implikasi perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian

advertisement
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
IMPLIKASI PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH
PERTANIAN KE NON PERTANIAN
DI KABUPATEN BATANG
Oleh : Suryani, SH MHum
Abstrak :
Tanah merupakan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas kehidupan. Tanah
merupakan sumberdaya utama untuk usaha pertanian. Dewasa ini meningkatnya
pembangunan menyebabkan sumberdaya tanah yang sesuai, baik untuk pertanian
maupun kegiatan-kegiatan lainnya menjadi sangat terbatas. Hal ini akan
menimbulkan berbagai konflik keperluan atas tanah yang menyebabkan upaya
peningkatan produktivitas tanah pertanian dan upaya-upaya pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan daya dukung menyebabkan terjadinya kerusakan tanah
dan lingkungan yang membahayakan kehidupan
.
A. Pendahuluan
Penggunaan
tanah
dengan segala Implikasinya ,telah
di atur secara konstitusional
dalam pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945 yang kemudian
menjadi
dasar
pembentukan
hukum nasional yaitu Undangundang No. 5 tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria,
hal ini dengan jelas dikonstatir
dalam konsideran UU No. 5 tahun
1960 dalam Bab “mengingat”
yaitu : pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945 dijadikan dasar
hukum bagi pembentukan UUPA
dan merupakan sumber hukum
materiil bagi pengaturannya.
Pasal 33 UUD 1945 ini
secara tegas dikutip kembali
menjadi rumusan pasal 2 ayat 1
UUPA yaitu : pada tingkatamn
tertinggi bumi, air, dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara sebagai
kekuasaan
seluruh
rakyat
Indonesia.
Menurut Boedi Harsono 1
pasal 2 ayat 1 UUPA ini telah
memberikan
tafsiran
resmi/outentik mengenai arti kata
“dikuasasi“
yang
digunakan
dalam pasal 33 ayat 3 UUD
1945.Adapun yang dimaksud
dengan hak menguasai oleh
Negara ini oleh UUPA tidak
1
Boedi Harsoni, dalam Wargakusumah, Hasan
,Hukum Agraia , PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta , 1992, hal 52.
8
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
diberikan difenisi , UUPA hanya
memberikan
rincian
tentang
kewenangan dari negara sebagai
pemegang hak , yaitu :
1. Mengatur
dan
menyelenggarakan peruntukan
penggunaan ,persediaan dan
pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa ;
2. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan
hukum
antara orang-orang dengan
bumi, air, dan ruang angkasa ;
3. Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan
hukum
antara
orang-orang
dan
perbuatan-perbuatan
hukum
yang mengenai bumi, air, dan
rung angkasa. (pasal 2 ayat 2
UUPA).
Berbagai peraturan yang
secara implisit maupun eksplisit
mengatur kemungkinan perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian hanya bersifat penafsiran
dari ketentuan undang-undang,
diantaranya undang-undang no. 24
tahun 1992 Tentang tata ruang,
namun demikian,
realitasnya
perubahan
penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian berjalan
sangat cepat dan dalam areal yang
luas. Cepat dan luasnya perubahan
pemanfaatan tanah pertanian ke
9
non
pertanian
ini
menurut
Nasution dan Rustandi disebabkan
karena :
1. Besarnya tingkat urbanisasi
akibat
lambannya
proses
pembangunan
di
wilayah
pedesaan;
2. Meningkatnya jumlah anggota
kelompok
golongan
pendapatan
golongan
menengah dan atas di wilayah
perkotaan,
peningkatan
tersebut
mengakibatkan
bertambah
besarnya
permintaan terhadap sarana
pemukiman;
3. terjadinya transformasi di
dalam struktur perekonomian
Indonesia
yang
terutama
dicirikan
oleh
cepatnya
pertumbuhan sektor industri,
yang pada gilirannya akan
“mendepak” kegiatan pertanian
dari lahan sawah.2
Salindo,3 menyatakan :
sering kita dengar sekian banyak
pihak membutuhkan tanah untuk
sekian banyak kepentingan .
2
.Nasution dan Rustandi dalam Sumarjono, Maria
, Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Lahan
Non Pertanian di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta tahun 1983-1987, Makalah Seminar di
Fakultas Hukum UNISRI Solo, tanggal 27 Januari
1992.
3
. Salindeho, John; Manusia, Tanah, Hak dan
Hukum, Jakarta Sinar Grafika , 1994 cet pertama
hal 15.
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
Pemerintahpun
membutuhkan
untuk kepentingan pasar, bangunan
sekolah, perumahan, perkantoran,
jalan umum, dan sebagainya.
Lebih lanjut Salindo
menyatakan, mungkin atas suatu
areal yang sama bertumpu sekian
banyak kepentingan dan keinginan.
Tidak berarti kita bersitegang atau
berkonflik karena sama-sama
membutuhkan tanah. Tetapi begitu
banyak kebutuhan tertumpu pada
satu titik untuk mendapatkan tanah
di dalam ruang tertentu.
Fenomena
perubahan
penggunaan tanah pertanian ke
penggunanan non pertanian secara
teoritis dapat dijelaskan dalam
konteks ekonomika lahan yang
menempatkan sumber daya lahan
sebagai faktor produksi. Karena
faktor-faktor
itu
memiliki
karakteristik tertentu , maka secara
alamiah akan terjadi persaingan
dalam penggunaan lahan untuk
berbagai aktivitas . Dalam kondisi
inilah akan terjadi perubahan
dalam penggunaan lahan yang
mengarah pada aktivitas yang
mempunyai land rent yang paling
tinggi. Dalam bahasa yang
sederhana dapat dikatakan bahwa
persediaan lahan bersifat tetap
sedangkan permintaannya terus
tumbuh dengan cepat terutama di
kawasan perkotaan . Pertumbuhan
kebutuhan lahan ini didorong oleh
pertumbuhan
penduduk
dan
aktivitas sosial -ekonomi yang
menyertainya. Interaksi antara
permintaan dan penawaran lahan
ini akan mengahsilkan pola
penggunaan lahan yang mengarah
pada
aktivitas
yang
menguntungkan . Dalam konteks
inilah
fenomena
perubahan
penggunaan lahan pertanian ke non
pertanian terjadi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada
latar belakang tersebut di atas,
maka dapat dirumuskan masalah
yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Apa saja Implikasi dari
perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian di
Kabupaten Batang ?
2. Upaya-upaya apa saja yang
dilakukan
Pemerintah
Kabupaten Batang dalam
rangka
penanggulangan
implikasi negatif terhadap
perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian ?
10
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
C. Metode Penelitian
Penelitian
adalah
kegiatan
Ilmiah
yang
mempergunakan
pengetahuan
baru dari sumber sumber primer
dengan tujuan untuk menemukan
prinsip umum serta mengadakan
ramalan generalisasi di luar
sample yang diteliti.4
Penelitian
juga
menggunakan teknik-teknik yang
teliti dan sistimatis, karena
penelitian memerlukan data secara
obyektif. Setelah data tersebut
dikumpulkan, diolah dan dianalisa
dengan prosedur yang jelas dan
dapat dicek secara empiris,
kemudian
dilaporkan
dalam
bentuk yang lebih logis. Adapun
metode penelitian yang penulis
pergunakan dalam tesis ini adalah
sebagai
berikut
:
Metode
Pendekatan yuridis normatif, dan
Empiris
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini
adalah
berbagai
macam
produk hukum agraria , dan
peraturan
lainnya
yang
berkaitan dengan masalah
pertanahan
. Sedangkan
populasi lainnya yang berupa
4
Kamarudin , Metode Penelitian Skripsi dan
Tesis, Bandung, 1974, hal 27
11
data-data atau catatan-catatan ,
pendapat dari pakar hukum
pertanahan .
