PENGARUH KOMPENSASI TERHADAP KEPUASAN KERJA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penerimaan Diri
1. Definisi Penerimaan Diri
Santrock (2002) mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu kesadaran
untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak berarti seseorang
menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih
lanjut. Penerimaan diri (Self-acceptance) ialah suatu kemampuan individu untuk
dapat melakukan penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri. Hasil analisis atau
penilaian terhadap diri sendiri akan dijadikan dasar bagi seorang individu untuk
dapat mengambil suatu keputusan dalam rangka penerimaan terhadap keberadaan
diri sendiri. Sikap penerimaan diri dapat dilakukan secara realistis, tetapi juga
dapat dilakukan secara tidak realistis. Sikap penerimaan realistis dapat ditandai
dengan memandang segi kelemahan-kelemahan maupun kelebihan-kelebihan diri
secara objektif. Sebaliknya penerimaan diri tidak realistis ditandai dengan upaya
untuk menilai secara berlebihan terhadap diri sendiri, mencoba untuk menolak
kelemahan diri sendiri, mengingkari atau menghindari hal-hal yang buruk dari
dalam dirinya, misalnya pengalaman traumatis masa lalu (Agoes, 2007).
Helmi, Handayani & Ratnawati (1998), penerimaan diri adalah sejauh
mana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan
menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Penerimaan diri ini
ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus
18
19
menerima segala kekurangannya tanpa menyalahkan orang lain, serta mempunyai
keinginan yang terus menerus untuk mengembangkan diri. Menurut Chaplin
(2006), penerimaan diri adalah sikap seseorang yang dasarnya merasa puas
dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri serta pengakuan
akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Penerimaan diri sebagai suatu keadaan
yang disadari oleh diri sendiri untuk menerima begitu saja kondisi diri tanpa
berusaha mengembangkan diri.
Menurut Ryff (1996), penerimaan diri adalah keadaan dengan seorang
individu memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui
segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa
merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Menurut Supratik
(1995) menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri
sendiri, atau tidak
bersikap merendahkan terhadap diri sendiri. Ini berarti
seseorang yang mampu menerima dirinya mampu melihat kebaikan sekaligus
kekurangan yang ada di dirinya. Penghargaan yang tinggi bukan berarti memiliki
sikap tinggi hati, melainkan dapat menghargai diri sendiri beserta kekurangan dan
kelebihannya. Individu yang menghargai dirinya tidak akan mencela diri atas
kekurangan yang dimiliki. Keadaan kurang terkadang membuat individu
memimpikan keadaan yang sebaliknya, yaitu kesempurnaan, namun senantiasa
berada pada impian akan membuat diri melayang dan lupa diri. Individu perlu
menapak pada kenyataan yang ada tentang dirinya, agar proses penerimaan diri
menjadi lebih mudah.
20
Menurut Sheerer (Dewi, 2011) penerimaan diri adalah sikap dalam menilai
diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala kelebihan dan
kelemahannya. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami, dan menerima
apa
adanya
dengan
disertai
keinginan
dan
kemampuan
untuk
selalu
mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh
tanggung jawab. Hurlock (2000) mendefinisikan penerimaan diri adalah sejauh
mana individu dapat menyadari, memahami karakteristik yang ada pada dirinya
dan menggunakannya dengan menjalani kelebihan-kelebihan serta menerima
kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya tanpa menyalahkan orang lain dan
memunyai keinginan untuk mengembangkan kemampuan diri.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri
adalah kesadaran terhadap kelebihan yang dimiliki dan menerima segala
kelemahan yang ada pada diri individu tanpa menyalahkan oranglain ataupun diri
sendiri, serta menyadari konflik yang ada pada diri individu dan berusaha
memerbaiki dengan mengembangkan kemampuan diri dan menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
2. Aspek-aspek Penerimaan Diri
Penerimaan diri tidak berarti seseorang menerima begitu saja kondisi diri
tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut, orang yang menerima diri
berarti telah mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai
keinginan untuk mengembangakan diri lebih lanjut. Aspek-aspek penerimaan diri
21
Shereer (Dewi, 2011) menjelaskan lebih lanjut mengenai individu yang dapat
menerima dirinya yaitu :
a. Individu
mempunyai
keyakinan
akan
kemampuannya menghadapi
kehidupannya. Hurlock (2000) menambahkan
memiliki
percaya
diri
dan
lebih
bahwa individu
memusatkan
perhatian
tersebut
kepada
keberhasilan akan kemampuan dirinya menyelesaikan masalah.
b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan
sederajat dengan orang lain.
Individu ini memunyai keyakinan bahwa
ia dapat berarti atau berguna bagi orang lain dan tidak memiliki rasa
rendah diri karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan.
c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada
harapan ditolak orang lain. Ini berarti individu tersebut tidak merasa sebagai
orang yang menyimpang dan berbeda dari orang lain, sehingga mampu
menyesuaikan dirinya dengan baik dan tidak merasa bahwa ia akan ditolak
oleh orang lain.
d. Individu tidak malu atau hanya memerhatikan dirinya sendiri.
Artinya,
individu ini lebih memunyai orientasi keluar dirinya sehingga mampu
menuntun langkahnya untuk dapat bersosialisasi dan menolong sesamanya
tanpa melihat atau mengutamakan dirinya sendiri.
e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, berarti
bahwa
individu
tersebut
memiliki
keberanian
untuk
menyesuaikan segala resiko yang timbul akibat perilakunya.
menghadapi,
22
f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Sifat ini tampak
dari perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan kritikan
dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya lebih lanjut.
g. Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya
ataupun mengingkari kelebihannya.
Lebih lanjut menurut Jersild (Risa, 2014) aspek-aspek penerimaan diri
meliputi sebagai berikut:
a. Persepsi mengenai diri dan penampilan. Individu yang memiliki
penerimaan diri berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana
dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Individu tersebut dapat
melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik mengenai dirinya yang
sebenarnya.
b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain.
Individu yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan
kekuatan dirinya lebih baik daripada orang yang tidak memiliki penerimaan
diri.
c. Perasaan inferioritas sebagai gejolak penerimaan diri. Perasaan inferioritas
merupakan sikap tidak menerima diri dan menganggu penilaian yang
realistik atas dirinya.
d. Respon atas penolakan dan kritikan. Individu yang memiliki penerimaan
diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai
kemampuan untuk menerima kritikan bahkan dapat mengambil hikmah dari
kritikan tersebut.
