Politik luar negeri (foreign policy)

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hubungan Bilateral
Dalam kerangka hubungan internasional, terdapat interaksi dan hubungan
antar negara baik yang dilakukan oleh aktor-aktor negara maupun non-negara.
Bilamana suatu negara berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk
memenuhi kebutuhannya hanya dengan mengandalkan sumber daya sendiri, maka
berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain yang secara sumber daya
sangat lebih, sangatlah penting manfaatnya dalam hal tukar menukar barang
maupun jasa serta sumber daya dengan prinsip saling menopang satu sama lain.
Hubungan yang dibangun terdiri dari berbagai bidang tergantung kebutuhan kedua
negara bersangkutan. Misalnya, hubungan di bidang perpolitikan, perdagangan,
kebudayaan, pendidikan dan pertahanan-keamanan.
Dalam interaksi antar negara terdapat hubungan pengaruh dan respon.
Pengaruh dapat langsung ditujukan pada sasaran, tetapi dapat juga merupakan
limpahan dari suatu tindakan tertentu. Apapun alasannya, negara yang menjadi
sasaran pengaruh yang langsung maupun tidak langsung, harus menentukan sikap
melalui respon, manifestasi dalam hubungan dengan negara lain untuk
mempengaruhi atau memaksa pemerintah negara lainnya agar menerima
keinginan politiknya.1
Bentuk-bentuk interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya pihak
yang melakukan interaksi, intensitas interaksi serta pola interaksi yang terbentuk.
Dalam hubungan internasional, interaksi antar aktor dapat dikenali karena
1
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Op.Cit, hal. 41
29
intensitas keberulangannya sehingga membentuk suatu pola tertentu. Secara
umum bentuk reaksi dari suatu negara terhadap negara lain dapat berupa
akomodasi (accommodate), mengabaikan (ignore), berpura-pura seolah-olah
informasi/pesan dari negara lain belum diterima (pretend), mengulur-ngulur
waktu (procastinate), menawar (bargain), dan menolak (resist) aksi dari negara
lain.2
Bentuk-bentuk interaksi berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan
hubungan antara lain dibedakan menjadi hubungan bilateral, trilateral, regional,
dan multilateral internasional. Adapun yang dimaksud dengan hubungan bilateral
adalah
keadaan
yang
menggambarkan
adanya
hubungan
yang
saling
mempengaruhi atau terjadinya hubungan timbal balik antar dua pihak. Pola-pola
yang terbentuk dari proses interaksi, dilihat dari kecenderungan sikap dan tujuan
pihak-pihak yang melakukan hubungan timbal balik tersebut dibedakan menjadi
pola kerja sama, persaingan dan konflik.
Rangkaian pola hubungan aksi reaksi ini meliputi proses sebagai berikut.
1. Rangsangan atau kebijakan aktual dari negara yang memprakarsai.
2. Persepsi dari rangsangan tersebut oleh pembuat keputusan di negara penerima.
3. Respon atau aksi balik dari negara penerima.
4. Persepsi atau respon oleh pembuat keputusan dari negara pemrakarsa.
Di tengah arus globalisasi yang berhasil mendobrak tabu kultural dan sekat
geografis, sangat memungkinkan untuk terjadinya hubungan antar negara secara
luas. Dalam hubungan tersebut, tidak hanya antara suatu negara dengan negara
2
Ibid, hal. 42
30
lain yang secara geografis berdekatan, tetapi juga dengan negara-negara lain yang
berjauhan karena tingkat urgensitas kebutuhan yang memerlukan akses lintas
negara. Apalagi kemajuan di bidang teknologi komunikasi, informasi dan
transportasi di abad modern ini sangat pesat, sehingga hubungan yang dibangun
menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.
Dalam mempraksiskan hubungan bilateral, diperlukan saluran politik luar
negeri sebagai instrumen politik untuk mencapai kepentingan negara yang
bersangkutan. Bidang ekonomi merupakan salah satu sektor penting dalam
konteks hubungan bilateral sebagai instrumen politik luar negeri. Realitas
ketergantungan di bidang ekonomi berimplikasi terhadap keharusan adanya kerja
sama ekonomi dalam kerangka hubungan perdagangan bilateral. Dalam hal ini,
relasi antara ekonomi dan politik bisa dilihat dalam konteks kebijakan politik
yang bisa mempengaruhi interaksi ekonomi maupun sebaliknya.
Instrumen perdagangan dalam politik luar negeri yang biasanya dilakukan
dengan tiga maksud, yaitu: a. Mencapai sasaran luar negeri dengan
mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan
ekonomi, atau melakukan ancaman menerapkan sanksi ekonomi; b. Meningkatkan
kapabilitas negara, atau meniadakan potensi kapabilitas negara lawan; dan c.
