Skripsi Legal Standing, E1A111069

advertisement
LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN
KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN
UTANG-PIUTANG
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen
Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ)
SKRIPSI
Oleh :
RIZKY PRIAMBODO
E1A111069
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN
KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN
UTANG-PIUTANG
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen
Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ)
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Sarjana
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
RIZKY PRIAMBODO
E1A111069
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
iv
ABSTRAK
Legal standing merupakan hak gugat yang diberikan oleh undang-undang
kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang tertentu yang tidak
secara langsung menjadi korban untuk mengajukan tuntutan hak. Legal standing
perlindungan konsumen secara materiil diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakim dalam
mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat pada gugatan
utang-piutang sudah tepat ataukah masih ada kekurangan dalam menjatuhkan
putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. Karena Legal standing dapat dimiliki apabila
memenuhi syarat yang tercantum pada Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan.
Hakim menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang secara
substansi mengambil acara pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kapasitas
hukum dari diri Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Pada
pemeriksaan pendahuluan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia
menyerahkan alat bukti surat untuk memenuhi persyaratan sebagai lembaga yang
memiliki legal standing, terbukti bahwa tidak adanya bukti surat yang
menerangkan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai
Badan Hukum. Hal tersebut menjadi dasar majelis hakim untuk menyatakan
gugatan tidak dapat diterima.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa untuk memiliki legal standing
lembaga perlindungan konsumen harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
2.
3.
Berbentuk badan hukum atau yayasan ;
Anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen ;
Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Selain ketiga syarat tersebut, legal standing yang memiliki kapasitas hukum
dalam mengajukan gugatan ditujukan demi kepentingan masyarakat atau demi
harkat martabat orang banyak dengan petitum yang dimintakan adalah
penghentian kegiatan, permintaan maaf, uang paksa (dwangsom), bukan ganti
kerugian.
v
ABSTRACT
Legal standing is the right to sue that granted by law to the nongovernmental organizations engaged in particular that do not directly become a
victim to file a claim rights. Legal standing consumer protection materially
regulated in Article 46 paragraph (1) letter c of Law No. 8 of 1999 about
Consumer Protection.
The purpose of this study is to determine how the judge constitute the
legal standing Indonesian National Consumer Protection Agency has no legal
capacity as a plaintiff in the lawsuit of debts, is it appropriate or whether there are
still shortages in verdict No. 62 / Pdt.G / 2013 / PN.KPJ. Because Legal standing
may be held if it meets the requirements that listed in Article 46 paragraph (1)
letter c of Law No. 8 of 1999 about Protection.
Judge use the Indonesian Supreme Court Regulation No. 1 of 2002 about
Class Action Event in substance took a preliminary investigation to examine the
legal capacity of Indonesian National Consumer Protection Agency. In the
preliminary examination of the Indonesian National Consumer Protection Agency
submitted documentary evidence to meet the requirements as an institution which
has a legal standing, it is evident that the absence of documentary evidence which
explains the Indonesian National Consumer Protection Agency as a legal entity. It
became the basis of the judges to declare the lawsuit can not be accepted.
These study results indicate that to have legal standing consumer
protection agency must meet the following requirements:
1.
2.
3.
Form of legal entity or foundation ;
In the articles of association stated clearly that the purpose of its
establishment is in the interests of consumer protection ;
It has been carrying out those activities in accordance with its articles of
association.
In addition to these three conditions, the legal standing that have legal capacity to
file a lawsuit aimed at the public interest or for the sake of the dignity of people
with a petition that requested is cessation of activity, apology, money forced
(dwangsom), not compensation.
vi
MOTTO
Jadikan ibadah dan sabar sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan, hanya
dirimu yang bisa mengalahkan dirimu, orang lain hanya turut serta, dan adillah
terhadap dirimu, agar orang lain dapat merasakan keberadaanmu
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul LEGAL
STANDING
LEMBAGA
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
NASIONAL
INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG (Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/
PN.KPJ) dapat diselesaikan dengan baik.
Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum.
2.
Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang telah
memberikan nasehat, saran, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Drs. Antonuis Sidik M. S.H., MS. selaku dosen Pembimbing II yang
telah memberikan nasehat, saran, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Pramono Suko Legowo, S.H., M.Hum. selaku dosen Penguji.
5.
Bapak Muhammad Taufiq selaku dosen Pembimbing Akademik.
6.
Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang tulus
memberikan ilmu kepada penulis sehingga dapat mencapai gelar kesarjanaan.
7.
Seluruh staff dan karyawan Bappendik Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman yang telah membantu dalam administrasi.
viii
8.
Teman-teman angkatan 2011 dan semua pihak yang turut membantu penulis
dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna, meskipun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat
bagi yang membutuhkan.
Purwokerto, 18 Februari 2015
Penulis,
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................... iv
ABSTRACT ................................................................................................ v
HALAMAN MOTTO ................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Perumusan Masalah ......................................................... 9
C. Kerangka Teori ............................................................... 9
D. Tujuan Penelitian ............................................................ 15
E. Kegunaan Penelitian ........................................................ 16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 17
A. Hukum Acara Perdata...................................................... 17
1. Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia .................. 17
2. Pengertian Hukum Acara Perdata................................ 18
3. Sumber Hukum Acara Perdata .................................... 19
x
B. Gugatan........................................................................... 24
1. Pengertian Gugatan ..................................................... 24
2. Para Pihak Dalam Gugatan ......................................... 26
3. Pengertian Kuasa Pada Umumnya............................... 28
4. Diskualifikasi in Person .............................................. 30
C. Legal Standing ................................................................ 31
1. Pengertian Legal Standing .......................................... 31
2. Prosedur Pengajuan Legal Standing ............................ 33
3. Pengertian Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ................ 35
D. Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ................................ 41
1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan ...... 41
2. Sifat Putusan ............................................................... 44
3. Jenis-jenis Putusan ...................................................... 45
4. Asas Putusan............................................................... 47
BAB III
METODE PENELITIAN..................................................... 59
A. Tipe Penelitian ................................................................ 59
B. Metode Pendekatan ......................................................... 59
C. Spesifikasi Pendekatan .................................................... 60
D. Jenis dan Sumber Data .................................................... 61
E. Metode Pengumpulan Data.............................................. 62
F. Metode Penyajian Data.................................................... 62
G. Metode Analisis Data ...................................................... 62
xi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................... 64
A. Hasil Penelitian ............................................................... 64
B. Pembahasan .................................................................... 96
BAB V
PENUTUP ............................................................................ 117
A. Simpulan ......................................................................... 117
B. Saran ............................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pergaulan hidup antar manusia tidak lepas dari adanya permasalahan
hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lainya. Terlebih apabila
masalah tersebut menyangkut tentang hak-hak keperdataan Orang/Badan
Hukum yang pada dasarnya ingin hidup secara tenang dan damai tanpa
adanya suatu masalah yang menimpanya. Interaksi sosial sesama manusia
adakalanya menyebabkan konflik di antara mereka sehingga 1 (satu) pihak
harus mempertahankan haknya dari pihak lainnya atau memaksa pihak lain
melaksanakan kewajibannya. 1
Upaya untuk mempertahankan hak haruslah dilakukan menurut
ketentuan hukum agar ketentraman di dalam masyarakat tidak terganggu,
karenanya perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) harus dihindarkan.
Tindakan mempertahankan hak menurut hukum itu disebut gugatan, yakni
suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita
oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan. 2 Proses melalui Pengadilan
1
Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata (Bandung : Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, 2002) halaman 1.
2
Ibid., halaman 1.
2
adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa, penyelesaian sengketa
di luar Pengadilan pun tidak sedikit yang menggunakannya.
Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak
lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan, serta
kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.3
Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Masyarakat di dalam
praktiknya timbul hak gugat yang bergerak di bidang tertentu untuk
mengajukan gugatan, misalnya yang bergerak dibidang lingkungan hidup,
kehutanan atau konsumen. 4 Mereka tidak secara langsung menjadi korban
dari suatu keadaan, apakah perusakan hutan, pencemaran lingkungan atau
sebagai konsumen. Akan tetapi, diberi hak oleh undang-undang (hukum)
untuk mengajukan gugatan. Hak itu disebut dengan Legal Standing.5
Legal standing secara materiil diatur dalam beberapa undang-undang,
yaitu pasal 92 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 46 Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3
Ibid., halaman 2.
4
Ibid., halaman 28.
5
Ibid., halaman 28.
3
Pengertian standing adalah hak kelompok masyarakat atau lembaga
yang bertindak untuk dan mewakili kepentingan publik, hak yang demikian
dikenal dengan hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO’s standing).6
Dasar pikiran pengembangan hak gugat (Standing) menurut Mas.
Achmad Santosa dan kawan-kawan adalah untuk kepentingan masyarakat
luas dan penguasaan sumber daya alam atau sektor-sektor yang memiliki
dimensi publik yang luas oleh Negara.7
Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan ”Penyelesaian sengketa konsumen
dapat ditempuh melalui Pengadilan atau di luar Pengadilan”, berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dijelaskan dalam pasal 45 Ayat
(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan dikatakan menjadi
wewenang dari peradilan umum, sedangkan penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan menjadi wewenang lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan hanya dapat
ditempuh oleh penggugat individu, karena gugatan secara berkelompok, atau
gugatan perwakilan atau gugatan yang dilakukan oleh pemerintah hanya
dapat diajukan kepada peradilan umum. 8 Peneliti disini akan meneliti
6
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara
Serta Kendala Implementasinya (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2011)
halaman 203.
7
Ibid., halaman 28.
8
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 239.
4
sengketa konsumen yang diselesaikan melalui peradilan umum yang diajukan
oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Penyelesaian dengan mengadu kepada Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), bukanlah penyelesaian sengketa
konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat akan
mengadvokasikan konsumen untuk menyelesaikan permasalahan ke Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau ke Pengadilan. 9
Rumusan legal standing dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen ditemukan pada Pasal 46 ayat (1) huruf c
menyebutkan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”. 10
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
apabila akan melakukan gugatan, sebelumnya harus memenuhi dahulu
persyaratan-persyaratan tertentu yang menyatakan Lembaga Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat
(LPKSM)
berwenang
menggugat
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang
9
Ibid., halaman 238.
10
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
5
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)
mengatur: ”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah
lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”.11 Adapun
pendaftaran dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan
Pasal 3 menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat disebutkan: 12
Pasal 2
(1)Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat
untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen
sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya;
(2)Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga
Perlindungan Konsumen;
Pasal 3
(1)Kewenangan Penerbitan TDLPK berada pada Menteri;
(2)Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota;
(3)Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas;
Berdasarkan pasal tersebut dapat diterangkan bahwa Pemerintah
mengakui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
memenuhi syarat dimana pengakuan terjadi setelah melakukan pendaftaran
11
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
12
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
6
dan adanya penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen
(TDLPK) yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang.
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a angka
1 disebutkan pada pokoknya bahwa: “Permohonan Tanda Daftar Lembaga
Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang
berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen di
antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan
yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga
Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari
Instansi yang berwenang”. 13
Legal standing telah diakui dalam beberapa undang-undang di
Indonesia namun mengenai prosedur atau hukum acaranya legal standing
belum diatur baik dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah bahkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sekalipun. 14
Beberapa aturan
menyebutkan prosedur legal standing mengacu pada hukum acara perdata
yang berlaku, namun seperti halnya class action maka legal standing ini
13
14
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 25
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
7
memiliki karakteristik atau kekhasan tersendiri, yang itu belum terakomodir
dalam hukum acara yang berlaku.15
Para
penggugat
dalam
perkara
ini
yaitu
LEMBAGA
PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA disingkat LPK
Nasional Indonesia Badan Hukum Publik berkedudukan di Kantor Pusat
Malang di Jalan Raya Wapoga No. 2 Perum Ngujil Permai II Telp.0341492174/7723567 Fax 03 123 berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK
yang selanjutnya disebut Penggugat I dalam hal ini diwakili oleh
Pengurusnya Lukman Hadi Wijaya, Dholin Efendi, Nanang Nelson, SH ; dan
MARDI yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa
Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur berdasarkan
pasal 46 ayat (1) huruf a UUPK untuk dan atas nama diri sendiri sebagai
konsumen. Selanjutnya disebut sebagai Penggugat II ; melawan Koperasi
Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jl jenderal A. Yani No.
2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur Selanjutnya
disebut Tergugat. Dimana para Penggugat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri Kepanjen terhadap Tergugat dengan register nomor :
62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. tertanggal 28 Mei 2013.
15
Ibid., halaman 25.
8
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat
I menerima pengaduan masyarakat pada tanggal delapan mei dua ribu tiga
belas (08-05-2-13) yang bernama Mardi sebagai Penggugat II mengenai
hutang piutang antara Mardi dengan Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan
Pinjam sebesar Rp. 40.000.000,-(empat puluh juta rupiah). Mardi rutin
membayar angsuran sejak tahun 2004 hingga 2008 sebesar Rp. 1.600.000,(satu juta enam ratus ribu rupiah) setiap bulannya sehingga mencapai Rp.
76.800.000,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah). Kwitansi
diminta kembali oleh Tergugat sehingga diduga Tergugat menghilangkan
bukti pembayaran angsuran. Mardi awalnya bukan anggota Koperasi tersebut
tetapi setelah adanya UU RI No. 17 Tahun 2012 tentang perkoperasian maka
Mardi harus dimasukan sebagai anggota paling lambat 3 bulan dari nonanggota menjadi anggota dan Mardi meminta hak-hak nya sebagai anggota
Koperasi. Dalam perjanjian Tergugat diduga melanggar klausula baku. Oleh
sebab itu perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan
merugikan para Penggugat. Para Penggugat meminta ganti kerugain atas
tindakan yang dilakukan oleh Tergugat. Terjadi permasalahan apakah
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia memiliki hak untuk
mengajukan gugatan berdasarkan hak gugat organisasi.
Berawal dari latar belakang masalah tersebut diatas penulis tertarik
untuk mengetahui bagaimana hakim dalam mengkonstitusi gugatan Legal
Standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak
mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat sudah tepat ataukah masih
9
ada kekurangan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima dan
bermaksud melakukan penelitian dengan judul LEGAL STANDING
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA
PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG(Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut,
maka dapat ditarik suatu perumusan masalah yaitu:
Apakah hakim dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai
penggugat sudah tepat pada gugatan utang-piutang dalam Putusan No.
62/Pdt.G/2013/PN.KPJ.?
