Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan Sumber Gempa dan

advertisement
PELATIHAN PEMODELAN RUN-UP TSUNAMI, RISTEK, 20-24 AGUSTUS 2007
Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan
Sumber Gempa dan Tsunami
Oleh:
Danny Hilman Natawidjaja
Geoteknologi – LIPI
Abstrak
Sebagai antagonis dari wilayah yang sangat kaya akan sumber alam, Indonesia juga
adalah wilayah yang sangat rawan bencana alam. Kepulauan Nusantara yang berada
dalam zona tektonik dan gunung api sangat aktif menyebabkan wilayah ini sangat rawan
bahaya goncangan gempabumi, gerakan patahan aktif, letusan gunung api, dan tsunami.
Untuk mengantisipasi bencsana di masa datang kita perlu melakukan pemodelan
bencana, khususnya gempabumi dan tsunami. Hambatan besar untuk ini adalah data
tentang sumber gempabumi/tsunami yang sangat minim untuk semua wilayah
Indonesia kecuali Sumatra. Tanpa data yang memadai maka hasil dari pemodelan
bencana yang dilakukan akan menjadi ”garbage in” garbage out”. Keminiman data ini
karena para ahli yang menekuni bidang ini masih sangat sedikit dan ketiadaan dana dan
dukungan kebijakan pemerintah yang memadai untuk melaksanaan program penelitian
yang intensif. Tidak ada rumus sakti untuk memecahkan persoalan ini kecuali
merencanakan program pengkajian sumber bencana dan efeknya secara terpadu dan
sistematis dalam jangka panjang.
Latar Belakang
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 yang dikeluarkan
pada bulan April 2007 merupakan awal dari era baru dalam mitigasi bencana alam di
Indonesia.
Di masa sebelumnya, usaha mitigasi bencana alam belum dilaksanakan
sepenuhnya secara sistematis, terorganisir, dan bertanggung jawab. Sekarang mitigasi
bencana alam bukan lagi sekadar anjuran dan himbauan, tapi sudah merupakan
kewajiban untuk melaksanakannya.
Prinsip Pemodelan Bencana Khususnya Tsunami
Kesuksesan dalam usaha penanggulangan bencana alam nasional tergantung
dari beberapa faktor di bawah ini:
1. Pengetahuan yang” up to date” tentang potensi sumber bencana alam, baik
pengetahuan dasar ataupun peta potensi bencana dan detil teknis untuk
pelaksanaan mitigasinya. Misalnya data sumber gempabumi dan tsunami untuk
setiap daerah, kemudian dituangkan dalam bentuk peta bahaya goncangan, peta
bahaya sesar aktif, peta bahaya longsoran, peta inundasi tsunami, dsb.
2. Program nasional jangka panjang untuk menggalakan riset dibidang
kebencanaan, terus menerus meng-update database potensi sumber bencana
dan juga peta-peta kebencanaan seperti yang tercantum dalam butir (1).
3. Melaksanakan pemantauan (sumber) bencana alam yang berbasis pengetahuan
kebencanaan yang memadai berdasarkan butir (1) dan (2). Pemantauan ini
mencakup: jaringan seismometer & GPS pemantau proses gempabumi, jaringan
pemantau cuaca, jaringan sensor pemantau gunung api, jaringan sensor
pemantau gerakan tanah, jaringan sensor pemantau banjir. Usaha ini sering
dikenal dikenal sebagai penyelenggaraan ”Early Warning System (EWS)”
4. Pendidikan untuk para petugas pelaksana penanggulangan bencana dan untuk
masyarakat umum untuk membangun kesiapan masyarakat dan saranafasilitasnya dalam mengurangi efek bencana di masa datang dan menyiapkan
pelaksanaan kondisi darurat apabila bencana terjadi, usaha rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Perlu diingat bahwa hal ini akan sukar dilaksanakan apabila butir
(1) dan (2) tidak dilaksanakan.