Menciptakan satelit ekonomi (yaitu, dengan jaminan pemasaran dan sumber
persediaan) atau membantu mempertahankan ketaatan politik negara-negara
satelit atau menciptakan “ruang pengaruh” dengan membentuk hubungan
ketergantungan ekonomi.
31
Dalam konteks hubungan perdagangan bilateral, suatu negara berbasis
pada keunggulan komparatif yang dimiliki. Seorang Ilmuwan yang melakukan
studi seperti itu, yaitu I.J. Becket melaporkan sebagai berikut:
“Tidak diragukan lagi bahwa teori paling lama mengenai perdagangan
internasional adalah mengenai keunggulan komparatif (comparative
advantage) yang pertama kali diajukan oleh David Ricardo pada awal
abad 19. Melalui demonstrasi aritmetik yang jelas, Ricardo
menunjukkan bahwa walaupun satu negara bisa memproduksi barangbarang dengan lebih ekonomis (dalam pengetian waktu kerja) daripada
barang-barang negara lain, masih ada kemungkinan untuk memperoleh
keuntungan dari perdagangan kalau negara yang kalah unggul
(disadvantaged) mempertukarkan barang dimana ia memiliki
keunggulan komparatif…”3
Berkaitan dengan hal itu juga, J.S.Mill beranggapan bahwa suatu negara
akan mengkhususkan diri pada ekspor barang tertentu bila negara itu memiliki
keunggulan komparatif terbesar dan akan impor barang tertentu bila negara
tersebut memiliki kerugian komparatif atau keunggulan komparatif terendah.4Di
dalam perdagangan internasional, dikatakan bahwa suatu negara melakukan
perdagangan internasional lebih disebabkan oleh adanya comparative advantage.
David Ricardo melalui teori comparative advantage menjelaskan bahwa kedua
negara akan melakukan melakukan perdagangan dengan memproduksi barang
yang paling efisien diproduksi oleh negara tersebut. Dalam tataran praktis,
perdagangan internasional sering dikaitkan dengan kegiatan ekspor dan impor.
Dalam perdagangan internasional biasanya sering dihadapkan oleh berbagai
kendala seperti tarif, kuota, dan jenis hambatan lainnya. Dari pemikiran David
Ricardo dan J.S. Mill tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk suatu negara
Mohtar Mas’oed, Op.cit, hal. 11-12
Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Bogor: Ghalia Indonesia,
2004, hal.57
3
4
32
yang akan dipasarkan harus memiliki diferensiasi, spesialisasi dan keunikan
tertentu yang tidak dimiliki negara lain. Dengan demikian, diharapkan brand
image produk tersebut bisa menjadi alat untuk menaikkan posisi tawar dalam
proses transaksi perdagangan bilateral yang berorientasi pada keuntungan yang
signifikan.
Hubungan antar negara-negara diatur oleh sifat dari negara-negara itu sendiri
maupun oleh masyarakat internasional.5 Dalam hal ini, negara sebagai organisasi formal
suatu bangsa memiliki otoritas untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain
sesuai aturan hukum dan kultur politik suatu negara. Negara sebagai bagian dari
masyarakat internasional, dalam hal penyelenggaraan hubungan antar negara harus
memperhatikan tata krama politik internasional.
Dalam interaksi antar negara-negara tidak terdapat pemisahan yang jelas antar
sahabat dan musuh, antara bujukan dan paksaan. Dalam banyak hal, hubungan mencakup
unsur-unsur yang beragam-ragam bahkan yang bertentangan-ancaman pemakaian sekalisekali menyelinap ke hubungan yang sangat bersahabat sekalipun, dan bahkan dua lawan
ideologi yang bernafsu bisa berkompromi dalam hal perdagangan.6 Dalam hubungan
antar negara, kadang-kadang kepentingan pragmatis melampau hal-hal yang normatif
bahkan ideologis. Tetapi tidak berarti bahwa negara harus bertindak di luar norma yang
ada. Fleksibelitas dalam memaknai norma suatu negara menjadi penting, agar
kepentingan bangsa dan negara dalam berhubungan dengan negara lain tercapai.
Garis pemisah antara urusan-urusan dalam negeri dan urusan-urusan luar negeri
makin lama makin kabur, dan hubungan internasional dapat terpengaruh oleh, yang
menurut bentuk sebenarnya, benar-benar urusan domestik, seperti politik ekonomi, bila
dilaksanakan oleh negara-negara berkekuasaan besar, dapat menghalangi perdagangan
5
6
J. Frankel, Hubungan Internasional, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hal. 89
Ibid, hal. 120
33
atau aliran uang negara-negara kecil yang tergantung pada perdagangan tersebut. Namun
bukan tidak realistis untuk berkosentrasi pada bentuk interaksi langsung antar negara
untuk alasan yang sederhana bahwa hal-hal dalam negeri dengan komponen internasional
yang cukup kuat cenderung akan segera dibahas secara internasional.7
Hubungan antar negara memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam
memperluas jaringan dengan berbagai negara-negara terkait dalam struktur internasional.
