10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebutuhan Nutrisi

advertisement
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan membutuhkan energi untuk dapat tumbuh dan berkembang, dimana
energi tersebut berasal dari nutrien yang dikonsumsi oleh ikan. Menurut Lovell
(1989) faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrien pada ikan diantaranya adalah
jumlah dan jenis asam amino esensial, kandungan protein yang dibutuhkan,
kandungan energi pakan dan faktor fisiologis ikan. Campuran yang seimbang dari
bahan penyusun pakan serta kecernaan pakan merupakan dasar untuk penyusunan
formulasi pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ikan (Cho dan Watanabe,
1983). Ikan nila akan memperlihatkan pertumbuhan yang baik apabila diberi
formulasi pakan yang seimbang, dimana didalamnya terkandung bahan-bahan seperti
protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan serat (Fitzsimmons, 1997).
Halver (1989) menyebutkan bahwa protein merupakan komponen organik
terbesar dalam jaringan tubuh ikan, sekitar 65 - 75 % dari total bobot tubuh ikan
terdiri dari protein. Menurut Webster dan Lim (2002) kadar protein yang optimal
untuk menunjang pertumbuhan ikan nila berkisar antara 28-50%, nilai ini akan
menjadi
lebih
rendah
apabila
pemeliharaan
dilakukan
di
kolam
dengan
mempertimbangkan kehadiran pakan alami yang juga dapat memberikan konstribusi
protein dalam jumlah tertentu.
Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang relatif murah harganya.
Pemberian energi yang optimal pada pakan ikan adalah penting karena kelebihan atau
kekurangan energi yang dapat menyebabkan pertumbuhan berkurang (Lovell, 1988).
Energi untuk pemeliharaan tubuh dan aktivitas lain harus terpenuhi terlebih dahulu
sebelum energi untuk pertumbuhan. Ikan karnivora umumnya dapat memanfaatkan
karbohidrat secara optimal pada kadar 10-20 % sedangkan ikan omnivor rata-rata
pada kadar 30-40 % (Furuichi dalam Watanabe, 1988). Sedangkan ikan nila dapat
memanfaatkan karbohidrat pakan hingga 45 % (Shimeno et al., 1997).
Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang tinggi dalam pakan ikan.
Lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E ,K dan sumber asam lemak
11
esensial. Menurut Chou dan Shiau (1996), kadar lemak 5 % dalam pakan sudah
mencukupi kebutuhan ikan nila namun kadar lemak dalam pakan sebesar 12 % akan
menghasilkan perkembangan yang maksimal. Pakan yang mengandung suplemen
vitamin yang diberikan ke spesies ikan lain, ternyata ketika pakan tersebut diberikan
kepada ikan tilapia menunjukkan hasil yang baik.
2.2 Tepung Elot
Tepung elot merupakan limbah dari industri tapioka, komponen elot
merupakan bagian sisa pati yang tidak terekstrak serta komponen non pati yang
terlarut dalam air oleh karena itu tepung tapioka merupakan komponen pati yang
hampir murni. Menurut Greenfield (1965) dalam Yurisaputra (1997) elot bersifat
kaya akan bahan organik seperti pati, serat, protein, gula dan sebagainya. Limbah
padat tapioka berupa ampas, sedangkan limbah cair (elot) berupa larutan koloid yang
berwarna putih sampai kuning. Warna tersebut ditentukan oleh jenis ubi yang
digunakan. Elot berasal dari proses pencucian dan pengendapan pati dalam proses
pengolahan tapioka. Elot yang berasal dari proses pengendapan pati berwarna putih
(Ciptadi dan Sutamihardja, 1984 dalam Yurisaputra, 1997).
