3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan

advertisement
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di perairan pesisir Holtekam, Kampung Holtekam,
Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Secara geografis berada pada posisi antara
1⁰28’17.26”- 3⁰58’0.28” Lintang Selatan dan antara 137⁰34’10.6”-141⁰0’8.22”
Bujur Timur. Titik sampling sebanyak 18 titik, 12 titik di tambak dan saluran Kali
buaya dan 6 titik di laut (Lampiran 1). Kegiatan penelitian dilaksanakan selama
selama 2 bulan, yaitu April–Mei 2010.
Pengukuran parameter kualitas air
dilakukan selama 3 hari dari pukul 07.00 –17.00 WIT.
Gambar 2. Peta lokasi Penelitian di Holtekam Distrik Muara Tami Kota Jayapura
Provinsi Papua
Berdasarkan data dari Balai Besar Moteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) wilayah V Jayapura 2009, Kota Jayapura mempunyai curah hujan yang
bervariasi antara 29 mm sampai 456 mm per tahun dengan suhu harian berkisar
antara 24.2-32.6⁰C. Kelembaban udara bervariasi antara 76-93%. Iklim Kota
Jayapura dikategorikan basah, dimana konsentrasi hujan tertinggi terjadi pada
bulan Desember hingga Januari, sedang konsentrasi hujan terendah terjadi antara
bulan Mei hingga bulan Agustus setiap tahun.
Perairan Holtekam merupakan lekukan pantai yang terletak di dalam teluk
Yos Sudarso, dimana pantainya terdiri dari pantai berpasir yang landai. sedangkan
pada lahan atas merupakan kawasan mangrove yang sebagian telah di konversi
menjadi lahan pertambakan. Bagian luar perairan Holtekam terdapat dua pulau
karang yang dikelilingi oleh terumbu karang namun kondisinya sudah rusak
akibat aktivitas masyarakat dan proses sedimentasi.
Saluran pemasok air bagi kawasan pertambakan adalah Kali buaya yang
bermuara di pantai Holtekam, sebelumnya merupakan sungai mati. Setelah irigasi
teknis di Koya dibangun maka saluran pembuangan irigasi teknis dari Koya di
hubungkan dengan kali buaya. Sepanjang pinggiran kali buaya ditumbuhi oleh
mangrove dengan lebar hamparan 5–15 m. Pada musim hujan perairan saluran
keruh akibat luapan lumpur dari sungai Muara Tami melalui saluran irigasi teknis
yang masuk ke Kali Buaya.
Kawasan pertambakan Holtekam terletak pada pesisir pantai yang
sebelumnya merupakan kawasan hutan mangrove. Konversi hutan mangrove
menjadi areal pertambakan dimulai sejak tahun 1980 oleh masyarakat Bugis dan
Makassar. Jenis mangrove yang mendominasi kawasan ini adalah Rhizopora sp.,
Sonneratia sp. dan Ceriops tagal. Aktivitas budidaya tambak masih dalam skala
tradisional karena masih dilakukan secara perorangan berdasarkan pengalaman
bertambak di daerah asal yakni Bugis dan Makassar.
Lokasi penelitian di Perairan/Teluk Holtekam dapat dijangkau dengan
menggunakan sarana transportasi darat dan laut. Jalan darat melalui ruas jalan
Internasional Jayapura (RI) - Wutung (PNG) yang membutuhkan waktu ±30
menit dari Kota Jayapura.
3.2 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer yang meliputi data kuantitas dan kualitas air
(parameter fisika-kimia dan biologi) dengan melakukan pengambilan sampel
secara langsung di lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data
pasang surut, pola arus, topografi, potensi wilayah dan tata guna lahan, Data
sekunder ini diperoleh dari Dinas/instansi dan lembaga terkait yaitu : Pemda Kota
Jayapura, Bappeda Kota Jayapura, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan
Moteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jayapura, Dinas hidro
oseanografi AL Jayapura dan instansi lainnya.
3.2.1 Kualitas Air
Pengumpulan data kualitas air untuk menentukan status perairan pesisir
Holtekam yang terkait dengan kelayakan kehidupan biota perairan. Sampel air di
ambil pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan yakni di tambak, saluran
dan laut. Sampel air untuk pengamatan parameter fisika kimia perairan disimpan
dalam botol sampel selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis lebih
lanjut.