Independensi suatu negara sangat penting, tetapi tidak berarti harus mengisolasi dan
memarjinalkan diri dari pergaulan internasional. Jika suatu negara dihadapkan dengan
masalah domestiknya, maka secara otomatis negara yang bersangkutan membutuhkan
bantuan dan dukungan dari negara-negara lain melalui instrumen hubungan bilateral
maupun diplomasi di tingkat forum-forum internasional.
Realisasi hubungan bilateral dalam konteks politik negara diwujudkan melalui
saluran hubungan diplomatik sebagai bentuk hubungan formal antar kedua negara.
Hubungan diplomatik merupakan salah satu cara yang digunakan dalam hubungan
internasional dengan memakai metode diplomasi atau negosiasi.8 Bagi negara manapun
tujuan utama diplomasinya adalah pengamanan kebebasan politik dan integritas
teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat,
memelihara hubungan erat dengan negara-negara yang sehaluan dan menetralisisr negara
yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina dan sahabat-sahabat baru diperoleh melalui
negosiasi yang bermanfaat. Ini akan lebih mudah apabila terdapat kesamaan
kepentingan.9
7
Ibid, hal. 120
M. Tasrief, Hukum Diplomatik (Teori dan Prakteknya), Surabaya: CV. Al-Ihsan, 1988, hal. 14
9
S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hal. 6
8
34
Bilateralisme mengacu pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua
negara. Sampai saat ini, kebanyakan diplomasi internasional dilakukan secara bilateral.10
Sesuai dengan perkembangan negara-negara dan bertambahnya jumlah negara-negara
yang merdeka sekarang ini, maka diperlukan perwakilan diplomatik yang permanen dan
merupakan suatu hal yang biasa dalam hubungan internasional. Perwakilan diplomatik
merupakan representasi pemerintah suatu negara di luar negeri yang sudah menjalin
hubungan diplomatik.
Selanjutnya ternyata ada kaitan yang erat antara pembukaan hubungan diplomatik
dengan suatu negara dan pengakuan terhadap negara tersebut atau pemerintahnya. Karena
hukum internasional tidak berisikan kewajiban hukum untuk mengakui suatu negara,
maka negara tersebut tidak dapat dipaksa untuk menerima wakil-wakil dari negara yang
tidak diakuinya. Penolakan suatu negara untuk menolak hubungan diplomatik dengan
alasan apapun terhadap negara lain merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa terjadi
dalam praktek.11
Misalnya dalam kasus hubungan unik antara Indonesia-Israel. Kita menyadari baik
secara de facta maupun de jure Indonesia tidak pernah mengakui eksistensi negeri Zionis
Israel tersebut. Oleh karena itu secara resmi Indonesia tidak pernah bersedia berhubungan
langsung dengan Israel. Sebabnya jelas antara kedua negara tidak saling mengakui. Pada
era pemerintahan Gus Dur (2000-2001), pernah dicobakan untuk membuka hubungan
resmi dengan Israel. Tetapi rakyat Indonesia, bukannya mau menerima, tetapi justru
marah karena sikap buruk Zionis terhadap rakyat dan pemerintah Palestinalah yang
menjadi tolak ukur bersedia tidaknya rakyat Indonesia yang sebagian besar Muslim
bersahabat dengan negara Zionis tersebut. Meskipun demikian, dalam praktek hubungan
internasional, dalam berbagai forum dunia terutama yang bukan bersifat politis, terlalu
10
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal.
85
11
Syahmin, Ak, Op.cit, hal. 47
35
sering wakil/delegasi Indonesia berhubungan dengan wakil-wakil dari Israel, misalnya
dalam arena Olahraga tingkat olimpiade di Athena, Korea, Jepang, dan lain-lain arena,
termasuk hubungan perdagangan melalui negara ketiga.12
B. Politik Luar Negeri
Secara umum politik luar negeri merupakan seperangkat formula nilai,
sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan
kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.13 Politik luar negeri
telah mempunyai beberapa definisi antara lain sebagai pengejewantahan
kepentingan nasional suatu negara terhadap negara lain.14 Kepentingan nasional
merupakan keseluruhan nilai yang hendak diperjuangkan atau dipertahankan di
forum internasional. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa kepentingan nasional
merupakan kunci dalam politik luar negeri.
