Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra… KAJIAN SOSIOLOGI

advertisement
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA NOVEL DUA IBU KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO:
SUATU TINJAUAN SASTRA
Wahidah Nasution1
Abstrak
Sastra dalam jenis apapun merupakan karya cipta yang hadir karena kedudukan manusia sebagai
makhluk pencerita. Segala yang ditulis dan dingkapkan pengarang adalah masalah hidup dan
kehidupan manusia. Kisah yang dihasilkan merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang.
Kehidupan itu diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Data diperoleh dari
novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto dengan tebal 300 halaman. Novel tersebut dikaji dengan
pendekatan sosiologi sastra. Berdasarkan pendekatan tersebut, ditemukan bahwa: (1) pandangan dunia
pengarang; (2) latar belakang sosial budaya yang mencakup pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat
tinggal, adat kebiasaan, dan agama; (3) pandangan pengarang terhadap tokoh wanita; serta (4)
karakter tokoh dan hubungan antar tokoh. Kehidupan sosial yang digambarkan pengarang didominasi
oleh adat budaya jawa yaitu Solo.
Kata Kunci: Novel, Sosiologi Sastra, Kajian Pustaka
1
Wahidah Nasution, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, STKIP Bina Bangsa
Getsempena, Email: [email protected]
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 14
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
kenyataan hidup sehari-hari yang ada di
PENDAHULUAN
Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil
masyarakat. Persoalan atau peristiwa itu sangat
pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia
mempengaruhi
dan
menggu-nakan
pencipta karya sastra sehingga memungkinkan
Karya
sastra
munculnya kon-flik atau ketegangan batin
berbentuk kreativitas dalam bahasa yang indah
yang mendorong pencipta untuk mewujudkan
berisi
konflik dalam bentuk karya sastra.
kehidupannya
bahasa
sebagai
dengan
medianya.
sederetan
pengalaman
batin
dan
imajinasi yang berasal dari penghayatan
realitas sosial pengarang.
melalui
penggam-baran.
berupa
titian
pengarang,
bahasa
dengan
Penggambaran
terhadap
wawasan
cara
yang
seorang
Sebuah karya sastra tidak akan lepas dari
sastra
keberadaan
selalu
dalam
pengarangnya.
samping
mengekspresikan
kenyataan
hidup
persoalan hidup yang terjadi, pengarang juga
terhadap
berkaitan
dengan
mengajak
dan
Di
pengaruh
dapat
pengarang
tidak
Karya
ini
kenyataan hidup, dapat pula imajinasi murni
pengarang
kejiwaan
pola pikir, ide dan prinsip pengarangnya.
Karya sastra merupakan ungkapan batin
seseorang
bentuk
pembaca
mengemukakan
untuk
berpikir
memecahkan persoalan kehidupan.
Seorang pengarang mempunyai banayak
kenyataan hidup (rekam), atau dambaan intuisi
kemungkinan
pengarang, dan dapat pula sebagai campuran
diciptakannya. Pemahaman isi karya sastra
keduanya.
yang ditulis pengarang bergantung pada
Sebuah
cipta
sastra
dibalik
karya
yang
mengung-kapkan
ketajaman interpretasi pemba-canya. Untuk
masalah-masalah manusia dan kemanusiaan,
dapat menginter-pretasi karya sastra dengan
tentang makna hidup dan kehidupan. Ia
baik, pembaca harus memahami dengan
melukiskan penderitaan-penderitaan manusia,
sungguh-sungguh maksud pengarang dalam
perju-angannya,
karya yang dihasilkannya itu.
kasih sayang,
kebencian,
nafsu, dan segala yang dialami manusia
Sastra dalam jenis apapun merupakan karya
(Mursal Esten, 1990:8). Bentuk pengungkapan
cipta yang hadir karena kedudukan manusia
inilah yang merupakan olahan pengarang
sebagai makhluk pencerita. Segala yang ditulis
dalam
aspek
dan dingkapkan pengarang adalah masalah
kehidupan manusia lewat ekspresi pengarang.
hidup dan kehidupan manusia. Karya sastra
Dengan demikian, karya sastra diciptakan
merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan
pengarang untuk dinikmati, dihayati dan
seseorang. Kehidupan itu diwarnai oleh sikap,
dimanfaatkan bagi khalayak (pembaca).
latar belakang, dan keyakinan pengarang. Oleh
menggambarkan
segala
Karya sastra lahir karena adanya sesuatu
karenanya, kebenaran atau kenyataan dalam
yang menjadikan jiwa seseorang pengarang
karya sastra tidak mungkin sama dengan
atau pencipta mempunyai rasa tertentu pada
kenyataan yang ada di sekitar pembaca.
persoalan atau peristiwa di dunia ini., baik
Kenyataan atau kebenaran dalam karya sastra
yang
langsug
ISSN 2338-0306
dialaminya
maupun
dari
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 15
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
adalah kebenaran indrawi seperti yang dilihat
dengan watak beragam dan gaya hidup tokoh
sehari-hari.
dapat memberikan wawasan berpikir yang
Horace dalam Melani Budianto (1993:25-
lebih
luas
kepada
pembacanya.
