BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Konsep

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu hubungan yang berkaitan antara beberapa
konsep yang akan diteliti dan diukur melalui suatu penelitian. Terkait skripsi ini,
kerangka konsep ini akan menjelaskan gambaran selengkapnya mengenai alur
berfikir dalam menemukan jawaban atas ukuran Substantial Part yang
bertentangan
dengan
prinsip
kebebasan
berekspresi,
kepastian
hukum
didalamnya dan perbedaan pendapat para ahli, yang dianalisa dan mendapatkan
hasil penelitian. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat gambar dibawah ini:
Undang - Undang No. 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta
Pasal 44
“Substantial Part”
Ditjen KI
Permendiknas No. 17
Tahun 2010
Bersifat Subyektif
Plagiarisme
Para Ahli
Tolak Ukur
Perbedaan
Pendapat
Kepastian Hukum
Analisis
Hasil Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
15
Prinsip Kebebasan
Berekspresi
16
2.2. Landasan teori
2.2.1. Hak Cipta
Hak Cipta pada awal mulanya dikenal sebagai Hak Pengarang,
berdasarkan terjemahan harafiah bahasa Belanda auteursrecht, namun
istilah Hak Pengarang ini dipandang menyempitkan pengertian Hak
Cipta karena menimbulkan kesan seolah-olah Hak Cipta hanyalah hakhak dari pengarang saja dan hanya bersangkut paut dengan karangmengarang saja.1 Pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober
1951, seorang ahli bahasa Moh. Syah, dalam makalahnya pada kongres
tersebut mengatakan bahwa terjemahan auteursrecht adalah Hak
Pencipta, dimana istilah ini kemudian dipersingkat menjadi Hak Cipta.2
Kamil Idris selaku Director General World Intellectual Property
Organization mengatakan bahwa 3
“copyrights consists of a bundle of rights given to creators in their
literary and artistic works. These creators and their heirs, hold the
exclusive rights to use or license others to use the work on agreed
terms. The creator of a work can prohibit or authorize”
Paul Goldstein menyatakan sebenarnya plagiarisme itu ialah
pelanggaran etika bukan hukum, akan tetapi tentu saja, jika pekerjaan
menjiplak dilindungi oleh Hak Cipta, karya reproduksi tidak sah
dilindungi oleh Hak Cipta, reproduksi tidak sah juga merupakan
pelanggaran Hak Cipta. Yang intinya mengatakan selagi itu dilindungi
dan yang dilindungi itu ternyata tidak sah, tetap saja itu merupakan
pelanggaran, sementara itu Kamil Idris menjelaskan bahwa Hak Cipta
merupakan kumpulan hak-hak yang diberikan terhadap pencipta atas
karya-karya ciptaanyaPencipta dan ciptaannya memiliki hak eksklusif
untuk digunakan atau memberikan lisensi untuk digunakan pihak lain
dalam suatu perjanjian. Pencipta juga berhak untuk melarang atau
memberikan haknya kepada pihak lain.4
1
Eddy Damian, ”Hukum Hak Cipta”, (Bandung: PT Alumni, Bandung, 2009), hlm. 118.
2
Ibid.
3 Hadi Setia, op. cit., hlm. 58
4 Ibid.
17
2.2.2. Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi ciptaan- ciptaan dari para
pencipta yang dapat terdiri dari pengarang, artis, musisi, dramawa,
pemahat, programmer computer dan sebagainya, hak - hak pencipta ini
perlu dilindungi dan perbuatan orang lain yang tanpa izin mengumumkan
atau memperbanyak karya cipta pencipta.5 Pada dasarnya Hak Cipta
tidak melindungi bentuk dari pengungkapan ide ide, informasi atau faktafakta tersebut (expression of ideas).6 Hal ini dapat dilihat dalam Article 9
(2) Persetujuan TRIPS, yaitu:
“Copyright protection shall extend to expressions and not to ideas,
procedures, methods of operation or mathematical concept as
such.”
Hak cipta tidaklah harus didaftarkan. Mekanisme pendaftaran Hak
Cipta dilakukan semata-mata untuk memberikan pelayanan administratif.
Pendaftaran ciptaan ini hanya digunakan sebagai bukti awal kepemilikan
hak, apabila di kemudian hari ditemukan bukti adanya orang lain yang
lebih berhak, maka pendaftaran Hak Cipta tersebut dianggap batal demi
hukum.7 Hal ini secara tersirat terdapat pada Article 5 point (2) Berne
Convention, yaitu:
“The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject
to any formality; such enjoyment and such exercise shall be
independent of the existence of protection in the country of origin
of the work. Consequently, apart from the provisions of this
Convention, the extent of protection, as well as the means of
redress afforded to the author to protect his rights, shall be
governed exclusively by the laws of the country where protection is
claimed”
Berdasarkan article tersebut secara garis besar dapat diartikan
kepuasan seperti ini seharusnya berdiri sendiri dari eksistensi
perlindungan di negara aslinya, yang pada intinya berfungsi untuk
melindungi hak-hak yang seharusnya diatur secara eksklusif oleh hukumhukum dari yang mengakui perlindungan tersebut.
5
Tim Lindsey et. Al , “Pengantar Hak Kekayaan Intelektual”, (Bandung: Asian Law Group Pty
Ltd bekerja sama dengan PT. Alumni, 2006), hlm. 96-97
6
Suyud Margono, op. cit., hlm 26.
7 Henry Soelistyo Budi, “Hak Cipta Tanpa Hak Moral”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011), hlm.
13
18
2.2.3. Plagiarisme
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat diartikan
sebagai pengambilan karangan (pendapat dsb)
orang lain dan
menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya
menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau
jiplakan. 8 Istilah plagiat berasal dari bahasa Latin yaitu plagiarus yang
menurut terjemahan secara harafiah berarti penculik (kidnapper).9 Fred
Muller dalam kamusnya Beknopt Latyns – Nederlands Woordenboek
mengartikan orang yang melakukan plagiat sebagai plagiarus yang
berarti mensenrover atau perampok manusia atau zeilverkoper atau
penjual nyawa manusia.10 Kemudian Fockema Adreae dalam bukunya
Rechtsgeleerd Handwoordenboek mengartikan kata plagiat sebagai
letterdievery yang saat ini diartikan sebagai pencurian tulisan, ciptaan
yang dilindungi Hak Cipta. Definisi plagiarisme, dalam Black‟s Law
Dictionary, plagiarisme didefinisikan sebagai berikut: 11
“The deliberate and knowing presentation of another person‟s
original ideas or creative expression as one‟s own. Generally,
plagiarism is immoral but not illegal. If the expression‟s creator
gives unrestricted permission for its use and the user claim the
expression as original, the user commits plagiarism but does not
violate copyright laws. If the original expression is copied without
permission the plagiarism may violate copyright laws, even if
credit goes to the creator. And if the plagiarism results in material
gain, it may be deemed a passing-off activity that violates the
Lanham Act”.
Dalam definisi tersebut, plagiarisme merupakan kesengajaan dan
mengetahui bahwa presentasi atau ekspresi kreatif dari ide orisinil orang
lain dan diakui sebagai miliknya. Definisi tersebut juga membedakan
antara tindakan immoral dan illegal. Namun apabila karya yang dijiplak
merupakan original creative expression, maka plagiator itu dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta.12 Seseorang yang mendapatkan izin dari
pembuat ekspresi dapat menggunakan haknya untuk menggunakan
8 Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
“Plagiat”
(On-line),
tersedia
http://kbbi.web.id/plagiat (diakses pada 13 februari 2016,pk 13.20 WIB)
9
Eddy Damian, op. cit., hlm. 264
10
Ibid
11
Ibid.
12 Henry Soelistyo Budi, “Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cita dan Etika”, op. cit., hlm. 15.
di
WWW:
19
ekspresi tersebut, akan tetapi ketika ia mengklaimnya sebagai hasil
ekspresinya maka ia melakukan plagiarisme, bukan pelanggaran Hak
Cipta. Apabila seseorang menduplikasi hasil ekspresi tersebut tanpa izin
pembuat ekspresi, maka ia melakukan pelanggarakan Hak Cipta
sekalipun keuntungannya diberikan kepada pembuat ekspresi kecuali
melakukan pembayaran royalty atau pada lembaga manajemen kolektif.
Pada definisi dari Black‟s Law Dictionary ini menekankan bahwa
plagiarisme merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta apabila tanpa izin
dari pencipta aslinya. Sedangkan plagiarisme dalam World Intellectual
Property Organization (WIPO), dalam glossary WIPO tahun 1980,
adalah sebagai berikut:13
Generally understood as the act offering or presenting as one‟s
own the work of another, wholly or partly in a more or less altered
form or context. The person so doing is called a plagiarist; he is
guilty of deception and, in the case of works protected by
copyright, also of infringement of copyright.
Dalam definisi yang dikemukakan dalam WIPO, maka dapat
diketahui bahwa plagiarisme dipahami sebagai tindakan menyatakan atau
menyerahkan karya orang lain sebagai karyanya, baik secara keseluruhan
atau sebagian dalam bentuk atau konteks yang telah diubah. Definisi
WIPO juga menekankan satu syarat normatif, bahwa pelanggaran Hak
Cipta terjadi bila ciptaan yang diplagiat merupakan karya yang dilindungi
Hak Cipta.14 Pelanggaran ini tentunya juga terjadi karena tidak adanya
izin dari pencipta dan pada praktiknya plagiarisme dilakukan tanpa
adanya izin dari pencipta. Sedangkan Menurut Michaela Panter, PhD
dalam American Journal Ekspress menyebutkan bahwa15:
“The U.S. Office of Research Integrity defines plagiarism as “the
appropriation of another person‟s ideas, processes, results, or
words without giving appropriate credit.” Said differently,
plagiarism is the misrepresentation of someone else‟s original
thought as your own. In fact, the Latin root of plagiarism means
kidnapper or thief. Such theft is a form of academic misconduct and
can thus lead to dismissal from
13
Ibid.