23
e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self” Individu yang memiliki
penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan
tuntutan diri dalam dirinya dengan baik dalam batas-batas memungkinkan
individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin
untuk mencapainya walaupun dalam jangka waktu yang lama dan
menghabiskan energinya. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuannya
individu mempersiapkan dalam konterks yang mungkin dicapai, untuk
memastikan dirinya tidak akan kecewa saat nantinya.
f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain. Hal ini apabila individu
mampu menyukai dirinya, ini akan memungkinkan ia menyukai orang lain.
Hubungan timbal balik seperti ini membuktikan individu merasa percaya
diri dalam memasuki lingkungan sosial.
g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri. Menerima diri
dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila seorang
individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti ia memanjakan
dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima bahkan menurut
pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam hidup dan tidak
mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki posisi yang tidak
baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu menerima
dirinya dan diterima orang lain, semakin individu manpu untuk berbaik
hati.
h. Penerimaan diri, spontanitas, dan menikmati hidup. Dengan penerimaan
diri mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menikmati hal-hal dalam
24
hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang
dilakukannya. Akan tetepi, leluasa untuk menolak dan menghindar sesuatu
yang tidak ingin dilakukannya.
i. Aspek moral penerimaan diri. Individu dengan penerimaan diri bukanlah
individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak
mengenalmoral, tetapi memiliki fleksibelitas dalam pengaturan hidupnya.
Individu memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk
apa nantinya, dan tidak menyukai kepura-puraan.
j. Sikap terhadap penerimaan diri. Menerima diri merupakan hal peting dalam
kehidupan seseorang. Individu yang dapat menerima beberapa aspek
hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam menghormati
orang lain.
Berdasarkan aspek-aspek penerimaan diri diatas, peneliti menggunakan
aspek yang dikemukan oleh Shereer (Dewi, 2011) sebagai landasan menyusun
Skala Penerimaan Diri karena lebih cocok dengan permasalahan yang dialami
ODHA. Menurut Shereer (Dewi, 2011) aspek penerimaan diri diri yaitu: (1)
adanya keyakinaan atas kemampuannya untuk dapat menghadapi persoalan; (2)
adanya anggapan berharga pada diri sendiri sebagai seorang manusia dan
sederajad; (3) tidak ada anggapan aneh / abnormal terhadap diri sendiri dan tidak
ada harapan ditolak; (4) tidak ada rasa malu atau memperhatikan dirinya sendiri;
(5) ada kebaranian memikul tanggung jawab terhadap perilaku sendiri; (6) dapat
menerima pujian, saran, kritikan atau celaan secara objektif; (7) tidak ada
penyalahan diri atas keterbatasan yang dimiliki atau pengingkaran kelebihan.
25
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (2000), faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan
diri antara lain:
a. Ada pemahaman tentang diri sendiri. Hal ini dapat timbul kesempatan
seseorang untuk
mengenai
kemampuan
dan
ketidakmampuannya.
Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan dengan berdampingan,
maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya, maka semakin dapat
menerima dirinya.
b. Adanya harapan-harapan yang realistik. Hal ini bisa timbul bila individu
menentukan sendiri harapannya dan disesuaikan dengan pemahaman
mengenai kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam
mencapai tujuannya.
c. Tidak ada hambatan didalam lingkungan. Walaupun seseorang sudah
memiliki harapan yang realistik, tetapi bila lingkungan disekitarnya tidak
memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi maka harapan orang
tersebut tentu sulit tercapai.
d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan tidak adanya
prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan
kesediaan individu untuk mengikuti kebiasaan lingkungan.
e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat yang membuat individu
dapat bekerja sebaik mungin dan merasa bahagia.
f. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri
26
dan sebaiknya kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan adanya
penolakan diri.
g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik,
mengidentifikasi diri dengan orang, yang well adjusted dapat membangun
sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan
baik yang bisa menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri
yang baik.
h. Adanya perspektif diri yang lain yaitu mempertahankan juga pandangan
orang lain tentang diri. Prespektif diri yang luas ini diperoleh melalui
pengalaman dan belajar. Dalam hal ini usia dan tingkat pendidikan
memegang peranan penting bagi seseorang untuk mengembangkan
perspektif dirinya.
i. Pola asuh dimasa yang baik, anak yang diasuh secara demokratis akan
cenderung berkembang sebagai orang yang dapat manghargai dirinya
sendiri.
j. Konsep diri yang stabil, individu yang memiliki konsep diri stabil
misalnya, maka kadang individu menyukai dirinya, dan kadang ia tidak
menyukai dirinya, akan sulit menunjukan pada orang lain siapa dirinya
yang sebenarnya, sebab individu sendiri ambivalen terhadap dirinya.
27
Sari
(2002)
mengemukakan
bahwa
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi penerimaan diri individu antara lain:
a. Pendidikan Individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan
memiliki tingkat kesadaran yang lebih baik akan keadaan yang dia
miliki dan segera mencari upaya untuk mengatasi keadaan tersebut.
b. Dukungan Sosial Penerimaan diri akan semakin baik apabila ada
dukungan sosial yang muncul dari lingkungan di sekitar individu tersebut
Berdasarkan uraian tersebut diatas merujuk pada teori Hurlock (2000)
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh
terhadap sikap penerimaan diri yaitu (1) ada pemahaman tentang diri sendiri; 2)
adanya harapan-harapan yang realistik; (3) tidak ada hambatan didalam
lingkungan; (4) sikap–sikap anggota masyarakat yang menyenangkan tidak
adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain
dan kesediaan individu untuk mengikuti kebiasaan lingkungan; (5) tidak adanya
gangguan emosional yang berat yang membuat individu dapat bekerja sebaik
mungin dan merasa bahagia; (6) pola asuh dimasa yang baik, dan konsep diri yang
stabil.