Novel
26) mengungkapkan bahwa fungsi karya sastra
memberikan suatu cerita kehidupan secara
adalah
tuntas dan mendalam dengan gaya bahasa
dulce
at
utile
yang
artinya
menyenangkan dan berguna. Menyenangkan
yang memikat.
dalam arti tidak menjemukan, membosankan.
Dalam berbagai kegiatan ilmiah, novel
Berguna dalam arti tidak membuang-bunag
kerap menjadi topik yang dikaji secara
waktu,
iseng
mendalam. Di lingkungan Fakultas Pendidikan
melainkan sesuatu yang perlu mendapat
Bahasa pun novel dijadikan matri perkuliahan,
perhatian serius.
bahkan dalam Silabus mata pelajaran Bahasa
bukan
sekedar
perbuatan
Karya sastra memberi kenikmmatan dan
Indonesia di SMP dan SMA novel menjadi
kesenangan. Karya sastra yang baik, isinya
materi
pengajaran
sastra.
Hal
tersebut
bermanfaat dan cara pengungkapan bahasanya
menunjukkan bahwa novel bukan hanya
pun indah. Hal ini ditegaskan Panuti Sudjiman:
sebagai bahan bacaan hiburan saja, melainkan
Karya sastra diciptakan pengarang tentu
bagian dari salah satu karya sastra yang perlu
mempunyai maksud-maksud tertentu. Karya
dikaji da dikembangkan.
sastra tidak hanya untuk menghibur, tetapi
Novel Dua Ibu adalah novel yang telah
merupakan alat menyampaikan wejangan-
diterbitkan sejak tahun 1981 dan telah
wejanganatau
dan
beberapa kali decetak hingga tahun 2009.
seorang
Novel ini berkisah mengenai Mamid (tokoh
menyampaikan
aku) yang dihadapkan dua sosok ibu, pertama
gagasan-gagasannya, pandangan hidup atas
adalah ibu kandungnya dan yang kedua adalah
kehidupan sekitar dengan cara yang menarik
nenek yang telah menjadi Ibu bagi Mamid.
dan menyenangkan pembaca untuk berbuat
Novel ini sangat mencolok dengan lokasi yang
baik (Panuti Sudjiman, 1998:57)
digunakan penulis yaitu Solo. Segala tingkah
nasihat,
pendidikan
sebagainya.
Dengan
karyanya
pengarang
bermaksud
Sejak tahun dua puluhan, karya sastra yang
berbentuk
selalu
menyertai
kesusastraan
Indonesia.
Rumusan masalah dalam penelitian ini
Dibanding karya sastra puisi dan drama, novel
yaitu, bagaimanakah analisis sosiologi sastra
mempunyai daya tarik tersendiri dengan
dalam novel Dua Ibu karya Arswendo
bahasanya yang lugas dan mudah dipahami.
Atmowiloto?
perkembangan
novel
laku anak perempuannya dikaitkan dengan asal
Sebagai bahan bacaan, novel mampu
mereka.
Tinjauan Pustaka
menghibur pembacanya, mampu menyeret
Sosiologi sastra merupakan pendekatan
pembaca menyelami suatu kehidupan yang
yang bertolak dari orientasi kepada semesta,
belum atau tidak pernah dialaminya. Novel
namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
yang berisi cerita tentang kehidupan manusia
pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 16
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
sosiologi
sastra,
karya
sastra
dilihat
b. Pedesaan
dan
perkotaan
yaitu
suatu
hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana
persekutuan hidup permanen pada suatu
karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
tempat sifat yang khas.
Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup
c. Ekonomi,
meliputi
kemiskinan
adalah
luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar
kurangnya pendapatan untuk memenuhi
karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra
berada
di
garis
kemiskinan
apabila
menaruh perhatian pada aspek dokumenter
pendapatan tidak cukup untuk memenuhi
sastra, dengan landasan suatu pandangan
kebutuhan pokok.
bahwa sastra merupakan gambaran atau potret
Adapun aspek sosial yang dibahas yang
fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena
sesuai dengan realitas sosial masyarakat yang
sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling
dikaji dalam cerpen ini adalah mengenai
kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
kemiskinan.
didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena
memfokuskan dalam hal kemiskinan karena
itu diangkat kembali menjadi wacana baru
faktor kemiskinan dalam cerpen ini begitu
dengan proses kreatif (pengamatan, analisis,
dominan
interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan
konflik sosial dan cerita yang tersaji bermuara
sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
pada kemiskinan tokoh Ibu.
