EFEKTIVITAS VAKSIN DARI BAKTERI Mycobacterium fortuitum

advertisement
Jurnal Perikanan dan Kelautan
ISSN : 2088-3137
Vol. 3. No. 1, Maret 2012: 25-40
EFEKTIVITAS VAKSIN DARI BAKTERI Mycobacterium fortuitum YANG DIINAKTIVASI
DENGAN PEMANASAN UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT MYCOBACTERIOSIS PADA
IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy).
Raden Budi Setiawan*, Dulm’iad Iriana** dan Rosidah**.
*) Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad
**) Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dosis yang efektif dalam menginaktivasi
Mycobacterium fortuitum, status keberadaan Mycobacterium fortuitum pada ikan gurami setelah
masa induksi vaksin dan uji tantang dari gejala klinis serta mengetahui tingkat kelangsungan
hidup ikan gurami setelah diuji tantang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode eksperimental rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan.
Perlakuan tersebut adalah A (vaksin dengan kepadatan 1011 cfu), B (vaksin dengan kepadatan
108 cfu), C (vaksin dengan kepadatan 105 cfu), D (vaksin dengan kepadatan 102 cfu) dan E
(kontrol/tanpa pemberian vaksin). Parameter yang diamati adalah tingkat kelangsungan hidup,
kelangsungan hidup relatif, titer antibodi, indeks fagositik, diferensial leukosit dan gejala klinis.
Data hasil tingkat kelangsungan hidup ikan gurami dianalisis dengan menggunakan uji F
dengan taraf nyata 5%. Sedangkan hasil diagnosa kelangsungan hidup relatif, titer antibodi,
indeks fagositosis, diferensial leukosit dan gejala klinis dianalisis secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa vaksin dari bakteri Mycobacterium fortuitum kepadatan 102 cfu
yang diinaktivasi dengan heat kill merupakan kepadatan yang paling efektif dan efisien dalam
memicu imunitas gurami terhadap bakteri Mycobacterium fortuitum dengan nilai kelangsungan
hidup 80%, kelangsungan hidup relatif 71,43%.
Kata kunci : fortuitum, gurami, mycobacterium, pemanasan, vaksin
ABSTRACT
EFFECTIVENESS OF BACTERIAL VACCINES INACTIVATED Mycobacterium fortuitum
WITH HEAT FOR THE PREVENTION OF MYCOBACTERIOSIS DISEASE IN GIANT
GOURAMY
The aims of this research were to find out the effective dosis of inactivated
Mycobacterium fortuitum, to find out status of Mycobacterium fortuitum on the giant gouramy
after induction and during challeng from clinical signs, to find out survival rate of the gourami
wich have been given vaccine after challene. The method used in this study was an
experimental method with completely randomized design (CRD) with five treatments and three
replications. The treatment was A (density of 1011 cfu vaccine), B (vaccine with the density of
108 cfu), C (vaccine with a density of 105 cfu), D (vaccines with a density of 102 cfu) and E
(control / no vaccine). The parameters observed were survival rate, relative survival, antibody
titer, phagocytic index, differential leukocyte count and clinical symptoms. Data from carp
survival rates were analyzed using the F test with the signifitance level 5%. While the results of
diagnosis relative survival, antibody titers, phagocytosis index, differential leukocyte count and
clinical symptoms were analyzed descriptively. The results showed that the vaccine from the
bacterium Mycobacterium fortuitum 102 cfu density inactivated by heat kill was the most
effective and efficient density in triggering immunity to wards pathogenic bacteria
Mycobacterium fortuitum with a value of 80% survival, relative survival of 71.43.
Keywords : fortuitum, giant, gouramy, heat, killed, mycobacterium, vaccine
26
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
PENDAHULUAN
Ikan gurami (Osphronemus
gouramy) merupakan ikan air tawar yang
sudah lama dikenal masyarakat dan banyak
dibudidayakan. Keunggulan ikan gurami
bagi para petani antara lain, ikan dapat
berkembangbiak secara alami, mudah
dipelihara, dan hidup di air tergenang
(Sigantang dan Sarwono 2005)
Ikan gurami merupakan salah satu
komoditas unggulan pada budidaya air
tawar, sehingga banyak dibudidayakan oleh
para petani ikan pada saat ini. Salah satu
masalah utama yang menghambat dalam
budidaya ikan gurami adalah ketersediaan
stok di pasaran. Budidaya intensif dilakukan
dengan kepadatan ikan yang tinggi dan
jumlah pakan yang diberikan juga tinggi,
cenderung pakan berlebih. Kondisi ini,
memicu terjadinya penyuburan perairan
akibat sisa pakan dan sisa metabolisme
ikan, sehingga memicu timbulnya berbagai
penyakit pada ikan yang dapat menurunkan
produksi ikan. Penyakit yang dapat
menyerang ikan gurami diantaranya adalah
penyakit yang disebabkan oleh bakteri.
Pada beberapa komoditas perikanan
budidaya sering terjadi serangan penyakit
bakterial yang dapat mematikan benih dan
induk ikan hingga 50-100% (Supriyadi dkk
2003).
Memelihara ikan gurami tidak
terlepas dari gangguan adanya hama dan
penyakit, diantaranya penyakit yang
disebabkan
oleh
bakteri
pathogen
Mycobacterium fortuitum yaitu penyebab
penyakit Mycobacteriosis. Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia. Seluruh spesies
ikan dapat terjangkit penyakit ini. Beberapa
spesies yang sangat rentan terhadap
mikobakteriosis adalah gurami, neon tetra,
discus dan jenis ikan yang memiliki sistem
pernafasan labirin (Nigrelli dan Vogel dalam
Noga 1995).
Mycobacteriosis merupakan jenis
penyakit kronis. Butuh waktu beberapa
tahun untuk menunjukkan gejala klinis yang
tampak. Beberapa ciri untuk mengetahui
ikan terserang penyakit ini diantaranya ikan
mengalami gejala kelesuan, kurang nafsu
makan, rusak sirip, exopthalmia, kekurusan,
peradangan dan uselrasi kulit, edema,
peritonitis dan atau terdapat benjolan pada
otot yang dapat merusak bentuk tubuh ikan.
Secara makroskopis, ikan yang terinfeksi
penyakit ini menunjukkan gejala adanya
benjolan berwarna abu-abu atau putih pada
ginjal, hati, jantung atau limpa. Pada
beberapa kasus terjadi perubahan bentuk
tulang. Diagnosis biasanya berdasarkan
gejala klinis dan adanya bakteri asam-cepat
pada jaringan tubuh ikan (Noga 1995).
Penggunaan vaksin merupakan
salah satu alternatif untuk mengendalikan
infeksi Mycobacterium fortuitum karena
vaksinasi dapat meningkatkan kekebalan
tubuh ikan terhadap serangan penyakit baik
kekebalan spesifik maupun non spesifik
yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kelangsungan
hidup
ikan.
Vaksinasi
dirasakan sangat efisien karena dengan
cara ini dapat diperoleh kekebalan hanya
dengan sekali atau dua kali pemberian
vaksin sampai ikan dapat dipanen.
