karakteristik fisiko-kimia agar-agar tepung

advertisement
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Gracilaria verrucosa
Gracilaria merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyta)
dengan anggota kurang lebih 100 jenis, antara lain Gracilaria gigas Harv. dan
Gracilaria verrucosa Huds. Rumput laut G. gigas dan G. verrucosa merupakan
jenis rumput laut penghasil agar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan (Rasyid 2004).
Klasifikasi Gracilaria menurut Anggadiredja et al. (2006) adalah sebagai
berikut:
Divisio
: Rhodophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Bangsa
: Gigartinelas
Suku
: Gracilariaceae
Marga
: Gracilaria
Jenis
: Gracilaria verrucosa
G. verrucosa mempunyai talus berbentuk silindris, permukaan licin,
berwarna kuning coklat atau kuning kehijauan. Percabangan memusat ke pangkal,
berulang-ulang,
berselang-seling
tidak
beraturan.
Cabang-cabang
lateral
memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang sekitar 25 cm dan
diameter talus sekitar 0,2 – 1,5 mm dan jarak antar cabang talus relatif berdekatan
sekitar 3 – 15 mm (Atmadja 1996).
G. verrucosa dapat tumbuh di berbagai kedalaman, namun pada umumnya
pertumbuhan jenis ini lebih baik di tempat dangkal. Disamping itu, sebagian besar
Gracilaria lebih menyukai intensitas cahaya tinggi (Soegiarto et al. 1978).
Gracilaria dapat hidup pada perairan tenang atau di tempat tergenang (kolam atau
tambak), bersubstrat dasar lumpur dan mempunyai toleransi tinggi terhadap
kisaran salinitas. Keistimewaan rumput laut G. verrucosa dapat dibudidayakan di
tambak (Ahda et al. 2005).
G. verrucosa hidup di daerah litoral dan sublitoral, sampai pada batas
kedalaman yang masih dapat ditembus cahaya matahari. Beberapa jenis juga
dapat hidup di perairan keruh, dekat muara sungai. Tumbuhan ini dapat tumbuh
8
pada perairan estuarin dengan kedalaman antara 1-5 m pada saat pasang tinggi
dan ditemukan juga pada dataran terumbu karang (Bold dan Wynne 1978).
Morfologi Gracilaria verrucosa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Gracilaria verrucosa (http://www.niobioinformatics.in/seaweeds)
Menurut Trono dan Gavino (1990), Gracilaria ditemukan pada lokasi
dengan karakteristik perairan tenang, memiliki nilai nutrien tinggi, tempat dangkal
dengan substrat berpasir atau berlumpur. Tempat pembudidayaan dapat di lokasi
tidak bergelombang. Gracilaria memiliki talus mudah rusak atau putus bila
terkena gelombang. Pada daerah tropis, Gracilaria ditemukan pada batu karang
dan dasar perairan berpasir dan bebas dari gelombang. Menurut Marinho dan
Bourret (2003), efek musim dapat mempengaruhi rendemen dan sifat fisik dari
agar.
Rumput laut Gracilaria merupakan kelompok rumput laut agarofit yaitu
rumput laut penghasil agar (Winarno 1996). Gracilaria telah dibudidayakan oleh
nelayan di tambak namun pemanfaatannya belum optimal. Kandungan utama
rumput laut adalah polisakarida sebesar 40-70% bobot kering, bergantung pada
jenis dan keadaan lingkungan tumbuh (Angka dan Suhartono 2000).
9
2.2 Budidaya Gracilaria verrucosa
Budidaya rumput laut untuk menghasilkan pertumbuhan optimum harus
memperhatikan faktor-faktor pendukung yang diperlukan diantaranya adalah
pemakaian jenis rumput laut bermutu, teknik budidaya tepat, pengelolaan tepat,
selain itu dipengaruhi juga oleh faktor fisik, kimia dan biologi. Faktor fisik antara
lain kedalaman, suhu dan kecerahan. Faktor kimia meliputi salinitas, pH, nutrisi
dan faktor biologi yang meliputi persaingan antar talus, predator, dan tumbuhan
pengganggu (Anggadiredja et al. 2002).
