policy brief_paper 6

advertisement
Policy Brief
Ekonomi Politik Relasi Industri di Indonesia: 1980 – 2004
Oleh:
Raymond Atje, Mochamad Pasha, dan Udin Silalahi
1.
Pendahuluan
Krisis ekonomi 1997/98 menandai sebuah era baru relasi industri di Indonesia. Perhatian utama
pemerintah adalah stabilitas politik dan pergerakan tenaga kerja yang bebas dianggap berpotensi
mengancam stabilitas tersebut. Stabilitas politik dianggap sebagai kondisi yang diperlukan untuk
mencapai kesuksesan pembangunan ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Dalam tulisan ini, hubungan industrial adalah praktik yang berhubungan dengan persetujuan
kolektif, trade unionism, dan relasi tenaga kerja-manajemen, didalamnya termasuk institusi dan
asosiasi dimana melaluinya interaksi tersebut dimediasi. Hubungan industrial melibatkan
interaksi antara majikan, pekerja, dan pemerintah (tripartite).
Tulisan ini membahas tentang bagaimana pasar tenaga kerja Indonesia telah ditransformasi oleh
krisis 1997/98 dan transformasi politik yang mengikutinya, dari yang relatif fleksibel sebelum
krisis menjadi relatif kaku setelah krisis. Kefleksibelan pasar tenaga kerja tergantung dari biaya
penggantian tenaga kerja, seperti biaya memperkerjakan dan memberhentikan. Semakin tinggi
biayanya, maka semakin tidak fleksibel pasar tenaga kerja. Biaya tersebut tergantung kelimpahan
relatif tenaga kerja dan peraturan tenaga kerja yang berlaku. Dari sudut pandang ekonomi murni,
jika suatu perekonomian memiliki surplus tenaga kerja, maka pasar tenaga kerjanya cenderung
fleksibel, walaupun tidak demikian dengan Indonesia.
2.
Hubungan Industrial Sebelum Krisis
Kebijakan pada tahun 1980-an dan awal 1990-an cenderung memihak pada industri-tetapi tidak
harus mengorbankan kepentingan pekerja. Pergerakan tenaga kerja dikontrol ketat oleh
pemerintah. Pendekatan yang dilakukan pemerintahan Soeharto (Orde Baru) pada serikat,
dipengaruhi persepsi peran destabilisasi pergerakan serikat di masa lalu ketika ketidaktenangan
industri menimbulkan masalah bagi pemerintah. Lalu, pemerintah mengambil sikap yang lebih
lunak terhadap pergerakan pekerja, tetapi mengalami kesulitan untuk mempertemukan kebebasan
serikat dengan kebutuhan untuk mencapai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. 1
Bagi pemerintah Orde Baru, jenis serikat yang ada sebelum 1965 terlalu bersifat politik, jauh dari
batas toleransi. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah menerapkan top-down approach
pergerakan pekerja. Terdapat tiga aspek dari pendekatan ini:
1
Kerusuhan pekerja merajalela pada tahun 1950-an dan pertengahan 1960-an. Dilaporkan bahwa antara 1951 dan
1956, terdapat rata-rata 400 pemogokan per tahun dan melibatkan 5% pekerja upahan. Serikat pekerja yang
mendominasi merupakan aliran garis kiri yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia, Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI), (Manning, 1998).
Pertama, mendorong organisasi pekerja. Pemerintah mengambil langkah-langkah untuk
memperbesar kontrol atas organisasi-organisasi pekerja tersebut. Langkah pertama adalah
dengan membebaskan serikat pekerja yang ada dari intervensi luar, baik organisasi politik atau
sosial. Langkah kedua adalah dengan menyatukan mereka ke dalam satu payung organisasi, yaitu
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang pada tahun 1985 berubah menjadi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI). Langkah ketiga adalah dengan memperkenalkan hubungan industrial
panca sila yang menyediakan suatu set prinsip untuk menuntun pelaksanaan praktiknya. Tujuan
utama dari hubungan industrial panca sila adalah untuk mengontrol kerusuhan dan aksi mogok
untuk mendorong investasi. Pekerja yang terlibat dalam perselisihan akan dituduh anti ideologi
negara, anti panca sila (Manning, 1993).