Keuntungan lain dari vaksinasi adalah tidak
adanya efek samping pada ikan, berbeda
dengan penggunaan antibiotik yang mana
dapat berdampak negatif pada ikan
(Supriyadi dan Rukyani 1990).
Vaksinasi dapat dilakukan melalui
penyuntikan, perendaman, penyemprotan
dan melalui pakan. Penelitian tentang
vaksin mikobakteriosis yang diinaktivasi
dengan pemanasan pada ikan gurami
merupakan penelitian yang pertama di
Indonesia, sehingga informasi mengenai
efek vaksin terhadap ikan masih terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kepadatan bakteri Mycobacterium fortuitum
yang efektif dijadikan vaksin, dalam
menanggulangi gejala Mycobakteriosis
pada ikan gurami. Sehingga dapat
meningkatkan kelangsungan hidup ikan
gurami tersebut.
Penanggulangan penyakit bakeri
pada ikan dengan penggunaan zat kimia
atau antibiotik secara terus-menerus
menimbulkan
masalah
baru
yaitu
munculnya strain-strain bakteri yang
memiliki resistensi terhadap jenis antibiotik
dan masalah pencemaran lingkungan
(Grisez dan Tan 2005). Salah satu solusi
untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan pemberian vaksin secara intensif
pada budidaya ikan (Supriyadi, 1988)
Pada saat ini pengobatan untuk
penyakit mycobacteriosis masih belum
ditemukan, pencegahan penyakit ini di
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
Indonesia mulai di usahakan diantaranya di
Balai Riset Budidaya Air Tawar Bogor.
Usaha yang dilakukan adalah dengan
penggunaan vaksin. Menurut Ellis (1988)
vaksinasi adalah memasukan antigen yang
telah
dilemahkan
virulensinya
untuk
mengenali invasi awal tanpa menimbulkan
penyakit
namun
diharapkan
dapat
merangsang kekebalan tubuh.
Mekanisme kerja vaksin adalah
mempengaruhi respon imun (kebal) yaitu
sel-sel memori yang bersifat melindungi dan
telah terbentuk pada waktu sebelumnya
(Ellis 1988). Antibodi akan terbentuk setelah
dilakukan vaksinasi yang dapat melawan
suatu penyakit. Antibodi akan terbentuk
apabila sel penghasil antibodi yaitu sel
limposit (sel-B) telah berfungsi dengan baik.
Antibodi yang spesifik akan terbentuk jika
ada
rangsangan
antigen
spesifik
(penginfeksi) yang masuk kedalam tubuh
ikan yang berfungsi merangsang makrofage
untuk memfagosit (memakan) patogen
tersebut (Tizard 1988).
Teknik pemberian vaksin dapat
dilakukan
melalui
penyuntikan,
perendaman, atau pencampuran dalam
pakan (Ellis 1988). Teknik paling efektif
untuk vaksinasi yaitu dengan penyuntikan
secara
intraperitonial,
karena
teknik
tersebut aman dari kerusakan (Ellis 1988).
Selain itu juga, vaksin yang diberikan dapat
terserap seluruhnya di dalam tubuh
sehingga pembentukan kekebalan tubuh
berlangsung cepat (Anderson 1974).
Pada umumnya vaksin terdiri dari 2
tipe yaitu vaksin mati (inaktif) dan vaksin
hidup (aktif). Vaksin mati diberikan dari
patogen yang diinaktifasi (dimatikan)
dengan cara pemanasan pada suhu 100o C
(heat killed), dengan menggunakan formalin
(formaline killed), dan diinaktifasi dengan
menggunakan sonikator (soniicated killed).
Sedangkan vaksin yang hidup berupa
organisme patogen yang dilemahkan
virulensinya (Ellis 1988).
Pemanasan dilakukan dalam water
bath dengan suhu 100oC selama 85 menit1.
1
Wawancara dengan peneliti di Balai
Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
Drh. Uni Purwaningsih
Kemudian setelah diinaktifasi, larutan BHIB
yang berisi bakteri
disentrifuse untuk
diambil endapannya, kemudian endapan
dicuci dengan menggunakan larutan salin
sebanyak dua kali (Lestari 2010). Penelitian
menggunakan metode pemanasan ini telah
dilakukan sebelumnya namun di ujicobakan
pada bakteri Aeromonas hydrophila pada
berbagai jenis ikan Lele (Utami 1992), Mas
(Ferdianto 1993), dan Nila (Taukhid dan
Bastiawan 1993). Oleh sebab itu dilakukan
penelitian
bakteri
dengan
bakteri
Mycobacterium fortuitum dengan ikan uji
gurami.
Kepadatan bakteri Mycobacterium
fortuitum isolat 31 adalah 1011 cfu
berdasarkan hasil uji pendahuluan (LD50 48
jam) yang telah dilaksanakan, merupakan
kepadatan yang mematikan ikan uji
sebanyak 50% dalam 48 jam. Kepadatan
bakteri yang efektif untuk dijadikan vaksin
adalah kepadatan yang tidak menimbulkan
penyakit dan mematikan pada ikan uji,
tetapi dapat merangsang antibodi spesifik.
Maka dari itu dapat diasumsikan kepadatan
bakteri dibawah 1011 cfu efektif untuk
dijadikan vaksin. Sesuai dengan penelitian
sebelumnya
(Bangkit
2011)
vaksin
Mycobacterium fortuitum yang diinaktivasi
oleh formalin 1% dengan kepadatan 107 cfu
terbukti tepat dan efisien dalam memicu
imunitas
gurami
terhadap
bakteri
Mycobacterium fortuitum dengan nilai
kelangsungan hidup relatif 80%, nilai indeks
fagositik yang meningkat serta gejala klinis
yang ringan
Penelitian
bertujuan
untuk
mengetahui dosis yang efektif dalam
menginaktivasi Mycobacterium fortuitum,
status keberadaan Mycobacterium fortuitum
pada ikan gurami setelah masa induksi
vaksin dan uji tantang dari gejala klinis serta
mengetahui tingkat kelangsungan hidup
ikan gurami setelah diuji tantang
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode rancangan acak
lengkap (RAL). Jumlah perlakuan pada
penelitian ini sebanyak 5 perlakuan dan
masing-masing perlakuan diulang 3 kali.
Perlakuan yang digunakan berdasarkan
hasil pendahuluan.
27
28
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
Uji pertumbuhan bakteri secara in
vitro bertujuan untuk mencari puncak
Mycobacterium
pertumbuhan
bakteri
fortuitum, yang hasilnya akan digunakan
sebagai batas atas dosis yang akan
digunakan dalam uji pathogenitas.
Berdasarkan uji in vitro dan in vivo
dosis bakteri Mycobacterium fortuitum yang
efektif
untuk
dijadikan
vaksin
Mycobacterium fortuitum berada di bawah
nilai LD50 48 jam2. Sehingga perlakuan yang
akan digunakan dalam penelitian utama
adalah sebagai berikut:
Perlakuan A : ikan disuntik dengan
vaksin Mycobacterium fortuitum dengan
dosis 1011 cfu.
