ASPEK HUKUM WANPRESTASI

advertisement
KARYA ILMIAH
ASPEK HUKUM WANPRESTASI DALAM
PERJANJIAN KOMISI MENURUT KUH PERDATA
Oleh :
Eko Yudhistira, SH, MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
1
Universitas Sumatera Utara
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya bagi penulis, hingga selesainya penulisan karya ilmiah dengan
judul “Aspek Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Komisi Menurut KUH
Perdata”.
Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh sebab
itu tulisan ini juga jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan ilmu dan
kemampuan yang ada. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik
yang membangun dari semua pihak demi perbaikannya dikemudian hari.
Dan semoga tulisan ini dapat menambah cakrawala bagi kita
sekalian.
Medan,
Maret 2016
Eko Yudhistira, SH, MKn
Universitas Sumatera Utara
3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ...............................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................
1
B. Perumusan Masalah.........................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................
5
A. Pengertian Wanprestasi ...................................................
5
B. Sebab-sebab Terjadinya Wanprestasi.............................
8
C. Bentuk-bentuk Wanprestasi .............................................
14
D. Akibat Hukum Wanprestasi .............................................
17
E. Pengertian Komisioner .....................................................
20
F. Tugas dan Tanggungjawab Komisioner .........................
21
G. Berakhirnya Perjanjian Komisi .........................................
23
:
BAB II :
BAB III :
AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN
KOMISI ...................................................................................
A. Hal-hal yang Diperjanjikan Dalam
30
Perjanjian
Komisi ...............................................................................
30
Universitas Sumatera Utara
4
B. Tinjauan Hukum Tentang Wanprestasi
Pada
Perjanjian Komisi .............................................................
36
C. Akibat Hukum Bagi Para Pihak yang Melakukan
Wanprestasi dan Upaya Hukum Yang Dapat
Dilakukan ...........................................................................
38
KESIMPULAN ........................................................................
47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
49
BAB IV :
Universitas Sumatera Utara
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendistribusian atau pemasaran barang dan jasa hasil produksi
merupakan suatu proses yang penting (urgent) dalam dunia perdagangan.
Urgensi pendistribusian atau pemasaran disini, tidak hanya sebagai upaya
sebuah perusahaan produksi barang atau jasa di dalam memperkenalkan
hasil produksinya kepada masyarakat. Lebih dari itu, tujuannya adalah agar
masyarakat (selaku konsumen) dapat memanfaatkan dan mempergunakan
barang dan jasa hasil produksi tersebut.
Dalam proses pendistribusian barang dan jasa kepada pihak
konsumen, terdapat perusahaan produksi barang dan jasa yang tidak secara
langsung melakukan pendistribusian dan atau pemasaran, melainkan hal ini
dilakukan perusahaan tersebut dengan mempergunakan jasa dari pihak lain.
Begitu juga sebaliknya, bahwa pihak konsumen tidak dapat secara langsung
untuk membeli barang dan jasa yang dibutuhkan, sehingga harus
mempergunakan pihak lain.
Dalam prakteknya tergambar, bahwa perusahaan-perusahaan yang
mempergunakan jasa pihak lain untuk mendistribusikan atau memasarkan
barang
dan jasa yang
diproduksikan tersebut,
adalah
perusahaan-
Universitas Sumatera Utara
6
perusahaan yang tergolong besar dan mempunyai ruang lingkup daerah
pemasaran yang relatif luas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar
negeri. Baik produsen maupun konsumen yang mempergunakan pihak lain
atau memberikan kuasa kepada pihak lain dalam melakukan transaksi jual
beli, dalam perjanjian komisi dikenal dengan sebutan komiten.
Pemakaian ataupun pemanfaatan pihak lain (komisioner) ini dirasakan
perusaah produksi dan jasa sebagai sesuatu hal yang penting yaitu di
samping
sebagai
prestise
perusahaan
juga
sebagai
upaya
untuk
mempermudah mengkordinir dan mempercepat sampainya barang dan jasa
ke tangan konsumen.
Di samping latar belakang di atas, terjadinya pemanfaatan komisioner
di dalam pendistribusian dan pemasaran barang dan jasa, juga disebabkan
oleh perbedaan tempat yang relatif jauh antara si pembeli dengan si penjual
sementara perdagangan itu harus juga terjadi, maka untuk melaksanakan
transaksi perdagangan seorang penjual atau pembeli bertindak sebagai
komiten menggunakan jasa komisioner dengan cara memberikan kuasa
kepada komisioner untuk menjual atau membeli barang yang diingini oleh
komiten.
Namun
harus
diperhatikan,
bahwa
implementasi
pemakaian
komisioner oleh perusahaan di dalam mendistribusikan barang dan jasa yang
diproduksinya atau oleh konsumen di dalam membeli barang dan jasa
tersebut akan menimbulkan “beban dan atau kewajiban” dari perusahaan
Universitas Sumatera Utara
7
atau konsumen yang mempergunakan jasa komisioner, yaitu beban dan atau
kewajiban untuk membayar jasa yang telah diberikan oleh komisioner, dan
biasanya hal ini terjadi dengan adanya perjanjian yang disepakati bersama
antara pihak komiten dengan pihak komisioner.
Secara yuridis, berdasarkan hukum perdata dan hukum dagang, diatur
bentuk perjanjian yang dilakukan oleh komiten dengan komisioner, yang
sering disebut dengan “perjanjian komisi”.
Walaupun di atas diungkapkan bahwa terdapat pengaturan secara
yuridis dari perjanjian komisi tersebut, namun di dalam prakteknya tidak
jarang ditemui munculnya persoalan-persoalan hukum diantara para pihak.
Persoalan hukum ini muncul dikarenakan para pihak ataupun salah satu
pihak “ingkar” terhadap akibat hukum dari perjanjian yang telah disepakati.
Keingkaran terhadap akibat hukum yang lahir dari perjanjian tersebut
tidak hanya datang dari pihak komiten, tetapi juga keingkaran tersebut datang
dari pihak komisioner. Persoalan hukum yang terjadi tersebut, tidak jarang
pula penyelesaiannya terpaksa harus dilakukan melalui jalur peradilan.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang dikemukakan dalam tulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tinjauan hukum tentang wanprestasi yang terjadi di dalam
perjanjian komisi.
Universitas Sumatera Utara
8
2. Bagaimana akibat hukum jika salah satu pihak melakukan wanprestasi
dan bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan
wanprestasi dalam perjanjian komisi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yakni wanprastatie yang
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yag timbul karena
undang-undang.
Tujuan dari tiap-tiap orang mengikatkan diri terhadap orang lain, salah
satu tujuannya adalah pemenuhan terhadap prestasi yang diinginkan oleh
para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi
tidaklah selamanya prestasi yang diinginkan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian dapat dipenuhi dengan baik.
Tidak terpenuhinya prestasi tersebut dimungkinkan karena adanya
tindakan salah satu pihak yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang
mereka buat, yang akhirnya menempatkan pihak yang tidak memenuhi
prestasi yang diperjanjikan tersebut pada posisi pihak yang ingkar janji.
Kelalaian atau tidak melaksanakan prestasi seperti yang telah
diperjanjikan sebagaimana dikemukakan di atas dalam ilmu hukum disebut
dengan istilah wanprestasi.