14 Ibid.
15
Panter Michaela, “American journal expres, defining plagiarism” (On-line) tersedia di WWW:
http://www.aje.com/en/arc/editing-tip-defining-plagiarism/ (diakses pd 22 desember 2016, pk 14.30
WIB)
20
universities and other research institutions, article rejections or
retractions from journals, and decreased credibility as a
researcher”.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik secara garis besar bahwa
plagiarisme adalah pemberian dari ide orang lain,proses,hasil, atau katakata,
bisa
juga
dengan
kata
lain
disebut plagiarisme
adalah
misrepresentation dari hasil pemikiran orang lain kemudian menjadi
seperti milik sendiri, dalam bahasa latin itu berarti pencuri,sedangkan
menurut Sastroamoro dalam sebuah artikel yang mengkategorikan
plagiarisme dalam 4 kategori16 :
1. Pertama,
berdasarkan
aspek
yang
dijiplak.
Plagiarism
berdasarkan aspek yag dijiplak dibagi menjadi empat, yaitu
plagiarisme ide, plagiarisme isi, plagiarisme tulisan, dan
plagiarisme total. Plagiarisme ide adalah penjiplakan ide orang
lain yang dituangkan dalam bentuk yang lain. Contohnya
menjiplak konsep maupun ide pokok dari sebuah tulisan dan
menuangkan dan menulisnya lagi dalam kata – kata yang
berbeda. Dan dari keempat jenis plagiarism, plagiarism keempat
merupakan bentuk pelanggaran yang paling berat.
2. Kedua,
plagiarisme
berdasarkan
proporsi
yang
dijiplak.
Plagiarisme ini dibedakan menjadi tiga kategori, plagiarisme
ringan,
plagiarisme
sedang,
plagiarisme
berat.
Disebut
plagiarisme ringan apabila yang dijiplak berkisar antara 30
persen dari isi. Plagiarisme sedang adalah bentuk plagiarisme
yang menjiplak 30 sampai 70 persen dari suatu karya.
Sedangkan plagiarisme berat adalah plagiarisme yang membajak
70 persen hingga seluruh isi yang dijiplak. Ada anggapan bahwa
dalam suatu karya ilmiah, semakin banyak kutipan yang
disisipkan dalam suatu karya ilmiah makin bagus pula karya
ilmiah tersebut. Namun faktanya, semakin banyak yang dikutip,
karya tulis tersebut semakin mendekati plagiarisme.
16
Sastroamono, “Plagiarisme membudaya” (On-line), tersedia di WWW:
http://www.kompasiana.com/nadhilab/plagiarisme-membudaya_552a7c3f6ea834b00a552d00
(diakses pd 22 desember 2016, pk 14.33 WIB)
21
3. Ketiga, menurut polanya, plagiarisme dibedakan menjadi dua,
yaitu plagiarisme kata demi kata (word by word plagiarism) dan
plagiarisme yang menggabungkan ide orang lain dengan idenya
sendiri atau disebut mozaik plagiarism. Dan benar – benar
disebut
plagiarisme
apabila
penulis
tidak
menyebutkan
sumbernya.
4. Keempat,
plagiarisme
plagiarisme
yang
tidak
berdasarkan
disengaja
maupun
disengaja.
Mungkinkan
sebuah
plagiarisme dilakukan dalam keadaan yang tidak disengaja?
Jawabnya adalah mungkin. Hal ini terjadi ketika, tanpa kita
ketahui orang lain telah membuat sebuah karya dari ide yang
sama atau hampir sama dengan ide kita.
2.2.4. Plagiarisme berdasarkan Substansial Part (sebagian yang
substansial)
Dalam sebuah artikel yang membahas mengenai substansial part
terdapat beberapa penjelasan diantaranya seperti yang dikeluarkan oleh
Australian Copyright Council:17
“Substantial part” is a question of quality, not quantity. This
means if what is being used is an important, essential or distinctive
part of the copyright material, it will likely infringe copyright even
if it is only a small amount. It is important to note that even if you
do not directly reproduce the material, but rather paraphrase or
only closely follow its structure, you may still be using a
substantial part that amounts to copyright infringement”
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat secara garis besar bahwa
substantial part adalah aspek penilaian berdasarkan kualitas bukan
kuantitas, jika kita melakukan atau mengambil bagian penting dari suatu
Hak Cipta maka kita disebut sebagai pelanggar Hak Cipta.
17
Australian copyright council (On-line), tersedia di WWW:
http://www.copyright.org.au/acc_prod/ACC/Legal_Advice/Manage/Precedents/005_Substantial_part.
aspx?WebsiteKey=8a471e74-3f78-4994-9023-316f0ecef4ef, (diakses pd 22 desember 2016,pk 18.21
WIB)
22
2..2.5 Fair Use, Fair Dealing dan Tranformative work
Doktrin fair use tidak memiliki definisi yang seragam. Menurut Prof.
Eddy Damian, dengan adanya pengaturan hukum penggunaan yang wajar
(fair use/fair dealing), hukum hak cipta memperkenankan seseorang
(pihak ketiga) menggunakan atau mengeksploitasi suatu ciptaan tanpa
perlu izin dari Pencipta, asalkan masih dalam batas-batas yang
diperkenankan.18 Menurut Paul Goldstein, fair use secara umum sering
didefinisikan sebagai:
"a privilege in others than the owner of a copyright to use the
copyrighted material in a reasonable manner without his
consent, notwithstanding the monopoly granted to the owner
by the copyright."19
Secara garis besar dapat diartikan bahwa hak istimewa pada orang lain
dari pada pemilik hak cipta untuk menggunakan materi berhak cipta
dengan cara yang wajar tanpa persetujuannya, sedangkan Transformative
Works adalah:20
“Transformative works are creative works about characters or
settings created by fans of the original work, rather than by the
original creators. Transformative works include but are not
limited to fiction, real person fiction, fan vids, and graphics. A
transformative use is one that, in the words of the U.S.
Supreme Court, adds something new, with a further purpose or
different character, altering the [source] with new expression,
meaning, or message.
Pada penjelasan diatas dapat ditarik secara garis besar bahwa karya
transformatif adalah karya kreatif tentang karakter atau pengaturan yang
dibuat oleh penggemar karya asli, bukan oleh pencipta asli. Sebuah
penggunaan transformatif adalah salah satu yang, dalam kata-kata
Mahkamah Agung AS, menambahkan sesuatu yang baru, dengan tujuan
lebih lanjut atau karakter yang berbeda, mengubah dengan ekspresi baru,
makna, atau pesan.
18
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, 115
19
Paul Goldstein, Copyright, Volume II, (Little, Brown , & Company, Canada: 1989), hal 187
20
Fanlore, the Supreme Court ruling came in Campbell v. Acuff-Rose Music, (On-line) tersedia
di WWW: https://fanlore.org/wiki/Transformative_Work (diakses pd 30 maret 2017, pk 1.46 WIB)
23
2.2.6
Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum di dalam kamus hukum dari Fockema Andreae
didefinisikan sebagai keyakinan yang (seyogianya) dimiliki anggota
masyarakat
bahwa
pemerintah
akan
memperlakukan
dirinya
berlandaskan pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan tidak secara
sewenang-wenang, tanpa membeda-bedakan (sejauh memungkinkan),
kepastian tentang substansi dari aturan (muatan isi dan bagaimana aturan
dimaknai dalam praktik).21 Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah
sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek
“seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi
manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi
batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.22 Menurut Lon L. Fuller, ada beberapa
standar agar suatu produk hukum dapat diterima, yang apabila semua ini
terpenuhi maka antara peraturan dan pelaksanaannya akan menimbulkan
kepastian hukum. Standar-standar itu dinyatakannya sebagai berikut : 23
1. The principle must be expounded in a manner so that it can be
generally applied. (prinsipnya harus diuraikan dengan baik
sehingga secara umum dapat diterapkan).
2. The mandates of the law must be communicated to the people to
whom they are directed. (peraturan tersebut harus diumumkan
kepada publik).
3. Newly announced principles of law, except on rare occasions,
should be applied only in a prospective manner. Retroactive
application of changes in prescribed norms, subject to the
presence of compelling extenuating circumstances, should be
21
Sulistyowati Irianto dkk., Kajian Sosio-Legal, (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 121
22 Peter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.158
23 Lon L Fuller, “The Morality of Law, by”, Indiana Law Journal, Vol 2 no.5, 1965, hlm. 274
24
avoided. (hukum tidak boleh berlaku surut, karena akan merusak
integritas sistem).
4. Standards of action and inaction should be clearly stated.
(standar perilaku yang boleh dan tidak harus dinyatakan dengan
jelas/ dibuat dengan rumusan yang jelas).
5. Arguing that respect for the law calls for consistency, Fuller
maintains that the originators of laws should take great pains to
see that the body of law is as free as possible from contradictory
mandates, (Dengan alasan hukum harus konsisten, maka tidak
boleh ada peraturan yang bertentangan).
6. Emphasizing that law is tied to the capabilities of human
beings.(menekankan bahwa peraturan hukum tidak boleh
menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan
manusia).
7. While stare decisis, of recent date, has been viewed by some, if
not many people, as a barrier on the pathways to needed
change, Fuller is of the opinion that abiding by previously
announced norms is desirable in and of itself. (peraturan tidak
boleh sering diubah-ubah).
8. The law is to attain its objectives it must satisfy the requirement
of "congruence"; that is, consistency between the actions of
those called upon to enforce its commands and the verbally
prescribed norms.(harus ada kesesuaian antara peraturan dan
pelaksanaan sehari-hari).