Kedua, meningkatkan kesejahteraan pekerja. Manfaat yang dirasakan oleh sebagian kecil
pekerja, bukanlah hasil tekanan yang mereka timbulkan melalui proses politik, tetapi merupakan
hasil inisiatif elit politik. Peningkatan kesejahteraan pekerja dari ‘atas’ bertujuan untuk
menggalang dukungan dan mencegah tumbuhnya ketidakpuasan. Melaluinya, pemerintah ingin
menyatakan dirinya sebagai pemerintah yang baik, yang selalu memperhatikan kesejahteraan
pekerja. Inisiatif pemerintah Orde Baru untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja adalah: (1)
kebijakan upah minimum yang bertujuan mengurangi kemiskinan dengan menjamin suatu
tingkat upah minimum untuk hidup; (2) kebijakan jaring pengaman sosial; dan (3) kebijakan
terkait standar kondisi kerja.
Ketiga, melibatkan militer dalam hubungan industrial. Pada awalnya, militer dilibatkan dalam
mendesain hubungan industrial yang akan dipelihara pemerintah, yaitu yang meningkatkan
kestabilan politik dan ekonomi, dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya,
militer juga dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan pekerja, baik sebagai mediator antara
pekerja dan pihak manajemen (yang dalam lingkungan yang korup, akan lebih menguntungkan
perusahaan daripada pekerja, karena kemampuannya untuk menyuap), maupun terlibat langsung
dalam bisnis (baik mengelola dan memiliki perusahaannya sendiri, atau pun hanya sebagai
pekerja pada perusahaan swasta). Militer dilibatkan dalam bisnis bukan karena kemampuan
bisnisnya, tetapi karena memiliki kekuatan untuk memaksa (coersive power). Oleh karena itu,
banyak perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer, mampu menahan usaha formal
penyelesaian perselisihan yang merugikan perusahaan (Manning, 1993). Dalam lingkungan yang
seperti itu, aktivitas rente (rent-seeking) dan korupsi tidak dapat dihindarkan.
3.
Hubungan Industrial Setelah Krisis
Keberhasilan hukum pekerja sebelumnya, pada tahun 2000 Menteri Tenaga Kerja, Bomer
Pasaribu, mengeluarkan kebijakan, UU No. 150/2000, mengenai pesangon dan dana pensiun
untuk para pekerja yang di PHK dan pensiun. Undang-undang tersebut mengharuskan majikan
menyediakan pesangon bagi pekerja yang di PHK, termasuk bagi pekerja yang dipecat karena
melakukan pelanggaran besar, seperti halnya pesangon bagi pekerja yang mengundurkan diri dan
pensiun. Undang-undang tersebut juga menspesifikasikan jumlah uang pensiun dan pesangon
yang harus diberikan berdasarkan lamanya pekerja tersebut bekerja. Undang-undang tersebut
terlihat bagi banyak orang sebagai sesuatu yang negatif dan nampaknya dapat merugikan pekerja
dan pemulihan ekonomi. Hal yang dikritik terutama mengenai nilai yang disaranan untuk
menjadi uang pesangon dan pensiun yang dianggap memberatkan majikan. Perhatian utama
mereka adalah bahwa biaya untuk memutuskan hubungan dengan pekerja akan meningkatkan
pertimbangan perusahaan untuk berpikir dua kali sebelum mempekerjakan pekerja baru. Dan,
seperti yang akan dibahas lebih lanjut lagi, terdapat pula fakta-fakta yang mendukung hal
tersebut.