12
Ubi Kayu
Pengupasan Kulit
Pencucian Umbi
Pemerasan dan Penyaringan
Pengendapan Pati
Limbah Cair (Elot)
Pengeringan
Penggilingan dan Pengayakan
Pengemasan
Gambar 1. Skema Proses Pengolahan Tapioka
(Partoatmodjo, 1984 dalam Yurisaputra, 1997)
Pati merupakan molekul utama penyusun karbohidrat. Kebanyakan pati
merupakan campuran antara amilosa dan amilopektin (Vam Beynum dan Roels, 1985
dalam Broody, 1999). Amilosa dan amilopektin adalah 2 jenis polimer glukosa yang
terdapat dalam pati, amilosa terdiri dari rantai D-glukosa yang panjang dan tidak
bercabang sedangkan amilopektin terdiri dari rantai D-glukosa yang panjang dengan
struktur bercabang (Lehninger, 1993). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992)
karena perbedaan struktur rantainya maka amilosa lebih mudah dicerna daripada
amilopektin. Menurut Cheftel (1990) dalam Cruz-Suarez et al. (1994) perbedaan
rasio amilosa/amilopektin dapat menimbulkan perbedaan kecernaan karbohidrat
pakan. Semakin besar kandungan amilosa dan semakin kecil kandungan amilopektin
suatu bahan, maka bahan tersebut semakin mudah dicerna karbohidratnya. Adapun
kadar nutrisi yang terdapat dalam tepung elot adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Data Proksimat Tepung Elot
13
Komposisi Proksimat
Protein
Kadar (%)
Tepung elot
Tepung tapioka*
3,4
1,29
Lemak total
0,54
0,25
Karbohidrat / BETN
80,72
85,71
Serat kadar
1,5
0
Abu
1,32
0.34
Kadar Air
12,52
12,41
* sumber : Sunaryanto, Rofic et. al.,(2001).
Tabel 2. Rasio Amilosa Dan Amilopektin
Jenis bahan
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
Jagung
28
72
Kentang
21
79
Gandum
28
72
Elot
17
83
Beras
17
83
Sumber : (Vam Beynum dan Roels, 1985 dalam Broody, 1999)
2.3 Tepung Gaplek
Tepung gaplek merupakan hasil pengolahan dari ubi kayu yang dikeringkan,
kemudian digiling dalam bentuk tepung. Penggunaan tepung gaplek kurang dari 5 %
dalam komposisi pakan ikan dimanfaatkan sebagai perekat dalam pembuatan pakan
pelet dan crumble (Murtidjo, 2001). Kandungan nutrisi yang terkandung dalam
tepung gaplek diantaranya protein 1,1%, lemak 0,5%, karbohidrat 88,2% (Soetanto,
2008). Ubi kayu mengandung asam sianida (HCN) yang pada kadar tertentu dapat
berbahaya bagi organisme yang memakannya, HCN merupakan komplek toksik yang
terdapat pada ubi kayu dalam bentuk glukosida sianogenik (Suryani, 2001). Sifat
toksiknya dapat timbul apabila terhidrolis oleh aktivitas enzim linamarinase.
Pengolahan ubikayu menjadi tepung gaplek dapat dilakukan dengan beberapa
tahapan, yakni : 1. pengupasan kulit ubi kayu; 2. pencincangan ubi kayu; 3.
perendaman pada larutan garam 5 % selama 24 jam; 4. penjemuran; 5. penggilingan
menjadi tepung. Melalui proses tersebut ternyata dapat mengurangi kandungan HCN
14
sampai batas aman jika digunakan sebagai pakan ikan (Murtidjo, 2001). Dalam
pembuatan pakan ikan, gaplek yang telah kering digiling menggunakan hammer mill
atau grinding kemudian dimasukkan ke dalam pellet mill di mana sebelumnya
dilewatkan melalui conditioner yang memberi uap panas (steam).
2.4 Jagung
Jagung merupakan salah satu sumber karbohidrat yang sering digunakan
dalam pembuatan pakan ikan. Jagung merupakan hasil penepungan dari biji jagung
yang telah direndam selama 4 jam, kemudian ditiriskan, digiling halus dan
dikeringkan. Setelah dikeringkan biasanya dilakukan pengayakan sehingga didapat
jagung yang lebih halus.
Penggunaan jagung dalam pakan dibatasi oleh adanya kandungan aflatoksin
pada jagung. Aflatoksin merupakan komponen metabolit sekunder kapang
Aspergillus sp. umumnya efek yang ditimbulkan karena mengkonsumsi aflatoksin
pada hewan ternak adalah rendahnya pertumbuhan, kerusakan hati, gangguan
pembekuan darah, menurunkan respon terhadap imun, dan meningkatkan kematian
(Lovell, 1989).