Politik luar negeri (foreign policy) merupakan strategi atau rencana
tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam
menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan
untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi
kepentingan nasional.15 Menurut Couloumbus dan Wolfe, sebagaimana dikutip
oleh R. Soeprapto bahwa politik luar negeri merupakan sintesis dan tujuan atau
kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas. Politik luar negeri
pelaksanaannya dilakukan oleh aparat pemerintah. Oleh karena itu, aparat
pemerintah mempunyai pengaruh terhadap politik luar negeri. Di samping aparat
12
Ibid, hal. 46
Anak Agung Banyu Parwita dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit, hal. 47
14
S.L. Roy, op.cit. hal. 31
15
Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, Jakarta: Putra A Bardin, 1999,
hal. 5
13
36
pemerintah, kekuatan sosial politik yang lebih dikenal dengan pressure groups
ikut berpengaruh pula.16
Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu
negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan
memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.17 Mark R. Amstutz
mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai explicit and implicit actions of
governmental officials designed to promote national interests beyond a country’s
territorial boundaries.18Dalam definisi ini ada tiga tekanan utama yaitu tindakan
atau kebijakan pemerintah, pencapaian kepentingan nasional dan jangkauan
kebijakan luar negeri yang melewati batas suatu negara.
Menurut Howard Lentner, pengertian kebijakan luar negeri harus
mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan yaitu penentuan tujuan yang
hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumber daya atau instrumen
untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan pelaksanaan
(implementation) kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara
aktual menggunakan sumber daya yang sudah ditetapkan.19
Suatu negara lazimnya berusaha mewujudkan tujuan nasionalnya melalui
formulasi kebijaksanaan politik luar negeri. Dalam hal ini Holsti berpendapat bahwa:
Kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara merupakan output politik luar negeri dengan
berlandaskan pemikiran, serta pola tindakan yang disusun oleh para pembuat keputusan
16
R Soeprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta: Rajawali Pers,
1997, hal. 187-188
17
Anak Agung Banyu Perwita, op.cit, hal. 49
18
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal.
64
19
Ibid, hal. 65
37
untuk (1) menanggulangi permasalahan, (2) mengusahakan perubahan dalam lingkungan
internasional.20
Tujuan politik luar negeri adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional.
Tujuan tersebut memuat gambaran atau keadaan negara di masa mendatang dan
kondisi masa depan yang diinginkan. Pemerintah negara menetapkan berbagai
sarana yang diusahakan untuk dicapai dengan melakukan berbagai tindakan yang
menunjukkan adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan.21
Sementara Plano berpendapat bahwa setiap kebijakan luar negeri
dirancang untuk menjangkau kepentingan nasional. Tujuan nasional yang hendak
dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan
dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional
yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk menjangkaunya. Tujuan
dirancang, ditetapkan, dan dipilih oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk
mengubah kebijakan (revisionist policy) atau mempertahankan kebijakan (status
quo policy) ikhwal negara tertentu di lingkungan internasional.22
Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan
politik luar negeri suatu negara, yaitu:
1. Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan.
20
K.J. Holsti, Op.cit, hal. 131
R. Soeprapto, op.cit., hal. 188
22
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit., hal: 51
21
38
2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan jangka pendek (short-term), jangka
menengah (middle-term), dan jangka panjang (long-term).
3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.23
Pelaksanaan politik luar negeri didahului oleh penetapan kebijaksanaan
dan keputusan oleh pemerintah dan instansi terkait baik dalam kapasitas sebagai
konseptor maupun eksekutor kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah juga harus
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor
nasional sebagai faktor internal seperti aspirasi konstituen domestik, elemen
masyarakat sipil (civil society), dan faktor-fator internasional sebagai faktor
eksternal seperti peta kepentingan-kepentingan kekuatan internasional. Di
samping itu, dalam pelaksanaan politik luar negeri harus dipilih teknik atau
instrumen yang cocok untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan yang
disesuaikan dengan kekuatan nasional (national power).
Adapun organisasi pelaksana politik luar negeri merupakan wadah dari
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para pelaksana politik luar negeri.
