Seharusnya Laut Memerdekakan

advertisement
Seharusnya Laut Memerdekakan
Rabu, 24 Juni 2009 | 03:09 WIB
Gesit Ariyanto
Seusai menggelar Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007, Indonesia
menggelar Konferensi Kelautan Dunia di Manado, Sulawesi Utara, 16 Mei 2009.
Pertanyaannya, benarkah Indonesia sukses menggelar Konferensi Kelautan Dunia (WOC) yang dihadiri
lebih dari 70 negara? Sebagai tuan rumah, sukses itu disertai beberapa catatan.
Secara substansi, Indonesia menambah kredit poin dalam pergaulan dunia. Sukses mengumpulkan
sejumlah petinggi negara membahas laut terkait perubahan iklim; pertemuan pertama setelah Konvensi
Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.
Kebanggaan bertambah dengan disepakatinya Deklarasi Manado (MOD) dan deklarasi Prakarsa Segitiga
Terumbu Karang (CTI) oleh enam pemimpin pemerintahan. Kurang sebulan, Indonesia sudah
membentuk tim khusus untuk menyosialisasikan ke dunia internasional bahwa dimensi kelautan patut
diadopsi dalam Pertemuan Para Pihak Ke-15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.
Di tengah euforia sukses sebagai tuan rumah, sejumlah pertanyaan kritis datang; di manakah
sebenarnya posisi nelayan dan masyarakat pesisir dalam ajang internasional? Jawaban datang dari
panitia nasional, WOC-CTI merupakan ajang pertemuan politis para petinggi negeri.
Jika perwakilan nelayan tidak dilibatkan, bukan berarti dilupakan. Hanya soal waktu saja.
Isu konservasi
Salah satu isu terpanas selama pertemuan sepekan adalah soal konservasi laut. Di sela-sela pertemuan,
pemerintah meluncurkan kawasan konservasi perairan Laut Sawu seluas tiga juta hektar. Ditambah
kawasan konservasi laut yang sudah ada, jumlahnya melampaui target Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) seluas 10 juta ha tahun 2010.
Secara angka, melampaui target merupakan prestasi. Yang digugat masyarakat pesisir dan LSM
pendamping adalah proses penentuan kawasan, konsep pengelolaan, dan rencana aksi di lapangan.
Selama ini, bagi masyarakat pesisir dan nelayan, konservasi terkait berbagai larangan yang
meminggirkan mereka. Secara turun temurun hidup dari sepetak kawasan tangkap, masyarakat pesisir
bisa serta-merta kehilangan hak waris itu. Mengatasnamakan hukum, mereka diminta menyingkir dari
kesehariannya.
Pengajar Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang juga aktivis pendamping nelayan, Rignolda
Djamaludin, menyebut model konservasi top down itu sebagai biang persoalan. Kearifan lokal
masyarakat pesisir tak berarti apa pun saat konsep konservasi datang dari luar.
Keanehan yang sering muncul, kawasan konservasi (yang identik pelarangan aktivitas) ada di bekas
kawasan tangkap nelayan tradisional. Artinya, mereka dipaksa pergi dan mencari lokasi lain. Ketika
nelayan-nelayan tradisional kembali menangkap di kawasan lama itu, serta-merta mereka dicap
pelanggar kawasan. ”Pada saat itulah mereka dikriminalkan,” kata Rignolda.
Sebaliknya, proses pengambilalihan hak masyarakat pesisir oleh pemerintah atau rekanan resmi
pemerintah tidak dianggap melanggar hak asasi manusia. Bila ditelaah, cara-cara penetapan kawasan
dan pengelolaan kawasan konservasi semacam itu justru melanggengkan kemiskinan nelayan tradisional
dan masyarakat pesisir.
Di tengah kondisi itu, masyarakat Lamalera di Pulau Lembata, NTT, memilih menolak rencana
pemerintah memasukkan kawasan lautnya ke dalam kawasan konservasi. Bila mereka setuju, luas
kawasan konservasi Laut Sawu menjadi lebih luas lagi.
Juru Bicara Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus Lamalera Bona Beding
mengatakan, masyarakat tahu risiko yang akan dihadapi. Maka, mereka mengirim surat resmi penolakan
kepada pemerintah.
Suara dari bawah
Seperti harapan wajar masyarakat pesisir, pesan penolakan warga Lamalera jelas; dengarkan suara dari
bawah. Mereka tak menolak konsep konservasi, tetapi meminta negara mendengarkan dan mencerna
konsep konservasi tradisional mereka.
Apa yang terjadi di sela-sela WOC semoga tidak mewakili sikap negara, yakni menolak suara masyarakat
pesisir. Seperti diberitakan, polisi membubarkan aksi massa Aliansi Manado dan menangkap dua
tokohnya.
Sebanyak 15 peserta kongres dari Filipina juga digiring ke Kantor Imigrasi dan diusir dari Manado. Di
persidangan, kedua tokoh aktivis Aliansi Manado dituding melawan perintah petugas yang bekerja di
bawah undang-undang.
Perlu dicerna pernyataan anggota Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim dan Penasihat
Khusus Presiden Seychelles Rolph Payet, pembahasan kelautan tanpa menyinggung keseharian
nelayan adalah sia-sia.
Nelayan tak hidup bagi diri sendiri. Kepada mereka, gizi keluarga, yang berguna bagi kecerdasan
manusia, disandarkan.
Sayang, justru mereka tergolong paling rentan dalam persoalan laut sekaligus luput dari perhatian soal
kesejahteraan.
Tak hanya di negara kepulauan kecil seperti Seychelles, nasib nelayan dalam kerentanan. Di Indonesia,
enam kali pergantian presiden, nasib nelayan tak bergerak; sebatas jadi obyek perhatian musim
kampanye.
Laut yang luar biasa kaya, tak cukup memerdekakan nelayan dan masyarakat pesisir dari
ketergantungan dan kemiskinan. Sebaliknya, laut menjadi semacam kutukan hidup. Sah-sah saja
Indonesia bangga karena sukses menjadi tuan rumah ajang kelautan besar dunia. Namun, itu saja tidak
cukup. Ada masyarakat pesisir, yang entah harus bersuara seperti apalagi agar benar-benar
diperhatikan.
Download