ARSITEKTUR BANGUNAN HEMAT ENERGI

advertisement
ARSITEKTUR BANGUNAN HEMAT ENERGI
Ir. Sani Heryanto, MSc
Abstract
Energy conservation has been an important issue since energy crisis in
early 1970 and the depletion of natural resources. The Impact has created the
awareness that broaden into many areas, especially in how people live their life.
In the building industry, the consumption of energy in building operation for
HVAC system to enhance the interior environment for better work place has been
questioned, in term of energy conservation. This paper discusses roughly the
knowledge pertaining to energy conservation in building delivery system and
depicts the methodologies on how energy conservation in building could be
solved.
Key Words : building, energy conservation
Abstrak
Konservasi energi menjadi hal penting sejak krisis energi di awal tahun
1970. Dampak dari hal ini menciptakan kewaspadaan di berbagai wilayah,
khususnya pola hidup manusia pada saat itu. Dalam industri bangunan, komsumsi
bangunan yang mengoperasikan HVAC system dalam bangunan menjadi bahan
pertanyaan sehubungan dengan konservasi energi. Paper ini akan mendiskusikan
tentang konservasi energi dalam bangunan dan metodologi mengkonservasikan
energi dalam bangunan
Kata kunci: bangunan, konservasi energi
PENDAHULUAN
Konsumsi energi (listrik) pada suatu bangunan digunakan terutama untuk
memberikan (menciptakan) suatu lingkungan internal yang (sangat) nyaman,
1
Dosen Jurusan Arsitektur, FDTP, UPH
Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanegara
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
9
dibedakan (terpisah) dari kondisi ekternal yang ekstrim dan tidak nyaman2;
memperlancar proses aktivitas, menunjang pelaksanaan kegiatan dan memberi
tenaga {power) bagi pengoperasian peralatan-peralatan mekanis (elektronik) di
dalam bangunan tersebut.
Terus
meningkatnya
tuntutan
dan
kebutuhan
akan
kenyamanan,
kemudahan, kecepatan dan ketepatan didalam menjalani kehidupan sehari-hari
yang memang tidak nyaman tersebut (penuh dengan tekanan/ stress) dan
persaingan (kompetisi), juga menjadi pemicu lain kepada konsumsi energy yang
terus
meningkat
sehingga
kompensasi
(biaya)
dan
konsekuensi
(polusi
lingkungan) dari akibat dan tindakan akan kebutuhan-kebutuhan diatas, cenderung
meningkat dan tidak dapat dihindarkan (diturunkan). Agar pelaksanaan semua
kegiatan tersebut diatas dapat berjalan selancar mungkin, namun tetap efisien dan
efektif, maka pemakaian energi yang bertanggung jawab pada suatu bangunan
perlu disadar(kan), ditanamkan, dan terus diusahakan3.
Arsitek sebagai perancang {designer) bangunan memiliki posisi yang sangat
strategis dalam setiap kegiatan, tindakan dan keputusan yang diambilnya selama
proses
rancang
bangun.
Arsitek
menentukan
secara
signifikan
tingkat
keberhasilan suatu bangunan: Apakah bangunan yang dihasilkan akan hemat
energi atau bows energi.
Perkembangan, pertumbuhan dan tuntutan (tekanan) global dalam
penataan lingkungan hidup, lingkungan binaan {built environment), pengelolan
sumber daya alam {natural resources) dan pembangunan kawasan antara lain juga
mencakup
isu-isu:
pencemaran
(polusi)
lingkungan,
pembangunan
yang
berkelanjutan {sustainable development), pengrusakan hutan hujan tropis {tropical
forest). Isu-isu tersebut terangkat menjadi suatu mazhab yang harus ditaati di
~ Suatu perusaan 'nyaman' atau 'tidak nyaman' sebenarnya mempunyai discrepancy relative,
artinya akan berbeda menurul individu dan kelompok individu, latar belakang (sosial-budaya),
geografis, tingkat penghasilan (ekonomi) dan Iain-lain, sehingga makna tersebut hendaknya
jangan di generalisasi dalam suatu batas tertentu yang mutlak.
3
Kiranya, tindakan pembatasan pemakaian energi menurut suatu threshold tertentu bisa
dilakukan sesuai dengan kebutuhan (need) dan kemampuan (ekonomis) yang dimiliki.