Pasar Pekerja Menjadi Kaku
Sebagai hasil dari berbagai kebijakan yang jelas pro-pekerja, pasar pekerja yang tadinya fleksibel
saat sebelum krisis, setelah krisis menjadi lebih kaku. Secara terus-menerus hal tersebut
membutuhkan biaya yang membebankan bagi perusahaan untuk memecat pekerja mereka
bahkan untuk alasan yang legal. Sementara itu, seperti yang telah diketahui, cara alternatif untuk
mengatasi hal itu adalah melalui kontrak jangka tertentu dan menggunakan jasa kontak telah
ditolak. Satu konsekuensi yang tidak diinginkan dari adanya kebijakan pekerja yang kaku adalah
bahwa, kecuali mereka benar-benar membutuhkannya, perusahaan-perusahan tidak akan
menambah pekerja. Hal tersebut mungkin dapat menjelaskan dua fenomena setelah krisis.
Pertama, pemulihan industri padat karya yang relatif lambat, contohnya tekstil, garmen, alas
kaki, dan sebagainya setelah krisis. Kedua, industri padat modal seperti otomotif dan elektronik
menjadi menjadi sumber penting ekspor dalam sektor manufaktur. Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya, terlihat jelas bahwa pemerintah gagal untuk memperkirakan bagaimana perubahan
dari kebijakan pekerja akan mempengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan, dan pekerja
pada khususnya. Bukti empiris dari dua kutipan dibawah ini menyediakan bukti dari pernyataan
tersebut.
Doing Business Survey Bank Dunia (2006) mendemonstrasikan kerasnya kebijakan yang kaku
terhadap sektor bisnis di Indonesia2. Laporan tersebut memuat banyak kumpulan index namun
index yang relevan untuk studi ini adalah Hiring and Firing Workers sub index. Indonesia berada
di posisi ke-122 dalam Difficulty of Hiring Index dan posisi ke-131 dalam Diffulty of Firing
Index, dari 155 negara. Indonesia terlihat memiliki biaya pemecatan yang sangat besar jika
dibandingkan dengan negara dan wilayah lain seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Biaya
pemecatan di Indonesia bernilai sebesar 144.8 minggu gaji, dibandingkan dengan rata-rata yang
bernilai 60 minggu gaji, yang lebih dari dua kali lipat dari rata-rata. Dalam hal ranking diantara
negara-negara yang termasuk dalam sampel, Indonesia mendapat posisi lima terbawah, diantara
155 dalam hal biaya pemecatan, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan biaya pemecatan
yang sangat tinggi. Indeks tersebut memberikan gambaran yang buruk untuk sektor bisnis,
dengan begitu kemampuan untuk beradaptasi terhadap tekanan pasar semakin terancam. Laporan
Bank Dunia tersebut juga menyediakan argumen pendukung bahwa Undang-undang Perburuhan
yang kaku menyebabkan lambatnya pemulihan sektor padat karya.
2
Dikutip dari McLeod (2007)
Gambar 1. Biaya Pemecatan (Jumlah Minggu dari Gaji)
Sumber: Diolah dari McLeod (2007)
Studi yang dilakukan oleh CSIS (2008) mengenai pekerja di industri tekstil, pakaian, dan alas
kaki (TCF) menyediakan lebih banyak alasan pendukung mengenai peningkatan biaya
pemecatan dan penyewaan pekerja yang dihadapi oleh perusahaan setelah krisis ekonomi
1997/98. Hasil dari studi tersebut terlihat pada Tabel 1. Studi tersebut menunjukkan bahwa
selama periode 1990-1997, sebelum ditetapkannya Undang-undang buruh yang baru, guncangan
ekonomi pada industri TCF diikuti dengan adanya perubahan tingkat pekerja dalam rata-rata 7.4
bulan. Dalam era setelah krisis (1999-2005), penyesuaian dalam tingkat akibat guncangan
ekonomi berlanjut pada tingkat yang sangat rendah, contohnya 41.6 bulan atau sama dengan
hampir 3.5 tahun. Penyesuaian pekerja yang paling lambat terletak pada sektor tekstil, yang
membutuhkan 58 bulan untuk menyesuaikan terhadap guncangan ekonomi tersebut. Sebelum
krisis, sektor tersebut hanya membutuhkan 5.83 bulan untuk menyesuaikan. Pada posisi kedua
adalah sektor alas kaki yang membutuhkan 38.6 bulan untuk melakukan penyesuaian setelah
krisis dibandingkan dengan 7.98 bulan sebelum krisis.