Menurut Dr. Budiono sebagaimana dikutip oleh R. Soeprapto, organisasi tersebut pada
umumnya terdiri dari:
a)
Pimpinan Tertinggi Eksekutif: tergantung kepada sistem pemerintahan dari negara
bersangkutan, bisa dipegang seorang Presiden seperti di Indonesia dan Amerika
Serikat, bisa seorang Perdana Menteri seperti Malaysia dan Jepang), bisa juga PolitBiro seperti layaknya di negara-negara komunis Kuba dan Vietnam);
23
Ibid, hal. 51-52
39
b) Di bawah Pimpinan Tertinggi Eksekutif adalah para pejabat tinggi di bidang politik
luar negeri seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perdagangan
dan Kepala Dinas Intelejen;
c) Lembaga-lembaga negara seperti Parlemen dengan Komisi Luar Negerinya dan
berbagai Departemen yang tugasnya meliputi bidang politik luar negeri atau yang
berhubungan erat dengannya.24
Dalam pelaksanaan politik luar negeri untuk mencapai yang sesuai dengan
kepentingan nasionalnya, pemerintah dihadapkan dengan beberapa alternatif
pemilihan instrumen. Instrumen-instrumen tersebut ada yang legal dan ada yang
ilegal. Instrumen yang legal bersifat kooperatif, keabsahannya diakui dan sering
digunakan, misalnya diplomasi, sedangkan yang ilegal tidak bisa diterima oleh
pihak lain dan biasanya dipergunakan dalam kondisi yang memperlihatkan adanya
oposisi, misalnya subversi. Tetapi perlu diperhatikan sekalipun hubungan antar
negara dalam situasi konflik dan diwarnai oleh sikap kooperatif, namun sepanjang
masih ada kemauan untuk mencapai kesepakatan maka instrumen yang legal
masih bisa dipakai.25
Dalam hal formulasi dan implementasi kebijakan politik luar negeri,
pemerintah harus melihat peluang dan kendala baik secara internal maupun
eksternal. Hal yang lebih penting juga adalah mengukur kekuatan nasional yang
ada dan membangun hubungan secara lebih luas dengan negara-negara yang
memiliki akses ekonomi-politik yang kuat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
nasional negara tersebut. Politik luar negeri sebagai instrumen untuk mencapai
24
25
R. Soeprapto, op.cit., hal. 202-203
Ibid, hal. 206
40
kepentingan dan tujuan nasional yang berlandaskan pada nilai-nilai yang dianut
oleh suatu negara merupakan saluran untuk terlibat secara pro-aktif dalam prosesproses yang terjadi di lingkungan internasional.
C.
1.
Kepentingan Nasional Dan Tujuan Negara
Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik luar negeri.
Sepanjang mengenai kepentingan nasional orang bisa berorientasi kepada ideologi atau
berorientasi kepada sistem nilai sebagai pedoman perilaku. Artinya bahwa keputusan dan
tindakan politik luar negeri bisa didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis
atau atas pertimbangan-pertimbangan kepentingan atau gabungan antara kedua
pertimbangan tersebut. Bisa juga kadang-kadang terjadi interplay antara ideologi dengan
kepentingan sehingga terjadi suatu hubungan timbal balik dan terjadi saling
mempengaruhi antara pertimbangan-pertimbangan ideologis dengan pertimbanganpertimbangan kepentingan yang tidak menutup kemungkinan terjadi formulasi yang lain
atau baru.26
Miroslav Nincic memperkenalkan tiga kriteria atau yang disebutnya asumsi dasar
yang harus dipenuhi dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan
harus bersifat vital sehingga pencapaiannya harus menjadi prioritas utama pemerintah dan
masyarakat. Kedua,
kepentingan
tersebut
harus
berkaitan
dengan
lingkungan
internasional Artinya pencapaian kepentingan nasional harus dipengaruhi oleh
lingkungan internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan
yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau lembaga
Sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan.27
26
27
R. Soeprapto, op.cit., hal. 149-150
Aleksius Jemadu, op.cit., hal. 67
pemerintahan.
41
Paul Seabury mengemukakan pendapatnya tentang konsep kepentingan nasional.
Menurutnya:
Istilah kepentingan nasional berkaitan dengan beberapa kumpulan citacita tujuan suatu bangsa ... yang berusaha dicapainya melalui hubungan
dengan negara lain. Dengan kata lain, gejala tersebut merupakan suatu
normatif, atau konsep umum kepentingan nasional ... Arti kedua yang
sama pentingnya biasa bersifat deskriptif. Dalam pengertian deskriptif,
kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu
bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah. Kepentingan
nasional dalam pengertian deskriptif, berarti memindahkan metafisika ke
dalam fakta (kenyataan) ... dengan kata lain kepentingan nasional serupa
dengan para perumus politik luar negeri...28
Di sini terlihat bahwa untuk mencapai kepentingan nasional perlu adanya strategi
tertentu dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Strategi kebijakan luar negeri
dirumuskan dengan memperhitungkan berbagai aspek. Seperti kekuatan nasional serta
peluang dan kendala yang mungkin muncul. Jalinan hubungan luar negeri suatu negara
harus bersandar pada potensi nyata yang dimiliki, serta kondisi dalam negara tersebut.
Kalau kita menggunakan pendekatan realis atau neorealis maka kepentingan
nasional diartikan sebagai kepentingan negara yang penekanannya pada peningkatan
kekuasaan nasional untuk mempertahankan keamanan nasional dari negara tersebut.
Kepentingan nasional lainnya seperti pembangunan ekonomi disubordinasikan sebagai
elemen dari kekuatan nasional. Kepentingan nasional merupakan hal yang sangat urgen
bagi suatu negara karena terkait dengan survival dan eksistensinya di tengah dunia
internasional.
Urgensitas
kepentingan
nasional
bisa
dilihat
dari
pentingnya
mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah dari intervensi asing dan juga
ancaman disintegrasi. Negara dalam hal ini harus memainkan peran yang penting untuk
mewujudkan kepentingan nasionalnya dalam pergaulan internasional.
