Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di

advertisement
Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 79-97
ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama:
Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di Indonesia dengan
Perspektif Filsafat Politik Jürgen Habermas
ALEXANDER AUR
Dosen Religiositas dan Etika
Universitas Multimedia Nusantara dan KALBIS Institute
Surel: [email protected]
Diterima: 13 Februari 2014
Disetujui: 4 April 2014
ABSTRACT
Enlightenment (Aufklärung) is not entirely successful confining religion to be a problem for private realm.
Religion still exists in the public sphere. Today, religion is pushed into the democratic constitutional state.
Jürgen Habermas argues that a dialogue between democratic state and religion is important today. Democratic state has rationality when religion has a place in the deliberation process. Thus, religion gives the
normative principles for the democratic state. Yet religion can not be the basis for a democratic state. Therefore, it is beneficial for democracy if religion should translate its metaphysical language into the language
espoused by the secular democratic state. Religious metaphysical assumptions must be tested by the secular
reason and the institutional translation proviso. By meeting the terms of the secular reason, democratic
state and religion can learn from each other and do dialogue.
Keywords: negara hukum demokratis, tindakan komunikatif, rasio prosedural, agama rasional,
situasi epistemik pluralitas.
dirinya, dan sekarang merangsek ke ruang
publik dalam berbagai bentuk. Terorisme
Dalam sejarah politik dunia, khususnya di
berwajah agama, partai-partai politik berbenua Eropa, setelah kelahiran Pencerahan
basis agama, gerakan-gerakan kemanusia­
(Aufklärung) yang mengusung rasio sekuan berbasis spiritualitas lembaga-lembaga
lar, agama didomestifikasi menjadi urusan
agama, gerakan pembaharuan politik berprivat, dan dilenyapkan dari ruang publik. nuansa agama merupakan beberapa contoh
Meski demikian, setelah sekian lama dido- konkrit agama yang eksis di ruang publik.
mestifikasi, Pencerahan tidak sepenuhnya
Fenomena domestifikasi agama dan
berhasil mengurung agama dalam ruang merangseknya agama ke dalam ruang puprivat. Alih-alih “mematikan” agama de­ blik merupakan fenomena yang berlang­
ngan mendomestifikasikannya, yang terjadi sung dalam bingkai hubungan agama dan
malah sebaliknya: agama memetamorfosis negara. Parakitri T. Simbolon memetakan
Pendahuluan
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 79
4/24/2014 10:01:20 AM
80
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
tiga pola hubungan agama dan negara (Parakitri T. Simbolon dalam JB. Kristanto dan
Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 2002: 430),
yakni integral simetris, integral asimetris,
dan sipil. Dalam pola integral simetris hubungan agama dengan negara tidak dipisahkan, keduanya bersatu. Pola ini sering
disebut theocracy. Dalam pola integral asimetris, hubungan antara agama dengan
negara bisa berbentuk “agama dalam negara” atau “negara dalam agama.” Pada bentuk “agama dalam negara”, agama tetap
harus tunduk pada kekuasaan negara meskipun agama mempunyai pengaruh yang
besar. Pada bentuk “negara dalam agama”,
negara tunduk pada kekuasaan agama meskipun negara mempunyai pengaruh yang
besar. Sedangkan dalam pola sipil, berdasarkan format formal negara dan agama
dipisahkan tetapi pada format praktik satu
agama atau lebih yang dominan.1
Negara hukum demokratis dan agama masing-masing mempunyai tujuan.
Dengan bertumpu pada kedaulatan rakyat,
nujuan negara hukum demokratis adalah
membentuk tatanan sosial demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan hidup para
warga negara di dunia ini. Dengan kata
lain, alasan adanya sebuah negara terletak
pada usaha manusia untuk membentuk
sebuah tatanan sosial, dan tatanan itu diatur dengan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia untuk mencapai tujuan
hidup manusia di dunia saja. Sedangkan
tujuan agama adalah mengarahkan para
pemeluknya (umat beriman) untuk memperoleh kesalehan hidup di dunia ini, dan
1
VOL II, 2014
kesalehan itu sebagai antisipasi bagi kehidupan setelah kematian (hidup di akhirat). Meskipun agama mempunyai tujuan
yang berbeda, tetapi bukan berarti agama
berada di luar negara hukum demokratis.
Agama merupakan salah satu unsur dalam negara hukum demokratis. Itu artinya,
agama turut berperan secara aktif dalam
menguatkan negara hukum demokratis.
Tetapi problem yang sering kali terjadi
adalah konflik antara agama dengan negara hukum demokratis. Tidak jarang, konflik yang terjadi bersifat saling menaklukkan satu sama lain. Hal yang terjadi pada
akhirnya adalah agama takluk di hadap­
an negara atau negara takluk di hadapan
agama. Atau sekurang-kurangnya dari sisi
negara, aparatus negara ragu-ragu dalam
menyikapi secara tegas relasi konfliktual
tersebut. Relasi konfliktual yang meng­
arah pada penaklukkan ini tidak sehat bagi
demokrasi itu sendiri. Demokrasi sebagai
bentuk dan cara berpolitik, yang di dalamnya semua unsur dimungkinkan berpartisipasi-aktif membangun hidup bersama,
maka upaya-upaya penaklukkan terhadap
demokrasi mesti diantisipasi dan diatasi
oleh semua unsur.
Agama dengan klaim metafisiknya mem­
punyai kecenderungan untuk menakluk­
kan demokrasi. Supaya tidak menjadi
“duri dalam daging” demokrasi serta tidak
melumpuhkan demokrasi dengan klaimklaim metafisiknya, agama mesti mampu
berkomunikasi dengan negara hukum
de­mokratis. Komunikasi dapat berlang­
sung bila, bahasa agama ditranslasikan ke
Parakitri T. Simbolon memberikan contoh negara yang menganut tiga pola hubungan negara dan agama tersebut. Negara-negara yang menganut integral simetris antara lain Vatikan, Tibet sebelum dikuasai Tiongkok, Iran
di bawah Khomeini, dan mungkin Arab Saudi. Negara-negara yang menganut pola integral asimetris antara lain
mulai dari sangat lunak sampai keras seperti Inggris dan Pakistan. Negara-negara yang menganut pola sipil dengan
variasinya masing-masing, antara lain Malaysia, Brunei, Filipina, dan Indonesia. Malaysia dan Brunei menetapkan
adanya agama negara tetapi tetap menjamin hak-hak agama lain. Filipina dan Indonesia mengakui pluralitas agama
dengan satu agama yang dominan.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 80
4/24/2014 10:01:20 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
dalam bahasa negara hukum demokrasi.
Mengapa agama harus mentranslasikan
bahasanya ke dalam bahasa negara hukum
demokratis? Uraian ini akan menjawab
pertanyaan tersebut. Uraian didasarkan
pada pemikiran Jurgen Habermas tentang
agama dalam negara hukum demokratis.
Pembahasan berikut berpijak pada tesis
ini: agama dan negara hukum demokratis
dapat saling berdialog hanya jika agama
mengubah dirinya dari agama mitis menjadi agama rasional dan negara hukum
memberi ruang (kesempatan) bagi agama
untuk berdeliberasi.
Tulisan ini terbagi dalam beberapa bagian. Pertama akan diuraikan upaya Habermas melampaui positifikasi rasio sekular
oleh Pencerahan (Aufklärung).2 Upaya Habermas ini juga mendasari optimismenya
bahwa rasio sekular merupakan proyek
modernitas yang belum tuntas. Kedua, akan
diuraikan teori Habermas tentang tindak­
an komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Ketiga, akan disajikan
pemikiran Habermas tentang agama di
dalam negara hukum demokratis. Keempat,
akan disampaikan potret deliberasi politik
berbasis agama di Indonesia.
Dalam pemikirannya tentang posisi
agama dalam negara hukum demokratis,
Habermas menempatkan pokok itu dalam
bingkai teorinya tentang tindakan komunikatif (communicative action), etika diskursus
(discourse ethics), dan demokrasi deliberatif.
Oleh karena itu, artikel tentang pemikiran
Habermas mengenai agama ini ditempat-
ALEXANDER AUR
81
kan dalam bingkai teori Habermas tentang
tindakan komunikatif, etika diskursus, dan
demokrasi deliberatif. Ada dua alasan perihal penempatan itu: pertama, supaya kita
dapat memahami pemikiran Habermas tentang status sosiologis-politik agama secara
tepat, utuh, dan tidak keluar dari arena pemikirannya secara keseluruhan. Kedua, supaya kita bisa menimba inspirasi dari Habermas terutama tentang keberadaan dan
peran agama atau politik berbasis agama
dalam konteks perpolitikan di Indonesia.
1. Rasio Komunikatif: Upaya Habermas
Melampaui Rasio Instrumenal
Sebelum memaparkan pemikiran Haber­
mas tentang rasio komunikatif, terlebih
da­hulu digambarkan secara singkat kemunculan ilmu pengetahuan modern.