Universitas Sumatera Utara
10
Sehubungan dengan wanprestasi tersebut, Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan, bahwa “Perkataan wanprestasi berarti ketiadaan suatu
prestasi, dan prestasi dalam suatu hukum perjanjian berarti suatu hal yang
harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian”.
1
Prestasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap
perikatan, sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu.
Abdulkadir Muhammad mengemukakan sedikit banyaknya tentang
sifat-sifat prestasi adalah sebagai berikut :
Prestasi adalah suatu esensi dari pada perikatan. Apabila esensi itu
tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir,
untuk itu perlu diketahui sifat-sifat prestasi yaitu :
a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan.
b. Harus mungkin
c. Harus diperbolehkan
d. Harus ada manfaatnya bagi kita
e. Bisa terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan.
Jika salah stu atau semua sifat itu tidak dipenuhi pada prestasi, maka
perikatan out dapat menjadi tidak berarti, perikatan itu dapat menjadi
batal atau dapat dibatalkan. 2
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat.
1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Cetakan VI, Sumur, Bandung, 1974,
2
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet. II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
hal. 17.
hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
11
d. Melakukan sesuatu
dilakukannya.3
yang
menurut
perjanjian
tidak
boleh
Akan tetapi dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan
saat debitur tidak memenuhi suatu perikatan atau wanprestasi. Hal ini
disebabkan seringkali para pihak pada waktu mengadakan suatu perjanjian
tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Karena
penentuan waktu ini sangat diperlukan di dalam suatu perikatan, dimana
waktu untuk melaksanakan prestasi dapat menentukan kapan sebenarnya
wanprestasi itu terjadi.
Dalam suatu perjanjian untuk menentukan saat debitur tidak
memenuhi perikatan ialah : “apabila seseorang itu melakukan perbuatan
yang dilarang tersebut maka ia tidak memenuhi perikatan”.
4
Terhadap pihak yang melakukan wanprestasi paa umumnya diberikan
peringatan (sommatie) oleh seorang juru sita dari pengadilan, yang memuat
proses verbal tentang pekerjaan itu. Dalam hal peringatan tersebut cukup
dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan dipungkiri oleh si
berutang.
Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan : “Si berhutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ia menetapkan
3
Djanius Djamin & Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan
Perbankan Perbanas, Medan, 1991, hal. 189.
4
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. IX, PT. Intermasa, Jakarta, 1984, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
12
bahwa si berutang akan harus dianggap dengan lewatnya waktu yang telah
ditentukan”.
Suatu perikatan tidak perlu dilakukan jika dengan sendirinya si
berutang pada suatu ketika sudah dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal
suatu perjanjian untuk membuat pakaian mempelai, tetapi pada hari
perkawinan, pakaian itu ternyata belum selesai.
Jika prestasi tersebut berupa tidak melakukan suatu perbuatan, maka
dengan melakukan perbuatan ini si berutang juga dengan sendirinya sudah
lalai.
Adakalanya juga bahwa dalam kontraknya sendiri sudah ditetapkan,
kapan atau dalam hal-hal yang bagaimana si debitur dapat dianggap lalai,
juga disini tidak diperlukan suatu peringatan (sommatie).
Wanprestasi dalam suatu perjanjian akan hapus apabila telah
dipenuhinya prestasi yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian
tersebut. Artinya pemenuhan perjanjian akan menghapus wanprestasi.
B. Sebab-sebab Terjadinya Wanprestasi
Dalam uraian di atas dikatakan bahwa tidak dipenuhinya kewajiban
yang merupakan wanprestasi itu, ada 2 (dua) kemungkinan yang menjadi
alasan, yaitu :
a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan, maupun karena
kelalaian.
Universitas Sumatera Utara
13
b. Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan debitur
tidak bersalah. 5
Sejak kapan seorang debitur ini dikatakan dalam keadaan sengaja
atau lalai tidak memenuhi prestasi, sangat penting dipersoalkan, karena
wanprestasi mempunyai akibat hukum-hukum tertentu bagi debitur yang
bersangkutan.
Dalam praktek hukum di masyarakat, untuk memenuhi sejak kapan
debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah, oleh karena kapan
debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian.
Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk berbuat
(melakukan)
sesuatu,
kadang-kadang
pihak-pihak
tidak
menentukan
tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan.
Dipandang perlu untuk memperingatkan atau memberikan tegoran
(sommitie/ingebrek
estelling)
kepada
debitur
agar
ia
memenuhi
kewajibannya.
Dalam
hal
tenggang
waktu
pelaksanaan
pemenuhan
prestasi
ditentukan, maka menurut ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata debitur
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Lain halnya dengan menetapkan kapan debitur wanprestasi pada
perjanjian yang prestasinya bertujuan untuk tidak berbuat atau melakukan
5
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
14
sesuatu perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar
perjanjian dan sejak itu ia dalam keadaan melanggar wanprestasi.
Tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur, agar
jika ia tidak memenuhi tegoran itu dapat dikatakan lalai, diberi petunjuk oleh
Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi : “Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan
lalai atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si
berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Selanjutnya Subekti mengemukakan yang dimaksud dengan surat
perintah dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah : “Peringatan resmi
oleh seorang juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta
sejenis adalah suatu tulisan biasa (bukan resmi) yang tujuanya sama, yakni
untuk memberi peringatan kepada debitur agar memenuhi prestasi dalam
seketika.
Dalam perkembangan selanjutnya perkataan akta sejenis itu sudah
lazim ditafsirkan sebagai suatu peringatan atau tegoran yang boleh dilakukan
secara lisan, agar cukup tegas menyatakan desakan kreditur terhadap
debitur agar supaya memenuhi prestasi dengan seketika atau dalam waktu
yang tertentu.
Kemudian Mahkamah Agung dengan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963
antara lain menyatakan bahwa Pasal 1238 KUH Perdata itu tidak berlaku
lagi. Dalam Surat Edaran tanggal 5 September 1963 itu menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
15
pengiriman turunan surat gugatan dapat dianggap sebagai penagihan karena
tergugat
masih
dapat
menghindarkan
terkabulnya
memenuhi kewajibannya sebelum sidang di pengadilan.
gugatan
dengan
6
Asalkan tenggang waktu antara diterimanya turunan surat gugatan
oleh debitur selaku tergugat sampai pada hari sidang pengadilan dapat
dipandang sebagai waktu yang pantas bagi debitur untuk memenuhi
kewajibannya.
Alasan kedua dari wanprestasi ialah keadaan memaksa (overmacht
force majeur).
Wanprestasi karena keadaan memaksa bila terjadi karena benda yang
menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, dapat juga terjadi karena
perbuatan debitur untuk berprestasi itu terlarang.
Pengaturan overmacht secara umum termuat dalam Bagian Umum III
KUH Perdata yang dituangkan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1244
Jika ada untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi
dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan, bahwa hal atau tidak
pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan
karena
suatu
hal
yang
tak
terduga
pun
tak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya kesemuanya itupun jika itikad
buruk tidaklah ada pada pihaknya.
6
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Cetakan II, Alumni,
Bandung, 1989, hal. 230.
Universitas Sumatera Utara
16
Pasal 1245
Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya apabila lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan
perbuatan terlarang”.