Tabel 1. Dampak dari Biaya Gaji Nominal pada Tingkat Pekerja
Sector/Sub sector
TCF industry
Textile s
Apparel
Footwear
Other TCF Industries
1990 -1997
Year
Month
0.61
7.36
0.49
5.83
0.70
8.36
0.66
7.98
0.59
7.10
1999 -2005
Year
Month
3.47
41.6
4.84
58.0
2.57
30.8
3.22
38.6
5.53
66.3
Sumber: Diolah dari CSIS (2008)
Penyesuaian yang lamban pada tingkat pekerja selama periode 1999-2005 mengindikasikan
biaya pemecatan dan penyewaan yang tinggi. Yang jelas, saat membandingkan era sebelum dan
sesudah krisis, kebanyakan studi menunjukkan bahwa pasar pekerja menjadi sangat kaku pada
periode yang kedua. Seperti yang diargumentasikan oleh Alisjahbana dan Purnagunawan, (2004)
dan juga Manning dan Roesad (2007), transformasi dari pasar pekerja fleksibel sebelum krisis
yang menjadi kaku setelah krisis dikualifikasikan sebagai bagian dari biaya penyesuaian akibat
penggunaan kebijakan pekerja yang baru.
Pendekatan Coaseian dalam Hubungan Industrial
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, pemerintah gagal dalam usaha terakhirnya merevisi
Undang-undang No.13/2003, yang dipandang perusahaan sebagai kebijakan yang sangat pro
pekerja. Terdapat beberapa pasal dalam undang-undang tersebut yang ingin direvisi oleh asosiasi
perusahaan. Terutama pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing, pesangon, dan kontrak
jangka pendek. Akibat dari Undang-undang ini, perusaaan terpaksa menemukan jalan lain.
Dalam hal ini teori Coase terjadi dalam dunia institusi pekerja. Selama biaya tawar-menawar
tidak begitu besar dan terdapat pihak yang memiliki hak dalam keputusan, pihak-pihak yang
terlibat dalam tawar-menawar tersebut akan menyetujuan pembagian reward dari usaha bersama
tersebut..
Revisi Hukum pekerja
Jalan keluar terbaik dari masalah antara manajemen dan buruh ini adalah dengan merevisi
Undang-undang perburuhan dengan tujuan spesifik yaitu untuk menciptakan keseimbangan
kekuatan antara manajemen dan pekerja. Hal tersebut akan sangat meningkatkan hubungan
industri yang selama ini terdistorsi oleh Undang-undang yang sedang berlaku. Untuk mencapai
tujuan tersebut, revisi undang-undang harus memperhitungkan kepetingan industri dan
kepentingan pekerja. Hal tersebut dapat dicapai dengan meminta masukan dari berbagai
pemangku kepentingan, seperti mereka yang selalu terlibat dalam negosiasi antara Apindo dan
beberapa persatuan pekerja.
4.
Kesimpulan
Terdapat alasan yang kuat untuk meninjau kembali semua peraturan yang membentuk dasar
hubungan industrial di Indonesia. Pelajaran penting yang dapat dipetik terutama dari hubungan
industrial setelah krisis adalah ketika rezim hubungan industrial lebih berpihak pada satu pihak
daripada yang lainnya, maka permasalahan pasti akan muncul. Seperti yang telah didiskusikan di
atas, hubungan industrial selelah krisis berpihak pada pekerja daripada pihak menajemen. Hal ini
menimbulkan dampak yang tidak terduga, yaitu pasar tenaga kerja menjadi kaku, yang
menimbulkan biaya tinggi bagi pendirian industri dan pekerja, khususnya pencari kerja.
Rezim hubungan industrial yang ada mendistorsi keseimbangan yang rapuh antara pihak
manajemen dengan pekerja. Saat ini, merupakan hal yang vital bagi pemerintah untuk menyusun
undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban majikan dan pekerja dengan seimbang, yang
akan memperbaiki hubungan industrial. Undang-undang tersebut harus menyediakan kejelasan
dan kepastian dalam hubungan industrial.
Download