5. Membangun kesiapan manajemen dan infrastruktur apabila bencana terjadi,
yaitu untuk membantu pelaksanaan evakuasi, tindak tanggap darurat,
rehabilitasi,dan rekonstruksi. Usaha ini meliputi misalnya: pelebaran atau
pembuatan jalan-jalan untuk membantu evakuasi, membuat bangunan khusus
untuk tempat berlindung bagi masyarakat dari tsunami, menyiapkan saranafasilitas untuk membantu korban dalam situasi tanggap darurat, menyiapkan
bahan makanan ditempat yang aman dan strategis untuk para korban, dlsb.
6. Melaksanakan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah (i.e. RTRW)
yang aman bencana alam. Artinya, kita harus mengantisipasi dimana saja
daerah yang padat penduduk dan infrastruktur yang sudah kadung berada di
daerah rawan bencana. Kemudian untuk selanjutnya tidak lagi mengembangkan
suatu daerah tanpa memperhitungkan resiko bencana alam.
7. Good governance dalam sistem manajemen penanggulangan bencana.
Jelas bahwa usaha penangulangan bencana alam merupakan kegiatan yang
multi disiplin dan kerjasama berbagai pihak.
Untuk lebih mem-fokuskan materi
pembahasan, saya akan memberikan uraian khusus mengenai tsunami. Pada prinsipnya
konsep mitigasi bencana untuk gempabumi dan tsunami dengan bencana letusan
gunung api, longsor, banjir, dan yang lainnya tidak jauh berbeda.
Pada prinsipnya kualitas dari model simulasi tsunami bergantung pada data
sumber (gempabumi, letusan gunung api, dan lainnya) dan kualitas data bathimetri,
topografi, dan data tutupan lahannya. Sejalan dengan itu, untuk melakukan pemodelan
tsunami kita memerlukan:
1. Input data sumber: lokasi dan parameter dari sumber tsunami
(gempabumi/letusan gunung api/ longsor di bawah laut)
2. Input data dasar: digital bathimetri dan topografi pantai detil.
3. Analisa dan penentuan scenario model sumber (karena keterbatasan data akan
membuat hasil kajian tentang kejadian gempabumi/tsunami yang mungkin akan
terjadi mempunyai banyak ketidakpastian sehingga memerlukan pemilihan
scenarioo yang paling masuk akal).
4. Software pemodelan tsunami yang merupakan simpifikasi dari kejadian bencana
dengan mematematiskan proses alam yang terjadi dengan berbagai asumsi.
Seorang tsunami modeller yang baik harus benar-benar mengerti karakteristik
fisis dari sumber dan asumsi-asumsi yang dipakai.
Khusus untuk data sumber gempabumi di bawah laut yang dapat menimbulkan
tsunami, data yang kita perlukan tidak hanya sekedar mengetahui magnitude
gempabumi untuk inputnya tapi menyangkut berbagai hal yang harus dikaji secara
sangat seksama, termasuk di bawah ini:
•
Magnitude gempabumi yang mungin terjadi dapat dikaji dan ditentukan
dari: katalog gempa (dari rekaman seismometer), sejarah gempa/tsunami
di masa lalu, data geologi (paleoseismologi, paleotsunami, paleogeodesi).
Metoda paling baik adalah menggabungkan semua data dengan analisasintesa yang benar.
•
Parameter sumber gempa/tsunami untuk input biasanya memerlukan
data geometri sumber (panjang, lebar), letak geografis (lat-lon) yang
tepat dari sumber, dan besar dan arah pergerakan bumi
(slip/displacement). Semakin akurat dan berkualitas inputnya, maka
outputnya semakin dapat dipercaya
•
Untuk menentukan probabilitas kejadiannya di masa datang, maka kita
harus mengetahui karakteristik dan sejarah kejadian bencana di masa
lalu, termasuk: kapan kejadian terakhir dan berapa perkiraan perioda
ulang kejadiannya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan
penelitian geologi dan geofisika yang intensif.