Perlakuan B : ikan disuntik dengan
vaksin Mycobacterium fortuitum dengan
dosis 108 cfu.
Perlakuan C : ikan disuntik dengan
vaksin Mycobacterium fortuitum dengan
dosis 105 cfu.
Perlakuan D : ikan disuntik dengan
vaksin Mycobacterium fortuitum dengan
dosis 102 cfu.
Perlakuan E : ikan disuntik dengan
Shouten broth 0,1 ml. (kontrol).
Parameter Yang Diuji
Titer Antibodi
Pengamatan titer antibodi dilakukan
untuk mengamati antibodi yang terdapat
dalam darah ikan sebelum dan sesudah
vaksinasi. Pengamatan dilakukan terhadap
beberapa ekor sampel ikan uji.
Cara
pengambilan
dan
penghitungan titer antibodi adalah :
Darah diambil menggunakan jarum
suntik, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung Eppendorf.
Darah disentrifuge, serum yang
diambil bisa diambil dari supernatan atau
denatannya.Uji Aglunitasi dilakukan dalam
mikroplate.
Metode
penghitungan
yang
digunakan adalah metode titrasi (kebalikan
pengenceran). Metode titrasi adalah
prosedur pengujian untuk menemukan
adanya antibodi khusus yang disusun
dalam seri pengenceran bertingkat dari
semua yang diuji. Perbandingan terbalik
2
Menurut hasil penelitian yang dilakukan di Balai
Riset Budidaya Air Tawar, Bogor
Peneliti Drh. Uni Purwaningsih.
pengenceran tertinggi yang memberikan
reaksi positif dikenal sebagai titer dan
merupakan ukuran jumlah antibodi dalam
serum tadi
(Tizard 1988).Dasar reaksi
agltinasi adala penggumpalan partikel atau
sel yang tidak larut menjadi gumpalan yang
lebih besar (Tjokonegoro 1976 dalam Utami
1992).
Pengenceran serum dilakukanpada
Titer Pack dengan 12-kali pengenceran (12
sumur),
lubang ke satu mikroplate
dikosongkan, sedangkan lubang ke dua
sampai lubang ke 12 diisi dengan larutan
salin 50 µl dengan menggunakan
mikropipet. Kemudian serum ikan sebanyak
50 µl dimasukan ke dalam lubang ke satu
dan ke dua. Pada lubang ke dua, campuran
salin dan serum diaduk hingga homogen
mikropipet,
dengan
menggunakan
kemudian dari lubang dua diambil sebanyak
50 µl lalu pindahkan ke lubang tiga, diaduk
kembali kemudian dipindahkan ke lubang
selanjutnya, demikian seterusnya hingga
lubang ke 12. Pada lubang ke 12, diambil
kembali 50 µl lalu dibuang (pada lubang
satu berisi 50 µl serum dan pada lubang
dua hingga 12 berisi 50 µl campuran salin
dan serum).
Diferensial Leukosit
Diferensial leukosit dapat diketahui
dengan cara menghitung sel-sel darah
limfosit, monosit, dan neutrofil. Dari 100 sel
darah putih tersebut, dihitung berapa jumlah
sel limfosit, monosit, dan neutrofil
Persentase Limfosit 
L
 100%
100
M
 100%
100
N
 100%
Persentase Neutrofil 
100
Persentase Monosit 
Keterangan :
L
= Jumlah limfosit dalam sel darah
putih
M
= Jumlah monosit dalam sel darah
putih
N
= Jumlah neutrofil dalam sel darah
putih
L + M + N = 100 sel
L % + M % + N % = 100 %
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
Indeks Fagositosis
Pengamatan Indeks Fagositosis
dilakukan sebanyak empat kali yaitu satu
minggu sebelum vaksinasi, dua minggu
setelah vaksinasi, dan setiap minggu pada
masa uji tantang. Pengamatan pada masa
aklimatisasi untuk mengetahui kemampuan
sel-sel fagosit dalam melakukan mekanisme
fagositosis sebelum diberi perlakuan, dan
Indeks Fagositosis =
pengamatan pada akhir perlakuan untuk
mengetahui kemampuan leukosit dalam
melakukan mekanisme fagositosis. Aktivitas
fagositik dilakukan berdasarkan persen (%)
sel darah putih yang memfagosit dengan sel
darah putih yang tidak memfagosit.
Perhitungannya
secara
matematika
menurut Anderson dan Siwicki (1993)
dalam Martiani (2008) adalah :
 Sel Darah Putih Yang Memfagosit x 100%
Uji Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan
Tingkat kelangsungan hidup /
Survival Rate (SR) diamati pada masa uji
tantang. Pengamatan parameter tersebut
dilakukan setiap hari. Menurut Effendie
(1997) perhitungan parameter SR adalah
sebagai berikut :
Tingkat kelangsungan hidup relatif
bertujuan untuk mengetahui efektivitas dari
vaksin. Bilamana kelangsungan hidup relatif
(KHR) > 50%, maka vaksin yang diberikan
efektif untuk digunakan. KHR dihitung
dengan rumus (Ellis 1988):
Keterangan :
hari.
Analisis Data Hasil Penelitian
Survival Rate (SR) ikan uji setelah
diuji tantang, dianalisis dengan analisis sidik
ragam menggunakan uji F. Apabila terdapat
perbedaan antara perlakuan dianalisis
dengan
uji
Duncan
dengan
taraf
kepercayaan
5
%.
Adapun
hasil
pengamatan titer antibodi, diferensial
leukosit dan kualitas air dianalisis secara
deskriptif.
100
SR 
Nt
 100%
No
Keterangan :
SR
= Survival Rate
Nt
= Jumlah ikan gurami yang hidup pada
akhir pengamatan
No
= Jumlah ikan gurami pada awal
pengamatan
KHR = kelangsungan hidup relatif
MV = mortalitas ikan yang di vaksin
MK = mortalitas ikan kontrol
Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati
antara lain suhu, derajat keasaman (pH)
dan amonia (NH3). Pengamatan dilakukan
satu minggu sekali mulai dari masa
aklimatisasi sampai masa uji tantang. Pada
saat uji tantang suhu diamati setiap
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titer Antibodi
Keberadaan antibodi setelah
vaksinasi dapat dideteksi dengan uji titer
antibodi dengan metode aglutinasi langsung
melalui pengenceran serum darah. Jika
dalam serum darah mengandung antibodi,
maka ketika serum darah diberi antigen
berupa sel hidup Mycobacterium fortuitum
akan terjadi aglutinasi komplek antigenantibodi.
Berdasarkan hasil pengamatan titer
antibodi menunjukkan bahwa antibodi pada
ikan uji sebelum vaksinasi (S0), setelah
29
30
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
vaksinasi satu minggu (S V1), setelah
vaksinasi dua minggu (S V2), setelah uji
tantang satu minggu (U T1), dan setelah uji
tantang dua minggu (U T2) menunjukan
adanya perbedaan (Gambar 1).