2. Metode Sampling
Metode
sampling
yang
digunakan dalam penelitian
ini adalah non random
sampling
dengan
jenis
purposive sampling , yaitu
dalam memilih subyek sample
dengan mengambil anggotaanggota sample yang memiliki
ciri-ciri atau sifat tertentu
sedemikian rupa sehingga
sample tersebut benar-benar
mencerminkan pupolasi.
3. Responden
Responden penelitian ini
adalah :
a. Instansi
yang
terkait
dengan
perizinan
perubahan tanah pertanian
ke non pertanian antara
lain : Kepala Badan
Pertanahan
Kabupaten
Batang, dan anggota lain
dari Instansi terkait;
b. Masyarakat
Kabupaten
Batang yang melakukan
perubahan tanah pertanian
ke non pertanian baik yang
dengan izin maupun tanpa
izin
masing
-masing
sejumlah 15 orang
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
c. Para Pakar hukum agraria
4. Metode Pengumpulan Data
a. Studi pustaka , adapun alat
yang dipergunakan dalam
penelitian
ini
adalah
memperlajari buku, dan
referensi , dan dokomen
yang yang terkait dengan
masalah
hukum
pertanahan pada umumnya
dan masalah pertanian
pada khususnya .
Adapun bahan pustaka
tersebut terperinci sebagai
berikut :
1) Bahan hukum primer,
yaitu
bahan-bahan
hukum yang mengikat,
2) Bahan
Hukum
Sekunder,
yaitu
peraturan
yang
memberi
penjelasan
mengenai
bahan
hukum primer, antara
lain
penjelasan
undang-undang, hasilhasil penelitian, karya
ilmiah bidang hukum
pertanahan.
3) Bahan hukum tersier,
atau bahan hukum
penunjang meliputi :
a) bahan yang dapat
memberi petujuk
maupun
penjelasan
terhadap hukum
primer
dan
hukum sekunder ,
misalnya : kamus
hukum,
inseklopedia dan
ekonomi
pertanian,
dan
lain-lainnya guna
mendukung dan
melengkapi data
penelitian .5
b)
bahan primer dan
sekunder diluar
bidang hukum ,
misalnya
:
sosiologi, filsafat,
ekologi,
yang
berupa fisik yaitu
tanah pertanian
dan
bangunan
yang ada .
b. Penelitian Lapangan
1) Observasi langsung :
yaitu penelitian dengan
melakukan
pengamatan langsung
ke obyek penelitian,
5
. Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji,
1990, Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Pres , Jakarta ,
Hal 41.
12
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
yaitu melihat obyek
penelitian
2) Wawancara langsung
dengan para pejabat
terkait dengan masalah
perizinan perubahan
tanah pertanian ke non
pertanian;
dan
wawancara langsung
dengan
anggota
masyarakat
yang
melakukan perubahan
tanah pertanian ke non
pertanian dan para ahli
hukum pertanahan .
3) Mempelajari berkasberkas atau berita
acara rapat dalam
rangka
perizinan
perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non
pertanian,
yaitu
berkaitan dengan dasar
hukum
dan
pertimbangan panitia.
5. Metode Analisa Data
Pada
penelitian
hukum
normatif, pengolahan data
hakekatnya kegiatan untuk
mengadakan
sistimatisasi
terhadap bahan-bahan hukum
tertulis . Sistemisasi ini berarti
membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis,
13
Hal ini untuk memudahkan
pekerjaan
analisis
dan
6
konstruksi. adapun
analisa
data dilakukan dengan analisa
Induktif kualitatif.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk mencapai apa yang
menjadi cita-cita bangsa dan
negara dalam bidang agraria,
negara sebagai pemegang hak
menguasai
perlu
mengatur
mengenai
peruntukan,
penggunaan, dan persediaan bumi,
air, dan ruang angkasa untuk
berbagai kepentingan hidup rakyat
dan negara ; yang kemudian
disebut dengan “rencana umum“
(national planning) yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia, yang
kemudian
diperinci
menjadi
rencana-rencana khusus (‘regional
planning”) dari tiap-tiap daerah
(baca pasal 14 UUPA) dengan
rencana umum maka penggunaan
tanah dapat dilakukan secara
terperinci dan teratur sehingga
dapat membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi negara dan
rakyat. (baca penjelasan umum
II.8UUPA).
Rencana umum
penggunaan tanah (tata guna
6
. Periksa, Surjono Soekanto , Op cit Hal
251-252.
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
tanah) hingga sekarang belum
ada, belum adanya rencana umum
ini
maka
dalam
realitas
penggunaan tanah seringkali
terjadi tumpang tindih
yaitu
disuatu kawasan lahan tertentu
penggunaannya
terdiri
dari
berbagai macam penggunaan,
sehingga dilihat dari aspek
lingkungan jelas penggunaan itu
tidak saling mendukung, justru
yang terjadi kerusakan atau
ketidak serasian penggunaan itu
terjadi. Belum adanya rencana
umum penggunaan tanah secara
nasional ini, berlawanan dengan
pemenuhan kebutuhan tanah
dalam rangka pembangunan yang
demikian
meningkat, karena
adanya pertumbuhan penduduk
dan meningkatnya kebutuhan
akan tanah untuk sarana kegiatan
pembangunan;
kondisi
yang
demikian ini mau tidak mau akan
mendorong perubahan struktur
pemilikan tanah dan penggunaan
tanah secara terus menerus dan
cenderung
tidak
terkendali,
apabila hal ini terus menerus
dibiarkan dan tanpa dikendalikan
melalui
rencana
umum
penggunaan
tanah
akan
mengakibatkan rendahnya daya
dukung
tanah
terhadap
pembangunan yang berwawasan
lingkungan dan pada akhirnya
akan menimbulkan bencana sosial
yang tidak diinginkan bersama.
Adi Sasono7 menyatakan
bahwa, perkembangan struktur
industri
yang
cukup
pesat
berakibat terkonversinya tanah
pertanian secara besar-besaran.
Kecenderungan ini tentunya dapat
memperlemah kemampuan kita
untuk
mempertahankan
swasembada pangan seperti yang
pernah kita capai beberapa tahun
belakangan ini. Di samping itu
akan pula melahirkan tingkat
pengangguran yang cukup tinggi,
karena sektor industri dan sektor
jasa lainnya tidak akan mampu
menampung seluruh angkatan
kerja yang terus meningkat pesat
setiap tahun. Terjadinya perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian,
misalnya
dirubah
penggunaan untuk pembangunan
industri atau perumahan, hal ini
jelas
akan
menimbulkan
pencemaran lingkungan pada
umumnya dan tanah pertanian
disekitarnya. Kenyataan tersebut
dalam realitasnya telah banyak
terjadi, hal ini disebabkan karena
10. Ali Sofwan Husein , Ekonomi Politik
Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1995, hal 11
14
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
kebutuhan akan tanah baik untuk
perumahan
atau
untuk
pembangunan industri maupun
untuk sarana prasarana lainnya
mengalami peningkatan yang luar
biasa.
