4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lemak dan Minyak Lemak dan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol. Perbedaan antara
lemak dan minyak yaitu pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan
minyak berbentuk cair. Sebagian besar gliserida pada hewan adalah berupa lemak,
sedangkan gliserida dalam tumbuhan berupa minyak, karena itu biasa terdengar
ungkapan lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan minyak nabati (minyak
jagung, minyak bunga matahari). Asam lemak jenuh membentuk rantai “zig-zag”
yang sesuai satu sama lain, sehingga gaya tarik van der waalsnya tinggi, oleh
karena itu lemak–lemak jenuh itu bersifat padat. Jika beberapa ikatan rangkap
terdapat dalam rantai asam lemak maka molekul itu tidak dapat rapat dan mampat,
tetapi cenderung untuk melingkar sehingga lemak tak jenuh ganda cenderung
berbentuk minyak (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Hampir semua bahan pangan banyak mengandung lemak dan minyak
terutama bahan yang berasal dari hewan. Lemak dalam jaringan hewan terdapat
pada jaringan adipose. Dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol
dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi
karbohidrat dalam proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman
dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembentukan gliserol, pembentukan
molekul asam lemak, kemudian kondensasi asam lemak dengan gliserol
membentuk lemak (Winarno, 1992).
4
Universitas Sumatera Utara
2.2 Minyak Nabati
Minyak nabati merupakan minyak yang umumnya berwujud cair pada suhu
kamar karena mengandung asam lemak tidak jenuh, seperti asam oleat, asam
linolenat dan asam linolenat (Ketaren, 1996).
2.2.1 Minyak Kelapa Murni (VCO)
Minyak kelapa murni (VCO) merupakan salah satu olahan dari buah kelapa
(Cocos nucifera). Komponen minyak kelapa terdiri dari asam lemak jenuh (90%)
dan minyak tak jenuh (10%). Minyak kelapa memiliki banyak kelebihan, 50%
asam lemak pada minyak kelapa adalah asam laurat dan 7% asam kaprilat. Kedua
asam tersebut merupakan asam lemak jenuh rantai sedang yang mudah
dimetabolisme dan bersifat antimikroba (antivirus, antibakteri, dan antijamur)
(Sutarmi dan Rozaline, 2005).
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam minyak kelapa dapat dilihat
pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa
Asam Lemak
Asam Lemak Jenuh:
Asam kaproat
Asam kaprilat
Asam kaprat
Asam laurat
Asam miristat
Asam palmitat
Asam stearat
Asam arachidat
Asam Lemak Tidak Jenuh:
Asam palmitoleat
Asam oleat
Asam linoleat
Sumber : Ketaren, 1996
Rumus Kimia
Jumlah (%)
C5H11COOH
C7H15COOH
C9H19COOH
C11H23COOH
C13H27COOH
C15H31COOH
C17H35COOH
C19H39COOH
0,0-0,8
5,5-9,5
4,5-9,5
44,0-52,0
13,0-19,0
7,5-10,5
1,0-3,0
0,0-0,4
C15H29COOH
C17H33COOH
C17H31COOH
0,0-1,3
5,0-8,0
1,5-2,5
5
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Minyak Kelapa Sawit
Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan
minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Tanaman kelapa sawit
(Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam
family Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau
minyak, sedangkan nama spesies guinensis berasal dari kata guinea, yaitu tempat
dimana seorang ahli bernama Jacquin menemukan tanaman kelapa sawit pertama
kali di pantai Guinea (Ketaren, 1996).
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam minyak kelapa sawit dapat
dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit
Asam Lemak
Asam Lemak Jenuh:
Asam miristat
Asam palmitat
Asam stearat
Asam Lemak Tak Jenuh:
Asam oleat
Asam linoleat
Sumber : Ketaren, 1996
Rumus Kimia
Jumlah (%)
C13H27COOH
C15H31COOH
C17H35COOH
1,1-2,5
40-46
3,6-4,7
C17H33COOH
C17H31COOH
39-45
7-11
2.2.3 Minyak Kedelai
Kandungan minyak dan komposisi asam lemak dalam kedelai dipengaruhi
oleh varietas dan keadaan iklim tempat tumbuh. Lemak kasar terdiri dari
trigliserida sebesar 90-95 persen, sedangkan sisanya ialah fosfatida, asam lemak
bebas, sterol, dan tokoferol. Jumlah fosfatida dalam kedelai sekitar 2 persen yang
terdiri dari lesitin dan sepalin. Lesitin digunakan sebagai bahan pengempuk dalam
pembuatan kue atau roti (Ketaren, 1996).