= sebelum diberi vaksin
= 1011
= 10 8
= 10 5
2
= 10
U T1 U T2
= kontrol
Gambar 1. Grafik hasil pengamatan Titer Antibodi.
Keterangan :
S0
= Sebelum diberi vaksin
S V1
= Setelah vaksinasi satu minggu
S V2 = Setelah vaksinasi
dua minggu
U T1 =
Setelah
satu
minggu uji tantang
U T2 = Setelah dua minggu
uji tantang
Pada Gambar 1 terlihat
sebelum divaksinasi (S0) ikan uji telah
mempunyai antibodi terhadap bakteri
Mycobacterium fortuitum, hal ini terjadi
karena induk gurami dari ikan uji diduga
pernah terpapar Mycobacterium fortuitum.
Menurut Sumiarti (2000), adanya anti bodi
pada ikan sebelum di vaksinasi berasal dari
bawaan induknya (innate) yang pernah
terpapar bakteri tertentu.
Setelah ikan
uji divaksinasi selama satu minggu
(perlakuan A (1011 cfu), B (1011 cfu), C (105
cfu), dan D (102 cfu)) terjadi peningkatan
titer antibodi hal ini menujukkan bahwa
vaksin yang diberikan dapat merespon
produksi antibodi.
Pada
minggu
kedua
setelah
vaksinasi peningkatan titer antibodi terus
terjadi pada setiap perlakuan. Perlakuan A
(1011 cfu), B (1011 cfu), dan D (102 cfu) titer
antibodinya lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan lainnya, dilihat dari
frekuensi pengenceran (Gambar 3). Hal ini
menunjukan bahwa vaksin yang diberikan
dengan
bertambahnya
waktu
masih
merespon produksi antibodi spesifik.
Sebagaimana pendapat Bratawijaja (1991),
bahwa antibodi spesifik membutuhkan
waktu untuk mengenal antigen sebelum
dapat memberikan respon.
Sedangkan menurut Tizard (1988),
tingginya antibodi pada ikan yang divaksin
adalah karena rangsangan antigen yang
dimulai dengan masuknya antigen ke dalam
tubuh ikan, kemudian difagosit oleh
makrofag. Makrofag ini akan mengirim
sinyal kepada limfosit sehingga memberikan
respon. Limfosit tersebut akan membesar
dan
berproliferasi
yang
kemudian
membentuk antibodi spesifik sesuai dengan
antigen yang memberikan rangsangan. Hal
yang samaa dikemukakan oleh Anderson
(1974), bahwa vaksin dapat digunakan
untuk menimbulkan antibodi spesifik pada
tubuh ikan karena vaksin biasanya berisi
antigen penyakit yang dapat merangsang
ikan untuk memproduksi antibodi yang aktif
melawan penyakit tersebut.
Dari ketiga perlakuan tersebut,
perlakuan D memberikan titer antibodi
paling tinggi dengan pengenceran 1:128.
Hal ini memperlihatkan bahwa bakteri
Mycobacterium fortuitum pada kepadatan
102 merupakan kepadatan yang terbaik
dalam memicu produksi antibodi spesifik.
Pada saat memasuki masa uji
tantang minggu kesatu (U T1) antibodi
dalam tubuh ikan mengalami penurunan,
dimana untuk perlakuan A (1011 cfu) dan B
(108 cfu) minggau ke dua setelah vaksinasi
aglutinasi terjadi pada pengenceran 1:64,
sedangkan setelah uji tantang aglutinasi
terjadi pada pengenceran 1:32. Perlakuan D
(102 cfu) minggau ke dua setelah vaksinasi
aglutinasi terjadi pada pengenceran 1:128
menjadi 1:64 setelah diuji tantang. Pada
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
perlakuan C (105 cfu) dan E (kontrol) tidak
menunjukkan perubahan jumlah antibodi.
Pada uji tantang minggu ke dua (U
T2) pada perlakuan B (108 cfu) terjadi
penurunan antibodi terlihat dari adanya
perubahan tingkat pengenceran dari 1:16
menjadi 1:08. Sedangkan untuk perlakuan
lainnya tidak mengalami perubahan jumlah
antibodi (Gambar 1). Terjadinya penurunan
antibodi dalam tubuh ikan uji pada masa uji
tantang meperlihatkan bahwa antibodi yang
terbentuk digunkan untuk melawan antigen
yang masuk yaitu Mycobacterium fortuitum.
Hal ini menunjukkan bahwa dosis vaksin
yang diberikan pada saat ikan diberi vaksin
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ikan
dan pada saat di uji tantang kekebalan
tubuh ikan merespon patogen yang masuk
dalam
tubuh
sehinga
ikan
dapat
mempertahankan diri darri serangan
patogen. Sesuai dengan pernyataan
Rukyani et al (1997) bahwa adanya
peningkatan intensitas serangan patogen
akan memicu kebutuhan antibodi.
Dari uraiaan diatas memperlihatkan
bahwa perlakuan A (108 cfu) dan D (102 cfu)
merupakan
dosis
terbaik
dalam
meningkatkan
antibodi,
terlihat
dari
tingginya hasil uji titer antibodi ikan uji
setelah
di
uji
tantang
dengan
Mycobacterium fortuitum. Diantara kedua
perlakuan tersebut yang paling baik adalah
perlakuan D (102 cfu) dimana jumlah
antibodinya tertinggi, sehingga mampu
untuk mempertahankan diri dari serangan
patogen, terlihat dari tingginya tingkat
kelangsungan hidup dan kelangsungan
hidup
relatif
dibandingkan
dengan
perlakuan lainnya masing-masing sebesar
80% dan kelangsungan hidup relatif 71,43
% (Tabel 5 dan Tabel 6).
Pengamatan Diferensial Leukosit
Pengamatan diferensial leukosit
dilakukan dengan menghitung persentase
jenis-jenis leukosit yang berperan dalam
sistem ketahanan tubuh yaitu limfosit,
monosit, dan neutrofil (Gambar 2).
N
M
m
N
a)
b)
L
Gambar 2. Gambar Sel Darah Ikan Gurami (dokumentasi BRPBAT)
a. Monosit (M), b. Limfosit (L), Neutrofil (N)
Pengamatan ini dilakukan sebanyak
5 kali, yaitu pada saat sebelum vaksinasi
(S0), pada masa induksi vaksin (minggu ke1 (S V1) dan minggu ke-2 (S V2)), dan pada
saat minggu ke-1 uji tantang dan minggu
ke-2 setelah uji tantang. Nilai diferensial
leukosit yang diambil merupakan rata-rata
persentasi proporsi tiga jenis sel leukosit
yaitu limfosit, monosit, dan neutrofil dalam
darah. (Tabel 1).