Peneliti
ditonjolkan
memilih
lebih
pengarang. Konflik-
Menurut Djajasudarma (1999: 26) aspek
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa
adalah cara memandang struktur temporal
seseorang dapat dikatakan di bawah garis
intern suatu situasi yang dapat berupa keadaan,
kemiskinan jika pendapatannya tidak mampu
peristiwa, dan proses. Keadaan bersifat statis,
mencukupi kebutuhan dasar atau pokok.
sedangkan
Kemiskinan
peristiwa
bersifat
dinamis.
yang
seperti
itu
dapat
Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang
dikategorikan menjadi tiga unsur menurut
sedang berlangsung (imperaktif).
penyebabnya, (1) kemiskinan yang disebabkan
Sedangkan sosial adalah kebersamaan yang
karena badaniah, (2) kemiskinan karena
melekat pada individu (Soelaeman, 2008:
bencana alam, (3) kemiskinan karena buatan
123). Berdasarkan pernyataan di atas dapat
(Soelaeman, 2008: 228).
disimpulkan bahwa aspek sosial adalah cara
Sedangkan menurut Suparlan (1993; xi)
pandang suatu situasi, keadaan, dan peristiwa
kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu
kebersamaan dalam masyarakat.
standar tingkat hidup yang rendah, yaitu
Menurut Soelaeman (2008: 173) aspek
adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
sosial dapat dibedakan menjadi beberapa
sejumlah atau segolongan orang dibandingkan
bagian, sebagai berikut:
dengan standar kehidupan yang umum berlaku
a. Budaya yaitu nilai, simbol, norma, dan
dalam masyarakat yang bersangkutan. Tingkat
pandangan
hidup
umumnya
dimiliki
bersama oleh anggota suatu masyarakat.
ISSN 2338-0306
hidup yang rendah ini juga memengaruhi
kualitas hidup seseorang dalam pemenuhan
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 17
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
kebutuhan lain, seperti kesehatan, pendidikan,
moral, dan rasa harga diri.
Sapardi
Joko
Lewat
penelitian
mengenai
lembaga-
lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan
Damono
(1989:
14)
keluarga
yang
secara
bersama-sama
mengemukakan bahwa segala yang ada di
membentuk apa yang disebut sebagai struktur
dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari
sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga
kenyataan tertinggi yang berada di dunia
yang secara bersama-sama membentuk apa
gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang
yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi
ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu
dikatakan memperoleh gambaran mengenai
kenyataan. Pandangan senada dikemukakan
cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan
oleh Teeuw (1984:220) mengatakan bahwa
ditentukan
dunia
tertentu,
empirek
tak
mewakili
dunia
oleh
masyarakat-masyarakat
gambaran
mengenai
mekanisme
sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya
sosialitas, proses belajar secara kultural yang
lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan
dengannya individu-individu dialokasikannya
ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan
pada dan menerima peranan tertentu dalam
kenyataan mengungkapkan makna, hakikat
struktur sosial itu.
kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik
Sosiologi sastra memiliki perkembangan
harus truthful berani dan seniman harus
yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian
bersifat modest, rendah hati. Seniman harus
yang
menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat
dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh
mendekati yang ideal.
adanya kesadaran bahwa karya sastra harus
Endraswara dalam bukunya Metodologi
menggunakan
difungsikan
sama
teori
strukturalisme
dengan
aspek-aspek
Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa
kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus
sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan
pada masalah manusia karena sastra sering
dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.
mengungkapkan perjuangan umat manusia
Menurut Nyoman Kuta Ratna Ratna (2003:
dalam
menentukan
masa
depannya,
332)
ada
beberapa
hal
yang
harus
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki
(2003: 79). Sementara, Faruk (1994: 1)
kaitan erat dengan masyarakat dan dengan
memberi pngertian bahwa sosiologi sastra
demikian
sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai
dengan masyarakat, sebagai berikut.
manusia dalam masyarakat, studi mengenai
1. Karya
harus
sastra
diteliti
ditulis
dalam
oleh
kaitannya
pengarang,
lembaga dan proses-proses sosila. Selanjutnya,
diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab
penyalin,
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
masyarakat.
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup.
ketiganya
adalah
anggota
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat,
menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat yang pada
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 18
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
gilirannya
juga
difungsikan
oleh
masyarakat.
Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto yang
3. Medium karya sastra baik lisan maupun
tulisan
Sumber data penelitian adalah teks novel
dipinjam
melalui
diterbitkan gramedia pustaka utama pada tahun
kompetensi
2009. Data penelitian adalah teks cerpen
masyarakat yang dengan sendirinya telah
senyum karyamin dengan fokus penelitian (a)
mengandung masalah kemasyarakatan.
pandangan dunia pengarang, (b) latar belakang
4. Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama,
sosial budaya, (c) pandangan pengarang
dan adat-istiadat dan tradisi yang lain,
terhadap tokoh ibu, (d) karakter tokoh dan
dalam karya sastra terkandung estetik,
hubungan antar tokoh.
etika, bahkan juga logika. Masyarakat
HASIL ANALISIS DATA
jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga
Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel
aspek tersebut.
Dua Ibu
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra
adalah
hakikat
Pandangan dunia pengarang dalam novel
intersubjektivitas,
Dua Ibu adalah sebuah kehidupan sederhana
masyarakat menemukan citra dirinya
yang dijalani para tokoh dengan pendidikan
dalam suatu karya.
dan tingkat sosial lemah serta segala macam
Berdasarkan
dapat
warna, lika-liku, dan permasalahan kehidupan.
dapat
Beragam persoalan hidup ditampilkan dengan
meneliti melalui tiga perspektif, pertama,
berlatar kehidupan pelaku utama dan orang-
perspektif
dikatakan
uraian
bahwa
tersebut
sosiologi
sastra
teks
sastra,
artinya
peneliti
orang yang berada di sekitanya. Pengarang
menganalisisnya
sebagai
sebuah
refleksi
menonjolkan kisah kasih sayang ibu, dengan
kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua,
menyertakan perjuangan hidup, budaya jawa,
persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis
dan keyakinan.
