Ketika Buku Jadi Tirani - UPT Balai Informasi Teknologi LIPI

advertisement
Ketika Buku Jadi Tirani
Written by Administrator
Friday, 05 June 2009 13:24 -
Ketika Buku Jadi Tirani
Oleh
Utomo Dananjaya
Guru merasa gamang atau risau mengajar tanpa buku teks. Buku telah menjadi tiran yang
menekan kebebasan kreativitas guru.
Menghadapi kerisauan gu­ru karena tidak adanya buku teks pelajaran yang berkualitas,
Mendiknas menyerukan untuk tidak ga­mang dan risau. Justru keadaan ini merupakan
kesempatan bagi guru untuk lebih kreatif
(Kom­pas, 2 Agustus 2005).
Setelah ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1140), dunia percetakan
ber­kembang sedemikian rupa se­hingga khazanah ilmu pengeta­huan ikut terbantu dengan
ada­nya buku sebagai media untuK berkomunikasi dan menyampai­kan berbagai hasil
penemuan il­miah. Kemudian media cetak menerbitkan temuan ilmu dan disebarkan
menggunakan buku.
Lalu ilmu menjadi buku, kitab suci menjadi buku. Dengan me­dia cetak, mudah memperoleh
ilmu pengetahuan. Itu adalah hal-hal yang positif, dunia ini menjadi sebuah kesatuan de­ngan
bermacam informasi ter­cetak atau buku. Dengan demi­kian, informasi dapat disimpan,
pengalaman dapat dibuat buku yang dipelihara di perpustakaan. Pengaruh hasil karya
Gutenberg ini tidak selamanya bernilai po­sitif karena pada perkembangan berikutnya
menimbulkan ketergantungan manusia pada buku dan tidak peduli pada pengalamah. Citra
direndahkan menjadi kata.
1/4
Ketika Buku Jadi Tirani
Written by Administrator
Friday, 05 June 2009 13:24 -
Tirani buku
Yang teljadi selanjutnya, buku mengubah pengalaman menjadi sekadar kata-kata atau
mengu­bah ilmu, eksperimen, dan eks­perien menjadi kata-kata. Mun­cullah tirani kata-kata
sebingga sekarang orangtidak akan berarti tanpa buku.
Ketergantungan orang terha­dap buku mengubah proses pembelajaran (belajar) menjadi
proses membaca. Ketika peng­alarpan diubah menjadi buku, orang bukan lagi belajar dari
eksperimen dan mengalami, tetapi orang belajar cukup dari mem­baca. Maka, orang yang
tadinya bekerja di laboratorium seka­rang bekerja di meja. Yang se­mula pembelajaran kaya
peng­alaman dan perasaan, kemudian diganti dengan kata-kata saja.Yang semula sebuah citra
hanya menjadi cerita. Yang tadinya ka­ya imajinasi kini terjerat kisi-ki­si. Semua itu disebabkan
penge­tahuan telah diubah menjadi "mantra" kata-kata.
Di Indonesia tirani buku betul-betul menjadi sebuah kenyataan yang membebani rakyat,
sekolah, dan orangtua.
Tragis lagi, buku bacaan di se­kolah tidak selengkap ketimbang buku bacaan di tempat lain.
Orang-orang menyusun buku bukan dari hasil percobaan, tetapi dari buku sumber.
Peng­alaman di alam yang sudah di­reduksi menjadi kata-kata di da­lam buku direduksi lagi
menjadi buku-buku ringkas yang diter­bitkan atau menjadi buku-buku di Indonesia.
Situasi ini menjadikan orang-­orang Indonesia bergantung pa­da buku yang mutunya sangat
rendah, yang kedalaman dan ke­luasannya tidak ada. Dan yang lebih memprihatinkan, jarang
terdengar para pendidik mem­bicarakan kualitas buku, apalagi melakukan penelitian tentang
hal itu. Sementara pengalaman. telah direduksi sedemikian rupa dalam bentuk buku, ada guru
mengajar hanya membacan buku, menyalinkan buku, bukan mengajak anak untuk terjun ke
pengalaman. Inilah kemudian yang dimaksud bahwa buku menjadi penghambat, bahkan Dave
Meier menyebut buku se­bagai setan bagi pendidikan.