Di bawah ini akan diuraikan tentang sumber dan potensi bencana gempabumi
dan tsunami di Indonesia untuk memahami lebih jauh tentang input data apa yang kita
perlukan,
khususnya
mengenai
parameter
dari
sumber
gempa/tsunami,
untuk
melakukan pemodelan tsunami yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Potensi bencana gempabumi dan tsunami di Indonesia
Indonesia, karena terletak pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik bumi
yang sangat aktif, merupakan wilayah sangat rawan terhadap gempa-gempa tektonik
(Gbr 1). Sebagian sumber gempa buminya berada di bawah laut sehingga berpotensi
tsunami. Daerah dengan potensi gempa tinggi ini dapat dikaji dengan beberapa metoda,
utamanya: metoda geologi (paleoseismik, paleogeodesi), seismik, dan geodesi (GPS).
Studi paleoseismik dan paleogeodesi dapat menguak sejarah siklus gempabumi di suatu
wilayah selama ratusan bahkan ribuan tahun, sehingga kita dapat mengetahui status
suatu sumber gempabumi besar dalam siklusnya.
Dari data seismik kita dapat
mengetahui dimana terdapat ”seismic gap” yang artinya wilayah yang sepi gempa dalam
angka waktu cukup lama tetapi mungkin sudah mengakumulasi energi regangan yang
sangat besar.
Data GPS (Global Positioning System) memberikan indikasi langsung
apakah suatu zona patahan terkunci (=”locked zone”) atau berpotensi seismik atau tidak.
Sumatra
Lempeng
Hindia-Australia menunjam dengan kecepatan sekitar 50 sampai
dengan 70 mm/tahun di sepanjang palung Sunda (Sumatra-Jawa-NTT) yang merupakan
zona subduksi. Potensi gempa ”megathrust” dari zona subduksi bervariasi di sepanjang
jalur tergantung dari segmentasi patahan dan besarnya wilayah yang terkunci (”locked
zone”), dan juga sejarah siklus gempanya. Tiga parameter ini menentukan dimana
terdapat banyak akumulasi energi regangan (tektonik) yang dapat menghasilkan gempa
besar di kemudian hari. Gempa besar Aceh-Andaman (2004, Mw9.15) [Subatya et al,
2006] dan juga gempa Nias-Simelue (2005, Mw8.7) [Briggs et al, 2006] sebelumnya
dicirikan oleh zona seismic gap.
Penelitian geologi sebelum gempa ini terjadi juga
menunjukan bahwa Pulau Nias sebelumnya mengalami penurunan selam berpuluh-puluh
– ratusan tahun, yang dicirikan oleh banyak pantai-pantai yang tenggelam di barat Nias.
Hal ini merupakan indikasi langsung bahwa megathrust di bawah pula ini terkunci dan
mengakumulasi energi regangan. Gempa Aceh (2004) sebenarnya sudah ditandai oleh
terjadinya gempa tahun 2002 (Mw7.4) di Pulau Simelue yang sekarang kita tahu
merupakan ”foreshock”. Gempa 26 December 2004 ini kemudian memicu gempa NiasSimelue yang terjadi hanya tiga bulan berikutnya (Gbr. 2). Pemicuan ini terjadi karena
apabila suatu gempa besar terjadi maka wilayah disekitar sumber gempa yang meledak
tersebut akan tegang (atau tidak setimbang) [Nalbant et al, 2006].
Hal ini dikenal
sebagai ”shadow stress”. Shadow stress inilah yang membuat segmen megathrust NiasSimelue yang sudah banyak menghimpun energi regangan (sejak gempa terakhir tahun
1861) kemudian meledak juga [Mc Closkey, 2005].