Kecenderungan adalah: diberikan banyak (berlebihan) dan akan habis banyak, dan diberikan
secukupnya, tetap cukup
ID
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
dalam setiap proses perdagangan, pertukaran informasi dan pembangunan suatu
negara atau kawasan dengan negara lain.
Di bidang rancang bangun, isu lingkungan (environment) diatas membawa
pengaruh dan dampak positif, antara lain di, arsitektur berkembang menjadi
konsep-konsep yang dikenal dengan istilah 'arsitektur ramah lingkungan'
{sustainable architecture),
'arsitektur tanggap iklim'
{climate responsive
architecture), 'bangunan hemat energi' , arsitektur hijau (green architecture), dan
yang terakhir 'bangunan (yang) sehat' (healthy building) sebagai akumulasi utama
dari akibat sick building syndrome pada bangunan tinggi (skyscraper), dan Iainlain.
Namun
sayangnya,
pemahaman,
kepedulian
dan
kemauan
untuk
menyelenggarakan, menerapkan konsep diatas secara total masih dan hanya
dilakukan di negara maju. Di negara berkembang yang menjadi sumber (ajang)
exploitasi, konsep tersebut hanya menjadi 'slogan'. Hal tersebut karena kurangnya
dukungan (hukum dan modal) dari pemerintah, tidak adanyanya kesadaran
masyarakat setempat, dan rendahnya kemampuan dan pengetahuan SDM4.
Peran
dan
kemampuan
seorang
arsitek
didalam
merancang dan
menghasilkan suatu bangunan yang (sangat) hemat energi atau ramah lingkungan,
sangat
tergantung
kepada
kemampuan
(skill), pengalaman
(experience),
pemahaman (undertanding), keinginan (will) yang dimiliki sang arsitek selama
proses perencanaan dan perancangan. Namun perlu disadari dan ditekankan
bahwa proses rancang bangun suatu bangunan (gedung) atau lingkungan binaan
(kawasan) melibatkan tidak hanya pihak arsitek saja, peran para ahli lainnya
seperti ahli struktur (sipil), ahli mekanikal dan elektrikal (M&E), kontraktor,
supplier bahan bangunan dan pelengkapan bangunan lainnya, pemilik dan
pengelolah gedung dan pemakai bangunan, bersama-sama akan menentukan
tingkat 'ke-hematan total' yang mampu dicapai oleh suatu bangunan (dan
fasilitasnya) sekaligus tingkat 'ke-borosan-nya'.
Di bidang pendidikan, desain kurikulum yang mengacu dan peduli dengan lingkungan masih
jarang dikembangkan, sehingga peran dan kepedulian pihak inteleklual yang diharapkan
menjadi lokomotif (pendorong) pun menjadi rendah.
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
II
HEMAT ENERGI PADA BANGUNAN MODERN
Kondisi di Indonesia
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa bangunan modern di kotakota besar di Indonesia rata-rata mengkonsumsi energy listrik sebesar 200
kWh/irf.tahun. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan energy
listrik yang dikonsumsi bangunan-bangunan modern di negara ASEAN seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand sebesar hanya 160 kWh/m2 (Harjanto, 2002).
Negara-negara tersebut sejak awal tahun 80-an sudah menerapkan peraturan
perhitungan OTTV5 pada bangunan secara mengikat pada saat pengajuan ijin
mendirikan bangunan (1MB) dan akan memberikan insentip (keringanan pajak,
misalnya PBB) bila bangunan tersebut nantinya memenuhi perhitungan teoritis
tersebut. Selisih angka tersebut (40 kWh/m2.tahun) menunjukkan rata-rata
bangunan modern di Indonesia masih jauh dari predikat 'hemat energi', namun
sekaligus menunjukkan suatu tantangan penghematan dan peluang bagi para
arsitek untuk mengembangkan arsitektur bangunan ke arah konsep tersebut.
Suatu desain bangunan yang mampu menghemat energy sebenarnya dapat dicapai
dengan cukup mudah, bila melalui beberapa pengolahan secara hati-hati berbagai
aspek yang terkait langsung dengan desain bangunan, antara lain:
Lingkungan external.
Penerapan arsitektur pasif.
Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan dan pelengkapan mekanis
bangunan.
Manajemen, servis dan maintenance gedung.
Penerapan Building automation system (BAS) dan Building management
system (BMS).