Selain pendapat Lon L. Fuller di atas, ada pendapat lain yang
dikemukakan oleh Jon Michiel Otto yang mengemukakan bahwa
kepastian hukum yang nyata didefinisikan dalam situasi tertentu. Yang
mana situasi tersebut sebagai berikut :24
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah
diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena
(kekuasaan) negara;
24
Sulistyowati Irianto dkk., Op.Cit., hlm. 122
25
2. Bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan aturan-aturan
hukum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat
terhadapnya;
3. Bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari
warga-negara
menyetujui
muatan
isi
dan
karena
itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak
berpihak (independent and impartial judges) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa kehadapan
mereka;
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Dari penjelasan pendapat-pendapat ahli di atas mengenai
pandangan mereka atas kepastian hukum, maka ada beberapa poin
penting agar terciptanya kepastian hukum. Yang pertama adalah harus
adanya peraturan hukum yang jelas dan dapat dijadikan pedoman bagi
masyarakat. Yang kedua adalah bahwa aturan-aturan hukum harus
konsisten, sehingga tidak bertentangan antara peraturan yang satu dengan
yang lain. Yang ketiga adalah bahwa muatan isi peraturan-peraturan
tersebut pada prinsipnya diterima oleh mayoritas warga negara, sehingga
aturan tersebut menjadi batasan tingkah laku bagi mereka. Yang
keempat,
adanya
kesesuaian
antara
peraturan
hukum
dan
pelaksanaannya, sehingga penerapan aturan-aturan hukum menjadi
efektif didalam penegakan hukum. Pada dasarnya menurut Heather
Leawoods tujuan utama kepastian hukum adalah ”to ensure peace and
order”25. Jika dikaitkan antara unsur-unsur untuk menimbulkan kepastian
hukum tersebut dengan Undang-Undang Hak Cipta saat ini khususnya
dalam peraturan mengenai “Substantial part”, antara peraturan dan
implementasinya saat ini masih belum mampu menimbulkan kepastian
hukum. Karena sebagaimana fakta dilapangan bahwa pengaturan mengenai
substantial part dalam Undang-Undang Hak Cipta saat ini dirumuskan
dengan bahasa yang sulit dimengerti sehingga bersifat
25
Heather Leawoods, Gustav Radbruch : An Extraordinary Legal Philosopher,
Washington University Journal of Law & Policy, Vol 2, hlm. 493
26
subjektif yang artinya tergantung penafsiran individu (multi-tafsir).
Karena hal tersebut, instansi pemerintah, yakni Ditjen KI atau Konsultan
Hak Cipta sekalipun tidak dapat memberikan definisi yang jelas
mengenai ukuran substantial part tersebut.
Kita dapat melihat bahwa hukum dituntut untuk memenuhi
berbagai karya yang oleh Radbruch, keadilan, kegunaan, dan kepastian
hukum itu disebut sebagai nilai-nilai dasar hukum.26 Apabila ketiganya
dapat berbalut menjadi satu, penegakan hukum pasti seindah pelangi.27
Jadi, merupakan sebuah keharusan bahwa ketiga unsur tujuan hukum
yang telah disebutkan Gustav Radbruch tersebut wajib terpenuhi dalam
suatu produk hukum, sehingga penegakan hukum akan berjalan
sebagaimana yang dicita – citakan oleh Negara.
2.2.7 Hukum Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.28 Pembuktian
diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka
pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkara-perkara
permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ).
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan
benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus
terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu
perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil
yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak,
namun apabila sebaliknya maka gugatannya tersebut akan dikabulkan29
26
Chainur Arrasjid, “Dasar-Dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 17
Patmoko, dalam “Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial Republik Indonesia”, Vol IV No. 02, Agustus
2011, hlm. 4
28
H. Riduan Syahrani, “Materi Dasar Hukum Acara Perdata”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), hlm. 83
29
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek”, (Bandung: Alumni,1983), hlm. 53.
27
27
2.2.7.1 Teori pembuktian dalam hukum pidana
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macammacam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat
bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu
dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus
membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan.30 Sistem
pembuktian adalah sistem yang berisi terutama tentang alat-alat
bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktian, cara
bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan
dari alat-alat bukti tersebut serta standar/kriteria yang menjadi
ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya
sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem pembuktian merupakan
suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal
kegiatan pembuktian yang saling berkaitan dan berhubungan
satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan menjadi satu
kesatuan yang utuh.31 Hukum acara pidana mengenal beberapa
macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim
dalam melakukan pemeriksaan terhadap di sidang pengadilan.
Sejalan dengan perkembangan waktu, teori atau sistem
pembuktian
mengalami
perkembangan
dan
perubahan.
Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu negara
dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori
pembuktian yang dikenal
dalam
yaitu conviction intime atau
teori
dunia hukum pidana
pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim semata-mata, conviction rasionnee atau teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas
tertentu
atas
alasan
yang
bewijstheorie atau teori Pembuktian
logis,
positif
wettelijk
yang hanya berdasarkan
kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-undang
secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori
30
Alfitra,” Hukum Pembuktian dalam beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia”, (Jakarta
: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 28.
31
Adhami Chazawi, “Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, (Bandung: Alumni, 2008),
hlm. 24
28
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alatalat bukti dalam undang-undang secara negatif.32
Sistem
pembuktian
yang
dianut
oleh
KUHAP
sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP memadukan
unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah
tidaknya terdakwa. tidak ada yang paling dominan diantara
kedua unsur tersebut, keduanya saling berkaitan. Jika suatu
perkara terbukti secara sah (sah dalam arti alat-alat bukti
menurut undang-undang), akan tetapi tidak meyakinkan hakim
akan adanya kesalahan tersebut, maka hakim tidak dapat
menjatuhkan putusan pidana pemidanaan terhadap terdakwa.33
Sedangkan Lamintang menyatakan bahwa sistem pembuktian
dalam KUHAP disebut: 34
1. Wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk
pembuktian undang-undanglah yang menentukan
tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus
ada.
2. Negatief, karena adanya jenis-jenis dan banyaknya
alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang
itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan
putusan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenisjenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat
menimbulkan keyakinan pada dirinya bahwa suatu
tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa
terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana
tersebut.
32
Hendar Soetarna, “Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana”, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 11
Tolib Efendi, “Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana ; Perkembangan Dan Pembaharuanya di
Indonesia”, (Malang: Setara Press, 2014), Hlm. 172
34
Rusli Muhammad, Op cit, Hlm. 192
33
29
Sistem menurut undang-undang secara negatif yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, mempunyai pokok-pokok sebagai
berikut :35
1. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara
pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat
menjatuhkan pidana. Dengan kata lain bahwa
pembuktian ditujukan untuk memutus perkara pidana,
dan bukan semata-mata untuk menjatuhkan pidana.
2. Standar/syarat
tentang
hasil
pembuktian
untuk
menjatuhkan pidana dengan dua syarat yang saling
berhubungan dan tidak terpisahkan, yaitu :
a. Harus menggunakan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah.
b. Dengan menggunakan sekurang-kurangnya
dua
alat
bukti
hakim
memperoleh
keyakinan.
Berkaitan dengan keyakinan hakim dalam pembuktian,
haruslah dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh
dari minimal dua alat bukti yang sah. Adapun keyakinan hakim
yang harus didapatkan dalam proses pembuktian untuk dapat
menjatuhkan pidana yaitu :36
1. Keyakinan
bahwa
telah
terjadi
tindak
pidana
sebagaimana yang didakwakan oleh JPU, artinya
fakta-fakta yang didapat dari dua alat bukti itu (suatu
yang obyektif) yang membentuk keyakinan hakim
bahwa tindak pidana yang didakwakan benar-benar
telah terjadi. Dalam praktik disebut bahwa tindak
pidana yang didakwakan JPU telah terbukti secara sah
dan meyakinkan. Secara sah maksudnya telah
menggunakan alat-alat bukti yang memenuhi syarat
minimal yakni dari dua alat bukti. Keyakinan tentang
35
36
Adhami Chazawi, Op cit, hlm. 30.
Ibid, hlm. 32-34
30
telah terbukti tindak pidana sebagaimana didakwakan
JPU tidaklah cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi
diperlukan pula dua keyakinan lainnya.
2. Keyakinan tentang terdakwa yang melakukannya,
adalah juga keyakinan terhadap sesuatu yang objektif.
Dua keyakinan itu dapat disebut sebagai hal yang
objektif yang disubyektifkan. Keyakinan adalah
sesuatu yang subyetif yang didapatkan hakim atas
sesuatu yang obyektif.
3. Keyakinan tentang terdakwa bersalah dalam hal
melakukan tindak pidana, bisa terjadi terhadap dua
hal/unsur, yaitu pertama hal yang bersifat objektif
adalah tiadanya alasan pembenar dalam melakukan
tindak pidana. Dengan tidak adanya alasan pembenar
pada diri terdakwa, maka hakim yakin kesalahan
terdakwa. Sedangkan keyakinan hakim tentang hal
yang subyektif adalah keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa yang dibentuk atas dasar-dasar
hal mengenai diri terdakwa. Maksudnya, adalah
ketika melakukan tindak pidana pada diri terdakwa
tidak terdapat alasan pemaaf (fait d‟excuse). Bisa jadi
terdakwa benar melakukan tindak pidana dan hakim
yakin tentang itu, tetapi setelah mendapatkan faktafakta yang menyangkut keadaan jiwa terdakwa dalam
persidangan, hakim tidak terbentuk keyakinannya
tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana
tersebut.
Dengan
demikian,
maksud
dilakukannya
kegiatan
pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP
adalah untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu
menarik amar putusan oleh majelis hakim. Pembuktian
dilakukan terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat
keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam
31
putusan hakim. Sehigga pembuktian tidak hanya ditujukan
untuk menjatuhkan pidana saja berdasarkan syarat minimal dua
alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal pembuktian untuk
menjatuhkan pidana.37
2.2.7.2 Teori pembuktian hukum perdata
Dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari
dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel
waarheid). Pada dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata
mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila
kebenaran materiil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum
mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.38 Dalam
rangka mencari kebenaran formil, beberapa prinsip sebagai
pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara.
a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa
sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat
dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim
dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada
mencari dan menemukan kebenaran formil, dimana
kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar
alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak
selama proses persidangan berlangsung. Sehubungan
dengan sifat pasif tersebut, apabila hakim yakin bahwa
apa yang digugat dan diminta penggugat adalah benar,
tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti
tentang kebenaran yang diyakininya, maka hakim harus
menyingkirkan
keyakinan
itu
dengan
menolak
kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan
bukti dalam persidangan.
Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan
memeriksa apa-apa yang diajukan para pihak, tetapi
37
Ibid, Hlm. 31
38 M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 498
32
tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran fakta
yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan :39
1. Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa
aktif meminta para pihak mengajukan atau
menambah pembuktian yang diperlukan.
Semuanya itu menjadi hak dan kewajiban
para pihak. Cukup atau tidak alat bukti yang
diajukan
terserah
kehendak
para
sepenuhnya
pihak.