4. Intervensi Peningkatkan Penerimaan Diri
Penerimaan diri ialah suatu kemampuan individu untuk dapat melakukan
penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri. Hasil analisis atau penilaian
terhadap diri sendiri akan dijadikan dasar bagi seorang individu untuk dapat
mengambil suatu keputusan dalam rangka penerimaan terhadap keberadaan diri
28
sendiri. Sikap penerimaan diri dapat dilakukan secara realistis, tetapi juga dapat
dilakukan secara tidak realistis. Sikap penerimaan realistis dapat ditandai dengan
memandang segi kelemahan-kelemahan maupun kelebihan-kelebihan diri secara
objektif. Sebaliknya penerimaan diri tidak realistis ditandai dengan upaya untuk
menilai secara berlebihan terhadap diri sendiri, mencoba untuk menolak
kelemahan diri sendiri, mengingkari atau menghindari hal-hal yang buruk dari
dalam dirinya, misalnya pengalaman traumatis masa lalu (Agoes, 2007). Ada
beberapa terapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan diri
seseorang, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Neuro Lingguistic Programming (NLP)
Menurut Wrastari (2003) terapi untuk meningkatkan penerimaan diri
dengan Neuro Lingguistic Programming. NLP merupakan salah satu terapi
kognitif yang merupakan salah satu cara membuat seseorang dapat mampu
untuk memetakan semua proses yang terjadi di dalam otaknya (didasarkan
pada pengalaman-pengalamannya) adalah dengan memprogram fungsi
otaknya (neuro) dangan menggunakan bahasa (linguis). Setelah kedua
proses terjadi, maka selanjutnya seseorang akan berusaha untuk belajar
bereaksi tertentu pada sesuatu situasi tertentu, dan membangun pola-pola
otomatis atau program-program, yang terjadi di sistem bahasa kita
(programming). NLP (Neuro Lingguistic Programming) telah diberikan
kepada penyandang cacat tubuh. Namun terdapat kelemahan tidak mudah
untuk melakukan standarisasi dalam terapi NLP.
29
b. Cognitive Behavioural Therapies (CBT)
Cognitive Behavioural Therapy
merupakan
gabungan
beberapa
teknik terapeutik yang tidak hanya terfokus pada perilaku tetapi juga
kesalahan berpikir dan kognisi (Nevid, Rathus, Greene, 1997). Cognitive
Behavioural Therapy merupakan gabungan beberapa tehnik terapi yang
tidak hanya fokus pada perilaku tetapi juga kesalahan berpikir dan kognitif
perilaku untuk meningkatkan penerimaan diri pada IDU (Injuction Drug
Users) yang terinfeksi HIV (Navid, 1997).
Adapun dasar pemilihan Cognitive Behavioural Therapy dalam
masalah penerimaan diri pada ODHA dimana terdapat skema kognitif
ataupun muncul distorsi kognitif dengan karakteristik berupa perasaan tidak
berharga. Proses kognisi ini akan mempengaruhi seseorang dalam
berperilaku. Proses kognisi ini akan menjadi faktor penentu dan menjelaskan
bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Alasan kedua adalah
pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara kasual atau
saling berpengaruh. Dengan demikian pendekatan yang digunakan harus
dapat mengatasi kecenderungan yang dialami oleh ODHA yang kurang
dalam penerimaan diri di dalam hal ini sudah muncul perilaku seperti marah,
membatasi pergaulan bahkan menarik diri.
c. Acceptance And Commitment Therapy (ACT)
Terapi ACT merupakan generasi baru dari terapi CBT yang
memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu
perubahan (Freeman et al, 2010). Menurut Hayes (2010), ACT merupakan
30
suatu terapi yang bertujuan untuk meningkatkan aspek psikologi yang lebih
fleksibel atau kemampuan untuk menjalani perubahan yang terjadi saat ini
dengan lebih baik. Dalam ACT individu diajak untuk tidak menghindari
tujuan hidupnya, meskipun dalam upaya untuk mencapainya akan ditemukan
pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan.
Dari penjelasan diatas, terapi peningkatan penerimaan diri dapat
diberikan dengan berbagai macam terapi yaitu NLP, CBT dan ACT
disimpulkan bahwa ketiga terapi ini berkontribusi dalam penerimaan diri
seseorang. NLP salah satu terapi kognitif yang merupakan salah satu cara
membuat seseorang dapat mampu untuk memetakan semua proses yang
terjadi di dalam otaknya dangan menggunakan bahasa (linguis). CBT
merupakan teknik terapeutik yang tidak hanya terfokus pada perilaku tetapi
juga kesalahan berpikir dan kognisi. ACT adalah suatu terapi yang
menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai
pribadi, kemudian menerima kondisi untuk melakukan perubahan yang
terjadi tersebut dan berkomitmen terhadap diri sendiri meskipun dalam
perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak menyenangkan.
Berdasarkan permasalahan yang dialami ODHA, dimana ODHA tidak
mampu menerima kondisi dirinya sendiri dan mengalami penerimaan diri
rendah. Untuk itu peneliti memberikan ACT karena mengajarkan individu
untuk menerima segala kondisi individu, mengidentifikasi fikiran dan
perasaan dengan nilai-nilai yang dianut kemudian berkomitmen melanjutkan
hidup dan individu meningkatkan fleksibelitas psikologi.
31
B. Acceptance And Commitment Therapy (ACT)
1. Pengertian Acceptance And Commitment Therapy (ACT)
ACT diperkenalkan di Amerika Serikat oleh seorang psikolog Steven
Hayes yang selanjutnya dikembangkan oleh rekan-rekannya, Kelly Wilson dan
Kirk Stroshal. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Hayes dan
Bach menggunakan ACT pada pasien yang menderita Schizophrenia kronis
selama empat jam hasil yang diperoleh sangat mengejutkan ACT dapat
mengurangi kekembuhan pasien hingga setengah dari jumlah keseluruhan. Ada
beberapa peneliti di Indonesia yang telah menggunakan ACT sebagai intervensi
pada berbagai masalah. Seperti yang telah dilakukan oleh Kusumawardhani
(2012) Efektifitas Acceptence And Commitment Theapy dalam meningkatkan
Subjective Well Being pada dewasa muda pasca putusnya hubungan pacaran. Hasil
yang diperoleh ada peningkatan Subjective Well Being setelah diberi intervensi.
Menurut Widuri (2014) Pengaruh Acceptence And Commitmence Therapy
terhadap respon ketidakberdayaan klien gagal ginjal kronik. Hasil yang diperoleh
ada penurunaan respon ketidakberdayaan secara bermakna pada kelompok yang
mendapat terapi ACT dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi
ACT. Berdasarkan penelitian sebelumnya ACT efektif menciptakan penerimaan,
perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang ada pada
diri klien dan membantu pasien dengan berbagai masalah mulai dari Subjective
Well Being dan klien gagal ginjal kronik.
Terapi ACT merupakan generasi baru dari terapi CBT yang
memanfaatkan strategi penerimaan dan kesadaran dalam menghadapi suatu
32
perubahan (Freeman et al, 2010). ACT menggunakan pendekatan proses
penerimaan, komitmen, dan perubahan perilaku untuk menghasilkan perubahan
psikologis yang lebih fleksibel. Terapi ACT penting untuk diketahui sebagai
landasan dalam pemberian intervensi mengatasi masalah ketidakberdayaan.