Setelah rentetan dua gempa besar di bagian utara zona (megathrust) subduksi
Sumatra ini, sekarang zona megathrust berikutnya yang menunggu giliran adalah
megathrust Mentawai di selatan Khatulistiwa [Natawidjaja et al, 2007; Chlieh et al, in
press]. Gempa besar terakhir di segmen zona subduksi Mentawai ini adalah tahun 1797
(Mw8.4) dan 1833 (Mw 8.9) [Natawidjaja et al, 2006].
Kedua gempa besar ini
menghasilkan tsunami besar yang menerang pesisir Sumatra barat dan bengkulu.
Penelitian paleoseismik dan paleogeodesi dengan memakai metoda koral mikroatol
menguak fakta bahwa pernah terjadi gempa besar di tahun 1300-an dan tahun 1600-an
yang serupa dengan yang tahun 1833 [Natawidjaja, 2003; Natawidjaja et al, 2004]. Ini
menunjukan bahwa megathrust Mentawai mempunyai siklus gempa sekitar 200-an
tahun [Zachariassen et al, 1999; Natawidjaja et al, 2006], dan sekarang status sumber
gempa ini sudah dekat dengan siklus akhir (fasa pelepasan energi) gempanya. Hal ini
juga didukung oleh data GPS dari SuGAr (Sumatran GPS Array) yang memperlihatkan
bahwa pulau-pulau Mentawai bergerak ke arah Sumatra beberapa puluh milimeter
searah dengan arah penunjaman lempeng (Gbr. 3) [Chlieh et al, in press]. Dengan kata
lain data ini merupakan bukti bahwa segmen zona megathrust Mentawai terkunci
(locked). Lebih lanjut, data seismik juga memperlihatkan bahwa Mentawai merupakan
seismic gap yang masih ada di wilayah Indonesia barat ini. Detil studi dan persiapan
untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami di masa datang harus dilakukan untuk
wilayah ini.
Di daratan Sumatra, Patahan/Sesar Sumatra terbentang sepanjang Pegunungan
Bukit Barisan, mulai dari Teluk Semangko di Selat Sunda sampai dengan wilayah Aceh di
utara [Sieh & Natawidjaja, 2000]. Sudah sekitar 20 gempa besar dan merusak terjadi di
sepanjang Patahan Sumatra dalam 100 tahun terakhir (Gbr. 3) [Natawidjaja & Triyoso,
2007]. Dengan kata lain, gempa besar di Sesar Sumatra terjadi rata-rata dalam lima
tahun sekali. Jadi, berbeda dengan di zona subduksi Sumatra yang berpotensi untuk
mengeluarkan gempa besar dengan magnitudo > 8 tapi hanya sekitar 2- 3 kali dalam
100 tahun, gempa di Sesar Sumatra magnitudo-nya < 7.7 tapi sering dan sumbernya
lebih dekat dengan populasi penduduk. Gempa terakhir pada tangal 6 April 2007 di
wilayah Danau Singkarak membuktikan bahwa gempa yang hanya bermagnitudo ~ M6.3
tersebut dapat menimbulkan kerusakan dan korban yang cukup banyak (Gbr. 4)
[Natawidjaja et al, 2007]. Pada dekade sebelumnya, terjadi dua gempa besar di Liwa
tahun 1994 (M6.9) [Natawidjaja et al, 1995; Widiwijayanti et al, 1999] dan di wilayah
Danau Kerinci tahun 1995 (M7.0) yang juga banyak menimbulkan kerusakan dan korban
jiwa. Fakta ini menunjukan bahwa potensi gempa di sepanjang Sesar Sumatra juga
tidak kalah pentingnya untuk di-mitigasi selain ancaman gempa dan tsunami dari zona
subduksi [Natawidjaja & Harjono, 2007].