Menurut hukum Agraria,
perubahan
penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian
merupakan proses yang diatur oleh
hukum,
artinya
perubahan
penggunaan tanah itu adalah suatu
yang di perbolehkan sepanjang
perubahan itu dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum yang
berlaku .
Untuk
mengendalikan
perubahan
penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian, telah
banyak peraturan perundangundangan yang mengatur yang
antara lain :
1. Undang-Undang No. 5 tahun
1960 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria;
2. Undang-Undang No. 5 tahun
1974
tantang
KetentuanKetentuan
mengenai
Penyediaan, Pemberian Tanah
Untuk Keperluan Perusahaan;
3. Undang-Undang No 24 tahun
1993 Tentang Penataan Ruang
4. dan Peraturan perundangundangan lainya.
15
Walaupun telah banyak
peraturan perundang undangan
yang
mengatur
mengenai
pengendalian
perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian,
namun
dalam
kenyataannya
peraturan
perundang-undangan
tersebut
masih sering diabaikan atau
dilaksankan secara manipulatif
dengan alasan demi tercapainya
target pertumbuhan ekonomi yang
telah ditentukan oleh pemerintah.
Bagi pemerintah dalam
rangka perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non pertanian
seharusnya tetap perpegangan pada
prinsip keadilan dan kepastian
hukum, hal ini sebagaimana
pendapat Sunaryati Hartono,8
........dan tanpa menyampingkan
syarat-syarat
keadilan
dan
kepastian hukum, negara tetap
berhak
untuk
menentukan
penggunaan tanah milik tersebut,
sesuai dengan pola pembangunan
dan ketentuan hukum mengenai
tata guna tanah secara nasional,
maupun regional . Selain dari pada
itu , bagi pemerintah dalam rangka
pembuatan tata guna tanah
nasional maupun regional juga
8
. Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran
Kearah Pembaharuan Hukum Tanah,
Alumni, Bandung 1978, hal 51.
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
harus memperhatikan ketentuan
asas dan tujuan Penataan Ruang ,
sebagaiman di atur di dalam pasal
2 UU No. 24 tahun 1993 tentang
Penataan
Ruang,
yang
menentukan:
1. Pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu,
berdaya guna, dan berhasil
guna, serasi, selaras, seimbang
dan berkelanjutan;
2. Keterbukaan, keadilan, dan
perlindungan hukum.
Berkaitan
dengan
pemanfaatan ruang ini, maka
pemanfaatan tanah pertanian ke
non pertanian sedapat mungkin
memperhatikan asas sebagaimana
tersebut di atas.
Peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang
perubahan tanah pertanian ke non
pertanian sebagai salah satu alat
guna mendukung tercapainya
pemanfaatan/penggunaan
tanah
yang selaras dan berdaya guna,
adil dan memberikan perlindungan
hukum sangatlah diperlukan.
Guna maksud tersebut, maka
pendapat Robert B Seidman yang
menyatakan
bahwa
penguasa
sebagai pembuat kebijaksanaan
hanya mempunyai satu alat yang
dapat dipakai untuk mempengaruhi
aktivitas pemegang peran, yaitu
peraturan yang dibuatnya9 .
Untuk membuat peraturan
perundang-undangan
mengenai
Penggunaan Tanah Pertanian Ke
Non Pertanian, perlu berorientasi
pada asas-asas hukum, karena
dengan asas ini memberikan
pengarahan terhadap perilaku
manusia di dalam masyarakat.
Sebagaimana pendapat
Van
Apeldoorn bahwa asas-asas hukum
positif yang khusus atau yang
melandasi pranata-pranata hukum
tertentu, atau melandasi suatu
bidang hukum tertentu .10
Dengan
demikian
asas hukum adalah merupakan
“jantungnya” perturan hukum,
sebab :
1. Asas
Hukum
merupakan
landasan yang paling luas bagi
lahirnya
suatu
peraturan
hukum;
2. Sebagai alasan bagi lahirnya
peraturan
hukum
atau
merupakan ratio logis dari
peraturan hukum11
9
. Periksa Robert B Seidman, “Law and
Devolopment, A General Model “, Law and
Society Review, Tahun VI,1972, hal 311-319.
10
. Dikutip dari Sunarjati Hartono, 1988,
Asas-asas Hukum Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan , Hukum
Nasional, No. 2 tahun 1988, BPHN, Jakarta,
hal 68.
11
Satjipto Rahardjo, Loc cit
16
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
Oleh karena itu ,Ilmu
Hukum dengan mencari asas-asas
hukum (baru) dapat membantu
usaha
pengembangan
hukum
positif (dan usaha pembentukan
hukum baru).12
Asas
Hukum
yang
diperlukan bagi pembentukan
peraturan
perundang-undangan
dapat dibedakan ke dalam :
1. Asas hukum yang menentukan
politik hukum;
2. Asas hukum yang menyangkut
proses pembentukan
perundang-undangan (proses
legislasi);
3. asas hukum yang menyangkut
aspek-aspek
formal/struktural/organisatoris
dari tata hukum nasional;
4. Asas hukum yang menentukan
ciri dan jiwa tata hukum
nasional;
5. Asas hukum yang menyangkut
subtansi peraturan perundangundangan 13
E. Hasil
Penelitian
Dan
Pembahasan
1. Implikasi
Perubahan
Penggunaan
Tanah
12
Satjipto Rahaedjo, 1986, Ilmu Hukum,
Alumni, Bandung, hal 85.
13
. Sunarjati Hartono, op cit , hal 70
17
Pertanian ke Non Pertanian
di Kabupaten Batang
Bahwa di Kabupaten
Batang perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non
pertanian selain memberikan
implikasi
positif
juga
berimplikasi negatif , atau
dengan kata lain bahwa
kebijakan apapun yang dibuat
oleh
pemerintah
selalu
bergerak dalam dua arah yang
berlawanan , tercapainya suatu
sasaran kebijakan pemerintah
tidak bisa lepas dari adanya
sisi negatif dari kebijakan itu.
Persoalannya
adalah
sebandingkah implikasi positif
dengan negatifnya ?
a. Implikasi Positif
Selain itu, Menurut
perkiraan
Pemerintah
Karawang sektor industri bisa
menampung lebih banyak
tenaga kerja dibanding sektor
pertanian,
perkiraan
Pemerintah daerah Kerawang,
setiap
dilakukan
pengembangan
terhadap
kedua sektor itu, maka sektor
pertanian bisa menampung 10
orang,
sedangkan
sektor
industri bisa menampung 50
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
tenaga kerja untuk setiap
hektar lahan.14
Sejalan dengan itu,
menurut
Siswono
Yudo
Husodo (Ketua HKTI), baik
pembangunan
pertanian
maupun
pembangunan
infrastruktur
sama-sama
penting, sehingga pilihannya
sangat sulit. Pembangunan
infrastruktur bisa menyerap
banyak tenaga kerja sehingga
mengurangi pengangguran.15
Implikasi negatif dari
suatu kebijakan memang
sesuatu
yang
tidak
dihindarkan apapun kebijakan
itu, yang paling penting bukan
persoalan implikasi negatif
atau
positifmya
suatu
kebijaksanaan
pemerintah,
tetapi yang terpenting adalah
persoalan bagaiman kebijakan
pemberian izin perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian diberikan.