Menurut Hayes (2010), ACT merupakan suatu terapi yang bertujuan
untuk meningkatkan aspek psikologi agar lebih fleksibel atau kemampuan untuk
menjalani perubahan yang terjadi saat ini dengan lebih baik. Dalam ACT klien
diajak untuk tidak menghindari tujuan hidupnya, meskipun dalam upaya untuk
mencapainya
akan
ditemukan
pengalaman-pengalaman
yang
tidak
menyenangkan. Terapi ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep
penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi
stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat
mengidentifikasi pikiran dan persaannya, kemudian menerima kondisi untuk
melakukan perubahan yang terjadi tersebut dan berkomitmen terhadap diri sendiri
meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Dari pengertian disimpulkan bahwa ACT adalah suatu terapi yang
menggunakan konsep penerimaan, kesadaran dan penggunaan nilai-nilai pribadi
untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, dan dapat menolong seseorang
untuk dapat mengidentifikasi pikiran dan perasaannya, kemudian menerima
kondisi untuk melakukan perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen
terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menumui pengalaman
yang tidak menyenangkan.
33
2. Prinsip Penatalaksanaan ACT
Pelaksanaan ACT terdiri dari enam sesi yaitu : Acceptance, Cognitif
Defusion, Being Present, Self As A Contex, Values, And Committed Action.
(Hayes, Strosahal dan Wilson, 2006). ACT membantu seseorang untuk mencapai
psychological flexibility yaitu kemampuan sepenuhnya untuk menghubungkan
saat ini dan reaksi psikologis yang dihasilkan orang dalam keadaan sadar dan
mampu bertahan atau mengubah perilaku dalam situasi melayani nilai-nilai yang
sudah dipilih (Hayes & Flecher, 2005).
a. Acceptance (penerimaan)
Menerima pikiran dan perasaan meskipun terdapat hal yang tidak
diinginkan/ tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa cemas
dan lainnya. Klien berusaha menerima apa yang mereka punya dan miliki
dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan jangka panjang yang dialami
tanpa merubah atau membuang pikiran yang tidak dinginkan, tetapi dengan
melakukan berbagai cara latihan untuk mencapai kesadaran, klien belajar
untuk dapat hidup dengan menjadikan stresor sebagai bagian dari hidupnya.
b. Cognitive Defusion
Merupakan teknik untuk mengurangi penolakan terhadap pikiran atau
pengalaman yang tidak menyenangkan.
c. Being Present
Klien dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah
sehingga perilaku yang ditunjukan menjadi lebih fleksibel dan kegiatan yang
dilakukan menjadi lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya. Klien
34
dibantu untuk memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan
fokus pada apa yang mereka inginkan dan nilai apa yang akan mereka pilih
untuk hidup mereka sehingga dapat mencapai tujuan hidup yang lebih
berharga.
d. Self As A Contex
Klien melihat dirinya sebagai pribadi tanpa harus menghakimi dengan
nilai benar atau salah. Klien dibantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan
cara latihan pikiran dan pengalaman.
e. Values
Klien dibantu untuk menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil
keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya.
f. Commited Action
Klien berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang
akan dipilih termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup
yang lebih berharga.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan ACT meliputi Acceptance (penerimaan), Cognitif Defusion
(mengurangi penolakan terhadap pikiran yang tidak menyenangkan), Being
Present (membantu klien memilih arah hidup dengan fokus pada hal yang
diinginkan), Self As A Contex (membuat klien melihat diri sebagai pribadi yang
tidak menghakimi diri sendiri), Values (klien mampu mengambil keputusan untuk
tujuan hidupnya, Committed And Action (berkomitment untuk mencapai tujuan
yang dinginkan). Berikut ini penjabaran dari masing-masing sesi yaitu:
35
Sesi 1: Mengidentifikasi kejadian, pikiran, dan perasaan yang muncul serta
dampak perilaku akibat pikiran dan perasaan yang muncul serta menerima
pengalaman tersebut. Sesi ini bertujuan: (1) Klien mampu membina
hubungan saling percaya dengan terapis. (2) Klien mengetahui tentang
permasalahan yang berkaitan dengan penerimaan diri. (3) Klien dapat
mengidentifikasi kejadian buruk/tidak menyenangkan yang dialami sampai
saat ini. (4) Klien mampu mengidentifikasi pikiran yang muncul dari
kejadian tersebut. (5) Klien mampu mengidentifikasi respon yang timbul
dari kejadian tersebut. (6) Klien mampu mengidentifikasi upaya/perilaku
yang muncul dari pikiran dan perasaan yang ada terkait kejadian. (7) Klien
menerima pengalaman internal dalam dirinya yang meliputi pikiran,
perasaan, memori, dan sensasi tubuh yang tidak menyenangkan. (8) Klien
menyadari sensasi ketidaknyamanan yang dirasakan selama ini dan belajar
untuk berdamai dengan sensasi tersebut. Klien belajar untuk menurunkan
ketegangan dan menciptakan kenyamanan di dalam dirinya sendiri.
Sesi 2: Mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak
menyenangkan. Sesi ini bertujuan: (1) Klien mampu mengidentifikasi
kejadian buruk/tidak menyenangkan yang terjadi. (2) Klien mampu
menceritakan tentang upaya yang dilakukan terkait dengan kejadian
tersebut berdasarkan pengalaman klien baik yang konstruktif maupun
destruktif. (3) Klien menyadari bahwa dirinya berkuasa atas pikirannya,
bukan pemikiran terhadap tubuhnya. (4) Membantu klien untuk terlepas
dari evaluasi negatif yang tidak berguna mengenai diri dan kehidupannya.
36
(5) Klien memiliki ketrampilan untuk dapat menenangkan pikiran negatif
yang muncul tanpa perlu menghabiskan waktu dan tenaga untuk melawan
atau mengontrolnya.
Sesi 3: Memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan fokus pada
apa yang diinginkan dan nilai apa yang akan dipilih untuk hidup. Sesi ini
bertujuan : (1) Melatih klien untuk lebih fokus terhadap masa kini agar
perhatian dan konsentrasinya tidak dihabiskan untuk mengingat masa lalu
atau mencemaskan masa depan. (2) Klien mampu menyadari diri sebagai
individu yang stabil dan konsisten sehingga dapat memiliki evaluasi positif
terhadap diri dan kehidupannya. (3) Klien menyadari bahwa setiap aspek
dalam kehidupannya hanya pengalaman, bukan suatu kejadian yang
berlaku selamanya. (4) Klien mampu memilih salah satu perilaku yang
dilakukan akibat dari pikiran dan perasaan yang timbul terkait kejadian
yang tidak menyenangkan. (5) Berlatih untuk mengatasi perilaku yang
kurang baik yang sudah dipilih.