Tabel 1. Limfosit, Monosit dan neutrofil dalam darah
Pengamatan
S0 (sebelum
perlakuan)
S V1 induksi
minggu ke-1
P
erlakuan
(
cfu)
S
0
A
(1011)
B
(108)
C
(105)
Rata-Rata
Li
mfosit (%)
M
onosit (%)
Neu
trofil (%)
85
11
3
77
17
6
81
13
6
63
26
10
31
32
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
(102)
S V2 induksi
minggu ke-2
Uji Tantang
minggu ke-1
(U T1)
Uji Tantang
minggu ke-2
(U T2)
D
E
(kontrol)
A
(1011)
B
(108)
C
(105)
D
(102)
E
(kontrol)
A
(1011)
B
(108)
C
(105)
D
(102)
E
(kontrol)
A
(1011)
B
(108)
C
(105)
D
(102)
E
(kontrol)
Dari hasil pengamatan terhadap
diferensial leukosit ikan uji selama masa
penelitian (Gambar 3), ternyata proporsi
limfosit menunjukkan jumlah yang paling
tinggi pada semua perlakuan dibandingkan
dengan jumlah monosit atau neutrofil.
Menurut Rukyani et al (1997), proporsi
limfosit yang tinggi dikarenakan proporsinya
dalam leukosit besar. Dellman dan Brown
(1989) dalam Martiani (2008) menyatakan
bahwa proporsi limfosit yang tinggi
disebabkan
oleh
fungsinya
dalam
menyediakan zat kebal tubuh. Penjelasan di
atas dapat dilihat dalam Tabel 1 bahwa
setiap perlakuan mengalami peningkatan
(rata-rata 60%) baik setelah ikan disuntik
vaksin dan di uji tantang yang menunjukan
bahwa tubuh ikan merespon dari vaksin
yang diberikan.
Persentase
monosit
semua
perlakuan pada masa uji tantang minggu
ke-1 meningkat dibandingkan masa induksi
vaksin minggu ke-2 kecuali pada kontrol
(monosit dari 7% menjadi 6%). Perlakuan D
(102cfu) menunjukan jumlah monosit
65
33
12
73
20
7
75
22
3
78
17
5
78
11
11
67
18
15
78
17
5
93
5
2
68
28
3
78
16
10
61
23
16
89
7
4
90
6
4
71
26
3
81
12
7
72
16
12
90
6
4
terbanyak (monosit= 23%, neutrofil= 16%)
dari semua perlakuan keadaan tersebut
mengidikasikan bahwa limposit sedang
berkerja sebagai penyedia zat kebal tubuh
dan merangsang monosit memperbanyak
diri dalam melawan patogen yang masuk
kedalam tubuh ikan, jumlah sel darah diatas
sesuai dengan data hasil titer antibodi yang
menunjukan bahwa perlakuan D (102 cfu)
memiliki
serum
terbayak
yang
mempengaruhi sel darah putih ikan
merangsang antibodi spesifik ikan.
Menurut Roberts (1978) dalam
Rukyani et al (1997) peningkatan monosit
terjadi karena fungsinya sebagai makrofag
dan memfagosit benda-benda asing yang
masuk ke dalam tubuh. Monosit berumur
pendek dalam darah, lalu masuk ke dalam
jaringan dan berdiferensiasi menjadi
makrofag
sehingga
jumlah
monosit
berfluktuasi dalam darah. Oleh karena itu
diduga terjadi perlawanan dari sel darah
putih gurami pada saat uji tantang terhadap
bakteri Mycobacterium fortuitum.
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
Peningkatan aktivitas perlawanan
tersebut
menyebabkan
peningkatan
kebutuhan sel-sel fagosit. Jumlah neutrofil
juga meningkat sebagaimana monosit pada
saat uji tantang minggu kedua. Peningkatan
jumlah neutrofil ini berhubungan dengan
respon melawan partikel asing yang masuk.
Menurut Tizard (1988), neutrofil merupakan
garis pertahanan pertama yang bergerak
cepat ke arah bahan asing dan
menghancurkannya.
Sebagaimana
halnya
monosit,
neutrofil juga merupakan sel berumur
pendek sehingga jumlahnya dalam darah
berfluktuasi. Fluktuasi jumlah limposit untuk
perlakuan D (102cfu) sebagai penyedia zat
kebal seiring menurun jumlahya dalam
komponen sel darah putih jumlah
persentase tertinggi monosit dan netrofil
dibandingkan dengan perlakuan yang lain
dalam memproduksi sel untuk menyerang
patogen yang masuk kedalam tubuh ikan,
bisa kita liat dalam tabel diatas (Tabel 1).
Indeks Fagositosis
Dari hasil pengamatan indeks
fagositosis dalam darah ikan uji, terlihat
bahwa rata-rata nilai sel fagosit pada
kelompok
ikan
yang
diberi
vaksin
(perlakuan A (1011 cfu), B (108 cfu), C (105
cfu) dan D (102 cfu)) lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan uji yang tidak
diberi vaksin (E kontrol). Hal ini disebabkan
karena
vaksin
dapat
merangsang
kemampuan fagosit terhadap antigen yang
lebih baik (Gambar 3).
Gambar 3. Fagositosis Antigen oleh Sel Fagosit Fungsional (Sumber Dokumentasi Pribadi)
Untuk
perlakuan
vaksinasi,
perlakuan D (102 cfu) memiliki jumlah sel
fagosit yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan A(1011 cfu), B (108 cfu), dan C
(105 cfu). Hal ini diduga disebabkan
perbedaan kepadatan, pada perlakuan A
(1011 cfu), B (108 cfu) dan C (105 cfu)
toksisitas bakteri yang diinaktivasi kembali
muncul akibat kepadatan yang tinggi,
sehingga selain memproduksi antigen
spesifik Mycobacterium fortuitum juga
menimbulkan efek toksik pada ikan gurami.
Adanya perbedaan nilai sel fagosit antara
ikan yang diberi vaksin dengan ikan yang
tidak diberi vaksin mengindikasikan bahwa
ikan uji yang diberi vaksin memiliki
kemampuan pertahanan spesifik yang lebih
baik dibandingkan dengan ikan uji tanpa
pemberian vaksin (Gambar 5).
Tabel 2. Data Presentasi Sel Fagositosis
Pengamatan
Masa Aklimatisasi
Masa Induksi Vaksin minggu 1
Masa Induksi Vaksin minggu 2
Masa Uji Tantang Minggu ke-1
Masa Uji Tantang Minggu ke-2
32
73
58
64
74
Nilai Sel Fagosit Fungsional pada Tiap
Perlakuan (%)
A
B
C
D
E
32
32
32
32
74
56
71
44
51
52
60
38
59
64
71
30
52
67
82
51
33
34
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
Dari Gambar 5 dapat diketahui jika
indeks fagositosis yang paling baik terdapat
perlakuan D (102 cfu) karena sel-sel darah
putihnya mempunyai respon fagosit yang
paling baik terhadap antigen yang masuk ke
dalam tubuh ikan gurami 71% pada masa
uji tantang minggu ke-1 dan 82% pada
masa uji tantang minggu ke dua. Namun
demikian pada perlakuan A (1011 cfu)
walaupun nilai indeks fagositosisnya tidak
setinggi perlakuan D (102 cfu) tapi
kemampuan sel-sel darah putih dalam
memfagosit antigen masih efektif dalam
menghasilkan tingkat kelangsungan hidup
ikan gurami yang relatif tinggi, karena jika
kita lihat dari hasil titer antibodi perlakuan A
(1011 cfu) pada saat uji tantang memiliki
jumlah serum darah yang hampir sama
dengan perlakuan D (102 cfu). (Gambar 3).
