9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. GAGAL JANTUNG 1.1. Definisi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
GAGAL JANTUNG
1.1. Definisi Gagal Jantung
Gagal Jantung didefenisikan sebagai ketidakmampuan jantung
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi ke
jaringan tubuh. Sering disebut juga dengan Congestive Heart Failure
(CHF) karena umumnya pasien mengalami kongesti pulmonal dan perifer
(Smeltzer et al., 2010).
Menurut Crawford (2009) gagal Jantung adalah sindrom klinis yang
kompleks yang dikarakteristikkan sebagai disfungsi ventrikel kanan,
ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan pengaturan
neuruhormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi aktivitas,
retensi cairan dan upaya untuk bernafas normal. Umumnya terjadi pada
penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan
sirkulasi perifer
mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
1.2. Etiologi Gagal Jantung
Gagal Jantung disebabkan oleh disfungsi miokardial dimana
jantung tidak mampu untuk mensuplai darah yang cukup untuk
mempertahankan kebutuhan metabolik jaringan perifer dan organ tubuh
lainnya. Gangguan fungsi miokard terjadi akibat dari miokard infark acut
9
Universitas Sumatera Utara
10
(MCI), Prolonged Cardiovaskular Stress (hipertensi dan penyakit katup),
toksin (ketergantungan alkohol) atau infeksi (Crawford,2009).
Menurut Lilly, 2011; Black & Hawks, 2009 didalam Yuliana,
2012. Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang
terdiri dari: (1) kerusakan kontraktilitas ventrikel, (2) peningkatan
afterload, dan (3) kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel (kerusakan
pengisian diastolik). Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan coronary
arteri disease (miokard infark dan miokard iskemia), chronic volume
overload
(mitral
dan
aortic
regurgitasi)
dan
cardiomyopathies.
Peningkatan afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi,
hipervolemia, defek septum ventrikel, defek septum atrium, paten duktus
arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat. Sedangkan kerusakan
pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi ventrikel
kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosi miokard, transient myocardial
ischemia, dan kontriksi perikardial.
Etiologi Gagal Jantung menurut Brunner & Suddarth, (2002)
adalah kelainan otot jantung yang dapat menyebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi
otot jantung mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan
penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
Universitas Sumatera Utara
11
1.3. Patofisiologi Gagal Jantung
Patofisiologi Gagal Jantung diuraikan berdasarkan tipe Gagal
Jantung yang dibedakan atas Gagal Jantung Akut dan Kronik, Gagal
Jantung kiri dan kanan, Gagal Jantung dengan output yang tinggi dan
output yang rendah, Gagal Jantung dengan kemunduran dan kemajuan,
serta Gagal Jantung sistolik dan diastolik (Crowford, 2009 didalam
Yuliana 2012).
Gagal Jantung Akut adalah timbulnya gejala secara mendadak,
biasanya selama bebarapa hari atau beberapa jam. Gagal Jantung kronik
adalah perkembangan gejala selama beberapa bulan sampai bebarapa
tahun. Jika penyebab atau gejala gagal jantung akut tidak reversibel, maka
gagal jantung menjadi kronis (Hudak & Gallo, 2011).
Gagal Jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi
atau mengosongkan dengar benar. Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan di dalam ventrikel dan kongesti pada sistem vaskular paru. Gagal
Jantung kiri dapat lebih lanjut dklasifikasikan menjadi disfungsi sistolik
dan diatolik. Disfungsi sistolik didefinisikan sebagai fraksi ejeksi kurang
dari 40% dan disebabkan oleh penurunan kontraktilitas. Ventrikel tidak
dikosongkan secara adekuat karena pemompaan yang buruk, dan hasil
akhirnya adalah penurunan curah jantung. Sedangkan disfungsi diastolik
sering disebut dengan Gagal Jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang
dipertahankan. Pemompaan normal atau bahkan meningkat, dengan fraksi
Universitas Sumatera Utara
12
ejeksi kadang-kadang setinggi 80%. Disfungsi diastolik disebabkan oleh
gangguan relaksasi dan pengisian (Hudak & Gallo, 2011).
Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk
memompa secara adekuat (Hudak & Gallo, 2011). Kegagalan jantung
kanan sering kali mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga
disebabkan oleh karena gangguan lain seperti atrial septal defek cor
pulmonal (Lilly, 2011 didalam Crawford, 2009). Pada kondisi kegagalan
jantung kanan terjadi afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan
karena peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari
disfungsi ventrikel kiri. Ketika ventrikel kanan mengalami kegagalan,
peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke atrium kanan yang
kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik (Lilly, 2011).
Pada beberapa kasus gagal jantung ditemukan kondisi penurunan
output. Dan sebaliknya
peninggian output pada gagal jantung sangat
jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan kondisi hiperkinetik sistem
sirkulasi yang terjadi karena meningkatnya kebutuhan jantung yang
disebabkan
oleh
kondisi
lain
seperti
anemia
atau
tiroksikosis.
Vasokontriksi dapat terjadi pada kondisi gagal jantung dengan penurunan
output sedangkan pada gagal jantung dengan peningkatan output terjadi
vasodilatasi. Pada tipe gagal jantung dengan kemunduran merupakan
kondisi dimana terjadi peningkatan dalam sistem pengosongan satu atau
kedua ventrikel. ( Crawford, 2009).
Universitas Sumatera Utara
13
1.4. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis yang ditemui pada pasien gagal jantung
berdasarkan tipe gagal jantung itu sendiri, terdiri dari: (Lilly, 2011;
Ignatavisius & Workman, 2010 dalam Yuliana 2012).
Gagal Jantung kiri, dengan tanda dan gejala berupa:
a. Penurunan cardiac output: kelelahan, oliguri, angina, konfusi
dan gelisah, takikardi dan palpitasi, pucat, nadi perifer
melemah, akral dingin.
b. Kongesti pulmonal: batuk yang bertambah buruk saat malam
hari (paroxysmal noctural dyspnea), dispnea, krakels, takipnea
dan orthopnea.
Gagal Jantung kanan, manifestasi klinisnya adalah kongesti sistemik
yaitu berupa: distensi vena jugularis, pembesaran hati dan lien, anoreksia
dan nausea, edema menetap, distensi abdomen, bengkak pada tangan dan
jari, poliuri, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah atau
penurunan tekanan darah karena kegagalan pompa jantung
Manifestasi klinis Gagal Jantung Menurut Hayes., dkk (2008).
Yaitu: Demam, Hipertensi, Nocturia, Dypsnea, Paroxysmal atau dypsnea
noctural, Batuk, Orthopnea, Hypoxemia, Pernafasan Cheyne-Stokes,
Anorexia, Mual, Kelelahan, Kelemahan, Cemas, Bingung, Sakit kepala
dan Insomnia.
Universitas Sumatera Utara
14
1.5. Klasifikasi Gagal Jantung
The New York Heart Association (NYHA) telah mengklasifikasikan
batasan fungsional Gagal Jantung sebagai berikut:
Tabel 2.1: Klasifikasi Gagal Jantung
Kelas
Definisi
I
Pasien dengan cardiac disease tetapi tidak menyebabkan
keterbatasan dalam aktivitas fisik. Pasien tidak mengalami
fatique, palpitasi, dispnea dan nyeri dada saat aktivitas.
II
Pasien dengan cardiac disease yang menyebabkan gangguan
aktivitas fisik ringan. Merasa nyaman ketika beristirahat, tetapi
merasa fatique, sesak, palpitasi dan nyeri dada jika melakukan
aktivitas biasa misalnya saat berjalan cepat menaiki tangga.
III
Keterbatasan aktivitas fisik sangat terasa pada pasien dengan
cardiac disease. Nyaman beristirahat tetapi merasakan gejala
walaupun hanya dengan aktivitas minimal.
IV
Pasien dengan cardiac disease dimana aktivitas fisik sangat
terbatas dan gejala dirasakan walaupun saat istirahat, bahkan
ketidaknyamanan semakin bertambah ketika melakukan aktivitas
fisik apapun.
Sumber: Modifikasi dari Kabo & Karim, 2008; dalam Gray et.al.,2005.