Di Indonesia, tirani buku be­tul-betul menjadi sebuah kenya­taan yang membebani rakyat,
sekolah, dan orangtua karena harus membeli buku untuk anak. Guru-guru bekerja sama
dengan kapitalis buku menjual­nya kepada murid sehingga pen­didikan (sekolah) menjadi pasar
buku dan lahan empuk bagi ka­pitalis buku yang bermula dari teknologi Gutenberg.
2/4
Ketika Buku Jadi Tirani
Written by Administrator
Friday, 05 June 2009 13:24 -
Kapitalis penerbit buku telah mendikte guru dengan buku yang diterbitkannya. Tiap se­mester
ganti buku dengan alasan ilmu berubah. Guru menerima saja dan menjadi corong informasi
bodoh tentang ilmu ber­ubah cepat. Mengapa guru de­ngan mudah diperalat kapitalis penerbit?
Inilah salah satu ciri rendahnya mutu guru.
Andai kata guru IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) memahami prinsip-prinsip sains, ia tidak mudah
ditipu. Kalau guru Ma­tematika menghayati prinsip­-prinsip matematika, guru terse­but akan
menolak berganti buku setiap semester. "Kapan ilmu berubah", mungkin ilmu sosial?
Fenomena sosial barangkali ber­ubah cepat. Misalnya, Gubernur DKI Jakarta sekarang bukan
Wiyogo, tetapi proses pemilih­annya sama. Baru akan berbeda ketika menjadi pilkada. Apakah
dengan begitu buku perlu diganti setiap tahun?
Buku pelajaran di Indonesia adalah buku yang disusun de­ngan meringkas dari buku sum­ber
yang lebih tebal. Buku di­ringkas menjadi buku, yang se­lanjutnya mengakibatkan
pem­bonsaian ilmu. Mengapa hal ini bisa terjadi dan aman saja? Ka­rena di Indonesia ada ujian
na­sional (UN) yang dahulu bernama Ebtanas, di mana soalnya dibuat berdasarkan buku yang
bersumber GBPP. Soal ujian de­ngan model menguji hafalan. Bahkan buku ringkasan pun akan
disisihkan oleh buku kum­pulan soal ujian.
Jadi, artinya, anak-anak itu didorong untuk menghafal (la­gi-lagi) kata-kata, bukan untuk
memahami kenyataan atau pengalaman. Ini semua akibat ketergantungan pada buku (yang
tidak bermutu) yang dikokohkan dan didukung oleh kapitalisme buku dan dibakukan oleh GBPP
dengan dikontrol oleh ujian na­sional. Inilah konsekuensi dari sistem pendidikan yang berpusat
pada materi pelajaran
(subject matter based), yang menghasil­kan
lulusan dengan kekuatan berpikimya terpangkas. Miskin pikiran.
Jalan keluar
Buku pelajaran sebaiknya diganti dengan buku-buku teks perpustakaan sekolah. Di Singa­pura,
buku-buku yang diperlu­kan sudah ada di perpustakaan. Anak-anak sekolah di Singapura
bukan belajar membeli buku, tetapi belajar memilih buku di perpustakaan. Apa yang ingin dan
patut dia baca, itulah yang mereka pilih.
Anak-anak akan membaca apa yang dia inginkan dan apa yang ingin dia kuasai. Guru tidak
3/4
Ketika Buku Jadi Tirani
Written by Administrator
Friday, 05 June 2009 13:24 -
akan mengawasi apalagi mela­rang dengan ketentuan harus membaca buku ini dan tidak
bo­leh membaca buku itu. Anak akan dengan sendirinya memilih di perpustakaan, mana buku
yang dia suka dan mana yang cocok dengan kebutuhannya.
Menghadapi kondisi ketiada­an buku teks pelajaran dan ke­risauan guru, Mendiknas
me­nyerukan untuk tidak gamang dan tidak risau. Inilah kesem­patan bagi guru untuk lebih
kreatif mengajak anak belajar dari pengalaman. Tanpa buku yang membatasi informasi
men­jadi sekadar kata, guru kreatif lebih dominan dari faktor lain. dalam kurikulum.
4/4
Download