Negara beriklim tropis seperti Indonesia merupakan tempat ideal bagi
pertumbuhan jamur. Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban, sangat
berperan dalam munculnya kontaminasi aflatoksin. Kandungan aflatoksin dalam
jagung di Indonesia bervariasi antara 20 – 2.000 ppb (Tangendjaja dan Rachmawati,
2006). Pada ikan channel catfish, dosis yang mematikan (LD50) berkisar antara 15 –
30 ppm.
2.5 Kecernaan
Pencernaan pakan meliputi hidrolisis protein menjadi asam amino atau
polipeptida sederhana, karbohidrat menjadi gula sederhana dan lipid menjadi gliserol
atau asam lemak. Pada proses pencernaan baik proses fisika maupun kimia
berperanan penting. Hidrolisis nutrien makro dimungkinkan dengan adanya enzim
pencernaan seperti protease, karbohidrase dan lipase (Huisman, 1987).
15
Daya cerna didefinisikan sebagai bagian pakan yang diserap oleh hewanhewan kecil (Lovell 1989). Pengetahuan tentang kemampuan cerna bahan pakan
sangat diperlukan dalam mempelajari kebutuhan energi ikan dan penilaian dari
berbagai bahan pakan yang berbeda. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrien
yang dicerna oleh berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding
usus dan masuk ke dalam sistem peredaran darah (Talbot dalam Tyler dan Calow
1985). Kemampuan cerna ikan terhadap bahan baku pakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu sifat kimia air, suhu air, jenis pakan, ukuran, umur ikan, kandungan gizi
pakan, frekuensi pemberian pakan, sifat fisika dan kimia pakan serta jumlah dan
macam enzim pencernaan yang terdapat di dalam saluran pencernaan ikan (NRC
1993).
Nilai kemampuan cerna nutrien dalam pakan dapat ditentukan melalui
pengukuran secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung sulit
dilakukan karena berkaitan erat dengan pengukuran konsumsi pakan dan
pengumpulan feses secara kuantitatif, serta dapat pula dilakukan dengan memisahkan
feses dari air/sisa pakan. Pengukuran secara tidak langsung relatif lebih mudah
sehingga lebih sering digunakan, yaitu pengukuran dengan menggunakan indikator
(Talbot dalam Tyler dan Calow 1985). Indikator yang digunakan harus bersifat tidak
dapat dicerna, tidak berubah secara kimia, tidak beracun bagi ikan, dapat dianalisa
dengan baik dan dapat melalui usus secara keseluruhan bersama dengan bahan
tercerna lainnya (Lovell 1989). Indikator yang biasa digunakan adalah chromium
oxide (Cr2O3) sebanyak 0,5-1,0 % dalam pakan dengan asumsi bahwa semua Cr2O3
yang dikonsumsi oleh ikan akan keluar dari saluran pencernaan dan akan tampak
dalam feses. Perubahan relatif dari presentase Cr2O3 pada pakan dan feses akan
menggambarkan persentase dari pakan yang dicerna oleh ikan (NRC 1993).
Prosedur pengukuran daya cerna secara tidak langsung pada ikan dengan
menggunakan Cr2O3 sebagai indikator. Feses ikan menggambarkan jumlah pakan
yang tidak dicerna ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung (Talbot dalam
Tyler dan Calow 1985). Metode tidak langsung digunakan oleh Cho et al (1983)
dengan cara mengumpulkan feses dari air dengan menggunakan wadah yang
16
dirancang secara khusus. Selain itu feses dapat dikumpulkan dari akuarium dengan
menggunakan jaring halus, penyiponan, saluran filtrasi, saluran pengumpul dan
mechanically rotating filter screens (Talbot dalam Tyler dan Calow, 1985).
2.6 Enzim Digestif
Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat dibutuhkan
dalam kehidupan. Enzim adalah protein, yang disintesis di dalam sel dan dikeluarkan
dari sel yang membentuknya melalui proses eksositosis. Enzim yang disekresikan ke
luar sel digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam rongga pencernaan) atau
”extra cellular digestion”, sedangkan enzim yang dipertahankan di dalam sel
digunakan untuk pencernaan di dalam sel itu sendiri atau disebut ”intra cellular
digestion” (Affandi et al. 1992).