Aspek-aspek diatas secara integrasi menentukan tingkat 'kehematan energi' suatu
bangunan yang diukur selama umur bangunan (building life cycle). Dan peran
setiap ahli yang terkait menjadi sangat sulit untuk dirinci (break down).
Pengalaman ini menunjukkan bahwa suatu bangunan pada akhirnya merupakan
5
OTTV: Overall Thermal Transfer Value, atau Perhitungan rata-rata perpindahan (penyerapan)
panas oleh selubung (envelope) bangunan terhadap panas external: radiasi dan konveksi sinar
alami matahari.
12
Jurnal Umiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
produk multi discipline untuk mencapai suatu hasil (out put) yang optimal, dimana
masing-masing ahli bangunan memberikan kontribusi secara aktif dan efektif
sesuai dengan expertise-nya.
Menuju Bangunan Hemat Energi di Indonesia
Posisi geografis Indonesia terletak di antara 6°LU - 11°LS dan 95°BT 141°BT; kota Jakarta terletak lebih kurang pada posisi 6°LS dan 107°BT. Posisi
geografis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dan Jakarta terletak sangat
dekat (di sekitar) garis Khatulistiwa yang beriklim ekternal Tropis Lembab,
dengan temperatur berkisar antara 30-33°C, hampir tidak ada perbedaan
temperatur harian dan tahunan. Kelembaban sepanjang tahun yang cukup tinggi,
antara 80% - 90%. Curah hujan (sangat) tinggi antara bulan Desember - Januari.
Suhu rata-rata di Jakarta 31°C dan mencapai 35°C pada kondisi tertentu.
Kelembaban mencapai 85% karena terletak di tepi pantai. Angka tersebut
menunjukkan iklim external Jakarta dan daerah di sekitarnya termasuk kategori
iklim ekstrim tidak nyaman untuk aktivitas-aktivitas yang membutuhkan suatu
tingkat kenyamanan tertentu (misalnya, suhu 22°C - 26°C dan kelembaban 40% 60%), ditambah lagi dengan emisi kendaraan bermotor di Jakarta yang sudah
mencapai suatu tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan sesungguhnya sudah
sangat membahayakan kesehatan manusia maka pemanfaatan iklim ruang luar
untuk menunjang aktivitas indoor sangatlah tidak menguntungkan.
Kondisi external yang ekstrim dan tidak menguntungkan tersebut akhirnya
menuntut pemakaian peralatan pendinginan dan penyegar udara atau AC dan
sudah menjadi suatu kebutuhan primer (sangat umum). Namun, pengukuran
menunjukkan bahwa pemakaian unit AC dan peralatan penunjangnya (pompa,
fan, dll) mampu mengkonsumsi
±
60% energi dari total energi yang
diperuntukkan bagi suatu gedung, dimana tingkat fluktuasi pemakaian energi AC
tergantung kepada besarnya beban panas yang harus didinginkan untuk mencapai
suhu nyaman ruang interior. Pemakai energi terbesar lainnya adalah lampu untuk
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
13
penerangan dan diperkirakan 20% - 30%, sisanya dipakai oleh peralatan
perlengkapan lainnya .
Melihat kecenderungan dan mudahnya para pemilik bangunan (owner)
bersama-sama dengan arsitek menentukan unit penyegar dan pendingin udara AC
sebagai satu-satunya pilihan untuk mencapai kenyamanan (dan kesehatan) dan
dengan tingginya konsekuensi yang harus dihadapi di kemudian hari (biaya
operasi, pemeliharaan dan pecemaran), maka para perancang bangunan (terutama
arsitek) perlu memikirkan kembali (redefined) metodologi desain yang mampu
menghasilkan suatu bangunan yang hemat energi namun tetap memberikan suatu
tingkat 'kenyamanan' dengan tidak mengkonsumsi energi secara berlebihan.
Pemakaian peralatan mekanis seperti AC bukanlah sebagai 'resep' untuk
mengobati bangunan yang 'sakit'. Walau pada kenyataannya (prakteknya),
banyak produk arsitektur yang pada akhirnya menggantungkan nasibnya pada
peralatan mekanis, misalnya: "kalau gerah, tinggal hidupkan AC; kalau gelap,
tinggal hidupkan lampu ".