Hakim
kepada
tidak
dibenarkan membantu pihak manapun untuk
melakukan sesuatu, kecuali sepanjang hal
yang ditentukan undang-undang. Misalnya
berdasarkan Pasal 165 RBg/139 HIR, salah
satu pihak dapat meminta bantuan kepada
hakim untuk memanggil dan menghadirkan
seorang
saksi
melalui
pejabat
yang
berwenang agar saksi tersebut menghadap
pada hari sidang yang telah ditentukan,
apabila saksi yang bersangkutan relevan akan
tetapi
pihak
tersebut
tidak
dapat
menghadirkan sendiri saksi tersebut secara
sukarela.
2. Menerima
setiap
pengakuan
dan
pengingkaran yang diajukan para pihak di
persidangan,
untuk
selanjutnya
dinilai
kebenarannya oleh hakim.
3. Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas
pada tuntutan yang diajukan penggugat
dalam gugatan. Hakim tidak boleh melanggar
asas ultra vires atau ultra petita partium yang
digariskan Pasal 189 RBg/178 HIR ayat 17
39
Ibid., hlm. 500
33
4. yang
menyatakan
hakim
dilarang
menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak
diminta atau mengabulkan lebih daripada
yang
digugat.
Misalnya
yang
dituntut
penggugat Rp. 100 juta, tetapi di persidangan
terbukti kerugian yang dialami Rp. 200 juta,
maka yang boleh dikabulkan hanya terbatas
Rp. 100 juta sesuai dengan tuntutan yang
disebut dalam petitum gugatan. b. Putusan
Berdasarkan Pembuktian Fakta Hakim tidak
dibenarkan
mengambil
putusan
tanpa
pembuktian.
Kunci
ditolak
atau
dikabulkannya gugatan harus berdasarkan
pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta
yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya
dapat ditegakkan berdasarkan dukungan
fakta-fakta.
ditegakkan
Pembuktian
tanpa
ada
tidak
fakta-fakta
dapat
yang
mendukungnya.
b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan
tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya
gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber
dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian
hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan faktafakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada
fakta-fakta yang mendukungnya.40 Berikut beberapa
sifat-sifat alat bukti:
1. Bukti
lemah
adalah
alat
bukti
yang
dikemukakan penggugat yang sedikitpun
tidak memberikan pembuktian atau
memberikan
40 Ibid., hlm. 501
pembuktian
tetapi
tidak
34
memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk
menerima dalil-dalil gugatan, artinya alat
bukti ini hanya mempunyai daya bukti
permulaan ( kracht van begin bewijs ). Jadi
derajat bukti yang dibutuhkan belum tercapai
oleh karena itu gugatan harus ditolak dan
penggugat sebagai pihak yang kalah. Daya
bukti permulaan saja tidak dapat menjadi
dasar
hakim
bagi
penerimaan
suatu
gugatan.41
2. Bukti sempurna Bukti sempurna adalah bukti
yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan
telah sempurna, artinya tidak perlu lagi
melengkapi dengan alat bukti lain, dengan
tidak mengurangi kemungkinan diajukan
dengan bukti sangkalan ( tengen bewijs). Jadi
dengan
tersebut,
bukti
sempurna
memberikan
yang
kepada
diajukan
hakim
kepastian yang cukup, akan tetapi masih
dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan.
Dengan
demikian,
bukti
sempurna
mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa
tuntutan penggugat benar dan harus diterima
kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya (
tengen bewijs ) berhasil mengemukakan alat
bukti yang berdaya bukti cukup guna
menyangkal apa yang dianggap oleh hakim
telah benar.42
3. Bukti pasti/menentukan ( Beslissend Bewijs )
Akibat diajukan pembuktian dengan alat
bukti yang mempunyai daya bukti
41
Hari Sasangka, “Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi”,
(Bandung: CV Mandar Maju, 2005), hlm. 19.
42
Ibid., hlm. 19
35
pasti/menentukan,
maka
terhadap
pembuktian tersebut tidak diperbolehkan
untuk
memajukan
Pembuktian
bukti
dengan
pasti/menentukan,
penggugat
atau
sangkalan.
alat
mengakibatkan
tergugat
bukti
bagi
yang
mengemukakan alat bukti tersebut, suatu
posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi.
Dengan demikian tuntutan yang diajukan
dianggap
benar,
beralasan
diterima.
Peluang
pihak
dan
dapat
lawan
untuk
mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.43
4. Bukti yang mengikat ( Verplicht Bewijs )
Dengan adanya alat bukti yang mempunyai
daya bukti mengikat, maka hakim wajib
untuk menyesuaikan keputusannya dengan
pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini
adalah dalam hal adanya sumpah pemutus (
swear decissoir ).44
5. Bukti sangkalan ( Tengen Bewijs ) Bukti
sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan
dalam bantahan terhadap pembuktian yang
diajukan oleh lawan dalam persidangan.
Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan
gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala
bukti
dapat
dilemahkan
dengan
bukti
sangkalan, kecuali undang-undang sendiri
secara tegas melarang diajukannya suatu alat
bukti sangkalan, misalnya terhadap sumpah
pemutus ( sumpah
43
Ibid., hlm. 20
44 Ibid., hlm. 20.
36
decissoir )yang diatur dalam Pasal 1936
KUHPerdata.45
2.2.8 Asas In Dubio Pro Reo
Menurut “Kamus Hukum” yang ditulis oleh Simorangkir
et.al. (hlm. 73), frasa in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada
keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal
yang menguntungkan terdakwa” Asas in dubio pro reo sendiri
sudah sering digunakan Mahkamah Agung (“MA”) untuk memutus
perkara, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 33
K/MIL/2009 yang salah satu pertimbangannya menyebutkan
bahwa: asas In Dubio Pro Reo yang menyatakan46
“jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak
maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi
Terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan”
2.2.9 Unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah musik
Dalam sebuah penciptaan karya seni berupa musik atau lagu
mempunyai unsur-unsur atau bagan-bagan didalamnya, Adapun
Unsur-Unsur Musik Yang dapat membentuk Sebuah Lagu atau
musik sebagai Berikut47:
1. Notasi Musik
Sebuah nada tidak akan mungkin terlihat dengan kasab
mata. Nada tidak berwujud dan tidak memiliki rupa. Namun
Nada itu bisa didengar atau diperdengarkan. Nada hanya
mampu didengar oleh manusia dengan frekuensi tertentu. Jika
terlalu rendah maka tidak mungkin bisa didengar. Nada adalah
bunyi yang getarannya teratur. Nada bisa dituliskan dengan
simbol-simbol notasi. Dengan simbol-simbol itulah kita bisa
45
Ibid., hlm. 20.
46
Adi C. Bawono, “Penerapan Asas In Dubio Pro Reo” (On-line), tersedia WWW:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4142/penerapan-asas-in-dubio-pro-reo (diakses pd 24
januari 2017 pk 20.40 WIB)
47
Ravindra Indra, “Unsur-unsur Dalam Musik” (On-line) tersedia di WWW:
http://www.senibudaya.web.id/2015/10/unsur-unsur-dalam-musik-9-sembilan-unsur.html (diakses pd
21 desember 2016, pk 19.09 WIB)
37
menyanyikan lagu. Notasi Musik dibagi menjadi 2 Yaitu
Notasi angka dan Notasi Balok.
2. Tanda Kunci
Tanda kunci akan menjadi unsur penting dalam Musik.
Ini disebabkan karena dengan kunci-kunci tersebut maka lagu
bisa diamainkan. Untuk Kunci-kunci tersebut juga tidak lepas
dari Notasi angka dan notasi balok. Kunci merupakan Tanda
yang digunakan pada garis paranada untuk menunjukkan letak
titinada. Oleh karena itu Pembagian Tanda Kunci akan
membedakan Nada-nada tinggi atau Nada-nada sedang atau
bahkan Nada-nada Rendah.
3. Tempo
Tempo bisa diartikan cepat atau lambatnya sebuah lagu.
Maka ukurannya adalah beat. Beat adalah ketukan yang
menunjukkan banyaknya ketukan dalam satu menit. Sebagai
contoh apabila ada lagu dengan beat MM 70, ini berarti dalam
satu menit terdapat 70 ketukan. Jika dalam satu ketukan
dengan notasi seperempat. Untuk itu anda bisa juga dengan
melihat artikel dengan Judul Tanda Tempo.
4. Melodi
Melodi juga merupakan Unsur seni musik yang sangat
penting. Melodi adalah rangkaian nada atau bunyi berdasarkan
perbedaan tinggi rendah atau naik turunnya. Jika seseorang
ingin
mengungkapkan
penuh
nada-nada
atau
bahakan
sebagian. Maka melodi menjadi media penting untuk
dipelajari. Dengan Kata lain, melodi merupakan bentuk
ungkapan penuh atau hanya penggalan ungkapan nada. Melodi
yang baik itu melodi yang intervalnya terjangkau oleh alat
musik maupun suara manusia. Tidak terlalu tinggi juga tidak
terlalu rendah.
38
5. Ritme/Irama
Nama ritme atau irama ini dipakai oleh pedangdut kita
atau Raja Dangdut kita Rhoma Irama. Memang ada
hungannya. Hubungannya adalah Beliau ini Penyanyi dan
pencipta lagu, tentu layak menyandang Gelar Irama. Oke
masuk pada pembahasan saja. Irama adalah Gerak Teratur
karena munculnya Aksen secara tetap. Keindahan Irama akan
dapat tercipta apabila adanya jalinan perbedaan nilai dari
satuan-satuan bunyi.
6. Harmoni
Harmonis itu selaras. Harmoni adalah Keselarasan
Paduan Bunyi. Secara teknis, Harmoni meliputi Susunan,
Peranan, dan Hubungan dari sebuah paduan bunyi dengan
bentuk
keseluruhan.
elemen Interval dan Akor.
apabila dibunyikan
Harmoni
Akor adalah
Susunan
secara serentak akan
memiliki
3 Nada
terdengar
harmonis. Akor akan selalu mengiringi Melodi. Tanpa akor,
melodi berjalan pincang. dan tentu saja tidak bisa didengar
dengan indah.
7. Tempo
Tempo menjadi hal pokok dalam bermain musik. Jika
tempo tidak tepat maka orang menyanyi akan lebih cepat dari
iringan musiknya, atau bahakan lebih lambat dari iringan
musiknya. Maka akan menjadi bermasalah.