2.
TIDUR
2.1. Definisi Tidur
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana
seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik
atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu
keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang
merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing
menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Lilis &
Taylor, 2001). Tidur dapat Mengatasi keadaan stress, cemas dan tekanan
Universitas Sumatera Utara
15
dan tidur juga dapat membantu seseorang memperoleh energi untuk
berkonsentrasi, pertahanan diri dan meningkatkan keinginan untuk
beraktivitas
sehari-hari (Kozier, 1991). Tiap individu membutuhkan
jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur yang cukup,
kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan berpartisipasi
dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter
& Perry, 2005).
2.2. Fisiologi Tidur
Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan
oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan
perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin, kardiovaskular,
pernafasan dan muskular (Robinson, 1993 dalam Potter & Perry, 2005).
Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua
mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten dan menekan
pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah
mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur
(Potter & Perry, 2005). Dua sistem dalam batang otak, Sistem Aktivasi
Retikular (SAR) dan Regio Sinkronisasi Bulbar (BSR), diketahui
bekerja sama untuk mengontrol siklus alami dari tidur. Formasi retikular
ditemukan didalam batang otak yang akan menyampaikan keatas melalui
medulla, pons, otak tengah, dan kedalam hipotalamus (Taylor, Lilis &
Lemone, 2001).
Universitas Sumatera Utara
16
Keadaan terjaga atau terbangun sangat dipengaruhi oleh sistem
ARAS (Ascending Reticulary Activiy System). Bila aktivitas ARAS ini
meningkat maka orang tersebut dalam keadaan tidur. Aktivitas ARAS ini
sangat dipengaruhi oleh aktivitas Neurotransmitter seperti seperti
serotoninergik, noradrenergik, kholonergik dan histaminnergik (Japardi,
2001).
Siklus tidur-bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis
dan respons prilaku. Jika siklus tidur-bangun seseorang terganggu, maka
fungsi fisiologis tubuh yang lain juga dapat terganggu atau berubah.
Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang
normal dapat mempengaruhi kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2005).
Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu
dalam sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat
agonis serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin
meningkatkan tidur gelombang-lambat pada manusia. Seseorang tetap
tertidur atau terbangun tergantung pada keseimbangan impuls yang
diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem
limbik. Ketika seseorang mencoba untuk tidur mereka akan menutup mata
dan berada pada posisi relaks. Jika stimulus ke SAR menurun maka
aktivasi SAR juga akan menurun. Pada beberapa bagian lain, BSR
mengambil alih dan menyebabkan seseorang tidur (Ganong, 2008).
Universitas Sumatera Utara
17
2.3. Tahapan Tidur
Tidur yang normal melibatkan dua fase: pergerakan mata yang tidak
cepat (tidur NonRapid Eye Movement: NREM) dan pergerakan mata
yang cepat (tahapan tidur Rapid Eye Movement: REM). Fase NREM dan
REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam. Tiap
siklus tidur terdiri 4 tahap dari tidur NREM dan satu periode dari tidur
REM.
Tahap NREM yaitu:
Tahap 1 : NREM
Tahap ini merupakan tingkat paling dangkal dari tidur, tahap berakhir
beberapa menit,pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan
secara bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme. Seseorang lebih mudah
terbangun oleh stimulus sensori seperti suara dan ketika terbangun
seseorang merasa seperti telah melamun.
Tahap 2 : NREM
Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara, kemajuan relaksasi, untuk
terbangun masih relatif mudah, tahap berakhir 10 hingga 20 menit dan
kelanjutan fungsi tubuh menjadi lambat.
Tahap 3 : NREM
Tahap 3 merupakan tahap awal tidur dalam, seorang yang tidur sulit di
bangunkan dan jarang bergerak, otot-otot dalam keadaan santai penuh,
tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur dan tahap berakhir 15 hingga
30 menit.
Universitas Sumatera Utara
18
Tahap 4 : NREM
Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam, sangat sulit untuk
membangunkan orang yang tidur, jika terjadi kurang tidur maka orang yang
tidur akan menghabiskan porsi malam yang seimbang pada tahap ini, tandatanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga, tahap
berakhir kurang lebih 15-30 menit, tidur sambil berjalan dan enuresis dapat
terjadi ( Potter & Perry, 2005).
