Mechanism of antibiotic resistance in bacteria

advertisement
Mechanism of Antibiotic Resistance in
Bacteria
Tri Wibawa
Department of Microbiology, Faculty of Medicine,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstract
Antibiotic resistance is a global problem which results to the
significant increasing of mortality and medical care expenses. On the
other hand, the new antibiotic discovery is gradually decreasing.
Recently, there is few new antibiotic released into market. This review
will address the antibiotic resistance mechanism in genetics and
biochemical point of view. The understanding of antibiotic resistance
mechanism is important to decrease the antibotic resistance prevalence.
Key words: Antibiotics resistant, bacteria, mechanim, molecular
Intisari
Resistensi terhadap antibiotik menjadi masalah global. Akibat
resistensi antibiotik maka terjadi kenaikan mortalitas dan biaya
perawatan kesehatan yang signifikan. Sementara itu, penemuan
antibiotik baru semakin lama semakin sedikit. Di dalam review ini akan
dituliskan tentang mekanisme terjadinya resistensi antibiotik yang
ditinjau dari aspek genetika maupun aspek biokimiawi. Pemahaman
tentang mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik ini menjadi
sangat penting dalam membantu penurunan angka resistensi antibiotik.
Kata kunci: Resistensi antibiotika, bakteri, mekanisme, molekular
1
Latar Belakang
Resistensi terhadap antibiotik menjadi masalah global. Penanggulangan resistensi antibiotik tidak lagi dibicarakan di tingkat nasional
atau regional, namun di tingkat global. Tidak kurang WHO
memperhatikan masalah ini dengan cukup serius. WHO Pada tahun
2001 mengeluarkan suatu petunjuk tentang bagaimana menjaga
penyebaran resistensi terhadap antibiotik (WHO, 2001). Di dalamnya
terdapat lima strategi yaitu: (1) menurunkan beban kesakitan dan
penyebaran penyakit infeksi, (2) meningkatkan akses terhadap antibitok,
(3) meningkatkan sistem kesehatan dan kemampuan survailans, (4)
memperkuat regulasi dan perundangan, (5) mendorong
pengembangan obat dan vaksin baru. Strategi ini dipandang perlu
segera diimplementasikan untuk mencegah meningkatnya angka
resistensi mikroba terhadap antibiotik dan juga penyebarannya.
Sebelas tahun berikutnya WHO Patient Safety Programme
mengeluarkan publikasi yang kembali menekankan lima strategi yang
sudah pernah dicanangkan sekaligus mengevaluasi pelaksanaan dari
lima strategi tersebut. Penanggulangan resistensi antibiotik dan
penyebarannya bukan masalah yang sederhana. Memerlukan
pendekatan multi sektor untuk mencapai tujuan tersebut. Masih terdapat
banyak masalah yang menyebabkan lima strategi yang sudah
dicanangkan satu dekade sebelumnya tidak dapat diimplementasikan
dengan sempurna. Hasil akhirnya, resistensi antibiotik masih merupakan
masalah yang nyata secara global (WHO, 2012).
Sebagai gambaran besarnya angka resistensi antibiotik dapat
dilihat pada laporan oleh European Antimicrobial Resistance Surveillance
Network (EARS-Net) yang dibiayai oleh European Center for Disease
Prevention and Control (ECDC) tahun 2010. EARS-Net melakukan
survailans terhadap tujuh patogen utama meliputi Streptococcus
pneumoniae, Escherichia coli, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium,
Klebsiella pneumoniae and Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus. Duapuluh delapan negara di Eropa melaporkan dari 30.680
isolat Staphylococcus aureus, yang didapatkan dari pasien, terdapat
2
5.965 diantaranya adalah meticillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA). Secara keseluruhan dilaporkan MRSA dijumpai <1% di dua
negara, 1-5% di lima negara, 5-10% di dua negara, 10-25% di sembilan
negara, 25-50% di sembilan negara, dan > 50% di satu negara. Data
ini masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, walaupun terdapat
tendensi penurunan proporsi MRSA di Eropa (ECDC, 2010).
Di Amerika serikat, Center for Diseases Control and Prevention (CDC)
melaporkan bahwa setiap tahunnya paling tidak dua juta orang
menderita infeksi oleh bakteri yang resistan terhadap satu atau lebih
antibiotik yang semestinya menjadi obat pilihan untuk bakteri tersebut.
Lebih dari 23.000 orang meninggal setiap tahunnya oleh karena infeksi
bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Resistensi S. pneumoniae
diperkirakan terjadi pada 1,2 juta orang dengan 7.000 kematian setiap
tahunnya. Resistensi P. aeruginosa terhadap lebih dari tiga kelas
antibiotik diperkirakan terjadi pada 6.700 kasus dengan lebih kurang
440 kematian setiap tahunnya. Oleh karena itu CDC menerapkan empat
program untuk menanggulangi resistensi antibiotik, yaitu: (1) mencegah
infeksi dan penyebaran resisntensi terhadap antibiotik, (2) menelusur
setiap bakteri yang resisten, (3) memperbaiki penggunaan antibiotik
dan (4) mendorong penemuan antibiotik baru dan mengembangkan
teknologi untuk mendeteksi adanya bakteri yang resisten (CDC, 2013).