Mulai pulihnya perekonomian dan pembangunan yang ditandai dengan
meningkatnya perencanaan dan pembangunan gedung-gedung baru (komersial) di
beberapa kota besar di Indonesia. Maka konsep 'hemat energi' perlu ditekankan
kembali agar tingkat persaingan di bidang pemakaian energi yang efisien
dibanding beberapa negara tetangga kita tidak semakin ketinggalan, apalagi pada
tahun 2003 ini, AFTA mulai berlaku bagi Indoensia.
ASPEK-ASPEK BANGUNAN PENENTU HEMAT ENERGI
Bebarapa aspek bangunan selama proses perencanaan, perancangan dan
pengoperasian gedung
perlu diperhatikan secara serius karena akan sangat
mendukung target 'hemat energi' saat bangunan tersebut di operasikan selama
umur bangunan (100 - 150 tahun). Hal tersebut sebenarnya sudah dapat dianalisis
(dideteksi/ diprediksi) sejak tahap awal perencanaan melalui life cycle costing
analysis (LCCA). Aspek-aspek tersebut adalah:
' Prosentase tersebut merupakan angka yang sering dinyatakan pada setiap kesempatan
pembahasan distribusi konsumsi energi listrik untuk bangunan perkantoran.
14
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
Aspek Lingkungan Eksternal di Luar Bangunan
Aspek lingkungan eksternal utama yang sangat berperan di dalam
menentukan tingkat kenyamanan dan selanjutnya menentukan tingkat kehematan
energi adalah Iklim yang mencakup antara lain:
panas radiasi matahari (diffuse atau direct)
ambient temperatur
kelembaban
curah hujan (prespitasi)
kecepatan angin (arah dan kekuatan)
kemurnian udara (air quality)
Aspek lingkungan external lainnya yang ikut menentukan antara lain: topografi,
hewan dan vegetasi (landscape).
Aspek Arsitektur Bangunan
Beberapa aspek perencanaan bangunan (arsitektur bangunan) sangat
menentukan tingkat kehematan pemakaian energi yang dapat dicapai oleh suatu
bangunan saat di operasikan. Antara 40% - 60% energi yang diproduksi oleh
sistem AC digunakan untuk
mendinginkan beban panas radiasi dan konveksi
yang terjadi sebagai konsekuensi tersebut. Aspek-aspek tersebut antara lain:
Panas radiasi matahari, udara panas dan lembab yang masuk baik secara langsung,
tidak langsung maupun infiltration.
Perbedaan temperatur luar (31°C - 35°C) dan kelembaban luar (85%)
dengan temperatur nyaman dalam (interior) (22°C - 26°C) dan kelembaban yang
diinginkan (60%) yang terjadi karena perbedaan ruang dan proses perpindahan
panas diatas
perlu dikondisikan. Magnitude nya tergantung kepada aspek
arsitektur bangunan antara lain: pemakaian bahan bangunan, pemakaian
pelindung matahari, bentuk massa bangunan, orientasi bangunan, dan Iain-lain.
Pengambilan keputusan yang menyangkut aspek arsitektur bangunan secara tepat
pada tahap awal mampu menurunkan beban panas yang diterima bangunan
sebesar 12% - 18%.
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
15
Beberapa aspek penting dalam arsitektur bangunan antara lain:
a.
Orientasi Bangunan
Bentuk dan orientasi massa suatu bangunan terhadap jalur matahari
menentukan besarnya beban panas langsung/ tak langsung yang akan diterima
oleh suatu fasade bangunan. Untuk suatu massa bangunan berbentuk persegi
panjang,
sangat disarankan
direncanakan
agar penataan orientasi
bangunan
sebaiknya
sedemikian rupa, sehingga kedua sisi terpendek
bangunan
menghadap langsung ke arah matahari terbit/ terbenam dari pada sisi panjangnya.
Hal ini akan mengurangi secara langsung besarnya beban intake yang akan
diterima langsung oleh fasade bangunan tersebut. Atau pada kedua sisi terpendek
tersebut dapat sekaligus direncanakan sebagai core area atau service area suatu
bangunan.
b.
Pemakaian Bahan Selubung Bangunan (Envelope):
Selubung bangunan
(dinding luar) mencakup antara lain seluruh
permukaan bangunan yang berhubungan langsung dengan lingkungan eksternal,
antara lain: dinding (masif atau transparant), atap dan lantai. Namun, perpindahan
panas (heat transfer) secara signifikan terjadi hanya melalui permukaanpermukaan dinding dan atap, sehingga perencanaan (konstruksi) yang dilakukan
pada permukaan
tersebut
perlu
mendapat
perhatian
serius agar
tujuan
penghematan dapat tercapai.