Paparan tentang hal itu didasarkan pada
analisis yang dibuat Francisco Budi Hardiman (1990, 22-26). Dalam analisisnya, Budi
Hardiman mengatakan ilmu pengetahuan yang mendasarkan posisinya pada
ke­sanggupan rasio manusia lahir untuk
memeroleh pengetahuan. Dari tujuan itu,
ilmu pengetahuan melakukan positivikasi
rasio sehingga menjadi rasio instrumental.
Positivikasi dilakukan oleh para filsuf dan
ilmuwan yang beraliran positivisme.3
Pencerahan (Aufklärung) menjadi titik
awal bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu pengetahuan
modern, rasio manusia menjadi acuan utama untuk memeroleh pengetahuan. Dalam
filsafat modern itu sendiri, terdapat dua
P��������������������������������������������������������������������������������������������������������
ara eksponen Mazhab Frankfürt generasi pertama, seperti Adorno dan Horkheimer mencemaskan bahwa Pencerahan telah menggiring rasio menjadi sangat instrumental.
3
Francisco Budi Hardiman mencatat bahwa meskipun positivisme yakin bahwa pengetahuan yang sahih adalah
pengetahuan yang berdasarkan fakta objektif. Dengan menyingkirkan pengetahuan yang melampaui fakta, positivisme mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika, karena ontologi menelaah apa yang melampaui fakta indrawi.
Meski demikian, positivisme terutama ilmu-ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, menerima warisan ontologi
atau metafisika dalam dua hal. Pertama, ilmu-ilmu positif mewarisi sikap teoritis murni sebagai metodologi. Kedua,
ilmu-ilmu positif masih menyimpan pengandaian dasar ontologi bahwa struktur dunia dan struktur masyarakat
tidak tergantung dari subjek yang mengetahuinya.
2
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 81
4/24/2014 10:01:20 AM
82
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
blok besar yakni rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme menekankan bahwa
pengetahuan murni dapat diperoleh melalui kemampuan rasio manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, pengetahuan bersifat a
priori. Sedangkan empirisisme menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris.
Oleh karenanya, pengetahuan bersifat a
posteriori.
Dalam perkembangan selanjutnya, pe­
ngetahuan empiris-analitis menjadi ilmu
alam yang direfleksikan secara filosfis sebagai pengetahuan yang benar mengenai realitas. Pada titik ini ilmu alam dikembangkan sebagai teori murni dengan bantuan
rasionalisme serta empirisisme. Para ilmuwan alam pun memahami alam sebagai
sebuah kosmos dengan seluruh hukumnya
yang teratur, tertib, dan tetap.
Dari rahim filsafat empirisme, kemudian lahir positivisme yang dirintis oleh
Auguste Comté. Bagi positivisme, fakta objektif merupakan pengetahuan yang benar.
Positivisme tidak percaya pada ontologi
atau pengetahuan yang melampaui fakta.
Dari positivisme inilah lahir pula sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sosial. Positivisme dalam ilmu sosial mengandung
tiga pengandaian yang saling bertautan.
Pertama, prosedur metodologis ilmu alam
dapat diterapkan secara langsung pada
ilmu sosial. Artinya, subjektivitas seperti
kepentingan serta kehendak manusia sama
sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku
manusia yang menjadi objek yang diamati.
Dengan demikian, perilaku manusia sebagai objek ilmu pengetahuan setara dengan
dunia alamiah. Kedua, hasil penelitian dirumuskan ke dalam ‘hukum’ sama layaknya
dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial tidakbisa-tidak bersifat teknis yang murni instrumental.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 82
VOL II, 2014
Positivisme logis mendapat kritik keras dari Mazhab Frankfürt yang dikenal
dengan sebutan Teori Kritis. Para eksponen Teori Kritis generasi pertama antara
lain T.W. Adorno dan Horkheimer. Mereka
berpendapat bahwa positivisme logis me­
rupakan saintisme. Pencerahan telah membuat manusia menghadapi alam dengan
kalkulasi. Pencerahan melahirkan konsep
rasionalitas yang positivistik. Rasionalitas pencerahan adalah rasio instrumental
(Zweckrastionalität). Pencerahan membuat
rasio kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Di tangan positivisme, rasio menjadi instrumental, tukang atau alat untuk
kalkulasi, verifikasi, dan pelayan klasifikasi. Bagi Adorno dan Horkheimer, pendakuan Pencerahan akan netralitas rasio
instrumental, justru menunjukkan bahwa
karena netralitasnya itulah, rasio instrumental tunduk pada berbagai tujuan dan
dapat dipakai oleh siapa saja. Ciri instrumental dalam cara berpikir manusia tampak dalam perhatian yang ketat terhadap
prinsip-prinsip kerja rasio sehingga dapat
diterapkan untuk tujuan apa saja yang dikehendakinya. Dalam situasi yang demikian, rasio instrumental dapat menjadi alat
untuk memanipulasi.
Bagi Mazhab Frankfürt, rasionalitas sebagaimana diperjuangkan pencerahan itu
tidak memeroleh kemajuan apapun, dan
menampakkan kembali mitos yang sebelumnya disingkirkan. Rasio pencerahan
justru menciptakan kembali mitos dengan
berorientasi pada hal di luar dirinya yakni
ekonomi dan politik. Rasio lalu tunduk terhadap ekonomi dan politik. Pola kerja rasio
pencerahan itu sama dengan/atau merupakan peniruan (mimesis) pola masyarakat
tradisional yang tunduk terhadap sesuatu
yang metafisik di luar dirinya. Alih-alih
netral dan tak memikirkan tujuan pada
dirinya sendiri, rasio pencerahan justru
4/24/2014 10:01:20 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
merupakan pengulangan atas mitos lama
(Hardiman, 1990: 30, 64-65).4
2. Tindakan Komunikatif
Sebagai generasi baru Teori Kritis, Habermas optimis bahwa rasionalitas merupakan proyek modernitas yang belum tuntas.
Ia bermaksud mengatasi positivikasi rasio
oleh positivisme logis dengan teorinya tentang rasio komunikatif (Hardiman, 1990:
86).5 Dalam teori tindakan komunikatif,
Habermas membedakan antara tindakan
strategis dengan tindakan komunikatif.
Secara fundamental, teori tindakan komunikatif terletak dalam pembedaan dua
konsep rasionalitas yang menuntun pengetahuan kepada tindakan. Dua konsep rasionalitas yang dimaksud adalah rasionalitas
instrumental dan rasionalitas komunikatif.
Kedua konsep itu merupakan bagian dari
tindakan. Rasionalitas instrumental adalah
rasionalitas yang mengarahkan tindakan
untuk mencapai berbagai tujuan yang telah ditetapkan secara pribadi. Rasionalitas
ini akan bersifat instrumental bila diarahkan kepada alam, misalnya dalam bentuk
kerja. Rasionalitas ini juga bersifat strategis
apabila diarahkan untuk memengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat oleh
pihak lain, seperti dalam bentuk hubung­
an dominasi. Tindakan manusia di bawah
kendali rasionalitas instrumental bersifat
mengobjekkan.
ALEXANDER AUR
83
Sedangkan rasionalitas komunikatif
adalah rasionalitas yang mendasari tindak­
an untuk saling pengertian di antara dua
orang subjek atau lebih yang sedang bertukar pikiran untuk mencapai tafsir yang
harmonis perihal dunia. Jika tindakan strategis adalah pemanfaatan orang lain demi
kepentingan subjek tertentu, maka sebaliknya tindakan komunikatif didasarkan atas
perbincangan argumentatif yang bebas,
tanpa dominasi, yang bermuara pada kesepakatan bersama. Perbedaan mendasar
keduanya adalah tindakan strategis bersifat monologis, sedangkan tindakan komunikatif bersifat dialogis (Habermas, 1996:
2-3).
Konstruksi konseptual Habermas me­
ngenai tindakan komunikatif tersebut tidak
terlepas dari konsepnya tentang rasionalisasi dalam bidang komunikasi (interaksi).
Baginya, suatu tindakan komunikatif bersifat rasional apabila dalam dan melalui
tindakan itu, manusia mampu mengura­
ngi berbagai penindasan dan mengura­ngi
kekerasan pada tingkat pribadi-pribadi
yang menjadi partisipan dalam komunikasi, sehingga pribadi-pribadi bisa mengembangkan diri. Dengan kata lain, melalui
tindakan komunikatif rasional, setiap pribadi terbebaskan dari berbagai penindasan
dan kekerasan. Rasionalisasi yang sesungguhnya bagi Habermas adalah rasionalisasi humanis, dan hal itu seharusnya ditem-
Teori Kritis lahir di tengah ketegangan dialektis di antara ilmu pengetahuan khususnya sosiologi dan filsafat. Teori
Kritis tidak berhenti pada fakta objektif yang sebagaimana yang diagung-agungkan oleh positivisme logis. Realitas
sosial bagi Teori Kritis merupakan fakta sosiologis yang di dalamnya terdapat aspek-aspek transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian, Teori Kritis dapat melakukan dua macam kritik yaitu kritik transendental
dan kritik imanen. Kritik transendental berupaya menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Kritik imanen merupakan upaya menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu
yang berpengaruh terhadap pengetahuan manusia. Dalam bingkai dua kritik itu, Teori Kritis merupakan Kritik
Ideologi.