Tabel 1 Parameter fisika kimia perairan yang diukur, alat dan cara analisisnya
No
1.
2.
3.
4.
5.
6
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Parameter
Sifat Fisika
Suhu air (oC)
Kedalaman (m)
Kecerahan (m)
Kekeruhan (NTU)
(TSS) (mg/l)
Kecepatan Arus (m/dtk)
Sifat Kimia
Salinitas (ppt)
pH
Oksigen terlarut (mg/l)
BOD 5 (mg/l)
COD (mg/l)
Nitrit (N-NO 2 ) (mg/l)
Nitrat (N-NO 3 ) (mg/l)
N-Total (mg/l)
Fosfat (PO 4 ) (mg/l)
TOM
Alat/Cara Analisis
Keterangan
Thermom air raksa
Tali penduga
Secchi Disc
Turbidimeter
Gravimetrik
Current meter
In Situ
In Situ
In Situ
In Situ
Laboratorium
In Situ
Refraktometer
pH meter
DO meter
Titrimetrik, inkubasi
Titrimetrik dengan Bikromat
Spektrofotom metode AgSO 4
Spektrofotom metode AgSO 4
Spektrofotom metode Nessler
Spektrofotom metode SuCl2
Titrimetrik (KMnO 4 )
In Situ
In Situ
In Situ
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboratorium
Laboraatoriu
Analisis kualitas air (parameter fisika kimia) sebagian dilakukan langsung
di lokasi pengamatan (in situ) dan di Laboratorium Lingkungan Badan Kesehatan
Lingkungan Daerah Jayapura Provinsi Papua.
Parameter yang diukur secara
langsung di lokasi adalah: suhu, kedalaman, kekeruhan, kecerahan, kecepatan
arus, salinitas, oksigen terlarut dan pH. Sedangkan parameter kualitas air yang di
amati di laboratorium adalah: TSS, BOD, COD, Nitrat, Nitrit, N-Total, Fosfat dan
TOM. Metode pengambilan dan penanganan contoh air serta metode analisis
kualitas air mengacu pada APHA (1989).
Pengambilan sampel fitoplankton dari setiap substasiun dilakukan secara
bersamaan pada saat pengukuran parameter kualitas air. Air sampel sebanyak 50
liter disaring dengan menggunakan plankton net diam 0.25 mm. Hasil saringan
sebanyak 100 ml diawetkan dengan Formalin 10%, selanjutnya diamati
kandungan fitoplanktonnya di Laboratorium Avertebrata Air IPB.
3.2.2. Kondisi Hidro Oseanografi
Pengamatan hidro-oseanografi perairan pesisir Holtekam meliputi:
pengukuran panjang pantai
yang sejajar dengan lebar tambak yang menjadi
pemasok air tambak, gradien perairan pantai rata-rata, pasang surut dan pola arus.
Menentukan jarak pengambilan air laut (intake) untuk keperluan tambak yakni
dihitung dari garis pantai (saat pasang) ke arah laut hingga mencapai kedalaman 1
m di bawah muka air laut pada saat surut, mengukur kedalaman air rata-rata
dalam tambak dan pergantian air tambak.
3.2.3 Budidaya Tambak
Pengamatan aktivitas budidaya tambak yang dilakukan selama penelitian
meliputi luas areal tambak, luas petakan tambak, deskripsi fisik tambak yang
meliputi kondisi sarana dan prasarana produksi tambak. Pengamatan terhadap
tingkat tekhnologi dan manajemen budidaya tambak yang meliputi : persiapan
tambak (jenis dan dosis pupuk, pestisida, kapur), benih (sumber benih, umur,
jumlah, perlakuan, aklimatisasi), pengelolaan air dan lingkungan, pakan (jenis,
jumlah ukuran dan frekuensi pemberian pakan), pemantauan pertumbuhan,
penanganan hama dan penyakit, panen dan pasca panen. Data dikumpulkan
dengan melakukan wawancara kepada responden utama baik secara tertutup
(kuisioner) maupun terbuka dan pengamatan visual di lapangan (visual survey).