Di Asia Tenggara masalah resistensi antibiotik juga cukup
serius. WHO regional Asia Tenggara menetapkan beberapa strategi,
antara lain dengan merasionalkan penggunaan antibiotik, menurunkan
selection preassure, merubah perilaku pemberi resep antibiotik dan
menjadikan isu resistensi antibiotik ini menjadi masalah nasional di
setiap negara di Asia Tenggara (WHO SEARO, 2010).
Mekanisme Aksi Antibiotik
Sebagian besar antibiotik yang digunakan pada saat ini adalah
produk alami yang berasal dari bakteri atau jamur. Bahan aktif antibiotik
ini dipergunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri lain di
lingkungannya. Sangat sedikit antibiotik yang merupakan bahan semi
3
sintetik seperti generasi ke-2 dan ke-3 penicilin dan cefalosporin,
maupun yang sintetik seperti clarithromycin, azithromycin, dan
ciprofloxacin (Walsh, 2000). Penicillin pertama kali digunakan untuk
pengobatan pada tahun 1943. Selanjutnya berbagai macam antibiotik
menyusul ditemukan, seperti tetracycline (1950), erythromycine (1953),
methicilin (1960), gentamicin (1967), vancomycin (1972), hingga terakhir
ceftarolin yang ditemukan pada tahun 2010 (CDC, 2013).
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme aksinya
menjadi enam golongan besar, yaitu: (1) penghambat sintesis dinding
sel, meliputi: penicillins, cephalosporins, vancomycin, penghambat betalactamase, carbapenems, aztreonam, polymyxcin dan bacitracin; (2)
penghambat sintesis protein, meliputi: aminoglycosides (gentamicin),
tetracyclines, macrolides, chloramphenicol, clindamycin, linezolid dan
streptogramins; (3) penghambat sintesis DNA, seperti: fluoroquinolones
dan metronidazole; (4) penghambat sintesis RNA: rifampisin; (5)
penghambat sintesis asam mikolat: isoniazid; (6) penghambat sintesis
asam folat: sulfonamides dan trimethoprim (Walsh, 2000; Dzidic et al.,
2008). Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme aksi obat
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme aksi
4
Awal Terjadinya dan Penyebaran Strain Bakteri Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik berhubungan erat dengan pemakaian
antibiotik pada manusia, hewan ternak, pertanian, dan perikanan
(Millman et al, 2013; Marti et al., 2014; Muziasari et al, 2014 ). Antibiotik
banyak dipakai di peternakan bukan sebagai obat penyakit infeksi,
namun sebagai obat perangsang pertumbuhan. Pemakaian antibiotik
5
sebagai perangsang pertumbuhan di peternakan sudah dilarang mulai
1 Januari 2006 di Uni Eropa (Castanon, 2007).
Resistensi antibiotik terjadi karena adanya “selection pressure” yang
terjadi pada saat antibiotik digunakan di klinik, hewan ternak, industri
rumah tangga, maupun pertanian. Setiap penggunaan antibiotik berarti
menambah terjadinya selection pressure. Mekanisme ini bahkan dapat
ditemukan pada pengobatan dengan antibiotik jangka pendek (tujuh
hari) pada pasien dengan febril netropenia (Jacquier et al., 2013). Hal
yang mendasari proses terjadinya resistensi terhadap antibiotik dapat
dijelaskan dengan menganalogikan adanya suatu populasi yang terdiri
dari dua macam strain bakteri. Bakteri yang rentan terhadap antibiotik
ditemukan dominan pada populasi tersebut, hanya sebagian kecil
populasi bakteri memiliki mutasi genetik dan bersifat resisten terhadap
antibiotik. Pemberian antibiotik dapat berlaku sebagai “selective
pressure” pada populasi bakteri ini. Hasil akhirnya adalah terjadinya
dominasi bakteri mutan yang resisten terhadap antibiotik. Sementara,
bakteri yang rentan terhadap antibiotik tereradikasi dari populasi
tersebut oleh karena pemberian antibiotik. Bakteri resisten ini yang
akhirnya dijumpai di dalam tubuh host, manusia maupun hewan, yang
pada gilirannya dapat bersirkulasi di lingkungan sekitarnya (Lai et al.,
2011; Hui et al., 2013).