Metode penanaman berkaitan dengan penerimaan sinar matahari yang
merupakan faktor utama untuk kehidupan rumput laut. Rumput laut tidak tumbuh
pada kedalaman yang tidak terjangkau sinar matahari. Bobot bibit yang digunakan
dalam budidaya rumput laut berkaitan dengan ruang tumbuh dan persaingan antar
talus dalam mendapatkan nutrisi. Nutrisi dalam proses kehidupan diperoleh dari
media air laut yang diserap secara difusi oleh talus. Lama penanaman rumput laut
berkaitan dengan penyimpanan hasil fotosintesis. Hal ini didukung dengan
pernyataan DKP (2003) bahwa dari hasil fotosintesis rumput laut menghasilkan
beberapa zat penting dan mempunyai nilai ekonomis. Rumput laut merah
(Rhodophyceae) menghasilkan floridin starch, mannoglycerate dan floridosida.
Lebih spesifik lagi dikenal dengan polisakarida berupa agar dan karaginan.
Rumput laut coklat (Phaeophyceae) menghasilkan alginat. Rumput laut hijau
(Chlorophyceae) menghasilkan kanji dan lemak.
Produksi rumput laut selain dipengaruhi oleh syarat tumbuh juga
dipengaruhi oleh pemilihan metode budidaya yang tepat. Metode budidaya
rumput laut berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan dibagi menjadi
tiga cara, yaitu metode dasar, metode lepas dasar, dan metode apung. Metode
apung dapat dimodifikasi dengan tiga sistem yaitu metode apung sistem tali
tunggal, sistem apung jaring dan sistem rakit apung (Aslan 1998).
Sistem dasar dilakukan dengan langsung menebarkan bibit di dasar
perairan dan dibiarkan tumbuh secara alami. Sistem lepas dasar dengan cara
mengikat bibit dengan rafia pada tali plastik yang direntangkan beberapa
sentimeter di atas perairan dengan patok kayu atau bambu. Letak tanaman
diusahakan selalu terendam dalam air. Pada sistem apung, biasanya digunakan
10
rakit bambu yang direntangi tali dan bibit diikat pada tali tersebut. Letak rakit dari
permukaan air diatur dengan pemberat sehingga rumput laut tidak muncul dari
permukaan air pada saat tanaman menjadi besar (Kadi dan Atmadja 1988).
Pada sistem apung, biasanya digunakan rakit bambu yang direntangi tali
rafia pada tali plastik yang direntangkan beberapa centimeter di atas perairan
dengan patok kayu dan bambu. Letak tanaman diusahakan selalu terendam air.
Keuntungan pemeliharaan metode ini antara lain adalah pemeliharaan mudah
dilakukan, gangguan hama sedikit, pemeliharaan lokasi lebih fleksibel dan
intensitas cahaya matahari lebih besar (Ahda et al. 2005). Sistem dasar biasanya
dilakukan pada perairan yang tenang (tambak) dan umumnya pada perairan yang
tidak terlalu dalam, sehingga cahaya matahari mampu menembus perairan.
Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut seperti halnya biota perairan
lainnya sangat dipengaruhi oleh toleransi fisiologi dari biota tersebut untuk
beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan, seperti substrat, salinitas,
temperatur, intensitas cahaya, dan nutrisi. Secara umum, rumput laut dijumpai
tumbuh di perairan yang dangkal dengan kondisi perairan berpasir, sedikit
lumpur, atau campuran keduanya (Anggadiredja et al. 2002).
Faktor-faktor dalam budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang
memenuhi persyaratan budidaya, penyediaan bibit yang baik dan cara pembibitan,
metode budidaya dan perawatan, panen, penyimpanan, dan pemetaan. Bibit
rumput laut yang digunakan harus mempunyai syarat-syarat pertumbuhan. Hal-hal
dalam memilih bibit yang baik adalah fisik yang segar, talus kecil dan agak keras,
bercabang banyak, rimbun dan berujung runcing, bibit berwarna cerah dan harus
seragam (DKP 2008).
(a) Suhu
Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
rumput laut. Suhu mempunyai pengaruh terhadap kecepatan fotosintesis sampai
suatu titik tertentu. Kecepatan fotosintesis akan meningkat dengan peningkatan
temperatur (Fiter dan Hay 1992). Kemampuan adaptasi alga (Gracilaria)
sangatlah bervariasi tergantung pada lingkungan dimana tumbuhan tersebut hidup.