3.3 Analisis Data
3.3.1 Komposisi Jenis, Indeks keanekaragaman (H’) Indeks Keseragaman
(E) dan Dominansi Fitoplankton
Komposisi jenis fitoplankton dimaksudkan untuk melihat persentase jenis
fitoplankton yang menyusun komunitas fitoplankton pada suatu perairan.
Komposisi jenis fitoplankton dihitung sebagai berikut :
Dimana, K
= Komposisi jenis (%)
Ni
= Jumlah spesies ke-i
N
= Jumlah total spesies
Keragaman/keanekaragaman (H’) sangat penting untuk mengetahui
tingkat kestabilan suatu komunitas. Semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu
habitat maka semakin baik kestabilan habitat tersebut terhadap tekanan dari luar
(external pressure) semakin baik. Penentuan indeks keanekaragaman jenis pada
penelitian ini menggunakan indeks Shannon-Wiener dengan berpedoman pada
Brower et al. (1990); Setyobudiandi et al. (2009), dengan formula sebagai berikut:
Dimana : H’
= indeks keanekaragaman jenis
ρi
= ni/N
ni
= jumlah individu jenis ke-i
N
= jumlah total individu seluruh jenis
Agar nilai Indeks keanekaragaman jenis (H’) dapat ditafsirkan maknanya maka
digunakan kriteria sebagai berikut :
Jika H’ < 1
: keanekaragaman jenis rendah
Jika 1 ≤ H’ ≥ 3 : keanekaragaman jenis sedang
Jika H’ > 3
: keanekaragaman jenis tinggi
Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui tingkat keseragaman
suatu komunitas dan penyebaran jumlah individu tiap jenis plankton. Indeks
keseragaman dihitung dengan membandingkan nilai indeks keanekaragaman dan
nilai keanekaragaman maksimum.
Keseragaman jenis fitoplankton (E) dihitung dengan rumus :
dimana : H’
= indeks keanekaragaman Shannon-wiener
H’ maks = log 2 S
S
= jumlah spesies
Nilai indeks keseregaman berkisar antara 0 – 1, dengan kriteria sebagai berikut :
E < 0.4
: keseragaman kecil
0.4 ≤ E < 0.6 : keseragaman sedang
E ≥ 0.6
: keseragaman besar
Bila indeks keseragaman mendekati 0, maka ekosistem tersebut
mempunyai kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu dan bila indeks
keseragaman mendekati 1 maka ekosistem tersebut relatif stabil.
Sedangkan untuk mengetahui dominansi (D) suatu jenis fitoplankton
dalam komunitasnya digunakan indeks dominansi Simpson (Legendre &
Legendre 1983), sebagai berikut :
Dimana : D
= indeks dominansi
ni
= jumlah spesies jenis ke-i
N
= jumlah total individu seluruh jenis
Nilai indeks dominansi berkisar 0–1. Jika indeks dominansi mendekati 0
berarti tidak ada jenis fitoplankton yang mendominasi.
Sebaliknya jika nilai
indeks dominansi mendekati 1 berarti ada salah satu jenis fitoplankton yang
mendominasi komunitas tersebut.
3.3.2 Analisis Spasial Karakteristik Kualitas Air
Analisis spasial karakteristik kualitas perairan pesisir antara stasiun
pengamatan, digunakan pendekatan analisis statistik multivariable, yaitu Analisis
Komponen Utama (PCA) (Bengen et al. 1994). PCA merupakan metode statistik
deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan
informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang
dimaksud terdiri dari stasiun pengamatan sebagai individu statistik (baris) dan
parameter kualitas perairan sebagai variable kualitatif (kolom).
Sebelum
melakukan PCA terlebih dahulu dilakukan analisis varians.
Pada prinsipnya PCA
menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat
perbedaan antara individu/baris dan variabel/kolom yang berkoresponden) pada
data yang didasarkan pada rumus :
Keterangan :
D2 = jarak euklidien
= 2 stasiun (pada baris ke-i)
Ji
= parametereter kualitas perairan (indeks pada kolom, bervariasi dari 1
ke-p)
X ij = jumlah kolom j untuk semua baris i
Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun pengamatan, maka
makin mirip karakteristiknya, sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara
dua stasiun pengamatan, maka semakin berbeda karakteristik parameter fisika
kimia perairan antara kedua stasiun pengamatan.