Jawa
Potensi gempabumi dan tsunami untuk wilayah Pulau Jawa belum banyak
diketahui. Berdasarkan pemetaan regional (Gbr. 5) [Natawidjaja, 2006] di daratan Jawa
terdapat banyak sesar-sesar aktif yang berpotensi menghasilkan gempa merusak. Sesar
aktif yang sudah cukup dikenal adalah Sesar Cimandiri – Lembang dan Sesar Baribis,
meskipun demikian tidak banak mendapat perhatian serius dan belum dipelajari dan
dipetakan secara detil seperti halnya Sesar Sumatra. Sesar aktif lainnya, diantaranya
adalah Sesar naik di wilayah Semarang – Brebes dan Sesar di sebelah Timur Gunung
Muria dimana akan dibangun reaktor nuklir pembangkit listrik. Kemudian, semburan
lumpur di Porong yang banyak memakan korban lokasinya terjadi di ujung timur jalur
lipatan Kendeng yang aktif pada zaman Kuarter dan mungkin masih aktif sampai
sekarang.
Gempa Bantul pada bulan Mei 2006 (Mw 6.2) yang memakan korban ~5000 jiwa
terjadi di sesar aktif Opak (Gbr. 7) [Natawidjaja, 2007]. Sebelumnya, pernah terjadi
gempa di lokasi sama pada tahun 1867 yang memkan korban lebih dari 500 jiwa dan
memporakporanda-kan
wilayah
Jogyakarta
pada
waktu
itu.
Catatan
sejarah
menunjukan bahwa penguasa dan masyaakat pada waktu itu tidak memahami bahwa
bencana serupa pasti akan terjadi lagi di masa datang karena proses gempa bumi
adalah siklus alam. Sekarang kita harus bertindak agar bencana yang terjadi karena
ketidak tahuan dan kelalaian manusia ini tidak terjadi lagi di masa datang.
Gempa dan tsunami Pangandaran yang tejadi pada bulan Juli 2006 (Mw7.7),
hanya dua bulan setelah gempa di Bantul, sumbernya adalah pelepasan energi
regangan pada megathrust di zona subduksi Jawa (Gbr.6).
Gempa yang disertai
tsunami serupa juga pernah terjadi di wilayah Pncer, Jawa Timur tahun 1994 (Mw7.6).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa segmen zona subduksi Jawa yang belum
melepaskan akumulasi regangan tektnkna merupakan sumber gempa dan tsunami yang
potensial di masa datang, yakni merupakan zona seismic gap dan mungkin zona
subduksi yang terkunci (locked zone). Diperlukan studi geologi, GPS, dan seismik lebih
lajut untuk mengetahui potensi gempa dan tsunami do Selatan Jawa ini secara lebih
akurat.
NTT
Jalur zona tumbukan lempeng Sumatra-Jawa ini menerus ke wilayah NTT (Gbr.8).
Di wilayah Timor, batas lempeng tektonik ini berubah sifatnya dari jalur zona subduksi
(dimana lempeng lautan menunjam di bawah lempeng benua) menjadi zona tabrakan
lempeng benua dengan benua (= ”collision zone”). Di wilayah busur belakang pulau
(”back-arc”) di bagian ujung barat zona tabrakan lempeng ini pernah terjadi gempatsunami pada tahun 1992, yaitu di utara Pulau Flores yang memakan korban lebih dari
2000 jiwa. Gempa tahun 1992 ini terjadi pada segmen ”Sula back thrust”. Di segmen
megathrust di Selatan Sumba, gempa terakhir terjadi tahun 1977 (M8.0).
Maluku
Jalut tabrakan lempeng benua dari Timor menerus dan melengkung berlawanan
arah jarum jam melingkari Laut Maluku.
Di jalur batas lempeng ini sudah terjadi
sebanyak 10x gempa berpotensi tsunami dalm seratus tahun terakhir dengan kekuatan
M>7.5. Empat diantaranya bermagnitudo >= . Lebih jauh lagi, catatan sejarah kuno
menyebutkan bahwa pada tahun 1674 di wilayah Pulau Buru-Seram terjadi gempa
sangat besar disertai tsunami sangat dahsyat dengan ketinggian gelombang maximum
mencapai 70 meter!. Melihat frekuensi yang tinggi dan rata-rata kekuatan gempa yang
besar tersebut di wilayah Maluku maka sangat penting untuk mengkaji dengan seksama
potensi bencana gempa dan tsunaminya di masa depan. Khususnya tentang gempatsunami yang serupa dengan tahun 1694, kapankah peristiwa ini dapat terulang lagi ?.