5
Generasi pertama Teori Kritis memahami praksis (praxis) sebagai kerja (Arbeit). Konsep praksis merupakan sebuah
kategori dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang bermaksud menunjukkan hubungan antara teori dan praktik. Praktik merupakan perwujudan konkrit dari teori. Filsafat ilmu pengetahuan bermaksud menunjukkan hubungan antara rasionalitas dalam teori dan rasionalitas dalam praktik. Berbeda dengan generasi pertama Teori Kritis, Habermas
membedakan antara kerja dengan interaksi atau komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua dimensi dari
praksis.
4
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 83
4/24/2014 10:01:20 AM
84
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
puh melalui rasio komunikatif (Hardiman,
1990: 98). Humanisasi dicapai bukan melalui positivikasi rasio manusia seperti yang
dilakukan positivisme melainkan melalui
tindakan komunikatif (Deflem, 1996: 2-3).6
Bagi Habermas, rasio modern tetap
mempunyai dimensi emansipatif serta dapat dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, ia mengajukan konsep mengenai rasio prosedural. Rasio ini tidak terpisah dari
rasio komunikatif. Melalui rasio prosedural, berbagai keputusan atau kesepakatan
yang merupakan buah dari proses-proses
rasional mendapat kesahihannya. Dalam
rasio prosedural, prosedur diakui secara bersama-sama oleh semua orang yang
terlibat aktif dalam proses-proses rasional
(intersubjektif).7 Rasio prosedural inilah
yang kelak menjadi “jiwa” dari demokrasi
deliberatif.
Relasi antarmanusia menurut Habermas bersifat rasional karena semua orang
yang terlibat dalam relasi itu bermaksud
agar terjadi kesalingpahaman certa bermuara pada kesepakatan bersama. Artinya,
setiap tindakan yang bertujuan mencapai
kesepakatan bersama merupakan tindakan
komunikatif. Dengan demikian, tindakan
komunikatif mengandung rasio komunikatif. Kesalingpahaman dan kesepakatan
sebagai tujuan dari tindakan komunikatif
merupakan daya kerja dari rasio komunikatif. Tujuan tindakan komunikatif bisa
tercapai jika rasio komunikatif bekerja dalam tindakan komunikatif.
Habermas menekankan bahwa tindak­
an komunikatif yang rasional harus bebas dari tekanan, paksaan, dan dominasi
VOL II, 2014
sehingga semua orang yang terlibat aktif
di dalam komunikasi menerima kesepakatan yang dihasilkannya. Dengan demikian, kesepakatan itu memiliki legitimasi kebenaran, kejujuran, dan ketepatan.
Komunikasi yang demikian terjadi dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt). Dalam
dunia-kehidupan, hal-hal yang dianggap
benar diterima begitu saja tanpa dipersoalkan. Selain itu, dalam dunia-kehidupan,
anggota-anggota masyarakat sama-sama
membangun dan mengedepankan solidaritas. Apakah hubungan antara dunia-kehidupan dan tindakan komunikatif? Bagi
Habermas, mengikuti analisis Budi Hardiman, dunia-kehidupan memungkinkan
terjadinya tindakan komunikatif. Duniakehidupan menjadi basis bersama bagi
para pelaku tindakan komunikatif. Oleh
karenanya, dunia-kehidupan membantu
pencapaian sebuah kesepakatan (konsensus). Dalam perkembangan lebih lanjut,
masyarakat berkembang menjadi modern.
Masyarakat modern adalah masyarakat
yang tersistematisasi. Masyarakat yang tersistematisasi itu tampak dalam sistem-sistem yang ada dalam masyarakat modern,
yakni sistem pasar (uang) dan sistem kekuasaan negara. Habermas mengeksplisitkan
perbedaan dunia-kehidupan dan sistem
dengan istilah “solidaritas” untuk duniakehidupan (Lebenswelt) dan “sistem” untuk
“uang” dan “kuasa”. Solidaritas, uang, dan
kuasa adalah tiga komponen penyangga
integritas masyarakat modern. Yang ideal
bagi Habermas adalah keseimbangan antara sistem dan dunia-kehidupan. Hubungan
antara dunia kehidupan, pasar, dan negara
Habermas juga mencatat bahwa untuk menghindari salah paham (misunderstanding) dalam tindakan komunikatif,
dan untuk memperoleh pemahaman bersama, maka para partisipan komunikasi tidak bisa hanya mengandalkan
tindakan berbicara (speech-act) melainkan juga harus memerhatikan bentuk-bentuk tindakan lain yang tidak linguistik seperti tanda-tanda dan simbol-simbol.
7
Penjelasan tentang pengertian rasio prosedural sangat menarik disampaikan oleh F. Budi Hardiman dengan contoh
di bidang peradilan yang dipaparkan dalam Hardiman, 2009: 32-33.
6
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 84
4/24/2014 10:01:20 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
ALEXANDER AUR
85
berlangsung secara seimbang (Hardiman, tuan prinsip D mengenai klaim kesahihan
2009: 38-41).
universalisasi norma.
2.1. Etika diskursus
Dalam bingkai opitimismenya pada pro­
yek modernitas yang segera dituntaskan,
Habermas berusaha membangun sebuah
masyarakat yang komunikatif (masyarakat
kosmopolit). Masyarakat yang demikian
adalah tujuan universal masyarakat. Oleh
karena itu, Habermas tidak melepaskan
konsepnya dari fakta pluralisme dalam
masyarakat modern. Untuk memperkuat
masyarakat komunikatif, Habermas meng­
ajukan proposal berupa etika diskursus untuk menata kembali norma-norma hidup
bersama (Stephen, 1995: 12).8
Etika diskursus (Regh, 1994; 161-166),
menuntut dua prinsip pokok yang harus
diberlakukan agar norma sungguh-sungguh bersifat moral. Pertama, norma harus
dapat diterima oleh semua orang atau berlaku umum. Prinsip ini disebut prinsip universalisasi (prinsip U). “Semua pihak yang
(mungkin akan) terkena dampak kepatuhan hukum atas norma dapat menerima
konsekuensi dan efek sampingnya, yang
diharapkan dapat memenuhi kepentingan
setiap orang,” demikian ketentuan prinsip
U mengenai kesahihan sebuah norma. Kedua, kepastian akan universalisasi norma
itu ditempuh melalui diskursus (prinsip
D). “Norma-norma hanya dapat diklaim
sebagai sahih kalau mendapat persetujuan dari semua peserta yang kemungkinan
terkena dampak dari norma itu dalam sebuah diskursus praktis,” demikian keten-
2.2. Negara Hukum Demokratis
Habermas melihat bahwa ciri dasar kehidup­
an bersama manusia adalah komunikasi.
Oleh karena itu, demokrasi harus menjadi
medium bagi perwujudan berbagai struktur komunikasi dalam negara hukum modern. Dengan demikian, negara hukum
dapat mendekati asas-asas normatif dari
dalam dirinya sendiri.9 Model demokrasi
yang tepat untuk itu adalah demokrasi
deliberatif. Model demokrasi ini sesuai
dengan prinsip rasio prosedural dan etika
diskursus yang telah dikemukakan di atas.
Fokus utama demokrasi deliberatif
adalah prosedur-prosedur yang ditetapkan
untuk menghasilkan sebuah kesepakatan.
Keputusan-keputusan politis atau kesepakatan-kesepakatan politis yang dicapai
harus melalui prosedur-prosedur yang rasional. Dalam prosedur yang rasional, para
warga negara atau kelompok-kelompok
kecil yang mempunyai kepentingan dalam
negara dapat memperjuangkan kepenting­
an-kepentingannya. Berbagai kepentingan
warga negara dideliberasi berdasarkan
prosedur-prosedur rasional. Melalui pro­
ses deliberasi itulah, sebagian kecil warga
negara yang tidak sepakat dengan suara
mayoritas, bisa menerima dan mematuhi
pendapat-pendapat yang disepakati oleh
sebagian besar warga negara sebagai suara
mayoritas. Dalam proses deliberasi, semua
orang yang terlibat mempunyai kesetaraan
sebagai warga negara.
Etika diskursus yang diajukan Habermas juga merupakan upayanya untuk mengatasi imperatif kategoris dalam
Etika Kant yang lebih menekankan prosedur individual atau etika yang dilakukan secara individual. Habermas
meragukan tesis Kant bahwa sebuah norma dapat berlaku secara universal apabila dipastikan oleh suara hati setiap
pribadi. Tesis Kant ini sulit diterapkan dalam masyarakat yang pluralistik.
9
Tentang asas-asas normatif itu, dikemudian hari saat berdiskusi dengan Ratzinger, hal itu diungkapkan kembali
ketika Habermas menggali akar-akar religius rasio sekular.
8
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 85
4/24/2014 10:01:21 AM
86
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
3. Agama dalam Negara Hukum
Demokratis
Di atas, kita sudah melihat alur berpikir
Habermas ditinjau dari rasio komunikatif,
etika diskursus, sampai demokrasi deliberatif. Pada bagian ini, dipaparkan pemikiran
Habermas tentang agama dalam negara
hukum demokratis. Ia memulainya de­
ngan pertanyaan: Apakah negara hukum
demokratis memiliki akar-akar religius?