C. Kerangka Teori
Perkumpulan diatur dalam BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata pasal 1653 yang menyebutkan:16
”Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui
pula
perhimpunan-perhimpunan,
baik
perkumpulanperkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau
diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun
16
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
10
perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan,
atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.”
Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) berdasarkan Pasal 44 ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :17
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam
memperjuangkan haknya,
termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
Gugatan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undangundang
No.
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen
menyebutkan:18
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
17
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
18
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
11
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum
atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)
mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah
lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” 19
Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan bukan
perizinan. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
membuka kantor perwakilan atau cabang cukup melaporkan kantor
perwakilan tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota setempat tanpa harus
melakukan pendaftaran.20
19
20
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305.
12
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan
tentang
Pendaftaran
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat disebutkan: 21
Pasal 2
(1)Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di
bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam
anggaran dasar pendiriannya;
(2)Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga
Perlindungan Konsumen;
Pasal 3
(1)Kewenangan Penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan
Konsumen berada pada Menteri;
(2)Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota;
(3)Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas;
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a
angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia disebutkan pada pokoknya bahwa: 22 “Permohonan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen bagi Lembaga Swadaya Masyarakat
21
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
22
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
13
yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen di
antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan
yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga
Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan
dari Instansi yang berwenang”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan. 23
Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dalam anggaran dasar
yayasan sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama dan tempat kedudukan;
2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud
dan tujuan tersebut;
3. Jangka waktu pendirian;
4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi
pendiri dalam bentuk uang atau benda;
5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan;
6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan
Pengawas;
8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan;
9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan
11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran
kekayaan yayasan setelah pembubaran.
23
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 307.
14
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menyebutkan : 24
BAB II
TATA CARA DAN PERSYARATAN GUGATAN
PERWAKILAN KELOMPOK
Pasal 2
Gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara
Gugatan Perwakilan Kelompok apabila :
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga
tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara
sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat
kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya;
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk
melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban
membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Pasal 3
(1) Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat
gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang
berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat :
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa
menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam
kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun
anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak
teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;
e. Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan
beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan
tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan
secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau
tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan
anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim
24
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.
15
atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti
kerugian.
Pasal 4
Untuk mewakili kepentingan Hukum anggota kelompok, wakil
kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus
dari anggota kelompok;
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Pasal 5 ayat (1)
menyebutkan : “Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib
memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2”. 25 Berdasarkan ketentuan tersebut
dapat ditarik suatu pemahaman bahwa sebelum hakim melakukan
pemeriksaan terhadap pokok perkara terlebih dahulu hakim akan melakukan
proses pemeriksaan awal persidangan terhadap kriteria gugatan perwakilan
kelompok.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakim
dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat
pada gugatan utang-piutang sudah tepat ataukah masih ada kekurangan dalam
menjatuhkan putusan.
25
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok.
16
E. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan uraian tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan
penulisan dari penelitian hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat
baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan,
yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan ilmu hukum, serta untuk memperluas pengetahuan dan
menambah referensi khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
proses pemeriksaan perkara legal standing Lembaga Perlindungan
Konsumen Swdaya Masyarakat.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi
para mahasiswa ilmu hukum, serta sumbangan pemikiran bagi Hakim
khususnya dan bagi para aparat penegak hukum, yang mudah-mudahan
dapat melakukan peningkatan pengetahuan dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya yaitu menerapkan hukum acara sesuai dengan hukum acara
yang berlaku, agar memenuhi keadilan masyarakat, sehingga dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, manusiawi, dan
berkeadilan, terlebih khusus kepada Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat agar lebih teliti dan memperhatikan kapasitas
hukumnya dalam mengajukan tuntutan hak terkait gugatan legal standing.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Acara Perdata
1.
Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia
Sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental,
namun dewasa ini sistem hukum Indonesia terpengaruh oleh sistem hukum
sipil.
Sistem Indonesia ini mirip dengan sistem hukum sipil, karena
sistem hukum Indonesia secara historis sangat dipengaruhi oleh
sistem hukum yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda, yang memerintah wilayah ini selama 3 ½ abad. Hal ini
dapat dilihat pada Bab II Peraturan Peralihan UUD 1945.
Namun, subsistem hukum yang mendukung mengandung
pengaruh hukum adat, hukum Islam dan hukum barat lainnya,
sehingga hasilnya adalah kompleks. Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di
bawahnya, yaitu pengadilan umum, pengadilan agama,
pengadilan militer, pengadilan administrasi dan court.
konstitusional Hukum Acara Perdata, HIR (Herziene
Indonesisch Reglement), diwarisi dari administrasi Hindia
Belanda, dan atau diperoleh dari OR (Inlandsch Reglement)
yang terkandung dalam Staatsblad no. 16 dalam hubungannya
dengan 57/1848, masih tersisa di force. HIR tidak membahas
tindakan kelas atau perwakilan kelas.26
Azas ini diberi nama azas konkordansi (concordantie-beginsel) yakni
hukum yang berlaku bagi golongan hukum eropa di Indonesia harus
disamakan (dikonkordansi), dengan hukum yang berlaku di Belanda.
26
Mas Achmad Santosa, CLASS ACTIONS IN INDONESIA (Blackie, 2008) halaman 1.
18
Tetapi bilamana keadaan khusus di Indonesia memerlukan perkecualian,
maka pembuat ordonasi dapat menetapkan suatu hukum lain. 27
2.
Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata Materiil berisikan norma-norma materiil
tentang hak-hak keperdataan orang/badan hukum, untuk menegakan
hukum perdata materiil inilah dibutuhkan norma yang mengatur dapat
berjalan/terlaksananya norma materiil tersebut, norma ini disebut Hukum
Acara Perdata.
Hukum acara perdata hanya diperuntukan menjamin ditaatinya hukum
materiil perdata. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak
membebani hak dan kewajiban seperti yang kita jumpai dalam hukum
materiil perdata, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan kaidah hukum materiil, atau melindungi hak perseorangan. 28
Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan
hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkrit lagi dapatlah
dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. 29
27
Djindang, E. Utrech/ Moh. Saleh, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta : Penerbit Sinar
Harapan, 1983) halaman 168.
28
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberti Yogyakarta.,
2009) halaman 2.
29
Ibid., halaman 2.
19
3.
Sumber Hukum Acara Perdata
Sumber hukum dibedakan dalam arti formal dan dalam arti materiil.
Salmond mendefinisikan sumber hukum dalam arti formal sebagai sumber
yang bersifat operasional yang berhubungan langsung dengan penerapan
hukum. 30 Sedangkan hukum dalam arti materiil adalah sumber berasalnya
substansi hukum. 31
Sumber hukum merupakan tempat kita menemukan dan menggali
kaidah-kaidah atau norma-norma yang kita butuhkan. Hukum acara
perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan
Madura dan Rbg. untuk luar Jawa dan Madura. 32
Van Appeldorn membedakan empat macam sumber hukum yaitu : 33
a.
Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat
menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis.
Sumber hukum ini dibagi lebih lanjut menjadi dua yaitu :
1) Sumber hukum merupakan tempat dapat ditemukannya atau
dikenal dengan hukum acara historis, misalnya dokumen-dokumen
kuno, lontar dan lain-lain.
30
Marzuki, P. M.. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group,
2008) halaman 257.
31
Ibid., halaman 258.
32
S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg.
33
Apeldoorn, V. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1996) halaman
75-78
20
2) Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undangundang mengambilnya.
b.
Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktorfaktor yang menentukan isi hukum positif seperti: keadaan agama,
pandangan agama dan sebagainya.
c.
Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi dua:
1) Sumber hukum disini, ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana.
Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu:
a)
Pandangan teokratis, menurut pandangan ini isi hukum berasal
dari Tuhan;
b) Pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum
berasal dari manusia;
c)
Pandangan mazab historis, bahwa isi hukum berasal dari
kesadaran hukum.
2) Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum
mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum.
Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan semata-mata
didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena
kebanyakan
kepercayaan.
orang
didorong
oleh
alasan
kesusilaan
dan
21
d.
Sumber hukum dalam arti formil, adalah sumber hukum dilihat dari
cara terjadinya hukum positif, merupakan fakta yang menimbulkan
hukum yang berlaku mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul
dari kesadaran masyarakat.
Hingga kini hukum acara yang dianut untuk daerah Jawa
dan Madura adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
dan bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura diatur dalam
kitab hukum Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg),
yang keduanya merupakan peninggalan zaman kolonial, yang
tidak lagi dapat sepenuhnya menampung perkembangan
tuntutan keadilan dari masyarakat pencari keadilan.
Penyelesaian sengketa melalui instrument hukum acara tersebut
dalam praktiknya tidak dapat membantu konsumen dalam
mencari keadilan.34
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Drt. Tahun
1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil maka
disebutkan bahwa sumber hukum acara pardata adalah sebagai
berikut:35
a.
Het Herziene Indonesich Reglement (HIR atau Reglement yang
diperbaharui: S. 1848 No. 16, S. 1941 No. 44) untuk daerah
Jawa dan Madura;
34
35
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 43.
Khusnanto, N. Surat Kuasa yang tidak sah dalam perkara yang dimohonkan banding, (Skripsi
2009) halaman 14-17.
22
b.
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg atau Reglement daerah
sebrang: S. 1927 No. 227) untuk luar Jawa dan Madura;
c.
Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (RV atau
Reglement, S. 1847 No. 52, 1849 No. 63) hukum acara perdata
untuk golongan Eropa;
d.
Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der
justitie in Indonesie (RO atau Reglement tentang Organisasi
Kehakiman: 1847 No. 23);
e.
Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yaitu khususnya dalam buku IV (Pasal 1865 s.d 1993);
f.
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 (LN 1974) tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Kekuasaan Kehakiman lalu diperbaharui lagi dengan Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
lalu diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman;
g.
Wetboek Van Koophandel en Faillissements-Verordening atau
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan;
h.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Acara
23
Pemberian
Izin
Perkawinan,
Pencegahan
Perkawinan,
Perceraian, Pembatalan Perkawinan dan sebagainya;
i.
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang memberlakukan HIR (Het Herziene
Indonesich Reglement);
j.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang
Nomor
14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung;
k.
Adat Kebiasaan, menjadi sumber hukum acara perdata
digunakan oleh hakim dalam penemuan hukum;
l.
Doktrin atau pendapat para sarjana merupakan sumber hukum
acara perdata, sumber dimana hakim dapat menggali hukum
acara perdata. Tetapai doktrin bukanlah hukum, melainkan
sumber hukum;
m. Perjanjian Internasional, dapat menjadi sumber hukum acara
perdata sesuai dengan kebutuhan asalkan tidak bertentangan
dengan hukum yang ada di Indonesia.
n.
Yurisprudensi, keputusan hakim sebelumnya menjadi acuan
untuk hakim berikutnya memutuskan perkara terhadap perkara
24
yang
hampir
sama
tetapi
tidak
memutuskan
dengan
pertimbangan dan keputusan yang sama;
o.
Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung;
B. Gugatan
1.
Pengertian Gugatan
Setiap orang yang ingin menuntut haknya melalui jalur Pengadilan,
pasti harus melakukan pengajuan gugatan, baik secara lesan ataupun
tertulis. Gugatan yang sering kita jumpai adalah gugatan yang dilayangkan
secara tertulis.
Gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah”eigenrichting”.36
Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan
hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat
diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna
diperiksa:point d’interet, point d’action. Ini tidak berarti bahwa
tuntutan hak yang berkepentingan hukumnya pasti dikabulkan
oleh pengadilan. Hal itu masih tergantung pada pembuktian.
Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu
pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas
suatu hak, pasti akan dikabulkan. Mahkamah Agung dalam
putusanya tanggal 7 Juli 1971 no. 294 K/Sip/1971 mensyaratkan
bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai
hubungan hukum. 37
36
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 52.
37
Ibid., hal. 53, lihat Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972 1, halaman 99.
25
Hak gugat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
dilakukan
apabila
terjadi
sengketa
konsumen.
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen sendiri tidak menjelaskan mengenai pengertian
sengketa konsumen. Menurut ketentuan pasal 1 angka 11 jo. Pasal 1 angka
8 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, yang dimaksud dengan
sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat
mengonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. 38
Surat gugatan hendaknya memenuhi Syarat Formal dan Syarat
Substansial.
Syarat Formal dari suatu gugatan dapat berisikan: 39
1) Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
2) Materai
3) Tanda tangan Penggugat
Syarat Substansial Menurut Pasal 8 RV, suatu gugatan terdiri atas : 40
1) Identitas para pihak
2) Dasar atau dalil gugatan/ posita/ fundamentum petendi berisi tentang
peristiwa dan hubungan hukum
38
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 148.
39
Darwan Prinst, Op.cit., halaman 33.
40
Ibid., halaman 34.
26
3) Tuntutan/ petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/
tambahan
2.
Para Pihak Dalam Gugatan
Pengajuan Tuntutan hak di Pengadilan pada dasarnya adalah orang
perorangan atau badan hukum yang memiliki kepentingan. Mengenai
kepentingan disini bisa kepentingan langsung maupun kepentingan tidak
langsung.41
Orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin
mempertahankan atau membelanya pada dasarnya berwenang untuk
bertindak selaku pihak, baik selaku penggugat maupun selaku tergugat
(legitima persona standi in judicio).42
Para pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan baik dia yang
secara langsung memiliki kepentingan, baik tidak secara langsung
memiliki kepentingan, atau dia yang mewakili kepentingan orang lain pada
dasarnya hanya ada 2 (dua) pihak di dalam Pengadilan yaitu pihak
Penggugat dan pihak Tergugat.
Dalam perkara Perdata Senantiasa ada 2 (dua) belah pihak yaitu: 43
1) Penggugat/Para Penggugat
Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut
Penggugat/Para Penggugat, yakni orang atau badan hukum yang
41
Susanti Adi Nugroho, Class Action & perbandingannya dengan Negara Lain (Jakarta: Prenada
Media Group, 2010) halaman 371.
42
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 69.
43
Darwan Prinst, Op.cit., halaman 2-4.
27
memerlukan/berkepentingan akan perlindungan hukum dan oleh
karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk mengajukan
adalah adanya kepentingan langsung/melekat dari si Penggugat.
Artinya tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat
mengajukan gugatan apabila kepentingan itu tidak langsung dan
melekat pada dirinya. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta
mempunyai dasar hukum saja yang dapat diterima sebagai dasar
gugatan.