Chen dan Shang (1976) dalam Sjafrie (1990) menyatakan bahwa temperatur
11
optimum untuk budidaya Gracilaria adalah 20-25 oC, sedangkan menurut Kadi
dan Atmadja (1988) suhu air untuk budidaya Gracilaria di Indonesia berkisar
antara 20-28 oC.
(b) Salinitas dan pH
Salinitas merupakan faktor lingkungan penting bagi kehidupan organisme
perairan. Setiap organisme memiliki toleransi berbeda terhadap kisaran salinitas.
Chen dan Shang (1976) dalam Sjafrie (1990) menyatakan bahwa kisaran salinitas
yang baik untuk budidaya Gracilaria adalah 15–20 o/oo,. Kadi dan Atmadja (1988)
menyatakan bahwa kisaran nilai pH yang baik untuk usaha budidaya
Gracilaria sp. di Indonesia adalah antara 8-8,5.
Menurut Trono dan Gavino (1990), Gracilaria sp. merupakan spesies
euryhaline dan dapat tumbuh pada perairan payau dengan kisaran salinitas luas.
Salinitas optimum berkisar antara 15 sampai 24 ppt. Peningkatan salinitas dapat
terjadi selama musim panas dengan nilai hingga 35 dan menurun sampai 8 ppt
selama musim hujan.
(c) Unsur hara
Unsur hara atau nutrien merupakan suatu elemen berfungsi dalam
kehidupan organisme. Unsur hara perairan mempengaruhi proses reproduksi,
perkembangan, morfologi dan distribusi rumput laut. Unsur hara perairan berasal
dari perairan itu sendiri, antara lain akibat dekomposisi sisa pakan, zat hara yang
masuk ke perairan melalui aliran air permukaan tanah (run off), arus, erosi tanah,
dan limbah sekitar (Watson 1978). Zat hara anorganik utama yang diperlukan
fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak adalah nitrogen dalam bentuk
nitrat (NO3) dan fosfor dalam bentuk fosfat (PO4) (Nybakken 1988).
Fosfor (P) merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama
berfungsi dalam transformasi energi metabolik. Fosfor tidak dapat digantikan oleh
unsur lain. Kandungan fosfor dalam sel alga mempengaruhi laju serapan fosfat,
yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel.
Beberapa jenis alga mampu menyerap fosfat melebihi kebutuhannya dan mampu
menyerap fosfat pada konsentrasi sangat rendah (Kuhl 1974). Senyawa fosfat
12
merupakan penyusun fosfolipida penting sebagai penyusun membran dan terdapat
dalam jumlah besar. Energi yang dibebaskan dari hidrolisis pirofosfat dan
berbagai ikatan fosfat organik digunakan untuk mengendalikan berbagai reaksi
kimia (Noogle 1986 dalam Patadjal 1993).
Nitrogen adalah salah satu unsur utama penyusun sel organisme yaitu
dalam proses pembentukan protoplasma. Nitrogen seringkali berada dalam jumlah
terbatas di perairan, terutama di daerah beriklim tropis. Kekurangan nitrogen
dalam perairan dapat menghambat pertumbuhan tanaman akuatik, walaupun unsur
hara lain berada dalam jumlah melimpah (Hunter 1990 dalam Patadjal 1993).
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan
organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu
unsur utama pembentuk protein. Di perairan nitrogen ditemukan dalam bentuk
amonia, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lain (Wardoyo
1981). Nitrat adalah nitrogen utama di perairan alami dan merupakan unsur hara
utama bagi pertumbuhan alga (Effendi 2000).
Pada tumbuhan tingkat rendah (rumput laut) penyerapan air dan zat hara
yang terlarut di dalamnya dilakukan melalui seluruh bagian tubuh dengan cara
difusi. Telah diketahui bahwa isi sel hidup adalah protoplasma yang merupakan
satu larutan. Tubuh tumbuhan dibangun oleh sel-sel tumbuhan yang setiap selnya
memiliki dinding sel dari selulosa. Dinding tersebut umumnya bersifat permeabel
sehingga dapat dilewati air dan zat-zat telarut di dalamnya. Dinding sel alga
terdiri dari selulose dan agar atau karagen (Lobban dan Harrison 1994).