dari sisi pengarang. Perspektif ini akan
Arswendo merupakan penulis yang sudah
berhubungan dengan kehidupan pengarang dan
makan banyak asam garam. Sejak muda, ia
latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga,
telah melakukan banyak pekerjaan kasar
perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
sehingga penulis ini lebih banyak mengangkat
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
cerita kaum marginal. Kisah yang hampir sama
METODE PENELITIAN
juga muncul dalam novel Dua Ibu. Pengarang
Penelitian
ini
menggunakan
metode
menggambarkan perjuangan mempertahankan
penelitian kualitatif. Data primer adalah novel
hidup
secara
komunikatif,
mengalir
apa
Dua Ibu. Data sekunder diperoleh dari
adanya. Cara menulis pengarang membuat
pembacaan novel Dua Ibu yang digunakan
pembaca tak bisa berhenti membaca.
untuk mendukung data primer. Pendekatan
Arswendo merupakan seorang pria yang
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lahir di Jawa Tengah. Budaya Jawa tertanam
pendekatan sosiologi sastra.
jelas di dalam dirinya. Ini terbukti dengan
berbagai karya yang dihasilkannnya selalu
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 19
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
mengangkat budaya Jawa. Berbagai tempat di
“ Kita sendiri tetap islam. Bibik itu juga tetap
sekitar Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta
Islam. Kita mah gak mau diganti agama. Biar
menjadi
digaji sejuta kita nggak mau. Itu namanya
domisili
yang
sering
disebut
godaan.”
pengarang dalam karya ini.
Awalnya Arswendo menganut agama Islam
“Bibik kan…”
namun ketika ia menikah dengan Agnes Sri
“ Nggak, Kita nggak makan daging babi, biar
Hartini, ia menganut agama yang diyakini istri.
kita masak untuk juragan. Kita masak sendiri.
Novel ini juga mengangkat perubahan agama
Kita juga nggak mau kalau juragan piara
yang diyakini tokoh. Awalnya tokoh Mamid
anjing. Kita lebih suka keluar.”
beragama Islam namun setelah hidup dengan
(Dua Ibu:143-144)
ibu kandungnya ia mengikuti segala kegiatan
yang dianut ibu.
Latar Belakang Sosial Budaya
“Mid sini,” perintah semacam inilah yang
karya sastra dalam novel Dua Ibu
membuat aku krang suka. Lagi pula bibikyang-satu
ini
selalu
mengajari
Cerita rekaan menampilkan latar belakang
supaya
sosial budaya masyarakat. Sastra dipandang
celanaku jangan kena tanah, tinta, kotoran
para ahli sosiolog sebagai dokumen sosial
lain, saus, padahal itu selalu terjadi. Bibik-
budaya. Latar belakang sosial budaya yang
yang-satu ini pula yang menyuruhku mencuci
ditampilkan
kaus kaki sendiri. Dan itu harus dilakukan
pekerjaan,
sedikitnya dua hari sekali. Baunya bisa
kebiasaan, suku, dan agama.
dapat
bahasa,
berupa
tempat
pendidikan,
tinggal,
adat
membuat ia pingsan, katanya.
“Mid, sini.”
Aku mendekat. Masih ada jarak.
Pendidikan
Tokoh ibu dideskripsiskan sebagai seorang
“Kau sekarang Kristen ya?”
yang gigih untuk menghidupi anak-anaknya
“Ya.”
yaitu Solemah, Mujanah, Adam, Ratsih, Jamil,
“Kan dulunya Islam?”
Herit, Mamid, Priyadi dan Prihatin. Sosok
“Ya.”
seorang ibu, digambarkan dengan begitu
“Nggak boleh ganti agama. Islam melarang.”
tangguh. Menghidupi, membe-sarkan delapan
“Ya.”
anak yang notabene bukan anak kandung-nya
“ Itu namanya kafir, Mid. Apalagi dulu kau
semua. Harus memasak, bekerja keras menjadi
pernah salat. Aku lihat kain sarungmu. Kau
buruh masak, serta bagaimana membagi uang
harusnya Islam. biar di mana pun, orang islam
yang begitu minim dari pensiunan almarhum
harus tetap Islam. Kalau ia menjadi kafir,
suaminya. Tak ada cerita keluhan, amarah dari
hukuman Allah berat sekali. Sukmamu tak
sosok Ibu bagi delapan anaknya. Yang ada
kuat menanggung nanti.”
adalah mengajarkan pendidikan nilai-nilai agar
Suaranya membuatku takut.
anak-anaknya survive. Pelajaran moral yang
tentunya mulai langka ditemukan zaman
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 20
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
sekarang. Karena memang setting dari novel
Ibu sama sekali tidak mencicipi apa-apa. (Dua
tersebut adalah 32 tahun yang lalu, yaitu Kota
Ibu: 32)
Solo era 1980.