Dari kedua pasal di atas, ternyata penanaman atau penyebutan
keadaan memaksa berbeda-beda, meskipun menurut Pasal 1244 dan Pasal
1245 KUH Perdata tersebut mempergunakan istilah berbeda-beda, dalam
menyebutkan keadaan memaksa, namun tidaklah berbeda maksudnya.
Tentang apa yagn dimaksud dengan keadaan memaksa, undangundang tidak merumuskannya. Pasal-pasal yang telah dikutip di atas
hanyalah menerangkan, bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi
suatu perikatan atau melakukan pelanggaran hukum oleh keadaan memaksa
(overmacht), maka ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Walaupun pengertian overmacht tidak dirumuskan dalam pasal
undang-undang, tetapi dengan memahami makna yang terkandung dalam
pasal-pasal KUHPerdata yang mengatur overmacht tersebut, maka dapatlah
disimpulkan bahwa overmach adalah suatu keadaan sedemikian rupa,
karena keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat dipenuhi
sebagaimana mestinya dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan
sebagaimana mestinya.
Abdul Kadir Muhammad, dalam bukunya merumuskan tentang
pengertian overmacht sebagai suatu keadaan tidak dapat dipenuhinya
Universitas Sumatera Utara
17
prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa mana tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadinya pada waktu membuat
perikatan”. 7
Para sarjana biasanya membedakan keadaan memaksa overmacht
atas 2 (dua) macam, yaitu :
a. Overmacht yang bersifat mutlak (absolut)
b. Overmacht yang bersifat nisbi (relatif).
Overmacht yang bersifat mutlak (absolut) adalah keadaan memaksa
yang menyebabkan suatu perikatan hanya apat dilaksanakan oleh debitur
dengan pengorbanan-pengorbanan yang begitu besar, sehingga tidak lagi
sepantasnya pihak kreditur menuntut pelaksanaan perikatan tersebut. 8
Overmacht dalam hubungannya dengan pelaksanaan perjanjian
antara overmacht yang lengkap dan overmacht sebahagian, overmacht yang
tetap dan overmacht sementara.
Overmacht yang lengkap adalah overmacht yang menyebabkan suatu
perjanjian seluruhnya tidak dapat dilaksanakan
sama sekali. Sedangkan
overmacht yang sebahagian adalah overmacht yang mengakibatkan dari
perjanjian tidak dapat dilaksanakan.
7
8
Abdul Kadir Muhammad, Loc.Cit, hal. 27.
Subekti, Op.Cit, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
18
Selanjutnya yang disebut overmacht yang tetap adalah overmacht
yang mengakibatkan suatu perjanjian terus-menerus atau selamanya tidak
mungkin dilaksanakan.
Sedangkan
yang
disebut
overmacht
yang
sementara
adalah
overmacht yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda dari
pada waktu yang telah ditentukan semula dalam perjanjian.
C. Bentuk-bentuk Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang telah
diperjanjikan,
maka
ia
wanprestasi. Wanprestasi sebagaimana telah
disebutkan pada bagian terdahulu, berasal dari bahasa “wanprastatie” yang
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yag timbul karena
undang-undang.
Menurut Subekti, wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat
macam (bentuk) yaitu :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, artinya
debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk
dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan oleh undang-undang dalam hal perikatan itu
timbul karena undang-undang.
b. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan. Disini debitur melaksanakan atau memenuhi upaya yang
dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas
yang ditentukan dalam perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat. Disini debitur
memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu yang telah ditetapkan
dalam perjanjian.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.9
Berdasarkan
bentuk-bentuk
wanprestasi
tersebut,
maka
bila
disederhanakan bentuk-bentuk wanprestasi itu dapat berbentuk :
a. Debitur sama sekali tidak berprestasi.
b. Debitur keliru berprestasi.
c. Debitur terlambat berprestasi.
Ad.a. Debitur sama sekali tidak berprestasi
Dalam hal ini, debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal ini
dapat disebabka karena debitur memang tidak mau berprestasi atau dapat
juga disebabkan karena kreditur objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau
secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. Pada peristiwa
yang pertama memang kreditur tidak dapat bertindak lagi berprestasi,
sekalipun ia mau.
Contohnya adalah kalau orang memesan gaun pengantin untuk
pernikahannya tanggal 1 Agustus 2004, maka penyerahan gaun tersebut
sesudah tanggal itu maka gaun itu sudah tidak ada gunanya lagi. Atas dasar
itu debitur tidak dapat mengusulkan prestasinya.
9
Ibid, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
20
Dalam kasus seperti yang disebutkan itu, orang mungkin bertanya,
kalau debitur mengusulkan prestasinya, bukankah di sana ada prestasi yang
terlambat. Memang harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk membedakan
antara tidak berprestasi dengan terlambat berprestasi. Namun dalam hal ini
perlu dihubungkan dengan Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan
tentang hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya dan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan “… bahwa
si berutang akan harus dinyatakan lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Ad.b. Debitur terlambat berprestasi
Di dalam debitur berprestasi, disini debitur memang merasa telah
memberikan prestasinya, yang diterima kreditur pada hal lain dari pada yang
diperjanjikan.
Misalnya seorang kreditur memesan atau membeli bawang
putih, ternyata yang dikirim debitur adalah bawang merah. Dalam hal yang
demikian dianggap bahwa debitur tidak berprestasi. Jadi dalam hal yang
demikian (tidak berprestasi) termasuk penyerahan yang tidak sebagaimana
mestinya, dalam arti tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Secara umum dapat
dikatakan
bahwa
pada perikatan
untuk
memberikan barang tertentu, kalau debitur telah menyerahkan prestasinya
dan kreditur telah menerimanya tanpa suatu protes, maka debitur telah
berprestasi, kalau ternyata barang yang diserahkan ternyata barang tersebut
Universitas Sumatera Utara
21
tidak sesuai dengan permintaan si kreditur sesuai dengan perjanjian maka
debitur dianggap wanprestasi. Jadi disini berlaku prinsip, bahwa debitur tidak
perlu harus menanggung (menggaransi) cacat yang kelihatan, yang dapat
diketahui oleh kreditur sendiri.
Sedangkan jika kreditur berpendapat, bahwa barang yang diserahkan
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan maka ia harus segera (dalam waktu
singkat) menyampaikan protes kepada debiturnya. Kalau tidak ia palingpaling
dikemudian
hari hanya
dapat
mengemukakan
adanya cacat
tersembunyi, hal ini karena kalau mengenai cacat tersembunyi itu tidak
segera diketahui dan tampak dari luar.
Ad.c. Debitur keliru berprestasi
Di sini debitur menyerahkan objek prestasinya sudah benar tetapi tidak
sebagaimana waktu yang telah diperjanjikan, sebagaimana sudah disebut di
atas, debitur digolongkan dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau objek
prestasinya masih berguna bagi kreditur. Orang yang terlambat berprestasi
dikatakan dalam keadaan lalai atau mora.
D. Akibat Hukum Wanprestasi
Apabila salah satu pihak telah dinyatakan wanprestasi atau tidak
memenuhi perikatan, maka akan mempunyai akibat-akibat sebagai berikut :
1. Pemenuhan perikatan, atau
Universitas Sumatera Utara
22
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi, atau
3. Ganti rugi, atau
4. Pembatalan perjanjian dalam perjanjian timbal balik (perjanjian dua pihak)
atau
5. Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi atau pengakhan perjanjian.