Tentunya bencana yang dapat ditimbulkan akan luarbiasa besar dan jangkauan
tsunaminya kemungkinan besar tidak hanya Maluku melainkan sampai ke wlayah yang
lebih luas lagi termasuk Bali-Lombok-Sumbawa dan Makasar.
Irian Jaya
Wilayah Irian Jaya didominasi oleh tiga jalur besar gempabumi, yakni: Zona
konvergensi lempeng Pacifik dan Pulau Papua NewGuinea yang kompleks, jalur Sesar
Sorong, dan Jalur Sesar Aiduna-Tarairua (Gbr.8).
Dengan kecepatan gerak relatif
lempeng Pacific yang sekitar 120 mm/tahun, maka bisa diterka bahwa wilayah ini
mempunyai potensi bencana gempa sekitar dua-kali lipat lebih besar dibandingkan
wilayah Sumatra-Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 50 - 70 mm/tahun.
Faktanya, sudah sangat sering gempa-gempa besar terjadi di masa lalu, misalnya
gempa-tsunami di Biak (Mw8.3) yang memakan korban ribuan jiwa dan gempa yang
tiga kali terjadi di wilayah Nabire tahun 2004 dengan kekuatan Mw7.1 sampai Mw7.6.
Memang sekarn ini populasi penduduk di wilayah Irian Jaya masih sedikit demikian juga
infrastrukturnya masih terbelakang sehingga walaupun hazard-nya paling tinggi di
wilayah Indonesia tapi risk-nya masih tidak erlalu tinggi. Namun,perlu dingat bahwa
faktor resiko bencana ini akan terus naik sejalan dengan laju populasi dan
pembangunan, yang kalau tidak mengindahkan faktor bencana akan terus mengisi
daerah-daerah yang rawan bencana.
Sulawesi
Sistem Sesar mendatar Sorong ini menerus ke arah timur sampai menumbuk
lengan timur Pulau Sulawesi. Pergerakan Sesar ini mengakinatkan terbentuknya zona
kompresi tektonik yang kompleks di wilayah Banggai ini dan juga terbentuknya sistem
sesar mendatar Palukoro yang membelah bagian tengah Sulawesi, mulai dari Banggai ke
bagian tengah, kemudian mlewati Kot Palu, dan terus ke arah utara (Gbr. 8). Di zona
kompresi Bangai terjadi gempa tahun 2000 (Mw7.6) yang memkan banyak korban dan
kerugian. Di sepanjang Sesar Palukoro tercatat sebanyak 4x gempa dengan kekuatan
>M7 dalam kurun waktu dua ratus tahun terakhir, termasuk gempa Palu tahun 1938
(M7.9) dan gempa di bagian barat lengan Sulawesi utara pada tahun 1996 (M7.9).
Selain di daratan Sulawesi juga mempunyai sumbr gempabumi di bawah laut, yakni dari
zona subduksi Sulawesi utara. Di zona subduksi ini tercatat kejadian gempa berpotensi
tsunami pada tahun 1904 (Mw8.4).
Sulwesi Selatan juga tidak luput dari bencana
gempa dan tsunami. Di wilayah ini sumber gempa berada di daerah pantai barat dan
juga di selatan Makasar.
Gempa tahun 1969 (M6.9) dan tahun 1984(M6.6)
menyebabkan ratusan korban jiwa di Kabupaten Majene dan Mamuju. Kemudian tahun
1820, gempa disertai tsunami memporakporandakan wilayah Kota Ujung Pandang.
Kesimpulan dan Saran
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia
rawan gempa dan tsunami. Namun pengetahuan tentang sumber dan potensi bencana
gempabumi dan tsunami masih sangat minim.