Sebelum
mengajukan gugatan telah dipikirkan dan
dipertimbangkan, apakah Penggugat betul orang yang berhak
mengajukan gugatan, kalau tidak berhak, maka gugatan akan
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet onvankelijk Verklaard).
2) Tergugat/Para Tergugat
Tergugat adalah orang atau badan hukum yang terhadapnya
diajukan gugatan atau tuntutan hak. Tergugat dapat terdiri dari seorang
atau beberapa orang atau 1 (satu) badan hukum atau beberapa badan
hukum atau gabungan orang perorangan dengan badan hukum. Oleh
karenanya harus hati-hati dalam menyusun gugatan terhadap Tergugat
karena bisa jadi Tergugatnya tidak tepat.
Konsep
badan
hukum
atau
yayasan
(rechtspersoon;legal entities;corporation) sebagai subjek
penggugat atau tergugat dalam suatu perkara, bukanlah hal
yang baru, tetapi jika badan hukum atau yayasan tersebut
tanpa mempunyai kepentingan langsung dengan objek
gugatan, diperkenankan bertindak sebagai penggugat,
merupakan perluasan dari konsep persona standi in judicio
karena adanya kebutuhan hukum. 44
44
Susanti Adi Nugroho II, Op.cit., halaman 377.
28
3.
Pengertian Kuasa Pada Umumnya
Kuasa berarti wewenang, maka pengertian pemberian kuasa berarti
pemberian/ pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasa untuk mewakili kepentingannya.45
Pemberian kuasa berdasarkan pasal 1792 KUH Perdata menerangkan
bahwa:”Suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya
(wewenang) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan”.
Bertitik tolak berdasarkan pasal tersebut dalam perjanjian kuasa
terdapat dua pihak yaitu terdiri dari:
1) Pemberi kuasa lastgever (instruction, mandate);
2) Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau
mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Pemberian kuasa, dengan kata lain merupakan suatu perbuatan hukum
yang bersumber pada persetujuan/ perjanjian yang sering kita lakukan
dalam kegiatan sehari-hari. 46
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi 2007, Mahkamah Agung RI,
2009, hal 53 disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil
dari penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah :
45
46
Darwan Prinst, Op.cit., halaman 6.
Meliala, D. S. Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata. (Bandung: Tarsito, 1982)
halaman 1.
29
a.
Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang
Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan
Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai
berlaku dinyatakan sebagai Advokat);
b.
Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah
sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia;
c.
Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI;
d.
Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
e.
Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua
Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum
TNI/Polri
untuk
perkara
yang
menyangkut
anggota/keluarga
TNI/Polri;
f.
Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda
dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan
surat keterangan kepala Desa/Lurah.
Surat kuasa dapat diberikan dalam suatu akta otentik (dihadapan Notaris/
Pejabat-pejabat lainnya), dalam suatu tulisan dibawah tangan (akta dibawah
tangan), sepucuk surat atau secara lisan. 47
47
Darwan Prinst, Op.cit., halaman 7.
30
4.
Diskualifikasi in Person
Diskualifikasi in Person adalah : 48
Diskualifikasi in Person terjadi, apabila yang bertindak
sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat
(diskualifikasi), disebabkan penggugat dalam kondisi tidak
mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan
dan tidak cakap melakukan tindakan hukum. Gugatan yang
diajukan oleh orang yang tidak berhak atau tidak memiliki hak
untuk itu, merupakan gugatan yang mengandung cacat formil
error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persona yaitu
pihak yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak
punya syarat untuk itu.
Pemeriksaan formalitas dilakukan sebelum diperiksanya pokok
perkara. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung menyebutkan syarat
dalam menyusun gugatan:
1) Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA
tgl 13-5-1975 Nomor 151 Sip/1975)
2) Orang bebas menyusun dan merumuskan gugatan asalkan cukup
memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar
tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972)
3) Apa yang dituntut harus disebutkan dengan jelas (MA tgl 21-11-1970
Nomor 492 K/Sip/1970)
Syarat yang tidak terpenuhi tersebut berakibat gugatan menjadi tidak
sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).49
48
49
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) halaman 111.
Ramon, T. (2010, Juni 4). Hukum Acara Perdata. Retrieved Desmber 4, 2014, from Wordpress:
http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-acara-perdata/
31
C. Legal Standing
1. Pengertian Legal standing
Legal standing merupakan lembaga yang berasal dari sistem hukum
common law. Legal standing di adopsi dan diakui eksistensinya di dalam
peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dilakukan semata-mata
demi kepentingan hukum dan kebutuhan hukum.
Legal standing merupakan hak gugat yang diberikan oleh undangundang kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang
tertentu yang tidak secara langsung menjadi korban untuk mengajukan
tuntutan hak.50
Hak Standing tidak secara otomatis menjamin keberhasilan litigasi
kasus-kasus publik, karena pada dasarnya standing hanyalah merupakan
”tiket masuk” ke dalam arena advokasi hukum(legal battle).51
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara
luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di
pengadilan sebagai pihak penggugat.52
Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada
prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point
d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest)
yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang
berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau
50
Darwan Prinst, loc.cit.
51
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 209.
52
Erna Herlinda, 2004. Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal standing Di Peradilan
Tata Usaha Negara. e-USU Repository © 2004. Universitas Sumatera utara. hal 3-4.
Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for
Environmental Damage Indonesia, yang disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di
Indonesia bekerjasama dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL.
32
kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara
langsung (injury in fact).53
Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional
berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan
hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public
interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau
organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak
memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan
didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan
kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik
seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak
Civil dan Politik.54
Legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus
sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah perbedaan pokok antara
gugatan berdasarkan class action dengan legal standing.55
Syarat kelayakan perwakilan dalam legal standing tidak diserahkan
sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif , yaitu
harus memenuhi ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf (c) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.56
53
Ibid., halaman 3-4, sebagaimana disadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 9,
ICEL., 1997, Loc.Cit.
54
Ibid., halaman 3-4, Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 9,
ICEL., 1997.
55
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 205.
56
Ibid., halaman 205.
33
2. Prosedur Pengajuan Legal Standing
Legal standing LSM/Hak Gugat LSM telah diakui dalam berbagai
undang-undang di Indonesia, namun mengenai prosedur atau hukum
acaranya belum diatur baik dalam undang-undang, peraturan pemerintah
bahkan PERMA.57 Dalam beberapa aturan menyebutkan prosedur legal
standing mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku, namun seperti
hal nya class action, legal standing memiliki karakteristik atau kekhasan
tersendiri yang hal itu belum terakomodir dalam hukum acara yang
berlaku.58
Mekanisme gugatan legal standing (LSM) sebagai penggugat bukan
sebagai
pihak
yang
mengalami
kerugian
nyata.
Namun
karena
kepentinganya, LSM ini kemudian mengajukan gugatan. Berdasarkan hal
tersebut diatas, dapat diuraikan karakterisrik mekanisme gugatan legal
standing : 59
1. Pihak Penggugat
Pihak yang dapat mengajukan mekanisme legal standing hanyalah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hanya LSM yang anggaran
dasarnya meliputi perbuatan yang dilanggar oleh tergugat saja yang dapat
57
58
59
Susanti Adi Nugroho II, Op.cit. halaman 370, Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad
Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, “Hak Gugat Organisasi Lingkungan”, Penerbit Mahkamah
Agung RI, tahun 1998, halaman 364.
Ibid., halaman 364.
Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10
Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.
34
mengajukan legal standing dan pelanggaran oleh tergugat tersebut
merupakan bagian kegiatan LSM yang diatur dalam anggaran dasar LSM
tersebut.
2. Pihak Tergugat
Pihak yang dapat digugat melalui mekanisme legal standing pada
dasarnya meliputi seluruh subyek hukum, baik orang perorangan dan
badan hukum(badan hukum publik maupun privat). Ketiga, dalil tuntutan
hak. Tuntutan hak yang dapat diajukan dalam mekanisme gugatan legal
standing adalah terkait dengan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh subyek hukum.
3. Petitum
Legal standing tidak mengenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti
rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya
yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Subyek hukum yang
digugat hanya diminta untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan tertentu.
Prosedur yang paling utama dimulai dari Terminologi legal standing
terkait dengan konsep locus standi atau prinsip persona standi in judicio,
yaitu seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan
kualitas sebagai penggugat.60 Dalam doktrin hukum perdata dikenal dengan
azas tidak ada gugatan tanpa kepentingan (point d’interet, point d’action).
60
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 308, sebagaimana disadur dari Yusuf Shofie. “Listrik
dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel Koran Tempo 4 september 2004.,
halaman 93.
35
Seorang dikatakan memiliki kepentingan yang memadai atau locus standi,
jika berkaitan dengan pokok masalah perkara yang diajukan. 61
Konsep badan hukum /yayasan (rechtspersoon; legal
entities; corporation) sebagai subjek penggugat atau tergugat
dalam suatu perkara, bukanlah hal yang baru, tetapi jika badan
hukum/yayasan tersebut tanpa mempunyai kepentingan
langsung dengan objek gugatan, diperkenankan bertindak
sebagai penggugat, merupakan perluasan dari konsep persona
standi in judicio karena adanya kebutuhan hukum. Pengadilan
telah menunjukan fleksibilitas (flexibility) yang begitu besar
terhadap konsep tersebut.62
Kebutuhan hukum disini yang menyangkut harkat orang banyak dan
kepentingan perlindungan lingkungan hidup. Sehingga dengan adanya
fleksibilitas tersebut diharapkan tujuan hukum dapat tercapai yaitu rasa
keadilan.
3. Pengertian Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM)
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan
diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan
konsumen.63 Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yang dimaksud memenuhi
61
Ibid., halaman 93.
62
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 308.
63
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
36
syarat antara lain terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan
konsumen.64
Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan :65
a.
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b.
memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.
bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d.
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
Gugatan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-
undang
No.
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen
menyebutkan:66
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
64
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305.
65
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
66
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
37
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum
atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)
mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah
lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” 67
Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai
pencatatan bukan perizinan. Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat yang membuka kantor perwakilan atau
cabang cukup melaporkan kantor perwakilan tersebut kepada
pemerintah kabupaten/kota setempat tanpa harus melakukan
pendaftaran. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat tersebut dapat melakukan kegiatan perlindungan
konsumen di seluruh wilayah Indonesia. 68
67
68
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305.
38
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan
tentang
Pendaftaran
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat disebutkan: 69
Pasal 2
(1)Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di
bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam
anggaran dasar pendiriannya;
(2)Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga
Perlindungan Konsumen;
Pasal 3
(1)Kewenangan Penerbitan TDLPk berada pada Menteri;
(2)Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota;
(3)Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas;
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a
angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa: 70 “Permohonan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya
Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumendokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum
69
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
70
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
39
atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan
Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat
Pengesahan dari Instansi yang berwenang”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan. 71
Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dalam anggaran dasar
yayasan sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama dan tempat kedudukan;
2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud
dan tujuan tersebut;
3. Jangka waktu pendirian;
4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi
pendiri dalam bentuk uang atau benda;
5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan;
6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian
anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;
7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan
Pengawas;
8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan;
9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan
11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran
kekayaan yayasan setelah pembubaran.
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Nasional
Indonesia
mengakui dirinya sebagai sebuah badan hukum yang bergerak untuk
71
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 307.
40
melindungi kepentingan konsumen yang mengalami kerugian.
Dibuktikan dengan dasar sebagai berikut:
PT.Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia
atau disingkat “Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia (LPKNI)" adalah Perseroan Nomor : AHU04158.40.20.2014 tentang Persetujuan Perubahan badan Hukum
Perseroan Terbatas PT Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia yaitu Menyetujui Perubahan Badan Hukum
PT. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia
dengan NPWP 02.239.913.3-652.000 yang Berkedudukan di
Kota Malang karena telah sesuai dengan Data Format Isian
Perubahan yang disimpan di dalam Database Sistem
Administrasi Badan Hukum sebagaimana salinan Akta Notaris
No.153 Tanggal 24 April 2014 yang dibuat oleh Notaris Sigit
Nur Rachmat, SH.,M.KN. Dengan demikian telah Memenuhi
ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 72
Doktrin mengenai legal standing sifatnya sangat terbatas, yaitu
tuntutan ganti kerugian moneter tidak diperkenankan untuk diajukan,
kecuali ganti kerugian sepanjang atau sebatas biaya atau pengeluaran riil,
yaitu biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan dikeluarkan oleh penggugat,
bukan ganti kerugian yang mengatasnamakan orang banyak, sehingga dalam
perkara gugatan legal standing, petitum gugatan hanya dapat dimintakan :73
72
73
a.
Penghentian kegiatan;
b.
Permintaan maaf;
c.
Pembayaran uang paksa(dwangsom).
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. (2014, April 24). Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia. Retrieved Oktober 15, 2014, from Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia: http://www.perlindungankonsumen.id/index.php/tentangkami.
Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 372.
41
D. Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan
Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terlepas dari
apa yang disebut dengan Tugas Hakim. Tugas Hakim adalah mengambil
atau menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak
lain. Ia tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah
mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi
belum mulai diperiksa tidak wenang ia menolaknya. 74
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu,
diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau sengketa antara para pihak” 75
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan: 76
Pasal 1
(1) Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Pasal 2
(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.
74
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 207.
75
Ibid., halaman 212.
76
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
42
Pasal 25
(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Mendasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dijelaskan secara konkret tugas
hakim dalam mengadili suatu perkara melalui 3 tindakan secara bertahap : 77
(1) Mengkonstatir (mengkonstatasi) berarti menyatakan benar terjadinya
suatu peristiwa konkrit. Untuk dapat mengkonstantir peristiwa konkrit,
peristiwa konkrit itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Pada tahap ini
hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan
meliputi: ”menemukan fakta, menemukan sebab-sebab perkara dan,
menemukan karakteristik”.
(2) Mengkwalifisir (mengkwalifikasi) yaitu setelah peristiwa konkrit
dibuktikan dan dikonstantir, maka harus dicarikan hukumnya disinilah
dimulai dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum
tidak merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan
kegiatan yang runtut
dan berkesinambungan dengan kegiatan
pembuktian. Pada tahap ini hakim kemudian mengkualifikasikan
adanya hubungan hukum, dalam adanya perbuatan melawan hukum
/wanprestasi atau tidak, meliputi: ”menemukan dan memilih sistem
77
Ibid., halaman 203-204.
43
hukum, menemukan hukum, menemukan metode penyelesaian yang
tepat dan, mendesain hukum agar cocok dengan karakteristik perkara”.