8. Dinamik
Dinamik akan memberikan gaya menyanyi, Menjadi
penting apabila seseorang memiliki dinamika bernyanyi yang
luar biasa. Dinamik adalah Keras lembutnya lagu dan
perubahannya. Akan saya bahas disini mengenai dinamik.
a. Dinamik lembut misalnya Piano (p) = Lembut,
Pianissimo (pp) = Sangat lembut
39
b. Dinamik sedang misalnya Mezzo piano (mp) = Agak
lembut, Mezzo forte (mf) = Agak Keras.
c. Dinamik keras misalnya Forte (f) = Keras, Fortissimo
(ff) = Sangat Keras.
Untuk menunjukkan perubahan Tempo maka dipakailah
istilah sebagai berikut
1. Cressendo (cresc)
= Artinya semakin keras
2. Decressendo (decresc)
= Artinya semakin lembut
3. Subito forte (sf)
= Artinya tiba-tiba keras
4. Subito piano (sp)
= Artinya tiba-tiba lambat
9. Tangga Nada
Tangga adalah urutan nada yang disusun secara
berjenjang. Tangga nada yang berjenjang adalah do, re, mi, fa,
sol, la, ti dan kembali ke do atau ke do di interval berikutnya.
Untuk Tangga nada ini jumlahnya ada 7 nada. Setiap nada naik
satu tingkat satu tingkat, inilah yang dinamakan tangga nada.
Jika kita memulai nada dari do menuju ke sol maka berarti kita
langsung naik ke tingkat yang ke 5. Begitu seterusnya. Dan
Tangga Nada dibagi menjadi dua yaitu Tangga Nada Diatonis
dan Tangga Nada Pentatonis.
10. Ekspresi
Ekspresi menjadi hal yang diperhitungkan dalam unsur
musik. Betapa tidak, Seseorang menyanyi itu adalah ungkapan
perasaan dari dalam hati. Maka harus dimunculkan melalui
ekspresi kita. Alunan lagu atau suara yang gembira, susah,
syahdu, rhomantis, centil, khidmat, dan lain lain harus
diungkapkan secara baik dan penuh perasaan. Agar yang
mendengarnya juga terbawa karena ekspresi kita saat
bernyanyi dirasa total.
Berikut 15 Nama-Nama Tanda Ekspresi
40
1. Agiato
= Gembira, Bersemangat
2. Con Animo
= Dengan Sungguh-sungguh
3. Con Animato
= Dengan Berjiwa
4. Con Spirito
= Dengan Semangat
5. Con Antabile
= Dengan Berseru
6. Con Bravura
= Dengan Gagah Perkasa
7. Vivace
= Hidup, Lincah
8. Marcato
= Dengan Tegas Bertekanan
9. Maestoso
= Bersifat Luhur (Pada umumnya)
10. Amabile
= Manarik
11. Contabile
= Perasaan Merdu
12. Con Amore= Perasaan Kasih dan Cinta
13. Con Doloroso= Perasaan Sedih, Pilu dan Susah Hati
14. Con Expresione = Dengan penuh perasaan
15. Con Sustenuto= Dengan Perasaan
Struktur ritme dalam sebuah musik terdiri dari empat elemen
sebagai berikut:
a. Beat :
Beat atau Irama adalah ketukan, seperti 1-2-3-4, yang
biasa kita hitung ketika memainkan atau mendengar
sebuah lagu. Beat membagi sebuah frasa menjadi bagianbagian yang seragam, dimana satu beat nantinya bisa
dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil bila
dibutuhkan, Contohnya dalam birama 4/4, satu beat sama
dengan satu ketukan, sehingga satu bar birama berisi 4
beat.
41
b. Bar:
Bar adalah frase musik dalam lagu, yang terdiri dari
beberapa beat. Satu bar pada lagu komersial umumnya
memiliki 4 beat, sehingga terdiri dari 4 ketukan. Bagianbagian lagu seperti Verse dan Chorus, biasanya diukur
menggunakan bar: Verse umumnya selama 8 hingga 16
bar, dan begitu juga dengan Chorus, contohnya dalam
birama 4/4, satu bar sama dengan 4 beat atau ketukan.
Frase 16 bar berarti memiliki 64 beat.
c. Time Signature:
Time signature atau tanda waktu menandakan berapa
banyak beat dan selama apa beat tersebut dalam satu bar,
contohnya Time signature lagu komersial umumnya 4/4,
yang berarti ada 4 beat dalam satu bar, masing-masing
selama satu kali not 1/4. Time signature lain yang umum
digunakan (terutama untuk lagu rock) adalah 6/8, yang
berarti ada 6 beat dalam satu bar, masing-masing selama
satu not 1/8. Time signature lain, meski tidak dipakai
sesering kedua sebelumnya, digunakan untuk Jazz Swing,
yaitu 3/4.
d. Tempo
Tempo menandakan seberapa cepat lagu dimainkan.
Istilah modern untuk tempo adalah BPM atau Beats per
Minute, yaitu berapa banyak ketukan yang terjadi dalam
waktu 60 detik. Dalam pengetahuan musik klasik, tempo
ditandai dengan istilah-istilah bahasa Italia seperti Adagio,
Allegretto, dan Presto, yang masing-masing memiliki
kecepatan tertentu.
42
2.2.9.1 Teknik dalam permainan gitar dan drum48
1. Teknik dalam gitar
Strumming adalah teknik memetik dua atau enam
senar secara bersama-sama. Strumming atau teknik memetik
ini bisa
hanya dengan
jari atau sebuah alat yang
disebut pick atau plectrum atau plectron.
picking,
strumming
downstroke (memetik
terdiri
dari dua
gitar dari
atas
Seperti
cara
ke
teknik
yaitu
bawah)
dan upstroke (memetik gitar dari bawah ke atas). Simbol
strumming dalam tabulatur gitar adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Contoh Strumming pada Gitar
2. Teknik dalam alat musik drum antara lain:
A. Ketukan 1/4
Yaitu dengan cara memukul snare sebanyak 2 kali
dengan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri.
Kemudian ketika memukul snare dengan tangan kanan
bersamaan juga dengn menginjak bass drum, begitu juga
ketika memukul snare dengan tangan kiri bersamaan
dengan menginjak bass drum. Untuk pukulan snare
dengan hitungan detik jam yang berfungsi dengan
pengaturan tempo permainan drum.
48
Ibid.
43
B. Ketukan 1/8
Untuk ketukan 1/8 sebenarnya hampir sama dengan
ketukan 1/4 yang membedakan tempo pukulannya.
Ketika memukul snare dengan menggunakan tangan
kanan bersamaan juga dengan menginjak bass drum,
tetapi ketika memukul snare dengan tangan kiri tidak
bersamaan dengan menginjak bass drum.
C. Ketukan 1/16
Yaitu dengan cara memukul snare sebanyak 4 kali
dengan menginjak bass drum 1 kali. Tangan kanan dan
tangan kiri bergantian memukul snare dengan bass drum
sesuai dengan tempo. Untuk bisa mengusai ketukan ini,
baiknya kuasai terlebih dahulu ketukan 1/4 dan ketukan
1/8.
D. Ketukan 1/32
Pada ketukan ini, kecepatan tangan dalam tempo bass
drum harus sangat diperhatikan. Ketukan ini adalah
ketukan yang cukup sulit tetapi sangat bisa untuk
dipelajari. Caranya memukul snare sebanyak 8 kali
dengan bass drum 1 kali. Cara ketukan sama seperti
ketukan 1/16, yang membedakan memukul snarenya 8
kali.
2.3 Landasan Konseptual
2.3.1 Sejarah Hak Cipta Internasional dan Nasional
a. Sejarah Hak Cipta Internasional
De eerste ons bekende discussie betreffende het auteursrecht
vond ergens tussen 500-700 na Christus plaats in Ierland. Het hoeft
geen verbazing te wekken dat het onderwerp van dispuut was een
kopie van een Psalmmanuscript dat destijds een grote waarde
vertegenwoordigde. De koning moest uiteindelijk het geschil
beslechten en deed dit met de prachtige woorden “To every cow
belongs her calf, therefore to every book belongs its copy.” Dit was
het eerste gedocumenteerde geval van een auteursrechtgeschil, maar
door sommigen wordt gesteld dat ook in de Oudheid men al een
44
notie had van auteursrecht. In 600 voor Christus schreven de
Grieken al over creativiteit en voortbrengselen van de geest.49
Maksud dari tulisan Willem Balfort dalam sebuah website
yang berjudul De geschiedenis van het auteursrecht ialah diskusi
pertama yang diketahui tentang Hak Cipta adalah suatu tempat
antara di Irlandia. Subjek sengketa adalah salinan dari naskah. Raja
akhirnya
harus
menyelesaikan
perselisihan
tersebut
dengan
menyatakan “untuk setiap sapi milik anaknya adalah untuk setiap
buku
milik
salinannya."
Ini
adalah
kasus
pertama
yang
didokumentasikan dari sengketa Hak Cipta. Tetapi untuk aturan
mengenai Hak Cipta tersebut pertama dikeluarkan oleh UK
berbunyi:50
“Copyright‟ was developed in the UK in the 17th century in
response to the then new technology of book-printing, and has
gradually developed to include new forms of communication
such as photography, broadcasting, film and, more recently
computers and digital technology. For those involved in
education it is interesting to note that the first copyright Act in
the UK, the Statute of Anne of 1710 was subtitled „An Act for
the Encouragement of Learning. Since 1710 copyright has
gradually increased its scope from book printing to include
engraving, photography and film, sheet and recorded music,
broadcasting and most recently digital forms of
communication and databases. With each new form of media
there was a step change in the culture of copyright. At the
same time as the number of media involved in copyright have
increased the length of time, the duration, that a work remains
in copyright in the UK has increased very significantly from
the original 14 years set in 1710 to 42 in 1842, to 50 in 1956
and then in 1988 the current 70 years”.