6
Universitas Sumatera Utara
Minyak kedelai yang sudah dimurnikan dapat digunakan untuk pembuatan
minyak salad, minyak goreng (cooking oil) serta untuk segala keperluan pangan.
Minyak kedelai juga digunakan pada pabrik lilin, sabun, varnish, cat, semir,
insektisida dan desinfektans (Ketaren, 1996).
Kandungan asam lemak yang terdapat di dalam minyak kedelai dapat dilihat
pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak Kedelai
Asam Lemak
Asam Lemak Tidak Jenuh:
Asam oleat
Asam linoleat
Asam linolenat
Asam arachidonat
Asam Lemak Jenuh:
Asam palmitat
Asam sterat
Asam arachidat
Asam laurat
Sumber : Ketaren, 1996
Rumus Kimia
Jumlah (%)
C17H33COOH
C17H31COOH
C17H29COOH
C19H31COOH
15-64
11-60
1-12
1,5
C15H31COOH
C17H35COOH
C19H39COOH
C11H23COOH
7-10
2-5
0,2-1
0,0-0,1
2.3 Asam Lemak
Asam lemak yang ditemukan di alam, biasanya merupakan asam-asam
monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah
atom karbon genap. Asam-asam lemak yang ditemukan di alam dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam
lemak jenuh (saturated fatty acid/ SFA) tidak memiliki ikatan rangkap di antara
atom–atom karbon bersebelahan. Asam lemak mono–tak jenuh (monounsaturated fatty acid/ MUFA) memiliki satu ikatan rangkap; sedangkan asam
lemak poli-tak jenuh (poly-unsaturated fatty acid/ PUFA) memiliki dua atau lebih
ikatan rangkap (Winarno, 1992; Darmoyuwono, 2005).
7
Universitas Sumatera Utara
Asam lemak rantai pendek memiliki 2 sampai 6 atom karbon; asam lemak
rantai sedang memiliki 8 sampai 12 atom karbon; dan asam lemak rantai panjang
memiliki 14 sampai 24 atom karbon. Asam lemak jenuh yang mempunyai rantai
karbon pendek berupa zat cair pada suhu kamar. Makin panjang rantai karbon,
makin tinggi titik leburnya. Asam palmitat dan stearat berupa zat padat pada suhu
kamar. Apabila dibandingkan dengan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh
mempunyai titik lebur lebih rendah. Asam oleat mempunyai rantai karbon sama
panjang dengan asam stearat, akan tetapi pada suhu kamar asam oleat berupa zat
cair. Disamping itu semakin banyak jumlah ikatan rangkap, makin rendah titik
leburnya (Darmoyuwono, 2005; Poedjiadi, 1994).
2.4 Sabun
Sabun adalah garam alkali dari asam lemak rantai panjang. Sabun
ditemukan oleh orang Mesir Kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Bangsa Romawi
membuat sabun dari lemak kambing dan abu kayu. Sekarang sabun dibuat dengan
memanaskan lelehan lemak dengan lindi (lye=larutan alkali) sebagai ganti abu
kayu (Fessenden dan Fessenden 1986).
Proses pembuatan sabun tidak pernah berubah selama 200 tahun. Prosedur
pembuatan sabun melibatkan hidrolisis (saponifikasi) dari lemak. Secara kimia,
lemak biasanya disebut sebagai trigliserida yang mengandung gugus ester.
Saponifikasi melibatkan pemanasan lemak dengan larutan alkali. Larutan basa
menghidrolisis lemak menghasilkan garam dari asam karboksilat rantai penjang
(sabun) dan alkohol (gliserol). Garam asam karboksilat dari sabun biasanya
mengandung atom karbon 12 sampai 18 dengan rantai lurus (Pavia, et al., 1988).
8
Universitas Sumatera Utara
Lemak dan minyak yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah
gliserida dengan tiga gugus asam lemak yang diesterifikasi dengan gliserol
(trihidroksi alkohol). Perbedaan antara lemak dan minyak dapat dilihat dari
keadaan fisiknya: lemak berbentuk padat dan minyak berbentuk cair. Lemak dan
minyak biasanya terdiri dari molekul asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh
yang mengandung atom karbon antara 7 dan 21 yang berikatan dengan gliserol.
