjadi
dalam
konstruksi
ilmu
pengetahuan. Dalam konsep epistemologi
modern kekuasan kaum perempuan telah
ditelikung
dan
dilumpuhkan,
ilmu
pengetahuan sosial yang bersifat positivistik
menciptakan kondisi yang meletakkan wanita
sebagai posisi yang lemah, ilmu pengetahuan
sosial dikontruksikan oleh kaum laki-laki yang
menampilkan dirinya sangat seksis dan
androsentris yang disusun berdasarkan
praksangka-prasangka negatif dan inferior
kaum laki-laki terhadap kaum perempuan.
Epistemologi feminis adalah langkah untuk
melakukan upaya mencari jalan keluar dari
ketertindasan, dibutuhkan adanya perumusan
ilmu pengetahuan yang bersifat feminis dan
melakukan
dekontruksi
terhadap
ilmu
pengetahuan
yang
telah
dikontruksi
berdasarkan sifat, kepentingan dan dominasi
kaum lelaki yang cenderung mendominasi dan
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-Aness.
2007. Filsafat Ilmu Komunikasi,
Bandung: Sembiosa Rekatama
Media.
Azis, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik,
Yogjakarta: Kreasi wacana
Fakih, Mansour, 2001. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Jogyakarta:
Puataka pelajar.
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi
Perempuan
dalam
Iklan,
Yogjakarta: Penerbit ombak.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekontruksi
Epistemologi Moderrn, Jakarta:
Pustaka Indonesia Satu.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat, Darai
masa
Klasik
Hingga
Postmodernisme, Jogyakarta: Ar-
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
Ruzz Media.
Sutrisno,
Mudji.edt.
2007. Cultural
Studies.Tangtangan bagi teori-teori
Besar
Kebudayaan,
Depok:
Koeskoesan.
JURNAL KOMUNIKASI VOL. I NO. 1 Maret 2010
Download