Secara garis besar hal diatas menyataan bahwa Hak Cipta
berkembang pada abad ke 17 di UK dalam menanggapi teknologi
dari buku cetak hingga bentuk komunikasi seperti foto, penyiaran
dan film, computer dan teknologi digital, dan untuk fakta bahwa Hak
49
Willem Balfoort,”De geschiedenis van het auteursrecht”, (On-line) tersedia WWW:
http://www.declercq.com/weblog-intellectueel-eigendomsrecht/1513-de-geschiedenis-vanhet-auteursrecht (diakses pada tanggal 24 november 2016, pk 01.42 WIB)
50
The History of Copyright starts with books and then expanded to cover painting,
photographs, film, audio, film, broadcasting and now the digital world, (On-line) tersedia di WWW:
http://www.copyrightsandwrongs.nen.gov.uk/ipr-and-copyright/history-of-copyright (diakses pd 24
november 2016, pk 02.19 WIB)
45
Cipta pertama yang dikeluarkan oleh UK adalah “The Statue anne
1710” yang kemudian dijuluki “An act for the encouragement of
learning” semenjak Hak Cipta telah berkembang dalam buku cetak,
foto, film dan lembaran musik rekaman, siaran yang terbaru yang
terbentuk adalah database, dalam setiap bentuk media ada beberapa
langkah perubahan dalam budaya Hak Cipta, dalam waktu yang
sama seiring dengan berkembangnya media, Hak Cipta telah
meningkat dari waktu kewaktu, meningkat secara signifikan dalam
14 tahun dari 1710 ke 42, ditahun 1842, dan sampai ke angka 50
ditahun 1956 setelah itu ditahun 1988 sampai 70 tahun sekarang ini.
Seiring perkembangan zaman maka Negara- Negara di dunia
mengadakan sebuah konvensi:
1. The Berne Convention
Pada tanggal 9 September 1886 di Bern, ibukota
Switzerland, sepuluh kepala negara, yaitu Belgium,
Prancis, Jerman, Great Britain, Haiti, Italia, Liberia,
Spanyol,
Switzerland,
dan
Tunisia
menandatangani
pendirian suatu organisasi internasional Bern Union yang
bertujuan melindungi karya-karya cipta di bidang seni dan
sastra, serta ditandatangani perjanjian internasional Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works (disingkat Berne Convention).51
Di dalam Mukadimah naskah asli Konvensi Bern,
para kepala Negara pada waktu itu menyatakan bahwa
yang melatarbelakangi diadakannya Konvensi Bern adalah
“…being equally animated by the desire to protect, in as
effective and unform a manner as possible, the rights of
authors in their literary and artistic works.”52 Yang intinya
berarti melindungi Hak Cipta secara efektif. Pada tanggal 1
November 1912, Belanda yang sedang menjajah Indonesia
juga memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi
51
Eddy Damian, op. cit., hlm. 53.
52 Pembukaan Konvensi Bern.
46
Bern berdasarkan asas konkordansi atau asas keselarasan,53
yaitu hukum yang ada di Indonesia pada masa penjajahan
Belanda diselaraskan dengan hukum yang ada di Belanda.54
Oleh sebab itu, Indonesia semenjak tahun 1912 telah
mempunyai
Undang-undang
Hak
Cipta
(Auterswet)
berdasarkan Undang undang Belanda tanggal 29 Juni 1911
(Staatsblad Belblackanda Nomor 197) yang memberikan
wewenang kepada Ratu Belanda untuk memberlakukan bagi
negara Belanda dan negara-negara jajahannya.55
Keikutsertaan menjadi anggota Konvensi Bern dilakukan
dengan cara meratifikasinya dan menyerahkan naskah
ratifikasi kepada Direktur Jenderal WIPO. Keikut sertaan
suatu negara menimbulkan kewajiban kepada negara
peserta dengan menerapkan tiga prinsip dasar yang dianut
Konvensi Bern, yaitu:
1. Prinsip National
Treatment Ciptaan yang berasal dari suatu negara
peserta harus mendapat perlindungan Hak Cipta
yang sama di negara peserta lain seperti yang
diperoleh ciptaan negara peserta lain tersebut.
2. Prinsip Automatic Protection
Pemberian perlindungan hukum harus diberikan
secara langsung tanpa harus memenuhi syarat
apapun.
3. Prinsip Independence of Protection
Perlindungan hukum diberikan tanpa harus
bergantung
kepada
pengaturan
perlindungan
hukum negara asal pencipta.
53
Eddy Damian, op. cit., hlm. 55-56
54
Rusdiyanto Sitorus, “Asas Konkordansi”, (On-line), tersedia di WWW:
http://id.scribd.com/doc/91507670/Asas-konkordansi (diakses pada tanggal 15 Oktober 2016,
pk 09.30 WIB)
55
Eddy Damian, loc. cit.
47
2. Konvensi Hak Cipta Universal 1955
Konvensi Hak Cipta Universal 1955 atau Universal
Copyright Convention merupakan suatu hasil kerja PBB
melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasi dua
aliran falsafah berkenaan dengan Hak Cipta yang berlaku
di kalangan masyarakat internasional. Kedua aliran
falsafah itu adalah Civil Law System dan Common Law
System. Civil Law System berpendapat bahwa Hak Cipta
sejalan dengan falsafah hukum alam yang menyatakan
bahwa manusia semenejak dilahirkan sudah memiliki hakhak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip kedua
Konvensi Bern tentang automatic protection. Sedangkan
Common Law System berpendapat bahwa Hak Cipta
adalah hak monopoli yang diberikan oleh negara kepada
pencipta agar memberi rangsangan untuk mencipta guna
kepentingan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan
prinsip kedua Konvensi Bern. Garis-garis besar ketentuanketentuan paling signifikan yang ditetapkan dalam
konvensi ini antara lain: 56
1.
Adequate and Effective Protection
Menurut Pasal I Konvensi, setiap negara
peserta
perjanjian
wajib
memberikan
perlindungan hukum yang memadai dan
efektif
terhadap
hak-hak
pencipta
dan
pemegang Hak Cipta.
2.
National Treatment Pasal II
Menetapkan ciptaan yang diterbitkan suatu
negara mendapat perlindungan hukum yang
sama seperti diberikan kepada ciptaan negara
peserta lain di wilayah negara peserta lain
tersebut.
56 Bernard Nainggolan, op. cit., hlm. 116
48
3.
Formalities
Pasal III merupakan manifestasi kompromistis
dari Konvensi Universal terhadap dua aliran
falsafah yang menetapkan bahwa suatu negara
peserta perjanjian yang menetapkan dalam
perundangundangan nasionalnya syarat-syarat
tertentu sebagai formalitas bagi timbulnya Hak
Cipta, seperti wajib simpan, pendaftaran, akta
notaris atau bukti pembayaran royalti dari
penerbit,
akan
dianggap
sebagai
bukti
timbulnya Hak Cipta, dengan syarat pada
ciptaan bersangkutan dibubuhkan tanda ©
dibelakang nama pemegang Hak Cipta.
4. Duration of Protection
Kompromi lain dalam mengakomodasi dua
aliran falsafah tersebut ditetapkan dalam Pasal
IV Konvensi, yaitu suatu jangka waktu
minimum perlindungan hukum Hak Cipta
ditambah paling sedikit 25 (dua puluh lima)
tahun setelah pencipta meninggal.
5. Translation Rights
Hak
Cipta
menurut
Pasal
V
Konvensi
mencakup juga hak eksklusif pencipta untuk
membuat, menerbitkan dan memberi izin
untuk menerbitkan suatu terjemahan dari
ciptaannya.
6. Jurisdiction of the International Court of
Justice Menurut Pasal XV suatu sengketa yang
timbul antara dua atau lebih negara anggota
Konvensi, yang tidak dapat diselesaikan
dengan musyawarah dan mufakat, dapat
diajukan ke muka Mahkamah Internasional
untuk diminta penyelesaian sengketa, kecuali
49
pihakpihak sepakat untuk menyelesaikan
dengan cara lain.
7. Bern Safeguard Clause
Pasal XVII dan Appendixnya menekankan
bahwa
Konvensi
Universal
ini
tidak
mempengaruhi Konvensi Bern, memberikan
sanksi terhadap negara yang mengundurkan
diri dari Konvensi Bern untuk beralih menjadi
anggota Konvensi Universal, dan menetapkan
ketentuan-ketentuan
tentang
pemberlakuan
Konvensi Universal oleh negara peserta
Konvensi Bern.
3.
Konvensi Roma
Konvensi
ini
biasa
disebut
sebagai
Rome
Convention atau Neighboring Rights Convention. Tujuan
utama konvensi ini adalah menetapkan pengaturan secara
internasional perlindungan hukum yang dapat dibagi
menjadi tiga kelompok pemegang Hak Cipta atas hak
terkait yang masingmasing mempunyai hak-hak tersendiri
yang dinamakan Hak-hak Terkait (Related Rights/
Neighboring Rights). Tiga kelompok tersebut adalah:57
1.
Artis-artis pelaku atau performers
Performers dilindungi dari tindakan tertentu
yang mereka tidak setujui. Seperti penyiaran
dan live performance, fiksasi dan reproduksi
dari suatu fiksasi bila fiksasi asli dibuat tanpa
persetujuan artis pelaku atau bila reproduksi
yang
dibuat
diberikannya izin.
57 Eddy Damian, op. cit., hlm. 68-69
berbeda
dengan
tujuan
50
2. Produser rekaman
Produser rekaman mempunyai hak memberikan
izin atau melarang reproduksi secara langsung
atau tak langsung rekaman suara yang dilakukan
produser rekaman suara.
3. Lembaga penyiaran
Lembaga penyiaran mempunyai hak untuk
memberikan izin atau melarang dilakukannya
tindakan-tindakan tertentu, misalnya penyiaran
ulang siarannya, fiksasi siaran, reproduksi
siaran, menyampaikan kepada publik siaran
televisi penyiar jika siaran ulang itu ditujuan
kepada publik yang dipungut bayaran untuk
menyaksikan.
4. Konvensi Jenewa
Sembilan tahun setelah berlakunya Konvensi Roma
1961, para anggota berpendapat bahwa perlindungan yang
diberikan belum memberikan hasil yang baik. Pembajakan
masih sering terjadi dan pemberantasannya tidak berjalan
efisien.
Untuk
itu,
WIPO
dan
UNESCO
menyelenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri para
ahli berbagai negara dan kemudian mendirikan suatu
komite para ahli pada bulan Maret 1971 di Paris.