Bagian ini penting untuk diperhatikan
karena terkait dengan posisi agama dalam negara hukum demokratis. Habermas
memang mengakui bahwa negara hukum
demokratis atau rasio sekuler mempunyai
akar religius. Meski demikian, basis negara
hukum demokratis tidak kembali bertumpu pada agama. Mengapa?
Dalam sebuah diskusi dengan Kardinal Ratzinger, Habermas menggali dan
menanggapi secara kritis akar-akar religius
rasio sekuler.10 Dalam bingkai teks berjudul
”Prepolitical Foundations of the Constitutional
State?” (Habermas, 2008: 101-113; Kleden
dan Sunarko, 2010: 1-28), ���������������
Habermas mengemukakan beberapa pokok pemikirannya.
Pertama, negara sekuler tidak mendasarkan diri pada berbagai pengandaian kosmologis tertentu sebagaimana diandaikan
hukum kodrat. Konsekuensinya, negara
sekuler tidak memihak kelompok agama
tertentu dengan seluruh sistem nilainya,
dan setiap warga negara mempu­nyai kesetaraan dalam memainkan perannya dalam
negara hukum demokratis. Dengan mengacu pada pertanyaan kritis yang diajukan
Bökenförde tentang seberapa jauh warga
masyarakat dapat menyatukan diri dalam
negara dengan jaminan kebebasan individu saja tanpa ada ikatan; Habermas me­
ngatakan bahwa proses demokrasilah yang
menjadi ikatan yang menyatukan para
10
VOL II, 2014
warga negara. Proses demokrasi menjadi
syarat kemungkinan bagi para warga negara untuk memperjuangkan kepentingankepentingannya.
Tentunya, demokrasi yang dimaksudkan Habermas pada poin pertama di atas
adalah demokrasi deliberatif yang mengacu pada rasio prosedural dan digerakkan
oleh rasio komunikatif. Rasio komunikatif
yang ada dalam diri warga negara menggerakkan mereka untuk menyatukan diri dalam negara secara bebas dan tanpa tekan­
an, melalui demokrasi deliberatif.
Kedua, berdasarkan perspektif kognitif
dan motivasi, negara hukum demokratis
bisa mencukupi dirinya secara internal.
Tetapi, ada faktor eksternal yang merusak
jaringan solidaritas para warga negara dan
proses demokrasi, yakni pasar (Habermas,
2008: 107-108; Kleden dan Sunarko, 2010:
13-17). Rasio pasar mempunyai cara kerja
yang berbeda dengan rasio negara. Pasar
mempunyai metode pengelolaan yang berbeda dengan administrasi negara. Rasio
pasar menggiring warga ke dalam individu-individu yang menggunakan kebebasan individualnya secara ketat. Bersamaan
dengan itu, bidang-bidang yang menjadi
wewenang negara hukum demokratis
untuk mengaturnya semakin berkurang.
Privatisme warga negara kian menguat, sementara proses demokratisasi para warga
negara kian melemah. Habermas menyebut
fenomena itu sebagai penyimpangan modernisasi. Dalam kondisi seperti ini, negara
hukum demokratis mesti melegitimasi dirinya dengan perangkat hukum yang dibuat
oleh para warga negara.
Gagasan pokok dalam poin kedua
tersebut dikemukakan Habermas ketika
ia mengulas masalah dunia-kehidupan
(Lebenswelt) serta sistem. Jika dalam urai-
Diskusi dengan Ratzinger itu berlangsung di Katholiche Akademie München, Jerman tanggal 19 Januari 2004.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 86
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
annya tentang dunia-kehidupan dan sistem, Habermas mengatakan bahwa sistem – yak­ni pasar dan negara – mengoloni
dunia-kehidupan, maka dewasa ini rasio
pasar justru mengoloni dunia-kehidupan
serta negara secara sekaligus. Dalam situa­
si kolonisasi rasio pasar – yang merupakan bentuk penyimpangan dari modernitas – Habermas mengatakan bahwa para
warga negara harus mengatasinya dengan
memaksimalkan rasio komunikatif melalui
mekanisme rasio prosedural.11 Setiap usaha
para warga negara untuk mencapai kesepakatan dalam bidang tertentu untuk stabilitas kehidupan bersama, para warga harus mematuhi prosedur-prosedur tertentu
yang digunakan untuk mencapai kesepakatan tertentu yang dimaksud. Prosedurprosedur yang berlaku merupakan produk
dari rasio. Prosedur-prosedur rasional yang
tersedia menjadi medium bagi para warga
untuk berdeliberasi. Proses deliberasi me­
lalui rasio prosedural inilah yang disebut
Habermas sebagai tindakan komunikatif.
Hal itu berarti, rasionalitas dari sebuah
kesepakatan merupakan pencapaian bersama dari para warga yang terlibat dalam
proses deliberasi.
Ketiga, menjawab keraguan yang diajukan oleh Bökenförde bahwa apakah negara
hukum bisa mencukupi dirinya dengan
asas-asas normatif dalam dirinya, Habermas mengatakan bahwa dari perspektif
kognitif hukum yang telah mengalami positivisasi tetap membutuhkan pandangan
religius dan metafisik untuk memastikan
secara kognitif prinsip-prinsip etis hukum
dalam negara hukum demokratis. Sedang-
ALEXANDER AUR
87
kan dari perspektif motivasi, Habermas
mengharapkan bahwa para warga negara
menggunakan hak-haknya secara aktif dalam proses pembuatan hukum untuk kepentingan komunal sekaligus kepentingan
bersama (Habermas, 2008: 104-105; Kleden
dan Sunarko, 2010: 7, 9).
Pada poin ini, Habermas mengakui
bahwa negara hukum demokratis tetap
membutuhkan agama atau ”kekuatan pemandu” (sustaining power) sebagai pemasti
kognitif asas-asas normatif dalam negara
hukum demokratis (negara sekuler). Keberadaan agama atau ”kekuatan pemandu”
bukan berarti negara mengganti asas-asas
normatif dari dirinya dengan asas-asas normatif dari agama atau ”kekuatan pemandu” lain. Sebaliknya, Habermas hendak
mengatakan bahwa agama – dengan asasasas normatif metafisik – sebagai bagian
dari dunia-kehidupan juga mempunyai
kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam negara hukum demokratis. Partisipasi
agama merupakan bentuk kongkret dari
perspektif motivasi.
Tentunya, model partisipasi tetap dalam bingkai demokrasi deliberatif yang
mengacu pada rasio prosedural. Partisipasi agama dalam bingkai rasio prosedural
itulah sekaligus merupakan pemasti kognitif rasio prosedural. Dengan kata lain,
jika agama tidak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam negara hukum demokratis, maka demokrasi deliberatif kurang
(tidak) memiliki rasionalitas. Jika agama
didomestifikasikan dan tidak punya kesempatan untuk berdeliberasi di ruang
publik, maka rasio prosedural mengalami
F. Budi Hardiman menjelaskan gagasan Habermas tentang rasio prosedural dengan mengambil contoh di bidang
hukum yakni peradilan. Proses pengadilan hanya mungkin dan dapat terlaksana bila ada ide tentang keadilan. Ide
keadilan adalah unsur konstitutif dari pengadilan. Ide itu juga bersifat regulatif karena berlaku sebagai prosedur
untuk memeriksa apakah proses pengadilan berlangsung adil atau tidak. Hal yang penting dalam rasio prosedural
adalah prosedur yang diakui secara intersubjektif. Lewat prosedur itulah produk-produk dari setiap proses rasional
memperoleh kesahihannya. Dari situ tampak bahwa sifat rasional merupakan hasil pencapaian bersama. Sifat rasional dari klaim rasio tertentu dicapai secara komunikatif, melalui pemahaman timbal-balik antar subjek.
11
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 87
4/24/2014 10:01:21 AM
88
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
defisit rasionalitas. Demokrasi deliberatif
memiliki kepastian rasional apabila agama
dilibatkan dalam debat-debat di ruang publik politis.
Keempat, Habermas memberi catatan
kritis tentang masalah hermeneutika teksteks agama seperti tentang kesalahan dan
keselamatan. Hal-hal itu ditafsirkan dan
dihayati secara hermeneutik selama bertahun-tahun. Selama teks-teks agama itu tidak mengalami distorsi dalam penafsiran
dan tidak jatuh dalam dogmatisme dan
pemaksaan suara hati, maka rasio sekuler
bisa belajar juga dari agama, atau masyarakat sekuler dan masyarakat religius bisa
saling belajar (Habermas, 2008: 108-113;
Kleden dan Sunarko, 2010: 20-28).