Secara umum, reaksi antara alkali dengan trigliserida menghasilkan sabun dan
gliserol yang dikenal dengan reaksi saponifikasi. Reaksi saponifikasi adalah
proses pembuatan sabun yang paling banyak dugunakan. Proses pembuatan sabun
yang lain adalah netralisasi asam lemak dengan alkali. Lemak dan minyak
dihidrolisis dengan uap bertekanan tinggi untuk menghasilkan asam lemak bebas
dan gliserol. Asam lemak ini kemudian dimurnikan dengan destilasi dan
dinetralkan dengan alkali untuk menghasilkan sabun dan air (Barel, et al., 2001)
Persyaratan mutu yang harus dipenuhi produk sabun menurut Standardisasi
Nasional Indonesia (1994): kadar air , jumlah asam lemak, kadar alkalis bebas dan
kadar minyak mineral. Syarat mutu sabun dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.4 Syarat Mutu Sabun
No. Uraian
Syarat
1.
Kadar air
maks. 15 %
2.
Jumlah asam lemak
3.
Alkali bebas (dihitung sebagai NaOH)
maks. 0,1 %
4.
Asam lemak bebas atau lemak netral
2,5 % - 7,5%
5.
Minyak mineral
> 70 %
negataif
Sumber: Standardisasi Nasional Indonesia, 1994
9
Universitas Sumatera Utara
2.5 Mekanisme Kerja Sabun
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang dan
ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul bersifat hidrofobik dan larut dalam
zat-zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air.
Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun tidak sepenuhnya larut
dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel,
yakni segerombol molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok
dengan ujung-ujung ionnya menghadap ke air (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsikan kotoran berminyak
sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua
sifat sabun. Pertama, rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat
nopolar, seperti tetesan-tetesan minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang
tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang
menyembul dari tetesan minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes
sabun-minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung, tetapi tetap
tersuspensi (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Nilai
sabun
yang
sesungguhnya
terletak
pada
kemampuannya
menghilangkan mikroorganisme secara mekanis. Seperti deterjen lain, sabun
dapat mengurangi tegangan permukaan sehingga meningkatkan sifat pembasahan
air yang di dalamnya terlarut sabun. Air sabun dapat mengemulsikan dan
menghilangkan minyak dan kotoran. Mikroorganisme menjadi terperangkap di
dalam busa sabun dan hilang setelah dibilas dengan air. Berbagai macam zat
kimia dicampurkan dalam sabun untuk meningkatkan aktivitas germisidalnya
(Pelezar dan Chan, 1976).
10
Universitas Sumatera Utara
2.6 Peran Asam Lemak dalam Sabun
Sifat-sifat dari produk sabun yang dihasilkan ditentukan oleh kualitas dan
komposisi asam-asam lemak yang digunakan. Secara umum, asam lemak dengan
panjang rantai karbon kurang dari 12 dapat menimbulkan iritasi kulit, sementara
asam lemak dengan panjang rantai karbon lebih dari 18 menghasilkan sabun yang
memiliki kelarutan yang sangat rendah (Barel, et al., 2001).
2.7 Madu
Jaman dahulu madu dipakai untuk mengawetkan daging dan kulit. Orang
Mesir pada waktu itu mempergunakan madu sebagai bagian dari ramuan
rahasianya untuk mengawetkan jenazah raja–raja, yang dikenal dengan nama
mummi. Sejak itu pula madu telah dikenal sebagai makanan, obat, minuman,
bahkan kecantikan dan bahan yang penting dalam pesta upacara agama. Begitu
terkenalnya madu pada zaman itu sehingga pajak di Babylonia dan di Mesir tidak
dibayar dengan uang, tetapi dengan madu. Pada waktu itu gula tebu dan gula lain
belum diketemukan orang, karenanya madu merupakan zat manis satu–satunya
yang dipakai untuk segala keperluan (Sumoprastowo dan Suprapto, 1993).
Untuk kecantikan madu dapat dibuat dalam bentuk masker, krem dan salep.