Kemudian
pada bulan Oktober 1971,
di Geneva
diselenggarakan suatu konferensi diplomatik yang berhasil
menerima
suatu
rancangan
Phonogram
Convention
sebagai suatu konvensi yang pada 1 Januari 1996 dengan
peserta 50 negara.58
Konvensi menetapkan suatu kewajiban setiap negara
peserta konvensi untuk melindungi produsen rekaman
58
Eddy Damian, op. cit., hlm. 70-71
51
suara yang merupakan warga negara dari neagara peserta
lain konvensi terhadap pembuatan duplikasi tanpa
persetujuan produsen. Negara peserta konvensi ini juga
wajib untuk melarang pengimporan segala bentuk
rekaman suara yang penggandaan atau perbanyakannya
dilakukan tanpa seizin produsen yang berhak.59
5. WTO Agreement 1994
Pada WTO Agreement ini, diberlakukan prinsip
kesesuaian penuh atau full compliance sebagai syarat
minimal bagi para pesertanya. Hal ini mengakibatkan
negara
peserta
WTO
lampiranlampirannya,
Agreement
termasuk
TRIPs,
dengan
wajib
menyesuaikan peraturan perundangundangan nasionalnya
mengenai HKI secara penuh berdasarkan Perjanjian
WTO.60
6. WIPO Copyright Treaty (WCT)
WCT memuat tiga ketentuan merefleksikan yang
lazim disebut Digital Agenda ini pada esensinya adalah
tiada lain untuk melindungi kepentingan para pemegang
Hak Cipta untuk perbanyakan ciptaan yang dilindungi.
Ketentuan-ketentuan yang lazim disebut Digital Agenda
WCT adalah pertama, memberikan kepada pencipta
sebagai bagian dari hak eksklusif untuk mengumumkan
kepada publik dengan menggunakan sarana kabel atau
tanpa kabel (Pasal 8 WCT); kedua, memberikan
perlindungan hukum yang memadai dan penegakan
hukum
yang
efektif
terhadap
tindakan-tindakan
penyalahgunaan teknologi yang merugikan pencipta (Pasal
11 WCT); ketiga, kewajiban negara untuk menegakkan
hukum secara efektif terhadap seseorang yang melakukan
59
Ibid., hlm. 71
60
Ibid.
52
tindakan-tindakan berupa menghapus atau mengubah
secara elektronik hak informasi manajemen elektronik
tanpa izin pencipta dan mendistribusi, mengimpor suatu
ciptaan atau perbanyakan ciptaan yang diketahui bahwa
hak pengelolaan informasi seorang pencipta telah dihapus
atau diubah tanpa seizin pencipta (Pasal 12 WCT).61
7. WIPO Performances and Phonogram Treaty 2002
(WPPT)
Perjanjian
WPPT
semula
dimaksudkan
untuk
menjadi suplemen Konvensi Roma 1961 dalam rangka
menghadapi abad sekarang yang serba digital. Namun
pada kenyataanya, yang diatur hanya tentang hak-hak
performer dan produser rekaman suara tanpa ada
pengaturan tentang pengaturan hak dari lembaga-lembaga
badan penyiaran. WPPT lebih banyak mengatur status
yuridis seorang performer yang karya ciptanya dialihkan
dalam bentuk rekaman suara. WPPT memberikan tiga hak
tambahan sebagai extra rights kepada performer, yaitu:62
1. Performer diberikan hak mengontrol perwujudan
pertunjukannya yang diperbanyak, diumumkan,
disewakan, dan juga mengontrol pemasarannya
(WPPT Pasal 7-10);
2. Jika suatu pertunjukan diperlihatkan secara luas
kepada publik, negara-negara peserta WPPT
harus menjamin performer menerima pembayaran
(WPPT Pasal 15); dan
3. Hak-hak moral berupa identitas dan integritas
pertunjukan hidup (live aural performance) para
performer atau pertunjukan yang dialihkan dalam
wujud rekaman suara harus dijamin negaranegara peserta (WPPT Pasal 5).
61
62
Ibid.
Ibid.
53
Extra Rights juga diberikan kepada produser
rekaman suara sebagai pemegang hak terkait, yaitu:
1. Hak eksklusif untuk mengontrol distribusi,
penyewaan dan penggandaan rekaman suara
(WPPT Pasal 11-14); dan
2. Hak eksklusif untuk memperoleh pembayaran
(remuneration) penggunaan rekaman suaranya
melalui telekomunikasi atau gelombang radio
kepada publik.
8. Perjanjian Bilateral dengan Negara Lain
Tidak hanya perjanjian multilateral, Indonesia juga
mengadakan perjanjian bilateral dengan negara lain terkait
dengan perlindungan Hak Cipta antara dua negara
bersangkutan. Berikut adalah perjanjian bilateral yang
dibuat oleh Indonesia dengan negara lain yang telah
disahkan dalam Keputusan Presiden, yaitu:63
a) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman
Suara antara Negara Republik Indonesia dengan
Masyarakat Eropa;
b) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik
Indonesia dengan Amerika Serikat;
c) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
63
Ibid.
54
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik
Indonesia dengan Australia; dan
d) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
56 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan
Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik
Indonesia dengan Inggris.
b. Sejarah Hak Cipta Nasional
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia sesungguhnya
telah memiliki peraturan Hak Cipta sejak sebelum merdeka yaitu ketika
Belanda yang sedang menjajah Indonesia memberlakukan ke ikut
sertaannya pada Konvensi Bern berdasarkan Asas Konkordansi di
Indonesia.64 Berlakunya Asas Konkordansi mengakibatkan hukum
yang ada di Indonesia pada masa penjajahan Belanda diselaraskan
dengan hukum yang ada di Belanda.65 Sehingga Indonesia semenjak
tahun 1912 telah mempunyai Undang-undang Hak Cipta (Auteursrecht)
berdasarkan Undang-undang Belanda (Staatsblad
Belanda Nomor 197). Ketika Konvensi Bern direvisi pada 2 Juni
1928 di Roma, revisi ini juga dinyatakan berlaku untuk Indonesia
dengan Staatsblad No. 325 Tahun 1931.66
Pertama kali peraturan Hak Cipta yang berlaku ketika
Indonesia merdeka adalah Auteursecht 1912 Staatsblad Nomor 600
Tahun 1912, peraturan tersebut merupakan peraturan peninggalan
zaman penjajahan Belanda dan diberlakukan sesuai dengan
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, bahwa sebelum
dibentuk peraturan baru maka peraturan-peraturan yang lama masih
tetap diberlakukan. Auteursrecht 1912 pada pokoknya mengatur
perlindungan
Hak Cipta
terhadap ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra. Negara Indonesia baru mempunyai
64
Eddy Damian, op. cit., hlm. 55-56
65
Rusdiyanto Sitorus, “Asas Konkordasi”, (On-line), tersedia di
WWW: http://id.scribd.com/doc/91507670/Asas-konkordansi (diakses pa
da tanggal 15 Oktober 2016, pk. 09.30 WIB)
66
Eddy Damian, op.cit., hlm. 146
55
peraturan Hak Cipta nasional setelah 37 tahun merdeka yaitu dengan
dibentuknya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
maka Auteursrecht 1912 dinyatakan tidak berlaku lagi.67 Kurang
lebih lima tahun kemudian Undang – undang nomor 6 tahun 1982
mengalami perubahan. Pada 18 September 1987, isi Undang-undang
nomor 6 tahun 1982 diubah atau dicabut dan diganti sebagian atau
keseluruhan pasalnya oleh Undang-undang nomor 7 Tahun 1987
tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta lalu berubah kembali menjadi Undang-undang nomor 12
tahun 1997 yang selanjutnya disebut UUHC 1997, dan menjadi
Undang-undang 19 tahun 2002 yang selanjutnya disebut UUHC
2002 lalu Undang-undang Hak Cipta yang berlaku sekarang ini
adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014.
Pada dasarnya perubahan yang dilakukan UUHC 2002
terhadap ketentuan ketentuan Hak Cipta menurut UUHC 1997
adalah dengan maksud untuk lebih menyesuaikan dengan ketentuanketentuan TRIPs. Lalu perubahan dari UUHC 2002 menjadi
Undang-undang nomor 28 tahun 2014 terdapat beberapa perbedaan
diantaranya mengenai lama perlidungan Hak Cipta yang sebelumnya
seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah dia meninggal
berubah menjadi seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah ia
meninggal.
Ketentuan
tentang
penjiplakan
lagu
juga
mengalami
perubahan. Sebelum berlaku substantial part, aturan yang dianut
adalah sistem delapan bar, yaitu sebuah lagu dapat dikatakan sebagai
hasil plagiarisme apabila kesamaan atau kemiripan melodi, notasi,
dan atau lirik terdapat sepanjang delapan bar. Akan tetapi hal
tersebut bukanlah aturan yang tertulis.68 Asal usul sistem delapan
bar ini berasal dari sebuah kasus di tahun 1963 yang diputus oleh
67
Gatot Supromo, “Hak Cipta dan Aspek - Aspek Hukumnya” (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 5.
68
Prayudhi Setiadharma, “Substantialitas dalam Pelanggaran Hak Cipta”, (ON-line), tersedia di
WWW: http://marimengenalhki.com/tag/hak-cipta/ (diakses pada tanggal 24 Oktober 2016, pk 21.15
WIB)
56
Pengadilan di Inggris Raya – Francis, Day & Hunter vs Bron.69
Objek sengketa dari kasus ini adalah sebuah lagu populer berjudul
“Why” yang ditulis oleh Robert Marcucci dan Peter De Angelis dan
dinyanyikan oleh Frankie Avalon hingga menjadi hits di Amerika
Serikat pada tahun 1959 dituduh menjiplak dan melanggar Hak Cipta
lagu “In a Little Spanish Town” karya Mabel Wayne dan Sam Lewis
yang lebih dahulu populer di Inggris tahun 1928 oleh Paul Whiteman
& His Orchestra. Tuduhan tersebut didasarkan atas perbandingan
lembar notasi balok musik dari kedua lagu yang menunjukkan
kemiripan yang nyaris identik pada delapan bar pertama, meskipun
selanjutnya kedua lagu cukup berbeda satu sama lain.70 Akan tetapi
Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ini kemudian memang
mengakui kalau delapan bar pertama kedua lagu memang identik.