28
Sebagaimana dikutip oleh K.J. Holsti dalam Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis,
diterjemahkan oleh Wawan Juanda, (Bandung : Binacipta, 1987), hal. 168-169.
42
Dalam mewujudkan kepentingan nasional, suatu negara hendaknya membuat skala
prioritas agar agenda-agenda yang dimaksud berjalan secara terarah. Dilihat dari skala
prioritasnya, kita bisa mengklasifikasi urutan-urutannya dari yang bersifat primer sampai
sekunder.
Kepentingan
nasional
yang
bersifat
primer
misalnya
dalam
hal
mempertahankan eksistensi suatu negara, meneguhkan nilai-nilai fundamental yang
menjadi identitas dalam konteks kebijakan luar negerinya. Sedangkan, kepentingan yang
bersifat sekunder biasanya terkait dengan aktivitas kultural. Walaupun tidak terkait
dengan eksistensi negara secara langsung, namun tetaplah penting untuk diperjuangkan
sebagai pelengkap kuatnya fondasi kebangsaan. Misalnya, kontestasi budaya, pengiriman
duta pariwisata, kerjasama di bidang keilmuan, pertukaran mahasiswa dan pemuda,
olahraga, dan lain-lain.
2.
Tujuan Negara
Negara (state) adalah suatu konsep hukum menggambarkan kelompok sosial
yang menempati wilayah tertentu dan diatur oleh lembaga politik bersama serta memiliki
sebuah pemerintah yang efektif. Beberapa pengamat menambahkan kualifikasi bahwa
kelompok masyarakat tersebut harus memiliki kehendak untuk menerima kewajiban
hukum internasional dalam hidup bernegara. Negara secara hukum diakui keberadaannya
manakala diakui oleh negara anggota masyarakat internasional.29
Negara merupakan unit utama politik dan masyarakat hukum internasional.
Negara timbul dengan runtuhnya kekuasaan feodal di Eropa, dan negara berada dalam
hubungan dengan negara lain. Sebagai unit politik berdaulat, negara memiliki hak untuk
menetapkan tujuan nasionalnya serta menentukan teknik untuk mencapainya. Namun
kebebasan bertindak negara dibatasi oleh hukum dan organisasi internasional, serta oleh
29
Jack C. Plano dan Roy Olton, Op.cit, hal. 245
43
hubungan antar negara kuat dan situasi informal yang menandai lingkungan internasional
pada waktu tertentu.30
Ciri utama negara modern adalah bahwa negara mempunyai wilayah yang jelas,
sebuah pemerintahan yang diberi otoritas kedaulatan serta pelaksanaan kekuasaan
terhadap rakyat. Beberapa komentator menambahkan ciri keempat: pengakuan.
Pengakuan berarti bahwa klaim negara terhadap wilayah tertentu dan haknya untuk
menjalankan kedaulatan terhadap rakyatnya diakui oleh negara-negara lain. Pengakuan
bisa dalam berbagai bentuk, tetapi umumnya pengakuan mencakup pembukaan hubungan
diplomasi atau keikutsertaan dalam berbagai perjanjian dengan negara lain.31
Secara internasional, negara bukan hanya pemerintah : negara adalah wilayah
yang berpenduduk dengan pemerintahan nasional masyarakat. Dengan kata lain, negara
(state) adalah negeri (country). Dari sudut tersebut, baik pemerintah maupun masyarakat
domestik membentuk negara. Jika suatu suatu negeri adalah negara berdaulat, secara
umum ia akan diakui merdeka secara politik. Hal itu merupakan aspek eksternal negara
dalam konteks hubungan antar negara (interstate relation).32
Hal itu membawa kita ke dimensi kedua dari negara, yang membagi aspek
eksternal kenegaraan berkedaulatan ke dalam dua kategori besar. Kategori pertama adalah
negara dipandang sebagai institusi legal atau formal dalam hubungannya dengan negaranegara lain. Yakni, negara sebagai entitas yang diakui berdaulat atau merdeka,
memperoleh keanggotaan dalam organisasi-organisasi internasional, dan memiliki
berbagai macam hak dan kewajiban internasional. Kategori kedua adalah negara
dipandang sebagai organisasi politik-ekonomi yang penting (substansial). Kategori ini
30
Ibid, hal. 245
Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional, Perspektif dan Tema, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009, hal. 59-60
32
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, hal. 29
31
44
berkaitan dengan perluasan di mana negara telah mengembangkan institusi-institusi
politik yang efisien, berdasar ekonomi yang kokoh, dan tingkat persatuan nasional yang
kokoh, yaitu persatuan umum dan dukungan bagi negara.33
Di dunia internasional, negara-negara yang ada memiliki perbedaan yang cukup
signifikan dalam banyak hal, yaitu legitimasi institusi politiknya, organisasi
pemerintahnnya, produktifitas dan kekayaan ekonominya, status dan pengaruh politiknya,
dan persatuan nasionalnya. Berdasarkan realitas perbedaan tersebut, maka negara-negara
tersebut bekerja sama demi memperoleh keuntungan timbal balik sesuai kepentingan
nasional masing-masing. Biasanya negara-negara tersebut menjalankan hubungan
diplomatik, hubungan dagang dan investasi, kerja sama di bidang pengetahuan, pariwisata
dan sebagainya. Negara sebagai entitas politik formal memiliki peran dan aktivitas yang
signifikan di lingkungan internasional yang berbasis pada tujuan nasionalnya.