(3) Mengkonstitusir (mengkonstitusi) yaitu setelah hukumnya diketemukan
dan kemudian hukumnya (undang-undangnya) diterapkan pada
peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusan. Pada
tahap ini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan
(para pihak) meliputi: ”menerapkan hukum dan, menyelesaikan
sengketa atau perkara”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung Pasal 79 menyebutkan: 78”Mahkamah Agung dapat
mengatur
lebih
lanjut
hal-hal
yang
diperlukan
bagi
kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur
dalam Undang-undang ini.” Berdasarkan pasal tersebut dapat dijelaskan
bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat halhal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah
Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan
hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.
78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
44
2. Sifat Putusan
Putusan menurut sifatnya dapat dibagi atas :79
1) Pengaturan (Constitutif)
Putusan bersifat constitutif adalah putusan yang menetapkan mengenai
sesuatu, seolah-olah membuat kaidah /ketentuan baru.
2) Pernyataan (Declaratoir)
Putusan bersifat declaratoir adalah putusan yang memberi pernyataan
mengenai sesuatu.
3) Menghukum (Condemnatoir )
Putusan bersifat condemnatoir adalah putusan yang isinya menghukum.
Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang
berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan
barang objek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau
penghukuman atau condemnatoir yang ditimpakan kepada pihak yang
berperkara.80
79
Darwan Prinst, Op.cit., halaman 201.
80
M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 811.
45
3. Jenis-Jenis Putusan
Putusan menurut jenisnya dibagi atas: 81
1) Interlocutoir Vonis
Interlocutoir Vonis (putusan sela) adalah putusan yang belum
merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocutoir Vonis) itu dapat
berupa:
a.
Putusan Provisional (Tak Dim)
Putusan Provisional (Tak Dim) adalah putusan yang diambil segera
mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya
alasan-alasan yang mendesak untuk itu.
b.
Putusan Preparatoir
Putusan Preparatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan
putusan akhir.
c.
Putusan Insidental
Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil secara
insidental.
2) Putusan Akhir
Putusan akhir dari suatu perkara dapat berupa :
a. Niet Onvankelijk Verklaart
Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni
putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan Penggugat
tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan Pengadilan mengambil
81
Darwan Prinst, Op.cit., halaman 202.
46
keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima adalah
sebagai berikut :
(1)
Gugatan tidak berdasarkan hukum;
(2)
Gugatan tidak patut;
(3)
Gugatan bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;
(4)
Gugatan salah;
(5)
Gugatan kabur;
(6)
Gugatanya tidak memenuhi persyaratan;
(7)
Objek gugatan tidak jelas;
(8)
Subyek gugatan tidak lengkap;
(9)
Dan lain-lain.
b. Tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang,
baik
menyangkut
kompetensi
absolut
maupun
kompetensi relative, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan
menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu,
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan yang terbukti kebenaranya di Pengadilan akan
dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti
seluruhnya, maka gugatan akan dikabulkan untuk seluruhnya. Akan
tetapi, apabila gugatan hanya terbukti sebagian, maka akan
dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat dibuktikan itu.
47
d. Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan
Pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat
terjadi untuk seluruhnya atau sebagian.
Gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa
sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).82Putusan
tidak dapat diterima (n.o) itu dimaksudkan menolak gugatan diluar pokok
perkara, yang berarti bahwa hakim belum memeriksa pokok perkara.83
Putusan tidak dapat diterima, di kemudian hari penggugat masih dapat
mengajukan tuntutannya, tetapi didalam praktek tidak jarang putusan tidak
dapat diterima dimintakan banding/upaya hukum. 84
4. Asas Putusan
Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan
kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian
kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan”(pressure
valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian
kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan
peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya
penegakan”kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain
82
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 110.
83
Ibid., halaman 111.
84
Ibid., halaman 110.
48
yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan
keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau
pelanggaran hukum. 85
Tugas Pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, yaitu untuk
memeriksa, memutus, dan mengadili perkara perdata. Peradilan perdata
dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti
HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent
Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering),
Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.86
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini
adalah putusan peradilan tingkat pertama. Tujuan akhir proses pemeriksaan
di Pengadilan Negeri yaitu diambilnya putusan oleh hakim yang berisi
penyelesaian perkara yang disengketakan. 87 Pembahasan mengenai asas
putusan dimulai dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar
putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan
dalam pasal 178 HIR, pasal 189 Rbg, dan Bab II Asas Penyelenggaraan
85
Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10
Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.sebagaimana menyadur dari M. Yahya Harahap,
Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, halaman 34.
86
Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10
Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.
87
M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 797 sebagaimana menyadur dari Subekti, Hukum Acara
Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977, halaman 122.
49
Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Mendasarkan ketentuan tersebut maka dapat
diuraikan Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah sebagai
berikut:
1)
Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa
Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA" (pasal 2 ayat (1) Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rumusan
ini berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan
peradilan. Dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1950 (pasal 1
ayat 2) dan UUDar. No. 1 Tahun 1951 (pasal 5) kata-kata “Atas nama
Raja” diganti menjadi”Atas nama keadilan”, dan akhirnya dengan
adanya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 menjadi “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana penyesuaian
dengan pasal 29 UUD 1945.88
2)
Asas Objektifitas
Asas Objektifitas tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam
pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian
peradilan”. Dalam menjatuhkan putusan hakim tidak boleh membedabedakan orang hal ini termuat dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang
88
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 34.
50
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. Dalam memeriksa perkara hakim harus objektif dan
tidak boleh memihak, untuk menjamin asas ini bagi pihak yang diadili
dapat mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap
hakim yang akan mengadili perkaranya, yang disebut hak ingkar
(recusatie, wraking).89 Hak ingkar sebagaimana disebutkan dalam
pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman:
Pasal 17
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap
hakim yang mengadili perkaranya.
(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan
yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim
yang mengadili perkaranya.
(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,
salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau
panitera.
(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera
wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau
advokat.
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri
dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan
langsung atau tidak langsung dengan perkara yang
sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri
maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
89
Ibid., halaman 20.
51
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan
dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera
yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau
dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim
yang berbeda.
Dalam pasal 347 ayat (1) HIR disebutkan alasan-alasan yang
lebih luas, yaitu apabila perkara yang diperiksa hakim itu menyangkut
kepentingan hakim itu sendiri, baik langsung maupun tidak, atau
dimana tersangkut isteri hakim itu sendiri atau salah seorang
keluarganya sedarah atau semenda, dalam keturunan yang lurus tanpa
pengecualian dan dalam keturunan kesamping sampai derajat ke
empat. Asas ini didasarkan atas suatu pertimbangan, bahwa tidak
seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri
(nemo judex idoneus in propria causa).90
3)
Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi
ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan
atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement). Alasan-alasan
hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari
ketentuan:91
90
Ibid., halaman 21.
91
M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 798.
52
a) Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan
b) Hukum kebiasaan
c) Yurisprudensi
d) Doktrin hukum
Sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.
48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili”. Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundangundangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus
atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau
doktrin hukum. 92 Bertitik tolak dari ketentuan tersebut putusan yang
tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis, akibatnya putusan
yang demikian dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.
4)
Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan digariskan
dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) Rbg, dan Pasal 50
Rv. Putusan secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili
92
Ibid., halaman 798.
53
setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh memeriksa dan
memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. 93
5)
Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Pasal 178, Pasal 189 Rbg dan Pasal 50 Rv menyebutkan secara
pokok asas-asas hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara
perdata yang menyebutkan:
Pasal 178 HIR
(1) Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib
mencukupkan segala alasan hukum; yang tidak dikemukakan
oleh kedua belah pihak.
(2) Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan.
(3) Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang
tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.
Pasal 189 Rbg
(1) Dalam rapat permusyawaratan, karena jabatannya hakim harus
menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh
para pihak. (RO. 39,41.)
(2) Ia wajib memberi keputusan tentang semua bagian gugatannya.
(3) Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak
dimohon atau memberikan lebih dari
yang dimohon. (Rv. 50; IR. 178.)
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas Pasal 178 ayat (3), Pasal
189 ayat (3) Rbg dan Pasal 50 Rv maka putusan tidak
bolehmengabulkan melebihi tuntutan dikemukakan dalam gugatan.
Larangan ini disebut ultra petitum partium. Apabila putusan
mengandung ultra petitum harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun
93
Ibid., halaman 800.
54
hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai
dengan kepentingan umum (public interest).94
Pelanggaran terhadap prinsip ultra petitum, sama dengan
pelanggaran terhadap prinsip rule of law:95
(1)Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal sesuai
dengan prinsip rule of law semua tindakan hakim mesti sesuai
dengan hukum (accordance with the law).
(2)Tindakan hakim mengabulkan melebihi yang dituntut, nyata-nyata
melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178 ayat (3) HIR
kepadanya, padahal sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun
tidak
boleh
melakukan
tindakan
yang
melampaui
batas
wewenangnya (beyond the powers of his authority).
6)
Diucapkan di Muka Umum
Sebagaimana diatur dalam pasal 13 Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:
Pasal 13
(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain.
(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
94
95
Ibid., halaman 801, sebagaiman menyadur dari Frances Russell dan Christine Loche, English
Law and Language, Cassel, London, 1992, halaman 30.
Ibid., halaman 802.
55
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat dijelaskan
bahwa persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan
yang terbuka untuk umum atau di muka umum, merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair
trial, pemeriksaan persidangan harus jujur sejak awal sampai akhir.
The open justice principle tujuan utamanya untuk menjamin proses
peradilan terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat
peradilan.96
7)
Putusan Diambil Berdasarkan Sidang Permusyawaratan
Asas hakim majelis dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan
yang seobjektif-objektifnya, guna member perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam bidang peradilan.97 Meskipun asasnya adalah hakim
majelis, baik declaratoir maupun contradictoir diperiksa dengan hakim
tunggal,
disamping
ada
sidang-sidang
dengan
majelis
juga,
pemeriksaan dengan hakim tunggal tetap sah. 98
96
Ibid., halaman 803, sebagaimana manyadur dari Geoffrey Robertson QC, Freedom, the
Individual and the Law, Penguin Book, New York, 1993, halaman 341.
97
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 34
98
Ibid., halaman 35.
56
Sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang No.
48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:”
Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang
bersifat rahasia”. Hakim dalam menjatuhkan putusan diambil
berdasarkan
sidang
permusyawaratan
dan
di
dalam
sidang
permusyawaratan hakim wajib memberikan pertimbangan hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 48
Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.
8)
Putusan dapat diajukan Banding, Kasasi dan, Peninjauan Kembali
Pihak dalam perkara perdata pasti ada yang menerima putusan
ada yang tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim.
Apabila salah satu pihak dalam perkara perdata tidak menerima suatu
putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-hak nya terserang oleh
adanya putusan atau menganggap putusan itu kurang benar atau
kurang adil, maka dapat mengajukan permohonan banding. 99 Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 26
ayat (1) menyebutkan “Putusan pengadilan tingkat pertama dapat
dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
99
Ibid., halaman 234.
57
Kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan –
pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan
terakhir.100 Asasnya putusan dapat dimintakan kasasi setelah melalui
proses banding. Pasal 23 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Putusan pengadilan dalam
tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung
oleh
pihak-pihak
yang
bersangkutan,
kecuali
undang-undang
menentukan lain”.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan:
Pasal 24
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,
apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan
peninjauan kembali.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, Pasal 34 menyebutkan :”Mahkamah Agung
memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah
100
Ibid., halaman 241.
58
memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang
diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini”.
Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut
selama belum diputus serta hanya dapat diajukan hanya satu kali
saja.101
9)
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan: Mahkamah Agung
merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang
berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat ditarik
suatu pemahaman bahawa putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
yang berada dibawah Mahkamah Agung dapat dilakukan upaya
hukum dan dapat terjadi perubahan terhadap putusan yang dilakukan
oleh peradilan dibawah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung sebagai
puncak dan sebagai pengambil keputusan terakhir.
101
Ibid., halaman 246.
59
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep legis positivisi memandang hukum identik
dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif
yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang
nyata serta maelanggar norma-norma lain bukan sebagai hukum. 102
Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 103
B. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan,karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 104
102
Ronny Hantijo Soemitro, “Metode Penelitian dan Jurimetri,” (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1990) halaman 13.
103
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Penerbit
Banyumedia, 2006) halaman 295.
60
b. Pendektan analistis (analyticak approach)
Pendekatan ini untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah
yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional,
sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan
hukum.
105
Penerapan aturan perundang-undangan dalam
praktik pada
penelitian ini yaitu terhadap putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor :
62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ).
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian Preskriptif.
Spesifikasi penelitian Preskriptif yaitu suatu penelitian
yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum,
menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti dengan
keyakinan-keyakinan tertentu yang didasarkan atas peraturan
Perundang-undangan yang ada dan kemudian mengambil
kesimpulan dari bahan-bahan tentang objek masalah yang akan
diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu dan menetapkan
standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan aturan hukum. 106
104
Ibid., halaman 302.
105
Ibid., halaman 310.
106
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif ( Jakarta: Penerbit Kencana, 2005)
halaman 22-23.
61
D. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa inventarisasi berkas Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor :
62/Pdt.G/2013/PN. KPJ, peraturan perundang-undangan, buku-buku literature,
karya ilmiah sarjana, dan dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah.
a.
Data Sekunder
Adalah data yang bersifat kepustakaan yang terbagi atas beberapa jenis
,yaitu : 107
1.
Bahan/Sumber primer, yakni bahan pustaka yang berisikan
pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian
baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan
(ide). Bahan/sumber ini mencakup : Buku, Kertas kerja konperensi,
lokakarya, seminar, symposium, Laporan penelitian, Laporan teknis,
Majalah, Disertasi atau tesis, dan Paten.
2.
Bahan/sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan
informasi tentang bahan primer. Bahan sekunder ini antara lain,
mencakup: Abstrak, Indeks, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah,
Bahan acuan lainnya.
3.
Bahan Hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
107
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat(
Jakarta: Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada, 2011) halaman 29.
62
E. Metode Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan dimana data sekunder yang diperoleh dari studi
pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan
diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. 108
F. Metode Penyajian Data
Data-data yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk uraian. 109 Bahan
hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bentuk
uraian yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan.
Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu
dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu
kesatuan yang utuh.110
G. Metode Analisis Data
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan
hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih
108
Johnny Ibrahim, Op.Cit., halaman 296.