Apabila memperhatikan perlakuan B
8
(10 cfu) dan C (105 cfu) terhadap infeksi
Mycobacterium fortuitum, pada kedua
perlakuan ini sel-sel darah fagosit sudah
terlihat bekerja, namun kemampuan sel
darah putih untuk memfagosit antigen
kurang baik sehingga ikan masih bisa
terserang oleh Mycobacterium fortuitum.
Hal ini menyebabkan pada perlakuan B (108
cfu) dan C (105 cfu) nilai tingkat
kelangsungan hidup yang dihasilkan tidak
setinggi perlakuan A (1011 cfu).
Perlaku
an
A
1
A
2
A
3
B
1
B
2
B
3
C
1
Pada perlakuan E (kontrol), sel
fagosit sama sekali tidak bekerja dengan
baik sehingga jika dilihat dari hasil titer
antibodi serum darah tidak mengalami
perubahan yang menunjukan bahwa tidak
terbentuknya antibodi spesifik pada tubuh
ikan, sehingga ikan gurami mudah sekali
terinfeksi bakteri Mycobacterium fortuitum.
Hasil dari nilai fagositosis di atas
menunjukan
kesesuaian
dengan
uji
sebelumnya yaitu uji diferensial leukosit,
yaitu perlakuan D (102 cfu) memiliki respon
memiliki persentse leukosit yang tertinggi
(Tabel 1) dan memiliki nilai fagositosis sel
dengan persentase tinggi pula (Gambar 5),
hal tersebut menunjukan bahwa junlah sel
darah putih yang teramati memjalankan
fungsi memfagosit bakteri Mycobacterium
fortuitum dengan baik.
Gejala Klinis Ikan Uji Selama Uji Tantang
Perlakuan A (1011 cfu) mengalami
gejala bercak merah pada hari ke-4 setelah
uji tantang (Gambar 4), pada hari ke-11 ikan
mengalami gejala kurang nafsu makan dan
megap-megap di permukaan air dan timbul
gejala exopthalmia (mata menonjol). Hal ini
diduga karena kepadatan bakteri yang
tinggi dapat mengakibatkan toksisitas atau
menimbulkan infeksi bakteri Mycobacterium
fortuitum pada ikan gurami.
Tabel 3 Gejala Klinis dan Respon Makan Ikan Gurame
Gejala Klinis Dan Respon Harian Ikan Gurami Pada Waktu
Uji Tatang
10131-3
4-6
7-9
12
15
1-31a
1-4a
1-4a
1-4a
4b
1a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
1a
1a
1a
2-4b
1-4a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
1-4a
1a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
1a
1a
1-4a
1-4a
2b
1a
1a
1-4a
2-3a
1-34b
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
C
2
C
3
D
1
D
2
D
3
E
1
E
2
E
3
1a
1-4a
1b
1-4a
1-4a
1a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
1a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
1a
1a
1a
1-4a
1-4a
1a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
1a
1-4a
1-4a
1-4a
2-4b
1a
1-4a
1a
1-4a
1-4a
1a
1-4a
2-4a
1-4a
2c
Perlakuan B (108 cfu) memiliki gejala klinis yang rendah. Gejala klinis pada perlakuan ini
muncul pada hari ke-5 dan gejala umum mycobacteriosis muncul pada hari ke-4. Hal ini diduga
karena kepadatan yang masih tinggi dan kemungkinan masih bersifat toksik sehingga antibodi
ikan gurami untuk melawan infeksi dari Mycobacterium fortuitum kurang maksimal.
Gejala klinis yang sangat parah nampak pada perlakuan C (105 cfu) dengan gejala bintik
merah dan mata menonjol yaitu pada hari ke-10, dan gejala umum mycobacteriosis muncul
pada hari ke-6. Antigen yang disuntikan dengan kepadatan tersebut tidak mampu memberikan
rangsangan maksimal terhadap antibodi untuk melawan infeksi Mycobacterium fortuitum.
Perlakuan D (102 cfu) memiliki gejala klinis sangat ringan. Gejala klinis serempak pada
setiap perlakuan dimulai pada hari ke-10 akan tetapi pada akhir uji tantang ikan gurami
menunjukkan perubahan kearah sehat kembali. Antigen yang terkandung dalam vaksin yang
diberikan dengan kepadatan bakteri 102 cfu diduga berhasil merangsang antibodi pada ikan
gurami lebih baik apabila dibandingkan dengan perlakuan lain dalam mencegah infeksi
Mycobacterium fortuitum.
Perlakuan E (kontrol) hari ke-4 setelah uji tantang timbul gejala klinis berupa bercak
merah dan perubahan warna pada bagian badan, kemudian di hari ke-6 timbul bercak merah
pada hampir semua ikan uji. Karena perlakuan ini sama sekali tidak diberikan rangsangan
antigen untuk melawan infeksi Mycobacterium fortuitum.
Semua gejala klinis yang muncul seperti warna ikan menjadi gelap (melanosis), mata
menonjol (exopthalmia), timbul granul (benjolan) pada permukaan tubuh serta pada organ hati
(Gambar 10), limpa dan ginjal, popping eye dan bercak merah sesuai dengan pernyataan
Tappin (2007) dan Irianto (2005).
Penurunan tingkat kelangsungan hidup ikan uji yang merata terjadi mulai dari hari ke-10
sampai dengan hari ke-14 masa uji tantang (Gambar 6). Penurunan tingkat kelangsungan hidup
ikan uji diduga terjadi karena adanya ketidakseimbangan aktivitas bakteri dengan peningkatan
kekebalan tubuh ikan. Aktivitas bakteri lebih kuat dan cepat dibandingkan dengan aktivitas
peningkatan kekebalan alami tubuh ikan, sehingga pertahanan tubuh ikan lemah akibat infeksi
Mycobacterium fortuitum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tizard (1988) bahwa apabila
kecepatan respon imun menghadapi infeksi lambat, maka dapat menyebabkan kematian
sebelum respon imun tubuh dapat mengatasi infeksi.
Walaupun hampir semua perlakuan memiliki gejala klinis, tetapi pada perlakuan D (102
cfu) tidak mengalami gejala serius (mata menonjol, limpa dan ginjal, popping
35
36
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
eye) dengan kata lain vaksin Mycobacterium fortuitum yang diinaktivasi dengan heat kill dengan
kepadatan 102 cfu mampu memberikan respon imun tertinggi diantara semua perlakuan.