Ketersediaan unsur hara ke tanaman, dapat juga terjadi karena melalui
mekanisme perbedaan konsentrasi. Konsentrasi unsur hara pada tanaman lebih
rendah dibandingkan dengan konsentrasi hara pada lingkungan. Peristiwa
pergerakan unsur hara terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi unsur hara
tersebut dikenal dengan mekanisme penyediaan hara secara difusi. Proses difusi
ini dapat berlangsung karena konsentrasi beberapa ion dalam sitosol
dipertahankan tetap rendah, karena begitu ion-ion tersebut masuk kedalam sitosol
akan segera dikonversi kebentuk lain, misalnya NO3ˉ segera direduksi menjadi
NH4ˉ, selanjutnya digunakan dalam sintesis asam amino dan protein. H2PO4ˉ
dikonversi menjadi gula fosfat, nukleotida, RNA, atau DNA. Dengan demikian,
13
konsentrasi ketiga anion ini di dalam sitosol cenderung tetap rendah dan
menyebabkan proses difusi dapat berlangsung (Lobban dan Harrison 1994).
(d) Kecerahan dan kedalaman
Kecerahan perairan sangat menentukan jumlah intensitas sinar matahari
masuk ke suatu perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan
sangat ditentukan oleh kekeruhan perairan, kandungan bahan-bahan organik
tersuspensi, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus (Anggadiredja
et al. 2006).
Air keruh dapat menghalangi cahaya matahari ke dalam air sehingga
proses fotosintesis menjadi terganggu. Disamping itu, kotoran dapat menutupi
permukaan talus dan menyebabkan talus busuk dan patah. Secara keseluruhan
kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Ahda
et al. 2005).
Cahaya matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintresis.
Gracilaria sebagai tumbuhan berklorofil, maka fotosintesis merupakan proses
utama penentu laju pertumbuhan. Hal ini dikarenakan fotosintesis merupakan
proses pengubahan zat anorganik menjadi zat organik dengan bantuan sinar
matahari, kemudian digunakan untuk tumbuh dan berkembang secara normal
(Rifai 2002).
2.3 Panen
Kualitas rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh teknik budidaya tetapi
juga dipengaruhi oleh umur tanam, cara panen, dan keadaan cuaca pada saat
panen. Rumput laut siap dipanen pada umur 1,5-2 bulan setelah tanam. Apabila
panen dilakukan kurang dari umur tersebut maka menghasilkan rumput laut
berkualitas rendah. Hal ini dikarenakan kandungan agar masih rendah dan
kekuatan gel (gel strength) juga rendah, tetapi memiliki kadar air tinggi. Kondisi
seperti ini tidak dikendaki oleh industri pengolah rumput laut sehingga akan
dihargai lebih rendah, atau bahkan tidak dibeli (Anggadiredja et al. 2006).
Tanaman dapat dipanen setelah mencapai umur 6–8 minggu setelah tanam
dengan bobot ikatan sekitar 600 g dari bobot awal sebesar 100 g. Cara memanen
14
rumput laut adalah dengan mengangkat seluruh tanaman ke darat, kemudian tali
rafia pengikat rumput laut dipotong. Waktu pemanenan bervariasi untuk setiap
lokasi penanaman berbeda. Namun, secara umum panen dilakukan pada usia satu
bulan, perbandingan bobot basah dan kering berkisar 8 : 1. Apabila rumput laut
dipanen pada usia dua bulan, perbandingan bobot basah dan bobot kering adalah
6 : 1 (Indriani dan Sumiarsih 2004). Pada Tabel 1 tercantum standar mutu rumput
laut kering untuk Gracilaria.
Tabel 1. Standar mutu Gracilaria kering (SNI No. 01-2690.1998)
Karakteristik
Syarat (%)
- Kadar air
maksimal 20
- Benda asing*
maksimal 5
- Bau
Spesifik rumput laut
* garam, pasir, karang dan kayu
Sumber: BSN (1998)
2.4 Agar
Agar merupakan salah satu jenis gum polisakarida yang telah lama dikenal
dan merupakan koloid hidrofilik hasil ekstrak alga laut dari Kelas Rhodopyceae
(Peterson dan Johnson 1978). Struktur agar terdiri atas dua komponen utama,
yaitu agarosa dan agaropektin dalam jumlah bervariasi (Glicksman 1983).