Selain itu menurut Pasal 1240 KUH Perdata para pihak berhak dapat
menuntut :
a. Penghapusan hak-hak yang telah dilakukan oleh pihak wajib atas
biayanya.
b. Mengerjakan sendiri hal-hal yang harus dilakukan oleh pihak wajib atas
biayanya.
Mengenai ganti rugi Pasal 1245 menyatakan bahwa : ”Apabila pihak
wajib karena overmacht atau toepal tidak berkesempatan melakukan
kewajibannya (menyerahkan, melakukan sesuatu atau tidak berkesempatan
melakukan sesuatu), maka ganti rugi ditiadakan.
10
Jadi adanya alasan untuk bebas dari pemberian ganti rugi adalah
adanya overmacht bagi pihak debitur.
Mengenai
macam-macam
istilah
istilah
ini
dalam
seperti
perundang-undangan
alasan
dari
luar
yang
dipergunakan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada (menurut Pasal 1244 KUH Perdata), hal-hal
10
Achmad Ichsan, Hukum Dagang : Lembaga Perserikatan Surat-surat Berharga, Aturanaturan Angkutan, Cet. IV. Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
23
yang kebutulan terjadi yang sebelumnya tidak dikira-kirakan, (menurut Pasal
144 KUH Perdata).
Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu overmacht ini ada
mutlak dan ada yang tidak mutlak. Yang mutlak adalah apabila prestasi sama
sekali tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga. Sebaliknya yang tak
mutlak
pelaksanaannya
masih
dimungkinkan
hanya
memerlukan
pengorbanan dari pihak wajib.
Karena itu sampai dimanakah ukuran pengorbanan ini sehingga dapt
dipergunakan
sebagai
alasan
pembebasan
dari
pihak
wajib
untuk
memberikan ganti rugi terdapat 2 macam ukuran :
1. Ukuran objektif
2. Ukuran subjektif
Ukuran yang objektif didasarkan kepada ukuran orang yang normal
dalam keadaan demikian, apakah orang itu dapat melakukan kewajibannya
atau tidak ;
Sedangkan ukuran didasarkan kepada situasi keadaan debitur dengan
menghubungkan pengorbanan (harta benda) yang harus diberikan olehnya
apabila harus melakukan prestasi.
Apabila yang dianut teori overmacht objektif, maka alasan-alasan ini
sajalah yang membebaskan pihak wajib dari tuntutan ganti rugi.
Universitas Sumatera Utara
24
E. Pengertian Komisioner
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, disebutkan komisi adalah :
“imbalan (uang) atau persentase tertentu yang dibayar karena jasa yang
diberikan dalam jual beli atau barang dagangan yang dititipkan untuk
dijualkan kepada orang lain”.
11
Sedangkan pengertian komisioner adalah orang yang menjalankan
perusahaan dengan membuat perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri,
mendapat provisi atas perintah dan atas pembiayaan orang lain.
12
Dari pengertian yang demikian nampak bahwa seorang komisioner
tersebut adalah melakukan pekerjaan untuk orang lain sementara dalam
melakukan tindakan itu ia sendiri yang bertanggungjawab. Dengan akibat
hukum dalam perhubungan hukum dengan pihak ketiga komisioner dapat
saja tidak menyebutkan nama orang atas nama ia melakukan tindakan atau
perbuatan hukum tersebut dan komisioner dapat berbuat seolah-olah ia
sendiri yang berkepentingan.
Apabila suatu hubungan hukum telah diserahkan kepada komisioner
untuk dilaksanakan maka pihak yang menyuruh melaksanakan pekerjaan itu
tidak dapat berhubungan langsung dengan akibat hukum pihak ketiga
sebagai lawan dari komisioner melaksanakan hubungan hukum dimaksud.
11
Kamus Besar Bahasa Indonsia, Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
12
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (1) Pengetahuan
Dasar Hukum Dagang, Cet. IX, Djambatan, Jakarta, 1991, hal. 54.
Universitas Sumatera Utara
25
Demikian juga sebaliknya bahwa pihak ketiga tidak dapat menuntut kepada
pemberi amanat (pekerjaan) kepada komisioner apabila memang komisioner
melakukan pekerjaan diluar kewenangan yang diberikan atau melakukan
wanprestasi.
Kalau dalam perhubungan hukum yang dibuat atau dilaksanakan
tersebut ternyata komisioner bertindak atas nama pemberi amanat maka
dengan sendirinya akan berlaku ketentuan yang mengatur tentang hal
tersebut, yang didalam KUH Perdata perhubungan tersebut disebutkan
dengan pemberian kuasa (lastgeving) sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1792 KUH Perdata.
F. Tugas dan Tanggungjawab Komisioner
Dalam perjanjian yang dibuat antara komisioner dengan komiten,
maka kedudukan komisioner adalah party atau pihak yang mengadakan
persetujuan. Konsekwensinya pihak lain tidak perlu mengetahui bahwa yang
bersangkutan itu tidak bertindak untuk kepentingannya sendiri. Komisioner
juga dilarang, apabila ia sendiri yang melakukan perdagangan asal tidak
merugikan kepentingan dari komitennya.
Adapun tugas dan tanggungjawab komisioner dapat dilakukan dengan
cara bertindak sebagai penjual atau juga bertindak sebagai pembeli.
Kalau tugas dan tanggungjawab komisioner sebagai penjual dapat
disebutkan ia akan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
26
a. Menerima,
menyimpan dan
mengasuransikan
barang-barang
milik
principalnya.
b. Membayar ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk kepentingan barangbarang tersebut.
c. Menjual barang-barang tersebut dengan harga setinggi-tigginya. Pada
umumnya tindakan yang demikian komisioner akan menerima suatu order
yang memuat limit harga terendah yang diizinkan oleh principalnya.
d. Menagih pendapatan penjualan dan mengirimkan perhitungannya kepada
principal.
e. Membayar kepada principal apa yang disebutkan netto provenu (net
proceeds) yaitu berupa pendapatan kotor setelah dipotong ongkos dan
komisi.
Dengan adanya tugas sebagai penjualan barang bagi kepentingan
komiten yang disebutkan di atas terlihat bahwa dalam hal ini komisioner
melakukan suatu usaha-usaha agar barang-barang semaksimal mungkin
untuk menjaga dan menjualnya dengan harga yang tidak akan merugikan
kepentingan dari komitennya.
Sedangkan seorang komisioner yang bertindak sebagai pembeli bagi
kepentingan komiten mempunyai tugas dan tanggungjawab antara lain :
a. Membelikan barang-barang untuk principalnya dengan harga yang
serendah-rendahnya, dalam surat ordernya biasanya diseut limit harga
pembelian yang paling tinggi yang diperbolehkan.
Universitas Sumatera Utara
27
b. Menyimpan dan mengasuransikan barang-barang yang dibeli.
c. Membayar harga barang-barang itu dan ongkos-ongkos yang diperlukan
bagi pembelian itu.
d. Mengirimkan barang-barang itu dengan disertai faktor pembeliannya.
Laporan ini berupa jumlah harga pembelian ditambah ongkos dan komisi.