……
Kalau berangkat sekolah, ia selalu jauh dari
Kukira ini bukan karena Ayah meninggal.
jadwal. Selalu lebih pagi. Kalau jam istirahat
Faktor itu ada juga, akan tetapi sejak lama
lebih suka berada dalam kelas. Tentu saja aku
sudah terasa. Kebangkrutan ekonomi yang
tahu karena sekolah dasar itu hanya satu─dan
tidak seimbang. Fungsi sosial ibu yang
kami semua tertampung di situ. Saudara,
sedemikian besar, biaya anak-anaknya tak
kenalan, kawan bermain setiap hari. Ratsih
cocok dengan gaji Ayah yang sebagai
baik sekali hatinya. Ia tak bilang kalau aku
pegawai negeri biasa-biasa saja. Mana pula
makan lebih banyak dari pada yang kubayar
Ayah ahrus memberikan sebagian untuk
di warung sekolah. Ia tidak menyampaikan
adiknya, dan saudara ibunya. Aku tahu
pada Ibu kalau aku dimarahi Pak Guru. Ia tak
karena, dulu, setiap habis gajian, akulah yang
menanyakan kenapa bajuku belepotan tinta,
disuruh mengantarkan, krena aku diberi
padahal aku biasa menulis dengan pensil.
persen dari si penerima. Tak terlintas sedikit
Arswendo
menggambarkan
pendidikan
pun bahwa itu sebenarnya bagian Ibu. (Dua
yang begitu memprihatinkan dari anak-anak
Ibu: 45-46)
tokoh Ibu. Sebagai salah satu tokoh yang
Bahasa
pernah
sulitnya
meneruskan
Pengguanaan latar dan budaya Jawa tidak
perguruan tinggi, Arswendo
memaparkan
menjadikan novel ini sebagai novel yang
kisah
mengalami
miris
dengan
alur
yang
mudah
terbanyak menggunakan bahasa Jawa. Novel
dimengerti dan unik. Spekulasi dan anekdot-
ini cenderung menggunakan bahasa Indonesia
anekdot pun muncul dalam novel ini.
sehingga konsumsi novel bisa terarah pada
Pekerjaan
kelompok masyarakat mana pun. Penggunaan
Sejak ditinggal mati oleh suaminya, tokoh
bahasa Jawa pun hanya pada kalimat-kalimat
Ibu semakin didera kesulitan hidup. Ia hanya
pendek yang sudah dipahami oleh masyarakat
mengandalkan uang dari pensiunan suami dan
umum.
hasil upah memasak. Hal ini terlihat pada
“Siapa?”
kutipan,
“Siapa saja. Sapa, Sum?”
Ini luar biasa. Bukan karena ibu tahan
OOm Bong Lucu kalau ngomong bahasa
melakukan itu. bukan hanya itu. Ini luar biasa,
Jawa. A-nya, yang bunyinya antara “a” dan
karena ibu adalah koki yang, barangkali,
“o”,
paling hebat. Reputasi ini bukan aku yang
kelihatannya juga kurang suka. (Dua Ibu:78)
menyebutkan. Pengakuan ini datang dari
….
lingkungan. Setiap ada pesta di kampung, di
“ Piye, Min. Isa ora?” Terdengar teriakan dari
keluarga,
sopir. (Dua Ibu: 157)
Ibu
adalah
koki
utamanya.
dipakksa-paksa.
Tante
Mirah
Seleranya dipercaya. Padahal selama berpuasa
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 21
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
Tempat tinggal
sekaligus. Mengatur kurang-lebih pertemuan
Tempat tinggal yang dijadikan latar tempat
penceritaan Arswendo Atmowiloto
seribu tetamu, menyiapkan segala macam
adalah
peniti, kemenyan, undangan, dan pesta hingga
daerah Jawa seperti Solo, Malang, Surabaya,
selesai. Tukang sulap yang lihai karena apa
Jakarta, dan Singapura. Dari berbagai daerah
yang menjadi isi rumah lenyap sebulan
tersebut, Sololah yang paling dominan.
setelah pesta usai. (Dua Ibu: 10)
Ternyata pesta siang dengan pecal komplet
….
dan belut goreng hanya berlaku sekali jalan.
Waktu
Buktinya, sore hari, Oom Bong mengajak
menangis. Ibu akhirnya juga menangis waktu
makan di rumah makan.
peti mati meninggalkan rumah. Teman-teman
“Semua boleh ikut.”
sekolahku
“Ke Sriwedari saja,” kata Herit. Ia selalu
logam yang ditaburkan di jalan. Biasanya
mempunyai usul untuk pergi. Ia selalu
kalau ada yang meninggal, aku juga ikut
menyebut
berebutan uang sawur itu. (Dua Ibu: 29)
Taman
Sriwedari.
Tapi
mau
menyebut mana lagi? Itulah satu-satunya
taman hiburan. Di sana ada ketoprak, wayang
diberangkatkan,
berloncatan
banyak
yang
menyambar
uang
Agama
Pada
novel
Dua
Ibu,
tokoh
utama
orang, dan kalau siang kebun binatangnya
mengalami perubahan keyakinan yang pada
buka. Selain itu deretan warung yang luar
awalnya beragama Islam kemudian berganti
biasa banyaknya. Semua dengan daftar menu
menjadi
yang dijajar besar sekali dengan huruf merah
tersebut tidak menjadi sesuatu pergolakan
di atas dasar putih. Ada pula kolam. Di
hebat di dalam diri tokoh. Tokoh digambarkan
tengahnya ada pula kecil. Kalau terang bulan,
sebagai anak kecil yang menerima saja ketika
biasanya ada orkes main di situ. Pemainnya
ia disuruh memeluk suatu agama.
buta─sebagian besar. Ada pula komidi putar.