Tahap REM, yaitu:
Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit.
Konsolidasi memori dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini. Faktor
yang berbeda dapat meningkatkan atau menganggu tahapan siklus tidur yang
berbeda ( Potter & Perry, 2005).
Mimpi yang penuh warna dan tampak hidup dapat terjadi pada REM
mimpi yang kurang hidup dapat terjadi pada tahap yang lain,tahap ini
biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur, hal ini dicirikan
dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat, fluktuasi jantung
dan kecepatan respirasi dan peningkatan atau fluktuasi tekanan darah, terjadi
tonus otot skelet penurunan, peningkatan sekresi lambung, sangat sulit sekali
membangunkan orang tidur, durasi dari tidur REM meningkat pada tiap
siklus dan rata-rata 20 menit ( Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
19
Skema 2.1 Tahap-Tahap siklus tidur orang dewasa:
Tahap Pratidur
NREM
Tahap 1
NREM
Tahap 2
NREM
Tahap 3
NREM
Tahap 4
Tidur REM
NREM
Tahap 2
NREM
Tahap 3
2.4. Fungsi Tidur
Fungsi tidur berdampak pada fisiologis tubuh yaitu sistem saraf
pusat dan struktur tubuh. Selain itu tidur juga dapat memperbaiki aktivitas
tubuh untuk kembali normal dan menyeimbangkan sistem saraf. Tidur
juga perlu untuk sintesis protein yang mana dibutuhkan untuk perbaikan
sel yang rusak (Kozier, et.,al. 2004) Tidur dipercayai mengkontribusi
pemulihan fisiologi dan psikologis (Oswald, 1984; Anch dkk, 1988 ).
Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan untuk periode terjaga
berikutnya. Selama tidur NREM, fungsi biologis menurun. Laju denyut
jantung normal pada orang dewasa sehat sepanjang hari rata-rata 70
hingga 80 denyut permenit atau lebih rendah jika kondisi individu berada
pada kondisi fisik yang kurang sempurna. Akan tetapi pada saat tidur laju
jantung menurun hingga 60 denyut per menit atau lebih rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa denyut jantung 10 sampai 20 kali menurun pada saat
Universitas Sumatera Utara
20
tidur setiap menit. Secara jelas, tidur yang nyenyak bermanfaat dalam
memelihara fungsi jantung (Potter & Perry, 2005).
Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama
tidur gelombang rendah yang dalam (NREM tahap 4), tubuh melepaskan
hormone pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui
sel epitel dan khusus seperti sel otak (Horne, 1983; Mandleson, 1987;
Born, Muth dan Fehm, 1988). Penelitian lain menunjukkan bahwa sintesis
protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit,
sumsum tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan
tidur (Oswald, 1984). Tidur NREM menjadi sangat penting khususnya
pada anak-anak yang mengalami lebih banyak tidur tahap 4. Tidur REM
terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM dihubungkan
dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas
kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin (Potter &
Perry, 2005).
Dalam keadaan tidur maka tubuh akan menyimpan energi yaitu otot
skeletal relaksasi maka energi tersebut dialihkan lebih untuk fungsi sel-sel
tubuh yang penting, ditambah dengan terjadinya penurunan aktivitas saraf
simpatis
dan
aktivitas
saraf
parasimpatis
terkadang
meningkat
(Kozier,1991).
Universitas Sumatera Utara
21
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tidur
Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur.
Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur.
Faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kuantitas
dan kualitas tidur ( Potter & Perry, 2005).
a. Factor fisiologis
1. Penyakit
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik
(misalnya, kesulitan bernafas), atau masalah lain yang dapat menyebabkan
masalah tidur. Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi
tidak biasa. Nokturia atau berkemih pada malam hari, mengganggu tidur
dan siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum terjadi pada lansia dengan
penurunan tonus kandung kemih atau orang yang berpenyakit jantung,
diabetes, uretritis, atau penyakit prostat. Setelah sesorang terbangun untuk
berkemih menyebabkan sulit untuk tidur kembali (Potter & Perry, 2005)
2. Obat
Obat-obatan dapat mempengaruhi proses tidur, seperti: Hipnotik
dapat menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari, bingung
dan
penurunan
energi.