Biasanya dalam praktek seorang pedagang yang ingin membeli atau
menjual barang, ia akan menginginkan suatu perkiraan tentang pendapatan
bersih dari transaksi yang akan dilakukannya tersebut baik melalui
perantaraan komisioner. Untuk itu maka principal akan meminta kepada
komisioner untuk mengirimkan suatu contofinto yaitu suatu perhitungan
penjualan atau pembelian yang bersifat imaginair. Dalam hal telah dilakukan
transaksi maka pada umumnya oleh pedagang itu diminta apa yang dikenal
dengan suatu faktor pro forma (pro forma invoice) dalam hal pembelian dan
nota pro forma dalam hal penjualan. 13
G. Berakhirnya Perjanjian Komisi
Pembahasan tentang berakhirnya perjanjian komisioner sama dengan
berakhirnya perjanjian pemberian kuasa, hal ini terjadi karena penerima
kuasa
adalah
merupakan
perjanjian
yang
sama
dengan
perjanjian
komisioner. Namun karena secara tegas tidak disebutkan tentang kapan
13
Achmad Ichsan, Op.Cit, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
28
sebenarnya perjanjian komisioner itu sendiri berakhir maka akan diambil
patokan tentang berakhirnya perjanjian kuasa.
Suatu perjanjian berakhir bila mana perjanjian tersebut hapus atau
dihapuskan para pihak. Masalah hapusnya perjanjian bisa juga diartikan
sebagai hapusnya perikatan yang berarti menghapuskan semua pernyataan
kehendak yang telah tertuang dalam perikatan semula.
Dalam KUH Perdata tidak ditentukan kapan suatu perjanjian berakhir
(hapus), namun kaedah-kaedah yang menentukan suatu perjanjian itu hapus
dibicarakan, hal itu tertuang sebagaimana di dalam Pasal 1381 KUH Perdata
yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan hapus karena:
a. Karena pembayaran
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan.
c. Karena pembaharuan utang.
d. Karena perjumpaan utang atau konpensasi.
e. Karena percampuran utang.
f. Karena pembebasan utang.
g. Karena musnahnya barang yang terutang.
h. Pembatalan atau kebatalan.
i.
Karena berlakunya suatu syarat batal.
j.
Karena lewatnya waktu.
Universitas Sumatera Utara
29
Ad.a. Karena pembayaran
Pembayaran mempunyai arti yang luas, dimana tidak saja pembeli
disebut membayar harga pembelian, tetapi penjualpun disebut membayar
apabila telah menyerahkan barang yang dijualnya, suatu pemenuhan
perikatan secara sukarela.
Dari pengertian tersebut di atas yang harus membayar itu bukan
hanya debitur, tetapi boleh juga orang lain (penanggung utang).
Pembayaran yang dilakukan oleh seorang kawan berutang untuk
melunasi utang dan bertindak atas nama si berutang adalah diperbolehkan,
sepanjang dia bertindak untuk menggantikan hak-hak si berutang.
Ad.b.
Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan.
Cara ini biasanya dilakukan apabila kreditur menolak menerima
pembayaran, ini dimaksudkan untuk menolong si debitur yang ingin
membayar tetapi kreditur tidak mau menerimanya. Misalnya tawaran uang
yang dibayarkan itu melalui seorang perantara yaitu juru sita atau notaris
dengan dihadiri dua orang saksi, juru sita atau notaris pergi ke tempat
kreditur dengan memberitakan bahwa tetap ia atas perintah debitur datang
untuk membayar utang si debitur.
Universitas Sumatera Utara
30
Ad.c. Pembaharuan utang
Pembaharuan utang (novasi) adalah suatu perjanjian baru dengan
maksud untuk menggantikan atau menghapuskan perjanjian lama. Agar
terjadi suatu pembaharuan utang, maka kehendak untuk mengadakan harus
dinyatakan dengan tegas dan tidak diperlukan bentuk tertentu, cukup dengan
tercapainya kata sepakat.
Ad.d. Penyimpanan utang atau konpensasi
Perjumpaan utang merupakan suatu cara untuk menghapuskan utang
dengan memperhitungkan utang piutang masing-masing pihak sehingga
salah satu perikatan menjadi hapus. Misalnya A mempunyai piutang atas B,
sebanyak Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) sebaliknya B mempunyai
piutang sebanyak Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), maka antara A dan B
melakukan perjumpaan utang sehingga piutang B menjadi hapus sedangkan
A mempunyai piutang menjadi Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Ad.e. Percampuran utang
Percampuran utang dapat terjadi dikarenakan :
a. Bila debitur menjadi ahli waris tunggal kreditur.
b. Bila seorang wanita debitur, kemudian kawin dengan kreditur maka terjadi
percampuran utang dalam suatu percampuran harta.
Universitas Sumatera Utara
31
Ad.f. Pembebasan utang
Pembebasan utang terjadi apabila si berpiutang dengan tegas
menyatakan sudah tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan suatu prestasi.
Ad.g. Musnahnya barang yang tertuang
Jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah maka perjanjian itu
menjadi hapus, asal musnahnya barang itu bukan karena kesalahan si
berutang dan dalam hal ini si debitur harus dapat membuktikan musnahnya
objek dalam perjanjian tersebut.
Ad.h. Pembatalan atau kebatalan
Perjanjian itu batal demi hukum apabila perjanjian itu tidak memenuhi
syarat objektif sedangkan terjadi suatu pembatalan apabila perjanjia itu tidak
memenuhi syarat subyektif.
Ad.i. Berlakunya suatu syarat batal
Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila tidak dipenuhi, maka
perjanjian itu menjadi batal atau perjanjian itu seolah-olah tidak pernah ada.
Ini biasanya digantungkan pada suatu peristiwa, yang tidak tertentu misalnya
saja akan memberikan sepeda motor apabila seseorang lulus menjadi
Universitas Sumatera Utara
32
seorang polisi. Berlakunya suatu syarat batal merupakan salah satu cara
menghapuskan perikatan, ini dapat diberlakukan pada perjanjian bersyarat.
Ad.j. Lewat waktu (daluarsa)
Daluarsa adalah salah satu alat untuk memperoleh sesuatu atau
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan. Khusus terhadap perjanjian komisioner maka
berakhirnya perjanjian komisioner yang merupakan pemberian kuasa dalam
melaksanakan sesuatu dapat berakhir dengan meninggalnya si pemberi
kuasa atau pemegang kuasa (vide Pasal 1813 ayat (3) KUH Perdata). Jika
pemberi kuasa meninggal dunia, sedangkan perjanjian komisi belum selesai
dilaksanakan, maka komisioner wajib menyelesaikan dengan baik. Kalau
komisioner alpa, sehingga karena kealpaan itu timbul kerugian maka
komisioner tersebut dapat dibebani pembayaran ganti kerugian.
Bila yang meninggal itu komisioner maka ahli warisnya wajib
memberitahukan hal itu kepada pemberi kuasa dan berkewajiban untuk
bertindak bagi kepentingan komiten. Bila mereka lalai, mereka dapat dibebani
pembayaran biaya, kerugian dan bunga.
Universitas Sumatera Utara
33
Karena perjanjian komisi ini termasuk perjanjian timbal balik maka bila
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, perjanjian itu dapat
dimintakan penyelesaiannya kepada hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).