Hari Minggu pagi kami tidak sarapan.
(Dua Ibu: 71)
Karena pergi ke gereja. Aku mulai senang ke
Adat kebiasaan
gereja, karena naik mobil dengan pakaian
Perjuangan
hidup
wanita
Jawa
jelas
Kristen.
Perpindahan
keyakinan
yang apik tanpa canggung. Dulu aku selalu
terpapar dalam novel ini. Nilai-nilai budaya
memakai
yang kental muncul dalam novel ini. Baik
canggung─kecuali kalau Lebaran. Rasanya
dalam upacara kematian maupun resepsi
aneh, kalau memakai baju baru bukan pada
pernikahan.
Hari Raya Lebaran. Terlalu banyak menarik
Waktu Solemah, kakakku yang sulung,
perhatian. Dan mereka selalu menyindir
ditaksir seorang prajurit Angkatan Laut, Ibu
dengan kalimat yang itu-itu saja: dara
langsung merencanakan perkawinan. Pesta
mangan pari, durung bakda wis nganyari.
yang
tepat
Minggu pertama ketika aku pergi ke gereja
menggambarkan keunggulan Ibu sebagai
dengan baju model angkatan laut, aku pernah
dahsyat
dan
dengan
pakaia
baru
dengan
administrator, organisator, dan tukang sulap
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 22
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
bercerita,
dan
Oom
Bong
meminta
Kecuali main perempuan. (Dua Ibu: 137)
diterjemahkan arti kalimat itu.
Selain perempuan harus menerima
“Itu semacam pribahasa, ah mungkin juga
perlakuan buruk dari laki-laki, pengarang juga
peribahasa. Aku tidak tahu. Artinya merpati
berharap agar wanita menjadi sosok yang
makan padi, belum Lebaran, sudah pakai
patuh. Kepatuhan wanita Jawa merupakan
baju baru.” (Dua Ibu: 141-145)
salah prinsip yang telah ada sejak dahulu kala.
Pandangan Pengarang terhadap Tokoh
Kukira ibu terlalu takut pada Ayah
Wanita dalam Novel Dua Ibu
Kalau kami ingin nonton Sekaten atau
Arswendo Atmowiloto menampilkan
Maleman Sriwedari, Ibu selalu menunggu
sosok wanita tangguh melalui tokoh Ibu.
apakah Ayah bersedia atau tidak. Bahkan
Seorang wanita mandiri dengan kerelaan hati
untuk mengajak saja, harus anak-anaknya. Ibu
membesarkan putra putrinya tanpa pamrih.
selalu meluluskan permintaan jika kami
Pengaruhnya sangat kuat pada anak-anaknya
bilang, “Ayah boleh.” (Dua Ibu: 27)
hingga mereka dewasa.
Karakter
Ibu memandang sedih
Antartokoh dalam Novel Dua Ibu
Aku tak tahu bahwa Ibu sedih karena saat itu
belum
mempunyai
duit
Tokoh
dan
Hubungan
Sesuai dengan rumusan masalah, yaitu
untuk
bagaimana karakter tokoh dan hubungan
mengkhitankanku. Artinya belum melihat apa
antartokoh dalam novel Dua Ibu karya
barang miliknya yang bisa dijual, digadaikan,
Arswendo Atmowiloto maka penggunaan
atau siapa yang mau memberikan pinjaman.
tokoh yang menonjol antara lain: Ibu, Mamid,
(Dua Ibu: 19)
Solemah, Tante Mirah, Adam, dan Ratsih.
Tokoh wanita digambarkan pula sebagai
Tokoh utama dalam novel ini adalah Ibu dan
sosok yang selalu menjadi korban laki-laki.
Mamid, sedang yang lain juga ditampilkan
Perempuan harus siap dan menerima ketika
dengan
laki-laki tersebut tidak bisa bertahan pada satu
pemunculannya
wanita saja.
mempertajam
Meskipun kami masih kecil, kalimat itu bisa
perwatakan tokoh utama.
pertimbangan
bahwa
banyak
serta
volume
dan
turut
menonjolkan
peranan
kami tangkap artinya dengan baik. Ayah
kumat lagi main perempuan. Itulah yang dulu
diucapkan Ibu.
Ayah
tidak
Ibu
Tokoh utama Ibu adalah sosok wanita
pernah
main
judi.
Ayah
tangguh
yang
mandiri.
Ia
mengaggap pemain judi itu tidak bisa mencari
menomorduakan
ketegangan lain. Ayah juga tidak mabuk-
kebutuhannya sendiri. Keputusannya untuk
mabukan, baik dengan minuman keras atau
merawat anak-anak yang bukan anaknya
dengan candu
merupakan
Ibu mengaggap perbuatan Ayah tidak ada
suaminya Martono yang meninggal sebelum
yang tercela.
sempat menikahkan anak asuh mereka.