Gambar 4. Bercak Merah (Sumber
Dokumentasi Pribadi)
Gambar 5. Perubahan Warna
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
Gambar 6. Popping Eye (Sumber
Dokumentasi Pribadi)
Gambar 7. Granul (benjolan) & Mata
(Sumber
Menonjol
(exopthlmia)
Dokumentasi Pribadi)
Gambar 8. Granul pada
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Uji
Tantang
Hasil
pengamatan
terhadap
mortalitas dan tingkat kelangsungan hidup
ikan gurami setiap hari selama 14 hari pada
masa
uji
tantang
dengan
bakteri
Mycobacterium fortuitum yang diinaktifasi
dengan heatkill 85oC selama 1 jam,
menunjukkan bahwa setiap kepadatan
bakteri memberikan mortalitas dan tingkat
kelangsungan hidup yang berbeda (Tabel
4).
Pada gambar 6 terlihat mortalitas
ikan uji mulai terjadi pada hari ke-4 setelah
uji tantang melalui penyuntikan dengan
bakteri Mycobacterium fortuitum, yaitu pada
Hati
perlakuan A, B, dan E. perlakuan C mulai
terjadi kematian pada hari ke-5 sedangkan
perlakuan D baru terjadi kematian pada hari
ke-10. Pada pengamatan terakhir, yaitu hari
ke-14 jumlah ikan yang mati tertinggi pada
perlakuan E, yaitu sebanyak 21 ekor
sehingga
menghasilkan
tingkat
kelangsunngan hidup terendah sebesar
30%.
Mortalitas yang lebih kecil terjadi
pada perlakuan A (1011cfu), perlakuan B
(108cfu),dan terjadi juga pada perlakuan E
(kontrol). Perlakuan C (105 cfu) lebih besar
terjadi mortalitas pada hari ke 5 dan
perlakuan D (102 cfu) mengalami mortalitas
pada hari ke 10. Semua perlakuan
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
mengalami mortalitas serempak dihari ke
10 sampai akhir pengamatan. Rata-rata
tingkat kelangsungan hidup perlakun A
(1011cfu) yaitu 66,67%, perlakuan B (108cfu)
yaitu 56,67%, perlakuan C (105 cfu) yaitu
53,33%. Rata-rata kelangsungan hidup
tertinggi diperoleh perlakuan D (102 cfu)
yaitu 80% dan rata-rata kelangsungan hidup
terendah terjadi pada perlakuan E (kontrol)
yaitu 30%.
Tabel 4. Molaritas dan Rata-rata Tingkat Kelangsungan Hidup (KH) Ikan Uji Selama Dua
Minggu Masa Uji Tantang.
Mortalitas Ikan Uji Pengamatan Hari keRataPerlakuan
Jumlah Rata KH
11
12 13 14
(%)
10
A
10
66.67
B
13
56,67
C
14
53,33
6
D
80
21
E
30
Keterangan :
KH = Kelangsungan hidup
A = Ikan gurami disuntik oleh Vaksin Mycobacterium fortuitum dengan kepadatan 1011 cfu.
B = Ikan gurami disuntik oleh Vaksin Mycobacterium fortuitum dengan kepadatan 108 cfu.
C = Ikan gurami disuntik oleh Vaksin Mycobacterium fortuitum dengan kepadatan 105 cfu.
D = Ikan gurami disuntik oleh Vaksin Mycobacterium fortuitum dengan kepadatan 102 cfu.
E = Ikan gurami disuntik dengan Shouten broth 0,1 ml
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perbedaan dosis kepadatan bakteri
yang
disuntikkan
tidak
memberikan
perbedaan
yang
nyata
terhadap
kelangsungan hidup ikan uji. Berdasarkan
uji Duncan perlakuan A (1011cfu), B
(108cfu), C (105cfu), dan E (kontrol) tidak
berbeda nyata, namun berbeda nyata
dengan perlakuan D (102cfu). Serta untuk
perlakuan A (1011cfu), B (108cfu), dan C
(105cfu) tidak berbeda nyata antar
perlakuan
tersebut,
tetapi
juga
berbedanyata dengan perlakuan E (kontrol)
(Tabel 5).
Tabel 5. Rata-rata Tingkat Kelangsungan Hidup dan Signifikasi Pemberian Perlakuan
Rata-Rata
Perlakuan
Sig(0,05)
KH (%)
A (1011cfu)
66,67
ab
B (108cfu)
C (105cfu)
56,67
53,33
ab
ab
D (102cfu)
80
b
E (kontrol)
30
a
Keterangan : Setiap notasi hurup yang sama menunjukan tidak adanya perbedaan antar
perlakuan yang memeiliki notasi sama
Pada Tabel 5 terlihat bahwa tingkat
kelangsungan hidup pada perlakuan D
(102cfu) lebih besar dibandingkan dengan
perlakuan lainnya, yaitu sebesar 80% hal ini
mengindikasikan
bahwa
vaksin
dari
Mycobacterium fortuitum dengan kepadatan
102cfu merupakan kepadatan yang dapat
memicu imunitas ikan terhadap serangan
Mycobacterium fortuitum diperlihatkan dari
titer antibodi yang tinggi, kadar limposit
tertinggi, gejala klinis yang lebih ringan
dibanding perlakuan lainnya.
Berdasarkan pengamatan terhadap
tingkat Kelangsungan Hidup Relatif (KHR),
(Tabel 6). Perlakuan D (102 cfu) mempunyai
tingkat kelangsungan hidup relatif paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang
lain yaitu 71,43%. Hal ini menunjukkan
37
38
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
kepadatan bakteri 102 cfu dapat memicu
imunitas ikan uji pada level optimal dan
efektif sesuai dengan pendapat Ellis (1988)
yang menyatakan suatu vaksin dikatakan
efektif apabila nilai KHR ≥ 50%, tingkat
kematian pada kontrol paling sedikit 30%,
sedangkan tingkat kematian pada ikan yang
divaksin harus dibawah 24%. Perlakuan A
(1011 cfu) juga merupakan vaksin dengan
kepadatan yang efektif dalam memicu
imunitas
ikan
uji
melawan bakteri
Mycobacterium
fortuitum
tapi
jika
dibandingkan dengan perlakuan D (102 cfu)
pada beberapa paremeter memiliki nilai
persentase lebih rendah yaitu parameter
diferensial leukosit (Tabel 1), indeks
fagositosis (Tabel 2), gejala klinis (Tabel 3),
dan rata-rata kelangsungan hidup (Tabel 6).
Tabel 6. Rata-Rata Tingkat Kelangsungan Hidup dan Kelangsungan Hidup Relatif (KHR) Ikan
Uji Setelah Uji Tantang.