Sesi 4: Membantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan
pengalaman. Pada sesi ini bertujuan : (1) Klien mampu berfokus pada diri
tanpa harus menghakimi dengan nilai benar dan salah. (2) Klien diajarkan
lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. (3)
Mendiskusikan tentang apa yang akan dilakukan untuk menghindari
berulangnya
perilaku
mengidentifikasi
buruk
rencana
yang
yang
terjadi.
akan
(4)
dilakukan
Klien
klien
mampu
untuk
mempertahankan perilaku yang baik. (5) Klien mampu mengidentifikasi
37
apa yang akan dilakukan oleh klien untuk meningkatkan kemampuan
berperilaku baik. (6) Menyebutkan keuntungan memanfaatkan pelayanan
kesehatan. (7) Mampu menyebutkan akibat bila stres tidak ditangani
segera.
Sesi 5: Menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan untuk
melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. Pada sesi ini
bertujuan: (1) Klien menemukan dan menyadari nilai-nilai yang dianggap
penting olehnya akan tetapi selama ini terabaikan karena pemikiranpemikirannya atau penerimaan diri yang rendah. (2) Klien mengetahui
konsisten perilakunya selama ini terhadap nilai-nilai yang ia anggap
penting.
Sesi 6: Berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang akan
dipilih termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang
lebih berharga. Pada sesi ini bertujuan: (1) Membantu klien untuk
berkomitment dan mengarahkan perilakunya sesuai dengan nilai-nilai dan
tujuan yang ia miliki, terkait pula hubungan klien dengan orang lain dan
penguasaannya terhadap lingkungan baik itu keluarga maupun sosial. (2)
Klien berkomitment nyata untuk tetap melakukan hal yang sudah klien
tetapkan walaupun menghadapi banyak kesulitan atau hambatan yang
muncul dalam pencapaian tujuannya.
38
C. Pengaruh ACT Untuk Peningkatan Penerimaan Diri ODHA
Penerimaan diri menurut Shereer (Dewi, 2011) penerimaan diri adalah
sikap dalam menilai diri dan keadaan secara objektif, menerima segala kelebihan
dan kelemahannya. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami, dan
menerima apa adanya dengan disertai keinginaan dan kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh
tanggung jawab. Helmi (1998), penerimaan diri yang tinggi adalah sejauhmana
seseorang
dapat
menyadari
dan
mengakui
karakteristik
pribadi
dan
menggunakannya dalam menjalani keberlangsungan hidupnya. Sikap penerimaan
diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya
sekaligus kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan berkeinginan yang
terus menerus untuk mengembangkannya.
Pada dasarnya untuk memiliki penerimaan diri bukanlah sesuatu hal yang
mudah, karena individu jauh lebih mudah memandang dan menerima kelebihan
dalam dirinya dibandingkan dengan kekurangan yang ada pada dirinya. Sehingga
mereka merasakan suatu ketidaknyamanan, seperti yang terjadi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagian besar ODHA mengalami permasalahan
psikologis yaitu ditandai dengan gejala menarik diri dari pergaulan karena merasa
malu / minder dengan kekurangan yang dimiliki. Ketakutan terhadap stigma
negatif dari lingkungan sehingga ODHA menutupi status kesehatannya. Perasaan
takut akan kematian terus dirasakan ODHA, hal ini mendorong ODHA
mengisolasikan diri dari orang lain sehingga ODHA sulit mengembangkan
potensi yang ada pada dirinya karena hanya fokus pada kekurangan yang dimiliki.
39
Selain itu, ODHA juga mengalami permasalahan rendah penerimaan diri, ODHA
merasa tidak mampu menjalani kehidupan. ODHA merasa sulit menyesuaikan diri
dengan keadaan, ODHA merasa dirinya tidak berguna dan selalu ditolak oleh
oranglain, ODHA tidak berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
ODHA mudah merasa tersinggung ketika ada oranglain memberi pujian. Selain
itu,ODHA juga merasa berbeda dengan oranglain kehidupan ODHA sangat
tergantung pada obat, setiap hari ODHA selalu meminum obat ARV agar tidak
mudah jatuh sakit.
Setelah didiagnosa positif terinfeksi HIV/AIDS sepuluh subjek memiliki
dinamika psikologis yang berbeda selama menjadi ODHA. Ketiga subjek ketika
pertama kali mengetahui terinfeksi HIV/AIDS mengalami reaksi penolakan.
Menolak mempercayai bahwa dirinya terinfeksi HIV. Menurut ODHA, penularan
HIV/AIDS hanya terjadi pada orang-orang yang menggunakan narkoba jarum
suntik, perilaku seks bebas dan homoseksual, sedangkan selama ini ODHA hidup
dengan baik, tidak ada perilaku yang menyimpang yang dilakukan. Menurut
Kubber–Ross (2008) sebagian ODHA akan kaget dan menolak hasil apapun
sebagai suatu kesalahan, dimana kondisi ini hanya berlangsung beberapa hari.
Ketujuh subjek lainnya mengalami shok ketika pertama kali mengetahui positif
terinfeksi HIV/AIDS yaitu ODHA diam tanpa ekspresi, ODHA berpikir bahwa ini
sudah resiko atas perilaku ODHA yang menyukai sesama jenis, resiko pengguna
narkoba jarum suntik dan resiko menjadi istri dari suami yang suka melakukan
seks bebas (Taylor, 1995).
40
Salah satu cara untuk mengatasi kurangnya penerimaan diri pada ODHA
adalah dengan memberikan Acceptance Commitment Therapy (ACT) diyakini
mampu memperbaiki penerimaan diri pada ODHA. Hal ini didasari bukti hasil
penelitian Suhardin (2015) Penetapan Acceptance Commitment Therapy (ACT)
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker di puskesmas pacar keling
Surabaya. Hasilnya kualitas hidup pasien kanker meningkatkan setelah penerapan
terapi act. Pengaruh Acceptance Commitment Therapy (ACT) terhadap gejala dan
kemampuan klien dengan resiko perilaku kekerasan (2014) hasilnya ada
penurunan gejala perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapatkan terapi
ACT dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi ACT. Dari
hasil penelitian sebelumnya penelitian terbukti terapi ACT dianggap lebih
fleksibel dan lebih efektif dalam menangani berbagai kasus (Montgomery, Kim, &
Franklin, 2011).