Wilayah Indonesia Timur potensi
gempabumi dan tsunaminya lebih tinggi dari wilayah barat namun
sumber dan
parameter gempanya hanya diketahui pada skala regional saja tanpa pengetahuan detil
yang memadai, sehingga jauh dari mencukupi untuk dapat diaplikasikan dalam usaha
mitigasi bencana, termasuk pemodelan bencana gempabumi dan tsunami.
Oleh karena itu perlu diadakan program nasional yang terintragasi dan sistematis
untuk melakukan studi dan pemetan detil dari sumber gempabumi dan tsunami dan
parameter-parmeter tektonik yang diperlukan untuk memodelkan potensi sumber
bencananya. Sejalan dengan ini, perlu diadakan kajian bencana detil terutama untuk
wilayah-wilayah sudah berkembang dan padat penduduk, khususnya daerah kota-kota
besar. Kajian ini meliputi kajian efek bencana primer dari gempabumi dan tsunami yang
terjadi dan juga semua bencana ikutan, termasuk bencana longsoran dan amblasan
yang dipicu gempa.
Tanpa didukung dengan pengetahuan tentang sumber gempa dan tsunami dan
kajian bencana detil yang memadai maka usaha membangun Early Warning System pun
akan tidak efektif, karena akan punya senjata api tapi tidak tahu targetnya dan cara
membidiknya yang jitu. Pelaksanaan persiapan infrastruktur apabila bencana datang,
seperti untuk rencana evakuasi, emergency reponse, dll, tidak dapat dilaksanakan
dengan tepat. Demikian juga dengan pelaksanaan pendidikan dan kesiapsiagaan
masyarakat akan sukar dilakukan apabila kita tidak mempunyai pengetahuan tentang
sumber dan potensi bencana untuk wilayah yang bersangkutan.
Akhir kata, sangat penting untuk memahami rangkaian proses pemodelan
bencana,
khususnya,
tsunami,
mulai
dari
memahami
sumber
bencana
dan
memformulasikannya untuk input data dengan beberapa scenario dan asumsi-asumsi
ilmiah yang paling masuk akal bukan asal-asalan, kualitas data bathimetri dan topografi
yang dipakai, dan juga memahami keterbatasan dan ketidakpastian dari pemodelan
matematisnya itu sendiri.
Model bencana yang yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan mutunya mungkin sama buruknya dengan tidak memodelkannya sama sekali.
Referensi
Bock, Y. et al. Crustal motion in Indonesia from Global Positioning System
measurements, J. Geophys. Res. 108., 2003
Briggs, R., Sieh, K., Meltzer, A.S., Natawidjaja, D., Galetzka, J., Suwargadi, B., Hsu, Y.J.,
Simons, M., Hananto, N., Suprihanto, I., Prayudi, D., Avouac, J.-P., Prawirodirdjo,
L., and Bock, Y. (2006). Deformation and slip along the Sunda megathrust in the
Great 2005 Nias-Simeulue earthquake.: Science, v. 311, p. 1897-1901.
Chlieh, M., Avouac, J.-P., Sieh, K., and Natawidjaja, D. (in press). Investigation of
interseismic strain accumulation along the Sunda megathrust, offshore Sumatra:
Journal of Geophysical Research.
Engdahl, E., R. van der Hilst, and R. Buland (1998). Global teleseismic earthquake
relocation with improved travel times and procedures for depth determination.
Seismol. Soc. Am. Bull. 88, 722-743
Hsu, Y.J., Simons, M., Avouac, J.p., Galetzka, J., Sieh, K., Chlieh, M., Natawidjaja, D.,
Prawirodirdjo, L., and Bock, Y. (2006). Frictional afterslip following the 2005
Nias-Simeulue earthquake, Sumatra: Science, v. 312.