109
Ronny Hantijo Soemitro, Op.Cit., halaman 107.
110
FH UNSOED (2014, Desember 8). Retrieved from:
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20III%20METODE%20PENELITIAN.doc
63
sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan
dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret
yang dihadapi. 111
111
Johnny Ibrahim, Op.Cit., halaman 393.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Setelah
mengadakan
penelitian
terhadap
putusan
Nomor
:
62/Pdt.G/2013/PN. KPJ maka dapat dikemukakan data sekunder sebagai
berikut :
1. Para Pihak yang Berperkara
1.1. LEMBAGA
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
NASIONAL
INDONESIA disingkat LPK Nasional Indonesia Badan Hukum
Publik berkedudukan di Kantor Pusat Malang di Jalan Raya Wapoga
No. 2 Perum Ngujil Permai II Telp.0341-492174/7723567 Fax 03 123
berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang selanjutnya disebut Penggugat I dalam hal ini
diwakili oleh Pengurusnya Lukman Hadi Wijaya, Dholin Efendi,
Nanang Nelson, SH ;
1.2. MARDI yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa
Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur
berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan
Konsumen untuk dan atas nama diri sendiri sebagai konsumen.
Selanjutnya disebut sebagai Penggugat II ;
MELAWAN:
65
1.3. Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jl
jenderal A. Yani No. 2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang
Propinsi Jawa Timur. Selanjutnya disebut Tergugat ;
2. Duduk Perkara
2.1. Bahwa lembaga Penggugat menerima pengaduan masyarakat pada
tanggal delapan mei dua ribu tiga belas (08-05-2013) yang bernama
Mardi dengan alamat JI. Dusun Gumukmojo RT/RW : 051/010,
Desa Wonokerto Kecamatan Bantur – Kabupaten Malang Jawa
Timur yang selanjutnya disebut Konsumen yang hak- haknya di
langgar oleh Tergugat. berdasarkan Undang- undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e Bahwa
konsumen
memiliki
hak
Untuk
mendapatkan
Advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
2.2. Bahwa pada 2005 konsumen Mardi sekarang Penggugat II utang
pada Tergugat sebesar Rp. 40.000.000,- ( empat puluh juta rupiah )
untuk membiayai usahanya dengan jaminan sebidang tanah dan
bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW :
002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang
Jawa Timur.
2.3. Bahwa konsumen Mardi sekarang Penggugat II telah aktif
membayar angsuran sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008
sebesar Rp. 1.600.000,- ( satu juta enam ratus ribu rupiah ) setiap
66
bulanya atau sejumlah Rp. 76.800.000,- ( tujuh puluh enam juta
delapan ratus ribu rupiah ) namun semua bukti pembayaran kwitansi
diminta kembali oleh petugas Tergugat sehingga patut diduga pihak
Tergugat menghilangkan bukti pembayaran untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dan merugikan pihak Penggugat II.
2.4. Bahwa sebelum sidang dimulai seharusnya Tergugat mengembalikan
semua bukti pembayaran kepada konsumen sekarang Penggugat II
untuk menunjukan Tergugat adalah pelaku usaha yang beretikad
baik.
2.5. Bahwa Penggugat I meminta kepada Tergugat untuk terlebih dahulu
menunjukan kelengkapan ijin usaha karena Tergugat mengaku
lembaga koperasi yang berbadan hukum yang tentunya dapat
menunjukan ijinnya dari pihak berwenang dan terdaftar dari
Pemerintah setempat sebagaimana diatur dalam Undang- undang No.
3 Tahun 1982 Tentang wajib daftar perusahaan sebelum pokok
perkara di sidangkan di depan Majelis hakim Pengadilan Negeri
Kepanjen Kabupaten Malang.
2.6. Bahwa yang dimaksud pelaku usaha menurut Undang- undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 3
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
balk yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, balk sendiri maupun
67
bersamasama dalam penjelasan yang dimaksud Pelaku usaha yang
termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,
BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
2.7. Bahwa atas utang konsumen sekarang Penggugat II kepada lembaga
Tergugat tidak ada perjanjian karena pada kenyataanya konsumen
tidak memilki copy perjanjian dengan demikian hak dan kewajiban
konsumen / anggota tidak dapat diketahui dengan demikian lembaga
Tergugat tidak memenuhi syarat sebagai lembaga yang memilki
pelayanan kepada konsumen dan atau tidak berhak menjalankan
usaha memberi pinjaman kepada konsumen kecuali konsumen yang
dimaksud adalah anggota dari lembaga Tergugat.
2.8. Bahwa Ternyata konsumen semestinya adalah anggota dari lembaga
Tergugat namun hakhak anggota tidak diberikan oleh Tergugat
sehingga dengan berlakunya Undang- undang Koperasi yang baru
yaitu UU- RI No. 17 tahun 2012 tentang perkoperasian pasal 123
ayat ( 1 ) berbunyi Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan pinjam
yang telah memberikan pinjaman kepada Non- anggota wajib
mendaftarkan Non- anggota tersebut menjadi anggota koperasi
paling lambat 3 ( tiga ) bulan sejak berlakunya Undang- undang
perkoperasian.
2.9. Bahwa agar konsumen dan masyarakat terlindungi dari praktek
Koperasi yang tidak sehat dapatnya Iembaga Tergugat segera
menyesuaikan dengan Undang-undang Koperasi yang baru yaitu UU
68
RI No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian dan atau kalau
Tergugat tidak punya niatan untuk memperbaiki sesuai Undangundang dapat segera membubarkan lembaga tersebut atau menunggu
pembubaran secara paksa berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2.10. Bahwa konsumen sekarang Penggugat II menuntut hak sebagai
anggota Koperasi seperti hak rapat anggota tahunan ( RAT ) dan hak
atas sisa hasil usaha ( SHU ) atau dapat disebut kerugian secara
material karena tidak terpenuhinya hak tersebut kalau dihitung
dengan uang sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) yang
harus dibayar oleh Tergugat secara tunal dan seketika.
2.11. Bahwa konsumen sekarang Penggugat II juga dirugikan secara
imaterial karena di pusingkan oleh tagihan pihak lembaga Tergugat
padahal penggugat II telah aktif membayar hingga mencapai Rp.
76.000.000,- ( tujuh puluh enam juta rupiah ) pembayaran mana
kwitansi aslinya diminta oleh petugas Tergugat yang dating kerumah
Penggugat II yang katanya untuk kepentingan administrasi dengan
demikian menjadi pantaslah apabila Penggugat II menuntut kerugian
immaterial sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) yang
harus dibayar tunai dan seketika oleh Tergugat.
2.12. Bahwa Penggugat II masih memiliki etikad baik untuk membayar
pelunasan sebesar Rp. 20.000.000,- ( dua puluh juta rupiah ) dengan
catatan semua hak- hak sebagai anggota koperasi di penuhi oleh
pihak Tergugat.
69
2.13. Bahwa apabila Tergugat tidak menerima Penawaran pembayaran
konsumen maka mohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan
Negeri Kepanjen Malang Cq. Majelis Hakim yang memeriksa serta
mengadili perkara ini berkenan mengabulkan titipan pembayaran
pelunasan konsumen kepada Tergugat secara kontinatie.
2.14. Bahwa untuk menjamin kekuatiran pihak Penggugat II atas objek
jaminan milik Penggugat II dipindahkan atau digadaikan ke pihak
lain maka perlu Pengadilan Negeri Kepanjen melalui Majelis hakim
yang mengadili perkara aquo untuk melakukan sita jaminan (
conservatoir beslag ) atas sebidang tanah dan bangunan SHM atas
nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW ; 002/001 Desa
Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Jawa Timur
2.15. Bahwa tidak itu saja Tergugat melanggar Hak Konsumen Pasal 4
huruf ( C ), UUPK yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; dengan
demikian Tergugat telah memenuhi kualifikasi perbuatan melawan
hukum.
2.16. Bahwa Perjanjian antara Tergugat dan Penggugat II sebagai
konsumen tidak jelas ada atau tidak karena konsumen tidak memiliki
copynya patut diduga adalah perjanjian baku yang pengungkapannya
sulit dimengerti, hurufnya kecil- kecil sehingga tidak mudah terlihat
sehingga diduga Tergugat melanggar klausula baku. adapun
pengertian klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
70
syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan di tetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang di tuangkan dalam suatu
dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib di penuhi
oleh konsumen ( Pasal 1 angka 10 UUPK )
2.17. Bahwa sehubungan poin 15 patut diduga Tergugat melanggar
klausula baku yang dilarang pada pasal 18 ayat 2 dan 3 UUPK yang
pada ayat 2 UUPK berbunyi Pelaku Usaha dilarang mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapanya sulit
dimengerti.
2.18. Bahwa pada pasal 18 ayat 3 UUPK berbunyi " setiap klausula baku
yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2 ) dinyatakan batal demi hukum. oleh karena
semua unsur terpenuhi maka sudah sepantasnya Pengadilan Negeri
Kepanjen Kabupaten Malang menyatakan Tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya perjanjian yang
pernah dibuat antara Tergugat dan konsumen batal demi hukum dan
tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
2.19. Bahwa karena Para Penggugat menduga banyak pelanggaran yang
dilakukan Tergugat maka gugatan ini mengunakan prinsip praduga
untuk selalu bertanggung jawab ( presumption of liability principle )
atau yang biasa kita kenal azas pembuktian terbalik yaitu Tergugat
71
membuktikan bahwa Tergugat tidak bersalah jadi beban pembuktian
ada pada si Tergugat hal mana diatur pada BAB VI Tanggung jawab
Pelaku usaha dalam pasal 23 pelaku usaha yang menolak dan / atau
tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen sebagimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat (1),
Ayat (2), Ayat 3 dan Ayat (4) dapat digugat melalui BPSK atau
mengajukan ke Badan Peradilan di tempat kedudukan Konsumen
dan ditegaskan pada pasal 28 UUPK pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di
maksud pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha.
3. Petitum Penggugat
3.1. Mengabulkan Gugatan Para Penggugat seluruhnya.
3.2. Menyatakan dengan hukum bahwa gugatan ini mengunakan azas
pembuktian terbalik Menyatakan sebagai hukum Bahwa konsumen
Mardi adalah sebagai Konsumen/ debitur yang baik benar dan
terbukti beretikad baik akan membayar utangnya
3.3. Menyatakan dengan hukum bahwa terlebih dahulu Tergugat
menunjukan Kelengkapan perijinan usaha didepan persidangan.
3.4. Menyatakan secara hukum bahwa Penggugat II adalah anggota
koperasi yang dikelola Tergugat yang memiliki hak yang sama
dengan anggota yang lain.
72
3.5. Menyatakan sah dan berharga penawaran konsumen Penggugat II
Rp. 20.000.000,- ( dua puluh juta rupiah ) secara kontinatie melalui
Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang dengan catatan
telah diakui sebagai anggota koperasi sekaligus dengan hakhaknya.
3.6. Menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab Tergugat
3.7. Menyatakan dengan hukum sah dan berharga sita jaminan (
conservatoir beslag ) atas objek sengketa sebidang tanah dan
bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW :
002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang
Jawa Timur
3.8. Menyatakan dengan hukum bahwa Perjanjian kredit antara
konsumen Mardi dan Tergugat melanggar klausula baku yang
dilarang UUPK maka perjanjian tersebut tidak sah dan batal demi
hukum.
3.9. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian secara material
sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah )
3.10. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian imaterial kepada
konsumen Penggugat II sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta
rupiah )
3.11. Menghukum Tergugat untuk Membayar Rp. 2.000.000.000,-( dua
milyar Rupiah ) karena pelanggaran pencantuman klausula baku
Yang dilarang berdasar pasal 18 UUPK melalui Kementrian
73
Perdagangan Cq.
Direktorat
Standardisasi dan Perlindungan
Konsumen untuk pendidikan konsumen cerdas di Indonesia.
3.12. Menghukum Tergugat membayar uang paksa ( Dwangsoom ) kepada
Para Penggugat sebesar Rp. 1.500.000,-( satu juta lima ratus ribu
rupiah) setiap hari atas kelalaian memenuhi isi putusan hingga
dilaksanakannya putusan dimaksud.
3.13. Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu serta merta (
uit voer boar Bij voorraad ) walaupun Tergugat melakukan upaya
Banding, Kasasi atau peninjauan kembali.
3.14. Menghukum Tergugat membayar semua biaya perkara.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
4.1. Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan,
pihak Penggugat I datang menghadap LUKMAN HADI WIJAYA
Sekretaris LPK Nasional Indonesia berdasarkan surat tugas no.
018/SM/LPKNI/VII/2012, tertanggal 15 Juli 2013, Penggugat II
hadir sendiri dipersidangan, sedangkan Pihak Tergugat datang
menghadap kuasanya Bambang Suherwono, SH.Mhum berdasarkan
surat Kuasa tanggal 8 Juni 2013;
4.2. Menimbang, bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia) mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga
yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen yang
mendasarkan gugatannya pada Pasal 46 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
74
mengatur mengeni hak gugat organisasi (Legal Standing/Ius Standi),
yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan
gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam
perkara aquo Penggugat menerima pengaduan masyarakat atas nama
MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW
051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang
yang selanjutnya disebut sebagai konsumen untuk menggugat
Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jalan
Ahmad Yani No. 2 ClumpritPagelaran Kabupaten Malang.
Selanjutnya disebut sebagai Tergugat ;
4.3. Menimbang bahwa pasal 46 ayat (1) huruf c Undang Undang Nomor
8 Tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen masyarakat agar
suatu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh
pelaku usaha yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya ;
4.4. Menimbang, bahwa meskipun dalam Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok (class action) tidak menyinggung mengenai Hak Gugat
75
Organisasi (legal standing/ius Standi) namun majelis hakim menilai
bahwa secara substantife proses pemeriksaan awal sebagaimana
dalam gugatan perwakilan kelompok (class action) dapat diterapkan
dalam perkara hak gugat organisasi (Legal Standing /Ius Standi)
untuk mempertimbangkan hak dan kapasitas hukum (Legitima
persona standi in justicio) dari penggungat (Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional) untuk menggugat ;
4.5. Untuk memenuhi syarat-syarat sebagai lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) untuk menggugat dalam
perkara aquo maka pihak penggugat di persidangan telah
menyerahkan surat-surat berupa :
1.
Fotocopy tanda daftar lembaga perlindungan konsumen
(TDLPK)
No.