Menurut Hayes (2010), ACT merupakan terapi konsep penerimaan
(Acceptance) sebagai proses aktif dari Self-Affirmation, bahwa dengan menerima
bukan berarti menyerah, melainkan keberanian untuk mengalami, merasakan
pikiran negatif (Hayes, 2004). ACT menggunakan pendekatan proses penerimaan,
komitmen, dan perubahan perilaku untuk menghasilkan perubahan psikologis
yang lebih fleksibel.
ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan,
kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal
jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi
pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan
41
perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri
meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak
menyenangkan. Pelaksanaan ACT terdiri dari enam sesi yaitu : Acceptance,
Cognitif Defusion, Being Present, Self As A Contex, Values, And Committed
Action (Hayes, Strosahal dan Wilson, 2006). Dari 6 Sesi terapi ACT diharapkan
dapat membantu seseorang untuk meningkatkan Psychological Flexibility.
Sesi Acceptance (Penerimaan) adalah membuang ekstra untuk perasaan,
sensasi, dan seluruh pengalaman pribadi lainnya dan membiarkan mereka datang
dan pergi tanpa berjuang untuk menghilangkannya, menghidarinya atau tidak
memberikan perhatian kepada mereka. Acceptance meliputi kemampuan
seseorang dalam menerima suatu peristiwa pribadi secara aktif dan sadar tanpa
mencoba berusaha untuk mengubah peristiwa tersebut. Secara lebih sederhana
Acceptance adalah menerima pikiran dan perasaan meskipun terdapat hal yang
tidak diinginkan atau tidak menyenangkan seperti rasa bersalah, rasa malu, rasa
cemas dan lainnya. Klien berusaha menerima apa yang mereka punya dan miliki
dengan maksud untuk mengakhiri penderitaan jangka panjang yang dialami tanpa
merubah atau membuang pikiran yang tidak diinginkan, tetapi dengan melakukan
berbagai cara latihan untuk mencapai kesadaran, klien belajar untuk dapat hidup
dengan menjadikan stresor sebagai bagian dalam hidupnya. Ketika klien belajar
menenangkan pikiran yang menyakitkan dan tidak menyenangkan, pikiran-pikiran
itu akan melepaskan kemampuan mereka untuk menakut-nakuti, mengganggu dan
menekan klien Haris (Suhardin, 2015).
42
Seperti yang terjadi pada ODHA dimana sebagian besar ODHA merasa
malu, minder dan ditolak oleh lingkungan. Peserta mengingat peristiwa yang
menyakitkan yang pernah dialami, kemudian terapis mengajarkan bagaimana
menerima semua pikiran dan perasaan yang tidak diinginkan melalui tehnik
berlatih metapora, dimana semua klien mengingat semua kejadian yang tidak
menyenangkan kemudian memberi ruang dan menambahkan nilai kebaikkan, rasa
kasihsayang dan kelembutan. Tanpa harus menghilangkan atau membuang
pengalaman yang tidak menyenangkan.
Sesi Cognitif Defungsi mengurangi penolakan terhadap pikiran atau
pengalaman tidak menyenangkan. Cognitif Defungsi maksudnya adalah belajar
untuk mempersepsikan pikiran, gambaran, memori dan aspek kognisi lainnya.
Teknik Cognitif Defungsi tidak mengubah bentuk, frekuensi atau sensivitas
pemikiran tersebut melainkan berusaha mengubah fungsi yang tidak diinginkan
dari pemikiran (Suhardin, 2015). Pada sesi ini klien mengamati pengalaman yang
tidak menyenangkan kemudian menyadari bahwa pikiran tidak mempunyai kuasa
terhadap diri. Tubuh yang mempunyai kuasa terhadap pikiran. ODHA diajarkan
pentingnya menerima semua pengalaman yang ada dalam hidup. Ada perasaan
kecewa pada diri sendiri, merasa tidak adil terhadap kehidupan yang dijalani
Sesi Being Present memiliki makna yaitu seseorang dapat melakukan
kontak dengan masa kini secara total dan sadar sehingga dapat fokus terhadap apa
yang sedang dilakukan. Hal ini dianggap penting karena biasanya individu
terjebak dalam masa lalu atau terlalu mencemaskan masa depan sehingga tidak
mampu konsisten secara utuh terhadap apa yang ia kerjakan dimasa kini. Klien
43
dibantu untuk mendapatkan pengalaman yang lebih terarah sehingga perilaku
yang ditunjukkan menjadi lebih fleksibel dan kegiatan yang dilakukan menjadi
lebih konsisten sesuai dengan nilai yang dianutnya (Suhardin, 2015).
Klien dibantu untuk memilih arah hidup mereka dengan cara
mengidentifikasi dan fokus pada apa yang diinginkan dan nilai apa yang mereka
untuk hidup mereka sehingga mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Pada
saat melakukan sesi terapi klien mencari suatu pengalaman yang paling
menyakitkan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi dan memberikan
skor pada pikiran dan perasaan yang mengganggu. Terapi mengajak klien
melakukan sesi metapora guna menyadari peristiwa saat ini. Setelah memberikan
sesi metapora, terapis menanyakan perasaaan klien agar dapat mengambil suatu
keputusan sesuai dengan nilai yang dianutnya dan berperilaku secara konsisten.
Self As A Contex membantu klien melihat dirinya sebagai pribadi tanpa
harus menghakimi dengan nilai benar atau salah. Klien dibantu untuk lebih fokus
pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan pengalaman. Terapis mengarahkan
pada klien untuk berlatih sesuai dengan pengalaman pribadi. Dengan harapan
peserta lebih fokus pada satu tujuan yang ingin dicapai untuk meningkatkan
penerimaan diri. Pada umumnya klien memiliki tujuan dan keinginaan yang sama
yaitu dapat diterima oranglain dangan kondisi mereka sebagai ODHA.
Values adalah kualitas hidup yang dianggap paling penting, bermakna,
dan membentuk seseorang menjadi seperti apa yang diinginkannya. Biasanya
seseorang melupakan apa yang paling penting dalam hidupnya ketika sedang larut
dalam masalah. Mereka mengeluarkan usaha dan energi yang dimiliki untuk
44
keluar dari masalah namun mengabaikan apa yang mereka anggap penting dalam
hidup hingga akhirnya mereka tidak menjadi orang seperti yang mereka inginkan.
Klien dibantu untuk menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan
untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya (Suhardin, 2015).
Klien mulai menyadari pentingnya menetapkan nilai-nilai dalam hidup
agar tidak ada penyesalan jika terjadi sesuatu yang buruk pada diri mereka. Klien
belajar memaknai pesan yang disampaikan oranglain terhadap ODHA. Klien
dapat memutuskan melakukan sesuatu yang baru agar dapat meningkatkan
penerimaan diri, dengan terus belajar menjadi yang terbaik untuk lingkungan.