3.1.Dari Agama Mitis ke Agama Rasional
Habermas mengakui bahwa setiap agama pada hakikatnya adalah ”pandangan
hidup” atau ”comprehensive doctrine” (doktrin yang lengkap) (Habermas, 2008: 111;
Kleden dan Sunarko, 2010: 24). Dengan
pendasaran-pendasaran mitis dan metafisik, agama juga memberikan elan vital kepada para penganutnya (orang beriman)
yang hidup di tengah-tengah masyarakat
modern. Bahkan, etika substansial yang dianut banyak orang pun berakar pada tradisi agama-agama. Masyarakat modern yang
pluralistik itu sendiri terdiri atas orangorang beriman serta orang-orang tidak beriman (Adam, 2006: 1). Masyarakat modern
berada dalam dua area besar yakni duniakehidupan dan sistem yang di dalamnya
ada pasar dan negara. Ada masyarakat (individu atau kelompok) yang menjadi bagian integral dari dunia-kehidupan, pasar,
dan negara secara serentak. Ada masyarakat (individu atau kelompok) yang menjadi
bagian dari negara dan pasar saja.
Masyarakat modern hidup dalam sebuah ruang publik (public sphere) yang sama.
Ruang publik itu sendiri bersifat politis ka-
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 88
VOL II, 2014
rena dihuni oleh masyarakat modern yang
pluralistik dengan segala kepentingannya.
Dalam kondisi masyarakat modern dan ruang publik yang demikian, agama meng­
hadapi tantangan yang serius. Habermas
dengan tegas mengatakan bahwa ruang publik politis atau negara hukum demokratis
tidak bisa menjadi ”religius” atau ”ditradisikan” berdasarkan doktrin lengkap agama
apapun (���������������������������������
Adam, 2006: 2)�������������������
. Tampak jelas pendirian Habermas bahwa agama dan negara
harus dipisahkan. Agama mempunyai domain kerja yang sangat berbeda dengan negara. Meski demikian, agama tidak boleh
didomestifikasikan karena bertentangan
dengan hakikat demokrasi.
Mengacu pada gambaran idealnya tentang keseimbangan antara dunia-kehidup­
an, negara, dan pasar, Habermas menantang – agama yang olehnya dikategorikan
sebagai bagian dari dunia-kehidupan –
untuk menunjukkan eksistensinya dalam
ruang publik politis atau negara hukum
demokratis. Hal itu serius bagi agama karena di satu sisi ajaran-ajaran agama bersifat mitis dan metafisik, di sisi lain, ruang
publik bersifat rasional dan post-metafisik.
Habermas secara tegas berargumen bahwa
hanya sebuah forum sekulerlah yang dapat
secara memadai menjadi pemandu atau
penata bagi perbedaan antara ruang metafisik dengan ruang post-metafisik.
Forum sekuler yang dimaksud adalah
negara hukum demokratis atau ruang publik politis. Negara hukum demokratis
menjadi forum yang di dalamnya semua
partisipan berdeliberasi sekaligus berargumentasi sesuai dengan rasio prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama yang
adalah tujuan tindakan komunikatif. Dalam
proses deliberasi, pengandaian-pengandaian metafisik agama diuji secara rasional
atau dengan cara berpikir post-metafisik.
Artinya, agama harus mentransformasi diri
dari agama mitis (religious-metaphysical) ke
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
agama rasional (religious-post-metaphysical)
(Adam, 2006: 125-126). Melalui pengujian
dalam proses deliberasi, dan dalam koridor etika diskursus, agama mitis bisa menjadi agama rasional. Jika berhasil menjadi
agama rasional, maka etika substansial
agama-agama bisa memberi warna dalam
etika universal.
Meski demikian, Habermas tetap tidak
mengizinkan agama campur-tangan secara langsung dalam negara. Agama bisa
masuk ke dalam negara setelah melewati
institutional translation proviso. Institusi ini
semacam dewan yang bertugas menterjemahkan bahasa (ajaran-ajaran) agama yang
bersifat mitis-religius dan partikular ke dalam bahasa universal yang bersifat sekuler.
Melalui hal itu, pengandaian-pengandaian
metafisik agama diuji oleh rasio post-metafisik dan bahasa agama diterjemahkan ke
dalam bahasa rasio sekuler. Dalam konteks
ini, warga negara yang tidak beriman bisa
membantu dalam proses alih bahasa kitab suci. Jika mekanisme itu dicapai, maka
agama bisa bermanfaat bagi demokrasi,
dan negara hukum demokratis (Habermas,
2008: 131-132).
Dengan demikian, antara warga ber­
agama dengan warga sekuler dalam masyarakat post-sekuler dapat saling belajar satu
sama lain. Apalagi, warga negara beriman
didorong untuk mengenakan cara berpikir (episteme) post-metafisik di tengah pluralitas agama. Warga negara beriman juga
harus tunduk certa mengakui rasio sekuler
yang menjadi basis legitimasi untuk negara
hukum demokratis (Habermas, 2008: 138139).
ALEXANDER AUR
89
4. Hubungan Negara dengan Agama di
Indonesia: Melacak Deliberasi Politik
Berbasis Agama
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, hu­
bungan antara negara dengan agama me­
ngalami pasang-surut (Parakitri T. Simbolon dalam Kristanto dan Arsuka (ed.),
2002: 430).12 Hubungan yang demikian
mengindikasikan bahwa deliberasi politik
antara negara dengan agama pun mengalami pasang-surut. Situasi pasang-surut
deli­berasi politik berbasis agama dengan
negara itu bisa kita telusuri dari beberapa
peristiwa historis berikut ini.
4.1 Penolakan Piagam Jakarta: Islam menemukan “Situasi Epistemik” Pluralitas
Persoalan hubungan negara dan agama
sungguh disadari oleh para pendiri bangsa
sebagai hal yang krusial. Oleh karena itu,
dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dibentuklah Panitia Sembilan yang di­
pimpin oleh Soekarno untuk membahas
hal itu. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan13 berhasil merumuskan pembukaan
UUD. Oleh Muhammad Yamin, pembukaan UUD 1945 itu disebut Piagam Jakarta
karena dalam sila pertama Pancasila berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.”
Menjelang pengesahan UUD 1945, atas
prakarsa Muhammad Hatta, frasa “De­
ngan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dari sila pertama
Untuk kepentingan tulisan ini, kurun waktu yang dijadikan sebagai acuan adalah setelah Indonesia menjadi sebuah merdeka sampai sekarang. Meski demikian, sejarah hubungan agama dan negara bisa ditelusuri sejak zaman
kerajaan-kerajaan, zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sejarah mengenai hal itu dapat dibaca dalam Parakitri T.
Simbolon, “Pasang-surut Hubungan Agama dan Negara di Indonesia” dalam Kristanto dan Arsuka, 2002: 429-442.
13
Panitia Sembilan terdiri dari Soekarno, Achmad Soebardjo, Abdul Kahar Muzakkir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Hatta, Abdul Wahid Hasyim, Agus Salim, Muhammad Yamin.
12
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 89
4/24/2014 10:01:21 AM
90
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
Pancasila dihapus. Penghapusan itu di­
setujui oleh empat tokoh Islam, yakni Ki
Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Hasan. Hatta
memprakarsa penghapusan frasa tersebut
setelah utusan Angkatan Laut Jepang (Kaigun) menemui Hatta untuk menyampaikan keberatan dari wakil Protestan serta
Katolik dari Indonesia Timur dengan frasa
tersebut. Bila frasa itu tetap dipertahankan
menjadi bagian dari sila pertama Pancasila,
maka UUD 1945 mengandung diskriminasi. Konsekuensi lebih lanjut adalah Indonesia Timur akan keluar dari Republik
Indonesia (Soeprapto, 2013: 8).