Universitas Sumatera Utara
34
BAB III
AKIBAT HUKUM WANPRESTASI
DALAM PERJANJIAN KOMISI
A. Hal-hal yang diperjanjikan dalam Perjanjian Komisi
Melihat begitu besarnya tanggungjawab yang diberikan kepada
seorang komisioner dalam melaksanakan hubungan dagang maka dalam hal
ini dapat diberikan hak utama. Pemberian hak utama dimaksudkan adalah
untuk menjaga agar perbuatan hukum yang dilaksanakannya tersebut
diketahui baik itu mendahului, menahan dan menyimpang.
Kenyataan yang demikian lebih jelas disebutkan bahwa hak utama
komisioner adalah :
a. Hak mendahului atas barang-barang yang diserahkan untuk dijual atau
atas barang-barang yang telah dibeli (bevoorrecht op de goederen)
menurut Pasal 80.
b. Hak menahan (ius retentio). Hak ini berdasarkan Pasal 81 KUHD
dilakukan atas hasil penjualan barang, termasuk dalam Pasal 80 KUHD
Universitas Sumatera Utara
35
untuk membayar pada diri sendiri upah yang menjadi aknya. Hak
menahan itu dapat pula dilakukan terhadap barang-barang untuk dijual,
untuk mana harus ditempuh jalan yang ditentukan oleh Pasal 82 dan 83
KUHD.
c. Ius separatis atau hak menyimpang. Penyimpangan ini berupa tagihan
secara langsung pada principalnya yang telah dinyatakan pailit atau
dengan
perkataan
lain
tanpa
melalui
Balai
Harta
Peninggalan
(weeskamer). Pasal 84 KUHD menentukan bahwa dalam hal yang
dimaksud di atas, berlakulah Pasal 56, 57 dan 58 UU Kepailitan. Pasalpasal tersebut menentukan “… dapat menjalankan haknya, seolah-olah
tidak terdapat kepailitan.
14
Dengan adanya hak utama yang diberikan dalam hal ini kelihatan
adalah untuk melindungi pihak komisioner dari tindakan-tindakan atau
perbuatan-perbuatan yang mungkin dilakukan principal. Disebutkan demikian
karena dalam perhubungan hukum komisioner dianya akan mendapatkan
sejumlah upah dari hasil kerja atau tindakan yang dibebankan kepadanya.
14
R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Cet. XXV, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
36
Kalau diperhatikan juga tentang adanya untuk menjual dalam hal ini
adalah
apabila
memang
hubungan
hukum
antara
principal dengan
komisioner tidak dilaksanakan, maka dengan sendirinya barang yang menjadi
objek tindakan yang dibebankan kepada komisioner dapat dijualnya untuk
pelunasan hak baginya berupa upah.
Dengan pengertian lain hasil penjualan barang dapat ditahan oleh
komisioner apabila upah yang diperjanjikan akan diberikan kepadanya belum
dibayar oleh principal. Berkenaan dengan hak menahan barang ini nampak
bahwa
dalam
kedudukan
yang
demikian,
komisioner
akan
mempergunakannya apabila juga principal tidak memberikan upah yang
diperjanjikan kepadanya. Artinya dengan menahan barang yang menjadi
objek yang diperjanjikan maka komisioner akan mempunyai kepastian akan
pembayaran upahnya.
Hal ini disebutkan oleh Sukardono sebagai hak retensi yang diberikan
kepada komisioner oleh Pasal 85 KUHD”15. Sementara kalau yang
disebutkan dengan hak
yang menyimpang
adalah bahwa kelihatan
15
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (Bagian Pertama), Cetakan ke VIII, Dian
Rakyat, Jakarta, 1983, hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
37
komisioner mempunyai kedudukan yang lebih baik. Disebutkan demikian
karena dalam hal ini komisioner dapat memintakan pembayaran upah pada
principal walaupun si principal tersebut berada dalam keadaan pailit.
Dengan demikian kepailitan yang terjadi pada principal tidak
menghambat hak dari komisioner untuk menuntut pembayaran upah atas
hasil tindakan yang dibebankan atau diwajibkan untuk dikerjakannya.
Jelasnya dapat disebutkan dari posis ini komisioner mempunyai kedudukan
sebagai kreditur preferen.
Dengan tegas disebutkan oleh Purwosutjipto, bahwa : komisioner
mempunyai hak istimewa pada barang-barang komiten yang ada di tangan
komisioner :
1. untuk dijual
2. untuk ditahan bagi kepentingan lain yang akan datang dan
3. yang dibeli dan diterimanya untuk kepentingan komiten.
16
Jelasnya disebutkan dalam hal ini bahwa yang dimaksud dengan
komisioner adalah orang yang melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan
kepentingan pihak lain yang disebutkan dengan principal atau komiten
16
HMN. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
38
dengan mengadakan hubungan hukum berupa perjanjian pada pihak ketiga
sebagai lawan principal.
Hubungan hukum yang demikian ini saja terjadi karena kemungkinan
besar dalam suatu hubungan hukum yang dibuat tersebut pihak principal
(komiten) tidak dapat melaksanakannya atau tidak mempunyai waktu dalam
menjalankan perhubungan hukum dimaksud.
Dalam hal ini dapatlah dilihat bahwa komisioner adalah orang yang
menjalankan suatu pekerjaan dengan menerima komisi yang diikat dalam
suatu perjanjian yang disebut perjanjian komisi sebagai perjanjian antara
komisioner dengan komiten, yakni perjanjian pemberi kuasa. Dari perjanjian
ini timbul hubungan hukum yang bersifat tidak tetap.
Perjanjian
pemberi
kuasa
dimaksud
17
dalam
kutipan
di
atas
menunjukkan kepada tugas yang diberikan kepada komisioner di dalam
melaksanakan suatu tugas yang sebenarnya harus dilaksanakan oleh
komiten, dimana dalam pemberian kuasa tersebut terlebih dahulu dibarengi
dengan pembuatan perjanjian antara mereka (komisioner dan komiten).
17
HMN. Purwosutjipto, Op.Cit, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
39
Perjanjian yang demikian adalah bersifat sebagai perjanjian pemberian
kuasa khusus.
18
Dimana kekhususan tersebut terletak pada :
a. bahwa komisioner bertindak atas nama diri sendiri
b. komisioner mendapat provisi bila pekerjaan selesai.
c. akibat hukum perjanjian komisi banyak yang tidak diatur dalam
undang-undang.
Sementara Molengraaf berpendapat bahwa : “perjanjian komisi itu
merupakan perjanjian campuran, yaitu perjanjian pelayanan berkala dan
perjanjian pemberian kuasa”. 19
Dengan demikian hukum antara komisioner dan komiten adalah
sebagai pemegang kuasa dan pemberi kuasa. Komisioner bertanggungjawab
atas
pelaksanaan
perintah
kepada
kuasa
dan
pemberi
kuasa
bertanggungjawab atas biaya pelaksanaan perintah dan pembayaran provisi.