Sirkulasi bakteri resisten yang terhindar dari eradikasi antibiotik
ini melibatkan banyak sistem, yang meliputi sistem kehidupan manusia,
rumah sakit, hewan peliharaan, hewan ternak, pertanian, limbah biologi,
industri, lingkungan tanah dan air, dan juga kehidupan hewan liar
(Davies dan Davies, 2010). Sebagai contoh, pemakaian antibitok pada
hewan ternak dapat menyisakan bakteri komensal maupun patogen
yang resisten terhadap antibiotik. Komensal dan patogen ini selanjutnya
terdapat di dalam daging ternak yang kemudian dikonsumsi oleh
manusia. Dengan demikian terjadilah loncatan strain bakteri resisten
ini ke manusia. Di saat yang sama, limbah peternakan yang
terkontaminasi bakteri resisten menyebabkan kontaminasi lingkungan
dan sarana pembuangan limbah. Bakteri resisten yang sudah masuk
6
ke dalam limbah ini akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih
luas, seperti tanah, sumber mata air, persawahan, perumahan
penduduk, industri dan tempat-tempat lain yang pada akhirnya menjadi
sumber kontak manusia dengan bakteri resisten terhadap antibiotik
(Novo et al., 2013). Dengan demikian maka, penyebaran bakteri resisten
tidak dapat dipandang hanya dari sisi manusia, namun harus dari sisi
yang lebih luas di dalam seluruh ekosistem (Davies dan Davies, 2010).
Gen pengkode resistensi antibiotik dapat menyebabkan perubahan
karakteristik bakteri yang memilikinya. Misalnya menjadikannya memiliki
kemampuan untuk hidup dan berkembang pada lingkungan yang
mengadung senyawa yang berbahaya bagi sel bakteri, dalam hal ini
antibiotik misalnya. Sesuai dengan karakteristik prokaryote, maka sel
bakteri memiliki kemampuan untuk melakukan pertukaran materi
genetik secara horizontal. Mekanisme perpindahan materi genetik
dapat terjadi dengan cara konjugasi, transfromasi ataupun transduksi.
Perolehan materi genetik secara horizontal dapat diperantarai oleh
plasmid atau transposable elements lainnya seperti transposon dan
integron. Dengan cara inilah terjadi penyebaran sifat resistensi terhadap
antibiotik antar bakteri (Ochman et al, 2000). Transfer horizontal gen
pengkode resistensi ini menambah potensi penyebaran bakteri resisten
tidak hanya melalui mekanisme selection pressure yang diikuti oleh
transmisi ke ekosistem, namun juga memungkinkan meloncatnya gena
pengkode resistensi dari satu spesies ke spesies yang lain dan dari
satu genus ke genus yang lainnya.
Aspek Genetik Resistensi Antibiotik
Mekanisme terjadinya resistensi antibiotik dapat diterangkan dari
aspek genetika dan biokimiawi. Aspek genetika resistensi antibiotik
meliputi berbagai perubahan pada genom dan regulasi gen pada
bakteri yang berakibat pada resistensi antibiotik. Berbeda dengan
aspek genetika, tinjauan dari sisi biokimia lebih dapat menerangkan
mekanisme terjadinya resistensi dari sisi fenotipik bakteri. Meskipun
demikian harus selalu diingat bahwa antara aspek genetika dan
7
fenotipik sangat berkaitan erat. Terjadinya perubahan pada fenotip
adalah akibat dari perubahan genotip.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi secara intrinsik
yang merupakan karakteristik asli bakteri tersebut, sebagai contoh E.
coli resisten terhadap vancomycin. Resistensi terhadap antibiotik dapat
terjadi pula oleh karena dapatan. Sifat resistensi dapatan ini dapat
terjadi oleh karena: mendapatkan gen pengkode resistensi dari proses
transfer genetik horizontal, mutasi pada genome bakteri dan atau
kombinasi dari keduanya (Hawkey, 1998).
Mutasi Spontan
Sifat resisten terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh mutasi
pada genom bakteri. Mutasi pada kromosom bakteri ini diakibatkan
oleh karena terjadinya kesalahan pada saat replikasi DNA atau
kegagalan proses perbaikan DNA (DNA repair). Mutasi jenis ini biasa
disebut sebagai mutasi spontan yang dapat terjadi secara random
pada saat pertumbuhan bakteri. Mutasi ini sering pula disebut dengan
growth dependent mutation (Dzidic et al., 2008; Giedraitienë et al., 2011).
Sebagai contoh mekanisme ini adalah terjadinya mutasi pada
Helicobacter pylori yang bertanggungjawab pada terjadinya resistensi
terhadap clarithromycin, metronidazole, amoxicillin, ciprofloxacin dan
rifampin. Hasil perhitungan frekuensi mutasi spontan yang
bertanggung jawab terhadap resistensi terhadap clarithromcin dan
metronidazole <10-9 per pembelahan sel. Sementara itu frekuensi
mutasi spontan resistensi terhadap rifampin 20 kali lebih besar. Namun
frekuensi mutasi amoxicillin jauh lebih rendah (Wang et al., 2001).