Menurut Toma dan Gorman, factor pendukung utama untuk kontinyuiti
hubungan inernasional adalah aktor negara bangsa (nation-state) yang dengan atribut
kedaulatan dan penggunaan power untuk meraih kepentingan nasional berupaya untuk
mempertahankan perannya sebagai aktor utama dalam hubungan internasional.
Sedangkan, pendukung chance adalah globalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, ancaman
terhadap lingkungan hidup, peningkatan power dan influence dari aktor non-negara.
Hubungan internasional kontemporer yang sekarang kita saksikan menunjukkan bahwa
kekuatan-kekuatan chance tersebut sedang berupaya memporak-porandakan landasan
tradisional tata hubungan internasional.34
33
Ibid, hal. 29-31
PACIS, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internsional, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1999, hal. 85
34
45
D. Perspektif Ekonomi Politik
Metode pendekatan ekonomi politik dapat diaplikasikan kepada berbagai
disiplin ilmu yang suplementif dan komplementatif, juga terhadap prisma lainnya
dari studi ini dalam berbagai aspek, seperti misalnya: public policies yang
berorientasi kepada parameter cost and benefit, yang disebabkan adanya
kebijakan-kebijakan tertentu, atau juga adanya struktur tertentu daripada pembuat
kebijakan keputusan Studi Ekonomi Politik yang hirau terhadap the economics
public policy sebagaimana yang dideskripsikan Robert Gilpin (1987): “Siapa yang
diuntungkan, siapa yag dirugikan dan bagaimana pula prosesnya.”35
Sebagaimana
Martin
Staniland
menyebutkan,
bagaimana
politik
menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana institusi-institusi ekonomi
menentukan proses-proses politik. Kedua bidang (Ekonomi Politik) dimaksud,
secara explanatory dan normative sesungguhnya saling komplementasi,
tergantung pada keperluan mana ia ditempatkan. Ia berhubungan satu dengan
yang lainnya dalam upaya menjelaskan bagaimana hubungan antara bidang
ekonomi dan bidang politik berproses serta dapat berkaitan melalui pengaruh yang
bersifat timbal balik. Misalnya pada filsafat dasar kausalitas; mana yang sebab
dan mana yang akibat. Sisi yang paling dominan akan ditentukan oleh situasi dan
kondisi yang berlaku, bisa saja proses politik lebih dominan dibanding aspekaspek ekonomi, atau sebaliknya.
Studi hubungan internasional kontemporer mengakui keterkaitan mutlak
antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa perilaku
35
Yanuar Ikbar, Op.cit, hal. 2
46
internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik, dan
tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang bersangkutan. Itu
sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli mulai menelaah konsep ekonomi
politik global sebagai sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang
fundamentalis.36
Suatu negara bisa mengabaikan motif keuntungan dan menggunakan
kebutuhan ekonomi negara lain untuk memperluas pengaruh politiknya, baik
melalui perdagangan yang dilakukan langsung dari pemerintah maupun swasta.
Holsti (1995), dalam bukunya International Politics: A Framework for Analysis,
membuat suatu kerangka analisis instrumen perdagangan dalam politik luar negeri
yang biasanya dilakukan dengan tiga maksud, yaitu : a. Mencapai sasaran luar
negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi dan
mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan ancaman menerapkan sanksi
ekonomi; b. Meningkatkan kapabilitas negara, atau meniadakan potensi
kapabilitas negara lawan; dan c. Menciptakan satelit ekonomi (yaitu, dengan
jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu mempertahankan
ketaatan politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang pengaruh” dengan
membentuk hubungan ketergantungan ekonomi.37
Secara
empirik,
tingkat
saling ketergantungan
(interdependensi)
dalam
masyarakat internasional yang semakin tinggi sebagai akibat proses transnasionalisme
dalam ekonomi yang melewati batas-batas negara, seperti peningkatan perdagangan,
keanggotaan kelompok-kelompok ekonomi regional, dan proses globalisasi, telah
36
37
Walter, S. Jones, Op.cit, hal. 248
K.J. Holsti, Op.cit, hal. 303
47
menjadikan kondisi, dimana tidak ada lagi suatu kebijakan ekonomi politik nasional yang
benar-benar bersifat domestik.38Hal ini menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik
pada level kebijakan tidak hanya berdimensi domestik, tetapi juga berimplikasi pada
negara lainnya dan masalah-masalah internasional secara lebih luas. Dalam konteks ini,
munculnya pendekatan ekonomi politik internasional dalam studi hubungan internasional
bisa dikatakan sebagai konsekuensi dari kompleksitas masalah internasional yang
memiliki keterkaitan dengan masalah domestik.