Agarosa merupakan komponen pembentuk gel netral dan tidak mengandung sulfat
(Furia 1975). Agarosa terdiri dari pengulangan unit-unit agarobiosa tersusun dari
ikatan ß-1,4 -3,6-anhidro-L-galaktosa dan ikatanα-1,3-D-galaktosa (Peterson dan
Johnson 1978). Kandungan agar pada Gracilaria tiga kali lebih banyak daripada
Gelidium (Chapman dan Chapman1980). Rumus bangun agar dapat dilihat pada
Gambar 3.
15
Gambar 3. Rumus bangun agar (Sumber: Aslan 1998)
Satari (2001) menyatakan bahwa agar merupakan polisakarida yang
disusun dari dua fraksi utama yaitu agarosa dan agaropektin. Agaropektin
mengandung muatan sulfat. Rasio antara agarosa dan agaropektin dalam agar
berkisar antara 50-90%. Agarosa umumnya bebas sulfat dan terdiri dari β-1,3-Dgalaktosa dan α,1-4,3-6-anhidrogalaktosa. Agaropektin kompleks merupakan
campuran beberapa polisakarida mengandung 3-10% sulfat. Jumlah asam
glukoronat tergantung spesies penghasilnya. Seringkali di dalam agaropektin
terdapat
rangkaian
agarosa dan
3,6-anhidro-L-galaktosa digantikan oleh
L-galaktosa sulfat.
2.4.1 Sifat agar
Agar memiliki sifat khas yaitu tidak larut dalam air dingin, namun larut
dalam air panas (Aslan 1998). Sifat menonjol dari agar adalah sifat gelasi
(kemampuan membentuk gel), viskositas (kekentalan), melting point (suhu
mencairnya gel) yang sangat menguntungkan dalam dunia industri pangan maupun
nonpangan (Senior 2004). Satari (2001) menyatakan bahwa agar seberat 1,5 g
dalam 100 ml air akan membentuk gel stabil pada suhu 32-39 oC dan tidak meleleh
sampai suhu di bawah 85 oC. Dalam keadaan kering agar sangat stabil, sedangkan
pada suhu tinggi dan pH rendah akan mengalami degradasi.
Bertambahnya umur akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidro-Lgalaktosa, hal ini sesuai dengan pernyataan Friedlander dan Zelokovitch (1984),
bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan banyaknya kandungan
3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya.
Menurut Fritz (1987) hasil fotosintesis dari Rhodophyceae merupakan senyawa
polisakarida. Rumput laut yang memiliki bobot awal lebih kecil, karena persaingan
16
relatif kecil, cenderung tumbuh lebih cepat dan mengandung lebih banyak
senyawa polisakarida.
Agar merupakan polisakarida yang terakumulasi dalam dinding sel rumput
laut penghasil agar atau agarofit, oleh karenanya agar yang terdapat dalam rumput
laut dipengaruhi oleh musim. Semakin tua umur panen maka kandungan
polisakarida yang dihasilkan semakin banyak sehingga karaginannya juga
semakin tinggi (Syamsuar 2006). Konsentrasi sulfat dalam agar dapat dipengaruhi
oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen.
Peningkatan umur panen dapat memberikan respon terhadap kandungan sulfat
(Suryaningrum 1988).
Viskositas agar pada suhu 45 oC, pH 4,5-9 dengan konsentrasi larutan 1%
adalah 2-10 Cp. Gugus yang menyebabkan pembentukan gel pada agar adalah
3,6-anhidro-L-galaktosa yang dapat membentuk ikatan heliks. Sifat lain yang
sangat berpengaruh dalam pemanfaatan agar adalah viskositas yang tergantung
pada
agarofit
penghasilnya
(Yunizal
2002).
Menurut
Indriani
dan
Sumiarsih (2004), fungsi utama agar adalah sebagai bahan pemantap, bahan
pembuat emulsi, bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pembuat gel.
Kelebihan ini digunakan dalam beberapa industri seperti industri makanan,
farmasi, kosmetik, tekstil, kulit, dan sebagai media pertumbuhan mikroba.
Pemanfaatan agar dalam pembuatan makanan antara lain berfungsi sebagai
thickener dan stabilizer.
Dalam keadaan masih segar, rumput laut mempunyai kandungan air 65-90%
dan rata-rata sekitar 83%. Perubahan musim dan faktor-faktor lain tidak
berpengaruh terhadap kandungan air. Kadar abu rumput laut berkisar antara 1540% berat kering dan sangat penting sebagai sumber mineral bagi keperluan gizi
manusia. Talus muda mengandung sedikit mineral, dibanding talus tua
(Yunizal 2002).