519/1175/35.73/311/2009
tertanggal
30
Desember 2009 yang ditandatangani oleh Walikota Malang ;
2.
Fotocopy Akta No.39 tertanggal 25 Februari 2009 tentang
Anggaran Dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia ;
3.
Fotocopy Akta No.25 tertanggal 13 Juli 2012 tentang
Pengangkatan Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia ;
4.
Fotocopy Akta No. 12 tertanggal 11 Juli 2012 tentang
Pernyataan Keputusan Rapat Pendiri Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia ;
76
5. Jawaban Tergugat
5.1. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk
Penggugat I tidak memiliki kapasitas sebagai Penggugat (legal
standing) dimana Penggugat I sebagai Lembaga Perlindungan
Konsumen menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang
bernama Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh
Tergugat berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 4 huruf e , bahwa konsumen memiliki untuk
mendapatkan avokasi Perlindungan, dan upaya penyeleseian
sengketa perlindungan konsumen secara patut, bahwa dalam perkara
Aquo kedudukan Penggugat I tidak jelas, sebagai Kuasa atau sebagai
Lembaga, karena ada Pengugat II yaitu Mardi sebagai Penggugat II .
Apabila Penggugat I mendudukkan dirinya sebagai kuasa dari Mardi
menurut hukum LPK Nasional Indonesia tidak dapat menjadi kuasa
hukum apalagi dalam persidangan, Karena yang dapat menjadi kuasa
hanya Advokat sebagaimana diatur dalam pasal 32 UU No 18 th
2003 tentang ADVOKAD , dan semakin tidak jelas dalam perkara
Aquo Mardi juga menjadi Penggugat II ,sehingga oleh karenanya
harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima
5.2. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk
Penggugat I tidak memiliki kapasitas sebagai Penggugat (legal
standing) dimana Penggugat I yang mendudukkan diri sebagai
Penggugat dengan alasan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen
77
menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang bernama
Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat
berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 4 huruf e, bahwa konsumen memiliki untuk mendapatkan
advokasi
Perlindungan,
dan
upaya
penyeleseian
sengketa
perlindungan konsumen secara patut, didalam perkara Aquo
Penggugat I tidak dirugikan dan tidak ada hubungan hukum dengan
Tergugat, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan tidak
dapat diterima.
5.3. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk
Penggugat I yang mendudukkan diri sebagai Penggugat dengan
alasan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen menyatakan telah
menerima penaduan masyarakat yang bernama Mardi (Penggugat II)
yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat berdasarkan UU No
8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e,
bahwa
konsumen
memiliki
untuk
mendapatkan
avokasi
Perlindungan, dan upaya penyeleseian sengketa periindungan
konsumen secara patut. Bahwa berdasarkan pasa 46 ayat 1 huruf c
UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),
memberi hak gugat kepada LSM yang bergerak dalam bidang
perlindungan
konsumen
mengajukan
tuntutan
dengan
mengatasnamakan kepentingan perlindungan konsumen. Bahwa agar
LSM mempunyai hak legal standing mengajukan gugatan atas nama
78
kepantingan kelompok tertentu , organisasi atau badan swasta yang
bersangkutan harus memenuhi syarat :
 Berbentuk badan hokum atau yayasan
 Dalam anggaran dasar organisasi tersebut , disebut dengan tegas
tujuan didirikannya untuk kepentingan tertentu,
 Telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar.
5.4. Bahwa dalam persidangan Penggugat I tidak memenuhi klausula
tersebut sehingga dalam perkara A quo ia Penggugat I tidak memliki
legal standing, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan
tidak dapat diterima. Berdasarkan pada apa-apa yang terurai diatas,
maka dengan ini Tergugat mohon dengan hormat kepada Pengadilan
Negari Kepanjen berkenan memberi putusan yang amarnya sebagai
berikut:
 Menerima dan mengabulkan tanggapan Tergugat dalam perkara ini
untuk Seluruhnya
 Menyatakan Penggugat I tidak memiliki legal standing dalam
perkara ini
 Menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima
 Menghukum para Penggugat untuk membayar semua biaya perkara
menurut hukum
79
6. Pertimbangan Hukum Hakim
6.1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah
sebagaimana tersebut diatas
6.2. Menimbang, bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia) mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga
yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen yang
mendasarkan gugatannya pada pasal 46 ayat (1) huruf c UndangUndang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
mengatur
mengenai hak gugat organisasi (legal standing/ ius
standi), yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan
konsumen masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan
gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
perkara a quo penggugat menerima pengaduan masyarakat yang
bernama MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun
Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur,
Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen
untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam
berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 Clumprit Pagelaran
Kabupaten Malang ;
6.3. Menimbang bahwa Tergugat dalam tanggapannya tertanggal 4
September 2013 menyatakan pada pokoknya bahwa Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia menerima pengaduan
masyarakat MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun
80
Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur,
Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen
untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam
berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 Clumprit Pagelaran
Kabupaten Malang oleh karena hak-haknya telah dilanggar oleh
Tergugat kedudukan Penggugat 1 tidak jelas sebagai kuasa atau
sebagai lembaga, apabila menjadi kuasa maka berdasarkan UU No.
18 Tahun 2003 maka yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat
sedangkan apabila Penggugat 1 sebagai lembaga maka ia harus
berbentuk badan hukum atau yayasan dan dalam anggaran dasar
organisasi disebutkan dengan jelas tujuan didirikannya untuk
kepentingan tertentu serta telah melakukan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasar maka jelas Penggugat I tidak mempunyai hak gugat
(legitima persona standi in judicio/ legal standing) untuk
mengajukan gugatan terhadap Tergugat sesuai ketentuan hukum
pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen;
6.4. Menimbang,bahwa
setelah
majelis
hakim
mempelajari
dan
mencermati gugatan Para Penggugat dan tanggapan Tergugat maka
yang menjadi permasalahan yang perlu untuk dicermati terlebih
dahulu sebelum memeriksa materi pokok perkara maka majelis
hakim akan mempertimbangkan kapasitas hukum/legal standing
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai
81
Penggugat I pihak berperkara dalam mengajukan gugatan perkara a
quo;
6.5. Menimbang,bahwa pada prinsipnya setiap orang yang merasa
haknya dirugikan atau mempunyai kepentingan dapat secara
pribadi/menunjuk kuasa kepada seseorang yang memenuhi syarat
sebagai kuasa untuk beracara di pengadilan. Dalam beberapa
peraturan Perundang-undangan dan dalam praktek peradilan dikenal
beberapa pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari para
pihak (Penggugat, Tergugat, atau Pemohon) di pengadilan. Dalam
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah
Agung RI, 2009, hal 53 disebutkan bahwa: Yang dapat bertindak
sebagai
kuasa/wakil
dari
penggugat/tergugat/
Pemohon
di
Pengadilan adalah :
g.
Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang
Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan
Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat
mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat) ;
h.
Jaksa
dengan
kuasa
khusus
sebagai
kuasa/wakil
Negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ;
i.
Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI ;
j.
Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum ;
82
k.
Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh
ketua Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro
hukum
TNI/Polri
untuk
perkara
yang
menyangkut
anggota/keluarga TNI/Polri ;
l.
Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/
semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang
dibuktikan dengan surat keterangan kepala Desa/Lurah ;
6.6. Menimbang, bahwa dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia
dengan tolok ukur keadilan dan kebutuhan masyarakat maka praktek
peradilan dan perundang-undangan memang sudah mengenal dan
mengakomodir model Gugatan Perwakilan Kelompok (class action)
dan Hak Gugat Organisasi (legal standngi/ius standi) dalam beberapa
peraturan perundangan antara lain UU No.32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen diakui adanya Hak Gugat
Kelompok dan Hak Gugat
(LSM)/Hak
Gugat
Lembaga Swadaya
Organisasi/NGO
(
Non
Masyarakat
Govermental
Organization) untuk mengajukan gugatan dalam bentuk class action
atau legal standing;
6.7. Menimbang, bahwa legal standing seringkali disebut juga sebagai
hak gugatan organisasi (ius standi), secara luas dapat diartikan
sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan
sebagai Pihak Penggugat. Legal standing,Standing to Sue, Ius
83
Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang,
sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan
sebagai Penggugat dalam proes gugatan perdata (Civil Processing).
Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada
gugatan tanpa kepentingan hukum”(point d’interest point d’action).
Kepentingan hukum (legal Interest) yang dimaksud di sini adalah
kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (proprietary
interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami
secara langsung (Injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak
gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan
perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak
(public interest law) dimana seseorang atau sekelompok orang atau
organisasi dapat bertindak sebagai Penggugat walaupun tidak
memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari
oleh
suatu
kebutuhan
untuk
memperjuangkan
kepentingan
masyarakat luas atau pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan
hidup, perlindugan konsumen, hak-hak sipil dan politik ;
6.8. Menimbang, bahwa sehubungan dengan perkara a quo, dalam pasal
46 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan : “Gugatan atas pelanggaran
pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan
hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
84
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” ;
6.9. Dengan demikian suatu lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat yang memenuhi syarat Ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf
c UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat secara
langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa
memerlukan adanya surat kuasa ;
6.10. Menimbang,
bahwa
selanjutnya
majelis
Hakim
mempertimbangkan keberadaan dari Penggugat
I
akan
(Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) ;
6.11. Menimbang,bahwa dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan Konsumen disebutkan : “Pemerintah mengakui
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
memenuhi syarat” ;
6.12. Dalam Pasal 44 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa : “Yang
dimaksud dengan memenuhi syarat antara lain, terdaftar dan diakui
serta bergerak dalam bidang perlindungan konsumen” ;
6.13. Selanjutnya dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan pemerintah No. 59
Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat disebutkan : “Pemerintah mengakui LPKSM yang
memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota ;
85
b.
Bergerak
dibidang
perlindungan
Konsumen
sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasarnya” ;
6.14. Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyaraka,disebutkan :
Pasal 2
1.
Pemerintah mengakui setiap LPKSM yang memenuhi syarat
untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya ;
2.
Pengakuan LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan TDLPK ;
Pasal 3
1.
Kewenangan Penerbitan TDLPK berada pada Menteri ;
2.
Menteri
melimpahkan
kewenangan
penerbitan
TDLPKsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/
Walikota ;
3.
Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas ;
6.15. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 Keputusan
Menteri
perindustrian dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
86
disebutkan pada pokonya bahwa :
“Permohonan TDLPK bagi
Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau
Yayasan dilampiri dokumen-dokumen diantaranya berupa copy Akta
Notaris Pendirian badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat
Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga
Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat
Pengesahan dari Instansi yang berwenang” ;
6.16. Menimbang, bahwa apakah Penggugat I termasuk dalam Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM)
yang
bergerak
dalam
bidang
perlindungan konsumen yang telah terdaftar pada Pemerintah
Kabupaten /Kota maka akan dipertimbangkan sebagai berikut ;
6.17. Menimbang,bahwa dalam surat berupa Akta Nomor 39 tertanggal 25
Pebruari 2009 tentang Anggaran Dasar Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia yang diajukan Penggugat I diketahui
bahwa Penggugat I adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat
yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan
surat
berupa
Tanda
daftar
Lembaga
Perlindungan
Konsumen(TDLPK) Nomor :519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda
tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009
diketahui bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia) telah terdaftar di Pemerintah Kota Malang,
sesuai dengan kedudukan/ domisili Penggugat. Dalam Tanda Daftar
87
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
(TDLPK)
Nomor
:519/1175/35.73.311/2009 tersebut disebutkan pula bahwa jenis
kegiatan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional ;
6.18. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
Majelis Hakim berpendapat bahwa keberadaan Penggugat I
(Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah
mendapat pengakuan sebagai Lembaga perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) dari Pemerintah dalam hal ini
Pemerintah
Kota
Malang
dimana
Penggugat
berkedudukan/berdomisili ;
6.19. Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan apakah
Penggugat I memiliki Kapasitas hukum untuk menggugat (legitima
persona standi in judicio) ;
6.20. Menimbang, bahwa dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : “Gugatan atas
pelanggaran
pelaku
usaha
dapat
dilakukan
oleh
lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya” ;
88
6.21. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka
dapat diketahui syarat-syarat Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang dapat mengajukan gugatan atas
Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu :
1.
Berbentuk badan hukum atau yayasan ;
2.
Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa
tujuan
didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan perlindungan konsumen ;
3.
Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya ;
6.22. Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan apakah Penggugat (Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia) memiliki kapasitas hukum untuk
menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam kaitannya
dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam Pasal 46 ayat (1)
huruf c UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
yakni sebagai berikut ;
1.
Berbentuk Badan Hukum atau Yayasan
Menimbang, bahwa ilmu hukum mengenal ada dua subjek
hukum yaitu, orang dan badan hukum. Sebagaimana halnya
subjek hukum orang, badan hukum dapat mempunyai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban, serta dapat
pula
mengadakan
hubungan-hubungan hukum, baik antara badan hukum dengan
89
orang. Dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia pengertian
badan Hukum (legal person/rechtpersonen) adalah organisasi,
perkumpulan atau paguyuban lainnya dimana pendiriannya
dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai
persona atau sebagai orang. Badan Hukum mempunyai
kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang,
akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang
hukum dan kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau
lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaanya badan hukum
bertindak dengan perantara-perantara pengurusnya;
2.
Menimbang, bahwa dari segi bentuknya badan hukum
dibedakan menjadi dua macam, yakni:
a.
Korporasi adalah gabungan/ kumpulan orang yang
bertindak bersama-sama sebagai satu subyek hukum
sendiri. Badan hukum ini memiliki anggota tetapi
memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan
kewajiban anggotannya ;
b.
Yayasan adalah badan hukum yang tidak memiliki
anggota, tetapi ada pengurus,yang mengelola kekayaan
yang memiliki tujuan tertentu. Adapun tanggung jawab
pengurus sebatas pengelolaan kekayaan yang memiliki
tujuan tertentu tersebut ;
90
6.23. Menimbang, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu badan/ perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai
badan hukum (legal person/ rechtperson). Menurut doktrin ilmu
hukum syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Adanya harta kekayaan yang terpisah ;
2.
Mempunyai tujuan tertentu ;
3.
Mempunyai kepentingan sendiri ;
4.
Adanya kepengurusan/organisasi yang teratur ;
6.24. Menimbang, bahwa peraturan tentang badan hukum di Indonesia
diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata (BW) dan Staatsblad 1870
Nomor 64. Berdasarkan Aturan PeralihanPasal II UUD 1945,maka
ketentuan-ketentuan tentang badan hukum sampai sekarang masih
tetap berlaku. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan
hukum antara lain UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, UU No.