Mekanisme resistensi antibotik yang melibatkan berbagai
mekanisme biokimiawi di dalam sel bakteri dapat diterangkan dengan
adanya mutasi pada gen yang mengkode salah satu komponen yang
terlibat di dalam interaksi biokimiawi antara antibiotik dan bakteri
(Dzidic et al., 2008). Mutasi yang terjadi pada gen yang mengkode
target molekul dari antibiotik merupakan contoh dari mekansime ini.
Resistensi terhadap quinolon terjadi karena mutasi pada gen gyrA
8
dan parC (Yang et al, 2013). Resistensi M. tuberculosis terhadap rifamicin
terjadi karena mutasi pada gena rpoB, sementara resistensi terhadap
isoniazid disebabkan mutasi pada gena katG (Zakham et al., 2013).
Resistensi H. pylori terhadap amoxicillin berhubungan dengan mutasi
pada gen pbp1 (Kim dan Kim, 2013).
Hypermutation
Model “hypermutable state” menyatakan bahwa selama terjadi
selective pressure berkepanjangan yang non letal, sebagian kecil bakteri
akan berubah menjadi mudah mengalami mutasi (hypermutation state)
yang bersifat sementara. Keadaan ini menyebabkan suatu baktari
mampu mengalami mutasi 50-10.000 kali lebih sering dibandingan
aslinya (Giedraitienë et al., 2011). Pada penyakit kronis seperti cycstic
fibrosis, Pseudomonas aeruginosa sering menjadi penyebab infeksi yang
sulit dieradikasi. Pemakaian antibiotik dalam jangka waktu lama menjadi
tidak dapat terhindarkan. Dalam keadaan ini P. aeruginosa dapat
mengalami mekanisme hypermutable. Selama proses infeksi, bakteri
ini mengalami perubahan genotip dan fenotip untuk beradaptasi
dengan lingkungan paru cystic fibrosis. P. aeruginosa akan
meningkatkan diversitas populasi selnya untuk agar dapat bertahan.
Hipermutasi pada genom regio tertentu merupakan salah satu strategi
untuk bertahan. Meskipun demikian, dilaporkan bahwa keadaan
hipermutasi ini tidak selalu berhubungan dengan tingginya tingkat
resistensi terhadap antibiotik (Lutz et al., 2013). Hipermutator
ditemukan pada bakteri E. coli, Salmonella enterica, Neisseria meningitidis,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Helicobacter pylori,
Streptococcus pneumoniae, dan P. aeruginosa (Dzidic et al., 2008).
Mutagenesis Adaptif
Proses mutasi sebagian besar terjadi pada sel yang sedang
membelah, oleh karena terjadinya kesalahan pada proses replikasi
DNA. Namun demikian, mutasi dapat terjadi pula pada sel yang tidak
sedang membelah atau membelah dengan lambat. Mutasi ini disebut
dengan mutasi adaptif, yang ditunjang oleh adanya pemberian
9
antibiotik non letal sebagai selective pressure (Dzidic et al., 2008).
Pemberian kanamycin dan streptomycin pada E. coli dapat
menimbulkan mutagenesis adapatif yang berakibat pada resistensi
terhadap antibiotik ini (Song et al., 2014)
Aspek Biokimiawi Resistensi Antibiotik
Perubahan fenotipik pada bakteri dapat berakibat pada resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Secara garis besar, terdapat beberapa
mekanisme yang mendasari resistensi antibiotik, yaitu: (1) inaktivasi
antibiotik, (2) modifikasi target molekul, (3) sistem pompa aktif dari
dalam keluar sel (efflux pump), dan (4) perubahan outer membrane sel.
Inaktivasi antibiotik
Antibiotik dapat dinonaktifkan oleh sel bakteri dengan cara
hidrolosis oleh enzim. Bakteri mensintesis enzim â-laktamase, suatu
amidase, untuk menonaktifkan antibiotik yang memiliki cincin â-laktam,
seperti golongan penicillin dan cefalosporin. Bakteri Gram positif
maupun negatif mampu membentuk enzim ini. Lebih dari 200 macam
enzim â-laktamase telah diidentifikasi, baik yang dikode oleh kromosom
maupun plasmid (Dzidic et al., 2008). Terdapat beberapa kelas enzim
â-laktamase menurut Ambler classification, klasifikasi berdasaran
homologi asam amino, yaitu: Kelas A serine-lactamase, Kelas A extendedspectrum â-lactamases (ESBL), Kelas A serine carbapenemases, Kelas B
metallo-â–lactamases, Kelas C serine cephalosporinases, dan Kelas D
serine oxacillinases (Drawz dan Bonomo, 2010).