3.3.3 Analisis Daya Dukung Perairan
Perhitungan kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah
tambak sangat penting demi kelestarian lingkungan pesisir dan kegiatan tambak
yang
berkelanjutan.
Perhitungan
kemampuan
perairan
pesisir
dalam
mengencerkan limbah tambak mengacu pada rumus hasil kegiatan penyusunan
kriteria eko-biologis (Widigdo 2000).
Data yang digunakan dalam analisis daya dukung perairan diperoleh dari
hasil pengukuran langsung di lapangan (data primer), maupun dari berbagai
sumber (data sekunder). Data yang dikumpulkan meliputi :
1. Amplitudo atau kisaran pasut (tidal range) (h), diambil dari hasil pengamatan
lapangan dan daftar pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas hidro
oseanografi AL (data sekunder).
2. Panjang garis pantai (y), diperoleh dari dokumen Rencana Umum Tata Ruang
Wilayah (RUTRW) Kota Jayapura (data sekunder).
3. Jarak garis pantai dengan lokasi pantai yang kedalaman airnya 1 m pada saat
surut terendah (x), diperoleh dari hasil pengukuran lapangan (data primer).
4. Sudut kemiringan dasar laut pantai ( ), diperoleh dari peta batimetri yang
dikeluarkan oleh Dinas hidro oseanografi AL Jayapura (data Sekunder).
Setelah data-data tersebut terkumpul, dilakukan perhitungan untuk
mengetahui kapasitas kawasan perairan pesisir menerima limbah dari budidaya
tambak. Secara lengkap tahapan dalam perhitungan daya dukung adalah :
1. Menghitung volume air laut yang masuk ke dalam kawasan pesisir atau air
yang tersedia dengan menggunakan rumus :
Dimana, Vo = volume air laut yang memasuki perairan pantai (m3).
h
= Kisaran pasang surut (tidal range) setempat (m)
y
= lebar areal tambak yang sejajar garis pantai (m).
x
= Jarak dari garis pantai (pada waktu pasang) hingga lokasi
intake air laut untuk keperluan tambak (m).
θ
= Sudut kemiringan pantai
Setelah diketahui V o, maka nilai tersebut dikalikan dengan frekuensi pasang
harian dan hasilnya merupakan nilai volume air tersedia (Vs).
2. Menghitung kapasitas limbah yang maksimal yang bisa diterima kawasan
pesisir berdasarkan asumsi dari Racocy & Alison (1981) in Widigdo &
Suwardi (2002) yaitu maksimal limbah tambak yang bisa di asimilasi atau
didegradasi oleh lingkungan secara alami sebanyak 1% dari volume air yang
tersedia.
Volume air per satuan waktu dalam suatu kawasan adalah merupakan
debit air di kawasan tersebut, sehingga semakin besar debit air berarti semakin
besar juga daya tampungnya terhadap limbah.
Artinya semakin besar juga
produksi tambak yang mungkin dapat dicapai di kawasan tersebut.
3.3.4 Estimasi Beban Limbah Budidaya Tambak
Konsentrasi limbah dari sisa pakan dan feses ikan sebenarnya akan
mengalami penurunan karena terurai menjadi unsur hara yang kemudian
dikonversi untuk pertumbuhan fitoplankton (Widigdo 2000). Namun di dalam
memperhitungkan jumlah limbah, penurunan tersebut tidak diperhitungkan,
karena belum adanya metoda perhitungan kuantitatif yang memadai untuk itu.
Adanya asumsi bahwa over prediction limbah masih lebih baik dibanding dengan
under prediction.
Perhitungan beban limbah budidaya adalah dengan mengalikan volume air
tambak dengan nilai konsentrasi N-Total, TOM dan PO 4 -P di perairan tambak.