Berbagai implikasi
baik positif maupun negatif,
dan uapaya pengendalian dan
uapaya
penanggulangan
dampak
negatif
yang
dilakukan Pemerintah daerah
Kabupaten Batang, dalam
perspektif
hukum
menunjukkan bahwa hukum
belum berfungsi dan berperan
sebagaimana mestinya. Belum
efektifnya
hukum
dalam
bidang pengaturan perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian ini akan
dilihat dari dinamika hukum
itu sendiri. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi
terhadap efektifitas hukum,
meliputi tahap perumusan,
implementasi
dan
tahap
evaluasi; ketiga faktor ini
merupakan satu kesatuan
secara menyeluruh karena
ketiganya
saling
mempengaruhi
dan
16
berkaitan.
1) Tahap
Perumusan
Ketentuan
Larangan
perubahan
penggunaan
tanah pertanian ke non
pertanian
Pada tahap perumusan ini,
yaitu menyangkut faktor
hukum dari peraturan
perundang-undangan dan
atau kebijaksanaan.
16
14
. kompas 15 Agustus 2002
15
. ibid
Sodikin, Achmad, Politik Hukum Agraria ,
materi kuliah : Program Pasca Sarjana
Universitas Browijoyo, Malang ,1998
18
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
Pengaturan
perubahan
penggunaan
tanah
pertanian ke non pertanian
dituangkan dalam berbagai
peraturan sebagai berikut :
a) Ketetapan
Majlis
Permusyawaratan RI
No. II / MPR RI / 1993
jo Ketetapan Majlis
Permusyawaran
Rakyat No. IV/MPRRI/ 1998;
b) Peraturan
Menteri
Dalam Negeri No. 5
tahun 1974 tentang
Ketentuan –ketentuan
Mengenai Penyediaan
dan Pemberian Tanah
untuk
Keperluan
Perusahaan;
c) Peraturan
Menteri
Dalam Negeri No. 7
tahun 1986 tentang
Penetapan
Batas
Wilayah
Kota
diseluruh Indonesia ;
d) Keputusan Prisiden RI
No. 53 tahun 1989
tentang
Kawasan
Industri;
e) Keputusan Presiden RI
No. 33 tahun 1990
Tentang Penggunaan
19
Tanah
Kawasan
Industri;
f) Intruksi
Presiden
Republik
Indonesia
Nomor 3 tahun 1999
tentang Pembaharuan
Kebijakan Pengelolaan
Irigasi;
g) Peraturan
Menteri
Negara Agraria/Kepala
Badan
Pertanahan
Nasional No. 2 tahun
1993 tentang Tata
Cara Memperoleh Izin
Lokasi dan Hak Atas
Tanah bagi Perusahaan
Dalam
Rangka
Penanaman
Modal,
dengan
Petunjuk
Pelaksanaan
yang
diatur
dalam
Keputusan
Menteri
Negara Agraria/Kepala
BPN No. 22 tahun
1993,
Peraturan
tersebut sekarang telah
diganti
dengan
Peraturan
Menteri
Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional
No. 2 tahun 1999;
h) Surat Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN
No. 410-1850 tanggal
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
15 Juni 1994 tentang
Pencegahan
Penggunaan
tanah
sawah beririgasi teknis
untuk penggunaan Non
Pertanian
yang
ditujukan
kepada
Menteri
Negara
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Ketua
Bappenas selaku ketua
Badan Koordinasi Tata
Ruang Nasional;
i) Surat Menteri Negara
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Ketua
Bappenas,
no.
5334/MK/9
1994
tanggal 29 September
1994 berisi tentang
Perubahan
Penggunaan
Tanah
Sawah
Beririgasi
Teknis
untuk
Penggunaan
Non
Pertanian
yang
diyujukan
kepada
Menteri
Negara
Agraria/Kepala BPN;
j) Surat Menteri Negara
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Ketua
Bappenas,
no.
5335/MK/ 9 1994
tanggal 29 September
1994 berisi tentang
Penyususnan Rencana
Tata Ruang Wilayah
ditujukan
kepada
Menteri Dalam Negeri;
k) Surat Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN
No. 410-1851 tanggal
15 Juni 1994 tentang
Pencegahan
Penggunaan
tanah
sawah beririgasi teknis
untuk penggunaan Non
Pertanian penyusunan
Rencana Tata Ruang
yang ditujukan k epada
Gubernur KDH Tk I
dan Bupati /Walikota
diseluruh Indonesia;
l) Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala
BPN No. 460-3346
tanggal 31 Oktober
1994
tentang
Pencegahan
Penggunaan
tanah
sawah beririgasi teknis
untuk penggunaan Non
Pertanian penyusunan
Rencana Tata Ruang
20
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
yang ditujukan Kepada
Kepala kantor Wilayah
BPN Propin si dan
kepala kontor BPN
Kabupaten/Kotamadya
diseluruh Indonesia;
Sedangkan untuk
Kabupaten Batang, dalam
rangka
pengendalian
perubahan
penggunaan
tanah pertanian ke non
pertanian
selain di
dasarkan pada berbagai
peraturan
diatas
didasarkan pula pada :
1) Instruksi
Gubernur
Kepala Daerah Tk I
Jawa Tengah
No.
590/107/1985 tentang
Pencegahan Perubahan
tanah pertanian ke non
pertanian yang tidak
terkendali;
2) Instruksi
Bupati
Kepala Daerah Tingkat
II
Batang
No.
590/158/1989 tentang
Izin
perubahan
penggunaan
tanah
pertanian
ke
non
pertanian; sehubungan
dengan
izin
mendidirkan bangunan
di atas tanah pertanian.
21
Berbagai
peraturan tersebut pada
umumnya mempunyai
kelemahan,
adapun
kelemahankelemahannya sebagai
berikut :
a) tidak
memiliki
keuatan mengikat,
karena
larangan
tentang perubahan
penggunaan tanah
pertanian ke non
pertanian dumuat
dalam satu pasal
yang
kaidahnya
menggunakan
kalimat
:
menghindari
penggunaan areal
tanah
pertanian
yang subur. (lihat
Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.
5
tahun
1974
tentang Ketentuan
–ketentuan
Mengenai
Penyediaan
dan
Pemberian Tanah
untuk Keperluan
Perusahaan;
b) Banyak
mengandung
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
aturan
pengecualian (legal
Exception)
c) derajad
peraturannya
berupa
norma
jabaran
yang
berbentuk
surat
edaran dan atau
intruksi
b. Tahap Implementasi
Karena adanya tiga kelamahan
sebagai tersebut di atas, maka
peraturan berkaitan dengan
larangan
perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian dalam tataran
implementasi
seringkali
menimbulkan
benturan
dengan
paraturan
dalam
derajad yang sama atau yang
lebih
tinggi,
berbagai
kebijakan
pemerintah
terutama tentang penanaman
modal
dan
kebijakan
pertumbuhan ekonomi. Dalam
hal ini izin perubahan tanah
pertanian
kewenangan
pemberiannya
diserahkan
kepada Bupati Kepala daerah
Kabupaten, sedangkan Izin
lokasi dan Iain penanaman
modal
diberikan
kewenangannya
pada
Gubernur; sehingga Bupati
dalam
memberrikan
izin
perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian
dengan terpaksa mengabulkan
permohonan itu walaupun
pemberian izin itu akan
melanggar Perda tentang Tata
ruang daerah Kabupaten/Kota.