Masker madu lebih efektif daripa krem dan salep, sebab madu tidak saja
melembutkan kulit, tetapi juga memberi makan kulit. Karena madu bersifat
hygroskopis, maka sekresi kulit terhisap, sekaligus madu sebagai desinfektan.
Dengan demikian kulit muka tetap terjamin keawetan dan kesegarannya, halus,
lembut, dan bebas dari keriput dan benjolan yang merusak keindahan kulit
(Sumoprastowo dan Suprapto, 1993).
11
Universitas Sumatera Utara
2.8 Uraian Mikroba
Mikroba atau mikroorganisme adalah organisme hidup yang berukuran
sangat kecil dan hanya dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Mikroba
dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu organisme prokariot dan organisme
eukariot. Bakteri termasuk ke dalam organisme prokariot dan jamur termasuk
organisme eukariot (Pratiwi, 2008).
2.9 Bakteri
Nama bakteri berasal dari kata “bacterion” (bahasa Yunani) yang berarti
tongkat atau batang. Bakteri merupakan mikroorganisme yang bersel satu,
berkembangbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya
tampak dengan mikroskop (Waluyo, 2004).
2.9.1 Klasifikasi Bakteri
1. Menurut Waluyo (2004), berdasarkan bentuk morfologinya maka bakteri dapat
dikelompokkan ke dalam 3 golongan yaitu:
a) Bentuk Basil (Bacillus)
Basil dari kata bacillus, merupakan bakteri yang bentuknya menyerupai
tongkat pendek/batang kecil dan silindris. Basil dapat bergandeng-gandeng
panjang, bergandeng dua, atau terlepas satu sama lain. Berdasarkan jumlah koloni,
basil dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: monobasil, diplobasil dan
streptobasil.
b) Bentuk Kokus (Coccus)
Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil.
Berdasarkan jumlah koloni, kokus dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok,
yaitu: monokokus, diplokokus, tetrakokus, streptokokus, stafilokokus dan sarsina.
12
Universitas Sumatera Utara
c) Bentuk Spiral (Spirillum)
Spiril merupakan bakteri yang berbentuk bengkok atau berbengkokbengkok seperti spiral. Golongan bakteri ini merupakan golongan yang paling
kecil jika dibandingkan dengan golongan basil dan golongan kokus.
2. Menurut Dwidjoseputro (1978), berdasarkan tempat kedudukan flagelnya maka
bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Monotrik, jika flagel hanya satu dan bulu cambuk itu melekat pada ujung sel.
b) Lofotrik, jika flagel yang melekat pada salah satu ujung itu banyak.
c) Amfitrik, jika banyak flagel melekat pada kedua ujung sel.
d) Peritrik, jika flagel tersebar dari ujung-ujung sampai pada sisi.
e) Atrik, jika suatu spesies tidak mempunyai flagel sama sekali.
3. Menurut Lay dan Hastowo (1994), berdasarkan pengecatan gram maka bakteri
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
a) Bakteri gram positif yaitu: bakteri yang dapat mengikat zat warna kristal violet
akan memberikan warna ungu dan setelah dicuci dengan larutan pemucat, bakteri
gram positif tetap berwarna ungu karena kompleks persenyawaan kristal violetyodium tetap terikat pada dinding sel. Kemudian ditambahkan zat warna safranin,
tidak menyebabkan perubahan warna pada bakteri.
b) Bakteri gram negative yaitu: bakteri yang kehilangan warna dari kristal violet
ketika dicuci dengan larutan pemucat karena larutan pemucat melarutkan lipida
dan menyebabkan pori – pori dinding sel membesar. Kemudian diberi zat warna
safranin, bakteri akan memberikan warna merah karena persenyawaan kompleks
kristal violet-yodium larut dan dinding sel kemudian mengikat zat warna safranin.
13
Universitas Sumatera Utara
2.9.2 Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis menurut Dwidjoseputro
(1978), sebagai berikut :
Devisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku
: Micrococcaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus berasal dari kata staphyle yang berarti kelompok buah
anggur dan kokus yang berarti benih bulat. Kuman ini sering ditemukan sebagai
flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia. Staphylococcus tumbuh
dengan cepat pada beberapa tipe media dan dengan aktif melakukan metabolisme,
melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen
dari warna putih hingga kuning gelap (Staf pengajar fakultas kedokeran UI, 1993;
Brooks, et al., 2001).