Magnitude perpindahan panas suatu permukaan tergantung kepada thermal
conductivity dari gabungan bahan bangunan yang membentuk permukaan tersebut
dan perbedaan temperatur luar dan dalam yang terjadi. Untuk suatu bahan
bangunan, besarnya penerusan panas tergantung terhadap faktor konduktivitas
bahan bangunan tersebut (U-value). Harga-harga V-value tersebut dapat ditemui
pada beberapa buku yang secara khusus membahas heat transfe mechanism.
Semakin tinggi U-value suatu jenis bahan, maka kemampuan mereduksi panas
semakin keci atau kemampuan meneruskan panasnya pun semakin besar.
16
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
c.
Perhitungan OTTV
OTTV atau harga overall thermal transfer value suatu permukaan fasade
adalah suatu metode perhitungan yang dilakukan untuk menentukan secara teoritis
besarnya beban panas yang akan masuk melalui suatu konstruksi permukaan
bangunan (dinding dan atap) pada bangunan yang menggunakan peralatan
pendingin (AC).
Perhitungan OTTV oleh sementara ahli bangunan dan pemerintah
beberapa negara di ASEAN (Singapore, Malaysia, Thailand) dianggap cukup
baik untuk mengontrol dan memprediksi besarnya beban panas yang akan terjadi.
Sebagai contoh OTTV untuk bangunan hemat energi bagi beberapa negara
tersebut diatas pernah disepakati bersama sebesar 45 W/m2 bangunan, namun
pada tahun 2001, diturunkan lagi menjadi 30 - 35 W/m2 karena perkembangan
teknologi bahan bangunan seperti bahan dinding dan kaca pada bangunan bukaan
(fenestration) dan pemakaian teritisan {shading device) secara baik dan benar.
Suatu perkembangan yang menarik adalah meningkatnya kesadaran
bersama antara pemilik dan pemakai (pengelolah) gedung, pemerintah dan arsitek
terhadap penghijauan lingkungan dan perkotaan pada negara-negara tersebut di
atas. Konsep seperti menghijaukan kembali setiap permukaan dengan tanaman
hidup seperti pada setiap pengerasan (hard surface) atau pada dak beton dengan
suatu taman tap (roof top garden), secara tidak langsung mengurangi perbedaan
temperatur lingkungan secara signifikan, dan selanjutnya menurunkan perbedaan
temperatur eksternal dengan temperatur internal bangunan. Suatu penelitian yang
dilakukan di Singapura menunjukkan permukaan dak beton yang ditanam dengan
tanaman rumput dan perpohonon rendah mengurangi reduksi panas permukaan
sebesar 25 C - 33°C. Dan temperatur lingkungan pun turun antara 1°C - 2°C
(Nparks, 2002). Effek perbedaan temperatur lingkungan akan menyebabkan
perbedaan tekanan udara yang menyebabkan pergerakan udara (angin). Angin
yang bergerak akan memnerikan efek penyegaran dan juga secara langsung
mengurangi temperatur permukaan (dinding) bangunan yang dilaluinya atau
mengurangi heat transfer permukaan dinding pada bangunan. Sehingga efek tidak
langsung di atas secara langsung mengurangi beban panas yang masuk ke
bangunan dan dapat mencapai sekitar 30% dari situasi sebelumnya.
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
17
Aspek Pengoperasian Peralatan Mekanis: AC
Peralatan mekanis seperti unit AC banyak digunakan sebagai penyelesaian
desain secara aktif, karena metodologi desain secara pasif sudah tidak
memungkinkan lagi karena konstrain tertentu. Fungsi utama unit AC adalah
pengkondisian udara yaitu menjaga kondisi ruang agar tetap nyaman dalam batasbatas sebagai berikut:
temperatur (22°C - 23°C)
kelembaban (60%)
kemurnian (filter) udara (bebas pollutant), menghilangkan bau
pertukaran udara: unfresh indoor air dengan fresh outdoor air.
terjadinya efek pergerakan udara dengan suatu kecepatan rendah (dibawah
0.5 m/s).