Berkaitan
dengan
Implementasi
larangan
perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian di
Kabupaten
Pekalongan,
kecenderungan mengabaikan
ketentuan larangan perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian karena faktor
kelemahan sistim hukumnya ;
hal
ini
sebagaimana
dikemukakan Lawrence M.
Frieeman membedakan unsur
sistem hukum itu ke dalam 3
(tiga) macam, yaitu: (1)
struktur; (2) substansi; (3)
kultur.
Komponen struktur
adalah kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum
dengan
berbagai
macam
fungsinya
dalam
rangka
mendukung bekerjanya sistem
hukum. Komponen substansi
22
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
merupakan keluaran dari
sistem hukum, termasuk di
dalamnya norma-norma itu
sendiri baik berupa peraturanperaturan,
keputusankeputusan yang semuanya
digunakan untuk mengatur
tingkah laku manusia. Budaya
atau kultur adalah nilai-nilai
dan
sikap-sikap
yang
merupakan pengikat sistem itu
serta menentukan tempat
sistem itu di tengah-tengah
budaya
bangsa
secara
keseluruhan.
Dari ketiga komponen
sistim hukum itu, ketiganya
mempengaruhi pelaksanaan
peraturan larangan perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian, yaitu faktor
faktor
itu, adalah terkait
dengan faktor kelembagaan,
dimana sudah diuraikan di
atas,
bahwa
pengaturan
larangan
perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian diatur dalam
derajad yang rendah sehingga
daya ikatnya terhadap pejabat
yang berwenang lemah karena
tidak ada sanksi yang tegas;
sedangkan dari aspek subtansi,
berkaitan dengan perumusan
23
norma oeraturan itu, yang
menggunakan kalimat tidak
tegas berupa harapan :
“Hendaknya
menghindari
tanah pertanian subur” . dan
dari aspek budaya, sudah
menjadi ciri bangsa Indonesia
yang bercorak paternalis.
c. Tahap Evaluasi
Evaluasi merupakan
tahap akhir dari bekerjanya
hukum larangan perubahan
tanah pertanian ke non
pertanian
khususnya
di
Kabupaten Batang, bahwa
evaluasi ini akan membahas
terhadap implikasi perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian.
Bahwa di Kabupaten
Batang perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non
pertanian selain memberikan
implikasi
positif
juga
berimplikasi negatif, dalam
pembahasan ini akan lebih
melihat
pada
implikasi
negatifnya.
Implikasi negatif dari
suatu kebijakan memang
sesuatu
yang
tidak
dihindarkan apapun kebijakan
itu, yang paling penting bukan
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
persoalan implikasi negatif
atau
positifmya
suatu
kebijaksanaan
pemerintah,
tetapi yang terpenting adalah
persoalan bagaiman kebijakan
pemberian izin perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian diberikan.
Menurut
Sjachran
Basah,
Sikap
tindakan
administrasi negara yang
melanggar
hukum
yaitu
pelaksanaan yang salah, pada
hal hukumnya benar dan
berharga, sedangkan sikap
tindak administrasi negara
yang
menurut
hukum,
bukanlah pelaksanaan yang
salah, melainkan hukum itu
sendiri yang secara materiil
tidak
benar
dan
tidak
17
berharga.
Dalam
pembahasan
ini, yang akan diuraikan
siukap tindak administrasi
negara yang berdasarkan
hukum, tetapi menimbulkan
kerugian bagi masyarakat.
Sebelum
diuraikan
lebih lanjut tentang tindakan
pemerintah
yang
17
. Basah Sjachran, Hukum Administrasi
Negara , dalam tulisan Arifin sutrisno , Sikap
Tindak Administrasi Negara Menurut Hukum
Yang Menimbulkan Kerugian , Yogjakarta
UII Pres, 1997, hal 282.
menimbulkan
kerugian,
terlebih
dahulu
dibahas
pengertian tentang Izin, izin
merupakan bentuk campur
tangan pemerintah dalam
rangka melakukan pelayana
umum (public Servis). Izin
merupakan salah satu bentuk
penetapan
(Beschikking)
pemerintah,
Penetapan
pemerintah menurut Kuntjoro
harus memenuhi syarat-syarat
formal dan material yaitu
sebagi berikut :
1) Syarat Material :
a) Alat
pemerintah
yang
membuat keputusan harus
berwenang;
b) Dalam
kehendak
alat
pemerintahan yang membuat
keputusan tidak boleh ada
kekurangan yuridis;
c) Keputusan harus diberi bentuk
yang
ditetapkan
dalam
peraturan
yang
menjadi
dasarnya dan pembuatannya
harus juga memperhatikan
prosedur membuat keputusan ;
d) Isi dan tujuan keputusan itu
harus sesuai dengan isi dan
tujuan yang hendak dicapai
(doelmatig)
2) Syarat Formil
24
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
a) syarat-syarat yang ditentukan
berhubungan
dengan
persiapan dibuatnya keputusan
dan berhubungan dengan cara
dibuatnya keputusan itu harus
dipenuhi;
b) harus diberi bentuk yang
ditentukan;
c) jangka waktu ditentukan;
Izin Perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non pertanian
Ketetapan yang dibuat pemerintah
adalah sah menurut hukum apabila
memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Bahwa Izin perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non pertanian,
menimbulkan beberapa masalah
antara lain :
1) Peraturan
Izin
perubahan
penggunaan tanah pertanian ke
non pertanian belum tersosialisasi
dengan baik di kabupaten Batang,
sehingga
masih
terdapat
perubahan tanah pertanian ke non
pertanian yang dilakukan tanpa
izin,
2) izin perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian tidak
menetukan batas waktu ; yang
ditentukan hanya batas waktu 12
bulan tanah dimaksud harus sudah
digunakan
sesai
dengan
permohonan ;
25
3) Izin perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian tidak
menetapkan pengertian tantang
pencemaran lingkungan, kecuali
menunjuk pada risalah tata guna
tanah ;
4) Dalam peraturan tentang izin
perubahan penggunana tanah
pertanian ke non pertanian, tidak
ditentukan tentang kewajiban
mengumumkan kepada publik,
sehingga
tidak
memberi
kesempatan pihak lain untuk
mengajukan
banding
atau
keberatan;
5) Perizininan yang terkait dengan
perubahan tanah pertanian ke non
pertanian, terkait pula dengan izin
lokasi dan lain-lainnya, yang
semuanya bersifat sektoral ;
Tindakan
pemerintah
memberikan
izin
perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non
pertanian adalah merukan tindakan
pemerintah yang berdasar hukum,
tetapi
berpotensi
menimbulkan
kerugian bagi masyarakat.
Terhadap implikasi negatif yang
ditimbulkan di Kabupaten Batang,
Sebagaimana diuraikan pada Bab
terdahulu
ada
yang
berakibat
pencemaran terhadap tanah pertanian
di sekitarnya karena pemakaiannya
untuk kepentingan industri, terhadap
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
tindakan pemerintah memberikan izin
perubahan
penggunaan
tanah
pertyanian ke non pertanian tersebut
adalah menurut hukum admnistrasi
negara benar dan bisa dihargai, tetapi
akibat yang ditimbulkannya tidak
dapat dibenarkan.