Hidrolisis oleh enzim menyebabkan perubahan struktur kimia yang
berakibat tidak berfungsinya antibiotik. Hidrolosis oleh kelas A serine
lactamase dijumpai pada E. coli,
K. Pneumoniae, P. aeruginosa dan
A. baumannii. Enzim ini dapat dikode oleh gen kromosomal, plasmid
maupun integron. Extended spectrum â-lactamases (ESBL) menyebabkan
terjadinya resistensi pada semua golongan penicillin, cefalosporin
generasi ketiga (seperti: ceftazidime, cefotaxim, ceftriaxon), aztreonam,
cefamadol, dan cefoperazone, namun tidak untuk cephamycin (cefoxitin
10
dan cefotetan) dan carbapenem. Bakteri produsen ESBL dapat dihambat
oleh clavulanic acid, sulbactam, atau tazobactam. Umumnya bakteri
produsen ESBL resisten pula terhadap quinolon. ESBL sangat bervariasi,
terdapat lebih dari 200 macam ESBL sudah diidentifikasi. ESBL umumnya
dikode oleh plasmid, dan dapat ditransfer melalui pertukaran plasmid
atau transposon. Enzim ini umumnya ditemukan pada Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae dan Proteus mirabilis, namun juga ditemukan
pada Enterobacteriaceae yang lain dan P. aeruginosa (Bradford, 2001;
Giedraitienë et al., 2011).
Enzim lain yang dapat menghidrolisis antibiotik adalah esterase.
Gena ereB pada E. coli mengkode erythromycin esterase II yang
menghidrolisis cincin lactone erythromycin A dan oleandomycin
(Giedraitienë et al., 2011).
Inaktivasi antibiotik dapat dilakukan oleh enzim transferase, yaitu
suatu enzim yang dapat menambahkan gugus adenylyl, phosphoryl
atau acetyl ke dalam molekul antibiotik. Dengan penbambahan gugusgugus ini maka antibiotik golongan aminoglycoside, chloramphenicol,
streptogramin, macrolides atau rifampicin mengalami perubahan
kemampuan berikatan dengan molekul target. Dengan cara inilah
terjadinya resistensi terhadap antibiotik ini didapatkan (Dzidic et al.,
2008).
Modifikasi Molekul Target
Interaksi antara antibiotik dan molekul target memiliki peranan
penting pada mekanisme kerja antibotik menghambat pertumbuhan
bakteri. Perubahan molekul target dapat berakibat pada efisiensi
interaksi ini, yang berakibat pada resisntensi.
Perubahan struktur peptidoglikan dapat menjadi dasar terjadinya
resistensi terhadap antibiotik golongan penicillin, cephalosporin,
carbapenem, monobactam, dan glycopeptide. Hal ini terjadi oleh
karena antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel
yang dilakukan oleh â-laktam. Penicillin-binding protein 2 (PBP2) yang
dimiliki oleh N. Gonorrhoeae merupakan target molekul dari antibiotik
â-laktam. Isolat N. Gonorrhoeae resisten memiliki mutasi pada gen
11
pengkode PBP2 berupa insersi aspartat (Asp-345a) dan beberapa
mutasi lainnya (Powell et al., 2009). Mutasi pada quinolone resistancedetermining regions (QRDRs) dilaporkan bertanggungjawab terhadap
terjadinya resistensi quinolon pada E. coli (Aoike et al., 2013).
Perubahan pada bagian C-terminal dari gen pbp5 berhubungan
dengan adanya resistensi terhadap ampicilin pada Enterobacter faecium
(Poeta et al., 2007).
Vancomycin menghambat sintesis dinding sel bakteri Gram positif
dengan cara berikatan dengan C-terminal acyl-D-alanyl-D-alanine (acylD-Ala-D-Ala) dari prekursor peptidoglikan. Resistensi dapat terjadi
dengan perubahan D-Ala-D-Ala menjadi D-alanyl-D-lactate (D-AlaD-Lac) atau D-alanyl-D-serine (D-Ala-D-Ser). Hasil akhir dari perubahan
menjadi (D-Ala-D-Lac) adalah terjadinya penurunan afinitas vancomycin
hingga 1000 kali lebih rendah dibanding C terminal prekursor
peptidoglikan wild type (Cooper et al., 2000; Dzidic et al., 2008).
Banyak antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan
cara menghambat sintesis protein misalnya: aminoglycoside,
tetracycline, macrolide, chloramphenicol, fusidic acid, mupirocin,
streptogramin,oxazolidinones dan juga menghambat proses
transkripsi, seperti misalnya rifampicin.