Nilai ini selanjutnya dihubungkan dengan nilai baku mutu perairan untuk
budidaya (KLH 2004). Formula yang dipakai pada perhitungan ini didasarkan
atas perhitungan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan
oleh Barg (1992), yaitu :
xF
Dimana, N = jumlah limbah di perairan (mg/l)
E = konsentrasi limbah dalam air (mg/l)
V = volume perairan (m3)
F = flushing time (m3/dtk)(F tambak = 1)
3.3.5 Analisis Teknis Budidaya Tambak
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi teknis pengelolaan
tambak bandeng yang saat ini sedang dilakukan oleh masyarakat. Untuk tujuan
tersebut dilakukan pengumpulan data yang meliputi : luas tambak, prasarana dan
sarana budidaya serta teknik produksi yang meliputi : persiapan tambak (jenis dan
dosis pupuk, pestisida, kapur), benih (sumber benih, umur, jumlah, perlakuan,
aklimatisasi), pengelolaan air dan lingkungan, pakan (jenis, jumlah, ukuran dan
frekuensi pemberian pakan), pemantauan pertumbuhan, penanganan hama dan
penyakit, panen
dan pasca panen.
Data dikumpulkan dengan melakukan
wawancara kepada responden utama baik secara tertutup dan terbuka dan
pengamatan visual di lapangan (visual survey). Data tersebut kemudian di analisis
secara deskriptif dan hasilnya disajikan secara naratif dan sebagian dalam bentuk
Tabel.
3.3.6 Analisis Finansial
Untuk mengetahui kelayakan usaha budidaya tambak bandeng, maka
dilakukan analisis finansial dengan melihat hasil yang mungkin diterima oleh
pelaku usaha, menguntungkan atau tidak.
Analisis finansial yang dilakukan
dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua kriteria yaitu undiscounted
criterion dan discounted criterion.
A. Undiscounted Criterion
Dalam melakukan analisis disini tidak mempersoalkan apa yang diperoleh
dikemudian hari, besaran nilainya diukur dengan nilai uang sekarang.
Kriteria
yang digunakan meliputi : 1) Analisis pendapatan usaha (π); 2) Analisis imbangan
penerimaan dan biaya (R/C); 3) Analisis titik impas (BEP). Analisis tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
Pendapatan Usaha Tambak (
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan
output dari usaha tambak dan besar keuntungan atau pendapatan yang diperoleh
dari usaha tambak yang dilakukan (Djamin, 1993). Konsep pendapatan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Dimana,
= Pendapatan (keuntungan) per musim tanam (Rp.)
Y
= Total produksi (jumlah kg produksi per musim tanam)(kg)
X
= Jumlah input yang digunakan (kg)
Py
= Harga per satuan produk (Rp.)
Pxi
= Harga per satuan input (Rp.)
Py .Y
= Total Penerimaan = TR
= Total Pengeluaran = TC
Dengan kriteria usaha :
TR>TC, maka usaha tambak menguntungkan
TR=TC, maka usaha tambak impas
TC<TR, maka usaha tambak rugi
Revenue Cost Ratio (R/C)
Analisis ini dikenal dengan istilah imbangan penerimaan dengan biaya.
Analisis ini berguna untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari suatu
kegiatan usaha selama periode waktu tertentu (satu musim tanam). Rumus yang
digunakan untuk menghitung R/C dijelaskan oleh Riyanto (1989) in Tahir (2000).
dimana, TR = Total Penerimaan (Total Revenue)
TC = Total pengeluaran (Total Cost)
Kriteria usaha : R/C > 1, usaha menguntungkan
R/C = 1, usaha impas
R/C < 1, usaha merugikan
Break Event Point (BEP)
Analisis titik impas (BEP) adalah suatu cara untuk mengetahui kaitan
antara volume produksi, volume penjualan, harga jual, biaya produksi, dan biaya
lainnya serta laba dan rugi. Hasil analisis BEP akan diketahui pada volume
(jumlah) penjualan (Rp.) dan produksi (kg) berapa suatu usaha tidak rugi dan
tidak untung (impas) (Sigit 1993). Rumus yang digunakan adalah :
Dimana :
TC
= Biaya total (Rp.)
TP
= Total produksi (kg)
BEP
= Harga Produksi minimum (Rp.)
Dimana :
TC
= Biaya total (Rp.)
CPU
= Harga per Unit (Rp./kg)
BEP
= Produksi minimum (Rp.)
B. Discounted Criterion
Dalam analisis ini dipersoalkan apa yang akan diperoleh dikemudian hari
dengan dasar nilai sekarang. Semua aliran cost dan benefit selam umur ekonomis
tertentu diukur dengan dasar nilai uang sekarang, artinya kita melakukan discount
nilai dikemudian hari dengan suatu discount factor. Aliran cost dan benefit yang
telah di-discount akan menghasilkan present value dari cost dan benefit.