Hatta berargumen bahwa UUD adalah
pokok daripada pokok, sebab itu harus teruntuk bagi seluruh bangsa Indonesia de­
ngan tanpa kecuali. Jalan pikiran Hatta itu
disetujui oleh keempat tokoh Islam dengan
argumentasi bahwa dengan penghapusan
frasa tersebut, sama sekali tidak melenyapkan “semangat Piagam Jakarta” (Parakitri
T. Simbolon dalam Kristanto dan Arsuka
(ed.), 2002: 436). Dari argumen keempat
tokoh Islam yang setuju dengan argumen
Hatta, menunjukkan bahwa unsur diskriminatif tidak terletak pada makna atau isi
dari frasa “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Unsur diskriminatif terletak pada bahasa
formal. Bila bahasa formal yang terwujud
melalui frasa itu dimasukkan menjadi bahasa formal UUD, maka tampak jelas unsur diskriminatifnya. Karena UUD merupakan hukum umum, maka bahasa formal
dalam hukum umum harus mencerminkan
keumumannya. Sedangkan bahasa formal
yang tampak jelas dalam frasa tersebut
14
VOL II, 2014
menunjukkan kekhususan. Atas dasar itu,
keumuman bahasa formal yang diutamakan dalam UUD, yang tampak dalam
rumusan formal sila pertama Pancasila,
“Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam ruang partikular Islam, syariat
Islam merupakan unsur konstitutif agama
Islam. Islam dihayati sebagai sebuah
agama oleh pemeluk-pemeluknya karena
salah satu unsur konstitutifnya itu. Kewajiban menjalankan syariat merupakan
sebuah imperatif etis untuk berbuat baik
dalam konstelasi hidup beriman orang Islam. Mengenai hal itu, Nurcholish Madjid
mengatakan bahwa saat diturunkannya
al-Qur’ân kepada Rasullulah SAW, Tuhan
berpesan bahwa dalam setiap kelompok
dalam Komunitas Madina, Allah telah menetapkan sistem hukum (syir’ah, syarî’ah)
dan cara hidup (minhâj) agar setiap orang
dalam komunitas keagamaannya masingmasing berusaha terus-menerus berbuat
baik (Madjid, 1992: 312-324).14
Ada dua hal yang muncul dari kete­
rang­an Nurcholish Madjid tersebut. Pertama, cakupan hukum agama adalah partikular. Dari sisi formal, hukum agama
– dari setiap agama – hanya berlaku dalam
agama tertentu dan bagi penganut agama
tertentu itu. Dalam konteks Piagam Jakarta, penghapusan frasa “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, menunjukkan bahwa hukum syariat bersifat partikular dan hanya
berlaku bagi penganut Islam. Penghapusan
frasa itu, menunjukkan juga bahwa partikularitas hukum agama, tidak bisa begitu
saja diuniversalkan melalui rumusan formal produk hukum (undang-undang) yang
Nurcholish Madjid menempatkan penjelasannya tentang konsep “hukum” dalam al-Qur’ân pada konteks historis
yakni Madînah. Pada zaman Rasullulah s.a.w., masyarakat Madînah bukan masyarakat homogen melainkan heterogen. Selain ada komunitas Islam, juga ada komunitas Yahudi, komunitas Nasrani, dan komunitas pagan. Terhadap
komunitas Yahudi dan Nasrani, Rasullulah SAW mengatakan bahwa Allah pun menurunkan hukum bagi komunitas-komunitas itu, dan setiap anggota komunitas harus menjalankan hukum yang diturunkanNya itu.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 90
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
berlaku umum. Tentu, Tentu, ketidakbisaan
itu sama sekali tidak membatasi dampak
etis dari partikularitas hukum agama.
Kedua, dampak etis hukum agama.
Bagi orang Islam, hukum (syir’ah, syarî’ah)
merupakan sarana untuk berbuat baik dan
menghasilkan kebaikan bagi hidup bersama. Hukum syariah yang bersifat partikular itu, dalam pengahayatan konkritnya,
mendatangkan dampak etis berupa kebaikan. Dampak etis itu bukan saja bagi hidup
orang Islam tetapi juga bagi orang lain di
luar Islam. Rumusan yang jelas mengenai
hal itu adalah “Islam sebagai rahmatan lil
âlamin. Rumusan itu menunjukkan bahwa
meskipun hukum Islam bersifat partikular, tetapi dampak etis dari penghayatan
(pelaksanaan) hukum Islam itu bersifat
universal (publik). Dan dampak etis inilah
yang disoroti oleh keempat tokoh Islam
yang sepakat dengan argumen Hatta yang
menekankan dimensi universal dari UUD
1945.
Dalam perspektif deliberasi Habermas,
argumen Hatta dan keempat tokoh Islam
mengenai penghapusan frasa yang bersifat
partikular tersebut, menunjukkan bahwa
agama Islam berhasil menemukan dan menetapkan “situasi epistemik” di hadapan
agama lain yang dianut oleh para warga
negara Indonesia bagian timur. Hatta dan
keempat tokoh Islam berhasil merelati­
visasikan posisi hukum (syariah) Islam dalam ruang publik (negara Indonesia) tanpa
harus merelativisasikan syariat sebagai inti
dogmatis Islam. Bahkan, bila dipandang
dari perspektif institusional translation proviso, Hatta dan keempat tokoh Islam berhasil
mentransformasikan Islam yang mitis dan
partikular menjadi Islam yang rasional dan
universal. Islam yang mitis dan partikular
tercermin dalam inti dogmatisnya, yakni
menjalankan hukum syariah. Sedang­kan
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 91
ALEXANDER AUR
91
Islam yang rasional dan universal tercermin dalam rahmatan lil âlamin.
Keberhasilan Islam menemukan dan
menetapkan “situasi epistemik” tersebut
tidak semata-mata bersifat politis seperti
yang dinilai oleh Paraktri T. Simbolon. Ia
menilai bahwa penghapusan frasa tersebut
menunjukkan bahwa kesatuan dan persatuan nasional menjadi dasar pola hubung­
an antara agama dengan negara RI. Pola
itu bersifat politis sekaligus negatif karena
penghapusan itu menampakkan penolakan
terhadap hubungan resmi antara agama Islam dengan kekuasaan negara. Penolakan
akan bersifat positif bila dilanjutkan de­
ngan menetapkan pola lain sebagai penggantinya (Parakitri T. Simbolon dalam
Kristanto dan Arsuka (ed.), 2002: 436).
Keberhasilan Islam tersebut bersifat
politis sekaligus filosofis. Dalam konteks
menetapkan sebuah hukum dasar – UUD
1945 – bagi negara RI yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, sifat politis memang tak terhindarkan. Keputusan
Hatta dan keempat tokoh Islam, dan selanjutkan diafirmasi oleh para anggota sidang
BPUPKI, memang merupakan keputusan
dan kesepakatan politis. Keputusan dan
kesepakatan itu juga mempunyai dasar
filosofis yang terletak pada dimensi universal (dimensi publik) yang merupakan
aspek konstitutif dari UUD 1945. Dimensi
universal inilah yang menjadi dasar pemikiran Hatta untuk memprakarsa penghapusan frasa tentang syariah Islam dari
sila pertama Pancasila.
Keputusan dan kesepakatan itu juga
bukan merupakan penolakan terhadap
hubungan resmi antara agama – secara
khusus Islam – dengan kekuasaan negara.
Agama-agama tetap dimungkinkan untuk
mempunyai hubungan yang resmi dengan
kekuasaan negara, melalui pembentukan
4/24/2014 10:01:21 AM
92
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
partai politik-partai politik, dan berbagai
organisasi massa berbasis agama.15 Melalui
partai politik serta organisasi massa berbasis agama, agama-agama mempunyai
kemungkinan terlibat aktif dalam kekuasaan negara. Keterlibatan aktif tidak berarti
memindahkan begitu saja hukum agama
menjadi hukum positif negara, melainkan
harus melalui proses pengujian atas hukum
agama-agama yang akan diintegrasikan ke
dalam hukum positif negara. Pengujian itu
berdasarkan nalar sekuler yang terepresentasi melalui UUD 1945.
Fakta mengenai berbagai partai politik
berideologi agama serta organisasi massa
berasaskan agama menunjukkan bahwa
politik berbasis agama memang dimungkinkan di Indonesia. Di atas ideologi
Pancasila, setiap warga negara dari latar
belakang agama apapun dimungkinkan
untuk beraktivitas politik dengan semangat agama. Kemungkinan itu semakin luas
bila kita melihat pada imperatif-imperatif
agama yang berkaitan dengan urusanurusan publik. Agama-agama mempunyai
imperatif moral yang menjadi landasan etis
untuk menyikapi atau merespon persoalanpersoalan publik.
Warga masyarakat di dalam negara
hukum demokratis yang dapat berpartisipasi dalam ruang publik tidak hanya
15
VOL II, 2014
dari satu agama, melainkan dari berbagai
agama yang berbeda dan ada pula yang
tidak beragama. Itulah fakta pluralitas
dalam negara hukum demokratis. Itulah
“situasi epistemik” masyarakat modern
yang plural. Mengingat bahwa pluralitas
merupa­kan keniscayaan demokrasi dan
modernitas, maka agama yang berpolitik
dan bertindak politis harus menetapkan
“situasi epistemik”, yakni harus merelativisasikan posisinya di hadapan pluralitas warga dan agama-agama. Tentu saja
relativisasi posisi tidak dengan sendirinya
mengakibatkan relativisasi inti dogmatisnya (Borradori, 2005: 105). Dalam merelativisasi posisi, agama tidak mengabaikan
situasi epistemik masyarakat plural, dan
tidak menuntut penerapan ortodoksinya
secara ketat dalam masyarakat plural.
Dalam konteks Indonesia, meskipun
ideologi Pancasila memungkinkan agama
berpolitik dan bertindak politis, tetapi tidak
berarti bahwa agama mengabaikan situasi
epistemik masyarakat plural. Sebaliknya,
agama seharusnya menetapkan “situasi
epistemik” supaya sinkron dengan situasi
epistemik masyarakat plural. Agama yang
mengabaikan situasi epistemik masyarakat
plural dan bernafsu mengatur masyarakat
plural dengan inti dogmatisnya (hukum
agama), maka agama itu akan menjadi
Pada era Orde Lama, partai politik-partai politik berideologi agama Islam antara lain, Partai Nahdatul Ulama (NU),
Partai Masyumi Indonesia (MI), Partai Syariah Islam Indonesia (PSII), dan Perti. Sedangkan partai politik yang
berideologi Katolik dan Protestan adalah Partai Katolik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia. Pada masa Orde
Baru, partai politik berbasis agama hanya 1: Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada masa reformasi, beberapa
partai politik baru berbasis agama tampil sebagai peserta pemilu, antara lain PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa), Partai Keadilan Sejahtera, PBB (Partai Bulan Bintang), dan PDS (Partai Damai Sejahtera). Agama juga tampil
dalam bentuk organisasi-organisasi massa, baik yang berbasis massa agama secara umum maupun berbasis massa
kampus. Organisasi massa kampus, antara lain HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Persatuan Mahasiswa
Muslim Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Organisasi-organisasi massa
agama umum antara lain, PK (Pemuda Katolik), ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbuth Tahrir Indonesia) dsb.. Berbagai organisasi massa
berbasis agama tersebut tampil ke publik, dan merespon masalah-masalah publik. Berbasis semangat keagamaannya masing-masing, setiap organisasi massa itu terdorong untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam hidup berbangsa dan bernegara. Meski demikian, dorongan itu mesti tetap sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku
di Indonesia.