Antibiotik baru, bactobolin, diyakini memiliki target molekul baru
yang tidak dimiliki oleh antibiotik yang sudah ada. Bactobolin mentarget
50S ribosome-associated L2 protein. Perubahan pada protein L2
bertangggung jawab secara spesifik resistensi Bacillus subtilis terhadap
bactobolin (Chandler et al., 2012). Clostridium perfringens yang diisolasi
dari babi dilaporkan resisten terhadap linezolid, florfenicol, dan
erythromycin oleh karena mutasi pada gen fplD yang mengkode
protein L4 pada subunit 50S ribosome (Holzel et al., 2010). Laporan
lainnya menyatakan bahwa perubahan pada protein L4 ini
menyebabkan perubahan struktur subunit 50S yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses translasi, seperti:
terjadinya frameshift, perubahan asam amino (missense), pembacaan
melebihi stop codon dan pemakaian bukan UAG sebagai start codon
(O’connor et al., 2004).
12
Mutasi pada gena pengkode 16S methylase dilaporkan sebagai
kandidat gen resisten baru pada isolat bakteri yang resisten terhadap
gentamicin dan amikacin. Protein yang dikode oleh gen baru ini hanya
memiliki kesamaan lebih kurang 42% dibandingkan urutan asam amino
16S rRNA yang telah diketahui sebelumnya (Moore et al., 2013). Mutasi
pada gen 23S rRNA bertanggungjawab pada resistensi Mycoplasma
pneumoniae terhadap macrolite (Uh et al., 2013)
Fluoroquinolone, seperti ciprofloxacin, levofloxacin dan ofloxacin,
berinteraksi dengan DNA gyrase dan topoisomerase IV yang dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan sintesis DNA dan proses
transkripsi. Apabila terjadi mutasi pada gen yang mengkode kedua
enzim tersebut dapat terjadi perubahan struktur enzym yang berakibat
pada kegagalan ikatan antara antibiotik dengan enzim target (Dzidic
et al., 2008).
Sistem Pompa Aktif dari Dalam Keluar Sel (Efflux Pump).
Sistem pompa aktif adalah suatau mekanisme yang bertangggung
jawab terhadap perpindahan bahan toksik, termasuk antibiotik, dari
dalam keluar sel. Mekanisme ini penting di dalam ilmu kedokteran
oleh karena dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
antibiotik. Hal ini dapat terjadi pada semua antibiotik, kecuali polymixin.
Namun demikian yang paling utama terpengaruh adalah macrolide,
tetracycline, dan fluroquinolone. Hal ini terjadi oleh karena antibiotik
golongan ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dan DNA,
sehingga untuk dapat berefek dengan baik, antibiotik ini harus dapat
berada di dalam sel.
Sistem pompa aktif ini untuk dapat bekerja membutuhkan energi.
Sistem pompa aktif pada bakteri dapat digolongkan menjadi lima
macam, yaitu: Major facilitator superfamily (MFS), ATP-binding cassette
superfamily (ABC), Small multidrug resistance family (SMR), Resistancenodulation-cell division superfamily (RND), dan Multi antimicrobial
extrusion protein family (MATE).
13
Giedraitienë et al. (2011) telah merangkum di dalam tulisannya
tentang sistem pompa antibiotik dari dalam keluar sel seperti pada
tabel 2. Banyak sistem pompa aktif yang sudah diidentifikasi berperan
mengeluarkan antibiotik keluar sel bakteri. Sistem pompa dapat spesifik
untuk antibiotik tertentu, namun demikian yang umum terjadi adalah
multidrug transporter.
Tabel 2. Sistem pompa aktif antibiotik pada beberapa bakteri
Perubahan Outer Membrane (OM) Sel
Bakteri Gram negatif memiliki OM yang terdiri dari fosfolipid di
bagian dalam dan lipid A di bagian luar. Komposisi OM bakteri
14
berpengaruh terhadap masukan dan transportasi antibiotik ke dalam
sel. Molekul antibiotik dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan tiga
cara, yaitu: difusi melalui porin, difusi melalui billayer, dan self-promoted
uptake (Dzidic et al., 2008).
Perubahan OM oleh bakteri bersama-sama dengan pompa
aktif sel merupakan latar belakang mekanisme resistensi terhadap
antibiotik yang didasari pada strategi untuk menghambat akses
antibiotik intraseluler. Sebagai contoh adalah antibiotik golongan âlaktam dan fluoroquinolon. Kedua golongan antibiotik ini aktif terhadap
bakteri Gram negatif yang memiliki struktur molekul kecil dan hidrofilik,
sehingga masuk ke dalam sel bakteri melalui OmpF/C porins pada E.
coli dan OprD pada P. aeruginosa (Masi dan Pages, 2013). Resistensi
antibotik dari semua golongan pada P. aeruginosa disebabkan oleh
menurunnya permiabilitas OM (Giedraitienë et al., 2011).
Kesimpulan
Resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah global.