Enzim digestif yang digunakan adalah Digestive Enzyme 610F, enzim ini
dapat menghilangkan toksin, meningkatkan bioavailabilitas pakan, meningkatkan
pertumbuhan dan survival rate serta aman bagi lingkungan. Enzim ini berisi beberapa
enzim diantaranya amilase, katalase, selulase, protease, lipase dan lain-lain.
Enzim protease menguraikan rantai-rantai peptida dari protein. Berdasarkan
letak ikatan peptida pada tengah atau akhir molekul, peptidase diklasifikasikan
menjadi endopeptidase dan eksopeptidase. Endopeptidase menghidrolisis protein dan
peptida-peptida rantai panjang menjadi peptida-peptida pendek. Endopeptidase
penting antara lain pepsin yang dihasilkan dari zimogen pepsinogen, tripsin dari
tripsinogen, dan kimotripsin dari kimotripsinogen. Eksopeptidase menghidrolisis
peptida menjadi asam-asam amino. Karboksipeptidase, aminopeptidase, dan
dipeptidase termasuk dalam kelompok eksopeptidase. Alfa amilase adalah enzim
yang bertanggung jawab menghidrolisis pati menjadi glukosa. Enzim ini memutuskan
ikatan 1,4--glukosidik dan mengubah pati menjadi glukosa dan maltosa. Sedangkan
lipase adalah enzim penting dalam pencernaan lemak. Lipase memecah lemak
menjadi gliserol dan asam lemak (Steffens 1989; Hepher 1990).
17
2.7 Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor yang sangat penting mendukung dalam suatu
kegiatan budidaya. Lingkungan hidup yang baik dapat mengoptimalkan pertumbuhan
ikan dalam wadah budidaya, sehingga produktivitas kegiatan budidaya dapat
meningkat. Beberapa parameter kunci dalam kualitas air diantaranya adalah suhu,
oksigen, pH, alkalinitas, nitrit dan amonia. Suhu sangat berpengaruh terhadap
kehidupan dan pertumbuhan ikan, secara umum laju pertumbuhan akan meningkat
sejalan dengan kenaikan suhu dan pada keadaan ekstrim suhu dapat menekan
kehidupan ikan bahkan dapat menyebabkan kematian (Kordi dan Tancung, 2007).
Boyd (1982) menyatakan ikan tropis dan sub-tropis tidak dapat tumbuh dengan baik
saat suhu air dibawah 26oC atau 28oC. Kebutuhan oksigen bergantung pada ukuran
ikan, suhu air dan oksigen terlarut (DO) (Boyd, 1982). Kandungan oksigen terlarut
dalam air yang baik untuk budidaya yaitu berkisar antara 4-5 ppm. pH didefinisikan
yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan
(Kordi dan Tancung, 2007), pH air yang baik untuk pertumbuhan ikan yaitu berkisar
antara 6,5-9 (Kordi dan Tancung, 2007).
Alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur-unsur basa yang terkandung
dalam air dan biasa dinyatakan dalam mg/l atau setara dengan kalsium karbonat
(CaCO3) (Kordi dan Tancung, 2007). Unsur-unsur alkalinitas dapat berfungsi sebagai
buffer (penyangga) pH air. Perairan mengandung alkalinitas 20 ppm menunjukkan
bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam dan basa sehingga
kapasitas buffer atau basa lebih stabil. Menurut The European Inland Fisheries
Advisory Commission (1937) dalam Boyd (1982), konsentrasi beracun amonia
terhadap ikan air tawar berkisar antara 0,7 – 2,4 mg/liter. Effendi (2003) menyatakan
bahwa ammonia yang terukur diperairan berupa amonia total (NH3 dan NH4+), yang
terdiri dari amonia bebas tidak terionisasi (NH3) dan amonium terionisasi (NH4+),
serta hubungan diantaranya dipengaruhi oleh nilai pH dan suhu.
Download