Diuretik
dapat
menyebabkan
Nokturia.
Antidepresan dan Stimulan dapat menekan tidur REM dan Menurunkan
total waktu tidur. Alkohol dapat mengganggu tidur REM dan
membangunkan tidur pada malam hari. Kafein dapat mencegah untuk
dapat tertidur. dan Penyekat Beta dapat menyebabkan terbangun dari tidur.
Universitas Sumatera Utara
22
3. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat
proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses
tidur, karena adanya Tryptophan yang merupakan asam amino dari protein
yang dicerna. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang dapat
juga mempengaruhi proses tidur bahkan terkadang sulit untuk tidur (Azis,
2006).
a.
Faktor Psikologis
Stress Emosional
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu
tidur. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan
seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stress juga menyebabkan
seseorang sulit untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau
terlalu banyak tidur. Stress yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan
tidur yang buruk (Potter & Perry 2005).
b.
Faktor lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada
kemampuan untuk tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur
yang tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur yang
mempengaruhi kualitas tidur. Tempat tidur rumah sakit seringkali lebih
keras daripada dirumah. Jika seseorang biasanya tidur dengan individu
lain, maka tidur sendiri menyebabkan ia terjaga. Sebaliknya, tidur tanpa
Universitas Sumatera Utara
23
ketenangan atau teman tidur yang mengorok juga mengganggu tidur
(Potter & Perry, 2005).
3.
KUALITAS TIDUR PASIEN GAGAL JANTUNG
Kualitas tidur adalah suatu keadaan yang dapat dilihat dari
kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan
mendapat
kebutuhan tidur REM dan Non REM ( Kozier.,et.al. 2004). Kualitas tidur
meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur. Menurut Karota Bukit, 2003
Kualitas Tidur meliputi 7 Komponen yaitu total jam tidur malam, waktu
memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, perasaan segar saat
bangun pagi, kedalaman tidur, kepuasan tidur (kualitas tidur secara
subjektif) dan perasaan lelah/Mengantuk pada siang hari. Menurut
Buysse., dkk (1989) kualitas tidur meliputi kualitas tidur secara subjektif,
tidur laten, lama waktu tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan
medikasi sebelum tidur dan disfungsi siang hari.
Menurut Wartonah (2006), pada usia >60 tahun pola tidur normal
yaitu kurang lebih 6 jam dan sering terbangun pada malam hari, pada usia
dewasa pertengahan yaitu 40-60 tahun pola tidur normalnya kurang lebih 7
jam dan pada usia dewasa muda yaitu 18-40 tahun pola tidur normalnya
adalah berkisar antara 7-9 jam. Menurut Potter & Perry (2005) Frekuensi
terbangun tidur malam normal orang dewasa yaitu 1-2 kali. Waktu yang
dibutuhkan untuk dapat tertidur normalnya yaitu antara 10-30 menit.
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang
tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah marah dan
Universitas Sumatera Utara
24
gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak,
konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan
sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur dapat
diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi data subjektif dan
objektif ( Craven & Hirnle, 2000).
Data Subjektif merupakan kriteria yang sangat penting untuk
menentukan kualitas tidur seseorang melalui pernyataan subjektif
mengenai kualitas tidur yang dialaminya. Pernyataan subjektif ini sangat
bervariasi pada individu. Contohnya, ada seseorang yang tidur selama 4
jam namun sudah merasa puas dengan tidurnya sementara yang lain
memebutuhkan tidur selama 10 jam untuk merasa puas akan tidurnya
(Potter & Perry, 2001). Data subjektif tidur yang baik atau buruk dapat
dievaluasi dengan persepsi Pasien Gagal Jantung tentang parameter tidur
diantaranya adalah total jam tidur pada malam hari, lama waktu yang
dibutuhkan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari,
perasaan segar pada saat bangun pagi, kedalaman tidur, kepuasaan tidur
pada malam hari dan mengantuk pada siang hari. Data Objektif bisa
didapatkan melalui pengkajian fisik penderita penyakit yaitu dengan
mengobservasi
lingkaran
mata,
adanya
respon
yang
lamban,
ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data
objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui
pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik
menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan
Universitas Sumatera Utara
25
mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research
Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005).