Committed Action klien berkomitmen secara verbal dan tindakan
terhadap kegiatan yang akan dipilih termasuk langkah yang diambil untuk
mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Komitmen adalah menunjukan
perilaku yang sesuai dengan velue yang dianggapnya penting meskipun ada
hambatan dalam mencapai suatu tujuan. Di dalam prinsip ini,klien diharapkan
untuk dapat menyusun tujuan yang dipandu oleh velue yang dianggapnya penting
dan mengambil tindakan efektif untuk mencapainya. Oleh karena itu, latihan yang
dapat dilakukan adalah klien diminta untuk menyusun tujuan dalam hidupnya
dengan melihat velue sebagai penduan. Klien diminta mengevaluasi tujuan yang
telah dibuatnya agar ia mampu melihat apa yang menjadi tantangan dalam
mencapai hal tersebut. Harapannya klien jadi mampu menjalani hidupnya dengan
lebih bermakna karena telah memiliki tujuan yang jelas sesuai dengan apa yang
dianggapnya paling penting di dalam hidup (Suhardin, 2015).
45
Corey G (2009) pada proses terapi ACT klien akan belajar bagaimana
menerima pikiran dan perasaan mereka yang mungkin dicoba untuk ditolak.
Selain penerimaan dan komitmen untuk bertindak juga penting. Komitmen
melibatkan membuat keputusan secara sadar tentang apa yang penting dalam
hidup dan apa yang bersedia dilakukan agar hidupnya dihargai. ACT
memanfaatkan pekerjaan rumah dan latihan perilaku sebagai cara untuk
menciptakan pola-pola yang lebih besar dari tindakan efektif yang akan
membantu klien hidup dengan nilai-nilai mereka, fokus dari ACT adalah
memungkinkan pengalaman untuk datang dan pergi sambil mengejar kehidupan
yang bermakna.
Dalam konteks ODHA, terapi ACT mengajarkan ODHA untuk menerima
pikiran yang mengganggu dan dianggap tidak menyenangkan seperti perasaan
takut mendapatkan stigma negatif dari lingkungan, merasa tidak sederajat dengan
oranglain dan mengisolasi diri dari lingkungan. Selanjutnya klien diarahkan untuk
mampu menetapkan
diri sesuai dengan nilai yang dianut dan berkomitmen
menjalani hidup yang lebih bermakna. Tujuan akhir dari terapi ACT klien
mengalami peningkatan fleksibilitas psikologis. Kondisi psikologis yang fleksibel
memberikan persepsi dasar yang lebih positif akan peningkatan penerimaan diri
ODHA. Penerimaan diri yang tinggi ini dapat ditunjukkan dengan perubahan
sikap yang terlihat pada tiap individu yaitu cara berkomunikasi yang baik,
kemampuan dalam menjalankan tugas, melakukan sharing pendapat secara efektif
dan adanya touch satu sama lain mampu menguatkan dan meningkatkan
penerimaan diri. Perubahan juga terlihat dari individu yang positive thinking,
46
respon emosi yang stabil, pemecahan masalah yang positif, dukungan sosial yang
baik antar individu dalam kelompok, penerimaan yang baik dan komitmen dalam
menjalankan tugas dengan baik. Kualitas hidup individu juga meningkat terlihat
pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam
menyelesaikan
masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg et al,
2013).
Seseorang
yang memiliki
fleksibiltas
psikologis
akan
berusaha
mengontrol pengalaman yang tidak menyenangkan dan mengubah persepsi
kognitif, emosi dan perilaku dalam menghadapi permaslahan dalam hidupnya.
Perubahan kognitif seperti ODHA sudah dapat menerima diagnosa dokter yang
mengatakan bahwa terinfeksi HIV/AIDS menyadari bahwa HIV/AIDS yang
mereka alami merupakan kesalahan ODHA sendiri, menyadari dibalik kekurangan
pasti ada kelebihan dalam diri seseorang. Perubahan emosi ODHA menjadi lebih
tenang, rileks dan tidak merasa terbebani dengan stigma negatif dari lingkungan
baik keluarga, teman dan masyarakat. ODHA menyakini bahwa ODHA masih
terus berkarya dan dapat membanggakan keluarga walaupun terinfeksi
HIV/AIDS,dapat menentukan tujuan hidup dan berkomitmen agar menjadi lebih
baik.
Berdasarkan penjelasan diatas, berbagai permasalahan yang dialami
ODHA memberikan gambaran bagaimana proses terapi ACT dapat meningkatkan
fleksibiltas psikologis sehingga berpengaruh pada penerimaan diri ODHA.
Seseorang yang memiliki tingkat fleksibiltas psikologis diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan diri dari kategori rendah menjadi kategori tinggi.
47
D. Landasan Teori
Santrock (2002) mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu kesadaran
untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak berarti seseorang
menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih
lanjut. Menurut Chaplin (2006), penerimaan diri adalah sikap seseorang yang
dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya
sendiri serta pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Penerimaan diri
sebagai suatu keadaan yang disadari oleh diri sendiri untuk menerima begitu saja
kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri. Sheerer (Dewi, 2011)
penerimaan diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaannya secara objektif,
menerima segala kelebihan dan kelemahannya. Menerima diri berarti telah
menyadari, memahami, dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan
kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup
dengan baik dan penuh tanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa penerimaan diri kesadaran untuk menerima diri sendiri apa
adanya. Dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki. Menerima berarti
menyadari, memahami, menerima dan selalu mengembangkan diri untuk
menjalani hidup dengan lebih baik.
Penerimaan diri yang rendah banyak dipengaruhi oleh rasa bangga
terhadap kelebihan- kelebihan yang dimiliki, sedangkan penerimaan diri yang
negatif terjadi jika hanya memikirkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam
dirinya tanpa memikirkan kelebihan yang dimilikinya. Penerimaan diri memegang
peran penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, maka
48
sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri
yang rendah
(Rahmat, 2000). Menurut Ardilla & Herdiana (2013) faktor penting untuk
seseorang menerima dirinya yaitu seseorang individu dengan penerimaan diri
yang baik mengandalkan emosi yang muncul karena dapat menerima diri dengan
apa adanya. Seseorang individu dengan penerimaan diri yang rendah cenderung
merasa tidak puas dengan diri sendiri, yang disebabkan oleh munculnya pikiranpikiran negatif terhadap kekurangan yang dimiliki, kemudian akan muncul gejala
mulai menarik diri dari pergaulan karena merasa malu dan minder. Dalam proses
penerimaan diri seorang individu harus mengubah persepsi tentang diri sendiri
dari hal negatif ke hal positif.