Versi
internasionalisasi
dari
perspektif
ekonomi
politik
yang
dikonsepsionalisasikan dengan istilah ekonomi politik internasional merupakan
pendekatan baru yang berkembang pasca perang dingin sebagai akibat dari trend
pergeseran isu hubungan internasional dari isu keamanan ke isu ekonomi yang
menekankan hubungan antara ekonomi dan politik. Pada sekitar tahun 1970-an
bermunculan banyak negara-negara baru sebagai akibat dari dekolonisasi, dimana negaranegara yang baru merdeka tersebut berada pada posisi subordinat secara politik dan
ekonomis dalam sistem internasional. Negara-negara baru yang termarjinalkan secara
politis dan ekonomis tersebut tampil dalam forum internasional seperti PBB berupa
tuntutan ekonomi. Fenomena tersebut juga sebagai salah satu pendorong berkembangnya
pendekatan ekonomi politik internasional.
Menurut Frieden dan Lake, ekonomi politik internasional diartikan sebagai the
study of interplay of economics and politics in the word arena.39 Ekonomi di sini
didefinisikan sebagai sistem produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan. Sedangkan,
politik diartikan sebagai sehimpun lembaga dan aturan yang mengatur berbagai interaksi
sosial dan ekonomi.
38
39
, Anak Agung Banyu Perwita, dan Yanyan Mochamad Yani, , Op.cit., hal.77
Mohtar Mas’oed, Op.cit, hal. 3.
48
Sedangkan, menurut Gilpin, sebagaimana dikutip oleh Mohtar Mas'oed,
mengemukakan bahwa ekonomi politik internasional adalah interaksi timbal balik dan
dinamis antara upaya pengejaran kekayaan dan kekuasaan dalam hubungan
internasional.40 Di sini Gilpin menekankan pada aspek kekuasaan dalam konsep ekonomi
politik internasional. Selain itu, pandangan Gilpin di atas juga memperlihatkan bahwa
pendekatan ekonomi politik internasional mengakui keterkaitan antara ekonomi dan
politik dalam hubungan internasional.
Dalam konteks prospek hubungan bilateral Indonesia-Israel dalam
perspektif ekonomi-politik, dapat dijelaskan mengenai segi-segi kepentingan
Indonesia terhadap Israel maupun sebaliknya dalam hal upaya pengejaran
kekayaan (ekonomi) dan kekuasaan (politik) yang memiliki saling keterkaitan
dalam konstelasi hubungan internasional. Kepentingan ekonomi Indonesia dalam
arti pemenuhan kebutuhan ekonomi nasionalnya melalui kerja sama ekonomi
dengan negara lain, termasuk dengan Israel yang bisa dikatakan unggul dalam
sektor teknologi tinggi (high-tech). Begitu juga dengan kepentingan politik
Indonesia pada level kekuasaan yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan
ruang pengaruh terhadap Israel, dimana kepentingan politik Indonesia berorientasi
pada upaya keterlibatan dalam berbagai kepentingan-kepentingan strategis di
Timur Tengah dan dunia internasional secara umum.
Interaksi timbal balik dan dinamis dalam konteks ini merupakan keterkaitan antara
upaya-upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan keinginan memperoleh kekuasaan.
Kedua elemen ini, yaitu ekonomi dan kekuasaan, akan saling mendukung dalam hal
pembangunan nasional. Keunggulan ekonomi dapat digunakan untuk meraih kekuasaan,
40
Ibid, hal. 3.
49
dan demikian pula sebaliknya, kekuasaan adalah alat yang efektif dalam upaya
membangun perekonomian.
Dalam kaitan ini, Jones mengemukakan bahwa:
“Studi hubungan internasional kontemporer mengakui keterkaitan mutlak
antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa perilaku
internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik
dan tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang
bersangkutan. Itu sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli mulai
menelaah konsep ekonomi politik global sebagai. salah satu unsur hubungan
internasional yang fundamentalis”.41
Kutipan di atas memaparkan bahwa dewasa ini telaah terhadap konsep ekonomi
politik oleh para ahli semakin berkembang. Dimana konsep tersebut telah dianggap
sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang fundamental. Hal ini dikarenakan
politik dan ekonomi merupakan dua elemen yang saling berkait dan sulit dipisahkan
dalam studi hubungan internasional. Di samping itu, perilaku internasional suatu negara
dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu kondisi politik dalam negeri, dorongan ekonomi, dan
tujuan internasional dari elit ekonomi negara tersebut.
41
Walter S. Jones, Op.cit, hal. 248.
Download