2.4.2 Pembentukan gel
Karakteristik pembentukan gel disebabkan oleh tiga buah atom hidrogen
pada residu 3,6-anhidro-L-galaktosa yang memaksa molekul membentuk struktur
heliks.
Interaksi
antar
struktur
heliks
menyebabkan
terbentuknya
gel.
17
Penggantian senyawa L-galaktosa sulfat oleh senyawa 3,6-anhidro-L-galaktosa
menyebabkan kekejangan (kekakuan) dalam struktur heliks dan pada saat ini gel
mulai dibentuk. Jika grup sulfat dikonversi menjadi senyawa 3,6-anhidro-Lgalaktosa, maka kekuatan gel akan lebih tinggi (Glicksman 1983).
Menurut Araki (1966) dalam Marinho-Soriano (2001), sifat pembentukan
gel pada agar digunakan dalam pharmaceutical, kosmetik, dan industri makanan.
Agar merupakan campuran dari sifat dasar pada polimer netral agarosa, piruvat
agarosa, dan sulfat galaktan. Marinho-Soriano (2001) menyatakan bahwa muatan
residu pada rantai polisakarida sebagian besar adalah ester sulfat dan gugus ketal
piruvat. Menurut Orosco et al. (1992), pada umumnya agar yang diperoleh dari
Gracilaria memiliki kekuatan gel rendah, bagaimanapun karakter ini perlu
diperbaiki. Agar memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, semakin tinggi
kekuatan gel maka akan semakin tinggi harga di pasaran. Agar dengan kekuatan
gel 800-900 gcm memiliki harga Rp. 90.000 dan kekuatan gel 1000-1200 gcm
memiliki harga Rp. 200.000 (www.twenga.co.uk 2010).
2.5 Viskositas
Viskositas merupakan salah satu sifat agar selain kekuatan gel dan
beberapa sifat yang lain. Viskositas pada alga merupakan daya aliran molekul
dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara
mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid
(Glicksman 1983).
Agar merupakan suatu jenis gum yaitu senyawa polimer yang dapat
dilarutkan ke dalam air sehingga memberikan suatu larutan atau suspensi kental.
Agar bersifat tidak larut dalam air dingin tetapi larut dalam air mendidih.
Viskositas larutan agar dipengaruhi oleh suhu, pH, dan bahan baku. Jika gel sudah
terbentuk, viskositas pada suhu konstan akan meningkat dengan peningkatan umur
gel (Yunizal 2002).
2.6 Ekstraksi agar
Rumput laut yang telah dibersihkan dari kotoran kemudian dikeringkan di
bawah sinar matahari. Setelah rumput laut kering kemudian dicuci dengan
18
menggunakan air tawar mengalir untuk membersihkan butiran garam yang
menempel akibat adanya penguapan air laut (Anggadiredja et al. 2006).
Dilakukan perendaman menggunakan kapur Ca(OH2) sebanyak 0,25% selama
4-6 jam, dengan perendaman ini dimaksudkan untuk menghasilkan rumput laut
putih bersih. Setelah dilakukan perendaman, rumput laut yang telah putih bersih
dicuci kembali dengan air tawar untuk menghilangkan bau kapur, kemudian
dikeringkan kembali (Winarno 1996). Pemucatan dengan melakukan perendaman
rumput laut dalam larutan alkali (basa) bertujuan untuk mengkatalis pelepasan
grup 6-sulfat dari unit galaktopiranosa yang berikatan 1,4 dengan membentuk
residu 3,6-anhidro-L-galaktosa, sehingga dapat mempercepat proses kekejangan
struktur heliks dan dapat memberikan kekuatan gel yang lebih tinggi (Ress 1971
dalam Yunizal 2002).
Perendaman rumput laut dalam larutan asam lebih baik dibanding dengan
perendaman rumput laut dalam larutan alkali karena dapat mempercepat waktu
ekstraksi, meningkatkan rendemen agar dan meningkatkan kekuatan gel agar.
Perendaman rumput laut dalam larutan asam bertujuan untuk mempersiapkan
pemisahan agar dari substansi nonagar (Matsuhashi 1977 dalam Yunizal 2002).
Menurut Marinho dan Bourret (2003), efek musim dapat mempengaruhi
rendemen dan sifat fisik dari agar.