Mengacu pada contoh kasus yang
dikemukakan
Belefante di negar
Belanda tentang tindakan pemerintah
yang berdasarkan hukum yang
menimbulkan
kerugian
sebagai
berikut :
…..di kota praja menyalurkan
pembuangan
diperairan
yang
dinamakan de Ley of de Voiorste
Stroom, sehingga terjadi suatu
pencemaran yang luar biasa di dalam
sungaii itu, selain baunyasangat
busuk, juga merusak cat rumah yang
berdiri ditepi sungai itu, warga
disekitar
sungai
mengajukan
protes,……
Hoge
Raad
mempertimbangkan bahwa tingkah
laku kotapraja dari sudutkepentingan
kotapraja dibenarkan dan dihargai,
pembuangan air kotar memang tidak
bisa dihindari………, Tetapi akibat
yang ditimbulkan tidak dapat
dibenarkan. Berdasarkan contoh
kasus tersebut, bagi masyarakat
tentunya masyarakat yang terkena
pencemaran pabrik akibat perubahan
tanah pertanian ke non pertanian
dapat mengajukan banding untung
meminta
ganti
rugi
melalaui
pengadilan tata usaha negara .
Bahwa pemberian izin oleh
Bupati Batang berkaitan dengan
perubahan
penggunaan
tanah
pertanian ke non pertanian adalah
memberikan keuntungana kepada
individu atau kelompok adalah benar
menurut hukum, tetapi dalam
pengambilan keputusan pemberian
izin tentunya harus diperhatikan
kebijaksanaan catur tertib tertib
bidang pertanahan ; catur tertib
merupakan
pedoman
bagi
penyelenggaraan
tugas-tugas
pengelolaan
dan
pengembangan
administrasi pertanahan, sekaligus
merupakan
gambaran
tentanag
kondisi atau sasaran yang ingin
dicapai dalam pembangunan bidang
pertanahan, yang pelaksanaannya
dilakukan secara bertahap.
Dalam buku repelita V Badan
Pertanahan Nasional memberikan
ga,baran tentang kondisi yang akan
dicapai dari catur tertib bidang
pertanahan itu sebagai berikut :
1) Tertib
Hukum
Pertanahan,
merupakan keadaaan di mana :
a) seluruh perangkat peraturan
perundang-undangan
di
bidang
pertanahan
telah
26
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
tersusun secara lengkap dan
komprehensif;
b) semua peraturan perundangundangan
di
bidang
pertanahan telah diterapkan
pelaksanaaannya
secara
efektif;
c) semua pihak yang menguasai
dan/atau menggunakan tanah
mempunyai hubungan yang
sah dengan tanah yang
bersangkutan
menurut
peraturan yang berlaku.
2) Tertib Administrasi Pertanahan,
merupakan keadaaan dimana
:untuk setiap bidang tanah telah
tersedia catatan mengenai aspek –
aspek ukuran fisik, penguasaan,
penggunaan, jenis hak dan
kepastian
hukumnya
yang
dikelola dalam sistim informasi
pertanahan yang lengkap;
a) terdapat mekanisme prosedur/
tata kerja pelayanan di bidang
pertanahan yang sederhana,
cepat, dan murah, namun tetap
menjamin kepastian hukum,
yang dilakukan secara tertib
dan konsisten;
b) penyiapan
warkah-warkah
yang
berkaitan
dengan
pemberian
hak
dan
pensertifikatan tanah telah
dilakukan
secara
tertib,
27
beratiran,
dan
terjamin
keamnannya.
3) Tertib
Penggunaan
Tanah,
merupakan keadaan dimana :
a) tanah telah digunakan secara
optimal, serasi dan seimbang
sesuai dengan potensinya,
guna
berbagai
kegiatan
kehidupan dan penghidupan
yang
diperlukan
untuk
menunjang
terwujudnya
tujuan nasional;
b) penggunaan tanah di daerah
perkotaan telah menciptakan
suasana yang aman tertib,
lancar dan sehat;
c) tidak
terdapat
benturan
kepentingan antara sektor
dalam peruntukan penggunaan
tanah.
4) Tertib Pemeliharaan tanah dan
Lingkungan Hidup, merupakan
keadaan di mana :
a) penangan bidang pertanahan
telah
menunjang
upaya
pengelolaan
kelestarian
lingkungan hidup;
b) pemberian hak atas tanah dan
pengarahan
penggunaaanya
dapat menunjang terwujudnya
pembangunan
yang
berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
c) semua pihak yang mempunyai
hubungan hukum dengan
tanah telah melaksanakan
kewajiban sehubungan dengan
pemeliharaan tanahnya.
Izin perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non pertanian
untuk melaksanakan sebagaimana
ketentuan yang berlaku, tidak
efektifnya peraturan tersebut menurut
Sutoyo,18 dengan mengutip pendapat
James E. Anderson, dipengaruhi oleh:
1) Keterbatasan
sumber
daya
manusia yang memiliki integritas
dan dedikasi dalam menjalankan
tugasnya secara maksimal;
2) Kelemahan
dalam
pengadministrasian
dibidang
pertanaahan;
3) perumusan
kebijakan
hanya
didasarkan pada satu faktor,
dalam
konteks
perubahan
penggunaan tanah pertanian ke
non pertaanian, dengan hanya
mempertimbangkan
karena
gubernur/bupati telah memberikan
izin
lokasi
diareal
tanah
spertaanian; Akibatnya izin yang
dibuat hanya berdasaarkan pada
sikap melindungi pelanggaran
yang telah terjadi;
18
Sutoyo, Laaraangan alih fungsi Lahan
Produktif Dalam Rangka Upaya
Mempertahankan Swasembada Beras ( Studi
Kasus di Wilayah Kabupaten Derah Tingkat
II Malang ), 1999. haal 39
4) adanya
konflik
kebijakan
pemerintah, yaitu antara kebijakan
ekononomi, tata ruang dan
larangan perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non pertanian;
5) tidak adanya sanksi yang tegas
terhadap pelanggaran laarangan
perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian;
Atas
dasar
berbagai
permasalahan tersebut, maka perlunya
pengaturan dalam bentuk undangundang atau peraturan pemerintah
sebagai pelaksanaan UU No, 5 tahun
1960 Pasal 7, pasal 9 dan pasal 14
serta pasal 16 . sekaligus pelaksanaan
UndangUndang No. 56 /Prp/ 1960
cukup orgen untuk segera diterbitkan
mengingat
luasnya
implikasi
perubahan
penggunaan
tanah
pertanian ke non pertanian.
Menarik
pendapat
Adig
Suwandi
mengatakan,
untuk
mengendalikan
konversi
lahan
pertanian,
pemerintah
perlu
menyusun aturan agar perubahan
peruntukan lahan harus melalui
pertanggungjawaban
publik.
Di
banyak negara, hal itu sudah
dilakukan dengan maksud agar setiap
perubahan
penggunaan
lahan
mempertimbangkan
banyak
kepentingan.
28
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
"Di
Inggris
untuk
membangun sebuah kota baru,
perjalanannya sangat panjang, melalui
perdebatan
yang
lama
tetapi
produktif. Kita mestinya, setiap kali
membangun infrastruktur di luar
usaha
pertanian,
harus
ada
pertanggungjawaban kepada publik,"
ujarnya,
Bahkan, menurut dia, untuk
perubahan fungsi lahan dari satu
tanaman ke tanaman lain pun perlu
dilakukan
perdebatan.