ISSN 2338-0306
kebu-tuhannya
selalu
keputusan
dibanding
bersama
dengan
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 23
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
Aku tak bisa mengerti. Bagaimana mungkin
Oom Bong memang aneh. Ia gagah, ganteng,
seluruh isi rumah dikuras habis, tapi Ibu tetap
baik hati pada kami anak-anaknya, tapi itu
bilang, “Ibu tak bisa memberi apa-apa.”
semua belum cukup. Seperti juga Tante
Bagaimana mungkin Ibu memberikan kain
sendiri. Atau seperti Ayah dulu. Yang begitu
batik yang ia sendiri perlukan. Bagaimana
membenci Belanda sampai ke tulang sumsum,
mungkin tiba-tiba melepaskan Solemah pergi
tapi terpikat Tante Thea. Atau malah seperti
darinya, begitu saja. Keringat Ibu belum
Ibu sendiri. Ketika resmi mempunyai suami,
kering
menyuapi,
lebih suka melarikan diri, hidup bersama
mencebokinya, dan kini tiba-tiba ia menjadi
Ayah, dan apa pula hubungannya dengan Pak
istri orang. Terlepas, terbang, lenyap, entah
Mo?
mana yang paling tepat. (Dua Ibu: 11)
Aku tidak bisa menuduh mereka ini jahat.
ketika
memandikan,
(Dua Ibu: 299)
Tokoh Ibu memiliki hubungan pada setiap
tokoh yang diceritakan. Ibu menjadi pusat
Hubungan tokoh Mamid dengan beberapa
tempat berkumpulnya anak-anak. Sebagai
tokoh lain digambarkan sebagai sosok yang
tokoh yang saling terkait dengan tiap tokoh
selalu menjadi bahan olokan dan penindasan
lain, penggambaran tabiat dan perjuangan ibu
saudaranya. Demi mengurangi beban Ibu,
pun digambarkan oleh tokoh-tokoh pembantu
tokoh Jamil menyarankan agar Mamid pindah
tersebut.
ke Jakarta.
Tahun
ini
makamnya
kami
semua
bersama-sama.
membersihkan
Kami,
yang
Solemah
sebenarnya berasal dari berbagai keluarga,
Solemah merupakan anak ke 2 yang
dialiri darah yang sama. Darah Ibu. Darah
dirawat oleh tokoh Ibu. Ia yang lebih dulu
seorang yang mengorbankan kebahagiannya
meninggalkan rumah dan menikah. Tokoh ini
sendiri untuk kebahagian orang lain. (Dua
digambarkan sebagai tokoh wanita Jawa
Ibu: 300)
sederhana. Ia juga sangat perhatian terhadap
nasib adik-adiknya. Setiap permasalahan yang
Mamid
dihadapinya selalu ia bagi dengan tokoh Ibu.
Tokoh Mamid merupakan salah satu anak
Saya dengar Jamil membujuk Mamid untuk
Ibu. Ia menjadi pencerita tentang kebaikan Ibu.
ke Jakarta. Saya percaya, Jamil berhasil.
Melalui tuturan yang ia sampaiakanlah maka
Mbak Sumirah sekarang berhasil ya, Bu. Saya
terlihat semua sifat yang dimiliki Ibu dan
turut senang. Mbak Sum dulu-dulu berani
saudaranya.
kawin sama Mas Bong dank e Jakarta. Anak
Padahal istri Pakde Wiro bisa saja sama baik
ditinggal. Sekarang berhasil ya. Saya ingin
dengan istri Jamil. Seperti juga ibu-yang-
kirim surat sama dia, tapi takut nanti disangka
cantik, pacar Oom Bong.
mau minta-minta. Maklum, Bu, orang miskin
itu bawaannya takut salah. (Dua Ibu: 68)
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 24
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
…
Hubungan tokoh Solemah dengan
Sebenarnya keadaan Ibu selalu kami dengar.
tokoh lain tidak terlalu banyak dipaparkan.
Baik melalui Ratih yang rajin berkirim surat
Beberapa tokoh yang pernah berhubungan
maupun lewat Mbak Murni. Perlu Ibu ketahui
langsung dengan Tante Mirah dalam novel ini
bahwa beberapa hari yang lalu terjadi sedikit
adalah Ibu, Mamid, dan Oom Bong.
peristiwa. Yaitu peristiwa mengenai Herit.
Begini, Bu, ceritanya: Herit marah kepada
Adam
kami sekeluarga, lalu minggat ke warung Bu
Jafar.
Kami
semua
berusaha
yang memiliki sifat pendiam. Seperti anak
berhasil.
lainnya, ia juga anak yang dititipkan pada
Bahkan Mas Jon membawakan kaus bersetrip
tokoh Ibu. Kekeraskepalaannya untuk tidak
biru seperti seragam angkatan laut pun, Herit
berpisah dengan tokoh Ibu membuat ia
tetap tidak mau. (Dua Ibu: 230-231)
menjadi satu-satunya tokoh yang menemani
membujuknya,
akan
sudah
Adam adalah salah satu dari anak Ibu
tetapitidak
Hubungan tokoh Solemah dengan tokoh
Ibu hingga ajal.
lain tidak terlalu banyak dipaparkan. Beberapa
Seminggu sebelum rumah besar dijual dan
tokoh yang pernah berhubungan langsung
mereka pindah ke Baturana dekat kuburan,
dengan Solemah dalam novel ini adalah Ibu,
Adam telah mengetahui. Akan tetapi seperti
Jamil, dan Ratsih.
biasanya, ia tidak bertanya, tak membantah
dan
Tante Mirah
berdiam
diri.