Dinding sel perlu dipecah dengan ditambahkan asam untuk memudahkan
ekstraksi. Bila tidak ada asam sulfat dapat digunakan asam asetat, asam sitrat,
buah asam atau daun asam (Indriani dan Sumiarsih 2004). Di Australia, ekstraksi
agar dilakukan dengan menggunakan asam fosfat. Setelah dilakukan perendaman
kemudian perlu dilakukan pencucian dengan cara rumput laut direndam dalam air
bersih selama 15 menit, hal ini dilakukan mengingat asam sulfat cukup berbahaya
(Indriani dan Sumiarsih 2004).
Pemasakan dilakukan pada suhu 90 -100oC, pH 5-6 yang dapat diatur
dengan menambahkan asam cuka 1%. Selain untuk mempertahankan pH, asam
cuka juga dapat befungsi sebagai stabilizer agent, sehingga diperoleh tekstur
molekul yang konsisten (Sadori 1992). Bila pH terlalu tinggi, maka gel dapat
membeku dengan baik dan sebaliknya apabila pH larutan terlalu rendah, gel akan
mudah terhidrolisis (Winarno 1996). Menurut Matsuhasi (1977) dalam
19
Yunizal (2002), proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada pH netral atau tanpa
penambahan asam yang direbus pada suhu 100oC selama 1-4 jam. Biasanya
ekstraksi pada pH netral ini dilakukan hanya untuk rumput laut yang telah
mengalami perendaman dalam larutan asam.
Agar yang telah dimasak disaring, kemudian cairan yang keluar
ditampung dan didinginkan selama 7 jam. Agar yang telah beku dihancurkan dan
dipres dengan kain.
Hasilnya berupa lembaran-lembaran kemudian diangin-
anginkan. Lembaran-lembaran kering dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam
alat penggiling. Hasil penggilingan adalah agar tepung (Indriani dan
Sumiarsih 2004).
2.7 Manfaat Agar
Agar di Indonesia dikenal dalam bentuk lembaran, batangan maupun
tepung. Pada mulanya agar hanya digunakan sebagai bahanmakanan dan obatobatan. Dengan kemajuan teknologi yang dicapai dewasa ini, penggunaan agar
semakin luas. Sampai saat ini agar digunakan untuk keperluan laboratorium
sebagai media kulturmikroba, dalam industri farmasi sebagai bahan peluntur,
dalam industri kosmetik sebagai bahan dasar pembuat salep, krim, sabun dan
lotion. Disamping itu agar juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam
industri kertas, tekstil, odol. Dalam industri pangan, agar banyak dijumpai dalam
berbagai bentuk, baik sebagai produk utama maupun produk tambahan bagi
makanan lain (food additive) (Yunizal 2002).
Di bidang kesehatan, khususnya ketika Perang Dunia II, agar digunakan
untuk membersihkan luka. Hal ini disebabkan dalam agar terdapat komponen
yang dapat menghentikan penggumpalan darah, sehingga luka mudah untuk
dibersihkan. Pada jaman dahulu, baik Jepang maupun Cina, agar digunakan
sebagai obat sakit perut (Winarno 1996).
2.8 Standar Mutu Agar
Agar yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu industri
Indonesia. Fungsi utama agar di industri adalah adalah sebagai bahan pemantap,
20
bahan pengemulsi, bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pembuat gel.
Tabel 2. memperlihatkan standar mutu agar tepung.
Tabel 2. Standar mutu agar tepung rumput laut Gracilaria
(SNI No. 01-2802-1995)
No
1
2
3
4
5
6
Kriteria uji
Organoleptik (kenampakan, baudan
konsistensi)
Air
Kelarutan (lolos ayakan 80 mesh)
Abu tak larut asam
Uji pati
Absorbsi air
7
Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb)
7.2 Tembaga (Cu)
7.3 Seng (Zn)
7.4 Timah (Sn)
8
Raksa (Hg)
9
Cemaran arsen
Sumber: BSN (1995)
Satuan
-
Persyaratan
Normal
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
Maksimal 17
Maksimal 80
Maksimal 0,5
Negatif
Minimal 5 x bobot
agar
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maksimal 2,0
Maksimal 30,0
Maksimal 40,0
Maksimal 40,0
Maksimal 0,03
Maksimal 1,0
Download