Jadi perjanjian komisi adalah perjanjian pemberian kuasa yang
kewajibannya diatur dalam KUH Perdata terutama Buku III Bab XVI, bagian 2
dan 3, tentang Pemberian Kuasa, terutama kewajian si kuasa dan kewajiban
18
19
Ibid.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
40
si pemberi kuasa dan dalam KUHD Buku I, Bab V, bagian 1 tentang
Komisioer. Dimana pada dasarnya disebutkan bahwa perjanjian komisi ini
harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata).
B. Tinjauan Hukum Tentang Wanprestasi pada Perjanjian Komisi
Berbicara masalah wanprestasi, berarti akan ditinjau atau yang
menjadi titik berat dalam masalah ini adalah adanya kelalaian dari salah satu
pihak yang membuat perjanjian. Atau dengan kata lain bahwa wanprestasi itu
terjadi karena tidak dilaksanakannya isi perjanjian yang telah disepakati
diantara mereka yang membuat perjanjian tersebut.
Dengan kata lain bahwa penentuan wanprestasi berhubungan erat
dengan telah dilaksanakannya isi perjanjian atau tidak, kalau memang isi
perjanjian tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya terdapatlah unsur
wanprestasi di dalamnya, demikian juga selanjutnya kalau telah terjadi
wanprestasi dapat dibarengi dengan pengajuan permohonan ganti kerugian.
Dalam perjanjian komisi bentuk wanprestasi dapat dibedakan menjadi
dua kelompok yakni :
Universitas Sumatera Utara
41
1. Apabila komiten yang memberikan kuasa kepada komisioner tidak
membayar komisi sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dikerjakan.
2. Apabila komisioner tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi prestasi
yang tertera dalam perjanjian dengan komitennya.
Dengan demikian dapatlah disebutkan secara jelas bahwa terjadinya
wanprestasi ialah apabila salah satu pihak yang membuat perjanjian tersebut
tidak melaksanakan janjinya sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Sedangkan akibat hukum yang terjadi apabila memang telah terbukti
wanprestasi ialah dapat berupa pembatalan perjanjian atau permohonan
pembayaran ganti kerugian dari pihak yang melakukan wanprestasi.
Dapat disimpulkan bahwa penentuan wanprestasi dalam perjanjian
komisi adalah berhubungan erat dengan telah dilaksanakannya isi perjanjian
atau tidak, jika isi perjanjian itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya
terdapat unsur wanprestasi di dalamnya, yang dapat diajukan gugatan
melalui Pengadilan untuk memohon ganti kerugian.
Universitas Sumatera Utara
42
C. Akibat Hukum Bagi Para Pihak Yang Melakukan Wanprestasi dan
Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan
Bertitik tolak dari sub bab di atas, maka terdapat dua pokok persoalan
yang perlu dikemukakan, yaitu akibat hukum dan upaya hukum.
1. Akibat Hukum Bagi Para Pihak Yang Melakukan Wanprestasi
Menurut Abdulkadir Muhammad, bahwa akibat-akibat bagi debitur
yang telah melakukan wanprestasi adalah berupa hukuman atau sanksi
sebagai berikut :
1. Debitur harus membayar ganti kerugian yang telah diderita kreditur (Pasal
1234 KUH Perdata).
2. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata.
3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal
1237 ayat (2) KUH Perdata).
4. Membayar biaya perkara apabila diperkirakan dimuka hakim (Pasal 181
ayat (1) HIR/192 ayat (1) RBG).
5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH
Perdata).
Universitas Sumatera Utara
43
Dari akibat-akibat hukum di atas, maka kreditur dapat memilah
diantara beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur, yaitu :
a. Pemenuhan perikatan.
b. Pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian.
c. Ganti kerugian.
d. Pembatalan perjanjian oleh hakim.
e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian.
Yang dimaksud dengan ganti kerugian ini adalah ganti kerugian yang
timbul karena adanya para pihak yang melakukan wanprestasi karena lalai.
Pada perjanjian komisi kedua belah pihak mempunyai kewajiban memenuhi
prestasi. Jika pihak komisioner melakukan wanprestasi dengan tidak
melaksanakan pekerjaan yang disuruh oleh komitennya maka segala
kerugian akibatnya akan dibebankan kepada komisioner dan komiten dapat
memintakan pemenuhan perikatan. Pemenuhan perikatan disertai dengan
ganti
kerugian.
Ganti
kerugian,
pembatalan
perjanjian
oleh
hakim,
pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian.
Sedangkan jika pihak komiten yang wanprestasi dengan tidak
membayar uang komisi dari hasil kerjanya sesuai dengan isi perjanjian
komisioner dapat memintakan :
a. membayar uang komisi secara sekaligus/tunai (pemenuhan prestasi).
b. Membayar ganti rugi atas
keterlambatan menyerahkan/membayar
hak/bagian komisi membayar lunas seluruhnya ditambah ganti kerugian.
Universitas Sumatera Utara
44
c.
Membayar uang paksa (dwangsom) apabila komiten melaksanakan
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
2. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Bila Salah Satu Pihak
Wanprestasi
Adapun tindakan-tindakan atau upaya-upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh pihak yang dirugikan akibat wanprestasi dari salah satu pihak
adalah sebagai berikut :
a. Upaya hukum di luar pengadilan
Upaya hukum di luar pengadilan sebagai akibat dari wanprestasi
tersebut di atas adalah dengan melakukan perdamaian antara para
pihak untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara kekeluargaan
dengan melibatkan pihak ketiga yang dinilai oleh para pihak adil dan
dapat menyelesaikan sengketa tersebut.
Pihak ketiga ini dapat saja merupakan orang perorangan atau
lembaga non justisia yang dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi
dan lain-lain.
Kemudian mengenai objek sengketa dapat dikuasai oleh pihak ketiga
yang menjadi penengah yang menyelesaikan sengketa tersebut
namun bisa juga berada pada salah satu pihak yang bersengketa asal
saja mendapat persetujuan dari para pihak dan objek tersebut tetap
dibawah pengawasan pihak ketiga tersebut.
Universitas Sumatera Utara
45
b. Upaya hukum dengan beracara di pengadilan.
Jika upaya perdamaian oleh pihak yang dirugikan akibat wanprestasi
dari salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan persoalan, maka tidak
ada jalan lain kecuali menyelesaikan persoalan tersebut melalui
Pengadilan Negeri yang berwenang.
Untuk memperbaiki atau memulihkan hak-hak pihak yang dirugikan
akibat wanprestasi dari salah satu pihak yang telah menyebabkan
kerugian baginya, maka ia dapat menuntut kepada pengadilan agar :
1) Memberikan
gugatan
kepada
pihak
yang
telah
melakukan
wanprestasi.
2) Menghukum supaya pihak yang melakukan wanprestasi memenuhi
prestasi.
3) Menyatakan sebagai hukum bahwa pihak yang melakukan
wanprestasi benar telah melakukan wanprestasi (cidera janji).
4) Menghukum pihak yang melakukan wanprestasi untuk membayar
ganti rugi atas akibat yang timbul karena terjadinya wanprestasi
yang terdiri dari :
a.
Beban biaya pokok yang langsung timbul akibat wanprestasi
tersebut serta tunggakan-tunggakan utang lainnya.
b.
Denda (bunga) dan tunggakan denda (bunga).
c.
Biaya lain-lain, termasuk biaya perkara dan honor pengacara.