Ia
bahkan
tidak
menunjukkan bahwa ia telah tahu. Itu terjadi
Pada novel ini, diceritakan bahwa tokoh
ketika Pakde Wiro menangkapnya. Ya,
Aku (Mamid) memiliki dua Ibu. Salah satu Ibu
menangkapnya, seperti orang menangkap
yang dimaksud adalah Tante Mirah. Walau
ayam
hingga akhir tokoh Mamid tetap menyebut ibu
tangannnya, ia dibawa ke tritis. (Dua Ibu:
kandungnya
242)
ini
sebagai
Tante.
Mirah
yang
lepas.
Adam
dipegang
merupakan panggilan dari nama panjangnya
Sumirah. Ia tokoh yang selalu dibandingkan
Hubungan tokoh Adam dengan tokoh
pengarang dengan tokoh lain.
lain tidak terlalu banyak dipaparkan. Beberapa
Prinsipnya sama saja. Dalam bertengkar,
tokoh yang pernah berhubungan langsung
mereka
dengan adam dalam novel ini adalah Ibu dan
berbicara
sendiri-sendiri.
Tidak
bertanya dan tidak pula saling menjawab. Ibu
Pakde Wiro.
dulu juga begitu kalau marahan sama Ayah.
Bedanya suara Ibu tidak sekeras Tante, dan
suara Ayah tidak sekeras Oom. Meskipun
demikian,
Ibu
sering
menangis
bertengkar dengan Ayah. (Dua Ibu: 137)
kalau
Ratsih
Ratsih digambarkan sebagai wanita
sederhana dan polos. Ia hidup tanpa curiga dan
mencintai suami yang lebih tua puluhan tahun
dibanding dirinya. Ia pula salah satu yang
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 25
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
berakhir
sukses.
Keluarganya
mendapat
Arswendo Atmowiloto berupa pendidikan,
limpahan rezeki meski belum dikaruniai anak.
pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat
Hari Minggu Ratih diajak ke Sriwedari.
kebiasaan, suku, dan agama.
Waktu puang menangis dan tak mau menemui
Untung
Subarkah.
Ibu
kaget.
3. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh
Mujanah
Wanita dalam Novel Dua Ibu adalah wanita
mengira Untung mencium atau melakukan
mandiri yang terkadang menjadi korban
sesuatu dengan paksaan. Untung sendiri tak
penindasan pria namun pada sisi lain,
tahu. Untungnya, Ratih menceritakan sambil
pengarang juga berharap bahwa wanita
menangis, bahwa ia dibelikan sepatu. Ia
harus patuh pada suami.
merasa terhina.
“Saya
mau
4. karakter tokoh dan hubungan antartokoh
diajak bukan
karena
akan
dalam novel Dua Ibu karya Arswendo
dibelikan sepatu. Saya tahu sepatu saya sudah
Atmowiloto adalah Ibu, Mamid, Solemah,
jebol ujungnya.”
Tante Mirah, Adam, dan Ratsih. Tokoh
Untung minta maaf. (Dua Ibu: 178)
utama dalam novel ini adalah Ibu dan
Mamid, sedang yang lain juga ditampilkan
Hubungan tokoh Ratsih dengan tokoh lain
dengan pertimbangan bahwa intensitas
tidak terlalu banyak dipaparkan. Beberapa
kemunculan banyak dan turut mempertajam
tokoh yang pernah berhubungan langsung
serta menonjolkan peranan perwatakan
dengan Ratsih dalam novel ini adalah Ibu,
tokoh utama.
Mamid, Untung Subarkah, dan Solemah.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut,
1. Pandangan dunia pengarang dalam novel
Dua Ibu adalah kisah kasih sayang ibu,
dengan menyertakan perjuangan hidup,
budaya jawa, dan keyakinan.
2. Latar
belakang
sosial
budaya
yang
ditampilkan pada novel Dua Ibu karya
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 26
Wahidah Nasution, Kajian Sosiologi Sastra…
DAFTAR PUSTAKA
Arswendo Atmowiloto. 2009. Dua Ibu. Jakarta: PT Gramedia.
A.Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Burhan Nurgiyantoro. 2007. Pengkajian Fiksi. Yogyakarya: Gajah Mada University Press.
Dedy Sugono. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia I. Jakarta: Pusat Bahasa.
Faruk. 1994. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: gajah Mada University Press.
Herman J. Waluyo. 1992. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Munandar Soelaeman. 2008. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama.
Nyoman Kutha Ratna. 2003. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sapardi Joko Damono. 1989. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sudarsono. 1985. Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tata Krama, dan Seni
Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda . Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan
ISSN 2338-0306
Volume IV Nomor 1 Januari-Juni 2016 | 27
Download