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 92
4/24/2014 10:01:21 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
horor sekaligus teror bagi demokrasi, kemanusiaan maupun pluralitas.
4.2 Gerakan Anti Pancasila: Ketiadaan
Deliberasi Politik Agama
Pada masa-masa awal kekuasaan Orde
Baru, roda pemerintahan yang dikendalikan oleh Soeharto mempersempit ruang
politik bagi agama untuk berdeliberasi dalam kancah perpolitikan Indonesia. Salah
satu strategi yang dilakukan Orde Baru
adalah memfusikan beberapa partai politik
berbasis agama. Partai politik-partai politik
berbasis agama Islam seperti NU, PSII, dan
Perti difusikan menjadi PPP. Partai politik
yang berbasis agama di luar agama Islam,
seperti Partai Katolik dan Partindo difusikan ke dalam partai nasionalis PDI. Orde
Baru menerapkan depolitisasi dan deideologisasi agama sebagai rekayasa politik
untuk melemahkan peran politik agama.
Kelompok agama yang paling merasakan dampak dari penghilangan delibe­
rasi politik berbasis agama adalah Islam.
Selama kurang lebih 25 tahun peran politik agama Islam dipangkas. Akses Islam
ke lingkaran kekuasaan politik negara ditutup. Strategi itu dipertajam dengan kebijakan politik berbunyi Pancasila sebagai
asas tunggal dalam berpolitik dan aktivitas
organisasi. Kebijakan itu tertuang dalam
UU No. 3/1985 yang merupakan perubahan atas UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya serta UU No.
8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas). Melalui kebijakan itu, Orde Baru
sekaligus menyatakan bahwa Islam tidak
boleh menjadi asas organisasi sosial-politik. Bahkan, Islam politik menjadi sasaran
teropong kecurigaan ideologis Orde Baru.
Aktivis Islam politik dicurigai sebagai anti
terhadap Pancasila (Hasani dan Naipospos
(ed.), 2012: 28-29; Magnis-Suseno dalam
Kristiyanto (ed.), 2010: 304).
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 93
ALEXANDER AUR
93
Kebijakan politik orde baru tersebut
mendatangkan tanggapan serius dari Islam
politik. Pada mulanya, hampir semua partai politik dan organisasi-organisasi Islam
menentang kebijakan itu. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi-organisasi
Islam seperti NU dan Muhammadiyah
menerima kebijakan tersebut. Seiring de­
ngan itu, gerakan radikal untuk menentang
Pancasila sebagai asas tunggal pun terus
berlangsung. Dua tokoh Islam yang menolak tegas Pancasila sebagai asas tunggal
adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Baasyir. Organisasi yang menolak Pancasila sebagai asas organisasi adalah PII (Pelajar Islam Indonesia). PII dibubarkan Orde
Baru pada tahun 1988. Selain itu, banyak
pula cabang Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) juga dibubarkan Orde Baru. Pembubaran cabang-cabang HMI ini, belakang­
an terkenal dengan istilah HMI (MPO).
Dalam konstelasi filsafat politik Habermas, gerakan menentang Pancasila sebagai
asas tunggal dari beberapa tokoh dan organisasi Islam lebih merupakan cerminan
dari dua problem. Pertama, ketiadaan deliberasi politik bagi agama dalam negara.
Dengan mengharuskan Pancasila sebagai
ideologi bagi partai politik dan ormas yang
berasaskan agama, negara (pemerintah
Orde Baru) telah menutup pintu masuk
sekaligus tidak menyediakan akses bagi
agama untuk berdeliberasi secara politik.
Pemerintah Orde Baru tidak menyediakan
prosedur-prosedur rasional – yang merupakan cermin dari negara hukum demokratis – bagi agama untuk memperjuangkan
kepentingannya. Problem kedua ini merupakan akibat dari problem pertama. De­
ngan tidak disediakan prosedur-prosedur
rasional oleh negara, maka tidak ada pula
kemungkinan bagi agama untuk melakukan translasi bahasa agama berdasarkan
prosedur-prosedur rasional yang dianut
4/24/2014 10:01:21 AM
94
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
oleh negara hukum demokratis. Tiadanya
kemungkinan bagi agama untuk mentranslasikan bahasa agama itu membuat agama
juga tidak dapat menyumbangkan nalar
metafisiknya dalam menguatkan negara
hukum demokratis.
Sebuah negara disebut negara hukum
demokratis apabila negara itu (baca: peme­
rintah) membuka kemungkinan bagi agama
untuk melakukan translasi doktrin-doktrin
metafisiknya ke dalam bahasa universal
dan sekuler. Doktrin-doktrin metafisik
agama harus diuji melalui proses deliberasi yang sesuai dengan prosedur-prosedur
rasional dalam negara hukum demokratis.
Jika berhasil melewati proses deliberasi
itu, maka doktrin-doktrin metafisik agama
menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip
etis negara hukum demokratis. Dengan
demikian, gerakan anti Pancasila dari seke­
lompok orang Islam merupakan cermin
kegagalan pemerintah Orde Baru dalam
menyediakan kemungkinan bagi agama
untuk berdeliberasi politik dan mentranslasikan bahasa agama.
4.3 Radikalisme dan Terorisme Agama:
Respon Ekstrim Agama terhadap
Demokrasi
Pasca keruntuhan rezim pemerintahan
Orde Baru, gerakan radikal agama (Islam)
dan terorisme berwajah agama yang dilakukan oleh sekelompok orang Islam semakin marak. Front Pembela Islam (FPI)
dan Jamaah Islamiyah (JI) merupakan dua
contoh dari sekian banyak kelompok yang
berkarakter radikal dan teroristik (Hasani
dan Naipospos (ed.), 2012: 37). Sebuah
gerakan disebut radikalistik dan teroristik
karena berciri menggunakan kekerasan,
bom, organisasinya bersifat tertutup, dan
menyerang simbol-simbol negara (Hasani
dan Naipospos (ed.), 2012: 42).
Pada bagian akhir hasil penelitian yang
dilakukan oleh SETARA Institute terhadap
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 94
VOL II, 2014
relasi dan transformasi organisasi radikal
di Jawa Tengah dan Yogyakarta, terdapat lampiran tentang 10 (sepuluh) dosa
demokrasi menurut kelompok radikal dan
teroris agama (Hasani dan Naipospos (ed.),
2012: 317-320). Bagi kelompok radikal dan
teroris, demokrasi memiliki beberapa cacat antara lain, demokrasi menyebabkan
terkikisnya nilai-nilai akidah, demokrasi
tidak membedakan antara orang beriman
dengan orang tak beriman, dan dalam
demokrasi, partai politik memanfaatkan
sarana dan tindakan religius untuk kepen­
tingan partai politik.
Bagi kelompok radikal dan teroris
agama, sistem demokrasi harus dianulir
dan diganti dengan sistem khilafah Islam.
Inilah yang oleh Habermas disebut sebagai
“ortodoksi yang mengarah kepada fundamentalisme.” Ortodoksi semacam itu memang secara sengaja (sadar) mengabaikan
situasi epistemik masyarakat plural, yang
menjadi ciri khas demokrasi. Bahkan, de­
ngan cara kekerasan kelompok radikal dan
teroris mewajibkan penerimaan ortodoksi
itu secara politis.
Berhadapan dengan fenomena itu,
negara hukum demokratis ditantang untuk meredefinisi demokrasi dan mereformulasi prosedur-prosedur rasional, supaya
negara hukum demokratis tidak terjebak
dalam praktik-praktik yang mengatasnamakan demokrasi, tetapi sesungguhnya
merupakan penyimpangan dari demokrasi. Penyimpangan demokrasi yang paling
vulgar dan kentara adalah kolonisasi rasio
pasar atas negara hukum demokratis dan
dunia-kehidupan. Rasio pasar yang berwatak instrumental menjadi warna dominan dalam praktik-praktik politik dan
agama. Demokrasi transaksional tampil
secara kongkret dalam ucapan para politikus yang fasih menggunakan istilah-istilah
seperti “suara terbanyak”, “aset politik”,
“ongkos politik”, dan sebagainya. Istilah-
4/24/2014 10:01:22 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
istilah yang diucapkan para politisi merupakan proyeksi dari praktik yang sesungguhnya. Hal itu menunjukkan bahwa rasio
pasar tengah mengoloni praktik politik dalam negara hukum demokratis.