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi kulit yang ringan disertai pembentukan abses. Bakteri ini memiliki koloni
berwarna putih dan bersifat anaerob fakultatif, tidak mempunyai protein A pada
dinding selnya, bersifat koagulasi negatif, meragi glukosa dan dalam keadaan
anaerob tidak meragi manitol (Staf pengajar fakultas kedokteran UI, 1993).
2.9.3 Escherichia coli
Sistematika Escherichia coli menurut Tjitrosoepomo (1994), sebagai
berikut:
Divisi
: Schizophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku
: Enterobacteriaceae
Marga
: Escherichia
Jenis
: Escherichia coli
14
Universitas Sumatera Utara
Escherichia coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa dipakai
di laboratorium Mikrobiologi; pada media yang dipergunakan untuk isolasi
kuman enterik, sebagian besar Escherichia coli tumbuh sebagai koloni yang
meragi laktosa dan bersifat mikroaerofilik (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI,
1993).
Escherichia coli adalah kuman oportunis yang banyak ditemukan di dalam
usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik karena dapat
menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare pada anak dan travelers
diarrhea, seperti juga kemampuannya menimbulkan infeksi pada jaringan tubuh
lain di luar usus (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, 1993).
2.10 Fase Pertumbuhan Bakteri
Apabila bakteri ditanam pada media pembenihan yang sesuai pada waktu
tertentu maka pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri tersebut dapat
digambarkan dengan sebuah grafik pertumbuhan yang dapat dibagi dalam 4 fase,
yaitu:
1. Fase Penyesuaian (fase lag)
Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme
pada suatu lingkungan baru. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah
sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Rentang waktu fase penyesuaian
tersebut tergantung dari fase pertumbuhan bakteri saat dipindahkan untuk ditanam
pada medi pembenihan yang baru dan tergantung pula pada adanya bahan toksik
yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri (Pratiwi,
2008; Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2003).
15
Universitas Sumatera Utara
2. Fase Log (fase eksponensial)
Fase log merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah
pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat
media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan
massa yang bertambah secara eksponensial. Hal yang dapat menghambat laju
pertumbuhan adalah bila satu atau lebih nutrisi dalam kultur habis, sehingga hasil
metabolisme yang bersifat racun akan tertimbun dan menghambat pertumbuhan
(Pratiwi, 2008).
3. Fase Stasioner
Pada fase stasioner, kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri
mencapai titik terendah atau boleh dikatakan nol. Hal ini disebabkan kondisi
lingkungan telah berubah dan tidak menguntungkan bagi pertumbuhan maupun
perkembangbiakan bakteri, dimana nutrisi telah habis dan terjadi penumpukan
hasil metabolik yang bersifat toksis. Jumlah sel bakteri yang hidup tampak
konstan, hal ini terjadi karena jumlah sel yang baru terbentuk seimbang dengan
jumlah sel yang mati (Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, 2003).
4. Fase Penurunan (fase kematian)
Pada fase ini, terjadi peningkatan kematian sel bakteri sehingga terjadi
penurunan populasi bakteri karena: (1) nutrient di dalam medium sudah habis, (2)
energi cadangan di dalam sel habis. Jumlah sel yang mati semakin lama akan
semakin banyak, dan kecepatan kematian dipengaruhi kondisi nutrient,
lingkungan dan jasad renik (Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, 2003; Waluyo, 2004).
16
Universitas Sumatera Utara
2.11 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mikroorganisme
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dapat meliputi:
1. Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang penting di dalam kehidupan
mikroorganisme. Beberapa jenis mikroba dapat hidup pada daerah temperature
yang luas sedangkan jenis lainnya pada daerah yang terbatas. Pada umumnya
batas daerah temperatur bagi kehidupan mikroba terletak antara 0oC – 90oC, dan
kita kenal ada temperatur minimum, temperatur optimum, dan temperatur
maksimum. Temperatur minimum adalah nilai paling rendah dianatara kegiatan
mikroba masih dapat berlangsung. Temperatur maksimum adalah temperature
tertinggi yang masih dapat digunakan untuk aktivitas mikroba. Sedangkan
temperatur yang paling baik bagi kegiatan hidup dinamakan temperature
optimium (Waluyo, 2004).