Selain itu, menurut Hidayat (2006), kualitas tidur seseorang
dikatakan baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur
dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan
tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Tanda fisik
dapat dilihat dari ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di
kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk
yang berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi
(kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan
kabur, mual dan pusing. Sedangkan Tanda psikologis meliputi Menarik
diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak badan, malas
berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi
penglihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan pertimbangan
atau keputusan menurun.
Menurut Briones dkk (1996), tidur yang tidak adekuat dan kualitas
tidur yang buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi
dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari,
rasa capai, lemah, koordinasi neuromukular buruk, proses penyembuhan
lambat, daya tahan tubuh menurun dan ketidakstabilan tanda vital.
Sedangkan dampak psikologi meliputi depresi, cemas, tidak konsentrasi,
dan koping tidak efektif. Kurang tidur selama periode yang lama dapat
Universitas Sumatera Utara
26
menyebabkan penyakit lain atau memperburuk penyakit yang ada (Potter
& Perry, 2005).
Pada pasien Gagal Jantung terjadi penurunan cardiac output,
kongesti vaskular pulmonal dan kongesti vena sistemik sehingga akan
mengalami berbagai tanda dan gejala (Ignatavisius & Workman, 2010).
Bengkak dan ortopnoe, merupakan gejala yang timbul akibat abnormalitas
keseimbangan cairan akibat dari Disfungsi Jantung. Sesak nafas dan
kelelahan menjadi gejala utama dan yang paling sering dilaporkan oleh
Pasien Gagal Jantung (Rector, 2005).
Dispnu merupakan gejala umum dari penyakit jantung, dispnu
terjadi karena kongesti vena pulmonalis. Adanya tekanan pada atrium kiri
akan menimbulkan tekanan vena pulmonalis. Yang normalnya berkisar 5
mmHg. Jika meningkat, vena pulmonalis akan teregang dan dinding
bronkus terjepit dan mengalami edema, menyebabkan batuk iritatif nonproduktif dan mengi (Gray,. Dkk, 2005).
Pasien dengan Gagal Jantung sering terjadi retensi cairan dan oedem
sehingga terjadi akumulasi oedem pada jaringan lunak leher dan faring
yang mempersempit saluran napas atas dan membuat lebih kolaps. Hal ini
dapat menyebabkan gangguan pernafasan pasien (Leung., dkk, 1999).
Terjadinya edema pulmonal dapat menurunkan elastisitas paru dan
meningkatkan kerja pernafasan sehingga pasien dengan Gagal Jantung
mengalami dyspnoe, Orthopnoe/NPD (Dipsnoe Noktural Paroksimal)
yang akan terasa enak dalam posisi duduk, dan batuk. Hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
27
mengakibatkan gangguan tidur dengan kesulitan masuk dalam tahap tidur
dan kesulitan mempertahankan tidur (Ruhyanudin, 2007). Pada PND
penderita Gagal Jantung sering terbangun tengah malam diiringi batukbatuk (Hasan, 2001).
Menurut Gray dkk, (2005). Dispnu Jantung akan memburuk dalam
posisi berbaring telentang dan dapat membangunkan tidur pasien pada
malam hari disertai keringat dan ansietas, dispnu noktural paroksisimal
dan akan berkurang jika duduk tegak atau berdiri. Menurut Wilkinson
(2005), pada Pasien Gagal Jantung dijumpai gangguan pada pola tidur,
yang dapat disebabkan oleh nocturia, cemas, dan kesulitan mengatur posisi
tidur karena Noctunal Dipsnue. Tanda dan gejala lain yang dijumpai pada
pasien Gagal Jantung yaitu kelelahan, kelemahan, bernafas dangkal,dan
edema.
Universitas Sumatera Utara
Download