Universitas Sumatera Utara
46
5) Menghukum pihak yang melakukan wanprestasi uang paksa
(dwangsom) lalai melaksanakan keputusan hakim yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
6) Mengalihkan
segala
resiko
yang
timbul
akibat
terjadinya
wanprestasi.
7) Membatalkan
perjanjian
dan
melakukan
sita
revindikatoir
(revindicatoir beslag) dan mengambil kembali barang-barang yang
menjadi objek dari perjanjian komisi yang berada dalam kekuasaan
orang pihak yang melakukan wanprestasi tersebut.
Dengan mengikutsertakan hakim, yaitu dengan beracara di
Pengadilan
dalam
menyelesaikan
persoalan
tersebut,
akan
diharapkan hakim sebagai penegak hukum dapat memberikan
penyelesaian yang seadil-adilnya, sehingga kepentingan masingmasing pihak dapat terlindungi.
Dalam beracara di pengadilan ini, terhadap pihak-pihak yang
merasa dirugikan ataupun tidak
menerima penyelesaian yang
diberikan oleh hakim dalam putusannya, dapat mengajukan upayaupaya hukum lain yang berlaku dalam hukum acara perdata yaitu
upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi maupun upaya hukum
luar biasa seperti memohon peninjauan kembali pada perkara yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Universitas Sumatera Utara
47
Perlu juga dijelaskan bahwa dalam hal melakukan sita
revindikatoir (revindicatoir beslag) dan mengambil kembali barangbarang yang menjadi objek dari perjanjian komisi yang berada dalam
kekuasaan orang pihak yang melakukan wanprestasi tersebut,
pemutusan atau pembatalan perjanjian secara sepihak oleh para
pihak. Dalam Pasal 1266 KUH Perdata ditentukan : “Syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang
bertimbal balik, manakah salah satu pihak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga
harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam persetujuan, hakim leluasa untuk menurut keadaan
atas permintaan si tergugat memberikan suatu jangka waktu untuk
masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak
boleh lebih dari satu bulan.
Dengan demikian yang membatalkan perjanjian itu bukanlah
wanprestasi, melainkan putusan hakim. Wanprestasi hanya sebagai
alasan hakim menjatuhkan putusannya. Dengan kata lain, wanprestasi
hanya sebagai syarat terbitnya putusan hakim. Malahan juga syarat
dicantumkan dalam perjanjian, pembatalan harus tetap dimintakan
kepada hakim.
Universitas Sumatera Utara
48
Dalam putusan hakim tidak hanya menyatakan perjanjian itu
batal, melainkan secara aktif membatalkan perjanjian. Jadi keputusan
hakim disini bersifat konstitutif (membatalkan perjanjian antara
penggugat dan tergugat), bukan bersifat deklaratif (menyatakan batal
perjanjian antara penggugat dan tergugat).
Dalam keputusan hakim yang bersifat konstitutif, hakim
mempunyai wewenang “discretionar”, yang artinya kewenangan
menilai besar kecilnya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur
dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang
mungkin menimpa debitur.
Jadi hukum kreditur untuk membatalkan perjanjian dengan
debitur tidak selamanya harus dikabulkan hakim, melainkan hakim
akan mempertimbangkan lebih dahulu besar kecilnya wanprestasi
yang dilakukan debitur. Jika ternyata wanprestasi yang dilakukan
debitur hanyalah mengenai hal yang kecil saja, maka tuntutan kreditur
untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Akan tetapi jika
wanprestasi yang dilakukan debitur ternyata cukup besar sehingga
sangat merugikan kreditur untuk membatalkan perjanjian tersebut
akan dikabulkan hakim.
Dengan demikian jelaslah, bahwa sebenarnya penarikan
kembali objek dalam perjanjian komisi tersebut, yang juga berarti
pembatalan perjanjian dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
49
Hakimlah sebenarnya yang berwenang untuk membatalkan perjanjian
tersebut, setelah menimbang terlebih dahulu tentang besar kecilnya
kerugian ataupun akibat dari tindakan wanprestasi tersebut.
Oleh karena itu para pihak dalam perjanjian komisi yang
merasa dirugikan dengan tindakan pembatalan perjanjian secara
sepihak tersebut, dapat pula mengajukan tuntutan-tuntutan dengan
beracara di Pengadilan agar hak-haknya dipulihkan dan kepentingankepentingannya dilindungi, sekalipun didalam perjanjian sebelumnya
ada dicantumkan klausula-klausula yang secara tegas memberikan
kewenangan-kewenangan kepada para pihak pada perjanjian komisi
untuk menarik kembali barang/objek tersebut.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa
tindakan “eksekusi sendiri” seperti apa yang kita lihat dalam kenyataan
sehari-hari adalah tidak dapat dibenarkan oleh hukum, karena pada
dasarnya mengandung unsur paksaan dan hanya memberikan
keuntungan sepihak tanpa memperhatikan asas kepatutan dan
keadilan.
Bahwa dalam hal tidak dipenuhinya prestasi (wanprestasi) yang
dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian komisi, tindakan yang
Universitas Sumatera Utara
50
dilakukan para pihak adalah memenuhi kembali isi perjanjiannya
adalah “pihak manapun berhak menuntut ke pengadilan”.
Universitas Sumatera Utara
51
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Perjanjian komisi adalah bersifat sebagai perjanjian pemberian kuasa
khusus. Oleh karena itu hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian komisi
adalah bahwa komisioner bertindak atas nama diri sendiri, komisioner
mendapat provisi bila pekerjaan selesai dan juga mengatur tentang akibat
hukum perjanjian komisi tersebut.
2. Wanprestasi dalam perjanjian komisi adalah berhubungan erat dengan
telah dilaksanakannya isi perjanjian atau tidak, jika isi perjanjian itu tidak
dilaksanakan maka dengan sendirinya terdapat unsur wanprestasi di
dalamnya, yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan untuk memohon
tuntutan ganti kerugian.
3. Tindakan dan upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadi
wanprestasi dari salah satu pihak yang dirugikan akibat adalah sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
52
a. Tindakan yang dilakukan adalah penyelamatan objek perjanjian
sehingga dapat meminimalkan resiko akibat wanprestasi.
b. Melakukan upaya hukum di luar pengadilan dengan cara
kekeluargaan yakni melibatkan pihak ketiga yang dinilai oleh para
pihak adil dan dapat menyelesaikan sengketa tersebut.
c. Upaya hukum dengan melalui Pengadilan Negeri tempat dimana
perjanjian itu dibuat dan disepakati dengan memohon pengajuan
ganti kerugian, baik dengan upaya hukum biasa (pemeriksaan
tingkat pertama, banding dan kasasi) serta upaya hukum luar biasa
yaitu peninjauan kembali bagi keputusan kasasi.
Universitas Sumatera Utara
53
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990.
Achmad Ichsan, Hukum Dagang : Lembaga Perserikatan, Surat-surat
Berharga, Aturan-aturan Angkutan, Pradnya Paramita, Jakarta,
1987.
Djanius Djamin & Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi
Keuangan dan Perbankan Perbanas, Medan, 1991.
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1991.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 1989.
Sukardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1983.
Subekti, R., Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987.
Suryatin, R., Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur, Bandung, 1974.
Undang-Undang
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta 1985.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.
Universitas Sumatera Utara
Download