Discounting factor yang dipakai tergantung pada tingkat suku bunga yang akan
dipakai sebagai discount rate. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Net present value (NPV); 2) net benefit cost ratio (Net B/C); 3) Internal Rate of
Return (IRR). Uraian setiap kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
Net Present Value (NPV)
Manfaat yang diperoleh dari suatu usaha kaitannnya dengan nilai waktu
penerimaan laba, dapat ditentukan dengan jalan mencari nilai netto pada saat ini,
atau mencari tingkat presentase discount rate dengan menyamakan jumlah nilai
investasi dengan nilai penerimaan usaha pada saat ini (Kadariah et al. 1978). Cara
tersebut lazim disebut dengan istilah metode mendiskonto, yaitu mencari nilai saat
ini dari arus peneriman/pengeluaran pada beberapa tahun yang akan datang
berdasarkan suatu tingkat diskon tertentu.
NPV merupakan selisih antara present value dari manfaat dengan present
value dari biaya. Bila dalam analisis diperoleh nilai NPV > 0, berarti usaha layak
untuk dilaksanakan; bila NPV = 0, pengembalian persis sama dengan opportunity
cost dari modal dan bila NPV < 0, berarti usaha tidak layak dilakukan. Untuk
menghitung nilai NPV digunakan persamaan sebagai berikut :
Dimana,
Bt
= manfaat usaha pada tahun ke-t
C t = biaya unit usaha pada tahun ke-t
n
= umur ekonomis
r
= discount rate
t
= 0, 1, 2, 3, … tahun ke-n
Net Benefit Ratio (Net B/C)
Net B/C adalah perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu usaha
dengan biaya investasi pada awal usaha (Kadariah et al. 1978).
Untuk
menghitung nilai Net B/C digunakan persamaan sebagai berikut :
dimana,
B t = manfaat pada tahun ke-t
C t = biaya pada tahun ke-t
n = umur ekonomis
r = discount rate
t = 0, 1, 2, 3, … tahun ke-n
Internal Rate Return (IRR)
IRR merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV = 0, Jadi
dalam keadaan batas untung dan rugi.
Hal ini dianggap sebagai tingkat
keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asalkan setiap manfaat yang
diperoleh ditanam kembali pada tahun berikutnya (Kadariah et al. 1978). IRR
dirumuskan sebagai :
dimana,
i1
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif
i2
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV 1 = NPV pada tingkat suku bunga i1
NPV 2 = NPV pada tingkat suku bunga i2
kriteria,
IRR>1, berarti kegiatan budidaya tambak dapat dilanjutkan
IRR<1, berarti kegiatan budidaya tambak ini lebih baik dihentikan
Struktur Biaya
Struktur biaya adalah seluruh komponen biaya yang terlibat didalam
kegiatan budidaya tambak mulai dari persiapan sampai panen. Biaya pengeluaran
meliputi : (1) biaya investasi, yang terdiri dari pembangunan fisik tambak, dan
pengadaan peralatan; (2) Modal kerja, yang meliputi biaya penyusutan, biaya
tenaga kerja dan biaya produksi; (3) biaya cicilan dan bunga modal.
Biaya
penerimaan adalah hasil penerimaan dari penjualan hasil produksi budidaya.
Komponen
biaya ini bermanfaat untuk digunakan dalam analisis finansial
kegiatan budidaya tambak, sehingga dapat diketahui keuntungan yang diperoleh,
kelayakan dan keberlanjutan usaha budidaya tambak tersebut.
3.3.7 Analisis Keterkaitan antara Kegiatan Budidaya, Limbah Perairan dan
Keuntungan Usaha Budidaya.
Berdasarkan data yang diperoleh serta analisis sebelumnya yang meliputi :
daya dukung kawasan perairan pesisir Holtekam, analisis karakteristik parameter
kualitas air, analisis teknis budidaya dan analisis kelayakan usaha, maka
dilakukan analisis secara deskriptif untuk mengetahui hubungan masing-masing
dalam upaya pengembangan budidaya tambak dalam rangka pemanfaatan lahan
pesisir secara berkelanjutan. Hasil analisis disajikan secara naratif.
Download