Penanggulangan penyakit infeksi menjadi terhambat oleh karena
adanya resistensi antibiotik yang menyebar di seluruh dunia. Resistensi
terhadap antibiotik tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka
hubungan patogen–manusia, namun lebih luas lagi mencakup seluruh
lingkungan biologi di alam. Mekanisme terjadinya resistensi dapat
ditinjau dari dua aspek, aspek genetik dan aspek biokimiawi. Aspek
genetik mendasari mekanisme biokimiawi sesuai dengan dogma
biologi molekuler.
Daftar pustaka
Aoike N, Saga T, Sakata R, Yoshizumi A, Kimura S, Iwata M, Yoshizawa
S, Sugasawa Y, Ishii Y, Yamaguchi K, Tateda K. 2013. Molecular
characterization of extraintestinal Escherichia coli isolates in Japan:
relationship between sequence types and mutation patterns of
quinolone resistance-determining regions analyzed by
pyrosequencing. J Clin Microbiol. 51(6):1692-8.
15
Bradford PA. 2001. Extended-spectrum beta-lactamases in the 21st
century: characterization, epidemiology, and detection of this
important resistance threat. Clin Microbiol Rev. 14(4):933-51.
Castanon JIR. 2007. History of the Use of Antibiotic as Growth Promoters
in European Poultry Feeds. Poultry Sci. 86 (11):2466-71.
CDC. 2013. Antibioticc Resistance Threats in the United States, 2013. US
Department of Health and Human Service, Centers for Diseases
Control and Prevention, Atlanta.
Chandler JR, Truong TT, Silva PM, Seyedsayamdost MR, Carr G, Radey
M, Jacobs MA, Sims EH, Clardy J, Greenberg EP. 2012. Bactobolin
resistance is conferred by mutations in the L2 ribosomal protein.
Mbio 3(6). pii: e00499-12.
Cooper MA, Fiorini MT, Abell C, Williams DH. 2000. Binding of
vancomycin group antibiotics to D-alanine and D-lactate presenting
self-assembled monolayers. Bioorg Med Chem. 8(11):2609-16.
Davies J dan Davis D. 2010. Origins and Evolution of Antibiotic
Resistance. Microbioi Mol Biol Rev 74 (3): 417–33.
Dzidic S, Suskovic J, Kos B. 2008. Antibiotic Resistance Mechanisms in
Bacteria:
Biochemical and Genetic Aspects. Food Technol. Biotechnol. 46 (1) 11–
21.
Drawz SM dan Bonomo RA. 2010. Three Decades of â-Lactamase
Inhibitors. Clin. Microbiol. Rev. 23 (1): 160-201.
ECDC. 2010. Antimicrobial resistancesurveillance in Europe Annual report
of the European Antimicrobial Resistance Surveillance Network (EARSNet) 2009. Stockholm.
Hawkey PM, 1998. The origins and molecular basis of antibiotic
resistance. BMJ 317:657-60.
Giedraitienë A, Vitkauskienë A, Naginienë R dan Pavilonis A.
2011.Antibiotic Resistance Mechanisms of Clinically Important
Bacteria. Medicina (Kaunas) 47(3):137-46.
Hölzel CS, Harms KS, Schwaiger K, Bauer J. 2010. Resistance to linezolid
in a porcine Clostridium perfringens strain carrying a mutation in
16
the rplD gene encoding the ribosomal protein L4. Antimicrob Agents
Chemother 54(3):1351-3.
Hui C, Lin MC, Jao MS, Liu TC, Wu RG. 2013. Previous antibiotic exposure
and evolution of antibiotic resistance in mechanically ventilated
patients with nosocomial infections. J Crit Care. 28(5):728-34.
Jacquier H, Marcade´ G, Raffoux E, Dombret H, Woerther PL, Donay JL
, Arlet G and Cambau E. 2013. In vivo selection of a complex
mutant TEM (CMT) from an inhibitor-resistant TEM (IRT) during
ceftazidime therapy. J Antimicrob Chemother 68: 2792–96.
Kim BJ dan Kim JG. 2013. Substitutions in penicillin-binding protein 1
in amoxicillin-resistant Helicobacter pylori strains isolated from
Korean patients. Gut Liver 7(6):655-60.
Lai CC, Wang CY, Chu CC, Tan CK, Lu CL , Lee YC, Huang YT, Lee PI and
Hsueh PR. 2011. Correlation between antibiotic consumption and
resistance of Gram-negative bacteria causing healthcareassociated infections at a university hospital in Taiwan from 2000
to 2009. J Antimicrob Chemother. 66 (6):1374-82.
Lutz L, Leão RS, Ferreira AG, Pereira DC, Raupp C, Pitt T, Marques EA,
Barth AL. 2013. Hypermutable Pseudomonas aeruginosa in Cystic
Fibrosis Patients from Two Brazilian Cities. J Clin Microbiol 51: 927–
30.