Perlakuan
Rata-Rata KH (%)
KHR (%)
A (1011 cfu)
B (108 cfu)
66,67
56,67
53,39
38,1
C (105 cfu)
53,33
33.33
D (10 cfu)
80
71,43
E (kontrol)
30
-
2
Kualitas Air
Nilai parameter kualitas air media
pemeliharaan selama penelitian berada
pada kisaran yang sesuai dengan untuk
pemeliharaan ikan gurami (Osphronemus
gouramy) (Tabel 7). Hal ini menunjukkan
bahwa hasil penelitian yang diperoleh
disebabkan adanya perbedaan perlakuan
dan bukan merupakan pengaruh dari
kualitas air. Dimana tertera dalam hasil
pengukuran kualitas air, terlihat semua
parameter yang diukur dinilai baik karena
suhu, pH, dan ammonia terlarut tidak
melebihi ataupun kurang dari kisaran
optimum dimana keadaan ideal ikan gurami
hidup baik dalam media terkontrol ataupun
di alam bebas.
Tabel 7. Kisaran Kualitas Air Media Pemeliharaan dan Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama
Penelitian
Parameter
Kisaran
Satuan
Optimum
Suhu
24-27
°C
24-28*
pH
6,5-7
6,5-8**
Ammoni
0,041 –
< 0,52
ppm
a
0,257
***
Keterangan :
Suhu Optimal
= 24-28°C (Susanto 1999)*
pH Optimal
= 6,5-8 (M. Sigantang & B. Sarwono 2005)**
Ammonia Maksimal
= 0,52 (Boyd 1990)***
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diambil kesimpulan bahwa vaksin dari
bakteri Mycobacterium fortuitum kepadatan
102 cfu yang diinaktivasi dengan heat kill
merupakan kepadatan yang paling efektif
dalam memicu imunitas gurami terhadap
bakteri Mycobacterium fortuitum untuk
mencegah penyakit Mycobacteriosis pada
ikan Gurami (osphronernus gouramy)
dengan nilai kelangsungan hidup 80%,
kelangsungan hidup relatif 71,43%, nilai
indeks fagositosis dan diferensiasi leukosit
yang tinggi serta gejala klinis yang ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson., D. P. 1974. Fish Immunology.
TFH Publication Inc, Hongkong. 239
hlm.
Efektivitas Vaksin Dari Bakteri Mycobacterium fortuitum Yang Diinaktivasi Dengan
Pemanasan Untuk Pencegahan Penyakit Mycobacteriosis Pada Ikan Gurami
Bangkit, I. 2011. Efektivitas Vaksin
Mycobacterium
Fortuitu
Yang
Diinaktivasi Dengan Formalin Untuk
Pencegahan Mycobacteriosis Pada
Ikan
Gurami
(Osphronemus
Skripsi.
Jurusan
Gouramy).
Perikanan Fakultas Perikanan dan
Ilmu
Kelautan.
Universitas
Padjadjaran. Jatinangor. 58 hal.
Lestari, N. 2010. Efektivitas Teknik
Inaktivasi Bakteri Dalam Pembuatan
Vaksin Streptococcus agalactiae
Untuk
Pencegahan
Penyakit
Streptococciasis Pada Ikan Nila.
Skripsi
(Tidak
dipublikasikan).
Jurusan
Perikanan
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Padjadjaran. 69 hal.
Bratawijaja, K.G, 1991. Imunologi Dasar.
Edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 218
hal
Boyd. 1990. Water Quality in Ponds for
Aquaculture
Agricultural
Auburn
Eksperiment
Station.
University. Alabama. 482 p.
Martiani, I. 2008. Pengaruh Pemberian
Vaksin Koi Herpes Virus (KHV) Dari
Donor Inang Terhadap Respon
Kekebalan
Tubuh
Ikan
Mas
(Cyprinus carpio Linn). Skripsi.
Jurusan
Perikanan
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
70 hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan.
Yayasan
Pustaka
Nusatama,
Yogyakarta. 163 hlm
Noga, E.J. 1995. Fish disease : Diagnosis
And Treatment. Mosby Elektonic
publishing Co. Missouri. 367 hlm.
Ellis, A.E. 1988. General Principles of Fish
Vaccination.
Fish
Vaccination.
Academic Press Inc, San Diego. 255
p
Rukyani, A., E. Silvia., A. Sunarto., dan
Taukhid. 1997. Peningkatan Respon
Kebal Non-Spesifik pada Ikan Lele
sp.)
dengan
Dumbo
(Clarias
Pemberian
Imunostimulan
(βGlucan). Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Volume 3 Nomor 1.
Ferdianto. 1993. Efisiensi Pemakaian
Vaksin
Bakteri
Aeromonas
hydrophila Pada Benih Ikan Lele.
Skripsi Sarjana. Universitas Negeri
Jakarta.
Fitriyanti, M. 2008. Pembuatan Heat Killed
Vaccine Aeromonas hydrophila dan
Uji Pengaruhnya Terhadap Imunitas
Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Melalui
Metode
Perendaman.
Skripsi. Institut Teknologi Bandung.
74 hlm.
Gasperz,V. 1991. Metode
CV.
Percobaan.
Bandung.442 hlm.
Rancangan
Armico,
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Telestoi.
Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. 256 hlm.
Sigantang, M. dan B. Sarwono. 2005.
Budidaya
Gurami.
Penebar
swadaya. Jakarta. 72 hal.
Sumiarti, H. 2000. Pengaruh Antibiotik
Neomycin Terhadap Kelangsungan
Hidup Ikan Nila GIFT dalam
Menanggulangi
Strepcocciasis.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kalautan. UNPAD. Bandung. 84 hlm
Supriyadi, H. 1988. Vaksinasi Benih ikan
Lele (Clarias batrachus L) dengan
cara perandaman dalam larutan
Aeromonas
hydrophila.
vaksin
Buletin Penelitian Perikanan Darat.
Vol. 26 (4): 550-553.
Supriyadi, H., P. Taufik, dan Taukhid. 2003.
Karakterisasi
Patogen,
Inang
39
40
Raden Budi Setiawan, Dulm’iad Iriana dan Rosidah
Spesifik,
dan
Sebaran
Mycobacteriosis. Jurnal Penelitian
Indonesia Vol. 9 No. 2 Th. 2003. p
39-45.
Susanto, H. 1999. Budidaya Ikan Gurame.
Kanisius, Yogyakarta. 115 hal.
Tappin, R. A. 2007. Mycobacteriosis In
Rainbowfish, (online), (http://PetClub
UK
–
Mycrobacteriosis
in
Rainbowfish.htm, diakses 9 Maret
2010).
Taukhid dan D. Bastiawan.
1993.
Kekebalan Bawaan Pada Benih Ikan
Lele (Clarias Sp.) Hasil Pemijahan
Induk
Yang
Divaksin
Anti
Aeromonas hydrophilla. Proseding
Seminar Hasil Perikanan Air Tawar.
Tizard,
I. 1988. An Introduction to
Vetenrinary
Immunology.
Penerjemah: P. Masduki dan S.
Hadjosworo. Pengantar immunologi
veteriner. Universitas Airlangga.
Surabaya. 197 hlm.
Utami, Endang A.B. 1992. Penghancuran
Sumber Sel Vaksin Terhadap
Efektivitas
Vaksin
Aeromonas
Skripsi
Sarjana.
hydrophila.
Universitas Negeri Jakarta.
Download