Namun Majelis Hakim tersebut kemudian menyatakan – berlainan
dengan yang umum kita ketahui selama ini tentang “aturan delapan
bar” – bahwa bukanlah kesamaan identik pada “delapan bar” itu
yang menentukan telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak.
Bahkan jika keseluruhan bagian kedua lagu identik sekalipun, bisa
saja pelanggaran tidak terbukti kalau tidak memenuhi unsur-unsur
lainnya.71 Majelis dalam putusannya lantas mengeluarkan fatwa
mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk membuktikan
terjadinya pelanggaran hak cipta atas karya musik. Pertama, mesti
ada kesamaan yang objektif dan substansial di antara ke dua karya,
meskipun tidak perlu kesamaan yang identik atau persis sama sekali.
Gampangnya barangkali, meskipun tidak selamanya seperti itu,
kesamaan di antara kedua lagu tersebut secara obyektif bisa
membuat orang menganggap bahwa lagu kedua merupakan jiplakan
dari lagu yang pertama. Kalau dilihat dari kasus Frances, Day &
Hunter v Bron di atas, maka dapat dikatakan bahwa “delapan bar”
dari sebuah lagu, ataupun ukuran-ukuran kuantitatif lainnya seperti
sepuluh prosen jumlah halaman buku misalnya, bukanlah ukuran
69
Ibid.
70 Ibid.
71
Ibid.
57
yang tepat dipergunakan untuk menentukan telah terjadinya
pelanggaran Hak Cipta. Sebaliknya, ukuran kualitatiflah yang harus
dipergunakan untuk menyatakan bahwa bagian substansial dari suatu
karya telah dilanggar oleh karya lain.72
Dalam Undang-undang nomor 28 tahun 2014 ditetapkan
sebuah peraturan yang dimana dianut sistem substantial part yaitu
sistem ini tidak memperhatikan berapa bar yang memiliki kesamaan
atau kemiripan antar satu lagu dengan lagu lainnya. Jika memiliki
kesamaan atau kemiripan, sekalipun hanya satu atau dua bar, maka
lagu tersebut adalah lagu hasil plagiarisme. Di Indonesia Hak Cipta
diatur dalam undang undang nomor 28 tahun 2014 pasal 1 yaitu:73
“Hak cipta adalah hak eksklusif bagi para pencipta yang
timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”
Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa Hak Cipta itu
berupa hak efkslusif yang timbul secara deklaratif artinya sebuah
karya cipta tanpa didaftarkanpun sang pencipta sudah memiliki hak
atas ciptaannya dan dilindungi oleh undang-undang, Hak Cipta yang
dilindungi atau Ruang lingkup dalam Hak Cipta diatur dalam pasal
40 undang undang nomor 28 tahun 2014 mengena Ciptaan yang
dilindungi meliputi:74
a. Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra,
terdiri atas:
b. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lainnya;
c. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
d. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan;
72
Prayudhi Setiadharma, “Substantialitas dalam Pelanggaran Hak Cipta”, (ON-line), tersedia di
WWW: http://marimengenalhki.com/tag/hak-cipta/ (diakses pada tanggal 24 Oktober 2016, pk 21.15
WIB)
73
Republik Indonesia Pasal 1 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014
74
Republik Indonesia Pasal 40 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014
58
e. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
f. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;
g. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan,
gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
h. karya seni terapan;
i. karya arsitektur;
j. peta;
k. karya seni batik atau seni motif lain;
l. karya fotografi;
m. Potret;
n. karya sinematografi;
o. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data,
adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil
transformasi;
p. terjemahan,
adaptasi,
aransemen,
transformasi,
atau
modifikasi ekspresi budaya tradisional;
q. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat
dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
r. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi
tersebut merupakan karya yang asli;
s. permainan video; dan
t. Program Komputer.
Dalam undang-undang diatas menjelaskan bahwa Hak Cipta
tersebut dilindungi jika sudah ada wujudnya dan beberapa hal
dikategorikan tidak termasuk dalam perlindungan Hak Cipta sesuai
dengan pasal 41 Undan-undang nomor 28 tahun 2014 (Hasil Karya
yang Tidak Dilindungi Hak Cipta) antara lain:75
a. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;
b. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip,
temuan atau data walaupun telah diungkapkan,dinyatakan,
75
Republik Indonesia Pasal 41 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014
59
digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah
Ciptaan; dan
c. alat, Benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk
menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya
ditujukan untuk kebutuhan fungsional.
Dalam undang undang juga menjelaskan Hak Cipta yang tidak
dilindungi:
a. Hasil rapat terbuka lembaga negara;
b. Perundang-undangan;
c. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah;
d. Putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan
e. Kitab suci atau simbol keagamaan
Dari penjelasan pasal-pasal diatas jelas mengatakan musik
merupakan Hak Cipta yang dilindungi, faktanya dalam undangundang 28 tahun 2014 tidak menyebutkan ciri-ciri plagiarisme dalam
musik tersebut seperti dalam pasal 44 ayat 1 yang berbunyi: 76
“Penggunaan,
pengambilan,
Penggandaan,
dan/atau
pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara
seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai
pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau
dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
a. Pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan
suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. Serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan
peradilan;
c. Ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan
ilmu pengetahuan; atau
d. Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut
bayaran dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta.”
Penjelasan pasal 44 mengenai sebagian yang substansial
tersebut adalah:
“Yang dimaksud dengan "sebagian yang substansial" adalah
bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari
Ciptaan”
76
Republik Indonesia Pasal 44 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014
60
Undang-undang nomor 28 tahun 2014 memang tidak
memberikan
definisi
mengenai
plagiarisme
tapi
plagiarisme
disebutkan dalam Permendiknas nomor 17 tahun 2010 yang berbunyi
“Plagiat itu sendiri merupakan perbuatan secara sengaja atau
tidak sengaja dalam memperoleh nilai untuk suatu karya ilmiah
, dengan mengutip sebagain atau seluruh karya dan/atau karya
ilmiah orang lain , tanpa menyatakan sumber secara tepat dan
memadai”
Di Indonesia, Hak Cipta diatur di dalam Pasal 3 UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Undang- Undang
Hak Cipta mengatur Hak Cipta dan Hak Terkait. Hak yang tergolong
ke dalam Hak terkait diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 yang berbunyi : 77
Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
merupakan hak eksklusif yang meliputi:
a. Hak moral Pelaku Pertunjukan;
b. Hak ekonomi Pelaku Pertunjukan;
c. Hak ekonomi Produser Fonogram; dan
d. Hak ekonomi Lembaga Penyiaran.
2.3.2. Prinsip-prinsip Hak Cipta
Prinsip dalam membedakan perlindungan Hak Cipta dengan
perlindungan hak atas kekayaan intelektual lainnya adalah bahwa Hak
Cipta melindungi karya sastra (literary works) dan karya seni (artistic
works) dengan segala bentuk perkembangannya di dunia ini. Hak Cipta
sendiri terdiri atas dua hak yaitu78
a. Hak Ekonomi (Economic Right)
Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang nomor 28 tahun 2014, hak
ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang Hak
Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Dan
pada Pasal 9 menyebutkan:79
77
Republik Indonesia Pasal 20 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014
78 Suyud Margono, “Hukum Hak Cipta Indonesia”, (Bogor: Ghaloa Indonesia, 2010), hlm. 21, 25-26.
79
Republik Indonesia Pasal 9 Undang – Undang Nomor 28 tentang Hak Cipta Tahun 2014
61
(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
a. Penerbitan Ciptaan;
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c. Penerjemahan Ciptaan;
d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian
Ciptaan;
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan Ciptaan;
g. Pengumuman Ciptaan;
h. Komunikasi Ciptaan; dan
i. Penyewaan Ciptaan.
(2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta.
(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan
Secara Komersial Ciptaan.
Jika memang terjadi pelanggaran atas hak ekonomi
seorang Pencipta, maka tentu saja seorang Pencipta dapat
mengajukan gugatan ganti rugi. Selain itu, orang yang
melanggar Pasal 9 juga dapat dihukum secara pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 113:80
1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
80
Risa Amrikasari, “Penjiplakan karya musik oleh pihak dari Negara lain”, (On-line), tersedia di
WWW: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548656d8ebe4b/penjiplakan-karya-musik-olehpihak-dari-negara-lain diakses pada 25 oktober 2016, pk 12.00 WIB
62
2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa
izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b. Hak moral
Hak Moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta
(termasuk pelaku) yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus
dengan alasan apapun.81 Hak moral pada dasarnya bersumber
dari kenyataan bahwa karya cipta adalah refleksi kepribadian
pencipta82 .Hak moral ini bersifat tidak dapat dialihkan. Hak
moral merupakan hak pemegang Hak Cipta untuk melarang:
1) Melakukan perubahan isi ciptaan
2) Melakukan perubahan judul ciptaan; dan
3) Melakukan perubahan nama pencipta.
2.3.3. Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Dalam Tap MPR Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Adapun di dalam pasal 14 pada UU tersebut, dinyatakan
bahwa:
81
Bernard Nainggolan, op.cit., hlm. 91.
82
Ibid
63
1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya.
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”. Jelas bahwa,
pasal tersebut sejatinya tunduk dan mengacu pada pasal 28F
UUD 1945 Indonesia (Amandemen ke-2, yang ditetapkan pada
Agustus 2000) Pasal “kebebasan berpendapat dan berekspresi”
pada DUHAM PBB tersebut kemudian diperkuat pada
Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966,
melalui pasal 19 ayat 2 di dalam Kovenan (Kesepakatan)
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 pada
kesepakatan tersebut tertulis sebagai berikut:83
“Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak
ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan
memberikan informasi dan ide/gagasan apapun, terlepas
dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tulisan,
cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media
lain sesuai dengan pilihannya.
83
Donnybu, “Kebebasan Berekspresi dan Hak Asasi Manusia (HAM)”, (On-line) , tersedia di
WWW: http://donnybu.com/2012/07/25/internet-kebebasan-berekspresi-dan-hak-asasi-manusia-ham/
(diakses pada 19 november 2016, pk 19.12 WIB)
64
Download