Setiap
perubahan peruntukan lahan perlu
mempertimbangkan pendapat semua
pihak yang terkait.
"Hanya saja, saya sangsi
apakah pertanggungjawaban publik
itu bisa dilakukan produktif di sini,
karena orientasi birokrasi dan politisi
adalah uang dan kedudukan," kata
Adig. Pemerintah telah mempunyai
tata ruang, namun kenyataannya
mereka mudah sekali "dibeli"
sehingga peruntukan lahan menjadi
menyimpang.
Menurut
Maria
W.
Soemardjono,19 tanah tidak pernah
dijadikan
strategi
pembangunan
sehingga pelaksanaan UUPA sering
terhambat secara politis psikologis.
Hingga kini belum ada alokasi
penggunaan tanah untuk berbagai
19
. Maria. W. Soemnardjono, Loc.cit
29
keperluan sehingga sering timpang.
Rencana tata ruang seringkali
dimanipulasi oleh banyak pihak.
Pememrintah saat ini perlu memiliki
lembaga penyaalur tanah (land
banking), untuk mengendalikan pihak
swasta yang ingin menguasai tanah
secara besar-besaran untuk berbagai
keperluan. Selain itu, orientasi
pembangunan
yang
cenderung
mengejar pertumbuhan dan bertumpu
pada
industrialisasi
tanpa
perencanaan penggunaan tanah yang
baik, berakibat pada pengalihfungsian
tanah pertanian untuk kegunaannya
yang lain.
Berdasarkan realitas demikian
ini,
maka
dalam
menentukan
kebijakan pertanahan harus bertumpu
pada ekonomi kerakyatan demi
pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Dalam pengambilan kebijakan,
Pemerintah harus menjamin keadilan
untuk mendapatkan akses dalam
perolehan dan pemanfaatan tanah.
Selain itu harus mengikutsertakan
masyarakat dalam proses pembuatan
kebijakan dan
masyarakat harus
dilibatkan dalam pengawasan.
Dalam kaitan ini, sangat
relevan
gagasan
untuk
menyelenggarakan
Pengadilan
Agraria
yang
mandiri,
untuk
menangani
sengketa
–sengketa
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
agraria, baik yang bersifat horisontal
maupun vertikal . dan Pengadilan
Agraria ini tidak sama dengan
pengadilan Landreform yang diatur
dalam UU No. 21 tahun 1964; dengan
adanya Pengadilan Agraria ini maka
masyarakat dan pemerintah akan
dapat saling diuntungkan, karena
masalah sengketa pertanahan yang
sering terjadi bukan saja masalah
aturan dan undang-undangnya, tetapi
juga menyangkut masalah perangkat
pendukung undang-undang dan sistim
pemerintahan.
F. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian adalah
sebagai berikut :
1. a. Perubahan
penggunaan
tanah pertanian ke non
pertanian di Kabupaten
Batang,
selain
berimplikasi positif berupa
mendorong pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan
pendapatan daerah dari
sektor pajak, dan retribusi,
dan land rent (harga tanah)
meningkat;
b. sedangkan
dari
segi
negatifnya
merosotnya
produksi
beras,
menurunnya
kualitas
lingkungan
hidup,
terjadinya konflik budaya,
dan memunculkan adanya
penyelundupan
hukum
melalui
mekanisme
perizinan
perubahan
penggunaan
tanah
pertanian ke non pertanian
guna
mengejar
nilai
ekonomi tanah (landrent).
2. Berbagai implikasi negatif
dari
adanya
perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian yang
meliputi menurunnya produksi
beras, mubadirnya air irigasi
dan investasi pembangunan
irigasi,
serta
kekacauan
administrasi
bidang
pertanahan, maka Pemerintah
Kabupaten Batang melakukan
upaya
penanggulangan
terhadap implikasi negatif
melalui tiga pendekatan yaitu,
preventif,
responsip
dan
represif .
G. Saran-Saran
Saran atau rekomendasi
yang dapat penulis sampaikan
berkaitan dengan hasil penelitian
adalah :
30
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
1. Dalam pelaksanaan peraturan
larangan
perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian yang diatur
dalam berbagai peraturan
tidak efektif, dikarenakan
tidak adanya sanksi ; maka
pengaturan
larangan
perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian
perlu diatur dalam undangundang tersendiri .
2. Hendaknya pemerintah segera
membuat
peta
wilayah
nasioanal, dan peta proipinsi
serta
kabupaten
yang
memeiliki
potensi
untuk
produksi
pangan,
dan
menetapkan adanya pertanian
lestari (abadi) bagi daerah
yang saat ini telah ada
irigasinya atau daerah yang
potensial
untuk
tanah
pertanian.
3. Untuk
mengendalikan
perubahan tanah pertanian ke
non pertanian pemerintah
dalam
hal
ini
Badan
Pertanahan Nasional disemua
tingkat
seharusnya
meningkatkan
dan
memperketat
pengawasan
terhadap peralihan hak dan
penggunaan tanah agar sejalan
31
dengan catur tertib bidang
pertanahan .
4. Dalam rancangan Undangundang Agraria, hendaknya
memasukkan
pengaturan
larangan
perubahan
penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian dalam satu
bab tersendiri .
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman al-Maliki, Politik
Ekonomi Ideal, dalam Al
Islam edisi 084/tahun VIII
hal 3 , dapat di baca di
internet, http://www. Alislam.or.id
Achmad
Chulaimi ,SH, Hukum
Agraria ,Perkembangan ,
Macam-Macam Hak-hak
Atas
Tanah
dan
Pemindahannya, Fakultas
Hukum UNDIP Semarang,
1993
Achmad Sodiki, Penataan Pemilikan
Hak
Tanah
Sebagai
Strategi
Pembangunan
Hukum Agraria, Fakultas
Pertanian
Universitas
Brawijaya, Malang 1997
Adiwinata, Dede Suganda (1992)
“Langkah-langkah
Operasional
Pengembangan
Agroindustri
Dalam
Pembangunan Ekonomi”
Makalah Pada Seminar
Sehari Senat Mahasiswa
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
Tehnik Pertanian IPB dan
Perhimpunan Mahasiswa
Agroindustri
Indonesia.
Bogor: IPB, 3 Oktober
1992.
Bachriadi,
Dianto, et.al (Peny)
(1997), Reformasi Agraria
:
Perubahan
Politik,Sengketa, Agenda
Pembaruan Agraria di
Indonesia, Jakarta: KPA &
Lembaga Penerbit FE-UI.
Boedi Harsono , Hukum Agraria ,
Sejarah Penyusunan , Jambatan,
Jakarta tahun 2000,
Bostang
Cahyono
Radjagukguk,
pidato
pengukuhan,
Fakultas
Pertanian UGM tanggal 6
Agustus 2001 CyberNews,
Edi,
Karesidenan
Pekalongan Kurun Cultur
Stelsel:
Masyarakat
Pribumi
menyongsong
pabrik gula , Fakultas
sastra
,
Universitas
Indonesia , 1988,
Dindin S. Maolani, HU Pikiran
Rakyat 7 Agustus 2000).
Endang Suhendar , Pemetaan Polapola Sengketa Tanah di
Jawa
Barat,
Akatiga
Bandung, 1990
Fauzi, Noer,(1994) “Politik Agraria
Orde Baru : Penindasan
dan Perlawanan”, dalam
Demokrasi:Antara Represi
dan Resistensi. Catatan
Keadaan
Hak
Asasi
Manusia di Indonesia
1993, Jakarta:YLBHI.