Penggunaan unit AC sebagai peralatan mekanis gedung yang menurut pengukuran
adalah pemakai energi listrik terbesar (40% - 60%) sudah menunjukan suatu
kecenderungan
dan
kemapanan.
Sehingga,
keyakinannya
adalah
bahwa
pemakaian AC adalah suatu hal yang mutlak dan tidak dapat terhindarkan. Oleh
karena itu, penghematan dari aspek berikut menjadi sangat tergantung kepada
tingkat efisiensi atau performance system peralatan tersebut secara utuh (set)
didalam memberikan pelayanan dan menjalankan fungsinya. Tingkat efisiensi dari
pengoperasian sistem AC ditentukan antara lain oleh nilai COP (coefficient of
performance) atau nilai EER (energy efficient ratio). Semakin tinggi nilai COP
atau EER, maka semakin tinggi tingkat effisiensi atau hemat energi suatu sistem
AC beroperasi. Harga COP umumnya berkisar antara 2.00 - 6.50. Harga tersebut
sangat tergantung kepada media pendingin yang digunakan pada kondenser dan
dapat dibedakan (diinformasikan) menurut warna label yang tercantum pada
produk AC. Sebagai contoh:
COP rata-rata pendingin udara adalah 3.00
COP rata-rata pendingin air adalah 4.50
Dengan mudah, penghematan energi melalui unit AC ini dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem AC yang menggunakan pendingin air (COP 4.50)
dari pada sistem pendingin udara (COP 3.00). Tingkat konservasi energi yang
IX
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
dapat dicapai antara 30% - 40% dari pemakaian energi untuk sistem AC tersebut.
Namun perlu diingat, bahwa penggunaan sistem pendingin air akan membutuhkan
kesediaan air bersih serta ruang pengolahan air yang cukup besar dibandingkan
dengan pendingin udara yang cukup diletakkan pada daerah terbuka saja
(umumnyadi rooftop).
Pemakaian peralatan mekanis lainnya yang cukup signifikan untuk ditinjau
segi hemat energi-nya adalah sistem penerangan (± 20%) dan pemakaian unit-unit
beban dalam jumlah besar seperti komputer, printer, mesin fotocopy dan pemanas
lainnya yang terdapat di dalam gedung, bisa menjadi pemakai energi listrik
signifikan di dalam bangunan dan perlu diatur management pengoperasiannya.
Selama ini, perkembangan menunjukkan prosentase pemakaian energi dan
penghematan yang dimungkinkan oleh peralatan tersebut umumnya jauh lebih
kecil dari pada sistem pendingin AC, sehingga pembahasan lebih lanjut jarang
dilakukan. Hal tersebut menunjukkan adanya suatu kesempatan untuk diteliti lebih
lanjut.
Aspek Pengoperasian dan Manajemen Gedung
Pemilihan sistem managemen gedung selama umur bangunan mencakup
sistem operasi, servis/ pemeliharaan (maintenance), penggantian (retrofitting) dan
perbaikan (renovation) baik sebaian maupun seluruhnya. Sistem manajemen
gedung menentukan tingkat pemakaian (penghematan) energi dalam bangunan,
terutama mencakup pemakaian energi bagi semua peralatan mekanis yang
memang memiliki umur efektif dan jadwal pemeliharaan dan penggantian spare
parts berkala agar berfungsi optimal. Sebagai contoh:
apabila suatu peralatan AC apabila temperatur kondenser naik (+1°C), maka
kapasitas mesin pendinginan turun (-1.2%) dan konsumsi daya listrik pun naik
(+1%), sehingga EER-nya turun (-2.2%).
apabila temperatur referigeran evaporator turun (-1°C), kapasitas pendingin mesin
turun (-3.6%), konsumsi daya listrik turun (-1.3%), EER pun turun (-2.3%).
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
19
Magnitude temperatur kondenser dan evaporator erat berkaitan dengan service
dan maintenace sistem AC tersebut dan dapat menghindari dari kerusakan lebih
jauh dengan biaya yang lebih besar.
Penerapan Sistem Automasi Gedung
Untuk mengoptimalkan sistem pengoperasian dan distribusi pemakaian
energi seluruh peralatan mekanis (M&E) yang terdapat di dalam gedung seperti:
sistem HVAC, sistem penerangan, sistem transportasi vertikal/ horisontal (lift dan
escalator), sistem plumbing (air bersih/ kotor dan kotoran), distribusi beban listrik,
dan lain lain, secara tepat dan efisien agar penghematan energi dan sinergi
tercapai, maka pemilihan sistem operasi yang terintergrasi secara utuh (total)
menjadi suatu pilihan yang tepat.