Menurut Pratiwi (2008), berdasarkan kisaran temperatur tumbuh maka
mikroorganisme dibagi atas 4 golongan yaitu :
a) Psikrofil, tumbuh pada temperatur maksimal 20oC dengan suhu optimal 0
sampai 15oC.
b) Psikrofil fakultatif/psikotrof, tumbuh pada temperatur maksimal 30ºC dengan
suhu optimal 20 sampai 30ºC.
c) Mesofil, tumbuh pada temperatur minimal 15 sampai 20oC dengan suhu
optimal 20 sampai 45oC dan suhu maksimal 45oC.
d) Termofil, tumbuh pada temperatur minimal 45 dengan suhu optimal 55 sampai
65oC dan suhu maksimal 100 oC.
17
Universitas Sumatera Utara
2. pH
Nilai pH medium sangat berpengaruh pada jenis mikroba yang tumbuh.
Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yakni sekitar pH 6,5 – 7,5. Pada
pH dibawah 5,0 dan di atas 8,5, bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik, kecuali
bakteri asam asetat dan bakteri yang mengoksidasi sulfur (Waluyo, 2004).
Menurut Waluyo (2004), berdasarkan daerah-daerah pH bagi kehidupan
mikroba maka mikroba dapat dibedakan atas 3 gologan besar yaitu :
a) Mikroba asidofilik yaitu: mikroba yang dapat tumbuh pada pH antara 2,0 – 5,0.
b) Mikroba mesofilik (netrofilik) yaitu: mikroba yang dapat tumbuh pada pH
antara 5,5 – 8,0.
c) Mikroba alkalifilik yaitu: mikroba yang dapat tumbuh pada pH antara 8,4 – 9,5
3. Oksigen
Menurut Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
(2003), berdasarkan akan kebutuhan terhadap oksigen maka bakteri dapat dibagi
menjadi 4 golongan yaitu :
a) Bakteri aerob mutlak yaitu: bakteri yang untuk pertumbuhannya memerlukan
adanya oksigen.
b) Bakteri anaerob fakultatif yaitu: bakteri yang dapat tumbuh, baik ada oksigen
maupun tanpa adanya oksigen.
c) Bakteri anaerob mutlak yaitu: bakteri yang hidup bila tidak ada oksigen.
d) Bakteri mikroaerofilik yaitu: bakteri yang hanya tumbuh pada konsentrasi
oksigen yang rendah yaitu kurang dari 20%, pada konsentrasi oksigen yang tinggi
menyebabkan toksik.
18
Universitas Sumatera Utara
4. Nilai Osmosis
Medium yang paling cocok bagi kehidupan bakteri ialah medium yang
isotonik terhadap isi sel bakteri. Jika bakteri ditempatkan di dalam suatu larutan
yang hipertonik terhadap isi sel, maka bakteri akan mengalami plasmolisis.
Sebaliknya, bakteri yang ditempatkan di dalam air suling akan kemasukan air
sehingga dapat menyebabkan pecahnya bakteri, dengan kata lain bakteri dapat
mengalami plasmoptisis (Dwidjoseputro, 1978).
5. Nutrisi
Jasad renik heterotof membutuhkan nutrien untuk kehidupan dan
pertumbuhannya, yakni sebagai: (1) sumber karbon, (2) sumber nitrogen, (3)
sumber energi, (4) dan faktor pertumbuhan, yakni mineral dan vitamin. Nutrisi
tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi dan menyusun komponen–
komponen sel. Setiap jasad renik bervariasi dalam kebutuhannya akan zat–zat
nutrisi tersebut (Waluyo, 2004).
2.12 Uji Aktivitas Antibakteri
Menurut (Pratiwi, 2008), pengujian aktivitas antibakteri dapat dilakukan
dengan cara 2 cara yaitu:
1. Cara difusi
Metode difusi digunakan untuk menentukan aktivitas agen mikroba.
Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah
ditanami mikroorganisme, dimana agen antimikroba akan berdifusi pada media
Agar tersebut. Area jernih disekitar piringan mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media
Agar.
19
Universitas Sumatera Utara
2. Cara dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Dilusi cai (borth dilution)
Metode ini mengukur KHM (kadar hambat minimum) dan KBM (kadar
bunuh minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri
pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan
mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat
jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM.
Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan
diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah
inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
b. Dilusi padat (solid dilution)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba
yang diuji dapat digunakan untuk menguji bebarapa mikroba uji.
20
Universitas Sumatera Utara
Download