---------- (Ed) (1997), Tanah dan
Pembangunan.
Jakarta:
Sinar Harapan.
Gunawan
Sumodiningrat,
Pembangunan
Ekonomi
melalui
pengembangan
pertanian , PT. Bina Rena
Pariwara, Jakarta 2000,
Harris,
John, (ed) (1982) Rural
Development,
London:Hutchinson
University Library.
Harsono,Budi (1970), Undang –
undang
Pokok
Agraria:Sejarah
Penyusunan,
Isi
dan
Pelaksanaannya Hukum
Agraria
Indonesia,
Jakarta:Djambatan.
Harsono,
Hart,
Soni (1996) Kebijakan
Pertahanan
Dalam
Mendukung Kesejahteraan
Petani dan Pelestarian
Swasembada
Pangan,
Makalah Menteri Negara
Agraria / Kepala, BPN
pada Diskusi Nasional
Pertanahan
yang
diselenggarakan
oleh
DPP-HKTI tanggal 29
Oktober 1996, di Jakarta.
Gillian
(1989),”Agrarian
Change in The Context of
State Patronage, dalam
Gillian Hart, dkk. (Eds),
Agrarian
Transformation:Local
Processes and the State in
Southeast Asia, Berkeley:
32
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
University of California
Press.
Huizer, Gerrit (1974), “ Peasant
Mobilazation and land
Reform in Indonesia”,
dalam
Review
of
Indonesian and Malaysian
Affairs, Vol 8, No. 1
(January-June, 1974)
Imam Soetiknjo, Politik Agraria
Nasioanl , Hubungan
Manusia dengan Tanah
yang
Berdasarkan
Pancasila ,
Jogyakarta,
Gajah Mada University,
1982
Johara T. Jayaduinata , Tata Guna
Tanah Dalam Perencanaan
Pedesaan Perkotaan dan
wilayah , Penerbit ITB,
Bandung , 1992
Kasim, Ifdhal dan Endang Suhendar
(1996), Tanah Sebagai
Komoditi
Strategis:Tinjauan Kritis
Terhadap
Kebijakan
Pertanahan Orde Baru.
Jakarta:ELSAM.
------------------ (1997), “Kebijakan
Pertanahan Orde Baru
:Mengabaikan
Keadilan
Demi
Pertumbuhan
Ekonomi”, dalam Tanah
dan Pembangunan, Noer
Fauzi (Ed), Jakarta: Sinar
Harapan.
Kartodirdjo, Sartono dan Djoko
Suryo (1991), Sejarah
Perkebunan di Indonesia,
Yogyakarta:
Aditya
Media.
33
Maria W Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan
antara
Regulasi
dan
Implementasi,
Penerbit
Buku Kompas , Jakarta,
2001
------------,
Perubahan Penggunaan
lahan Pertanian menjadi
Lahan Non Pertanian di
Propinsi Jogyakarta 1983 1987, Makalah Seminar
Tata Guna Tanah Dalam
kontek masa Kini dan
Masa Datang, Unisri ,
Solo
-----------, Implikasi Kebijaksanaan:
Reformasi
Hukum
Pertanahan , pertemuan
Ilmiah
Pembangunan
Pedesaan dan Masalah
Pertanahan , Yogjakarta :
Pusat Antar Universitas ,
Studi Sosial UGM , 1990
Nasution, Andi Hakim (1968), “Padi
Ajaib
dan
Rencana
Pembangunan
Lima
Tahun”, dalam Mencari
Bentuk
Ekonomi
Indonesia:Perkembangan
Pemikiran
1965-1981,
Jakarta:Gramedia.
Noer Fauzi Petani dan Penguasa ,
Perjalanan Politik Agraria
Indonesia , Pustaka Pelajar
Ofset, Jakarta 1999,
Notonagoro , Politik Hukum dan
Pembangunan Agraria di
Indonesia , Bina Aksara –
Jakarta , 1984 ,
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
Parlindungan, A. P (1984), Serbaserbi Hukum Agraria,
Bandung:Alumni.
---------------- (1990b), Konversi Hakhak
Atas
Tanah,
Bandung:Mandar Madju.
---------------- (1990c), Komentar Atas
Undang-undang
Pokok
Agraria,Bandung:Alumni.
---------------- (1991a), Landreform di
Indonesia:Suatu
Studi
Perbandingan,
Bandung:CV.Mandar
Madju.
Robert
B Seidman, “Law and
Devolopment, A General
Model “, Law and Society
Review, Tahun VI,1972,
hal 311-319.
Salindeho, John; Manusia, Tanah,
Hak dan Hukum, Jakarta
Sinar Grafika , 1994 cet
pertama .
Sandy, I Made, “Catatan Singkat
Tentang
Hambatanhambatan
Pelaksanaan
UUPA” dalam Analisa
Tahun XX No. 2.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum ,
Bandung Alumni, 1990
Scott,
James C. (1976), Moral
Ekonomi
Patani:Pergolakan
Dan
Subsistensi
di
Asia
Tenggara, Jakarta:LP3ES.
-------------- (1985), Weapon of the
Weak “Everyday form of
peasant Rasistance, New
Haven and London:Yale
University Press.
Soelaeman B. Adiwidjaja, HU Pikiran
Rakyat 1 Agustus 1999).
Dalam
YULIANTO
DIRDJO
SUMARTO ,Budaya
Hukum yang Bermartabat,
Sebuah Proses Sosial hal 5
Soemardjan, Selo (1984), “Land
Reform di Indonesia”,
dalam
Soediono
M.P.Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, Dua
Abad Penguasaan Tanah,
Jakarta:PT. Gramedia.
Soetiknjo,
Iman (1987), Proses
Terjadinya UUPA:Peran
Serta
Seksi
Agraria
Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta:Gajah Mada
University Press.
------------- (1990), Politik Agraria
Nasional:Hubungan
Manusia Dengan Tanag
yang
berdasarkan
Pancasila,
Yogyakarta:Gajah Mada
Universyty Press.
Soerjono Sukanto, Faktor-faktor yang
mempengaruhi Penegakan
Hukum , Rajawali, Jakarta
1983
--------------, 1990, Penelitian Hukum
Normatif suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pres ,
Jakarta, 1989.
34
Pena Justisia Volume VI No.12, tahun 2007
Sunaryati
Sutoyo
Hartomo , Beberapa
Pemikiran
kearah
Pembaharuan
Hukum
Tanah , Alumni, Bandung
,
Larangan Alih Fungsi
Lahan Produktif Dalam
Rangka
Upaya
Mempertahankan
Swasembada Beras ( Studi
Kasus
Di
Wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat
II Malang) , Program
Pasca Sarjana , Universitas
Brawijaya, 1999
Soekamto,
Soerjono,
Pengantar
Penelitian Hukum, UI
Press, Jakarta, 1986.
--------------- , dan Sri Mamudji,
Penelitian
Hukum
Normatif, Radjagrafindo
Persada, Jakarta 1994.
Soemitro,
Ronny
Hanitijo,
Metodologi
Penelitian
Hukum
dan
Jurimetri,Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990.
Sumardjono, Maria S.W (1995),
“Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan
untuk
Kepentingan
Umum”,
Pluralisme
Hukum
Pertanahan,
Jakarta:YLBHI.
35
Download