Suatu sistem operasi gedung yang terintegrasi dalam satu sistem
manajemen pengendalian terpadu dikenal dengan sistem BMS gedung (building
management system). Tujuan dari sistem manajemen adalah meningkatkan
efisiensi pemakaian beban dan menghilangkan pemakaian energi yang sia-sia
(idle). Agar pengoperasian seluruh sistem M&E dapat berjalan secara automatic
(mandiri) maka pada sistem bangunan dikembangkan suatu sistem BAS (building
automation system), karena dengan sistem manual tidak akan mencapai suatu
kondisi optimum, misalnya pengaturan temperatur dan penerangan interior
dengan sensor sesuai dengan perubahan dinamis beban panas dan kuat penerangan
yang disyaratkan
sehingga
dapat
menghidup-matikan
penerangan
secara
automatis, dan Iain-lain.
Sistem BAS juga dilengkapi dengan suatu sistem monitoring (kontrol)
terintegrasi dengan schedulle maintenance, sehingga waktu servis dapat
ditentukan
sesuai
dengan
kondisi performance
peralatan
mekanis
yang
dioperasikan. Penerapan sistem BMS dan BAS selanjutnya banyak dibahas
sebagai bagian dari sistem bangunan pintar atau intelligent building systems.
20
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
KESIMPULAN
1.
Konsep perencanaan dan perancangan bangunan gedung yang hemat
energi merupakan suatu pemikiran dan kegiatan yang bertanggung jawab
terhadap kelangsungan pemakaian energi dan kelestarian alam yang sangat
penting dan perlu terus diusahakan.
2.
Kegiatan penghematan energi suatu bangunan gedung melibatkan semua
pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung selama umur
bangunan (building life cycle) dan merupakan suatu kegiatan multi
disciplinary tasks. Tidak ada ahli yang lebih penting namun setiap pihak
sesuai keahliannya bekerja sama dengan satu tujuan, yakni menghemat
pemakaian energi gedung.
3.
Kegiatan penghematan energi suatu bangunan meliputi berbagai aspek
yang telah disebutkan di atas. Realisasi dan keberhasilan dari keinginan di
atas sangat tergantung kepada kerjasama semua pihak yang terlibat,
pengetahuan akan
batas-batas
metoda penghematan energi yang diaplikasikan dan
penghematan
yang realitis tanpa
mengorbankan
batas
kenyamanan yang telah di tentukan.
4.
Realisasi dari tindakan hemat energi memerlukan serangkain kegiatan
nyata yang belum tercakup dalam tulisan ini, oleh karena itu kegiatan
seperti energy audit dan sebagainya perlu ditindak lanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Heating, Refrigerating and Air Conditioning Engineers,
Atlanta, ASHRAE Handbook Fundamentals SI edition, 1993
Atkin, Brian (1988), Intelligent Buildings - Application of IT Automation to
High Technology Construction Projects, New York , John Willey & Sons
Harjanto, John Budi, Konservasi Energy Pada Bangunan Modern, Universitas
Katolik Atmajaya Jaya, Jakarta, 2002
Lippsmeier, Gerog, Bangunan Tropis, Jakarta, Erlangga Edisi Kedua, 1997
Arsitektur Bangunan Hemat Energi (Sani)
21
Nparks, NUS, Handbook on Skyrise Greening in Singapore, Singapore, Nparks
and CTBP SDE NUS, 2002
Priatman, Jimmy, Energy Efficient Architecture, Paradigma dan Manifestasi
Arsitektur Hijau, Surabaya, Universitas Petra, 2002
The Development & Building Control Division, Handbook
on Energy
Conservation in Buildings & Building Services, Singapore, PWD, 1979
Soegijanto, Pengaruh Selubung Bangunan
Terhadap Penggunaan
Energi
Dalam Bangunan, Jawa Barat, Institut Teknologi Bandung, 2002
Smith, Peter F, Architecture in a Climate of Change, A guide to Sustainable
Design, Oxford, UK, Architectural Press, 2001
22
Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 1, No. 1, 2004 : 9-22
Download