Orang dengan HIV/AIDS yang memiliki penerimaan diri rendah
cenderung tidak puas dengan dirinya sendiri yang menyebabkan hubungan
interpersonal ODHA dengan lingkungan tidak baik, dimana ODHA mulai
menarik diri dari pergaulan karena malu dan minder dengan keadaan dan
kekurangan yang dimilikinya. Sebaliknya ODHA yang memunyai penerimaan diri
yang tinggi akan mudah memahami realitas yang ada pada dirinya, dapat
menerima segala kekurangan dan kelebihan kemudian mengembangkan potensi
yang dimiliki. Menurut Hurlock (2000), individu dengan penerimaan diri yang
tinggi tidak peduli berapa banyak kelemahan yang ada dalam dirinya dan justru
membuat kelemahan itu menjadi kekuatan untuk memaksimalkan kelebihannya.
Semakin individu menyayangi dirinya, maka dia juga akan semakin
mampu menerima dirinya. Penerimaan diri tidak berarti puas dengan dirinya
sendiri, tetapi lebih pada kemauan untuk menghadapi kenyataan dan kondisi
49
kehidupan, baik yang sifatnya menyenangkan maupun yang tidak. Selain itu
ODHA yang mampu menerima dirinya dapat membuka diri dan berusaha
menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya meskipun ada sesuatu yang tidak
menyenangkan dalam menyelesaikan permasalahan.
Terapi penerimaan dan komitmen (ACT) merupakan salah satu terapi
yang popular saat ini dan dianggap lebih fleksibel dan lebih efektif dalam
menangani berbagai kasus (Montgomery, Kim & Franklin, 2011). Terapi ini
mengajarkan penderita HIV/AIDS untuk menerima pikiran yang mengganggu dan
dianggap tidak menyenangkan dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang
dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Hayes, 2006). Penerimaan
memiliki arti menerima, ditekankan bahwa seseorang harus terlebih dahulu
mengerti mengenai keadaannya, setelah itu barulah ia bisa menerima dengan
kondisinya (Varcarolis, 2006).
Lebih lanjut klien harus komitmen memunyai arti perjanjian (keterikatan)
untuk melakukan sesuatu. ODHA memiliki peran yang besar untuk membantu diri
sendiri dimana ODHA harus mampu berkomitmen terhadap keputusan dan tujuan
yang ingin dicapainya melalui proses komunikasi yang baik dengan terapeutik dan
ODHA harus bisa bertahan dengan apa yang dipilih karena sudah melakukan
komitmen. ACT dikatakan sangat efektif dalam menciptakan penerimaan,
perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki
pada klien dalam menghadapi berbagai masalah seperti, berbagai masalah mulai
dari subjective well being dan klien gagal ginjal kronik. Dengan penerapan ACT
diharapkan orang dengan HIV/AIDS akan menerima kondisinya dan dapat
50
menentukan apa yang terbaik untuk dirinya dan berkomitmen untuk melakukan
apa yang sudah dipilihnya (Heyes, 2004). ACT dalam keperawatan jiwa di
Indonesia telah diterapkan oleh Sulistiowaty (2012) terhadap gejala dan perilaku
kekerasan dan halusinasi dengan hasil didapatkan bahwa ACT mampu
menurunkan kejadian perilaku kekerasan dan halusianasi.
Menurut Hayes (2004) target dari ACT adalah untuk meningkatkan
fleksibilitas psikologi yakni kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa
kini secara totalitas dan sadar sebagai mahluk hidup dan mampu berperilaku
sesuai dengan value hidup yang dianutnya. Fleksibilitas psikologi dibangun
melalui enam unsur dari proses ACT yaitu : Acceptance (penerimaan), Cognitif
Defusion (mengurangi penolakan terhadap pikiran yang tidak menyenangkan),
Being Present (membantu klien memilih arah hidup dengan fokus pada hal yang
diinginkan), Self As A Contex (membuat klien melihat diri sebagai pribadi yang
tidak menghakimi diri sendiri), Values (klien mampu mengambil keputusan untuk
tujuan hidupnya, dan Committed Action (berkomitment untuk mencapai tujuan
yang dinginkan). Dari 6 Sesi terapi ACT diharapkan dapat membantu seseorang
untuk meningkatkan psychological flexibility. Pada sesi Sesi 1 :Mengidentifikasi
kejadian, pikiran, dan perasaan yang muncul serta dampak perilaku akibat pikiran
dan perasaan yang muncul serta menerima pengalaman tersebut. Sesi 2:
Mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak menyenangkan.
Sesi 3: Memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan fokus pada
apa yang diinginkan dan nilai apa yang akan
dipilih untuk hidup. Sesi 4:
Membantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan
51
pengalaman. Sesi 5: Menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan
untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. Sesi 6:
Berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang akan dipilih
termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga.
Dengan dilakukan terapi ACT disetiap sesi diharapkan fleksibelitas
psikologis tercapai dan meningkatkan penerimaan diri yang tinggi ini dapat
ditunjukkan dengan perubahan sikap yang terlihat pada tiap individu yaitu cara
berkomunikasi yang baik, kemampuan dalam menjalankan tugas, melakukan
sharing pendapat secara efektif dan adanya touch satu sama lain mampu
menguatkan dan meningkatkan penerimaan diri. Perubahan juga terlihat dari
individu yang positive thinking, respon emosi yang stabil, pemecahan masalah
yang positif, dukungan sosial yang baik antar individu dalam kelompok,
penerimaan yang baik dan komitmen dalam menjalankan tugas dengan baik.
Kualitas hidup individu juga meningkat terlihat pada respon adaptif terhadap
masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup
dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg et al, 2013).
ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan,
kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal
jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi
pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan
perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri
meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak
menyenangkan.
52
Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka pikir penelitian ini
ditunjukkan melalui gambar berikut:
Gambar 1
Kerangka Penelitian Sumber : Hayes (2006) Sumber : Sheerer ( Dewi, 2011 )
Keterangan :
: diberi intervensi
: indikator keberhasilan intervensi
53
E. Hipotesis
Berdasarkan landasan di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai
berikut:
1:
Ada perbedaan penerimaan diri antara kelompok eksperimen yang
mendapatkan ACT dan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan ACT.
Penerimaaan diri kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada kelompok
kontrol.
2:
Ada perbedaan penerimaan diri antara kelompok eksperimen antara sebelum
mendapat ACT dengan setelah mendapat ACT, setelah ACT penerimaaan
diri peserta lebih tinggi dari pada sebelum ACT.
Download