Nalbant, S., Steacy, S., Sieh, K., Natawidjaja, D., and McCloskey, J. (2005). Earthquake
risk on the Sunda trench.: Nature, v. 435, p. 756-757.
Natawidjaja, D.H. (2003). Neotectonics of the Sumatran fault and paleogeodesy of he
Sumatran subduction zone. Ph.D thesis, California Institute of Technology
(Caltech).
Natawidjaja, D.H., 2005, The Past, recent, and future giant earthquakes of the
Sumatran megathrust, Lecture notes in Program of Asian Academic Seminar,
Nagoya University Press, Japan, January 2006.
Natawidjaja, D.H., K. Sieh, S. Ward, H. Cheng, R.L. Edwards, J. Galetzka, and B.W.
Suwargadi, 2004. Paleogeodetic records of seismic and aseismic subduction from
central Sumatran microatolls, Indonesia, Journal of Geophysical Research,
109(B4): 4306, 1-34.
Natawidjaja, D.H. (2006). West Indonesia Quaternary Fault Database Project. The
USGS Seismic Hazard Project for n Southeast Asia. USGS – unpublished report.
Natawidjaja, D., Sieh, K., Chlieh, M., Galetzka, J., Suwargadi, B., Cheng, H., Edwards,
R.L., Avouac, J.-P., and Ward, S. (2006). Source Parameters of the great
Sumatran megathrust earthquakes of 1797 and 1833 inferred from coral
microatolls.: J. Geophys. Res., v. 111.
Natawidjaja, D., Sieh, K., Galetzka, J., Suwargadi, B., Cheng, H., and Edwards, R.
(2007). Interseismic deformation above the Sunda megathrust recorded in coral
microatolls of the Mentawai Islands, West Sumatra: J. Geophys. Res.
Natawidjaja, D.H. and Triyoso, W. (2007): The Sumatran fault zone: from source to
hazard: Proceeding of the International Workshop on Earthquake and Tsunami:
From Source to Hazards, National University of Singapore, Singapore, 6-9 March.
Sieh, K., and Natawidjaja, D. (2000).Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia: J.
Geophys. Res., v. 105, p. 28,295-28,326.
Subarya, C., Chlieh, M., Prawirodirdjo, L., Avouac, J.P., Bock, Y., Sieh, K., Meltzner, A.J.,
Natawidjaja, D.H., and McCaffrey, R. (2006). Plate-boundary deformation
associated with the great Sumatra-Andaman earthquake: Nature, v. 440, p. 4651.
Gambar 1. Peta tektonik aktif Indonesia. Panah merah menunjukan pergerakan relative
lempeng-lempeng bumi. Tanda panah hitam adalah data pergerakan relative permukaan bumi
dari survey GPS data [dari Bock et al, 2002].
Gambar 2. Sumber gempabumi megathrust di zona subduksi Sumatra
Gambar 3. Sejarah gempabumi besar di sepanjang Sesar Sumatra: tahun (magnitudo).
Gambar 4. Gempa kembar (Mw 6.4 dan Mw 6.3) di Sesar Sumatra di wilayah Danau Singkarak tgl
6 Maret 2007.
Gambar 5. Peta aktif tektonik Pulau Jawa
Gambar 6. Peta seismisitas Pulau Jawa. Data gempa dari NEIC USGS (1973-2007
.
Gambar 7. Peta Sesar Aktif yang pecah pada waktu gempa bulan Mei 2006 di daerah BantulJogyakarta (Mw 6.3). Daerah kerusakan terparah ada di sekitar Sesar opak dan pada zona
rekahan yang luas. [dari Natawidjaja, 2007].
Gambar 8. Peta tektonik aktif dan sejarah gempa bumi dari wilayah Indonesia Timur
Gambar 9. Peta sumber gempa di bawah laut yang berpotensi tsuynami (zona dalam bayangan
oranye) dan catatan sejarah kejadian tsunam titik-titik merah: tahun (tinggi run-up). Sumber
data tsunami dari Latief [2002].
Download