Marti R, Tien YC, Murray R, Scott A, Sabourin L, Topp E. 2014. Safely
Coupling Livestock and Crop Production Systems: How Rapidly
Do Antibiotic Resistance Genes Dissipate in Soil Following a
Commercial Application of Swine or Dairy Manure? Appl Environ
Microbiol. 2014 Mar 14. E pubb.
Masi M dan Pagès JM. 2013. Structure, Function and Regulation of
Outer Membrane Proteins Involved in Drug Transport in
Enterobactericeae: the OmpF/C - TolC Case. Open Microbiol J 7:2233.
Millman JM , Waits K, Grande H, Marks AR, Marks JC, Price LB, Hungate
BA. 2013. Prevalence of antibiotic-resistant E. coli in retail chicken:
comparing conventional, organic, kosher, and raised without
antibiotics. F1000 Research 2:155
17
Moore D. 2013. http://www.orthobullets.com/basic-science/9059/
antibiotic-classification-and-mechanism. Diakses pada 30 Maret
2014.
Moore AM, Patel S, Forsberg KJ, Wang B, Bentley G, Razia Y, Qin X,
Tarr PI, Dantas G. 2013. Pediatric fecal microbiota harbor diverse
and novel antibiotic resistance genes. PLoS One 8(11):e78822.
Muziasari WI, Managaki S, Pärnänen K, Karkman A, Lyra C, Tamminen
M, Suzuki S, Virta M. 2014. Sulphonamide and trimethoprim
resistance genes persist in sediments at baltic sea aquaculture
farms but are not detected in the surrounding environment. PLoS
One. 2014 Mar 20;9(3):e92702.
Novo A, Andre´ S, Vianab P, Nunes OC dan Manaia CM. 2013. Antibiotic
resistance, antimicrobial residues and bacterial community
composition in urban Wastewater. Water Res 47: 1875-87.
Ochman H, Lawrence JG and Groisman EA. 2000. Lateral gene transfer
and the nature of bacterial innovation. Nature 405: 299-304.
O’Connor M, Gregory ST, Dahlberg AE. 2004. Multiple defects in
translation associated with altered ribosomal protein L4. Nucleic
Acids Res 32(19):5750-6.
Poeta P, Costa D, Igrejas G, Sáenz Y, Zarazaga M, Rodrigues J, Torres
C. 2007. Polymorphisms of the pbp5 gene and correlation with
ampicillin resistance in Enterococcus faecium isolates of animal
origin. J Med Microbiol 56:236-40.
Powell AJ, Tomberg J, Deacon AM, Nicholas RA, Davies C. 2009. Crystal
structures of penicillin-binding protein 2 from penicillin-susceptible
and -resistant strains of Neisseria gonorrhoeae reveal an
unexpectedly subtle mechanism for antibiotic resistance. J Biol
Chem 284(2):1202-12.
Song W, Kim YH, Sim SH, Hwang S, Lee JH, Lee Y, Bae J, Hwang J, Lee
K. 2014.Antibiotic stress-induced modulation of the
endoribonucleolytic activity of RNase III and RNase G confers
resistance to aminoglycoside antibiotics in Escherichia coli. Nucleic
Acids Res. Jan 30. [Epub ahead of print].
18
Uh Y, Hong JH, Oh KJ, Cho HM, Park SD, Kim J, Yoon KJ. 2013. Macrolide
resistance of Mycoplasma pneumoniae and its detection rate by
real-time PCR in primary and tertiary care hospitals. Ann Lab Med
33(6):410-4.
Walsh C. 2000. Molecular Mechanisms that Confer Antibacterial Drug
Resistance. Nature 406: 775-81.
Wang F, Wilson TJM, Jiang Q, dan Taylor DE. 2001. Spontaneous
Mutations That Confer Antibiotic Resistance in Helicobacter pylori.
Antimicrob Agents Chemother 45 (3): 727-33.
WHO. 2001. Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance.
Geneva, World Health Organization, 2001, WHO/CDS/CSR/DRS/
2001.2.
WHO. 2012. The Evolving Threat of Antimicrobial Resistance Options for
action, World Health Organization, Geneva.
WHO SEARO. 2010. Regional Strategy on Prevention and Containment
of Antimicrobial Resistance 2010-2015, WHO South East Asian
Regional Office. New Delhi. India
Yang H, Duan G, Zhu J, Zhang W, Xi Y, Fan Q. 2013. Prevalence and
characterisation of plasmid-mediated quinolone resistance and
mutations in the gyrase and topoisomerase IV genes among
Shigella isolates from Henan, China, between 2001 and 2008. Int J
Antimicrob Agents. 42 (2):173-7.
Zakham F, Chaoui I, Echchaoui AH, Chetioui F, Elmessaoudi MD, Ennaji
MM, Abid M, Mzibri ME. 2013. Direct sequencing for rapid
detection of multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis
strains in Morocco. Infect Drug Resist. 6: 207-13.
19
Download