4.4 Agama yang Berpolitik: Agama yang
Membela dan Merawat Kemanusiaan
dan Demokrasi
Sejak keruntuhan rezim politik Orde Baru,
kesempatan agama untuk berpolitik terbuka. Banyak partai politik berbasis ideologi
agama muncul dan terlibat dalam perpolitikan riil. Partai politik berbasis ideologi
agama Islam yang paling eksis sejak Pemilu
1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Partai
politik-partai politik yang dimaksud adalah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP
(Partai Persatuan Pembangunan), Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan
Bintang (PBB). Partai politik-partai politik
tersebut akan menjadi peserta pemilu 2014.
Dengan berbasis ideologi Islam, partai
politik-partai politik itu merupakan representasi agama (Islam) yang berpolitik secara riil dalam negara hukum demokratis
Indonesia.
Agama yang berpolitik bukan monopoli agama Islam. Agama-agama lain pun berpolitik melalui organisasi massa berhaluan
agama. Melalui ormas-ormasnya, agamaagama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu juga terlibat secara
aktif dalam merespon isu-isu publik seperti
kerusakan lingkungan hidup, korupsi, terorisme, ketidakadilan ekonomi, pelanggaran hak-hak asasi, dan sebagainya. Agamaagama yang merespon isu-isu publik juga
merupakan modus politik agama dalam
negara hukum demokratis Indonesia.
Dalam perspektif filsafat politik Ha­
bermas di atas, tantangan yang paling serius bagi agama-agama yang berpolitik,
baik melalui partai politik maupun organisasi massa, adalah mentranslasikan
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 95
ALEXANDER AUR
95
doktrin-doktrin metafisiknya ke dalam bahasa negara hukum demokratis. Apabila
agama gagal melakukan itu, maka agama
menjadi “duri dalam daging” demokrasi.
Tanpa melakukan translasi doktrin-doktrin
metafisiknya, maka agama yang berpolitik justru menjadi horor bagi kemanusiaan
dan demokrasi. Doktrin-doktrin metafisik
agama dapat menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip etis negara hukum demokratis
apabila agama memastikan suatu “situasi
epistemik” di dalam modernitas atau di
dalam negara hukum demokratis. Agama
yang demikian adalah agama yang merelativisasikan posisinya berhadapan dengan
agama-agama lain tanpa merelativisasikan
inti dogmatismenya sendiri (Borradori,
2005: 105). Dengan demikian, agama yang
berpolitik adalah agama yang membelamerawat kemanusiaan dan demokrasi.
Penutup
Habermas berpikir tentang status sosiologis dan politis agama dalam negara hukum demokratis. Bukan karena ia sangat
berbakat dalam hal agama, melainkan ka­
rena ia memandang bahwa agama merupakan salah satu elemen dalam negara
hukum demokratis. Dalam bingkai teori
tindakan komunikatif, etika diskursus, dan
demokrasi deliberatif, Habermas meng­
ingatkan agama bahwa jika agama bermanfaat bagi demokrasi, maka agama ha­rus
menerjemahkan bahasa agama ke dalam
bahasa sekuler. Pengandaian-pengandaian
metafisik agama harus diuji dengan rasio
sekuler, supaya agama tidak menjadi horor
sekaligus teror bagi negara hukum demokratis.
Dalam sejarah politik di Indonesia, partisipasi agama dalam politik mengalami
pasang surut. Pada masa-masa persiap­
an kemerdekaan Indonesia dan penetap­
an UUD 1945, para pendiri bangsa yang
4/24/2014 10:01:22 AM
96
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
berasal dari organisasi-organisasi agama
berdeliberasi perihal rumusan Pancasila
yang menjadi dasar negara. Doktrin agama
(Islam) yang hendak dimasukkan dalam
rumusan dasar negara didiskusikan dan
diperdebatkan. Hasil dari itu adalah rumus­
an Pancasila yang sekarang menjadi dasar
bagi negara hukum demokratis Indonesia.
Pada masa Orde Baru, agama dibekukan dari aktivitas politik riil. Doktrin-doktrin agama dilarang untuk diintegrasikan
ke dalam politik negara. Partai politik-partai politik baik yang berdasarkan agama
maupun nasionalis diwajibkan menjadikan
Pancasila sebagai basis ideologi. Demikian
pula, organisasi massa-organisasi massa
berhaluan agama pun harus menjadikan
Pancasila sebagai basis ideologinya. Kebijakan Orde Baru ini menimbulkan perlawanan, khususnya dari agama Islam.
Keruntuhan Orde Baru menjadi angin
segar bagi agama untuk berpolitik secara
riil. Partai politik-partai politik berbasis
agama lahir, dan menjadi peserta pemilu.
Beberapa partai politik berbasis ideologi
agama (Islam) berhasil eksis serta me­
nempatkan politisinya di DPR, dan masuk
menjadi bagian dari pemerintahan. Dalam
periode ini, agama mendapat kesempatan
luas untuk berpolitik baik melalui politik
riil maupun melalui keterlibatannya dalam
isu-isu dan persoalan-persoalan publik.
Dalam perkembangan demokrasi yang
kian matang di Indonesia, agama memang
harus dipisahkan dari negara hukum
demokratis. Pemisahan ini tidak berarti
agama tidak mempunyai ruang politik untuk ekspresi politik. Agama tetap mempunyai ruang politik untuk ekspresi politik.
Dalam ekspresi politiknya, agama harus
merelativisasikan posisinya di dalam negara hukum demokratis tanpa harus merelativisasikan doktrin-doktrin metafisiknya.
Artinya, agama tidak bisa menjadi dasar
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 96
VOL II, 2014
bagi negara hukum demokratis. Hal lain
yang harus dilakukan agama adalah me­
nerjemahkan doktrin-doktrin metafisiknya
ke dalam bahasa universal supaya bisa
diterima oleh warga negara hukum yang
lain, baik yang beragama maupun tidak
beragama. Pada titik ini, doktrin-doktrin
metafisik agama bisa menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip etis negara hukum
demokratis. Jika agama gagal menerjemahkan doktrin-doktrin metafisiknya, maka
agama yang berpolitik hanya menjadi teror
sekaligus horor yang mengancam kemanusiaan, demokrasi, dan mencoreng agama
itu sendiri. Kegagalan ini yang mesti diantisipasi oleh agama bila agama bermaksud memberi makna pada negara hukum
demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Nicholas. (2006). Habermas and Theology. Cambridge: Cambridge University Press.
Budi-Kleden, Paul dan Adrianus Sunarko
(ed.). (2010). Dialektika Sekularisasi, Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan.
Maumere-Yogyakarta: Penerbit Ledalero-Lamalera.
Borradori, Giovanna. (2005). Filsafat dalam
Masa Teror: Dialog dengan Jürgen Habermas dan Jacques Derrida. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Deflem, Mathieu (ed). (1996). Habermas,
Modernity and Law. London: SAGE Publication.
Habermas, Jürgen. (2008). Between Naturalism and Religion: Philosophical Essays.
Malden, MA: Polity Press.
_______. (1996). ”Postscript to Between Facts
and Norms” dalam Mathieu Deflem
(ed.). Habermas, Modernity and Law.
London: SAGE Publication.
_______. (1984). The Theory of Communicative
Action, vol. 1. Boston: Beacon Press.
4/24/2014 10:01:22 AM
Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama
Hardiman, F. Budi. (1990). Kritik IdeologiPertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
Yogyakarta: Kanisius.
_______. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta:Kanisius.
_______. (2009). Demokrasi Deliberatif – Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang
Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos
(ed.). (2012). Dari Radikalisme menujuTerorisme – Studi Relasi dan Transformasi
Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah
dan D.I. Yogyakarta. Jakarta: SETARA
Institute.
Kieser, Bernard. (2004). “Agama Bubar jika
Tidak Bercampur Nalar: Being religiosus
a la Habermas” dalam Majalah BASIS,
nomor 11-12, tahun ke-53, NovemberDesember.
Kristanto, JB dan Nirwan Ahmad Arsuka
(ed.). (2002). Bentara Esei-esei 2002, Ja-
006-[Alex Aur] Dialog Negara dan Agama_Habermas.indd 97
ALEXANDER AUR
97
karta: Penerbit Buku Kompas.
Madjid, Nurcholish. (1992). Islam Doktrin
dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan,
dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Magnis-Suseno, Franz. (2010). “Perkembangan Hubungan Kristiani-Muslim di Indonesia” dalam A. Eddy Kristiyanto (ed.), Spiritualitas Dialog: Narasi
Teologis tentang Kearifan Religius. Yogyakarta: Kanisius.
Regh, William. (1994). Insight and Solidarity:
A Study in the Discourse Ethics of Jurgen
Habermas. California: University of California Press.
Soeprapto. (2013). Pancasila: Makna dan Perumusannya. Jakarta: LPPKB.
Stephen, K. White (ed.). (1995). The Cambridge Companion to Habermas. New
York: Cambridge University Press.
4/24/2014 10:01:22 AM
Download