28 tahun 2004 tentang Yayasan,UU No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT) ;
6.25. Menimbang, bahwa selain ke-4 syarat yang telah dikemukakan di
atas, maka suatu badan/perkumpulan/badan usaha memperoleh status
badan hukum (legal person/ rechtperson), apabila telah mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman dan hak Asasi Manusia. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1870 Nomor 64 ;
91
6.26. Menimbang,bahwa jika membaca dan mecermati surat yang
diajukan Penggugat I, berupa Fotokopi Akta Nomor 39 tertanggal 25
Pebruari 2009 tentang Anggaran Dasar Penggugat, Fotokopi Akta
Nomor 12 tertanggal 11-07-2012 tentang Pernyataan Keputusan
Rapat
Pendiri
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Nasional
Indonesia, Fotocopy Akta nomor :25, tertanggal 13-07-2012 tentang
Pengangkatan Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia disertai pemberian kuasa, diketahui bahwa syarat badan
hukum berupa mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan
sendiri dan adanya kepengurusan/organisasi yang teratur telah
terpenuhi pada diri Penggugat I sedangkan syarat adanya harta
kekayaan yang terpisah, menurut Majelis Hakim belum terpenuhi
pada diri Penggugat I. Dalam Anggaran Dasar Penggugat, tidak
Nampak adanya pemisahan yang jelas antara harta kekayaan
Penggugat I dengan harta kekayaan para pengurusnya ;
6.27. Menimbang, bahwa selain tidak adanya pemisahan harta kekayaan,
setelah membaca dan mencermati surat-surat yang diajukan oleh
Para Penggugat, majelis Hakim tidak melihat adanya surat-surat
yang
menunjukkan bahwa Penggugat
I telah mendapatkan
pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau
Instansi
yang
berwenang
sebagai
syarat
utama
suatu
badan/perkumpulan/badan usaha untuk memperoleh status badan
hukum (legal person/reechtperson). Dalam surat berupa Akta Nomor
92
39 tertanggal 25-02-2009 tentang anggaran Dasar Penggugat, tidak
nampak adanya bukti pengesahan badan hukum dari Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau instansi yang berwenang
baik sebagai korporasi/perkumpulan maupun sebagai yayasan ;
6.28. Menimbang, bahwa dalam Ketentuan Pasal 7 & ayat (1) huruf a
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat diatur pada
pokoknya bahwa Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan
Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang
berstatus badan hukum atau Yayasan harus dilampiri dokumen pada
angka 1 berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau
yayasan yang telah mendapat pengesahan badan hukum dari Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang.
Lain halnya dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tersebut
yang
mengatur
bahwa
bagi Lembaga
Konsumen Swadaya
Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum maupun yayasan
harus dilampiri dokumen pada angka 1 berupa copy Akta Notaris
Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang
telah mendapat pengesahan dari Instansi yang berwenang ;
6.29. Menimbang, bahwa berdasarkan surat yang diajukan oleh Penggugat
I berupa Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK)
93
Nomor : 519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda tangani oleh
Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009, khususnya pada
angka 3 mengenai status Lembaga diketahui bahwa Penggugat I
berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bukan
sebagai Badan Hukum atau Yayasan ;
6.30. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas, majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat I
(Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) bukan
Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) melainkan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan demikian syarat ini
tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I (Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia) ;
6.31. Menimbang, bahwa oleh karena syarat angka1 dari Pasal 46 ayat (1)
huruf c UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yakni berbentuk Badan Hukum atauYayasan tidak dapat dipenuhi
oleh Penggugat I, maka syarat-syarat yang lain tidak perlu
dipertimbangkan lebih lanjut, dengan demikian Majelis Hakim
berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum untuk
menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam perkara a quo
karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen swadaya
Masyarakat (LPKSM) yang berbentuk badan hukum atau yayasan
tetapi berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ;
94
6.32. Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan
tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa keberadaan
Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia)
telah mendapat Pengakuan sebagai Lembaga Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) dari pemerintah Kota Malang, namun
Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia)
tidak memiliki kapasitas hukum (legitima standi in judicio) untuk
menggugat dalam perkara a quo karena bukan Badan Hukum atau
Yayasan ;
6.33. Menimbang,bahwa oleh karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum(
legitima standi in judicio) untuk menggugat dalam perkara a quo
dengan menggunakan prosedur Hak Gugat Organisasi (legal
standing/ius standi), maka gugatan Para Penggugat harus dinyatakan
tidak dapat diterima ;
6.34. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat dinyatakan
tidak dapat diterima, maka pemeriksaan substansi materi gugatan
Para Penggugat tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan Para
Penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara yang
jumlahnya akan disebutkan dalam amar putusan ini ;
6.35. Mengingat UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Staatsblad 1870 Nomor 64, Pasal 1653 KUH Perdata (BW),
95
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat, Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 1 Tahun 2010 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
serta Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara
ini ;
7. Amar Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen
MENGADILI:
7.1.
Menyatakan gugatan dari Para Penggugat tidak dapat diterima ;
7.2.
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang
hingga saat ini sebesar Rp. 601.000,- (enam ratus satu ribu rupiah) ;
96
B. PEMBAHASAN
Pertimbangan hukum hakim dalam mengkonstitusi legal standing
penggugat Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia
pada gugatan utang-piutang dalam putusan Pengadilan Negeri
Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ.
Berdasarkan hasil penelitian yang kemudian dikaitkan dengan
permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu mengenai apakah hakim
dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia sebagai penggugat sudah tepat pada gugatan utangpiutang dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ., maka dapat di
Preskriptifkan sebagai berikut:
Hasil penelitian yaitu Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen dalam
mengkonstitusi perkara legal standing yang dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sudah tepat. Hakim dalam
mengkonstitusi mendasarkan argumentasi-argumentasi tertentu.
Argumentasi-argumentasi pada perkara a-quo diawali dengan Hakim
dalam mengkonstatasi perkara tersebut yaitu mendasarkan pada data
sekunder Perkara Perdata No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. data 1, 2, 3, 4, 5
menerangkan
bahwa
Lembaga
Perlindungan
Konsumen Nasional
Indonesia sebagai Penggugat I dan Mardi sebagai Penggugat II
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Kepanjen tentang gugatan
utang-piutang yang mendasarkan pada hak gugat organisasi/legal standing
yang dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen
97
Nasional Indonesia sebagai Penggugat I. Gugatan ditujukan kepada
Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam sebagai Tergugat.
Pertimbangan hakim pada data 6.2 menerangkan adanya suatu
karakteristik adanya suatu gugatan legal standing terhadap perkara
tersebut.
Penggugat I menggunakan hak gugat dengan tata cara legal
standing, maka hakim dalam hal ini harus mengkwalifikasi peraturanperaturan apa saja yang harus digunakan untuk menyelesaikan perkara
legal standing. Hakim dalam hal ini menggunakan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan
Perwakilan Kelompok yang di dalamnya mengatur tentang proses
pemeriksaan pendahuluan. Hakim mempertimbangkan bahwa secara
substantif proses pemeriksaan awal sebagaimana dalam gugatan
perwakilan kelompok dapat diterapkan dalam perkara hak gugat
organisasi, sebagaimana terdapat pada data 4.4. Perkara legal standing
yang dibuktikan dalam pemeriksaan pendahuluan yaitu mengenai
kapasitas hukum Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
yang
memenuhi persyaratan, dengan demikian untuk memenuhi
persyaratan
tersebut
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Nasional
Indonesia memberikan alat bukti berupa surat, kemudian Pengadilan
Negeri Kepanjen memeriksa berkas-berkas perkara dan syarat-syarat
sebagai Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki
kapasitas hukum sesuai dengan Pasal 4 huruf e dan Pasal 46 ayat (1) huruf
98
c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam pemeriksaan pendahuluan Penggugat I telah membuktikan dengan
alat bukti surat untuk memenuhi syarat-syarat sebagai Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yaitu terdapat pada data
4.5. Pasal 4 huruf e menyebutkan “hak konsumen adalah hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut”.
Tergugat mempermasalahkan Kedudukan Penggugat I dalam
jawaban gugatan, yaitu kedudukan Penggugat I tidak jelas apakah sebagai
kuasa atau sebagai lembaga, apabila menjadi kuasa, maka berdasarkan UU
No. 18 Tahun 2003 yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat. Apabila
menjadi lembaga apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan. Untuk
menyelesaikan perkara a-quo, Hakim kemudian mengkwalifikasi perkara
legal standing menggunakan peraturan-peraturan sebagai berikut: ”BAB
ke Sembilan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1653, Undangundang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen , UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Peraturan
Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 sebagai norma materiil
dan, menggunakan norma formil secara substantif Peraturan Mahkamah
99
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok”. Majelis Hakim mempertimbangkan berkaitan
tanggapan dari tergugat sesuai dengan data 6.3, yaitu apakah Penggugat I
memiliki hak sebagai lembaga yang berhak menerima pengaduan
masyarakat dan dapat bertindak sebagai kuasa atau memiliki hak gugat
organisasi (legal standing), dengan dibuktikan pada data 5.1, 5.2, 5.3, 5.4
mengenai jawaban gugatan terkait kapasitas hukum dari diri Penggugat I.
Proses
setelah
hakim
mengkonstatasi,
dilanjutkan
dengan
mengkwalifikasi dan, tahap selanjutnya adalah menerapkan hukum/
mengkonstitusi. Hakim mempertimbangkan permasalahan yang perlu
dicermati sebelum memeriksa pokok perkara atas tanggapan dari Tergugat
terkait kapasitas hukum Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia sebagai Penggugat I merupakan suatu permasalahan yang harus
diselesaikan dengan penerapan hukum tertentu, berdasarkan data 6.4.
Hakim dalam mengkonstitusi memberikan pertimbangan hukum terkait
kapasitas hukum/legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia sebagai Penggugat I, yaitu pihak yang berperkara
dalam mengajukan gugatan utang-piutang yang mendalilkan dirinya
sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
memiliki hak gugat organisasi/legal standing untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen Mardi sebagai Penggugat II.
100
Pada prinsipnya setiap orang yang merasa haknya dirugikan atau
mempunyai kepentingan dapat secara pribadi/menunjuk kuasa kepada
seseorang yang memenuhi syarat sebagai kuasa untuk beracara di
pengadilan sebagimana ditemukan pada data 6.5, dan berdasarkan data
tersebut telah diatur secara limitatif menurut Buku II Pedoman
Pelaksanaan
Tugas
dan
Administrasi
Pengadilan
Dalam
Empat
Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung RI, 2009, hal
53 disebutkan bahwa: Yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari
penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah :
a.
Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang
Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan
Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai
berlaku dinyatakan sebagai Advokat) ;
b.
Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah
sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia ;
c.
Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI ;
d.
Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum ;
e.
Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua
Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum
TNI/Polri
TNI/Polri;
untuk
perkara
yang
menyangkut
anggota/keluarga
101
f.
Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda
dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan
surat keterangan kepala Desa/Lurah ;
Perkembangan hak gugat di Indonesia sudah mengenal adanya legal
standing pada data 6.6. Praktik peradilan dan perundang-undangan sudah
mengenal dan mengakomodir model Gugatan Perwakilan Kelompok (class
action) dan Hak Gugat Organisasi (legal standngi/ius standi) dalam
beberapa peraturan perundangan. Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat Ketentuan Pasal 46 ayat (1)
huruf c UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat secara
langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa
memerlukan adanya surat kuasa, sebagaimana terdapat pada data 6.9.
Legal standing dalam perkara a-quo terkait aduan yang dilakukan oleh
Mardi sebagai Penggugat II kepada Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia sebagai Penggugat I, sebagaimana terdapat pada data
2.1. dan data 1.1 secara format dalam penyusunan surat gugatan Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mendudukan dirinya sebagai
Penggugat bukan sebagai kuasa dari konsumen Mardi sebagai Penggugat
II, sehingga kedudukan dari Penggugat I tidak jelas. Akan tetapi dapat
diselesaikan manakala yang melakukan gugatan menyangkut hak orang
banyak atau masalah yang menyangkut kepentingan khusus untuk
memperjuangkan
harkat
dan
martabat
masyarakat,
hakim
dapat
berpendapat bahwa perkara tersebut dapat diteruskan dan hakim wajib
102
memberikan nasihat terkait dengan perkara yang seharusnya dilakukan
sebagaimana secara substantif diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok, yang pada pokoknya hakim dapat memberikan
nasihat terhadap perkara yang sedang diajukan. Secara substantif dapat
diterapkan pada perkara legal standing yaitu hakim dapat memberikan
nasihat kepada penggugat terkait penyusunan surat gugatan yang
memenuhi persyaratan. Perkara legal standing yang diajukan oleh
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak menyangkut
harkat martabat orang banyak melainkan dalam mengajukan tuntutan
mengatasnamakan kepentingan individu terkait permasalahan utangpiutang. Sebagaimana ditemukan pada data 3.9, 3.10 tentang petitum, para
pihak meminta ganti kerugian kepada pihak tergugat, padahal dalam hal
perkara legal standing
tuntutan yang dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
yang
mendasarkan
gugatannya tersebut dengan dasar legal standing, petitum yang seharusnya
diminta adalah Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran
uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Sehingga menjadi tidak
jelas kedudukan Penggugat I sebagai lembaga atau sebagai kuasa.
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung
RI, 2009, hal 53 dikaitkan dengan perkara yang dihadapi dan diterapkan
terhadap
tanggapan dari Tergugat
terkait
kewenangan Lembaga
103
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai kuasa maka
disimpulkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia
tidak memiliki hak untuk menjadi kuasa atas Mardi, meskipun dalam
peraturanya
bahwa
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat dapat secara langsung bertindak mewakili konsumen sebagai
Penggugat Tanpa memerlukan adanya surat kuasa, itu artinya Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat bertindak atas kepentingan
dirinya sendiri sebagai Penggugat bukan bertindak sebagai kuasa,
kepentingan tersebut sesuai dengan Anggaran Dasar pendirian lembaga
tersebut sebagai perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki kapasitas
hukum adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
yang memenuhi persyaratan, dengan format surat gugatan sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku.
Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya”. Majelis Hakim mempertimbangkan keberadaan dari Penggugat
I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) sebagaimana
104
terdapat pada data 6.10. Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat apabila telah memenuhi persyaratan
tertentu dibuktikan dengan norma-norma yang terdapat pada data 6.11,
6.12, 6.13, 6.14, 6.15.
Pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
Konsumen disebutkan : “Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat”. Memenuhi
syarat yang bagaimana yang dapat mengajukan gugatan kemudian di
dalam Pasal 44 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa : “Yang dimaksud
dengan memenuhi syarat antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak
dalam bidang perlindungan konsumen”.
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)
mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah
lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” 112
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan
tentang
Pendaftaran
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat disebutkan: 113
112
113
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
105
Pasal 2:
1. Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi
syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan
Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran
dasar pendiriannya;
2. Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan
TDLPK;
Pasal 3:
1. Kewenangan Penerbitan TDLPk berada pada
Menteri;
2. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan
TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
kepada Bupati/Walikota;
3. Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
kepada Kepala Dinas;
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a
angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa: 114 “Permohonan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya
Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan yang dilampiri
dokumen-dokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian
Badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan
Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang
114
Keputusan Menteri Perindustrian
302/MPP/Kep/10/2001.
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
106
berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris
yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan. 115
Pasal 14 Ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan dalam anggaran dasar yayasan
sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama dan tempat kedudukan;
2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai
maksud dan tujuan tersebut;
3. Jangka waktu pendirian;
4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan
pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;
5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan;
6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan
penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan
Pengawas;
7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan
Pengawas;
8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan;
9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan
11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran
kekayaan yayasan setelah pembubaran.
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia telah terdaftar
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat pada data 6.17. Sebagaimana
terdapat pada data 6.18, diketahui bahwa Penggugat I (Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah terdaftar di Pemerintah
115
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
107
Kota Malang sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam
bidang Perlindungan Konsumen.
Hakim mempertimbangkan apakah Penggugat I memiliki Kapasitas
hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) sebagaimana
terdapat pada data 6.19. Hakim mempertimbangkan sebelum masuk dalam
pokok perkara, terlebih dahulu Hakim melakukan pemeriksaan terhadap
kapasitas hukum penggugat terutama Penggugat I yaitu Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia terhadap perkara utangpiutang atas dasar legal standing yang dimilikinya dalam bidang
perlindungan konsumen.
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mendalilkan
dirinya sebagai penggugat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) berdasarkan pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak gugat organisasi
(legal standing/ ius standi) yang bergerak untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya dapat ditemukan pada data 6.20, yaitu hak yang diberikan kepada
lembaga perlindungan konsumen masyarakat yang memenuhi syarat untuk
mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
dalam perkara a-quo.
Syarat-syarat
Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Swadaya
Masyarakat (LPKSM) yang dapat mengajukan gugatan atas Pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat ditemukan pada data 6.21 sesuai
108
dengan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan data 6.21 maka muncullah data 6.22 dan, data 6.23
yang menerangkan keadaan sebagai badan hukum. Keadaan sebagai badan
hukum sebagaimana tercantum pada 14 Ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pada salah satu
keadaan di dalam pasal tersebut menyebutkan adanya harta kekayaan yang
terpisah dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda.
Perkumpulan diatur dalam BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata pasal 1653 yang menyebutkan: 116”Selainnya perseroan
yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan,
baik perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu
diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun
perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah
didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan baik”. Sebagaimana terdapat pada data
6.24 mengatur tentang ketentuan-ketentuan tentang Badan Hukum
Berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, maka ketentuanketentuan tentang badan hukum sampai sekarang masih tetap berlaku.
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum antara lain
116
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
109
UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, UU No. 28 tahun 2004 tentang
Yayasan,UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).
Suatu badan/perkumpulan/badan usaha memperoleh status badan
hukum (legal person/ rechtperson), apabila telah mendapat pengesahan
dari Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia, sebagaimana terdapat pada
data 6.25. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 yang
didalamnya menyebutkan bahwa kewenangan penerbitan Tanda Daftar
Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) berada pada Menteri.
Majelis Hakim menerangkan bahwa belum terpenuhi pada diri
Penggugat I dalam Anggaran Dasar Penggugat yaitu tidak nampak adanya
pemisahan yang jelas antara harta kekayaan Penggugat I dengan harta
kekayaan para pengurusnya, sebagaimana terdapat pada data 6.26. Hakim
dalam hal ini menerapkan hukum (mengkonstitusi) sesuai dengan
peraturan tentang Badan Hukum dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada
menerangkan bahwa tidak adanya bukti pemisahan harta kekayaan,
sehingga Hakim menetapkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia bukan berbentuk Badan Hukum.
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)
tidak memenuhi syarat sebagai Badan Hukum, karena hakim tidak melihat
adanya surat-surat yang menunjukan bahwa Penggugat I telah mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi
yang berwenang sebagai syarat utama sebagai Badan Hukum berdasarkan
110
data 6.27. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bukan sebagai Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Dengan
demikian Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)
tidak memiliki kapasitas hukum karena tidak memenuhi syarat sebagai
Badan Hukum.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang tidak
berstatus Badan Hukum pada data 6.28 mendasarkan pada Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 7 ayat (1) huruf b menerangkan tentang
Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
disebutkan :
Pasal 7
(1) Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dilampiri dokumen-dokumen sebagai berikut :
b. Lembaga Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan
Hukum maupun Yayasan :
1. Copy Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya
Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat
pengesahan dari Instansi yang berwenang;
2. Copy
Kartu
Tanda
Penduduk
(KTP)
pimpinan/penanggung jawab Lembaga Swadaya
Masyarakat yang masih berlaku; dan
3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili
Lembaga Swadaya Masyarakat dari Lurah/Kepala Desa
setempat.
Penerbitan Tanda
Daftar
Lembaga Perlindungan
Konsumen
(TDLPK) yang disahkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini
Walikota Malang yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
111
Indonesia (LPKNI) bukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
karena tidak berbentuk Badan Hukum/Yayasan maka berdasarkan pasal 46
ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yang dapat mengajukan gugatan hanya yang memenuhi
keadaan secara komulatif yang salah satu syaratnya berbentuk Badan
Hukum/Yayasan. Demi kepastian hukum maka Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) tidak memenuhi syarat sebagai
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Artinya Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)
tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan.
Mengenai status Lembaga diketahui bahwa Penggugat I berstatus
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagaimana terdapat pada
data 6.29, bukan sebagai Badan Hukum atau Yayasan karena surat yang
diajukan oleh Penggugat I berupa Tanda Daftar Lembaga Perlindungan
Konsumen (TDLPK) Nomor : 519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda
tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009 menerangkan
bahwa Penggugat I berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), bukan sebagai Badan Hukum.
Hakim berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia) bukan Lembaga Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
sebagaimana terdapat pada data 6.30, data 6.31, dan data 6.32. Dengan
112
demikian syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I (Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia). Dengan tidak terpenuhinya
diri Penggugat I sebagai Badan Hukum atau Yayasan maka Penggugat I
(Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki
kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio)
dalam perkara a quo karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia) tidak berbentuk Badan Hukum atau
Yayasan tetapi berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Hakim dalam mengkonstitusi perkara legal standing dengan
melakukan pemeriksaan pendahuluan yaitu menggunakan keadaan objektif
dan subjektif dari Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia
(LPKNI), keadaan yang menerangkan diri seseorang sebagai orang yang
memiliki kapasitas hukum dengan memenuhi persyaratan tertentu sesuai
dengan apa yang sudah diatur dalam peraturan mengenai diakuinya
sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
memiliki kapasitas hukum. Keadaan objektif dan subjektif yang dimaksud
harus memenuhi Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pasal 1 angka 3 Peraturan
Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 302/MPP/Kep/10/2001, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang
113
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Hakim mengkonstitusi dalam putusannya menyatakan gugatan tidak
dapat diterima sudah tapat, dibuktikan pada data-data sekunder yang
tersedia yang menyatakan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
Indonesia tidak memiliki kapasitas hukum, yang berdasarkan asas poin de
interes poin de action, meskipun Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung Lembaga
Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dapat melakukukan gugatan
berdasarkan hak gugat organisasi tanpa harus adanya surat kuasa, dan
bertindak atas kepentinganya sendiri sebagai bentuk perlindungan terhadap
konsumen, dengan syarat harus memenuhi keadaan objektif dan subjektif
tetrsebut. Petitum gugatan legal standing mengenai hal pokok yang
diminta adalah Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran
uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Hakim lebih menegakkan
kepastian hukum yaitu bahwa gugatan yang diajukan oleh para pihak tidak
memenuhi persyaratan. Apabila menggunakan rasa keadilan dan
kemanfaatan yang beralasan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat tidak terpenuhi sebagai Badan Hukum atau Yayasan tetapi
apabila gugatan tersebut dalam hal memperjuangkan kepentingan umum
harkat dan martabat orang banyak hakim dapat memberikan nasihat demi
terciptanya keadilan masyarakat. Penggugat I dalam hal ini berposisi tidak
sesuai atau tidak tepat yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional
114
Indonesia yang memposisikan dirinya sebagai Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat dalam Petitum Penggugat meminta ganti
kerugian, padahal Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
dalam mengajukan tuntutan hak dalam pencantuman petitum seharusnya
berisikan Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang
paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian.
Mendasarkan pada ketentuan hukum tertentu, dan penggunaan
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok secara substansi dapat
diterapkan, mengingat permasalahan hak gugat organisasi belum ada
peraturan khusus yang mengaturnya. Legal standing atau hak gugat
organisasi juga termasuk kelompok, akan tetapi memiliki tujuan khusus
dan memiliki tujuan tertentu, hampir sama dengan apa yang dimaksud
dengan class action yaitu sama-sama berbentuk kelompok. Class action
berbentuk kelompok tersebut
belum terlembaga
sehingga dalam
melakukan gugatan dipersayaratkan adanya kesamaan hubungan hukum
dan mengalami kerugian secara langsung akibat dari kegiatan pelaku usaha
atau pemerintah. Lain hal dengan legal standing meskipun tidak secara
langsung mengalami kerugian secara langsung, organisasi/kelompok ini
dapat melakukan gugatan berdasarkan pemenuhan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Sehingga secara substansi hukum acara perdata yang diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok dapat diterapkan pada
115
hak gugat organisasi. Mengingat UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Staatsblad 1870 Nomor 64, Pasal 1653 KUH
Perdata (BW), Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
302/MPP/Kep/10/2001
tentang
Pendaftaran
Lembaga
Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor
1 Tahun 2010 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok serta
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini terdapat
pada data 3.35.
Mendasarkan pada Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan
maka putusan Pengadilan Negeri Kepanjen pada gugatan utang-piutang
dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ sudah sesuai dengan Asas-asas
Hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Kepanjen sudah memuat dasar alasan yang jelas dan rinci perihal gugatan
yang dinyatakan tidak dapat diterima bahwa Lembaga Perlindungan
Konsumen Nasional Indonesia yang mendalilkan dirinya sebagai Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atas dasar gugatan legal
standing terhadap utang-piutang seorang konsumen yang bernama Mardi
tidak berbentuk badan hukum, padahal di dalam norma materiil legal
standing perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyebutkan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
116
oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa adanya
suatu lembaga yang memiliki kapasitas hukum legal standing harus
memenuhi persyaratan tertentu diantaranya mensyaratkan adanaya suatu
keadaan lembaga tersebut berbentuk badan hukum, dan dalam hal ini
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memenuhi
persyaratan tersebut. Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen menayatakan
gugatan tidak dapat diterima dikarenakan gugatan tidak memenuhi
persyaratan.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat apabila
akan menjadi penggugat dalam suatu perkara, hendaknya harus memenuhi
syarat formil dan syarat materiil sebagai lembaga dan objek gugatan sesuai
dengan anggaran dasar yang dimilikinya. Pencantuman petitum seharusnya
berisikan Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang
paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian, serta memperjuangkan
kepentingan umum harkat dan martabat orang banyak.
117
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai legal standing
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dalam gugatan utangpiutang pada putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/
PN.KPJ yang dikaitkan dengan permasalahan yang penulis teliti seperti
tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Hakim dalam mengkonstitusi perkara legal standing menyatakan
gugatan tidak dapat diterima sudah tepat, dengan alasan Penggugat I yaitu
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memiliki
kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan.
B. Saran
Hendaknya
diperhatikan
apabila
bertindak
sebagai
Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat harus memenuhi persyaratan,
baik syarat formil maupun syarat materiil, agar memiliki kapasitas hukum
sebagai penggugat dan, dalam pencantuman petitum seharusnya berisikan
penghentian kegiatan, permintaan maaf, dan pembayaran uang paksa
(dwangsom) bukan ganti kerugian, serta memperjuangkan kepentingan umum
harkat dan martabat orang banyak
Daftar Pustaka
Apeldoorn, V. (1996). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Darwan Prinst, S. (2002). Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata .
Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Djindang, E. U. (1983). Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan.
Harahap, M. Y. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Herlinda, E. (2004). Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing
Di Peradilan Tata Usaha Negara. e-USU Repository © 2004 Universitas
Sumatera utara, 3-4.
Johnny Ibrahim, S. M. (2006). Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Penerbit Banyumedia.
Mamudji, S. S. (2011). Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat.
Jakarta: Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada.
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana.
Marzuki, P. M. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Meliala, D. S. (1982). Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata.
Bandung: Tarsito.
Mertokusumo, S. (2009). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberti
Yogyakarta.
Nugroho, S. A. (2010). Class Action & perbandingannya dengan Negara Lain.
Jakarta: Prenada Media Group.
Soemitro, R. H. (1988). Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Susanti Adi Nugroho, S. M. (2011). Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen
Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta:
Penerbit Kencana Prenada Media Group.
Artikel
Bintoro, R. W. (2010). Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Jurnal
Dinamika Hukum, 7-8.
Santosa, M. A. (2008). CLASS ACTIONS IN INDONESIA. Blackie.
Khusnanto, N. (2009). Surat Kuasa yang tidak sah dalam perkara yang
dimohonkan banding. Skripsi, 14-17.
Website
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. (2014, April 24).
Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Retrieved Oktober 15,
2014, from Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia:
http://www.perlindungankonsumen.id/index.php/tentangkami
Ramon, T. (2010, Juni 4). Hukum Acara Perdata. Retrieved Desmber 4, 2014,
from Wordpress: http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukumacara-perdata/
FH
UNSOED.
(2014,
Desember
8).
Retrieved
from
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20III%20METODE%20PENELITI
AN.doc
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
302/MPP/Kep/10/2001
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg
Download